Anda di halaman 1dari 6

LP TETANUS NEONATURUM

1. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit akibat infeksi bakteri yang menyebabkan otot menjadi kaku
dan tegang. Tetanus merupakan kondisi gawat darurat, yang jika tidak segera diobati dapat
menyebar ke seluruh tubuh dan membahayakan jiwa. (World Health Organization, 2018).
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang menyerang bayi baru lahir. Bayi
baru lahir berisiko tinggi terkena tetanus apabila ia dilahirkan dengan bantuan peralatan
persalinan yang tidak steril. (Rhine Smith, 2018).

2. ETIOLOGI
Menurut WHO (2019), Tetanus terjadi ketika bakteri masuk ke dalam tubuh melalui
luka terbuka di kulit. Setelah di dalam tubuh, bakteri tersebut kemudian mengeluarkan racun
untuk menyerang sistem saraf di tubuh manusia. Penyebab utama tetanus adalah infeksi
bakteri Clostridium tetani, yaitu bakteri yang dapat menghasilkan racun yang dapat
menyerang otak dan sistem saraf pusat. Bakteri ini biasa ditemukan di tanah, debu, dan
kotoran hewan. Bakteri C. tetani bisa menginfeksi seseorang, termasuk bayi, melalui luka
goresan, sobekan, atau luka tusukan yang disebabkan oleh benda-benda yang terkontaminasi.
Pada bayi yang baru lahir, tetanus neonatorum terjadi akibat bakteri ini masuk ke
dalam tubuh bayi melalui praktik persalinan yang tidak higienis, seperti memotong tali pusar
dengan alat-alat yang tidak steril. Risiko bayi menderita tetanus neonatorum juga dapat
meningkat karena ibunya tidak terlindungi oleh vaksin tetanus toxoid (TT) selama masa
kehamilan. Risiko ini meningkat bukan hanya pada bayi, tapi juga pada sang ibu. (WHO,
2019)
Beberapa faktor risiko lain pada tetanus neonatorum, di antaranya:
 Proses persalinan di rumah dengan alat yang tidak steril.
 Adanya paparan bahan yang berpotensi menularkan bakteri C. tetani pada lokasi atau
alat yang digunakan untuk persalinan maupun untuk merawat tali pusat, seperti tanah
atau lumpur.
 Riwayat tetanus neonatorum pada anak sebelumnya.

3. TANDA DAN GEJALA


Menurut Rhine Smith (2018), Gejala khas yang muncul akibat tetanus adalah tegang
dan kaku pada otot rahang. Keluhan ini akan muncul dalam 3–21 hari setelah bakteri masuk
ke dalam tubuh. Gejala lain yang timbul adalah tegang pada otot sekitar bibir, kaku pada otot
leher dan otot perut, kesulitan menelan, serta sesak napas.
Beberapa gejala yang ditimbulkan jika bayi terinfeksi tetanus neonatorum antara lain:
 Rahang dan otot wajah bayi mengencang pada hari ke 2–3 pasca kelahiran
 Mulut bayi terasa kaku seakan terkunci dan bayi tidak bisa menyusui
 Spasme atau kaku otot tubuh menyeluruh yang menyebabkan tubuh bayi menegang
atau tampak melengkung ke belakang
 Kejang yang dipicu oleh suara, cahaya, atau sentuhan
Jika tidak diobati sesegera mungkin, kondisi ini dapat membuat bayi tidak dapat
bernapas. Sebagian besar kematian bayi akibat tetanus neonatorum terjadi antara hari ke 3–28
setelah kelahiran. Walaupun sekarang ini jumlah kasus tetanus neonatorum telah menurun,
namun kasus ini tetap menjadi perhatian dokter, perawat, dan bidan dalam menangani bayi
yang baru lahir.

4. PATHWAY

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Sunita (2021), Diagnosis tetanus neonatorum atau TN umumnya cukup jelas
untuk ditegakkan secara klinis, yaitu dengan adanya trismus, gangguan menelan, spasme
tetanik di kelompok otot lainnya, dan opistotonus. Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung
adalah trismus, disfagia, kaku otot leher, bahu, punggung, dan abdomen, serta risus
sardonicus.
 Anamnesis
Temuan anamnesis yang mengarah pada diagnosis tetanus TN mencakup
presentasi bayi berusia 3–14 hari pasca persalinan yang menunjukkan kemampuan
menyusu yang lemah disertai tangisan tanpa sebab yang jelas. Keluhan utama yang
mungkin timbul pertama kali antara lain trismus, gangguan menelan, adanya spasme
tetanik pada kelompok otot lainnya, dan opistotonus.
Dalam penelitian yang mempelajari penyebab kematian pada kasus TN oleh
Salimpour, manifestasi penyakit paru-paru merupakan salah satu temuan yang lazim
diidentifikasi pada kasus TN. Pemeriksaan autopsi sering menunjukkan gambaran
bronkopneumonia maupun perdarahan sehingga gejala terkait kondisi ini perlu juga
digali. Selain mengidentifikasi keluhan utama, berbagai faktor risiko TN juga harus
ditanyakan pada orang tua atau wali pasien yang dicurigai menderita TN.
 Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis TN adalah trismus,
disfagia, kaku otot leher, bahu, punggung, dan abdomen. Risus sardonicus, yakni
mimik wajah yang dianggap patognomonik untuk tetanus, ditandai dengan seringai
akibat otot-otot wajah yang tegang. Seiring dengan perjalanan penyakit, kekakuan
otot meluas dan tidak hanya melibatkan otot wajah saja. Selain itu, spasme otot yang
semula muncul ketika ada rangsangan sensorik seperti sentuhan ringan, mulai muncul
secara spontan dan lebih lama pada berbagai kelompok otot. Pada tetanus yang berat,
kontraksi tonik umum pada seluruh otot (tetanospasme) dapat terjadi dan
menimbulkan opistotonus, adduksi bahu, fleksi siku dan pergelangan, serta ekstensi
tungkai. Hal tersebut umumnya disertai dengan peningkatan suhu tubuh. Selain itu,
gangguan sistem respirasi akibat spasme pada otot dinding dada, disfungsi diafragma,
obstruksi jalan napas karena spasme glotis dan laring, serta pneumonia aspirasi dapat
pula ditemukan pada TN derajat sedang dan berat.
 Diagnosis Banding
Diagnosis banding tetanus neonatorum (TN) perlu mencakup sejumlah kondisi
medis yang dapat menyerupai salah satu atau lebih karakteristik tetanus, seperti
kejang pada neonatus. Secara umum, kejang pada neonatus dapat disebabkan oleh
anomali kongenital, trauma, anoksia, perdarahan intrakranial, serta keadaan pasca
persalinan (misalnya infeksi dan penyakit metabolik).
 Anomali Kongenital
Kerusakan otak akibat penyakit kongenital maupun proses perinatal dapat
memicu spastisitas dan kejang tonik klonik. Bayi dengan kerusakan otak umumnya
mengalami penurunan kesadaran dan kejang di akhir 24 jam pertama kehidupan.
Sindrom kerusakan otak juga dapat membuat lidah dan otot sekitar rongga mulut
lemas, refleks mengisap hilang, dan bayi tidak dapat menelan sejak hari pertama
pasca persalinan. Akan tetapi, manifestasi trismus tidak ditemukan pada berbagai
kondisi tersebut, sehingga dapat membedakannya dari TN.
 Trauma
Kontusio serebri yang dapat terjadi akibat trauma sekunder pada persalinan
sungsang maupun penyulit obstetri lainnya biasanya lebih sering ditemukan pada bayi
aterm yang besar.
 Infeksi
Infeksi neonatal yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding TN adalah
meningitis, yang biasanya berkaitan dengan septikemia. Bayi dengan meningitis
neonatal dapat tampak lemah, tidak mau menyusu, dan mengalami kejang, apneu
episodik, hipotermia atau hipotermia, dan distres napas pada minggu ke-1 kehidupan
dan setelahnya.
Berbeda dengan tetanus, manifestasi kejang pada kondisi ini memiliki karakteristik
fase tiap kejang lebih pendek, tidak secepat kejang pada tetanus, dan lebih sering
melibatkan sebagian sisi tubuh saja. Selain itu, pada TN tidak ditemukan ubun-ubun
membonjol sebagaimana ditemukan pada meningitis.
 Penyakit Metabolik
Penyakit metabolik seperti hipoglikemia dan hipokalsemia sering terjadi pada
bayi dengan berat lahir rendah maupun bayi dengan ibu yang mengalami diabetes.
Insiden hipokalsemia neonatorum memiliki dua periode puncak, yakni pada 2–3 hari
pertama kehidupan (paling sering ditemukan pada bayi dengan berat lahir rendah dan
trauma obstetrik) dan pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua kehidupan.
Tetani akibat hipokalsemia dapat bermanifestasi seperti kejang dan laringospasme.
Perbedaan karakteristik tetani hipokalsemia dari tetanus adalah adanya tremor dan
fasikulasi otot serta tidak adanya trismus dan rigiditas otot umum pada tetani.[26]
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak berperan banyak dalam penegakan diagnosis
maupun pemantauan perkembangan pasien tetanus neonatorum (TN). Penegakan
diagnosis hampir selalu ditegakkan berdasarkan karakteristik klinis dan tidak
tergantung pada konfirmasi bakteriologis. Hal ini juga disebabkan oleh rendahnya
angka deteksi kuman C. tetani yang diambil dari sampel luka, yakni hanya 30% dari
sampel pasien yang dicurigai tetanus. Di sisi lain, kadar antitoksin serum yang rendah
atau tidak terdeteksi pada saat awitan penyakit dapat membantu mengarahkan
diagnosis tetanus neonatorum. Namun, antitoksin serum dapat pula terdeteksi pada
beberapa kasus sehingga berpotensi membingungkan tenaga medis dalam
menginterpretasi hasilnya. Metode perbandingan titer antitoksin berpasangan untuk
diagnosis retrospektif tidak bermanfaat pada kasus TN mengingat salah satu
pengobatannya mencakup tindakan imunisasi aktif yang turut memicu respons
antibodi.

6. PENATALAKSANAAN
Menurut WHO (2019), Pencegahan TN melalui upaya imunisasi aktif menggunakan
toksoid tetanus pada wanita usia reproduktif yang belum terimunisasi merupakan pendekatan
yang lebih efektif daripada pengobatan setelah infeksi berlangsung. Pencegahan yang umum
dilakukan adalah pemberian vaksinasi TT bagi para ibu hamil untuk melindungi tubuh dari
penyakit tetanus. Pemberian vaksin TT biasanya dilakukan oleh dokter saat usia kandungan
ibu hamil mendapai trimester ketiga. Dosis kedua diberikan setidaknya 4 minggu setelah
dosis pertama diberikan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merekomendasikan vaksin ketiga diberikan
6 bulan setelah dosis kedua guna memberikan perlindungan setidaknya selama 5 tahun.
Selain menggunakan vaksin, prosedur dan persalinan medis yang steril di rumah sakit dapat
mencegah bayi terkena tetanus neonatorum. Hal ini dikarenakan sebagian besar bayi yang
meninggal karena tetanus neonatorium disebabkan oleh persalinan di rumah tanpa prosedur
steril yang memadai dan lingkungan yang tidak bersih.
Penatalaksanaan tetanus neonatorum atau TN bertujuan untuk mengeradikasi kuman
Clostridium tetani, menetralkan toksin, dan memberikan terapi suportif spesifik sesuai
keparahan penyakit.
 Terapi Antitoksin
Terapi antitoksin menggunakan imunoglobulin antitetanus (human tetanus immune
globulin atau HTIG) dari serum manusia maupun kuda (antitetanus serum atau ATS)
masih menjadi terapi pilihan pada penanganan tetanus.[27-29]
Penanganan sesuai SDKI, SLKI, dan SIKI, dengan menggunakan diagnosa
keperawatan yang sudah di standarisasi perawat dapat melakukan tindakan seperti ini jika
pasien teryadi tetanus neonaturum sebagai seorang perawat kamu bisa lakukan langkah-
langkah di bawah ini :
 Pasang infus, beri cairan rumatan. Dengan kolaborasi dengan dokter akan di dapatkan
instruksi memberikan diazepam 10 mg/kgBB/hari IV dalam 24 jam atau bolus IV
setiap 3 jam (0.5 mL per kali pemberian), maksimum 40 mg/kgBB/hari.
 Bila kesulitan memasang infus, berikan diazepam melalui rektum.
 Jika frekuensi napas < 20 kali/menit, hentikan diazepam (meskipun bayi masih
mengalami spasme).
 Jika bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme,
berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang.
 Jika belum bernapas spontan lakukan resusitasi neonatus dan jika belum berhasil
rujuk pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.
 Jika ada dan diinstruksikan langsung oleh dokter spesialis yang menaganai pasien,
beri human tetanus immunoglobulin 500 IU secara intramuskular (IM) atau tetanus
antitoksin 5000 IU secara IM
o Berikan Tetanus Toksoid 0.5 mL (IM) pada tempat yang berbeda dengan
tempat pemberian antitoksin
o Berikan Penisilin prokain 50.000 IU/kgBB/hari (IM) dosis tunggal atau
Metronidazol IV selama 10 hari
 Jika terjadi kemerahan atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal tali pusat, atau
keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari area tali pusat, berikan
rawat luka tali pusat dengan obat-obatan standar
DAFTAR PUSTAKA

Health Direct (2021). Health Topics A–Z. Tetanus.


Rhinesmith, E. & Fu, L. (2018). Tetanus Disease, Treatment, Management. Pediatrics in
Review, 39 (8), pp. 430–432.
Sunita .2021. Tetanus Neonaturum. Alomedika.
https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/tetanus-neonatorum/
diagnosis.
World Health Organization (2018). Newsroom. Tetanus.
World Health Organization (2019). Neonatal Tetanus.

Anda mungkin juga menyukai