Anda di halaman 1dari 7

MATA KULIAH SEJARAH SENI

“Struktur Modal Pierre Bourdieu pada Komunitas


Banda Sawitra Desa Kedis”

OLEH
I Komang Restika Dana
202223008

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN SENI PROGRAM MAGISTER
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2022
STRUKTUR MODAL PIERRE BOURDIEU
PADA KOMUNITAS BANDA SAWITRA DESA KEDIS

Modal biasanya dipahami dalam term ekonomi, namun menurut teori modal Pierre
Bourdieu terdapat 4 jenis modal yaitu modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, dan modal
simbolik. Hubungan kepemilikan modal antar pelaku kreatif maupun relasinya dengan pelaku
yang lain menentukan posisi pelaku kreatif di arena tertentu dan menjelaskan hubungan
kekuasaan pelaku. Konsep modal meskipun merupakan khazanah ilmu ekonomi dipakai oleh
Bourdieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan kekuasaan (Bourdieu,
1995) yaitu pertama, modal terakumulasi melalui investasi; kedua, modal bisa diberikan
kepada yang lain melalui warisan; ketiga, modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan
kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. Dalam
Listiani, 2013 :77).
Mengenai keempat struktur modal yang dikemukakan oleh Bourdieu, yakni modal
budaya, sosial, ekonomi dan simbolik menjadi kerangka berpikir untuk membedah kajian
tentang eksistensi sebuah komunitas di Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten
Buleleng yaitu komunitas Banda Sawitra dari tahun ke tahun. Dalam komunitas ini terdapat
beberapa seniman yang menjadi peran penting dalam perkembangan atau perjalanan komunitas
dari masa ke masa dengan menghasilkan karya seni yang luar biasa sampai saat ini yang bisa
dikenal oleh kalangan masyarakat luas di Bali. Selain itu, sebuah kesejahteraan berupa finansial
juga barang tentu diterima oleh seniman-seniman tersebut, serta penghargaan dan pengakuan
dari masyarakat dan pemerintah daerah (Perda) maupun pemerintah provinsi (Pemprov).
Maka dapan disusun tulisan ini dengan membahas mengenai bagaimana eksistensi
komunitas Banda Sawitra melalui seniman di Desa Kedis, bagaimana kepercayaan publik
terhadap komunitas Banda Sawitra, bagaimana dukungan pemerintah desa terhadap seniman
di Desa Kedis, dan apa saja pengakuan terhadap seniman dan komunitas Banda Sawitra oleh
pemerintah.
Berdasarkan pemaparan singkat di atas, berikut diuraikan berdasarkan struktur modal
Pierre Bourdieu pada komunitas Banda Sawitra Desa Kedis. Tulisan ini menunjukkan bahwa
teori modal Bourdieu bisa menunjukkan eksistensi komunitas Banda Sawitra melalui modal
budaya, sosial, ekonomi dan simbolik.
Eksistensi Komunitas Banda Sawitra melalui Seniman Desa Kedis
Sumber modal budaya merupakan keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa
diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Modal budaya
mengimplisitkan suatu proses pembelajaran sehingga tidak bisa begitu saja diberikan kepada
orang lain. Modal budaya ini, seperti kemampuan seseorang dalam menampilkan dirinya di
depan publik, mempunyai pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang unggul.
Terkait dengan modal budaya ini pada komunitas Banda Sawitra diwariskan melalui
beberapa generasi yang dipimpin oleh beberapa seniman Karawitan di Desa Kedis, yaitu Ketut
Merdana (alm), Nyoman Sukandia (alm) dan anaknya Putu Sumiasa (alm), serta Gede Artaya
yang saat ini masih menjadi pembina dan penanggungjawab komunitas Banda Sawitra.
Sebelum membahas mengenai modal yang selanjutnya perlu diketahui bahwa
komunitas Banda Sawitra pada awalnya bernama Eka Jaya Paksi. Pada saat itu komunitas ini
dipimpin oleh Ketut Merdana (alm). Masa jaya komunitas Eka Jaya Paksi ini sekitar tahun
1950-1960an, Bisa dilihat dari karya-karya seni yang diciptakan oleh Ketut Merdana. Beberapa
contoh yang dapat disebutkan disini berdasarkan tahun ciptaannya adalah: Tabuh Kebyar
Susun (1956); Kebyar Buleleng Dauh Enjung (1957); dan Tari Nelayan (1960).
Setelah meninggalnya Ketut Merdana pada tahun 1965, komunitas Eka Jaya Paksi
berubah namanya menjadi Banda Sawitra. Pada saat itu komunitas ini dipimpin oleh Putu
Sumiasa (alm). Pada masa Putu Sumiasa tidak banyak karya seni baru yang diciptakan, hanya
saja pada saat itu karya ciptaan Ketut Merdana dikembangkan dan didokumentasikan untuk
menghargai dan selalu mengenang dan meneruskan warisan dari Ketut Merdana tersebut. Dari
tahun 1965-an, karya-karya warisan seniman Ketut Merdana berkembang dari segi nama, cara
penyajian bahkan sampai kostumnya. Contohnya tari Wiranjaya, sebelum menjadi tari
Wiranjaya, tari ini mengalami beberapa transformasi dalam tahap penciptaannya. Diawal
terciptanya, tari ini dikenal dengan sebutan Kebyar Buleleng Dauh Enjung dengan durasi tari
hampir setengah jam, hingga akhirnya menjadi tari Wiranjaya seperti sekarang ini.
Selanjutnya adalah Gede Artaya, pada tahun 1985 Gede Artaya membentuk ulang seka
gong Banda Sawitra untuk keperluan seka desa adat untuk upacara agama maupun untuk
festival yang berlangsung sampai tahun 2005. Namun pada waktu itu segala kegiatan termasuk
organisasi (komunitas Banda Sawitra) tidak diperbolehkan/diberhentikan karena problem
politik yang menyebabkan Desa Kedis terpecah menjadi dua sampai saat ini. Namun pada
tahun 2012 Gede Artaya mulai lagi membentuk seka (tetap dengan nama Banda Sawitra) yang
sasaranya kali ini adalah generasi muda.
Kepercayaan Publik Terhadap Komunitas Banda Sawitra
Agregat sumber daya aktual dan potensial yang dikaitkan dengan pemilikan jaringan
hubungan perkenalan dan pengakuan yang terlembaga dan awet atau dengan kata lain, pada
keanggotaan dalam suatu kelompok yang memberikan pada tiap anggotanya dukungan modal
yang dimiliki secara kolektif, ’kepercayaan’ yang memungkinannya mendapatkan kredit dalam
berbagai pengertian kata (Bourdieu, 2002: 286).
Sedangkan Putnam (1993: 167) dalam (Purwanto, 2015: 238) mendefinisikan modal
sosial sebagai sifat-sifat organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat
memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Afiliasi dalam
berbagai kelompok atau asosiasi dalam komunitas adalah suatu bentuk jaringan keterlibatan
warga yang meningkatkan kepercayaan umum.
Berdasarkan pernyataan di atas mengenai modal sosial dapat dikatakan bahwa suatu
grup atau kelompok atau asosiasi dalam komunitas adalah bentuk jaringan atau relasi warga
yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan umum. Dalam hal ini komunitas
Banda Sawitra dari masa ke masa selalu dapat menumbuhkan kepercayaan umum atau publik.
Komunitas Banda Sawitra sudah jelas termasuk ke dalam modal sosial, karena keterlibatan
seseorang atau warga ke dalam organisasi atau satuan kemasyarakatan.
Modal sosial dalam tulisan ini bukan hanya keterlibatan warga ke dalam organisasi saja,
namun juga keterlibatan organisasi dalam seni pertunjukan di Buleleng. Dikutip dari artikel
Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng:

“Diawali dengan sering diadakan kegiatan mebarung atau pertandingan Gong Kebyar
di Buleleng antara Dangin Njung dengan Dauh Njung (antara Buleleng Barat dengan
Buleleng Timur) yaitu antara desa Jagaraga (Buleleng Timur) dengan desa Kedis
(Buleleng Barat). Menurut I Putu Sumiasa bahwa kegiatan mebarung tersebut biasa
dilaksanakan untuk memeriahkan acara gelar seni pada pasar malam, dan hari-hari
kebesaran, 17 Agustusan. Pada saat mebarung belum ada nama tari Trunajaya dan tari
Wiranjaya, yang ada hanya tari Kebyar Buleleng, versi Dangin Njung dan Dauh Njung.
Kemudian, sesudah ada tari Trunajaya dan Palawakya dari Dangin Njung yang
diciptakan oleh I Gede Manik (alm), maka pementasan yang dilakukan pada saat
mebarung hanya memetaskan 2 buah tarian saja yaitu Tari palawakya dan Tari
Trunajaya”.

Kutipan di atas menyatakan bahwa pada saat itu pementasan kesenian yang
dilaksanakan pada hari 17 Agustusan bahkan acara gelar seni pada pasar malam sudah menjadi
salah satu modal hubungan sosial yang dikemukakan oleh Bourdieu. Artinya suatu energi sosial
yang melibatkan seseorang dalam organisasi atau satuan kemasyarakatan.
Selanjutnya modal sosial yang dapat dilihat dalam waktu 7 tahun terakhir dari
komunitas Banda Sawitra dibawah pimpinan Gede Artaya adalah pernah mewakili Duta
Kabupaten Buleleng dalam Parade Gong Kebyar pada Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2015
sebagai penyaji parade Gong Kebyar Anak-anak (GKA), dan pada tahun 2021 sebagai penyaji
parade Gong Kebyar Wanita (GKW). Dan saat ini Gede Artaya didukung oleh pemerintah Desa
Kedis untuk membangun seni melalui komunitas Banda Sawitra.

Dukungan Pemerintah Desa Terhadap Seniman Gede Artaya


Berkaitan dengan membangun seni melalui komunitas Banda Sawitra oleh Gede
Artaya, muncullah modal ekonomi yang berkaitan dengan nilai kesejahteraan sebagai sumber
kehidupan sehari-hari. Modal ekonomi berupa semua materi dan tenaga yang dapat
dikonversikan dengan uang (Banda, 2016: 45). Modal ekonomi merupakan jenis modal yang
relatif paling independen dan dan fleksibel karena modal ekonomi secara mudah bisa
digunakan atau ditransformasi ke dalam ranah-ranah lain serta fleksibel untuk diberikan atau
diwariskan pada orang lain (Krisdinanto, 2016: 203).
Gede Artaya sebagai SDM yang handal dalam membangkitkan jiwa seni yang dimiliki
oleh para generasi muda di Desa Kedis melalui komunitas Banda Sawitra. Dalam hal ini
Perbekel Desa Kedis dapat memberikan kesejahteraan berupa finansial (uang) berasal dari dana
pemerintah kepada Gede Artaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Penghargaan Seniman (Individual) dan Penghargaan Komunitas


Selanjutnya adalah modal simbolik (prestasi) yang berkaitan dengan atribut/pengakuan,
contohnya piagam, sertifikat, dan lain sebagainnya. Bourdieu melihat modal simbolik atau
symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang
krusial. Pengakuan yang didapatkan oleh Putu Sumiasa adalah suatu modal simbolik berupa
penghargaan seni Dharma Kusuma oleh Pemda Bali pada tahun 2004.
Setelah adanya penghargaan tersebut atensi dari masyarakat umum maupun pemerintah
secara simbolik mengakui bahwa Putu Sumiasa sebagai tokoh seniman Bali Utara yang
terkenal sebagai juru kendang (gupekan) Bali. Maka dari itu, harga diri dan martabat menjadi
hal penting dalam sebuah pengakuan dalam bidang apapun. Pada Akhirnya modal simbolik ini
lah yang membawa individu kepada modal sosial.
Namun hal tersebut di atas masih dalam konteks pengakuan secara individual,
walaupun masih berkaitan dengan komunitas. Pada intinya tulisan ini adalah membahas
mengenai modal simbolik dari komunitas Banda Sawitra. Di bawah pimpinan Gede Artaya,
komunitas Banda Sawitra mendapatkan piagam penghargaan sebagai penyaji utsawa (parade)
Gong Kebyar Anak-anak Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 2015, dan penyaji utsawa
(parade) Gong Kebyar Wanita Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 2021.
DAFTAR PUSTAKA

Purwanto, A. (2015). Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 18 (2).
Bourdieu, Pierre. 2002. “Forms of Capital” p. 280-291 in Economic Sociology. nicole Woosley
Biggart (Ed.), Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers, Ltd.
Krisdinanto, N. (2016). Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai. KANAL: Jurnal Ilmu Komunikasi,
2(2), 189.
Krisdinanto, N. (2016). Pierre Bourdieu, Sang Juru Damai. KANAL: Jurnal Ilmu Komunikasi,
2(2), 189. https://doi.org/10.21070/kanal.v2i2.300
Listiani, W., Ahimsa-Putra, H. S., Simatupang, G. L., & Piliang, Y. A. (2013). Struktur Modal
Pierre Bourdieu Pada Pelaku Kreatif Grafis Fashion Bandung. Program Studi Kajian
Budaya Dan Media, 1(1), 1–14.
https://jurnal.isbi.ac.id/index.php/atrat/article/download/404/350
Purwanto, A. (2015). Modal Budaya dan Modal Sosial dalam Industri Seni Kerajinan Keramik.
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 18(2). https://doi.org/10.7454/mjs.v18i2.3727
.
Sumber Lainnya:
Teori Pierre Bourdieu Memahami Sumber Modal dan Field, Beserta Contohnya.
https://www.sosiologi.info/2021/01/teori-pierre-bourdieu-sumber-modal-field-ranah-
medan-arena-contohnya.html diakses pada tanggal 5 Oktober 2022.
Tari Wiranjaya. https://disbud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/tari-wiranjaya-34
diakses pada tanggal 5 Oktober 2022.
Menengok Pemikiran Pierre Bordieu, Kekerasan Simbolik di Dalam Sekolah.
https://blog.unnes.ac.id/dedijongjava/2015/12/07/menengok-pemikiran-pierre-
bordieu-kekerasan-simbolik-di-dalam-sekolah/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai