Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN RANGE OF MOTION (ROM) AKTIF TERHADAP

KEKUATAN OTOT PADA PENDERITA STROKE NON HEMORAGIK DI


RS POLRI JAKARTA

NUR AISYAH

215139073

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang kenapa penelitian ini diambil dan tujuan yang
diinginkan peneliti dalam penelitian ini.

1.1. Latar Belakang


Aktivitas sehari-hari membutuhkan kerja otot dan membantu
mempertahankan tonus otot atau kekuatan otot. Pada kondisi sakit seseorang
tidak mampu melakukan aktivitas karena keterbatasan gerak, kekuatan otot
dapat dipertahankan dengan melakukan latihan rentang gerak sendi atau
Range Of Motion (ROM) (Potter & Perry, 2012).

Fungsi yang hilang karena gangguan kontrol motorik penderita stroke non
hemoragik mengakibatkan hilangnya koordinasi, kemampuan keseimbangan
tubuh dan kemampuan untuk mempertahankan posisi tertentu. Pasien stroke
non hemoragik akan mengalami kelemahan otot, sehingga akan menyulitkan
pasien melakukan pergerakan (Muttaqin, 2013). Hal tersebut pasti akan terjadi
pada setiap orang dan tidak dapat dihindari oleh siapapun.

Jumlah penderita stroke menurut data American Healt Association (AHA)


menyatakan setiap 40 detik terjadi 1 kasus baru dengan jumlah 795.000
penderita stroke (Mutiasari. 2019). Menurut data dari World Healt
Organization (WHO) prevalensi pada tahun 2018 naik 7% menjadi 10,9%.
Stroke menjadi penyebab utama kecacatan dan kematian kedua di America
Latin. Pada tahun 2017 angka kejadian stroke mencapai lebih dari 5,5 juta
penderita troke, 0,60 juta orang mengalami stroke untuk pertama kalinya,
angka kematian akibat dari stroke mencapai lebih dari 0,25 juta dan hampir
5,50 juta DALY (Disability Adjusted Life Year) terkait stroke. Wilayah ini
juga dikenal dengan proporsi stroke yang lebih rendah (57%) dibandingkan
dengan negara berpenghasilan tinggi (80% - 85%) seperti di Australia,
Selandia Baru, Amerika Utara, Eropa Barat (Ouriques Martins et al, 2019).

Di Asia Timur angka kejadian stroke terendah terjadi di Malaysia dengan


angka kejadian 100.000 orang pertahun. Di wilayah Asia Timur yang
memiliki angka kejadian stroke tertinggi adalah jepang dimana angka kejadian
pria lebih dari pada angka kejadian stroke pada wanita. Dengan angka
kejadian pria 422/100.000 orang pertahun, wanita 212/100.000 orang pertahun
(Venketasubramanian et al, 2017).

Sedangkan pada tahun 2018 menurut Riskesdas jumlah penderita stroke


menurun 10,9 per mil (Kemenkes, 2019). Angka kejadian stroke di Indonesia
meningkat tajam, penyakit stroke di Indonesia mendukung angka tertinggi di
Asia dengan jumlah kejadian (3.382 / 10.000 orang). Wilayah Kalimantan
Timur menjadi wilayah yang angka kejadian strokenya tertinggi di Indonesia
dengan presentase kejadian (14,7%). Kemudian Bangka Belitung (14,7%),
DKI Jakarta (11,4%), dan Bali berada di urutan 17 dengan angka kejadian
(10,8 %) (Kementrian Kesehatan RI, 2018).

Sedangkan angka kejadian stroke di RS Polri Jakarta dari bulan September


2019 sampai September 2020 berjumlah 856 orang dan yang menderita stroke
sejumlah 311 (Rekam Medik RS Polri, 2020).

Kelemahan otot penderita stroke non hemoragik akan memengaruhi kontraksi


otot. Kontraksi otot dikarenakan berkurangnya suplai darah ke otak, sehingga
bisa menghambat syaraf-syaraf utama otak dan medula spinalis.
Terhambatnya oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan masalah kesehatan
yang serius karena bisa menimbulkan hemiparese bahkan kematian.
Terjadinya gangguan tingkat mobilisasi fisik klien sering disebabkan oleh
suatu gerakan dalam bentuk tirah baring. Dampak dari suatu melemahnya
keadaan otot yang berhubungan dengan kurangnya aktifitas fisik biasanya
tampak dalam beberapa hari. Kontrol otak untuk mengatur gerak otot
mengalami suatu penurunan fungsi yang mengakibatkan masa otot berkurang.

Penderita stroke non hemoragik memerlukan penanganan baik untuk


mencegah kecacatan fisik dan mental. Apabila pasien tidak mendapatkan
penanganan yang maksimal akan terjadi kecacatan atau kelemahan fisik.
Terapi yang dibutuhkan untuk mengurangi kelemahan otot lanjut, salah satu
program rehabilitasi yang bisa diberikan pasien stroke non hemoragik yaitu
mobilisasi persendian dengan pemberian range of motion (rom) aktif. Range
of motion (ROM) aktif merupakan latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kemampuan pergerakkan sendi
secara normal untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. Pemberian
ROM aktif secara dini bisa meningkatkan kekuatan otot, kekurangan pasien
hemiparase apabila tidak ditangani segera mengalami kelemahan otot yang
permanen (Potter & Perry, 2012).

Berdasarkan kegawatan yang ditimbulkan stroke hemoragic, , maka dari itu


peneliti sangat tertarik melakukan penelitian tentang Hubungan range of
motion (ROM) aktif terhadap kekuatan otot pada penderita stroke non
hemoragic.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari latar belakang diatas dirumuskan sebagai berikut “Hubungan
pemberian Range Of Motion (ROM) aktif terhadap kekuatan otot pada
penderita stroke hemoragik di RS Polri Jakarta”
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisa pengaruh pemberian Range Of Motion (ROM) aktif terhadap
kekuatan otot pada penderita stroke non hemoragic.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengidentifikasi kekuatan otot pasien stroke non hemoragik sebelum
dilakukan ROM aktif
b. Mengidentifikasi kekuatan otot pasien stroke non hemoragik sesudah
dilakukan ROM aktif
c. Menganalisis pengaruh pemberian Range Of Motion (ROM) terhadap
kekuatan otot pada penderita stroke non hemoragik
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka konsep


Kerangka konseptual adalah model konseptual yang menggambarkan hubungan
antara konsep satu dengan konsep lainnya atau antara variabel yang satu dengan
variabel yang telah diidentifikasi dari masalah yang ingin diteliti (Notoadmojo,
2010).
Pasien dengan stroke non hemoragik adalah salah satunya mengalam penurunan
kekuatan otot. Sehingga orang tersebut membutuhkan latihan ROM aktif untuk
mengurangi bahaya imobilisasi yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, kaji
jenis latihan ROM aktif mengalami perubahan kekuatan otot yang normal, baik,
cukup, buruk, sedikit buruk atau tidak normal sekaligus apa tidak pada pasien
stroke non hemoragik.
3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini adalah
H1: Ada pengaruh pemberian Range Of Motion (ROM) aktif terhadap kekuatan
otot pada pasien stroke non hemoragik.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Menurut Nursalam (2013) mengemukakan desain penelitian adalah sesuatu yang


sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal
beberapa faktor yang dapat memengaruhi akurasi suatu hasil. Desain dapat
digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan
penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan
penelitian.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik. Penelitian ini menggunakan


desain pra-eksperiment (uji coba) dengan desain pre-post tes dalam satu
kelompok (One group pra-post design). Ciri penelitian ini adalah mengungkapan
hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok
subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi kemudian diobservasi lagi
setelah intervensi (Nursalam, 2013). Dalam penelitian ini peneliti ingin
mengetahui pengaruh latihan range of motion (rom) aktif terhadap kekuatan otot
pada penderita stroke non hemoragik di ruang Flamboyan RSUD Jombang.

4.2 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam


mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data
(Nursalam, 2011). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra
experimental dengan metode One Group Pra-test Post-test Design.

Anda mungkin juga menyukai