Perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi Di kantor, di jalanan, di kampus, bahkan di rumah, perkosaan bisa terjadi. Tak hanya perkosaan, jenis kekerasan terhadap perempuan lainnya, fisik, psikis, ekonomi, maupun seksual juga kerap terjadi. Banyaknya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi, tentunya menunjukan kepada kita bahwa persoalan ini bukan semata-mata tentang kejahatan si pelaku. Namun ada yang salah dalam cara berpikir kita. Ada yang salah dalam paradigma masyarakat, bahkan budaya. Selama ini perempuan diberikan beban untuk menjaga dirinya. Cara berpakaian diatur, cara bersikap harus begini begitu, cara bicara tidak boleh ini tidak boleh itu, dan lain sebagainya. Padahal mayoritas, bahkan hampir 100% pelaku perkosaan adalah laki-laki. Laki-lakilah yang seharusnya diajar untuk menghargai perempuan, dan tidak boleh melakukan perkosaan dengan alasan apapun. Contoh lainnya adalah bagaimana perempuan bereaksi ketika dia menjadi korban. Berapa banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual enggan berteriak, karena malu. Atau berapa banyak perempuan yang menjadi korban perkosaan, alih-alih melapor ke kantor polisi, malah pulang ke rumah, mandi, membungkam diri, dan yang paling parah merasa dirinya hina. Inilah dampak dari cara berpikir yang selama ini diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat kita. Ketika perempuan diberikan beban untuk ‘menjaga dirinya', sementara kita lupa mengajarkan perempuan bahwa ia punya hak atas tubuhnya, punya hak atas rasa aman, bahwa yang seharusnya malu adalah pelaku pelecehan seksual, dan yang hina adalah para pemerkosa, yang sekali lagi mayoritas bahkan hampir 100% adalah laki-laki. Karena itu, persoalan perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan tidak hanya bisa diselesaikan melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Dia harus dimulai dengan perubahan paradigma masyarakat dalam melihat bagaimana posisi perempuan, baik terhadap laki-laki, terhadap masyarakat, maupun terhadap negara. Budaya kita yang harus diubah, dan semua itu bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri.
Dari Film Kartini Kami Melihat Dari Aspek Nilai Filosofis Dalam Adegan Ini Yaitu Mayarakat Penikmat Film Ini Dapat Menjunjung Tradisi Tanpa Mengesampingkan Kemanusiaan