Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Takdir merupakan salah satu rukun iman yang wajib kita yakini. Tidak
sekedar yakin, tetapi juga memahami takdir dengan benar sehingga keimanan kita
mencapai kesempurnaan. Namun kebanyakan orang salah mengartikan makna
takdir. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi sudah ditakdir kan oleh Allah
Swt. dan mereka hanya bisa pasrah tanpa adanya usaha ataupun ikhtiar. Dan ada
juga yang mengartikan bahwa setiap manusia itu diberi kebebasan untuk memilih
jalan hidupnya karena mereka menganggap karena setiap manusia akan
bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat dimasa hidupnya. Namun dari
kedua pernyataan tersebut ini merupakan kesalahan dalam mengartikan takdir.
Kita sebagai manusia harus meyakini akan ada nya takdir yang meliputi semua
mahluk bukan hanya sekedar manusia saja. Tetapi tdak mengahalangi mereka
untuk berusaha semaksimal mungkin, meskipun tidak sejalan dengan apa yng kita
harapkan, maka janganlah sekali-kali kita melampiaskan kepada Allah Swt.
kemungkinan Allah Swt. sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik untukmu,
jadi bersabarlah dan berikhtiarlah.

Takdir berasal dari akar kata Qodara yang berarti memberi kadar,
mengukur atau ukuran. Yang mana Allah Swt. telah menetapkan takdir, ukuran
atau batas tertentu pada diri, sifat dan ketentuan² mahluk-Nya. Semua mahluk
Allah Swt. telah ditetapkan takdirnya, dan Allah Swt. menunjukan arah yang
mereka tuju. Sebagaimana dalam firman Allah Swt :

ِ ‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱلر‬


‫َّح ِيم‬
“Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang”

‫وا لَّ ِذيْ قَ َّد َر فَهَ ٰد‬. ‫ى‬ َ َ‫الَّ ِذيْ َخل‬. ‫ِّح ا ْس َم َرب َِّك ااْل َ ْعلَى‬
َ ‫ق فَ َس ٰ ّو‬ ِ ‫  َسب‬
“Sucikanlah nama tuhanmu yang mahatinggi, yang menciptakan, lalu
menyempurnakan (penciptaa-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk”. (QS AI-A`La: 1-3)

Takdir diantaranya ada takdir baik dan juga takdir buruk. Oleh karena nya
manusia harus senantiasa menyiapkan diri dan mental untuk menyambut takdir
tersebut. Bukan hanya suatu ketetapan yang baik saja yang diberikan kepada
manusia, namun juga manusia harus mampu mempersiapkan ketika dalam
keadaan buruk. Manusia akan lebih mudah jika dirinya diberi keadaan takdir yang
baik seperti mendapatkan rizki yang melimpah dan sebagainya. Namun manusia
akan susah menerima takdir baginya dalam keadaan buruk seperti musibah, ujian,
dan cobaan. Karenanya sering sekali manusia merasa frustasi dan berprasangka
buruk kepada takdir yang telah Allah Swt. berikan kepadanya.

Seharusnya manusia mampu membuat rencana yang hebat untuk mencapai


kepentingan dan tujuan nya yang detail dan rinci. Akan tetapi, sebagus dan
sehebat apapun rencana manusia, jika Allah Swt. tidak meridhoi rencana itu
terjadi, manusia mampu berbuat apa. Mau tidak mau kita harus menerima apapun
yang terjadi dalam hidup kita mau itu baik atau pun buruk. Sehingga kita
seringkali tidak menerima keadaan dan seringkali menyalahkan takdir Allah Swt.
yang salah terhadap dirinya. Namun, akan tiba saatnyaa manusia akan menyadari
apa yang telah direncanakan oleh Allah Swt. adalah suatu hal yang terbaik bagi
hidupnya. Tidak sedikit juga dari banyaknya manusia yang memiliki hati yang
tangguh yang mampu menerima dan selalu bersyukur atas apa yang semua telah
Allah Swt. tetapkan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengambil


judul “Makna Takdir Dalam QS. Al-A’la Ayat 1-3”

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1 Apa Pengertian Takdir ?
1.2.2 Apa Makna Takdir Dalam QS. Al-A’la Ayat 1-3 ?
1.2.3 Bagaimana Cara Beriman Kepada Takdir ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Untuk Mengetahui Pengertian Takdir
1.3.2 Untuk Mengetahui Makna Takdir Dalam QS. Al-A’la Ayat 1-3
1.3.3 Untuk Mengetahui Cara Beriman Kepada Takdir

1.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian karya tulis ilmiah yang berjudul
“Makna Takdir Dalam QS. Al-A’la Ayat 1-3” adalah Library Research. Library
Research (Penelitian Pustaka) merupakan Penelitian yang objeknya di cari dengan
berbagai informasi seperti buku, jurnal ilmiah, majalah, koran, dan dokumen.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Makna

2.1.1 Pengertian Makna

Istilah makna merupakan kata dan istilah yang membingungkan.


Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah sebab bentuk ini mempunyai
konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang lingusitik (Pateda,
2001:79).

Menurut (Tarigan, 2009:9) ada beberapa penjelasan tentang


pengertian makna salah satunya adalah suatu hubungan khas yang tidak
teranalisis dengan hal-hal atau benda-benda lain, yang kedua pemahaman
makna antara lain kata-kata yang digabungkan dengan sebuah kata dalam
kamus, yang ketiga konsekuensi-konsekuensi praktis suatu hal dalam
pengalaman untukmasa yang akan datang, yang keempatsuatu kegiatan
yang diproyeksikan kedalam suatu objek.

Pemahaman makna (bahasa inggris: sense) dibedakan dari arti


(bahasa inggris:meaning) di dalam semantik, arti dalam hal ini
menyangkut makna leksikal atau sesuai dengan konsep yang digambarkan
pada kata tersebut, cenderung terdapat di dalam kamus terutama Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Makna sendiri adalah pertautan yang ada di
unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata) (Djajasudarma,
2009:7).

Terdapat tiga hal untuk menjelaskan istilah makna, (1) kata yaitu
elemen terkecil dalam sebuah bahasa yang diucapkan atau dituliskan dan
merupakan realisasi kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan
dalam berbahasa, (2) kalimat adalah gabungan dua kata ataupun lebih, baik
itu dalam bentuk lisan maupun tulisan yang disusun sesuai pola tertentu
sehingga memiliki arti, dan (3) apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk
berkomunikasi (Pateda, 2001:79).
2.1.2 Jenis-jenis Makna

Menurut para ahli telah mengemukakan berbagai jenis makna, dan


yang diuraikan di sini beberapa jenis makna, antara lain makna sempit,
makna luas, makna kognitif, makna konotatif/emotif, makna gramatikal,
makna leksikal, makna kontruksi, makna refrensial, makna majas (kiasan),
makna pusat, makna idesional, makna proposisi, makna piktorial
(Djajasudarma, 2009:8). Selain itu jenis-jenis makna dikemukakan oleh
Palmer (dalam Pateda, 2001:96) yaitu makna kognitif, ideasional, makna
denotasi, makna proposisi. Verhaar mengemukakan bahwa makna dibagi
menjadi 2 jenis yaitu makna gramatikal dan leksikal. Boomfield
mengemukakan istilah makna sempit dan makna luas. Uraian rincinya
sebagai berikut :

1. Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya


kata dalam kalimat. Dalam BI terdapat kata dua ditempatkan dalam
kalimat, misalnya: Dua?, Dua!, “Masih Dua” kosong skornya, “Baru Dua”
putaran, “Dua kali” pertandingan lagi ya?, kurang “Dua lagi”. Satu-satu
aku sayang ibu “Dua-dua” juga sayang kakak. Kata urutan dua
memperlihatkan makna yang berbeda-beda. Makna inilah yang disebut
makna gramatikal (Pateda, 2001:103-104). Menurut (Djajasudarma,
2009:16) makna gramatikal adalah makna yang menyangkut hubungan
intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah
kata di dalam kalimat.
2. Menurut (Pateda, 2001:119) Makna leksikal (lexical meaning) bisa juga
diartikan sebagai makna semantik adalah makna kata yang berdiri sendiri,
entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya
kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa
tertentu. Menurut (Djajasudarma, 2009:16) makna leksikal juga memiliki
unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain.
Maisalnya, kata budaya di dalam KBBI disebutkan sebagai nomina dan
maknanya: 1. Pikiran, akal budi, 2. Kebudayaan, 3. Yang mengenai
kebudayaan (beradab,maju). Semua makna (baik bentuk dasar maupun
turunan) yang ada dalam kamus disebut makna leksikal.
3. Makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari
keseluruhan ujaran. Makna yang asalnya lebih luas dapat menyempit,
karena dibatasi (Djajasudarma, 2009:8). Menurut (Pateda, 2001:126)
makna sempit juga merupakan makna yang berwujud sempit pada
keseluruhan ujaran. Dalam BI terdapat urutan kata ahli bahasa. Yang
dimaksud bukan semua ahli yang ada di dunia ini, tetapi ahli yang
bergerak dalam bidang tertentu, yakni bahasa.
4. Makna luas (extended meaning) menunjukan bahwa makna yang
terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang dipertimbangkan.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, semua kata yang tergolong kata yang
berkonsep, dapat dikatakan memiliki makna luas (Pateda, 2001:120).
Djajasudarma (2009:10) menyatakan makna luas adalah makna yang
terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan.
5. Makna ideasional (ideational meaning) adalah makna yang muncul akibat
Penggunaan kata yang memiliki konsep. Katakanlah ada kata partisipasi.
Orang mengerti ide apa yang hendak ditonjolkan di dalam kata partisipasi.
Orang mencari maknanya di dalam kamus, orang mendengar pengunaan
kata Partisipasi. Berdasarkan pembacaan, kenyataan dalam komunikasi,
orang mencari ide yang terdapat di dalam kata partisipasi (Pateda,
2001:104). Menurut Djajasudarma (2009:18) makna idesional ini makna
yang muncul sebagai akibat pengunaan kata yang berkonsep.
6. Makna proposisi (bhs. Inggris: propotional meaning) adalah makna yang
muncul bila kita membatasi pengertian tentang sesuatu. Kata-kata dengan
makna proposisi kita dapatkan di bidang matematika, atau bidang eksakta
(Djajasudarma, 2009:18). Makna proposisi yang dikaitkan dengan
matematika, dikenal adanya jenis proposisi, yakni sikap proposisi,
kalkulus proposisi, formula proposisi, dan variabel proposisi menurut
Lyons, I (dalam Pateda, 2001:123).
7. Makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat di
dalam suatu konstruksi kebahasaan. Misalnya makna milik atau yang
menyatakan kepunyaan di dalam BI dinyatakan dengan jalan membuat
urutan kata atau menggunakan akhiran punya (Pateda, 2001:115).
Djajasudarma (2009:15) menyatakan bahwa makna konstruksi adalah
makna yang terdapat di dalam konstruksi, misalnya makna milik yang
diungkapkan dengan urutan kata didalam Bahasa Indonesia.
8. Makna kias (transfered meaning atau figurative meaning) adalagh
pemakaian kata yang maknanya tidak sebenarnya menurut Harimurti
(dalam Pateda, 2001:108). Makna kiasan tidak sesuai lagi dengan konsep
yang sebenarnya, namun kalau dipikir secara mendalam, masih ada kaitan
dengan makna sebenarnya. Makna kias adalah semua bentuk bahasa (baik
kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti
leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) Chaer (dalam Pratiwi,
2018:186).
9. Makna piktorial adalah makna suatu kata yang berhubungan dengan
perasan pendengar atau pembaca. Misalnya pada situasi makan kita
berbicara tentang sesuatu yang menjijikan dan menimbulkan perasaan jijik
bagi si pendengar, sehingga ia menghentikan kegiatan (aktivitas) makan
(Djajasudarma, 2009:20).
Menurut Shipley (dalam Pateda, 2001:122) makna piktorial adalah makna
yang muncul akibat bayangan pendengar atau pembaca terhadap kata yang
didengar atau dibaca.
10. Makna refrensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan
kenyataan atau referent (acuan), makna refrensial disebut juga makna
kognitif, karena memiliki acuan. Makna ini memiliki hubungan dengan
konsep, sama halnya seperti makna kognitif (Djajasudarma, 2009:14).
Menurut (Pateda, 2001:125) Makna refrensial adalah makna yang
langsung berhubungan dengan acuan yang dtunjuk oleh kata. Sebelum
dilanjutkan uraian makna refrensial, ada baiknya dipahami lebih dahulu.
11. Makna pusat (central meaning) atau makna inti (core meaning) adalah
makna yang dimiliki setiap kata meskipun kata tersebut tidak berada di
dalam konteks kalimat (Pateda, 2001:123). Makna pusat adalah makna
yang dimiliki setiap kata yang menjadi inti ujaran. Setiap ujaran (klausa,
kalimat, wacana) memiliki makna yang menjadi pusat (inti) pembicaraan
Djajasudarma (2009:19).

2.1.3 Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif (sering juga disebut makna denotasional, makna


konseptual, atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada
dasarnya sama dengan makna refrensial sebab makna denotatif ini lazim
diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif.
Lalu karena itu makna denotasi sering disebut sebagai “makna
sebenarnya” (Chaer, 2002:65-66).

Menurut Tarigan (2009:51) Makna denotatif suatu kata seringkali


diperluas atau direntangkan dengan makna konotatifnya – suatu makna
yang ditambahkan atau suatu makna tambahan yang dinyatakan secara
tidak langsung oleh kata tersebut. Contohnya makna denotatif: Andy
sedang “dipukul” Surya. Makna dipukul berarti Andy sedang terkena
hantaman keras dari tangan Surya.

Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan


respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian
terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju,
senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain,
kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga
memendam perasaan yang sama (Keraf, 2010:29).

Dengan demikian makna konotatif lebih berhubungan dengan nilai


rasa pemakai bahasa, apakah perasaan senang, jengkel, gembira, atau jijik.
Itu sebabnya orang sering mengatakan kata X mengandung makna
konotatif yang lain dalam bahasa daerah saya (Pateda, 2001:113). Contoh
misalnya orang Bojonegoro akan kaget jika seseorang berkata “Jancuk apa
kabar cuk”. Yang menyebabkan orang Bojonegoro kaget, yakni
mendengar kata “Jancuk”. Bagi orang Bojonegoro kata jancuk bermakna
amarah. Jadi, kalimat tersebut berkonotasi kekerasan dalam bertutur bagi
orang Bojonegoro.

A. Makna denotatif

Djajasudarma (1999:9) mengungkapkan makna denotatif adalah


makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia
kenyataan. Makna denotatif ini memiliki arti yang sebenarnya atau sesuai
dengan yang dilihat, tidak mengandung makna yang tersembunyi.
Begitupun menurut Chaer (2013: 65) makna denotatif pada dasarnya sama
dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya.
Makna denotatif juga sering disebut dengan istilah makna denotasi.
Menurut KBBI, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang
didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu yang ada di luar
bahasa atau sesuatu yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat
objektif. Makna denotatif juga dikemukakan oleh Arifin dan Tasai (dalam
Nina, 2018) makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara
eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya.
Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara
objektif.

B. Makna konotatif

Kridalaksana (dalam Suwandi, 2008:82) menyatakan bahwa makna


konotatif adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang
didasarkan atas konteks atau perasaan yang ditimbulkan oleh pembicaraan
(penulis) dan pendengar (pembaca).

Contoh kalimat percakapan berkonotasi ramah yaitu: “kenapa sih


kamu sangat rendah hati sekali dengan orang yang tidak dikenal”. Menurut
saya kata Rendah hati mengandung konotasi positif karena didalamnya
mengandung makna “tidak sombong”. Memiliki sinonim tidak sombong,
kata rendah hati memiliki makna istilah sesorang yang berilmu tinggi tapi
tetap berbagi dan tidak menjatuhkan temannya yang kurang akan
pengetahuan.

Djajasudarma (1999:9) menyatakan bahwa makna konotatif adalah


makna yang muncul dari makna kognitif ke dalam makna kognitif tersebut
ditambahkan komponen makna lain. Makna konotatifsering disebut
dengan istilah makna konotasi. Sebuah kata disebut mempunyai makna
konotatif apabila kata tersebut mempunyai “nilai rasa”, baik yang bersifat
positif maupun negatif. Jika sebuah kata tidak memiliki nilai rasa, maka
kata tersebut tidak memiliki konotasi. Namun, kata tersebut dapat juga
disebut berkonotasi netral. Artinya, kata yang digunakan tidak memihak
pada kata yang lain. Untuk menentukan apakah kalimat tersebut termasuk
makna konotatif atau bukan dapat dilihat dari keharmonisan kata yang
digunakan.

Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul


sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang
dikenakan pada sebuah makna konseptual. Makna-makna konotatif
sifatnya lebih profesional dan operasional daripada makna denotatif.
Makna denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna
konotatif adalah makna yang dikaitkan dengan suatu kondisi dan situasi
tertentu (Arifin dan Tasai dalam Nina, 2018).

2.2 Takdir

2.2.1 Pengertian Takdir


Makna takdir menurut bahasa adalah menetapkan segala sesuatu,
atau menerangkan kadar atas sesuatu. Makna kata takdir bisa pula
diartikan dengan menilai sesuatu atas penilaiam tertentu, atau
memperkirakan sesuatu melalui perkiraan atasnya. Seperti, memperkirakan
kekuatan suatu benda, kadar, maupun nilainya. Jika takdir dimasukkan
dalam pembahasan mengenai apa saja yang mengandung konsekuensi jika
dilakukan, maka ia mempunyai arti menetapkan segala sesuatu secara
bijaksana atau profesional, sesuai kehendak dan ketetapan yang
melingkupinya (Fethullah Gullen, 2001:1).

Adapun Makna kata takdir menurut istilah agama (syari’at) adalah,


segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. menurut ilmu dan
kehendak-Nya (Fethullah Gullen, 2001:1). Dalam terminologi islam,
dikenal dua istilah untuk menjelaskan tentang takdir, yaitu qadha dan
qadar. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai definisi
keduanya.

Qadha menurut bahasa berarti hukum, ciptaan, kepastian, dan


penjelasan. Sedangkan maknanya adalah memutuskan, memisahkan,
menentukan sesuatu, mengukuhkan, menjalankan, dan menyelesaikannya.
Dengan kata lain makna qadha adalah mencipta (Agus Susanto, 2014:16).

Menurut Ibn Faris, makna kata qadar adalah akhir ataupun puncak
segala sesuatu. Secara istilah, qadar berarti ketentuan Allah yang berlaku
bagi semua mahluk sesuai dengan ilmu Allah. Ibn Hajar Asqalani
mengartikan qadha sebagai ketentuan yang bersifat menyeluruh dan umum
sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dari perincian
ketentuan-ketentuan tersebut. Hal ini berkebalikan dengan pendapat
Syaikh Ahmad Izzudin Al-Bayayuni yang menyatakan bahwa qadha
adalah pelaksanaan terhadap qadar yang telah ditentukan oleh Allah (Agus
Susanto, 2014:16).
Muhammad Ibn Ibrahim Al-Hamd menjelaskan, “Qadha dan qadar
adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang
lainnya karena salah satunya berkedudukan sebagai fondasi, yaitu
qadar,dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunan, yaitu qadha.
Barang siapa bermaksud memisahkan keduanya, dia merobohkan
bangunan tersebut (Agus Susanto, 2014:16-17).

Imam Ahmad bin Hambal Rahimahumullah pernah mengatakan,


“Akar kata takdir berasal dari qudrat, yang artinya Maha Menetapkan. Jadi
siapapun yang mengingkari adanya takdir, maka ia mengingkari segala
kemampuan dan ke-Mahakuasa-an Alloh Swt. untuk menetapkan segala
sesuatu dari hasil ciptaan-Nya.” (Fethullah Gullen, 2001:5)

2.2.2 Dalil-dalil tentang Takdir

Adapun dalil-dalil dari Al-Qur’an yang menguatkan pendapat


dimaksud adalah sejumlah firman Allah Swt. berikut ini,

 ۗ ‫ب اَل يَ ْعلَ ُمهَ ۤا اِاَّل هُ َو ۗ  َويَ ْعلَ ُم َما فِى ْالبَرِّ َوا ْلبَحْ ِر‬
ِ ‫َو ِع ْن َد ٗه َمفَا تِ ُح ْال َغ ْي‬
‫ب‬ ْ ‫ت ااْل َ رْ ض َواَل َر‬
ٍ ‫ط‬ ِ ٰ‫َو َما تَ ْسقُطُ ِم ْن َّو َرقَ ٍة اِاَّل يَ ْعلَ ُمهَا َواَل َحبَّ ٍة فِ ْي ظُلُم‬
ِ
‫س اِاَّل فِ ْي‬
ٍ ِ‫َّواَل يَا ب‬

ٍ ‫ِك ٰت‬
‫ب ُّمبِي ٍْن‬
“Dan pada disisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan
dan di lautan. Serta tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia
mengetahuinya. Demikian pula Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
Kitab yang nyata (Lauh al-Mahfuzh).” (QS. Al-An’am [6]: 59)

Allah Swt. Juga berfirman :


‫ض ًّرا َّواَل نَ ْفعًا اِاَّل َما َشٓا َء هّٰللا ُ ۗ لِ ُكلِّ اُ َّم ٍة اَ َج ٌل ۗ اِ َذا‬ ُ ِ‫قُلْ اَّل ۤ اَ ْمل‬
َ ‫ك لِنَ ْف ِس ْي‬
‫َجٓا َء اَ َجلُهُ ْم فَاَل يَ ْستَ ۟ئ ِخر ُْو َن َسا َعةً َّواَل يَ ْستَ ْق ِد ُم ْو َن‬
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendadatangkan kemudharatan, dan tidak
pula kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki oleh Allah.’
Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka
tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak pula
mendahulukannya.” (QS. Yunus [10]: 49)

Allah Swt. juga berfirman :

ٍ ‫ض اِاَّل فِ ْي ِك ٰت‬
‫ب ُّمبِ ْي ٍن‬ ِ ْ‫َو َما ِم ْن َغٓاِئبَ ٍة فِى ال َّس َمٓا ِء َوا اْل َ ر‬
“Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit maupun di bumi, melainkan terdapat
dalam Kitab yang nyata (Lauh al-Mahfuz).” (QS. An-Naml [27]: 75)

Allah Swt. juga berfirman :

َ  ‫اِنَّا نَحْ ُن نُحْ ِي ْال َم ْو ٰتى َونَ ْكتُبُ َما قَ َّد ُم ْوا َو ٰا ثَا َرهُ ْم‬
‫ۗ و ُك َّل َش ْي ٍء‬
‫صي ْٰنهُ فِ ۤ ْي اِ َما ٍم ُّمبِي ٍْن‬
َ ْ‫اَح‬
“Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati, dan kami menuliskan apa
yang telah mereka kerjakan, serta bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan
segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh al-
Mahfuz),” (QS. Ya-Sin [36]: 12)

Allah Swt. juga berfirman :

‫ح َّمحْ فُ ْو ٍظ‬ ٰ
ٍ ‫فِ ْي لَ ْو‬. ‫بَلْ هُ َو قُرْ ا ٌن َّم ِج ْي ٌد‬
”Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang
tersimpan di Lauh al-Mahfuz,” (QS. Al-Buruj [85]: 21-22)

Allah Swt. Juga berfirman :


‫ قُلْ انَّما ْالع ْلم ع ْن َد هّٰللا‬.‫صدقي َْن‬
ِ‫ِ ۖ  َوا‬ ِ ُ ِ َ ِ ِ ِ ٰ ‫َويَقُ ْولُ ْو َن َم ٰتى ٰه َذا ْال َو ْع ُد اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
‫نَّ َم ۤا اَنَ ۡا نَ ِذ ْي ٌر ُّمبِي ٌْن‬
“Dan mereka berkata, ‘Kapan datangnya ancaman itu jika kalian adalah orang-
orang yang benar?’, Katakanlah, ‘Sesungguhnya ilmu tentang hari Kiamat itu
hanya pada sisi Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan,’” (QS. Al-Mulk [67]: 25-26) (Fethullah Gullen,
2001:1-3)

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri,
semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS Al-Hadid
[57]: 22)

Sebuah hadis menjelaskan : "Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah


adalah qalam (pena), lalu dikatakan kepadanya, 'Tulislah.' la menjawab, "Ya
Tuhan-ku, apa yang harus aku tulis?' Dia menjawab, 'Tulislah takdir segala
sesuatu sampai Hari Kiamat tiba’” (HR. Abu Dawud dan Al-Tirmidzi).

Dalam hadis lain disebutkan: "Allah telah menulis segala takdir makhluk
makhluk-Nya 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Dan
'Arsy-Nya berada di atas air" (HR Muslim) (Agus Susanto, 2014:15-16).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Takdir

3.1.1 Pengertian Takdir

Kata takdir berasal dari bahasa Arab, yakni takdir ( ‫ ) تقدير‬yang


berakar kata dari kata qadara ( ‫ ) تقديرا – يقـدر – قــدر‬dengan arti ukuran
terhadap sesuatu atau memberi kadar. Pengertian takdir menurut istilah
adalah ukuran yang sudah ditentukan Tuhan sejak zaman azali baik atau
buruknya sesuatu, tetapi bisa saja berubah jika ada usaha untuk
mengubahnya. Sehingga, jika Allah telah mentakdirkan demikian, maka
berarti bahwa Allah telah memberi kadar/ ukuran/ batas tertentu dalam
diri, sifat atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Kemampuan pada diri
manusia inilah yang bisa berubah, dan terkadang memang mengalami
perubahan disebabkan oleh usaha manusia itu sendiri.

Adapun kata “takdir” biasa dihubungkan dengan qadha dan qadar.


Sebagaimana penjelasan di atas, takdir merupakan kekuasaan dari Allah
terhadap kehidupan yang manusia dijalani saat ini, takdir wajib diimani
oleh setiap muslim karena takdir merupakan salah satu dari rukun iman.
Dalam istilah lain, takdir adalah qadar (al-qadar khaiuruhu wa syarruhu)
atau qadha dan qadar (al-qadha wal qadar). Sedangkan Qadha memiliki
pengertian kehendak atau ketetapan hukum Allah terhadap segala sesuatu
yang berhubungan dengan makhluk.

Memperhatikan dua istilah tersebut, qadha dapat dimaknai dengan


ketetapan Allah tentang semua hal berhubungan dengan makhluk ciptaan-
Nya sejak zaman azali dan belum terjadi. Sedangkan qadar atau takdir
merupakan perwujudan dari ketetapan (qadha) Allah dan sudah terjadi.
Jadi, ketetapan yang sudah terjadi (qadar) tersebut bisa berbeda dengan
qadha-Nya.
Pemaknaan qadha sebagai ketetapan, sedangkan qadar sebagai
ukuran, dapat dipahami bahwa ketetapan Allah adalah berdasarkan pada
ukuran-Nya. Sedangkan ukuran tersebut terdapat pada alam dan sesuai
dengan kemampuan atau usaha manusia. Dengan kata lain, Allah telah
menetapkan sesuatu kepada manusia, akan tetapi manusia tetap diberikan
ruang untuk berusaha dan memilih takdir yang baik untuknya.

Penjelasan tersebut mencerminkan adanya kemungkinan perubahan


ketetapan dari Allah. Sebab manusia mempunyai potensi atau kemampuan
terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Qadar secara bahasa artinya kepastian, peraturan dan ukuran.


Qadar secara istilah adalah aturan atau ukuran yang diciptakan oleh Allah
Swt. sebagai perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu yang
berkaitan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman Azali dan
pastinya sesuai dengan iradah-Nya. Qadar sebagai pelaksanaan rencana
(qadha) Allah Swt.

Menurut bahasa Qadar berarti, peraturan, dan ukuran. Sedangkan


menurut Istilah Qadar adalah perwujudan ketetapan (Qadha) terhadap
segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah
(kehendak-Nya). Qadar disebut juga takdir Allah SWT yang berlaku bagi
semua makhluk hidup, baik yang telah, sedang, maupun yang akan terjadi.

Sejak zaman azali, ketentuan itu telah di tulis di dalam Lauhul


Mahfuzh (papan tulis yang terpelihara). Jadi, semua yang akan terjadi,
sedang atau sudah terjadi di dunia ini semuanya sudah diketahui oleh
Allah SWT, jauh sebelum hal itu sendiri terjadi.

Firman Allah SWT Q.S. Al-Qamar ayat 49;

‫اِنَّا ُك َّل َش ْي ٍء َخلَ ْق ٰنهُ بِقَ َد ٍر‬


Artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran”. (QS. Al-Qamar [54]: 49)
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi,
dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut mengatakan. “Kepercayaan yang
dipegang Ahlus Sunnah, sesungguhnya Allah SWT telah mentakdirkan
akan sesuatu. Artinya ia telah mengetahui ketentuannya (kepastiannya)
telah mengetahui keadaannya dan zamannya jauh sebelum diciptakannya.
Kemudian Allah mengadakan sesuatu yang telah ada dalam takdir-Nya
bahwa semua itu akan dijadikan sesuai dengan ilmu-Nya. Maka, tidak ada
yang terjadi dari ilmu, qadrat, dan iradatNya (Allah)”

Dalam hadits telah dinyatakan dengan jelas, bahwa kejadian


manusia di dalam rahim ibunya berjalan menurut prosesnya. Empat puluh
hari pertama dinamakan nuthfah (mani) yang berkumpul, empat puluh hari
kedua dinamakan ‘Alaqah (segumpal darah), dan empat puluh hari yang
ketiga disebut mudlghah (segumpal daging). Maka, setelah seratus dua
puluh hari ditiupkan nyawa (ruh) oleh Malaikat diperintahkan menuliskan
empat macam perkara, yaitu:

1. ‫( ِر ْزقِ ِه‬Rezekinya)

2. ‫( َوَأ َجلِ ِه‬Ajalnya)

3. ‫( َو َع َملِ ِه‬Amalnya)

4. ‫( َو َشقِ ٌّي َأوْ َس ِع ْي ٌد‬Sengsara atau Bahagianya)

Empat macam perkara itu ditetapkan (ditakdirkan), dan inilah yang


dimaksudkan Takdir Illahi atau nasib seseorang.

3.1.2 Macam-macam Takdir

Takdir terbagi menjadi dua (2), antara lain :

1. Takdir Mubram, yaitu yang tidak dapat dibantah dan di tawar-tawar oleh
manusia. Takdir mubram sifatnya paten (sudah baku) sehingga manusia
tinggal menunggu dan menjalankan saat takdir itu datang. Contoh:
kematian, dan ciptaan-ciptaan Allah Swt. lainnya seperti ada manusia
yang dilahirkan dengan kulit sawo matang sedangkan ibu dan bapaknya
kulit putih, berhidung pesek, bermata sipit, dan lain sebagainya. Semua
itu tidak dapat dibantah dan ditawar-tawar oleh manusia.

2. Takdir Mua’llaq, yaitu takdir yang masih dapat diusahakan oleh


manusia. Takdir mu’allaq sifatnya fleksibel (belum baku alias masih
dapat diusahakan) sehingga manusia dapat merubah takdir (nasib)nya.
Contoh: Rafi yang bercita-cita ingin menjadi dosen bahasa Arab, maka
untuk mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun serta
mendalami ilmu Bahasa Arab atau mengambil kuliah pada jurusan
bahasa Arab. Akhirnya Rafi tersebut berhasil menjadi seorang dosen
Bahasa Arab di sebuah Perguruan Tinggi.

3.2 Makna Takdir Dalam QS. Al-A’la Ayat 1-3

3.2.1 Qs. Al-A’la ayat 1-3 :

ِ ‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱلر‬


‫َّح ِيم‬
“Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang”

‫وا لَّ ِذيْ قَ َّد َر فَهَ ٰدى‬. ‫ى‬ َ َ‫الَّ ِذيْ َخل‬. ‫ِّح ا ْس َم َرب َِّك ااْل َ ْعلَى‬
َ ‫ق فَ َس ٰ ّو‬ ِ ‫َسب‬
“Sucikanlah nama tuhanmu yang mahatinggi, yang menciptakan, lalu
menyempurnakan (penciptaa-Nya), yang menentukan kadar (masing-
masing) dan memberi petunjuk”. (QS AI-A`La: 1-3)

3.2.2 Tafsir mufradat dalam Kitab :


1. Tafsir Al-Jalalain,

ِ ‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱلر‬


‫َّح ِيم‬
“Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang”
‫ِّح ا ْس َم َرب َِّك ااْل َ ْعلَى‬
ِ ‫  َسب‬
“ َ‫ِّح ا ْس َم َربِّك‬
ِ ‫( َسب‬Sucikanlah nama Rabbmu) maksudnya sucikanlah Dia
dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya lafal Ismu adalah lafal Za’id
(Yang Maha Tinggi) lafal ‫ ااْل َ ْعلَى‬berkedudukan sebagai kata sifat bagi
lafal Rabbika.”

َ َ‫ الَّ ِذيْ َخل‬


‫ق فَ َس ٰ ّوى‬
“(Yang menciptakan lalu menyempurnakan) ciptaan-Nya, yakni Dia
menjadikan makhluk-Nya itu seimbang semua bagian-bagiannya dan
tidak pincang atau berbeda-beda.”
‫  َوا لَّ ِذيْ قَ َّد َر فَهَ ٰدى‬
“ ‫( َوا لَّ ِذيْ قَـــ َّد َر‬Dan Yang menentukan) apa yang dikehendaki-Nya
‫(فَهَ ٰدى‬dan Yang memberi petunjuk) kepada apa yang telah ditentukan-
Nya berupa amal kebaikan dan amal keburukan.”
2. Tafsir Al-Maraghi,

ِ ‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱلر‬


‫َّح ِيم‬
“Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang”

‫ِّح ا ْس َم َرب َِّك ااْل َ ْعلَى‬


ِ ‫َسب‬
Sucikanlah nama Tuhanmu dari segala sesuatu yang tidak layak
bagi keagungan-Nya, baik pada Zat-Nya, sifat-sifat-Nya, nama-nama-
Nya, perbuatan-perbuatan-Nya ataupun hukum-hukum-Nya.Jangan
menyebut nama-Nya melainkan dengan sebutan yang penuh dengan
keangungan-Nya. Dan jangan mrnyebut nama yang sama bagi selain-
Nya dengan anggapan bahwa yang disebutkannya memiliki
kedudukan sejajar dengan-Nya dalam sifat-sifatnya.

Selanjutnya Allah menggambarkan nama-Nya yang mulia melalui


firman-Nya :
َ َ‫الَّ ِذيْ َخل‬
‫ق فَ َس ٰ ّوى‬
Allah yang menciptakan semua mahluk, dan menyempurnakan
penciptaan-Nya sehingga menjadi rapi, kokoh dan sekaligus unik. Hal
ini merupakan bukti yang menunjukkan kemahabijaksanaan
Penciptaannya dan kemampuan-Nya dalam mengatur segala
urusannya dengan baik dan sempurna.

‫َوا لَّ ِذيْ قَ َّد َر فَهَ ٰدى‬


Allah menetapkan kadar masing-masing ciptaan-Nya dengan segala
sesuatu yang cocok baginya. Oleh sebab itu Ia menciptakan langit dan
bintang-bintangnya untuk menjaga kestabilan dan kelestariannya. Dan
Ia menciptakan bumi dengan apa yang ada di dalamnya berupa aneka
jenis tambang, dan apa-apa yang tumbuh di atas permukaan bumi
berupa tumbuh-tunbuhan, serta berbagai jenis binatang yang hidup di
atasnya, sebagai upaya pelestariannya.

Kemudian Allah memberi petunjuk kepada setiap Dabbah (mahluk


yang hidup di atas permukqan bumi, pen.) agar memanfaatkan segala
sesuatu yang mendatangkan maslahat bagi kelestariannya, dan
memanfaatkan segala sesuatu yang merupakan kebutuhan hidupnya.
Untuk itu Allah membekalinya dengan berbagai kecenderungan dan
inspirasi agar bisa mencapai tujuan hidupnya.

3. Tafsir Al-Mishbah

‫ِّح ا ْس َم َرب َِّك ااْل َ ْعلَى‬


ِ ‫َسب‬
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi”

Kata (‫ِّح‬
ِ ‫)ســب‬
َ sabbih adalah bentuk perintah dari kata (‫)ســبّح‬
sabbaha yang terambil dari kata (‫ )سبّح‬sabaha

Anda mungkin juga menyukai