Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Patient Centered Care

Patient centered care (PCC) adalah pelayanan kesehatan yang melibatkan

hubungan antara dokter, pasien, dan keluarga untuk memastikan pelayanan kesehatan

yang diberikan menghargai keinginan dan kebutuhan pasien. Pasien juga memiliki

pengetahuan dan dukungan untuk berpartisipasi dan mengambil keputusan dalam

pelayanan untuk dirinya sendiri.

Menurut Picker Institute (2007), ada delapan dimensi PCC yaitu menghargai

pilihan pasien, dukungan moral, kenyamanan fisik, KIE (komunikasi, informasi, dan

edukasi), kontinuitas dan transisi, pelayanan yang terkoordinasi, keterlibatan keluarga

dan kerabat, akses pelayanan.

Dalam menghargai pilihan pasien, penyedia layanan kesehatan sedianya menyadari

permasalahan terkait kualitas hidup pasien, menginformasikan pasien dan keluarga,

membangun hubungan dengan pasien dan keluarga, dan membuat taylor-made plan

sesuai dengan kebutuhan pasien. Penyedia layanan kesehatan sekiranya memberikan

dukungan moral dalam hal status klinis, prognosis, dan imbas penyakit pasien terhadap

pasien dan keluarga. Kenyamanan fisik diberikan dalam bentuk lingkungan yang bersih

dan nyaman, serta mengusahakan pasien bebas dari rasa sakit. KIE harus disampaikan

sesuai dengan kemampuan pasien baik dalam segi bahasa, media penyampaian, dan

sebagainya. Kontinuitas dan transisi dilakukan untuk memudahkan pasien dalam

mengikuti alur rumah sakit. Dalam menangani kondisi pasien yang multipatologis,

diperlukan pelayanan yang terkoodinasi dari berbagai divisi sehingga menciptakan

transisi yang lancar.

Layanan juga sebaiknya melibatkan keluarga dan kerabat pasien dengan memberikan
akses kemudahan bagi care giver. Meningkatkan akses pelayanan dengan

memperhatikan durasi tunggu pasien dalam mengikuti alur administrasi rumah sakit

untuk mendapatkan pelayanan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terselenggaranya PCC yaitu

kepemimpinan, visi, keterlibatan pasien dan keluarga, lingkungan kerja yang

mendukung, kualitas lingkungan rumah sakit, teknologi yang mendukung, pengukuran

dan umpan balik yang sistematis. Kepemimpinan menjadi faktor yang penting dalam

pembuatan komitmen pelaksanaan PCC oleh pimpinan rumah sakit. Setelah

berkomitmen untuk menyelenggarakan PCC, dibutuhkan suatu visi sebagai rencana

strategis untuk melaksanakan pelayanan sehari-hari yang berpusat pada pasien.

Keterlibatan pasien atau keluarga pasien dapat membantu memecahkan permasalahan

karena keluarga memiliki sudut pandang berbeda yang mungkin saja dilewatkan oleh

tenaga kesehatan. Selain itu, diperlukan lingkungan kerja yang mendukung dimana

petugas kesehatan dihargai dan diperlakukan secara pantas layaknya bagaimana rumah

sakit berharap karyawannya memperlakukan pasien. Hal ini dapat dicapai dengan

memperhatikan perekrutan tenaga kerja, pelatihan, evaluasi, dan gaji.

Lingkungan rumah sakit yang diharapkan adalah desain rumah sakit yang terbuka

untuk keluarga dan kerabat pasien, menghargai manusia, memudahkan pasien

berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan, memudahkan petugas kesehatan memberi

respon pada pasien. Lingkungan tersebut terbukti berkorelasi dengan peningkatan hasil

klinis, performa ekonomi, produktivitas dan kepuasan pasien. Faktor lainnya adalah

teknologi seperti health information technology (HIT) dapat melibatkan pasien dan

keluarga secara langsung kepada pelayanan kesehatan pasien karena dapat

memfasilitasi komunikasi langsung ke dokter maupun mengakses informasi- informasi

terkait pasien. Bentuk HIT dapat berupa surat elektronik sederhana atau portal website.

Setelah pelaksanan pelayanan PCC, perlu dilakukan pengukuran dan umpan balik yang
sistematis agar pihak rumah sakit dapat mengelola kebijakan; baik itu mengubah,

meniadakan, mengganti, atau melanjutkan kebijakan terkait. (Shaller, 2007).

Pengukuran PCC harus berfokus pada sudut pandang pasien dan dapat

mengidentifikasi akar permasalahan layanan kesehatan pasien. Pengukuran PCC pada

umumnya dilakukan dengan kuesioner terstandar. Penelitian kualitatif dengan

wawancara juga dapat dilakukan. PCC dapat diukur secara umum untuk mengukur

pengalaman pasien dengan survei Picker Patient Experience Questionnaire-15 (PPEQ-

15) dan kepuasan pasien dengan menggunakan kuisioner kepuasan pasien Ware’s.

Sementara itu, penelitian spesifik dapat dilakukan menurut beberapa tipe yang lebih

terperinci seperti evaluasi terhadap peran pengambil keputusan dengan control

preferences scale, evaluasi keterlibatan pasien dalam mengambil keputusan dengan

decision support analysis tool, evaluasi persepsi pasien terhadap keterlibatan dengan

patients perceived involvement in care scale. Keuntungan dari pengukuran umum adalah

pengukuran ini sebagai evaluasi menyeluruh dari berbagai dimensi PCC, sedangkan

pengukuran spesifik dapat menyajikan data lebih mendalam pada satu atau lebih

dimensi (Groene, 2011).

B. Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien adalah kondisi dimana adanya usaha pencegahan kejadian

merugikan pada pasien yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Walaupun seorang

dokter bersumpah “do no harm”, tidak dapat dipungkiri medical error adalah hasil

samping dari pengobatan modern atau kejadian yang disayangkan dari pelayanan yang

buruk. Insiden keselamatan pasien adalah kejadian merugikan pasien yang tidak

disengaja atau diharapkan, baik yang sudah atau akan terjadi. Dalam perkembangannya

terkait dengan insiden keselamatan pasien, perlu dibedakan antara adverse event atau

harm dengan error atau mistake. Adverse event adalah cedera yang ditimbulkan dari

pelayanan kesehatan tanpa adanya kesalahan dari pihak petugas kesehatan. Error adalah
perilaku yang salah atau tidak melakukan hal yang benar yang berakhir pada hasil yang

tidak diinginkan. Kini, keselamatan pasien lebih berfokus pada pencegahan adverse

event atau harm. Dengan berfokus pada adverse event, seseorang tidak akan

menyalahkan seorang petugas kesehatan sehingga penanganan keselamatan pasien lebih

berfokus pada sistem daripada individu (Wachter, 2012).

Tujuan dari keselamatan pasien menurut Joint Commission International (2013)

adalah identifikasi pasien secara tepat, mengembangkan komunikasi efektif,

meningkatkan keamanan obat kewaspadaan tinggi, memastikan lokasi, prosedur, dan

pasien operasi yang benar, mengurangi risiko healthcare associated infection (HAI),

mengurangi risiko jatuh pasien. Identifikasi pasien secara tepat diwujudkan dengan

implementasi proses yang meningkatkan akurasi identifikasi pasien oleh pihak rumah

sakit. Mengembangkan komunikasi efektif diwujudkan dengan pengembangan

efektivitas komunikasi verbal antar tenaga kesehatan oleh pihak rumah sakit.

Meningkatkan keamanan obat kewaspadaan tinggi diwujudkan dengan implementasi

proses yang meningkatkan keamanan obat kewaspadaan tinggi seperti konsentrat

elektrolit, obat yang berlabel atau bernama mirip. Memastikan lokasi, prosedur, dan

pasien operasi yang benar diwujudkan dengan pengembangan dan penerapan proses

yang memastikan operasi pada lokasi yang benar, dengan prosedur yang benar, dan

pada pasien yang benar. Mengurangi risiko healthcare associated infection diwujudkan

dengan penenerapan pedoman kebersihan tangan untuk menurunkan risiko infeksi

terkait pelayanan kesehatan oleh pihak rumah sakit. Mengurangi risiko jatuh

diwujudkan dengan implementasi proses perawatan yang mengkaji risiko jatuh pasien

saat awal pasien datang, saat perawatan berlangsung, dan melakukan intervensi sesuai

risiko jatuh pasien Insiden keselamatan pasien dapat terjadi akibat latent failure yang

mendasari active failure. Latent failure yang merupakan kegagalan sistem seringkali

menjadi akar permasalahan terjadinya active failure. Namun, latent failure jarang dapat
terdeteksi karena tertutupi oleh active failure atau faktor manusia yang langsung

berinteraksi dengan pasien. Maka dari itu diperlukan budaya yang tidak saling

menyalahkan sehingga akar permasalahan dapat ditemukan dan diatasi (Sandars, 2007).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keselamatan pasien. Faktor

internal rumah sakit yang mempengaruhi keselamatan pasien adalah sistem komunikasi,

peralatan dan inventaris kesehatan, desain peralatan dan inventaris rumah sakit (desain

yang dapat mengatasi keterbatasan fisik), batasan tanggung jawab, pengaturan karyawan

dan tingkatan karyawan, lingkungan fisik, kebijakan dan prosedur, kultur keselamatan,

penjadwalan manajemen pasien, beban kerja karyawan, pengawasan dan kepemimpinan,

dukungan fungsi pusat (adanya dukungan fungsi pusat seperti dukungan dari bagian

sumber daya manusia atau teknologi informasi untuk kelancaran fungsi bangsal),

karakter tugas, faktor tim, pelatihan dan edukasi. Faktor eksternal rumah sakit yang

mempengaruhi keselamatan pasien adalah kebijakan eksternal (kebijakan nasional

yang dapat berimbas pada pelayanan rumah sakit), faktor individu, faktor pasien (Giles,

et al., 2015).

Prinsip pengelolaan insiden keselamatan pasien menurut Sandars (2007) adalah

menetapkan konteks pengelolaan insiden keselamatan pasien, identifikasi risiko, analisa

risiko, penanganan risiko, evaluasi proses pengelolaan risiko. Penetapan konteks perlu

dilakukan karena alasan utama pengelolaan insiden keselamatan pasien (seperti alasan

finansial atau legal) akan mempengaruhi cara penanganan insiden. Dengan mengetahui

risiko, pihak rumah sakit dapat mengatasi risiko itu dengan lebih baik lagi. Identifikasi

dapat dilakukan melalui laporan insiden adverse events atau near miss, melihat rekam

medis, observasi langsung, keluhan pasien, wawancara atau kuisioner terhadap pasien

atau tenaga kesehatan, data klaim kompensasi terhadap rumah sakit. Setelah risiko

teridentifikasi, risiko harus dianalisa untuk menentukan langkah yang harus diambil.

Entah itu menghilangkan risiko atau menurunkan risiko. Penanganan risiko dilakukan
dengan kontrol risiko untuk risiko yang tidak dapat dihilangkan, sehingga dapat

dilakukan langkah – langkah yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya insiden

keselamatan pasien. Dilakukan penerimaan risiko bila risiko tidak dapat dihilangkan

tetapi paling tidak sudah diketahui sehingga dapat diantisipasi. Dilakukan penghindaran

risiko dengan mengetahui penyebab risiko, risiko tersebut dapat dihindari contohnya

seperti memberi paket yang berbeda pada sound alike look alike drug (SALAD).

Pengurangaan risiko dapat dilakukan untuk membatasi potensi risiko. Pemindahan

risiko seperti dengan sistem rujukan atau asuransi dapat dilakukan pada kasus yang

berisiko tinggi dan susah diatasi. Pada tahap akhir perlu dilakukan audit untuk melihat

ketercapaian standar pengelolaan risiko. Selain itu penting untuk mengembangkan “low

blame” Culture sehingga orang menjadi jujur dalam menceritakan insiden dan akar

permasalahan dapat ditemukan.

Pengukuran keselamatan pasien dapat dilakukan membuat laporan insiden.

Namun, cara pengukuran ini dianggap tidak reliabel karena sangat mudah dipengaruhi

oleh kesadaran individu untuk melaporkan insiden karena bersifat volunter. Cara

pengukuran lainnya adalah dengan Agency for Healthcare Research and Quality’s

(AHRQ) Patient Safety Indicators (PSIs). Namun, AHRQ mengatakan bahwa PSIs

hanya dapat dianggap sebagai petunjuk dari permasalahan karena bersumber bukan dari

data klinis.

Cara pengukuran yang sering digunakan adalah dengan global trigger tool yang

dikembangkan oleh Institute of Healthcare Improvement. Prinsip dari global trigger tool

adalah adanya adverse event dapat menimbulkan efek yang dapat diidentifikasi. Global

trigger tool tidak sensitif maupun spesifik karena belum tentu pencetus mewakili adanya

error atau harm, sehingga global trigger tool lebih cocok digunakan sebagai skrining

lalu dilanjutkan dengan chart review yang lebih mendetil (Wachter, 2012).

Selain itu, pengukuran keselamatan pasien dapat dilakukan dengan patient perceived
patient safety. Metode ini menggunakan elemen terukur patient safety goals Joint

Commission International yang dapat dinilai dari sudut pandang pasien. Patient safety

goals yang dapat diukur adalah identifikasi pasien secara tepat, mengembangkan

komunikasi efektif, memastikan lokasi, prosedur, dan pasien operasi yang benar,

mengurangi risiko healthcare associated infection. Elemen terukur merupakan daftar

yang mencerminkan dimensi tiap tujuan keselamatan pasien. (Joint Commission

International, 2013).

1. Hubungan Penerapan Patient Centered Care dan Keselamatan Pasien

Menurut Institute for Patient- and Family-Centered Care (2015), pelayanan

kesehatan yang mengutamakan pasien merupakan faktor kunci untuk meningkatkan

keselamatan pasien. Studi dan pengalaman kerja menunjukkan bahwa ketika petugas

kesehatan, pasien, dan kerabat pasien bekerja sama, keselamatan pasien dapat

meningkat. Ada banyak cara dalam melibatkan pasien dan kerabat untuk meningkatkan

keselamatan pasien. Selain terlibat dalam pelayanan kesehatannya sendiri, pasien

dapat diminta masukannya terhadap perencanaan renovasi gedung dan evaluasi adverse

event. Kerjasama antar pihak tenaga kesehatan dan pasien dan kerabat sangat penting

dalam evaluasi, identifikasi, dan implementasi strategi untuk mewujudkan visi bersama

yaitu meningkatkan keselamatan pasien (The Hospital & Healthsystem Association of

Pennsylvania, 2013).

Anda mungkin juga menyukai