Anda di halaman 1dari 24

Laporan Tata Laksana, Sistem Dukungan,

Pemberdayaan Masyarakat dalam Pelaksanaan


Pendidikan Inklusif
Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Pendidikan Inklusif

Dosen Pengampu : Prof. Siti Masitoh., M.Pd.,

Devina Rahmadiani Kamaruddin Nur., M.Pd.,

Disusun oleh

Dawamur Rozaq (22010644082)

KELAS 2022C
JURUSAN PENIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
1. Tata Laksana Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak


berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat, di dalam kelas umum bersama
teman-teman seusianya. Inklusi merupakan suatu proses merespon keragaman kebutuhan
semua peserta didik melalui peningkatan partisipasi pembelajaran, budaya, dan
masyarakat, serta mengurangi pengecualian dalam dan dari pendidikan. Hal ini melibatkan
perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan, struktur, dan strategi, dengan visi
bersama yang mencakup semua anak dari rentang usia yang tepat dan pentingnya tanggung
jawab dan pengaturan untuk mendidik semua anak. Penyelenggaraan pendidikan inklusif
berarti menciptakan sebuah lingkungan agar peserta didik berkebutuhan khusus dapat
belajar, bermain dan berinteraksi dengan semua anak. Setiap peserta didik berkebutuhan
khusus memiliki program belajar secara individu yang memungkinkan dia
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki sesuai dengan kemampuan.
Kunci utama yang prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah bahwa
semua anak tanpa terkecuali dapat belajar. Belajar merupakan kerja sama antara guru,
orang tua, dan masyarakat. Karena itu, untuk melaksanakan pendidikan inklusif diperlukan
perubahan pola pikir (mindset), penataan secara teknis, kebijakan, budaya, pengelolaan
kelas, dan dilakukannya prinsip adaptasi. Prinsip adaptasi dalam pendidikan inklusif
membuat sekolah harus memperhatikan 3 (tiga) dimensi, yang meliputi: kurikuler,
instruksional, dan lingkungan belajar (ekologis). Adaptasi kurikuler terkait dengan
penyesuaian isi, materi, atau kompetensi yang dipelajari peserta didik. Adaptasi
instruksional mengacu pada cara, metode, dan strategi yang dapat digunakan peserta didik
untuk menguasai materi atau kompetensi yang ditargetkan. Adaptasi lingkungan belajar
berkaitan dengan setting pembelajaran (di mana, kapan, dan bersama siapa pembelajaran
dilakukan), termasuk ketersediaan alat bantu dan sumber belajar yang sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Pada adaptasi kurikuler, guru dapat melakukan penambahan
keterampilan agar dapat menguasai kompetensi yang diharapkan atau mengganti
keterampilan dengan kompetensi lain yang setara. Adaptasi lain yang dapat dilakukan guru
adalah dengan melakukan penyederhanaan kompetensi yang ditargetkan. Proses
penyederhanaan tergantung pada kemampuan awal, kondisi, dan modalitas belajar peserta
didik berdasarkan hasil asesmen. Dengan demikian, sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif harus dapat:
1. fleksibel dan inovatif;
2. memastikan perkembangan kebijakan sekolah inklusif;
3. membuat penyesuaian kurikulum; membuat perencanaan untuk seluruh kelas,
menetapkan tujuan pengajaran yang terbuka dan jelas, menggunakan alternatif
metode pengajaran, menggunakan teknologi yang tepat, dan membuat persiapan
terlebih dahulu;
4. adaptasi kurikulum dengan memastikan kemudahan lingkungan fisik dan
mengembangkan lingkungan sekolah yang mendukung; serta
5. mengembangkan kerja sama dengan bekerja bersama dalam tim.
Pada mulanya penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia diprakarsai oleh negara-
negara Skandinavia seperti Denmark, Norwegia, dan Swedia. Di Amerika Serikat pada
tahun1960-an Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke
Skandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang
ternyata cocok diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991
mulai diperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif yang ditandai adanya pergeseran
model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Tuntutan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata, terutama sejak diadakannya
konvensi dunia tentang hak-hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang
pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi 'education for all'.
Implikasi dari pernyataan ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak
tanpa kecuali (termasuk ABK) mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Tindak
lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di
Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya
dikenal dengan 'the Salamanca statement on inclusive education'. Berdasarkan
perkembangan sejarah pendidikan inklusif di dunia tersebut, maka Pemerintah Republik
Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program
ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah
diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang. Tahun
2000 baru dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan
konsep pendidikan inklusif.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif,
Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional yang menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen 'Indonesia menuju pendidikan inklusif'. Untuk
memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium internasional di Bukittinggi yang menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang
isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif
sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan
dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

A. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


Peserta Didik
a. Sasaran
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif,
Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional yang menghasilkan
Deklarasi Bandung dengan komitmen 'Indonesia menuju pendidikan inklusif'. Untuk
memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan
simposium internasional di Bukittinggi yang menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang
isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif
sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan
dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Peserta didik di sekolah inklusi terdiri atas (1) peserta didik pada umumnya, yaitu peserta
didik yang selama ini dikategorikan “normal/biasa” dan (2) peserta didik berkebutuhan
khusus, yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Peserta didik yang dikategorikan
berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita;
tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan
motorik; menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya,
serta peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

b. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


1. Identifikasi
Peserta didik di sekolah inklusi terdiri atas (1) peserta didik pada umumnya, yaitu peserta
didik yang selama ini dikategorikan “normal/biasa” dan (2) peserta didik berkebutuhan
khusus, yaitu peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Peserta didik yang dikategorikan
berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra; tunarungu; tunawicara; tunagrahita;
tunadaksa; tunalaras; berkesulitan belajar; lamban belajar; autis; memiliki gangguan
motorik; menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya,
serta peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Identifikasi
dimaknai sebagai proses penyaringan (screening) untuk menentukan jenis kebutuhan
khusus peserta didik. Kegiatan identifikasi dapat dilakukan oleh guru atau professional
terkait penggunaan alat/instrumentasi standar maupun nonstandar yang dikembangkan
oleh guru atau professional terkait tersebut.

2. Asesmen
Asesmen merupakan proses pengumpulan infomrasi sebelum disusun program
pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Asesmen ini dimaksudkan untuk
memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang
disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Fungsi asesmen yaitu :
a. Fungsi screening/ penyaringan, pada tahap ini asesmen
diuntukkan untuk keperluan screening/penyaringan.
Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswayang
mungkin mempunyai problem belajar
b. Fungsi pengalihtanganan/referal, adalah sebagai alat
untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan
menjadi kasus kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial
ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkinditangani oleh
guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan
profesional lain.
c. Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI),
dengan berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan
asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun
hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan
mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi,
adaptasi sosial,
d. Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk
memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
e. Fungsi evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi
program pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Kegiatan Identifikasi dan Asesmen


a. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif harus melakukan
identifikasi dan asesmen terhadap semua peserta didiknya.
b. Identifikasi dan asesmen harus dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh
satuan pendidikan.
c. Tim identifikasi dan asesmen satuan pendidikan sebaiknya melibatkan
semua komponen sekolah dan sedapat mungkin dapat didukung oleh tenaga
profesional lainnya sesuai kondisi sekolah.
d. Komponen sekolah yang dimaksud pada butir (c) adalah kepala sekolah,
guru kelas, guru BK, dan guru khusus.
e. Tenaga profesional lainnya yang dimaksud butir (c) adalah dokter,
psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan terapis.
f. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerja sama
dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan
tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), dan masyarakat.
g. Dalam identifikasi, tim dapat menggunakan pedoman identifikasi yang
disediakan.
h. Screening dan klasifikasi dilakukan dengan menggunakan alat tes yang
terstandardisasi (standardized). Contoh: seorang peserta didik dinyatakan
autis dalam tingkatan tertentu dengan menggunakan instrumen CARS
(Childhood Autism Rating Scale). Yang berwenang melakukan screening
dan klasifikasi adalah tenaga profesional sesuai keahliannya. Guru dapat
mengalihtangankan pelaksanaan screening dan klasifikasi kepada tenaga
profesional. Guru dapat menggunakan hasil tes tersebut untuk merancang
kegiatan pembelajaran.
I. Asesmen akademik dilaksanakan oleh guru untuk menilai kemampuan
dan ketidakmampuan akademis peserta didik pada awal program. Guru
dapat menggunakan alat/media buatan sendiri.
j. Asesmen nonakademik dilakukan oleh ahlinya sesuai dengan kebutuhan
pada suatu saat guru memerlukan informasi. (mis. Gangguan gerak
dilakukan rehab medik atau fisioterapi).
k. Hasil identifikasi dan asesmen harus digunakan sebagai acuan dalam
penyusunan dan pengembangan kurikulum, pembelajaran, penyediaan
sarana dan prasarana, sumber daya manusia, penilaian, dan pembiayaan
sekolah.

B. Kurikulum
a. Jenis Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada


dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun
demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus
sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka
dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi(penyelarasan)
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang


kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala
sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus, konselor,
psikolog, dan ahli lain yang terkait.

b. Model Pengembangan Kurikulum

1. Model kurikulum reguler penuh

Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum
reguler sama seperti kawan- kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan
khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan
ketekunan belajarnya.

2. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis
penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada
kebutuhan siswa (anak berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa
berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum
reguler dan program pembelajaran individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan
khusus yang mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler sedangkan mata
pelajaran lainnya berdasarkan PPI.

3. Model kurikulum PPI


Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan individual (PPI)
yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru
pembimbing khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Model
ini diperuntukkan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar yang tidak
memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum regular. Siswa
berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan
menggunakan PPI dalam setting kelas regular, sehingga mereka bisa mengikuti proses
belajar sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhannya.

4. Model kurikulum akademik


Pada model ini, dibagi menjadi beberapa model, yakni Eskalasi,
Duplikasi, Modifikasi, Substitusi, Omisi

a) Model Eskalasi
Menaikkan standar kurikulum nasional secara vertical atau horizontal sesuai
potensi/ kebutuhan siswa dan bakat istimewa siswa. Penaikan tuntutan kurikulum
standar nasional secara fertikal berarti materi kurikulum bagi siswa cerdas istimewa
dan atau bakat istimewa tingkat kesukarannya dinaikkan. Sedangkan Penaikan
tuntutan kurikulum standar nasional secara horizontal berarti materi kurikulum
bagi siswa cerdas istimewa dan atau bakat istimewa diperluas.
Tujuan eskalasi kurikulum standar nasional adalah agar siswa yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berkembang secara optimal.
Implikasi dari eskalasi kurikulum standar nasional ini memungkinkan siswa cerdas
istimewa dan/atau bakat istimewa secara kronologis waktu belajarnya sama dengan
siswa lain, tetapi perolehan hasil belajarnya lebih luas dan lebih dalam, sehingga
dimensi sosial psikologisnya tetap dapat tumbuh dan berkembang secara natural.

b) Model Duplikasi
Duplikasi artinya meniru atau menggandakan. Duplikasi kurikulum adalah cara
pengembangan kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus dengan
menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku bagi peserta didik reguler
pada umumnya. Model duplikasi dapat diterapkan pada empat komponen utama
kurikulum, yaitu tujuan, isi, proses,dan evaluasi.
Duplikasi tujuan berarti tujuan-tujuan pembelajaran yang diberlakukan kepada
peserta didik regular juga diberlakukan kepada peserta didik berkebutuhan khusus.
Dengan kata lain, standar kompetensi lulusan (SKL), Standar Kompetensi (SK),
Kompetensi Dasar (KD), dan Indikator keberhasilan yang berlaku bagi peserta
didik regular juga berlaku bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
Duplikasi isi/materi berarti materi-materi pembelajaran yang diberlakukan kepada
peserta didik regular, juga diberlakukan secara sama kepada peserta didik
berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus memperoleh informasi,
materi, pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang sama seperti yang disajikan
kepada peserta regular.
Duplikasi proses berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani kegiatan atau
pengalaman belajar mengajar yang sama dengan peserta didik regular, mencakup
kesamaan dalam metode mengajar, lingkungan/seting belajar, waktu belajar, media
belajar, atau sumber belajar.
Duplikasi evaluasi berarti peserta didik berkebutuhan khusus menjalani proses
evaluasi/penilaian yang sama seperti yang diberlakukan kepada peserta didik
regular, mencakup kesamaan dalam soal-soal ujian, waktu evaluasi, teknik/cara
evaluasi, atau kesamaan dalam tempat/lingkungan evaluasi dilaksanakan.

c) Model Modifikasi
Modifikasi artinya merubah untuk disesuaikan. Modifikasi kurikulum bagi peserta
didik berkebutuhan khusus dikembangkan dengan cara merubah kurikulum standar
nasional yang berlaku bagi peserta didik regular untuk disesuaikan dengan
kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan demikian, peserta didik
berkebutuhan khusus menjalani kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya. Modifikasi terjadi pada empat komponen utama pembelajaran,
yaitu: tujuan, materi,proses, dan evaluasi. Modifikasi tujuan berarti tujuan
pembelajaran kurikulum standar nasional dirubah untuk disesuaikan dengan
kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Konsekuensinya peserta didik
berkebutuhan khususakan memiliki rumusan kompetensi sendiri yang berbeda
dengan peserta didik regular, baik yang berkaitan dengan SKL, SK, KD, maupun
indikator.
Modifikasi isi materi berarti merubah materi pembelajaran peserta didik regular
untuk disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan
demikian peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan sajian materi sesuai
dengan kemampuannya. Modifikasi materi meliputi keluasan, kedalaman, dan/atau
tingkat kesulitan. Artinya peserta didik berkebutuhan khusus mendapatkan materi
pembelajaran yang tingkat kedalaman, keluasan, dan kesulitannya berbeda (lebih
rendah) dari materi yang diberikan kepada peserta didik regular .
Modifikasi proses berarti kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan
khusus berbeda dengan kegiatan pembelajaran peserta didik reguler. Metode atau
strategi pembelajaran yang diterapkan pada peserta didik regular tidak diterapkan
kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Jadi, mereka memperoleh strategi
pembelajaran khusus yang sesuai dengan kemampuannya. Modifikasi proses dalam
kegiatan pembelajaran,meliputi penggunaan metode mengajar, lingkungan/seting
belajar, waktu, media, sumber belajar, dll.
Modifikasi evaluasi berarti merubah sistem evaluasi/penilaian untuk disesuaikan
dengan kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain peserta didik
berkebutuhan khusus menjalani sistem evaluasi/penilaian yang berbeda dengan
peserta didik regular lainnya. Perubahan bisa berkaitan dengan perubahan dalam
soal-soal ujian, perubahan dalam waktu evaluasi, teknik/cara evaluasi atau tempat
evaluasi dll. Perubahan kriteria kelulusan, sistem kenaikan kelas, bentuk raport,
ijazah termasuk bagian-bagian modifikasi evaluasi.
d) Model Substitusi
Substitusi berarti mengganti. Substitusi kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan
khusus berarti mengganti isi kurikulum standar nasional dengan materi yang lain.
Penggantian dilakukan karena isi kurikulum nasional tidak memungkinkan
diberlakukan kepada anak berkebutuhan khusus , tetapi masih bisa diganti dengan
hal lain yang kurang lebih sepadan ( memiliki nilai sama ). Substitusi bisa terjadi
pada tujuan pembelajaran, materi, proses, atau evaluasi.
e) Model Omisi
Omisi artinya menghilangkan. Model kurikulum omisi berarti menghilangkan
sebagian/keseluruhan isi kurikulum standar nasional karena tidak mungkin
diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus. Dengan kata lain omisi
berarti isi sebagian/keseluruhan kurikulum standar nasional tidak diberikan kepada
peserta didik berkebutuhan khusus karena terlalu sulit/tidak sesuai. Penerapan
model-model kurikulum akomodatif, hendaknya mempertimbangkan keberagaman
peserta didik berkebutuhan khusus berdasarkan kemampuan intelektualnya (di atas
rerata, rerata, di bawah rerata). Contoh peserta didik diatas rerata mengalami
hambatan belajar disebabkan kelainan (ATN, ATR, ATD, Autis, ADHD, gangguan
perilaku dan sosial, dsb.) menerapkan model Duplikasi/Modifikasi +
pendampingan GPK + pengayaan. Peserta didik yang memiliki kemampuan rerata
dan mengalami kesulitan belajar menerapkan model Duplikasi/Modifikasi +
Remedi/Ruang Sumber. Peserta didik berkebutuhan khusus di bawah rerata (ATG)
menerapkan model Omisi + Kelas Khusus.

5. Model Kurikulum Kekhususan


Layanan kekhususan adalah interfensi khusus berdasarkan kelainan atau kebutuhan khusus
peserta didik untuk mengatasi kelainan yang disandangnya atau mengoptimalkan potensi
khusus yang perlu dikembangkan. Bentuk layanan kekhususan diantaranya adalah sebagai
berikut.
a. Baca tulis Braille
b. Orientasi Mobilitas (OM)
c. Bina Komunikasi
d. Bina Persepsi Bunyi Irama
e. Bina Diri
f. Okupasi
g. Bina gerak
h. Bina pribadi dan social
i. Modifikasi perilaku
C. Tenaga Pendidik

Pengertian

Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi pesertadidik
pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi. Tenaga
pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan), dan guru pembimbing khusus (GPK).

Tugas

Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut:

1. Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak- anak


merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
2. Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak
untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya.
3. Menyusun program pembelajaran individual (PPI) bersama-
sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).
4. Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan
penilaian untuk semua mata pelajaran (kecuali Pendidikan
Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan) yang menjadi
tanggung jawabnya.
5. Memberikan program remedi pengajaran (remedial teaching),
pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
6. Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang
tugasnya.

Tugas guru mata pelajaran antara lain sebagai berikut:

1. Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa


nyaman belajar di kelas/sekolah.

2. Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anakuntuk


mengetahui kemampuan dan kebutuhannya

3. Menyusun program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan


guru pembimbing khusus (GPK)

4. Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian


kegiatan belajar mengajar untukmata pelajaran yang menjadi tanggung
jawabnya.

5. Memberikan program perbaikan (remedial teaching),


pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.

Tugas Guru Pembimbing Khusus antara lain sebagai berikut:

1. Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru


kelas dan guru mata pelajaran

2. Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dan orang tua
peserta didik.

3. Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada kegiatan


pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru
bidang studi.

4. Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkebutuhan


khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran di kelas umum, berupa remedi ataupun pengayaan.

5. Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat catatan


khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama mengikuti
kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.

6. Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau


guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan
pendidikan kepada anak-anakberkebutuhan khusus.

7. Membangun jejaring kerja antar lembaga (antar jenjang pendidikan, layanan


kesehatan, dunia usaha, dll.) Membangun jejaring kerja antar lembaga (antar
jenjang pendidikan, layanan kesehatan, dunia usaha, dll.)

8. Menyusun instrumen asesmen akademik dan nonakademik bersama guru kelas


dan guru mata pelajaran.

9. Menyusun program layanan kompesatoris bagi peserta didik berkebutuhan


khusus.

10. Melaksanakan pembelajaran khusus di ruang sumber bagi peserta didik yang
membutuhkan.

11. Melaksanakan layanan kompesatoris sesuai dengan kebutuhan khusus peserta


didik.

12. Melaksanakan case conference (bedah kasus) bersama tenaga ahli, kepala
sekolah,guru,orang tua dan pihak-pihak terkait.

Pengadaan dan pembinaan

Beberapa hal tentang pengadaan dan peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan yang perlu diperhatikan sesuai Permendiknas No. 70 th 2009
adalah sebagai berikut.
1) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit satu orang guru
pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif.
2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit satu orang guru
pembimbing khusus.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan
khusus bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif.
4) Pemerintah dan Provinsi membantu penyediakan tenaga guru pembimbing khusus
bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai
dengan kewenangannya.

D. Kegiatan Pembelajaran

Model Kelas Inklusi


a. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain(normal)
sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum
yang sama.
b. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain(normal)
di kelas reguler dalam kelompok khusus
c. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain(normal)
di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari
kelas reguler ke ruangan sumber untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
d. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain(normal)
di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-
waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk
belajar dengan guru pembimbing khusus.
e. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khususpada
sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
f. Kelas khusus penuh
Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khususpada
sekolah reguler.
Perencanaan Pembelajaran
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan
pembelajaran pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
1. Merencanakan pengelolaan kelas
2. Merencanakan pengorganisasian bahan
3. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar
4. Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar
5. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar
6. Merencanakan penilaian

Pelaksanaan Pembelajaran
1. Melaksanakan apersepsi.
2. Menyajikan materi/bahan pelajaran.
3. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang
sesuai dengan kemampuan awal dankarakteristik siswa, serta sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
4. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif.
5. Mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam
kehidupan.
6. Membina hubungan antar pribadi, antara lain:
(1) Bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa;
(2)Menampilkan kegairahan dan kesungguhan;
(3) Mengelolainteraksi antar pribadi.

Prinsip-Prinsip Pembelajaran

1. Prinsip motivasi: guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar
tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan
belajar-mengajar.

2. Prinsip latar/ konteks: guru perlu mengenal siswa secara mendalam,


menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan
sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi
pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.

3. Prinsip keterarahan: setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus


merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta
mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat

4. Prinsip hubungan sosial: dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu


mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan
lingkungan, serta interaksi banyak arah.

5. Prinsip belajar sambil bekerja: dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak
memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktik atau percobaan, atau
menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.

6. Prinsip individualisasi: guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik


setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun
ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun
kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan
pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang
sesuai.

7. Prinsip menemukan: guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang


mampu memancing anak untuk terlibat seacara aktif, baik fisik, mental, sosial,
dan/atau emosional.

8. Prinsip pemecahan masalah: guru hendaknya sering mengajukan berbagai


persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk
merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan
kemampuannya.

Penilaian dan Sertifikasi


Penilaian

Penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada model


pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:

a. Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka penilaiannya


menggunakan sistem penilaian berlaku pada sekolah regular.

b. Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi, maka


penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang telah dimodifikasi
sekolah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.

c. Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat individu dan


didasarkan pada kemampuan dasar (base line).

Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajar

Sistem Kenaikan kelas


a. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler penuh
sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang berlaku pada
sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.

b. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang dimodifikasi,


maka sistem kenaikan kelasnya dapat menggunakan alternatif berikut: (1)
menggunakan model kenaikan kelas yang didasarkan pada usia kronologis; (2)
menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.

c. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem kenaikannya


didasarkan pada usia kronologis.

Sistem Laporan Hasil Belajar

a. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka model laporan
hasil belajarnya (rapor) menggunakan model rapor reguler yang sedang berlaku.

b. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang dimodifikasi, model


rapor yang dipergunakan adalah rapor reguler yang dilengkapi dengan deskripsi
(narasi) yang menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.

c. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka menggunakan model rapor
kuantitatif yang dilengkapi dengandeskripsi (narasi). Penentuan nilai kuantitatif
didasarkan padakemampuan dasar (base line anak).

Sertifikasi

Sertifikasi adalah suatu bentuk penghargaan yang berupasurat keterangan yang diberikan
kepada siswa yang telah berhasil mencapai prestasi dalam bidang akademik maupun non
akademik. Sertifikasi bidang akademik adalah suatu bentuk penghargaan yangdiberikan
kepada siswa yang telah berhasil mencapai kompetensi pembelajaran pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan standar penilaian yang berlaku. Sedangkan sertifikasi
non akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepadasiswa yang telah
mampu mencapai prestasi tertentu, seperti bidang, seni, budaya, olah raga, mekanik,
otomotif, dan jenis keterampilan lainnya.

E. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan inklusi adalah perangkat keras maupun perangkat
lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan
inklusi pada satuan pendidikan tertentu.

Pada hakikatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu
itu dapat dipergunkan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, tetapi untk
mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi aksebilitas bagi kelancaan
mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

F. Manajemen Sekolah Inklusif

Pelaksanaan manajeman sekolah inklusif pada prinsipnya sama dengan manajemen


sekolah pada umumnya, meliputi hal-hal berikut.

1. Manajemen Kesiswaan Manajemen kesiswaan, terdiri atas


1) penerimaan peserta didik baru, di dalamnya meliputi identifikasi, asesmen, dan
penempatan peserta didik,
2) program bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan,
3) kehadiran peserta didik.

2. Manajemen Kurikulum Implementasi manajemen kurikulum pada sekolah inklusif


secara khusus meliputi modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan kemampuan awal
dan karakteristik peserta didik, menjabarkan kalender pendidikan, menyusun jadwal
pelajaran, mengatur pelaksanaan program pengajaran, mengatur kegiatan kurikuler dan
ekstrakurikuler, mengatur pelaksanaan penilaian, kenaikan kelas, membuat laporan
kemajuan belajar, usaha perbaikan, dan pengayaan.

3. Manajemen Tenaga Kependidikan (Personil) Manajemen tenaga kependidikan


dimaksudkan untuk pengelolaan kinerja sumber daya manusia kependidikan dalam
penyelenggaraan sekolah inklusif. Tenaga kependidikan adalah personil yang bertugas
dalam menyelenggarakan KBM, melatih, meneliti, intervensi, dan memberikan
pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.

4. Manajemen Sarana Prasarana Manajemen sarana prasarana dalam sekolah inklusif


bertugas antara lain: merencanakan pengadaan, pengorganisasian, pemeliharaan,
mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, evaluasi kebutuhan agar memberikan
kontribusi hasil yang optimal dalam pembelajaran inklusif.

5. Manajemen Keuangan Di Sekolah inklusif dalam pengelolaan keuangan di samping


alokasi dana umumnya, perlu dialokasikan dana khusus untuk keperluan:
identifikasi/asesmen, modifikasi kurikulum, media, metode, insentif bagi tenaga yang
terlibat, pengadaan sarana dan prasarana, pemberdayaan peran serta masyarakat, dan
pelaksanaan KBM.

6. Manajemen lingkungan Pendidikan pada hakekatnya adalah tanggungjawab bersama


antara orang tua, masyarakat dan pemerintah.Keterlibatan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif, terutama pada aspek perencanaan, pelaksanaan,
tindak lanjut, pengawasan, evaluasi, dan pendanaan perlu dioptimalkan dengan
merumuskan suatu mekanisme manajerial yang dapat mengoptimalkan peran serta
masyarakat.

G. Pendanaan

Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah inklusif menjadi tanggung jawab


bersama antara Pemerintah, Masyarakat dan Orang tua.

H. Penghargaan dan sanksi

1. Penghargaan Pemerintah memberikan penghargaan kepada tenaga pendidik dan tenaga


kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, dan/atau
pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen tinggi dan berprestasi dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusif berupa inclusive award.

2. Sanksi Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti melanggar


ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa, diberi sanksi sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan. Berat ringannya sanksi disesuaikan dengan tingkat pelanggaran
yang dilakukan.

2. Sistem Dukungan Pendidikan Inklusif

Dalam mengimplementasikan PI, Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI)


memerlukan adanya sistem dukungan dalam upaya mempercepat pemenuhan akses dan
mutu pendidikan untuk semua (Educational for All). Sistem dukungan tersebut diberikan
secara eksternal dan internal. Berikut adalah beberapa komponen sistem dukungan yang
dapat dioptimalkan bagi SPPI:

a. Regulasi PI di Pemerintah Daerah

Sistem dukungan yang pertama adalah regulasi di pemerintahan. Regulasi menjadi dasar
penting dalam merumuskan kebijakan. Beberapa regulasi yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif, diantaranya:

1) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


2) UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
3) PP No 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik
Penyandang Disabilitas
4) Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta
Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat
Istimewa
5) Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 719/P/2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus
6) Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota atau Bupati terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di daerah

b. Unit Layanan Disabilitas (ULD)


Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Unit
Layanan Disabilitas (ULD) adalah bagian dari satu institusi atau lembaga yang berfungsi
sebagai penyedia layanan dan fasilitas untuk Penyandang Disabilitas. Fungsi ULD
menurut pasal 42 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mengenai fungsi ULD untuk
mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah, antara lain
:
1) Meningkatkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah reguler
dalam menangani peserta didik Penyandang Disabilitas;
2) Menyediakan pendampingan kepada peserta didik Penyandang Disabilitas untuk
mendukung kelancaran proses pembelajaran
3) Mengembangkan program kompensatorik
4) Menyediakan media pembelajaran dan alat bantu yang diperlukan peserta didik
Penyandang Disabilitas
5) Melakukan deteksi dini dan intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta
didik Penyandang Disabilitas
6) Menyediakan data dan informasi tentang disabilitas
7) Menyediakan layanan konsultasi; dan
8) Mengembangkan kerja sama dengan pihak atau lembaga lain dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik Penyandang Disabilitas

c. Pusat Sumber/ Resource Center RC


RC adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk memberikan dukungan kepada semua
sekolah dimana sekolah mengalami kesulitan dalam memberikan layanan pendidikan yang
terbaik bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolahnya. RC merupakan lembaga
yang berdiri sendiri yang memberi dukungan terkait dengan permasalah pembelajaran
yang dibuat guru dan terkait permasalahan anak dan untuk mendukung sekolah-sekolah
yang mengembangkan pendidikan inklusif, maka selayaknya RC dihuni oleh beberapa
tenaga ahli agar fungsinya menjadi maksimal seperti guru yang berpengalaman,
ortopedagog/guru pendidikan khusus, terapis, psikolog dan dokter.
RC juga dapat diperankan oleh Sekolah Khusus (SKh) atau lebih dikenal dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB). Secara periodik dan terprogram, guru-guru di SKh berkolaborasi,
mengunjungi SPPI guna memberi dukungan seperti melakukan identifikasi, asesmen,
bersama-sama guru membuat Program Pembelajaran Individual (PPI), membuat
rancangan pembelajaran dan lain sebagainya.
RC berfungsi sebagai pusat informasi dan inovasi di bidang pendidikan khusus/pendidikan
inklusif, sebagai koordinator dalam pelayanan pendidikan inklusif, berfungsi memberikan
dukungan kapada sekolah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, dan berfungsi
untuk mengembangkan inisitiaf dan keaktifan dalam melaksanakan pendidikan inklusif.

d. Non-Govermen Organization (NGO)


NGO merupakan sebuah organisasi yang sistem keanggotaannya tidak melibatkan negara,
melainkan melibatkan minimal dua kelompok tertentu dari negara yang berbeda, tetapi
memiliki keinginan dan tujuan tertentu yang bersifat sukarela (Clive, 2001). Saat ini
banyak NGO baik internasional dan nasional yang berfokus kepada isu-isu disabilitas,
diantaranya:

Beberapa NGO di atas memberikan dukungan bagi pengembangan pendidikan layanan


pada perserta didik berkebutuhan khusus diantaranya berupa layanan tes, asesmen,
peningkatan kompetensi guru melalui workshop/ seminar terkait dengan pendidikan
inklusif, risetserta berbagai jenis dukungan lainnya. Sekolah sangat mungkin menjalin
kemitraan dengan NGO guna mendukung penyelenggaraan PI. Namun demikian, jika di
daerah tidak terdapat NGO internasional dan nasional, maka sekolah dapat menjalin
kemitraan dengan organisasi sosial lokal yang relevan dengan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus/disabilitas.

e. Guru Pembimbing Khusus


Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang memiliki kompetensi kualifikasi S-1
Pendidikan Khusus/Pendidikan Luar Biasa. Kualifikasi pendidikan khusus sesuai dengan
tuntutan profesi yang berfungsi sebagai pendukung guru reguler dalam memberikan
pelayanan pendidikan khusus dan/atau intervensi kompensatoris, sesuai kebutuhan peserta
didik berkebutuhan khusus di SPPI. Tugas pokok guru pembimbing khusus antara lain
sebagai berikut:
1) Membangun sistem koordinasi dan kolaborasi antar dan inter tenaga pendidikan
dan kependidikan, serta masyarakat.
2) Membangun jejaring kerja antar lembaga (antar jenjang pendidikan, layanan
kesehatan, dunia usaha, dll.) Membangun jejaring kerja antar lembaga (antar
jenjang pendidikan, layanan kesehatan, dunia usaha, dll.)
3) Menyusun instrumen asesmen akademik dan nonakademik bersama guru kelas dan
guru mata pelajaran.
4) Menyusun program pembelajaran individual bagi peserta didik berkebutuhan
khusus bersama guru kelas dan guru mata pelajaran.
5) Menyusun program layanan kompensatoris bagi peserta didik berkebutuhan
khusus.
6) Melaksanakan pendampingan dan/atau pembelajaran akademik bagi peserta didik
berkebutuhan khusus bersama sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran.
7) Memberikan bantuan layanan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang
mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum,
berupa remidi ataupun pengayaan.
8) Melaksanakan pembelajaran khusus di ruang sumber bagi -peserta didik yang
membutuhkan.
9) Melaksanakan layanan kompesatoris sesuai dengan kebutuhan khusus peserta
didik.
10) Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus
kepada peserta didik berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan
pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.
11) Melaksanakan case conference (bedah kasus) bersama tenaga ahli, kepala sekolah,
guru, orang tua dan pihak-pihak terkait.

Jumlah lulusan Pendidikan Khusus masih terbatas, sehingga guru pembimbing khusus
diperankan oleh guru kelas, guru mata pelajaran, atau guru bimbingan konseling. Guru
pembimbing khusus ini sebagai tugas tambahan, 6 jp. Guru kelas ,guru mata pelajaran,
atau guru bimbingan konseling diberikan penguatan atau peningkatan komptensinya
terkait dengan PI melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan baik dari Pemerintah Pusat,
Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan kota, Perguruan Tinggi, Pusat Pengeembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan
Luar Biasa (P4TK TKPLB).

f. Dukungan Komite Sekolah


Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik,
komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Tugas Komite Sekolah
adalah:
1) Memberikan pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan
pendidikan
2) Menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik
perorangan/organisasi/dunia usaha/ dunia industri maupun pemangku kepentingan
lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif
3) Mengawasi pelayanan pendidikan di sekolah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan
4) Menindaklanjuti keluhan, saran, kritik, dan aspirasi dari peserta didik,
orangtua/wali, dan masyarakat serta hasil pengamatan Komite Sekolah atas kinerja
sekolah
Memperhatikan tugas komite di atas menunjukkan bahwa komite sekolah memiliki
kedudukan yang strategis dalam memberikan dukungan bagi peserta didik berkeutuhan
khusus/ disabilitas terkait kebijakan, dukungan pendanaan, layanan pendidikan,
pengawasan dan melakukan tindaklanjut atas keluhan, saran, kritik, dan aspirasi dari
peserta didik, orangtua/ wali, dan masyarakat bagi layanan pendidikan bagi peserta didik
berkebutuhan khusus di SPPI.

g. Keterlibatan Keluarga
Orang tua memiliki peran penting dalam mensukseskan pendidikan bagi buah hatinya,
apalagi buah hati dengan kebutuhan khusus. Orang tua sebagai orang yang sejak awal
hidup bersama dengan anaknya, mereka memahami betul tentang bagaimana pertumbuhan
dan perkembangan anaknya. Banyak bukti bahwa keterlibatan orang tua dalam kegiatan
belajar mempengaruhi keberhasilan bagi PDBK.

3. Dukungan dan Pemberdayaan Masyarakat


dalam Peyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif
– Pasal 11 Ayat 5 menyebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif dapat bekerja sama untuk membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus,
perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumahsakit dan pusat kesehatan
masyarakat, klinik terapi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan
masyarakat.
Peran masyarakat sangat penting mengingat keberhasilan sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif ditentukan juga oleh keterlibatan dan tingkat partisipasi dari mereka.
Jalinan kerja sama antara sekolah penyelenggara dengan pihak lain yang terkait harus
dikembangkan. Hal ini sangat penting untuk saling berbagi pengalaman, mengembangkan
keterampilan, saling memberikan informasi yang berguna bagi keberhasilan siswa
berkebutuhan khusus. Masyarakat dapat mengacu pada individu atau kelompok
masyarakat seperti masyarakat pemerhati pendidikan, masyarakat dunia usaha, paguyuban
pengusaha dll. Kelompok masyarakat dapat ikut mengembangkan pendidikan inklusif.
Sebagai contoh, paguyuban pengusaha misalnya, dapat berperan serta secara aktif
membantu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, khususnya dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Oleh karena itu, paguyuban pengusaha hendaknya
selalu berkoordinasi aktif dan bersinergi secara harmonis dalam membantu meningkatkan
mutu dan kualitas pendidik.
Banyak hal yang dapat dilakukan masyarakat dalam berkontribusi bagi keberhasilan
pelaksanaan pendidikan inklusi, antara lain:
1) Menjadi mitra pemerintah dalam mendukung terlaksananya pendidikan inklusi
2) Memperluas akses pendidikan dan pekerjaan bagi peserta didik berkebutuhan
khusus, seperti membuka peluang kerja dan usaha dan melatih ketrampilan mereka
3) Membangun dan mengembangkan kesadaran akan hak anak untuk memperoleh
pendidikan
4) Melakukan kontrol sosial akan kebijakan pemerintah tentang pendidikan inklusif
5) Membantu mengidentifikasi anak yang berkebutuhan khusus yang belum
bersekolah di lingkungannya
6) Sebagai tempat / wadah belajar bagi peserta didik
7) Merupakan sumber informasi, pengetahuan, dan pengalaman praktis
8) Mendukung sekolah dalam mengembangkan lingkungan yang inklusif dan ramah
terhadap pembelajaran
9) Melakukan awareness campaign pada masyarakat yang belum mengetahui dan
memahami pentingnya pendidikan inklusi.
10) Mendukung sekolah dalam mengembangkan lingkungan yang inklusif dan ramah
terhadap pembelajaran
11) Melakukan awareness campaign pada masyarakat yang belum mengetahui dan
memahami pentingnya pendidikan inklusi.
Bentuk nyata dari keterlibatan masyarakat dalam proses pembelajaran peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut.
1) Memberikan sumbangan finansial dan nonfinansial dalam perbaikan sarana dan
prasarana sekolah.
2) Membantu sekolah menjadi pusat layanan pendidikan inklusif yang ramah, aman
dan nyaman.
3) Mendatangkan seorang dengan profesi tertentu untuk bercerita mengenai pekerjaan
yang dilakukannya.
4) Memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan studi lapangan dalam rangka
menyelesaikan tugas sekolahnya.
Ada banyak cara yang efektif untuk menjalin hubungan antara sekolah dengan masyarakat.
Hubungan yang efektif dimaksudkan untuk membantu pengembangan pendidikan peserta
didik berkebutuhan khusus dalam pelaksanaan pendidikan inklusif. Hubungan efektif
sekolah dan masyarakat dapat dilakukan dengan:
1) Mengadakan pertemuan dengan kelompok masyarakat untuk memperkenalkan
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Pada pertemuan tersebut, sekolah
dapat menjelaskan makna keragaman dalam kelas dan pelajaran yang ramah
2) Menjadwalkan diskusi informal secara berkala, misalnya satu atau dua kali dalam
setahun dengan masyarakat. Diskusi dilakukan untuk menggali potensi belajar
peserta didik berkebutuhan khusus dengan menunjukkan contoh hasil karya anak,
menekankan bakat dan prestasi yang dimiliki anak. Diskusi juga dapat membahas
cara agar anak berkebutuhan khusus dapat menjadi bagian dari masyarakat dan
dapat mengatasi hambatannya agar anak dapat belajar lebih baik
3) Mengirimkan hasil karya anak kepada masyarakat agar mereka mengetahui
perkembangan potensi anak berkebutuhan khusus dan memberi pendapat tentang
potensi ABK
4) Membiasakan anak membahas apa yang telah dipelajari di sekolah dengan
memanfaatkan informasi pelajaran yang diperolehnya dari sekolah. juga
mengkomunikasikan dengan orang tua bagaimana dan apa yang telah dipelajari di
kelas mengaitkan dengan kegiatan dan perannya di rumah. dengan kata lain,
tunjukkan bagaimana pengetahuan yang diperoleh di kelas bisa digunakan di rumah
dan di Masyarakat
5) Melakukan kunjungan ke berbagai sumber belajar di masyarakat atau meminta
anak mewawancarai tokoh sukses tentang keberhasilan mereka dan dalam
kehidupan bermasyarakat. Kemudian, anak dapat menuliskan cerita atau karangan
tentang “kesuksesan orang tertentu”; dan
6) Mengikutsertakan dan mengundang ahli-ahli di masyarakat untuk berbagi
pengetahuan dan pengalaman mereka di kelas.
Dalam konsep pendidikan inklusif, diperlukan kerja sama antar pemerintah, sekolah, orang
tua, dan masyarakat yang dimulai dengan komunikasi. Komunikasi interaktif memerlukan
inisiatif dari kedua belah pihak. Komunikasi interaktif menempatkan semua pihak sama
pentingnya. Pemerintah, sekolah, masyarakat dan orang tua dapat memulai dan diharapkan
mampu menyampaikan pesan yang berhubungan dengan kebutuhan belajar anak.
Komunikasi yang interaktif perlu dilanjutkan dengan tindakan partisipatif, berupa
hubungan kerja sama dengan masyarakat dalam mengembangkan sekolah,
Sumber Referensi :

Arriani Farah, Agustiawati, Rizki Alifia, Herawati Fera, Tulalesy Christina, Wibowo
Slamet, Widiyanti Ranti . Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Pnelitian dan
Pengambangan dan Perbukuan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan,
Teknologi (2021). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif. Jakarta

Direktorat PPLK. (2011). Pedoman Umum Penyeenggaraan Pendidikan Inklusif (Sesuai


Permendiknas No 70 Tahun 2009). Jakarta

Yuwono Imam, Utomo. (2021). Pendidikan Inklusi. Sleman : CV Budi Utama

Anda mungkin juga menyukai