Anda di halaman 1dari 44

PERBANDINGAN PREMEDIKASI LIDOKAIN PERLAKUAN TORNIKET DAN

PREMIXED LIDOKAIN UNTUK MENGURANGI DERAJAT NYERI PADA SAAT


INDUKSI ANESTESI MENGGUNAKAN PROPOPOL

diajukan Untuk Mengetahui Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Yang
Diampu Oleh
Dosen : DR. Ns. Rahmaya Nova Handayani, S. Kepada,. M. Sc

Disusun oleh :

Nama : M. Alfarizi
NIM : 200106089
Prodi / Kelas : D4 Keperawatan Anestesiologi / 5A

PROGRAM STUDI D4 KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

2021/2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Seiring dengan berkembangnya tindakan medis untuk pembedahan maka anestesi muncul
sebagai salah satu ilmu yang paling berkembang di dalam dunia kedokteran. Tindakan
anestesi yang pertama kali dilakukan di dunia modern dan ditujukan untuk mengurangi rasa
nyeri dipresentasikan di depan publik oleh William T.G. Morton (1819-1868) pada tahun
1846. Peristiwa tersebut telah menjadi tonggak awal sejarah anestesi dunia. Pada abad ke-20,
anestesi umum menjadi sangat terpercaya seiring dengan perkembangan teknik anestesi,
teknik pemantauan dan penemuan agen-agen anestesi baru dengan karakter farmakokinetik
dan farmakodinamik yang lebih baik.1
Tindakan anestesi pada umumnya didahului oleh induksi anestesi sebagai tahapan awal
anestesi. Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat dimulainya
anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau suatu fase pasien dari keadaan
sadar menjadi tidak sadar. Idealnya induksi ini berjalan dengan lembut dan cepat, dengan
keamanan dan kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan dalam tindakan anestesi
untuk pembedahan. 2
Propofol merupakan salah satu jenis obat induksi intravena yang paling sering digunakan
dalam pembiusan umum, karena memiliki onset yang cepat, eksitasi minimal, supresi reflek
laring dan faring, serta sifat antiemetik. Efek bangun yang lebih cepat setelah pemberian obat
propofol dihentikan membuat obat ini lebih disukai penggunaannya.1 Akan tetapi, propofol
dapat menimbulkan rasa nyeri pada lokasi injeksi. Rasa nyeri akibat injeksi propofol
dideskripsikan oleh pasien sebagai sensasi nyeri tajam, menyengat atau terbakar pada
pembuluh darah vena yang dirasakan segera atau hingga 20 detik setelah suntikan diberikan.
Rasa nyeri yang terjadi dapat disebabkan oleh rangsangan serabut saraf aferen pembuluh
darah vena secara langsung oleh propofol, serta akibat reaksi inflamasi karena aktivasi
kaskade kinin. 3
Lee dan Russel dalam penelitiannya menemukan insiden nyeri akibat penyuntikan propofol
sebesar 70%. Beberapa strategi telah dilakukan untuk

Mengurangi nyeri akibat injeksi propofol seperti penggunaan pethidine, fentanyl,


metoclopramide, atau penggunaan obat lokal anestesi lidokain. Dalam penelitian tersebut
dilaporkan bahwa pemberian premedikasi lidokain 40 mg intravena (iv) dengan oklusi vena
menggunakan torniket sesuai dengan onsetnya memiliki efek penurunan derajat nyeri akibat
injeksi propofol yang lebih baik. 4 Penelitian lainnya oleh Massad mendukung hal yang sama
bahwa pemberian premedikasi lidokain 40 mg iv dengan perlakuan oklusi vena selama 60
detik sebelum pemberian propofol dapat menurunkan derajat nyeri yang lebih baik
berdasarkan nilai Verbal Rating Scale (VRS). 5
Morgan menganjurkan penggunaan lidokain 40 mg yang dicampur bersama propofol
untuk menghilangkan nyeri. 6,7 Cara tersebut sesuai dengan yang sering digunakan saat ini di
rumah sakit Saiful Anwar Malang, selain itu mencampur lidokain dengan propofol
merupakan metode yang sangat populer digunakan di dunia karena metode tersebut cepat,
mudah dan tidak mempengaruhi kerja propofol. 5 Akan tetapi nyeri karena penyuntikan
propofol masih saja dapat terjadi selama proses induksi anestesi berlangsung dan dapat
mempengaruhi kualitas pelayanan anestesi terhadap pasien. Salah satu hal yang dapat
menyebabkannya adalah pemberian lidokain yang belum sesuai onset kerjanya yaitu 60-90
detik. Umumnya di rumah sakit Saiful Anwar, lidokain yang sudah dicampur dengan
propofol langsung diinjeksikan ke pasien sehingga sebelum lidokain bekerja sebagai lokal
anestesi, propofol dapat menyebabkan nyeri pada pembuluh darah vena. Hal serupa juga
diutarakan oleh Massad dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa pemberian
lidokain dengan cara dicampur tidak memberikan hasil lidokain yang optimal dikarenakan
onset lidokain sebagai lokal anestesi yang belum tercapai waktunya.
Melihat masalah tersebut diatas, maka dalam penelitian ini, peneliti berusaha
membandingkan pemberian lidokain intravena yang disertai perlakuan torniket untuk oklusi
vena sebelum injeksi propofol (premedikasi) dengan campuran lidokain dalam propofol
(premixed) untuk mengurangi derajat nyeri karena injeksi propofol

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan suatu
perumusan masalah: Bagaimanakah perbandingan premedikasi lidokain perlakuan torniket
dan campuran lidokain derajat nyeri saat induksi anestesi menggunakan propofol

1.3 Pertanyaan Penelitian


Apakah perbandingan premedikasi lidokain perlakuan torniket dapat mengurangi derajat
nyeri saat induksi anestesi menggunakan propofol yang lebih baik dibandingkan campuran
lidokain

1.4 Hipotesis Penelitian


Premedikasi lidokain perlakuan torniket dapat mengurangi derajat nyeri saat induksi
anestesi menggunakan propofol yang lebih baik dibandingkan campuran lidokain dalam
propofol

1.5. Tujuan Umum


Mengetahui perbandingan premedikasi lidokain perlakuan torniket dan campuran lidokain
untuk mengurangi derajat nyeri saat induksi anestesi menggunakan propofol

1.5.1 Tujuan Khusus


1. Mengetahui angka kejadian nyeri saat induksi anestesi menggunakan propofol yang
mendapatkan perlakuan campuran lidokain.

2. Mengetahui angka kejadian nyeri saat induksi anestesi menggunakan propofol yang
mendapatkan perlakuan premedikasi lidokain perlakuan torniket.

1.5.2Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan pengetahuan Bila premedikasi lidokain perlakuan torniket secara
signifikan dapat menurunkan derajat nyeri yang lebih baik akibat induksi anestesi
menggunakan propofol dibandingkan dengan campuran lidokain dan dapat menerapkan
selama dalam perkuliahan

2. Bagi profesi Anestesi


Dengan penelitian ini juga diharapkan akan didapatkan data penelitian awal yang dapat
digunakan dalam penelitian selanjutnya sebagai dasar untuk mengembangkan kualitas
pelayanan anestesi.

3. Bagi Institusi Universitas Harapan Bangsa


Sebagai bahan Pustaka sebagai sarana edukasi dan hasil penelitian Bila premedikasi
lidokain perlakuan torniket secara signifikan dapat menurunkan derajat nyeri yang lebih
baik akibat induksi anestesi menggunakan propofol dibandingkan dengan campuran
lidokain, maka sebaiknya pemberian lidokain dilakukan dengan perlakuan torniket saat
induksi agar pasien mendapatkan pelayanan anestesi yang lebih baik.
G1.6 KEASLIAN PENELITIAN
Nama Judul Penelitian Variabel Rancangan Hasil Penelitian
Peneliti Penelitian Penelitian
(Tahun)
(Prihananto et Premedikasih lidokain Lidokain sebagai penelitian Sampel pada
al., dan premixed lidokain Premedikasi eksperimental kelompok
2020) sebagai Premedikasi untuk quasi dengan lidokain
untuk Mengurangi Mengurangi Nyeri teknik purposive memberikan
Nyeri Lokal akibat Lokal akibat sampling. hasil tidak nyeri
Injeksi Propofol Injeksi Propofol Penelitian ini sebanyak 2
Variabel terikat. dilakukan di orang (10%),
Instalasi Bedah nyeri ringan
Sentral (I.B.S.) sebanyak 17
RSUD Dr. orang (85%), dan
nyeri sedang
sebanyak 1
orang (5%).
Sedangkan pada
sampel
kelompok
efedrin
memberikan
hasil tidak nyeri
sebanyak 4
orang (20%) dan
pasien yang
mengalami nyeri
ringan 16 orang
(80%).
Penggolongan
intensitas nyeri
menggunakan
VAS.
(Yudi hadinata Premedikasih lidokain Lidokain sebagai bersifat Karakteristik
2013) dan premixed lidokain Premedikasi eksperimental sampel yang dikaji
sebagai Premedikasi untuk dan ditujukan adalah usia, berat
untuk Mengurangi Mengurangi Nyeri untuk badan (BB), tinggi
derajat nyeril saat Lokal akibat mengetahui badan (BB), body
induksi anestesi Injeksi Propofol perbandingan mass index (BMI),
menggunakan Propofol Variabel terikat. efek premedikasi tekanan darah
lidokain sistolik, tekanan
perlakuan darah diastolik,
torniket dan nadi, saturasi,
campuran jenis kelamin, dan
lidokain untuk ASA.
mengurangi
derajat nyeri saat
induksi anestesi
menggunakan
propofol di RSSA
Malang

media leaflet di
RSUD Prof dr.
Margono
Soekarjo
(Ortiz et al., Preoperative patient Variabel bebas : selfadministered Dari hasil
2015) education : Can we Preoperative survey penelitian
improve satisfaction patient education diketahui pasien
and redcue anxiety? Variabel terikat : yang menerima
Satisfaction and selebaran
terdapat
reduce anxiety
peningkatan
yang signifikan
secara statistik
ditemukan pada
pertanyaan
tentang
kepuasaan dan
pemahaman
seputar tentang
anestesi dan
operasi yang
akan dijalani.
(Arif Pengaruh pendidikan Variabel bebas : Quasi- Dari hasil
Kurniawan et kesehatan tentang Pendidikan Expreiment penelitian
al., 2017) persiapan fisik pre kesehatan tentang pre-post test diketahui terdapat
operasi dalam persiapan fisik pre design. Dengan perbedaan tingkat
menurunkan kecemasan operasi menggunakan kecemasan pada
Variabel terikat : kelompok
pada pasien hernia Teknik
Tingkat kecemasan perlakuan pada
connsecutive
pada pasien pre kontrol. Hal ini
sampling
operasi hernia menyimpulkan
bahwa ada
pengaruh
pendidikan
kesehatan
tentang
persiapan fisik
pre operasi
terhadap yingkat
kecemasan
pasien pre
operasi hernia
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri
2.1.1 Pengertian Nyeri

Definisi nyeri berdasarkan The International Association for the Study of Pain
mendefinisikan nyeri sebagai sebuah sensasi subjektif dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang sebenarnya
sebagai nyeri akut atau potensial untuk merusak jaringan, yang fungsinya untuk
membangkitkan reflek menghindar. 1,6

2.1.2 Fisiologi Nyeri

Nyeri selain dipengaruhi oleh rangsangan nyeri atau rangsangan nosiseptif dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu latar belakang keluarga, budaya dan lingkungan.
Lingkungan yang asing seperti rumah sakit dengan kebisingan, cahaya dan aktivitasnya
dapat menambah nyeri. Selain itu pengaruh sosial dari keluarga dapat memberikan dampak
psikologis bagi seseorang yang diperoleh dengan adanya kehadiran orang terdekat yang
diberikan oleh pasangan, keluarga, dan teman dekat. Seseorang akan merasa diperhatikan,
dicintai, dan dihargai sehingga meningkatkan kestabilan emosi yang akan mempermudah
untuk penyesuaian diri terhadap situasi stress yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri
seseorang. Latar belakang etnis dan warisan budaya telah diketahui sebagai faktor yang
mempengaruhi reaksi dan ekspresi seseorang terhadap nyeri. Latar belakang budaya dapat
mempengaruhi tingkat nyeri yang ditoleransi oleh individu. Pada beberapa budaya Timur
tengah dan Afrika, menghukum diri dengan dengan nyeri adalah tanda dari berkabung atau
berduka. Pada kelompok budaya lain, nyeri mungkin diantisipasi sebagai bagian dari
praktik kegiatan ritual dan oleh karena itu toleransi terhadap nyeri menandakan kekuatan
dan ketahanan. Selain itu terdapat perbedaan yang signifikan dalam mengekspresikan rasa
nyeri. Studi menunjukkan bahwa individu keturunan Eropa Utara cenderung lebih dapat
menahan dan kurang mengekspresikan nyerinya dibandingkan dengan individu dari Eropa
Selatan. Sebuah studi menunjukkan bahwa setiap kelompok budaya menggunakan
deskriptor nyeri yang berbeda-beda. 8
Rangsangan nyeri diterima oleh organ tubuh yang disebut sebagai reseptor nyeri.
Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Nosiseptor adalah saraf aferen primer untuk
menerima dan menyalurkan rangsangan nyeri. Ujung saraf bebas nosiseptor berfungsi
sebagai reseptor yang peka terhadap rangsangan mekanis, suhu listrik, atau kimiawi yang
menimbulkan nyeri. Reseptor yang sensitive terhadap bahan kimia disebut reseptor rasa
sakit kemosensitif. Beberapa bahan kimia yang dapat merangsang reseptor kemosensitif
adalah bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, prostaglandin, asetilkolin dan enzim
proteolitik. Enzim proteolitik merupakan bahan yang dapat merusak secara langsung ujung
saraf nyeri sedangkan bradikinin, prostaglandin merangsang ujung saraf nyeri tanpa
merusak jaringan saraf. 2

Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian


tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (dinding pembuluh darah) dan visceral.
Dalam penghantaran nosiseptor sendiri terbagi dalam dua komponen yaitu serat cepat tipe
Aδ dan serat lambat tipe C. Kedua serabut saraf ini merupakan suatu ujung saraf bebas
untuk mendeteksi suatu nyeri. 9

Serat saraf Aδ merupakan serat bermielin dengan diameter 2-5 µm, yang berfungsi
sebagai deteksi sinyal nyeri tajam yang akut, dengan kecepatan konduksi 12-30 m/detik.
Lokalisasi nyeri jelas dan bersifat somatik. Serat saraf tipe C merupakan serat saraf yang
tidak bermielin dengan diameter 0,4-1,2 µm yang berfungsi sebagai penjalaran tipe rasa
sakit lambat, dengan kecepatan konduksi 0,5-2,3 m/detik. 2 Nyeri lambat ini dirasakan satu
detik setelah rangsangan yang mengganggu, dan lokalisasi yang kurang jelas dengan
kualitas nyeri seperti terbakar, berdenyut atau pegal. Karena sistem persarafan yang ganda
ini, maka cedera jaringan sering menimbulkan dua sensasi nyeri yang tersendiri yaitu nyeri
tajam yang lebih awal (disalurkan serabut saraf Aδ) diikuti nyeri tumpul (disalurkan
serabut saraf C). Kedua serabut saraf ini akan ditransmisikan ke tingkat medulla spinalis,
tingkat otak bagian bawah dan tingkat otak bagian atas atau tingkat kortek. 9

Penjalaran rangsangan nyeri pada serabut saraf tipe cepat Aδ akan melewati dua
area pada radiks dorsalis medulla spinalis, yaitu pada area lamina I (lamina marginalis) dan
lamina V. Pada kedua lamina ini serabut saraf nyeri yang
masuk akan merangsang neuron kedua yang akan mengirimkan rangsangan nyeri melewati
daerah kontralateral pada sisi medulla spinalis yang lainnya dalam komisura anterior dan
selanjutnya melalui jaras sensorik anterolateral medulla spinalis akan naik menuju ke otak.
2, 9

Perjalanan rangsangan nyeri yang melewati serabut tipe C akan melewati lamina II
dan III pada radiks dorsalis, suatu area yang disebut substansia gelatinosa. Selanjutnya
sebagian besar sinyal nyeri akan melewati satu atau lebih neuron tambahan berserat
pendek yang akan berakhir pada lamina V. Neuron terakhir dalam rangkaian ini akan
mempunyai akson yang panjang, yang sebagian besar akan bersatu dengan saraf-saraf yang
berasal dari jaras cepat dan melewati komisura anterior menuju medulla spinalis sisi
lainnya, lalu melalui jaras sensorik divisi anterolateral naik menuju ke otak. 2, 9

Nyeri sendiri berdasarkan patofisiologinya dibagi menjadi nyeri nosiseptik dan


nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimulasi
noksius (trauma, penyakit, atau proses radang). Dapat diklasifikasikan menjadi nyeri
visceral, bila berasal dari rangsangan pada organ visceral, atau nyeri somatik bila berasal
dari jaringan seperti kulit, otot, tulang, atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu superficial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain).
Sebagai contoh nyeri somatik superficial digambarkan sebagai sensasi tajam dengan lokasi
yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik dapat digambarkan sebagai sensasi tumpul
yang difus. Sedangkan nyeri visceral digambarkan sebagai sensasi nyeri dalam yang sering
disertai nyeri alih (nyeri dirasakan pada daerah lain). 6

Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya kerusakan
atau disfungsi dari sistem saraf baik perifer atau pusat. Penyebabnya adalah trauma,
radang, penyakit metabolik (diabetes mellitus), infeksi (herpes zoster), tumor, toksin dan
penyakit neurologis primer. Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau letak terjadinya
gangguan utama yaitu sentral dan perifer. Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang
patologis karena tidak bertujuan atau tidak jelas kerusakan organnya. 6,10 Mekanisme dasar
terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah proses penyampaian informasi
adanya stimuli noksius di perifer ke sistem saraf pusat.9 Antara rangsangan nyeri
hingga terjadinya persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses dasar. Mekanisme dasar
terjadinya nyeri dijelaskan dalam empat proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi dan
modulasi. 2,9

Proses transduksi merupakan proses perubahan rangsangan nyeri menjadi suatu


aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung syaraf. Rangsangan nyeri tersebut bisa
berupa rangsangan fisik, kimia, ataupun panas. 9

Proses selanjutnya adalah transmisi yang merupakan proses pernjalaran aktivitas


listrik yang dihasilkan oleh proses tranduksi tadi melalui serabut saraf sensorik. Pada tahap
ini terdapat 3 komponen anatomis penting, yaitu serabut saraf sensoris perifer yang
melanjutkan rangsangan dari tempat tranduksi ke terminalnya di medulla spinalis yang
disebut neuron afferen primer. Kedua adalah jaringan neuron yang naik dari medulla
spinalis ke batang otak dan thalamus atau disebut neuron penerima ke-2. Selanjutnya
terdapat Neuron yang menghubungkan thalamus dengan kortek serebri yang menyebabkan
persepsi subyektif atau disebut juga neuron penerima ke-3. 9

Proses Modulasi merupakan proses modifikasi terhadap stimulus nyeri. Modifikasi


ini dapat terjadi pada sepanjang proses sejak transmisi hingga ke korteks serebri.
Modifikasi dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan). 9

Proses terakhir adalah persepsi yang merupakan proses pada tingkat korteks serebri. Proses
ini berupa interpretasi dari rangsangan nyeri yang telah mencapai korteks serebri dan

selanjutnya berupa respon terhadap nyeri tersebut. 9


Neurotransmitter seperti NMDA (N-methyl D-Aspartat) dan AMPA (Alfa-amino-
3-hidroxy-methyl-4-isoxazolepropionic acid) yang merupakan reseptor inotropik dan
metabotropik dari glutamat juga mempengaruhi sel saraf melalui reseptornya di saraf.
Reseptor opioid µ, δ dan κ juga dapat ditemui pada persarafan. Selain itu ditemukan pula
reseptor kolinergik baik nikotinik maupun muskarinik, serta reseptor α2 adrenergik.
Informasi yang diteruskan ke sistem yang lebih tinggi pada akhirnya akan diterjemahkan
sebagai persepsi nyeri. Baik korteks atau sistem limbik terlibat dalam proses persepsi.
Serabut saraf dari kornu dorsalis akan melalui thalamus menuju area somatosensoris
korteks serebri kontralateral dan menghasilkan informasi mengenai lokasi, intensitas dan
kualitas

dari nyeri. Persepsi ini berupa rasa tidak nyaman atau sensasi tidak menyenangkan dan
emosi negatif yang diartikan sebagai ancaman pada tubuh. 6

Modulasi dapat terjadi pada tingkat perifer, spinal ataupun supraspinal. Namun
sebagian besar terjadi pada kornu dorsalis dimana terdapat pengaruh dari otak melalui jalur
descenden. Modulasi yang terjadi di perifer salah satunya adalah fenomena sensitisasi
perifer. Sensitisasi di perifer terjadi karena tersensitisasinya nosiseptor oleh rangsangan
noksius (suhu, mekanik, atau kimia) ataupun oleh rangsangan mediator inflamasi.
Nosiseptor yang mengalami
sensitisasi menjadi lebih mudah untuk teraktivasi karena ambang rangsangnya menjadi
rendah. Nosiseptor yang tersensitisasi juga mengalami penurunan latensi respon dan
aktifitas spontan bahkan sesudah tidak adanya rangsangan. Sensitisasi perifer berperan
terhadap terjadinya kondisi klinis hiperalgesia atau respon yang berlebihan terhadap
rangsangan nyeri dan allodinia yaitu nyeri yang disebabkan oleh rangsangan yang secara
normal tidak menimbulkan nyeri.9

2.1.3 Persarafan Vena

Dinding pembuluh darah vena banyak mengandung persarafan. Akson tidak


bermielin yang merupakan vasomotor, berasal dari ganglion simpatis yang masuk kedalam
tunika adventisia dari pembuluh darah dan berakhir membentuk hubungan dengan sel otot
polos pada bagian tunika media. Serat saraf bermielin sebagai reseptor atau berfungsi
sensoris, berakhir sebagai ujung bebas sensorik terdapat terutama di dalam adventisia.
Pada vena, ujung saraf ditemukan dalam tunika adventisia dan media. Ujung saraf tersebut
berfungsi sebagai reseptor dari nyeri visceral pada pembuluh darah vena.11, 12

2.1.4 Pengukuran Nyeri

Intensitas nyeri dapat diukur melalui beberapa instrumen yang sering digunakan,
yaitu Visual Analog Score (VAS) dan Verbal Rating Scale (VRS).
2.2 Propofol
2.2.1 Farmakologi Propofol

Propofol merupakan agen anestesi yang saat ini banyak digunakan. Propofol pertama kali
ditemukan pada tahun 1970 dengan rumus kimia 2,6 diisopropylphenol yang mengandung
cincin phenol dengan dua ikatan isopropyl.

Instrumen VAS merupakan skala sepanjang 100 mm atau 10 cm yang pada ujung kiri
tertulis tidak nyeri (0 cm) dan pada ujung kanan tertulis sangat nyeri (10 cm), selanjutnya
pasien diminta untuk mendeskripsikan seberapa besar nyeri berdasarkan skala angka

tersebut. 13

Gambar 2.3 Skala Nyeri (Breivik et al. 2008)


Instrumen VRS merupakan pengukuran nyeri berupa pertanyaan mengenai nyeri
yang dirasakan dan dengan memperhatikan perubahan perilaku akibat nyeri yang

dirasakan oleh pasien.13

Tabel 2.1 Skala VRS

Skor Derajat Respon Pasien


Nyeri Nyeri

0 Tidak Tidak nyeri saat ditanya

1 Ringan Nyeri saat ditanya , tanpa perubahan perilaku

2 Sedang Nyeri saat ditanya dan disertai perubahan perilaku,


atau spontan menyatakan nyeri tanpa ditanya

3 Berat Nyeri dengan respon vokal yang kuat disertai


reflek wajah, gerak tangan, dan air mata
Penggunaan propofol secara klinis dilaporkan pertama kali pada tahun 1977 oleh
Kay dan Rolly untuk tindakan induksi anestesi. Propofol merupakan senyawa
golongan alkilfenil yang memiliki sifat hipnotik dengan pH 7,9 – 8,0. Alkilfenol
pada suhu kamar akan bersifat minyak, tidak larut dalam air tetapi dalam lemak.
Rumus bangun propofol ditunjukkan pada gambar berikut di bawah.2

Gambar 2.4 Rumus molekul propofol 2

Mekanisme propofol menyebabkan hipnotik sedatif melalui interaksi


dengan Gamma-aminobutyric acid (GABA). Ketika reseptor GABA diaktifkan
akan terjadi peningkatan konduksi klorida transmembran dan menyebabkan
hiperpolarisasi pada membran postsinaptik. Interaksi propofol dengan komponen
spesifik reseptor GABA (Subunit β1) akan menurunkan tingkat disosiasi GABA
dari reseptornya, sehingga meningkatkan durasi terbukanya kanal ion klorida yang
menyebabkan hiperpolarisasi membran sel. Melalui interaksi pada reseptor
GABA, propofol menghambat pelepasan asetilkolin di otak bagian hipokampus
dan kortek prefrontal. Propofol juga menghambat reseptor glutamate subtipe N-
methyl-D-aspartat (NMDA) melalui gerbang kanal natrium. Beberapa studi juga
menunjukkan propofol mampu mendepresi neuron pada medulla spinalis.
Penghambatan produksi serotonin pada area postrema di otak karena kerja
propofol pada reseptor GABA merupakan salah satu mekanisme antiemetik dari
propofol. 2

Metabolisme propofol terjadi secara intrahepatik dan ekstrahepatik.


Metabolisme intrahepatik terjadi di hati melalui proses konjugasi oleh glukoronat
dan sulfat yang akan membentuk metabolit tidak aktif larut dalam air dan
diekskresikan melalui ginjal. Kurang dari 0.3-1% dikeluarkan tanpa diubah dalam
urin dan hanya 2 % dikeluarkan melalui feses. Disfungsi ginjal tidak
mempengaruhi bersihan propofol meskipun hampir 75% metabolit propofol
dieliminasi melalui urin. Gangguan sirosis hati juga tidak terbukti mengganggu
eliminasi dari propofol. Metabolisme propofol ekstrahepatik terjadi pada organ
pernafasan paru dan ginjal. Pada pengukuran kadar propofol yang melewati
peredaran darah paru didapatkan penurunan kadar propofol sebesar 20-30% dan
metabolit propofol dalam plasma yang lebih tinggi. Ginjal juga berperan pada
bersihan propofol sebesar 30% dari bersihan total yang terjadi pada tubuh pasien.
Studi secara in vitro juga menunjukkan bahwa mikrosom pada usus halus dan
ginjal menunjukkan kemampuan untuk membentuk glukoronida propofol.
Metabolisme intrahepatik dan ekstrahepatik dari propofol yang luas tersebut
membuat propofol memiliki waktu paruh yang singkat dan masa pulih yang cepat
2-8 menit.6

Dosis induksi anestesi untuk propofol adalah 2 - 2.5 mg/kg berat badan.
Induksi anestesi adalah pemberian obat atau kombinasi obat pada saat dimulainya
anestesi yang menyebabkan suatu stadium anestesi umum atau suatu fase pasien
dari keadaan sadar menjadi tidak sadar. Premedikasi dengan obat golongan opioid
ataupun benzodiazepine dapat menurunkan kebutuhan dosis induksi propofol.6

Dosis subhipnotik propofol merupakan dosis propofol sebesar 0.4 - 1


mg/KgBB dimana terjadi anxiolisis atau pasien tenang tersedasi tetapi tidak
kehilangan kontak verbal dengan kadar propofol plasma < 2.4 uq/ml pada darah.
Aplikasi dosis tersebut telah digunakan di beberapa penelitian untuk evaluasi
nyeri propofol dengan memberikan 25% dari dosis total induksi propofol dengan
kecepatan selama 10 detik akan memberikan kadar propofol plasma kurang dari
2.4 uq/ml pada darah.14

Beberapa efek propofol terhadap tubuh manusia telah dievaluasi pada


sistem organ tubuh manusia. Pada sistem kardiovaskuler dosis induksi propofol 2

- 2,5 mg/kgBB tanpa disertai dengan kelainan jantung dapat menyebabkan


penurunan tekanan darah sistolik atau hipotensi hingga 25-40% dan penurunan
resistensi pembuluh darah hingga 25%. Untuk mengurangi hipotensi yang terjadi
maka dapat dilakukan pemberian cairan sebelum induksi dan pemberian propofol
dengan cara inkrimental (bertahap 10 hingga 30 mg) hingga kesadaran pasien
menghilang.2 Propofol dapat mendepresi sistem pernafasan hingga kondisi apneu.
Propofol juga menurunkan respon pernafasan terhadap kondisi hipoxemia dan
hiperkarbia.6

2.2.2 Nyeri Propofol

Angka kejadian nyeri akibat injeksi propofol bervariasi hingga 70%. 4,7
Propofol pada awalnya digunakan dalam konsentrasi larutan kremofor, akan tetapi
karena tingginya insiden nyeri pada saat penyuntikan, dan adanya hubungan
antara kremofor dengan reaksi anafilaktoid maka dibuat formulasi alternatif
larutan propofol 1% dalam larutan minyak kedelai, gliserol dan fosfatida murni.
Saat ini konsentrasi propofol tersedia dalam sediaan intravena sebagai emulsi
minyak dalam air dengan pelarut kedelai 10%, gliserol 3,25% dan fosfatida telur
2,15,16
murni 1,2% berwarna susu putih serta agak kental. Rasa nyeri akibat injeksi
propofol dideskripsikan oleh pasien sebagai sensasi nyeri tajam, menyengat atau
terbakar pada pembuluh darah vena yang dirasakan segera atau hingga 20 detik
setelah suntikan diberikan.17,18 Nyeri yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa
mekanisme, yaitu :

1. Iritasi

Kandungan propofol bebas yang tidak terikat dengan zat pembawa yang
bersifat lipofilik menyebabkan propofol dapat mengiritasi secara langsung pada
nosiseptor pembuluh darah vena. Rangsangan yang ditangkap oleh nosiseptor akan
dibawa dan diteruskan oleh serabut saraf cepat tipe Aδ. Rangsangan nosiseptor yang
dibawa oleh serabut saraf tipe Aδ akan langsung dipersepsikan sebagai nyeri akut saat
injeksi. 18,19

2. Reaksi kinin-kallikrein

Propofol yang telah diinjeksikan pada vena perifer akan mengaktifkan reaksi
kinin-kallikrein dan memproduksi bradikinin. 17 Bradikinin pada pembuluh darah
perifer akan merangsang sel endotel pembuluh darah untuk memproduksi nitric oxide
(NO). Pada tahap lebih lanjut, NO yang telah terbentuk akan menyebabkan otot polos
pada tunika media pembuluh darah relaksasi sehingga terjadi
venodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Bradikinin yang
terbentuk akan merangsang nosiseptor pada tunika media dan menyebabkan nyeri.
Adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah sendiri akan menyebabkan
bradikinin lebih mudah untuk melewati endotel dan berikatan dengan nosiseptor
pada tunika media. Mekanisme ini akan menjelaskan nyeri yang dirasakan oleh
pasien yang mendapat injeksi propofol beberapa saat setelah injeksi propofol. 19

2.3 Lidokain

2.3.1 Farmakologi Lidokain

Obat anestesi lokal secara umum dibagi menjadi dua golongan


berdasarkan struktur kimianya, yaitu golongan ester dan amida. Lidokain
merupakan anestesi lokal golongan amida yang ditemukan oleh Lofgren pada
tahun 1943. Rumus molekul dari lidokain digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 2.5 Rumus molekul lidokain 2

Penjalaran rangsang elektrik pada serabut saraf dikenal sebagai potensial


aksi. Potensial aksi merupakan peningkatan lokal dari muatan positif atau
depolarisasi yang terjadi pada membran sel akibat masuknya ion natrium melalui
kanal natrium secara cepat dan mengakibatkan penurunan muatan elektrokimia
pada membran sel. Perubahan tersebut akan mengakibatkan rangsangan pada saraf
dapat menjalar hingga pusat saraf yang lebih tinggi. Anestesi lokal lidokain
bekerja dengan menghalangi transmisi dari hantaran saraf melalui hambatan pada
kanal natrium. Ikatan lidokain dengan kanal natrium intraseluler akan
menghambat ion natrium untuk masuk ke dalam sel dan menghalangi terjadinya

aksi potensial membran saraf. Mekanisme tersebut memberikan efek anestesi dan
analgesik dengan menghambat transmisi sensasi nyeri pada serabut saraf. 6

Lidokain sebagai obat anestesi lokal dapat diberikan secara intravena,


topikal pada kulit atau mukosa, infiltrasi subkutan, epidural atau spinal. Secara
klinis penggunaan paling sering dari anestesi lokal ialah untuk tindakan lokal,
regional dan analgesia. Anestesi dan analgesia saraf sentral dapat dicapai dengan
injeksi anestesi lokal secara epidural atau spinal. Penempatan kateter epidural dan
spinal memungkinkan anestesi lokal dan analgesia untuk durasi yang lebih lama.
Anestesia regional dengan intravena dan blok saraf perifer memungkinkan
anestesi kepala dan leher, termasuk jalan napas, ekstremitas atas, dan ekstremitas
bawah. Kateter untuk blok saraf perifer kontinu dapat digunakan untuk anestesi
dan analgesia yang lebih lama. Aplikasi topikal anestesi lokal pada jalan napas,
mata dan kulit menyediakan anestesi yang cukup untuk prosedur anestesi minor
dan bedah seperti intubasi trakea, penempatan kateter intravena, atau penusukan
epidural. Penggunaan klinis lain anestesi lokal termasuk pemberian lidokain untuk
menghilangkan respon saat intubasi trakea dan supresi disritmia jantung.
Pemberian intravena atau topikal dari lidokain memiliki tingkat kesuksesan
bervariasi dalam mencegah respon hemodinamik saat intubasi trakea dan
ekstubasi. Lidokain intravena efektif untuk menurunkan sensitivitas jalan nafas
terhadap instrumentasi melalui supresi reflek jalan nafas. Dosis lidokain untuk
intravena berkisar 1 hingga 1.5 mg/kgBB untuk mencegah respon hemodinamik
dan jalan nafas pada instrumentasi trakea. Onset yang diperlukan untuk lidokain
agar dapat bekerja dengan baik antara 60-90 detik dengan durasi kerja 60 - 120
menit sebagai anestesi lokal. Dosis lidokain untuk infiltrasi dan blok perifer atau
sentral dapat diberikan sebesar 4 mg/KgBB hingga 7 mg/KgBB dengan tambahan
6
epinephrine.

Metabolisme dari lidokain terjadi di hepar melalui proses karboksilase oleh


enzim sitokrom p450. Gangguan pada fungsi hepar dapat mempengaruhi kadar
obat pada plasma dan meningkatkan resiko terjadinya toksisitas lidokain.
Gangguan fungi ginjal tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap proses
eliminasinya, lidokain dapat terdistribusi dengan baik pada organ yang memiliki
banyak vaskularisasi seperti otak dan jantung, sehingga toksisitas yang terjadi
akibat pemberian lidokain lebih sering karena gangguan pada otak atau jantung.
Toksisitas pada otak mengakibatkan kejadian kejang, sementara pada jantung
dapat menyebabkan bradikardi hingga blok jantung bila dosis yang digunakan
2
tinggi dan pasien memiliki faktor predisposisi sebelumnya.

Reaksi alergi terhadap golongan amida yaitu lidokain jarang terjadi dibandingkan
anestesi lokal kelompok ester. Reaksi alergi yang terjadi diakarenakan hasil
metabolisme para-aminobenzoic acid atau zat pembawa seperti methylparaben
dan metabisulfit yang biasa digunakan pada kelompok ester. Reaksi alergi yang
ringan seperti urtikaria hingga yang berat seperti anafilaktik dilaporkan pada
penggunaan golongan ester, sedangkan pada golongan amida sangat jarang
terjadi.20

2.3.2 Mekanisme Kerja Lidokain Sebagai Anestesi Lokal Terhadap Nyeri


Propofol

Anestesi regional dengan teknik intravena pertama kali diperkenalkan oleh


August K.G. Bier pada tahun 1908, dan semenjak saat itu dikenal sebagai blok
Bier. Teknik ini banyak dikerjakan untuk operasi ekstremitas atas. Awalnya
digunakan prilokain sebagai obat anestesi lokal, dan sejak tahun 1960 lebih sering
21
digunakan lidokain. Blok Bier dilakukan dengan cara memberikan obat anestesi
lokal secara intravena dan membuat oklusi aliran vena dengan torniket. Dengan
oklusi aliran vena maka diharapkan obat anestesi lokal yang berada di lumen vena
akan mampu berdifusi dan bekerja pada serabut saraf di sekitarnya menghambat
rangsang nyeri karena prosedur pembedahan. Beberapa dosis yang telah
dilaporkan penggunaannya adalah 50 cc lidokain 0.5% atau 12-15 cc lidokain 2%
untuk menghambat nyeri pada ekstremitas atas. Oklusi dikerjakan dengan
menggunakan torniket pada bagian proksimal lengan atas untuk menahan aliran
darah arteri dengan tekanan minimal 300 mmHg atau 100 mmHg diatas tekanan
darah sistolik. Dengan menggunakan metode ini maka durasi anestesi bisa
berlangsung hingga diatas 60 menit menggunakan lidokain. Dengan melakukan
21
teknik tersebut maka pembedahan untuk ekstremitas dapat dilakukan.
Aplikasi teknik tersebut dapat digunakan untuk menghambat proses
penghantaran nyeri karena injeksi propofol intravena. Dengan memberikan
lidokain intravena dan melakukan oklusi aliran vena maka diharapkan lidokain
akan mampu berdifusi dan manghambat depolarisasi pada serabut saraf di vena
dan mengurangi atau menghentikan rangsangan nyeri karena propofol. Beberapa
cara pemberian lidokain untuk mengurangi nyeri propofol telah diteliti, yaitu
dengan menggunakan lidokain sebagai premedikasi dengan atau tanpa oklusi vena
sebelum injeksi propofol dan dengan cara dicampur bersama propofol. Pemberian
campuran lidokain dengan propofol (campuran) dapat merubah komposisi
propofol yang terlarut dengan zat pembawa yang bersifat lipofilik sehingga dapat
mengurangi nyeri propofol dengan mengurangi pembentukan bradikinin melalui
jalur aktivasi kinin-kallikrein. Lidokain yang diberikan sebelum injeksi propofol
memiliki mekanisme sebagai lokal anestesi bila paparan lidokain pada saraf
pembuluh darah vena terjadi pada waktu yang cukup sesuai onset lidokain. Dosis
yang dapat digunakan untuk menghambat nyeri injeksi propofol pada vena perifer
memiliki rentang antara 10 mg hingga 40 mg dengan dosis yang optimal adalah
40 mg. Dosis lidokain hingga 80 mg juga telah diteliti, akan tetapi efek anti
nyerinya tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dosis 40 mg untuk
mengurangi nyeri propofol pada vena perifer. 7
2.4 Kerangka Teori
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan uji klinis tersamar acak tunggal, bersifat


eksperimental dan ditujukan untuk mengetahui perbandingan efek premedikasi
lidokain perlakuan torniket dan campuran lidokain untuk mengurangi derajat
nyeri saat induksi anestesi menggunakan propofol di RSSA Malang.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS Saiful Anwar Malang mulai bulan April


2013 setelah mendapat persetujuan dari Panitia Penilai Etika Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya serta persetujuan tertulis dari setiap pasien
yang telah mendapat penerangan dan persetujuan (informed consent) akan
tindakan yang akan dilakukan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah pasien yang akan menjalani operasi elektif di


Instalasi bedah sentral Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang. Sampel
penelitian adalah pasien operasi elektif dengan anastesi umum di Instalasi bedah
sentral RSSA Malang.
3.4 Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini didapatkan dengan perhitungan rumus:


22
(t-1) (r-1) ≥ 15

Dimana : t = banyaknya kelompok perlakuan

r = subyek penelitian

Dalam penelitian ini: t = 2 (kelompok premedikasi lidokain perlakuan


torniket dan kelompok campuran lidokain dalam propofol
(2-1) (r-1) ≥ 15

1 (r-1) ≥ 15

r-1 ≥ 15

r ≥ 16

Jadi untuk setiap masing-masing kelompok perlakuan dibutuhkan besar


sampel minimal 16 pasien, dengan total sampel minimal secara keseluruhan 32
pasien. Dalam pelaksanaannya akan diambil sampel masing-masing perlakuan
sejumlah 25 pasien, atau total sampel 50 pasien dalam penelitian ini.

3.5 Kriteria Penerimaan

1. Pasien Usia 17–40 tahun dan yang akan menjalani anestesia umum untuk
operasi elektif di RSSA

2. Status fisik ASA I – II

3. BMi 18.5-25 Kg/m2


4. Pasien bersedia dan menandatangani informed consent

3.6 Kriteria Penolakan

1. Pasien dengan riwayat alergi Propofol


2. Pasien dengan riwayat alergi Lidokain
3. Pasien dengan status fisik ASA > III

4. Pasien dengan gangguan konduksi jantung dari EKG


(blok AV)
3.7 Kriteria Pengeluaran

1. Pasien mengalami gangguan konduksi jantung saat


akan induksi anestesi
2. Phlebitis pada lokasi infus
3. Pasien tersedasi dan tidak bisa berkomunikasi secara
verbal

3.8 Cara Kerja Penelitian

Setelah mendapat ijin tetap dari komite etik penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya, kepada seluruh pasien yang memenuhi kriteria penerimaan
penelitian maka akan dilakukan prosedur berikut :

1. Pasien diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian dan diminta


kesediannya untuk menandatangani surat persetujuan penelitian,
selanjutnya pasien disiapkan untuk dilakukan tindakan anestesi umum.

2. Dilakukan randomisasi sederhana menggunakan kertas undian menjadi 2


kelompok yaitu:

a. Kelompok Premedikasi lidokain perlakuan torniket

b. Kelompok campuran lidokain

3. Pasien dipastikan terpasang infus dengan kanul ukuran 18 G pada dorsum


manus dengan cairan ringer laktat. Cairan infus dipastikan menetes dalam
kondisi lancar dan tidak didapatkan tanda-tanda radang atau ekstravasasi.
Bila tidak dapat dipastikan, dilakukan pemasangan ulang kanul vena pada
dorsum manus kontralateral.

4. Pasien dikamar operasi dipasang alat monitor saturasi oksigen,


elektrokardiografi, dan pengukur tekanan darah, untuk memastikan
kondisi pasien dalam keadaan baik sebelum dilakukan pemberian obat
anestesi.
5. Sebelum melakukan injeksi ditanyakan ada atau tidaknya nyeri pada
sekitar tempat injeksi dan dilakukan pencatatan data.

6. Kelompok campuran lidokain (premixed) mendapatkan injeksi propofol


yang telah dicampur lidokain (100 mg propofol + lidokain 40 mg).

7. Kelompok premedikasi mendapatkan perlakuan torniket sebelum injeksi


lidokain 40mg, dan oklusi vena dengan torniket dipertahankan selama 60
detik. Setelahnya torniket dilepaskan dan dilakukan injeksi propofol
intravena.

8. Oklusi vena dilakukan dengan cara memberikan tekanan torniket pada saat
infus masih mengalir lancar hingga aliran infus berhenti yang dianggap
sebagai tekanan torniket optimal untuk menghentikan aliran darah vena
dorsum manus. Setelah oklusi vena tercapai maka pengatur aliran infus
dimatikan.

9. Derajat nyeri dievaluasi dengan nilai Verbal Rating Scale (VRS), dinilai
saat dimulainya injeksi propofol hingga 30 detik setelah penyuntikan
propofol dihentikan.

10. Selama memasukkan tiap obat, aliran infus dihentikan.

11. Setelah penelitian selesai, prosedur anestesi dilanjutkan oleh dokter


anestesi penanggung jawab pasien masing-masing kamar operasi.

3.9 Alat dan Bahan


1. Cairan Ringer Laktat
2. Propofol 1 % (1 cc = 10 mg)/(MCT/LCT)
3. Lidokain 2% (1 cc = 20 mg)
4. Kanul vena ukuran 18G
5. Infus set
6. Spuit 3 cc
7. Spuit 10 cc
8. Pencatat waktu
9. Torniket infus
10. Pengukur tinggi badan dan berat badan
11. Alat tulis dan Formulir penelitian
3.10 Alur

3.11 Definisi Operasional


1. Induksi anestesi dengan propofol

Induksi anestesi menggunakan propofol dosis 2 mg/KgBB intravena atau


hingga tingkat hipnosis yang diharapkan tercapai dan ditandai dengan hilangnya
reflek bulu mata serta respon pasien terhadap stimulasi verbal.

2. Nyeri penyuntikan

Nyeri yang dinilai adalah nyeri yang ditimbulkan saat penyuntikan propofol
intravena sebesar 25% dari total dosis induksi (Mahmood, 2010). Evaluasi
dilakukan hingga 30 detik setelah penyuntikan dihentikan sesuai skala nyeri Verbal
Rating Scale (VRS). Skala VRS digunakan dalam penelitian ini karena menilai
nyeri berdasarkan subyektif pasien dan secara obyektif berdasarkan perubahan
perilaku pasien terhadap respon nyeri dan dikategorikan dalam kelompok berikut :

Skor Derajat Nyeri Respon Pasien


Nyeri

0 Tidak Tidak nyeri saat ditanya

Nyeri saat ditanya , tanpa


1 Ringan perubahan
perilaku

2 Sedang Nyeri saat ditanya dan disertai


perubahan perilaku, atau spontan
menyatakan nyeri tanpa ditanya

3 Berat Nyeri dengan respon vokal yang


kuat disertai reflek wajah, gerak
tangan, dan air mata

3. Premedikasi lidokain perlakuan torniket


Lidokain premedikasi perlakuan torniket adalah lidokain 2% (2 cc) dengan
dosis 40 mg intravena yang diberikan satu menit sebelum injeksi propofol, dimana
sebelumnya dilakukan perlakuan torniket untuk menghentikan aliran darah pada
vena sehingga lidokain yang disuntikkan akan tertahan pada pembuluh darah vena.

Perlakuan torniket adalah pemasangan torniket pada daerah lengan bawah


bagian proksimal dengan tujuan memberikan tekanan yang optimal untuk
membendung aliran darah pada vena perifer yang terpasang infus.

4. Campuran lidokain dalam propofol (campuran)

Merupakan campuran lidokain 2% (40 mg = 2 cc) dalam propofol 1% (100 mg =


10 cc).

3.12 Analisis Statistik

Data yang dikumpulkan dari kedua kelompok akan dimasukkan ke dalam tabel
induk, setelah diolah disajikan secara tekstual dan tabulasi silang. Perhitungan statistik
dilakukan dengan program SPSS, dan outcome hasil analisis dapat dilihat pada lembar
lampiran.

Data penelitian dari kedua kelompok perlakuan merupakan derajat nyeri yang
merupakan data kategorik berupa ordinal, sehingga untuk uji statistik pada kedua
kelompok perlakuan akan digunakan uji mann whitney untuk mengetahui perbandingan
efek kedua kelompok perlakuan terhadap penurunan nyeri injeksi propofol.

Diterima atau tidaknya hipotesis penelitian ditentukan oleh nilai p, dengan


ketentuan :

a. p < 0,05 jika menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik.

b. p > 0,05 jika tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara

statistik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarto RF dan Chandra S 2012, Buku Ajar Anestesiologi, Departemen


Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM, Jakarta.

th
2. Miller RD 2010. Miller’s Anesthesia. 7 Edition, San Fransisco, Churchill
livingstone.

3. Sethi N, Jayaraman L, Sethi M, Sharma S, and Sood J. Prevention of Propofol


Pain: A Comparative Study. Middle East Journal of Anesthesiology, 2009, 20(1):
71-74.
4. Lee P, and Russel WJ 2004, ‘Preventing Pain on Injection of Propofol: A
Comparison Between Lignocaine Pre-treatment and Lignocaine Added to
Propofol’, Anaesthesia and Intensive Care, vol. 32, no.4, pp.482-484.a

5. Massad IM, Ali HM, Halaweh SA, and Badran IZ 2006, ‘Venous occlusion with
lidocaine for preventing propofol induced pain’, Saudi Medical Journal, 2006,
vol.27, no.7, pp. 997-1000.
6. Morgan GE, Mikhail MS, and Murray MJ.2006, Clinical Anesthesiology,
th
4 edition. McGraw-Hill. Singapore.
7. Lee, SK 2010, ‘Pain on Injection With Propofol’, Korean Journal of
Anesthesiology. 2010, vol.59, no.5, pp. 297-298.

8. Berman A, Snyder S, Kozier B, dan Erb G. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan
Klinis. Edisi 5. Jakarta. EGC.

9. Fein A 2012, ‘Nociceptors And The Perception of Pain’, University of Connecticut


Health Center. Farmington.a

st
10. Melzak R, and Wall PD 2003, Handbook of Pain Management. 1 Edition,
Elsevier, Philadelphia.
11. Vanderah TW 2007, Patophysiology of Pain, The Medical Clinic, 2007, vol. 91,
pp. 1-12.

12. Donaldson, LF 2009, 'Neurogenic Mechanism in Arthritis', Elsevier, vol. 8, pp.


211-241.
13. Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland LA, Romundstand L, Hals
EKB, Kvarstein G, and Stubhaug A 2008, ‘Assesment of Pain’, British Journal of
Anesthesia, vol. 101, no. 1, pp. 17-24.
14. Tariq MA and Kamran M 2006, ‘Incidence of Pain on Propofol Injection and
Efficacy of Addition of Lignocaine or Selecting Big Vein or Both Combined in
Reducing It: A Randomized Control Trial’, Journal Postgraduate Medical
Institute, no. 20, pp.8-11.
44

Anda mungkin juga menyukai