Anda di halaman 1dari 2

Acara 5

Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu
pagi hari pukul 07.00 dan sore hari pukul 15.00 menggunakan metode pemerahan mesin portable.
Menurut Anggiati et al. (2015) yang menyatakan bahwa pemerahan yang baik dilakukan 2-3 kali
sehari. Apabila pemerahan lebih dari dua kali sehari biasanya dilakukan terhadap sapi-sapi yang
produksinya tinggi. Menurut Saputra et al. (2019) yang menyatakan bahwa pemerahan yang
dilakukan lebih baik 3-4 kali sehari dapat meningkatkan produksi susu daripada 2 kali sehari.
Semakin sering ternak di perah, maka ambing semakin cepat dalam keadaan kosong, hal tersebut
akan semakin mempercepat proses sinthesa susu. Produksi susu di FPP masih rendah yaitu sekitar 2-
5 liter susu. Menurut Prabowo et al. (2021) yang menyatakan bahwa rataan produksi susu sapi perah
PFH sebesar 7-15kg/ekor/hari. Faktor yang mempengaruhi produksi susu adalah genetik,manajemen
pemeliharaan kondisi fisiologi ternak dan fisiologi lingkungan. Tataklaksana pemerahan merupakan
bagian dari manajemen pemerahan yang nantinya akan menunjang faktor keberhasilan dari suatu
peternakan. Pada pemerahan yang ada di FPP terdapat tiga tahap yaitu sebelum pemerahan, saat
pemerahan dan setelah pemerahan, hal ini menunjukkan bahwa manajemen pemerahan sudah
ideal. Menurut Hamiah et al. (2021) yang menyatakan bahwa manajemen pemerahan meliputi pra
pemerahan, proses pemerahan, dan pasca pemerahan secara baik dan benar. sebelum pemerahan
dilakukan sanitasi kandang dan ternak, pembersihan palungdan pemberian pakan konsentrat. Proses
pemerahan dilakukan secara mesin diawali denganmemberikan rangsangan terlebih dahulu seperti
mengelap ambing menggunakan air hangat dan mengeluarkan 3 pancaran susu. Menurut rudy
(2021) yang menyatakan bahwa membasuh dengan air hangat untuk meminimalisir cemaran
mikroba dan dilakukan pemijatan untuk merangsang hormone oksitosin serta pancaran susu untuk
pelumas puting. Pemerahan dengan mesin yaitu dengan memasukkan puting kedalam mesin vacum
dan setelah pemerahan menggunakan mesin perlu dilakukan finishing yaitu untuk menghabiskan
susu yang ada pada ambing. Pasca pemerahan dilakukan teat dipping dengan iodin untuk
menghindari mastitis. Menurut Akimi et al. (2019) yang menyatakan bahwa teat dipping berguna
untuk mengendalikan penyakit radang ambing/mastitis, setelah selesai proses pemerahan. Pada
pasca pemerahan ini dilakukan yaitu post dipping atau pencelupan puting kedalam cairan antiseptik
paska pemerahan agar puting terhindar dari infeksi bakteri dan juga pasca pemerahan melakukan
pembersihan terhadap alat yang digunakan sampai bersih. Menurut Witaningrum et al. (2020) yang
menyatakan bahwa post dipping yaitu pencelupan ambing pasca memerah ke dalam larutan
antiseptik serta memberikan antibiotik seperti penicillin, cephalosporin, sulfonamide, rifampin,
clindamycin pada ternak yang terinfeksi kasus mastitis. Penanganan susu yang dilakukan yaitu
dengan membungkus susu pada plastic dan memasukkannya pada kulkas, melakukan desinfeksi
puting dapat dilakukan sebelum dan setelah pemerahan untuk mastikan puting terhindar dari infeksi
bakteri, melakukan pemeliharaan kebersihan dan sterilisasi alat pemerahan berguna untuk menjaga
hiegienitas proses pemerahan juga untuk memperoleh susu yang berkualitas alat perah. Tiap
seminggu sekali dilakukan pengujian kulitas susu berupa uji reductase, uji lemak, uji menggunakan
alat lactoscan, uji berat jenis dan uji alcohol. Adanya uji kulitas susu agar menjaga kualitas susu.
Menurut Anindita dan Soyi (2017) yang menyatakan bahwa pengujian susu berguna untuk
mengetahui cemaran susu terhadap mikroba dan mengindari pemalsuan susu serta menjaga susu
tetap steril. Pengolahan susu di fpp belum ada. Untuk susu setalah didapatkan dijual ke masyarakat
dan warga kampus dengan harga jual 7000/ liter.
Akimi, Iqlimah A., Supriyanto. 2019. PERILAKU PETERNAK TERHADAP PENCEGAHAN MASTITIS
DENGAN PENCELUPAN PUTTING (TEAT DIPPING). J. Pengembangan Penyuluhan Pertanian. 16 (30):
38 – 46.

Anggiati, G.T., Sudjatmogo dan T.H. Suprayogi. 2015. Efisiensi dan persistensi produksi susu pada
sapi Friesian Holstein akibat imbangan hijauan dankonsentrat berbeda. J. Animal Agriculture. 4 (2):
234–238.

Prabowo T. A., Indarjulianto S., Pertiwiningrum A., Sugiyanto C., Priyanto L. 2021. Performen
Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Perah di Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan Provinsi Jawa
Timur. J. Peternakan Sriwijaya. 10 (1): 29-36.

Hamiah N., Utami N. P., Bastoni, Yuliananda D. 2021. MANAGEMEN PEMERAHAN SAPI PERAH DI
BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL HIJAUAN PAKAN TERNAK BATURRADEN. J. Kandang. 13
(2) : 29 -42.

Hartanto Rudy., Dian Wahyu Harjanti., Edi Prayitno., Vita Restitrisnani., Ari Prima. 2021.
MANAJEMEN TERNAK PERAH (PEMERAHAN DAN PENANGANAN SUSU). Semarang. UNDIP Press.

Anindita N. S. dan Soyi D. S. 2017. Studi kasus: Pengawasan Kualitas Pangan Hewani melalui
Pengujian Kualitas Susu Sapi yang Beredar di Kota Yogyakarta. J. Peternakan Indonesia. 19 (2): 96-
105.

Saputra P. E. H., Kentjonowaty I., dan Susilowati S. 2019. Pengaruh perbedaan jenis. Lantai .kandang
sapi perah terha.dap jumlah b.akteri susu dan ka.sus mastitis. J. l Rekasatwa Peternakan. 2 (1): 139-
143.

Anda mungkin juga menyukai