Anda di halaman 1dari 29

TEORI POSITIVISME HUKUM DAN HUKUM MURNI

Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan


pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan
ilmu hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat merupakan produk
sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi
demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi
bahan kajian tersendiri dara para ahli hukum.

Aliran-aliran filsafat hukum antara lain meliputi: (1) Aliran


Hukum Alam, (2) Positivisme Hukum, (3) Utilitarianisme, (4)
Mahzab Sejarah, (5) Sociologizal Jurisprudence, (6) Realisme
Hukum, dan (7) Freirechslehre.

Pada Karya Tulis ini, aliran yang akan kami bahas adalah aliran
Positivisme Hukum. Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif)
memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral
(antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das
sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hukum
lain, kecuali perintah penguasa. Bahkan, bagian dari Aliran HUkum
Positif yang dikenal dengan nama Legisme berpendapat lebih tegas,
bahwa hukum itu identik dengan Undang-Undang.

Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli yang menganut aliran


tersebut:

1) J. Bentham

Pembagian dalam Pemerintahan (A Fragment on Government)

Ketika sejumlah orang (yang dapat kita sebut sebagai subjek)


diasumsikan mempunyai kebiasaan untuk patuh kepada seseorang,
atau sekelompok orang, sebuah deskripsi yang dikenal dan pasti
(yang bisa kita sebut dengan penguasa atau pemerintah) semua
hal tersebut secara bersama-sama (subjek dan pengatur) disebut
dengan masyarakat politik (political society).

Esensi dari ajaran yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham antara


lain:

1) Tujuan hukum dan wujud keadilan menurut Jeremy Bentham


adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dinikmati oleh sebanyak
mungkin individu di dalam masyarakat/bangsa (the greatest
happiness of the greatest number).

2) Tujuan perundang-undangan menurut Bentham adalah untuk


menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat, untuk itu
perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat
tujuan, yaitu:

a. untuk memberikan nafkah hidup (to provide subsistence)

b. untuk memberikan makanan yang berlimpah (to provide


abundance)

c. untuk memberikan perlindungan (to provide security)

d. untuk mencapai persamaan (to attain equality)

Prinsip-prinsip Moral dan Perundang-undangan

Alam menempatkan umat manusia berada dibawah dua aturan yang


mutlak; kesusahan dan kebahagiaan. Bagi manusia sendiri untuk
mengemukakan apa yang harus mereka lakukan, dan sebagaimana
ditentukan apa yang harus mereka kerjakan. Pada satu sisi,
standar benar atau salah, dan pada sisi lain, rantai sebab dan
akibat, terkunci ke dalam tahta mereka. Standar benar dan
salah dan rantai sebab akibat mengatur manusia dalam segala
apa yang mereka pikirkan; setiap upaya yang bisa mereka
lakukan untuk menghilangkan ketidakberdayaan adalah membantu
dengan cara memperlihatkan dan mendukungnya. Seorang manusia
dapat berpura-pura menolak tahta mereka; tetapi, dalam
realita, manusia itu akan tetap tunduk pada tahta itu. Prinsip
kegunaan mengenali ketidakberdayaan ini dan mengasumsikannya
bagi pondasi sistem tersebut, yang tujuannya adalah
meluncurkan sekumpulan kebahagiaan oleh tangan-tangan alasan
dan hukum. Sistem yang berupaya mempersoalkannya, menanganinya
dalam suara, bukannya perasaan, dalam perubahan pikiran,
bukannya alasan, dalam kegelapan bukannya keterangan.

Prinsip kegunaan merupakan pondasi pekerjaan saat ini; dengan


demikian, adalah tepat pada permulaannya untuk memberikan
sebuah penjelasan eskplisit dan pasti tentang apa yang
dimaksudkan oleh prinsip kegunaan tersebut. Prinsip kegunaan
berarti yang menyetujui atau menolak setiap tindakan apapun,
menurut kecenderungan yang terlihat dimiliki olehnya dalam
memperbesar dan memperkecil kebahagiaan pihak yang
kepentingannya dipersoalkan; atau, dengan kata lain, dalam
menerima atau menolak kebahagiaan itu. Bentham mengatakan
setiap tindakan apapun; tidak hanya tindakan individu tertentu
tetapi juga tindakan pemerintah.

Ada empat (4) Sanksi atau Sumber-Sumber Kesusahan dan


Kebahagiaan yaitu:

1. Terlihat bahwa kebahagiaan para individu, oleh siapa


masyarakat itu terbentuk, yakni kesenangan mereka dan
keamanan mereka, merupakan sebuah tujuan dan satu-satunya
tujuan yang harus dimiliki dengan jelas oleh badan pembuat
undang-undang; satu-satunya standard yang selaras dengan apa
yang harus diharuskan oleh masing-masing individu, sejauh
bergantung pada badan pembuat undang-undang, akan diciptakan
dalam rangka memodelkan perilakunya. Tetapi apapun sesuatu
itu atau sesuatu lain yang akan dilakukan, tidak ada sesuatu
apapun yang pada akhirnya dapat diciptakan untuk
melaksanakannya, kecuali kesedihan atau kesenangan. Setelah
mengambil sebuah pandangan umum tentang dua objek besar ini
(kesenangan, dan apa yang sampai pada sesuatu yang sama,
kebebalan dari kesedihan) dalam karakter sebab-sebab final,
kita perlu mengambil pandangan kesenangan dan kesedihan itu
sendiri, dalam karakter sebab atau alat-alat yang efisien.

2. Ada empat sumber berbeda dimana kesenangan dan kesedihan


yang digunakan; dipertimbangkan terpisah, keempat sumber itu
dapat diterminologikan sebagai sumber fisik, sumber politik,
sumber moral dan sumber agama; dan karena kesenangan dan
kesedihan, yang menjadi milik masing-masing daripadanya,
mampu memberikan sebuah kekuatan yang mengikat berdasarkan
hukum atau aturan perilaku apapun, kesemuanya bisa
diterminologikan sebagai sanksi. Salah satu contoh sanksi
sebagaimana diuraikan dalam hukum pidana dikatakan bahwa
Hukum itu bagaikan Pedang Tajam pada Kedua Belah Sisinya
(HET STRAFRECHT IS EEN TWEE SNIJDEND ZWAA).

3. Bila ada dalam kehidupan saat ini, dan dari proses alamiah
biasa, yang tidak secara sengaja dimodifikasi oleh
interposisi kemauan manusaia apapun, atau oleh interposisi
luas biasa apapun tentang sesuatu superior yang tidak
terlihat, kesenangan atau kesedihan tersebut akan
berlangsung atau diperkirakan akan berlangsung, dan
kemungkinan bisa dikatakan bahwa sanksi itu berasal dari,
atau menjadi milik sanksi fisik (physical sanction).

4. Bila ada tangan-tangan orang tertentu atau sekumpulan orang


tertentu dalam masyarakat, yang dibawah nama-nama yang
selaras dengan nama-nama hakim, dipilih untuk tujuan khusus
penyalurannya, maka, menurut kemauan kekuasaan penguasa
tertinggi dalam negara itu, bisa dikatakan bahwa sanksi ini
berasal dari sanksi politik (political sanction).

5. Bila pada tangan-tangan orang-orang yang berpeluang dalam


masyarakat, misalnya pihak yang dipersoalkan dalam
kehidupan, ada perhatian atasnya, menurut kecenderungan
spontan masing-masing orang, dan bukan menurut aturan apapun
yang diselesaikan atau diselaraskan, maka bisa dikatakan
bahwa sanksi ini berasal dari sanksi moral atau rakyat
(moral or popular sanction).

6. Bila dari tangan langsung sesuatu superior yang tidak


terlihat, baik dalam kehidupan saat ini maupun saat nanti,
maka, dapat dikatakan bahwa sanksi ini berasal dari sanksi
agama (religious sanction).

7. Kesenangan atau kesedihan yang diperkirakan berasal dari


sanksi fisik, politik atau moral, semuanya harus
diperkirakan terjadi, dan apabila benar, dalam kehidupan
saat ini; sanksi-sanksi yang diperkirakan berasal dari
sanksi agama, yang diperkirakan akan terjadi, baik dalam
kehidupan saat ini atau saat nanti.

Hukum Secara Umum


Hukum dapat didefiniskan sebagai serangkaian tanda-tanda
yang menunjukkan sebuah kemauan yang dikonsepkan atau diadopsi
oleh penguasa tertinggi dalam sebuah negara, yang mencermati
perilaku, yang pada kasus tertentu, akan terlihat oleh
seseorang atau sekelompok orang tertentu yang pada kasus yang
dipersoalkan, diasumsikan akan tunduk pada kekuasannya.

Sebagaimana diutarakan bahwa maksud dan tujuan hukum yaitu:


(1). Kepastian Hukum, (2). Manfaat Hukum, (3). Keadilan Hukum,
dalam implementasinya bahwa hukum itu menegakkan mana yang
dapat diperbuat dan yang dilarang.

Menurut definisi ini, hukum dapat dilihat dalam delapan (8)


cara berbeda yaitu:

(1). Menyangkut sumbernya, yaitu terhadap orang atau orang yang


kemauannya atau keinginannya telah dinyatakan.

(2). Menyangkut kualitas subjeknya, yaitu dimana kepada orang-


orang yang menggunakannya.

(3). Menyangkut objeknya, yaitu tindakan dengan mana hukum itu


dapat diterapkan.

(4). Menyangkut tingkatannya, yaitu keluasan aplikasinya, dimana


terdapat kepastian mengenai tingkah laku yang dapat diatur
oleh hukum tersebut.

(5). Menyangkut penyebabnya, yaitu terhadap berbagai macam cara


dimana keinginan telah diekspresikan sebagai tujuan dari
tindakannya.

(6). Menyangkut penegakannya, yaitu bagaimana motif atau tujuan


dari tindakan itu dapat diberikan efek atau dampak.
(7). Menyangkut ekspresi, yaitu bahwa tanda-tanda dari penampakan
ekspresi tersebut telah dapat diketahui.

(8). Menyangkut renacana perbaikannya, yaitu adanya hukum lain


yang dapat memberikan perbaikan bagi pelaksanaan hukum
disamping efektifitas hal-hal yang lain.

Sumber Hukum (Source of a Law)

Untuk mengerti apakah hukum yang sebenarnya perlu diketahui


apakah makna hukum itu. Menurut tanggapan umum makna hukum ialah
mewujudkan keadilan dalam hidup bersama (manusia). Makna ini
tercapai dengan dimaksudkannya prinsip-prinsip keadilan dalam
peraturan-peraturan bagi kehidupan bersama itu. Maka menurut
pandangan orang hukum yang sebenarnya adalah hukum positif yang
merupakan suatu realisasi dari prinsip-prinsip keadilan.

Selanjutnya, pertama-tama adalah menyangkut sumber hukum. Yang


dipertimbangkan dalam sudut pandang ini adalah kemauan sebagai
sebuah ekspresi sejalan definisinya merupakan kemauan penguasa
tertinggi dalam sebuah pemerintah. Kini, berdasarkan penguasa
tertinggi, Bentham maksudkan atau kelompok orang apapun dimana
kemauannya diasumsikan berada dalam kecenderungan untuk membayar
kepatuhan; dan bahwa dalam pilihan kemauan orang lain apapun.
Anggaplah kemauan yang dipersoalkan bukan merupakan kemauan
seorang penguasa tertinggi, tetapi sejumlah penguasa tertinggi
atau lainnya; dalam kasus tersebut, bila muncul kembali dengan
motif-motif yang bersifat memaksa, kemauan ini bukan merupakan
sebuah hukum tetapi hanya mandat ilegal dan penerbitannya
merupakan sebuah pelanggaran.

Kekuatan Hukum (Force of a law)


Menyangkut kekuatan sebuah hukum: yakni, menyangkut motif-motif
yang disandarkan oleh hukum untuk memperkenannya menciptakan
efek-efek yang ditargetkannya. Motif-motif antar satu dan pilihan
jelas-jelas harus dimiliki olehnya; karena tanpa sebuah sebab,
tidak akan ada akibat; tanpa sebuah motif, tidak akan ada
tindakan. Motif merupakan perkiraan begitu banyak kesedihan dan
kesenangan, sebagai sesuatu yang dikaitkan melalui pola hubungan
sebab akibat dengan tindakan-tindakan dan rujukan-rujukan yang
diterminologikan sebagai motif.

Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan


karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat.
Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di
dalam hukum itu. Pendapat ini diutarakan oleh Prof. Mr. H. Krabbe
berpendapat bahwa kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada
perasaan hukum setiap individu, yaitu perasaan bagaimana
seharusnya hukum itu.

Gagasan Hukum Sempurna (Idea of a complete law)

Hukum menyangkut kebendaan yang dapat dipertimbangkan melalui


banyak sudut pandang. Untuk memahami sifatnya, hubungan itu
direduksi menuju sifat sebuah mandat atau lawannya, kita harus
mengingat kembali apa yang dikatakan tentang pelanggarannya
menyangkut benda.

Untuk memahami sifat hukum kebendaan kita perlu mengurangi


penyebutan yang terkadang kita buat tentang kemungkinan
pelanggaran menyangkut benda. Kita juga perlu mengumpulkan
kembali pelanggaran dan hukum dimana pelanggaran yang diciptakan
bersifat korelatif; sehingga untuk setiap pelanggaran pasti akan
ada hukum: hukum bertipe mandat atau interaktif; dan untuk setiap
hukum bertipe interaktif pasti akan ada pelanggaran.
2) J. Austin

Wilayah Yurisprudensi Yang Ditetapkan (The Province of


Jurisprudence Determined)

Persoalan yurisprudensi merupakan hukum positif; hukuman


disebut secara sederhana dan terbatas; atau seperangkat hukum
oleh para pejabat tinggi politik hingga rendah. Tetapi hukum
positif seringkali dirancukan dengan objek-objek dimana hukum itu
dikaitkan berdasarkan persamaan dan dengan objek-objek dimana
hukum itu dikaitkan melalui analogi.

Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang


beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan
hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum
positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal
efektivitas hukum dalam masyarakat. Termasuk dalam aliran ini
ajaran Analytical Jurisprudence yang dikemukakan oleh John
Austin. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a
command (hukum merupakan perintah dari penguasa).

John Austin mendefinisikan hukum sebagai berikut:

”Law is a command set, either directly or circuitously, by a


sovereign individual or body, to a members of some independent
political society in which his auhority is supreme.” Jadi hukum
adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak
langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya
yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana
otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas yang
tertinggi. Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang
berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan
dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan
terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan
dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system),
dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum
yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai
yang baik atau buruk.

Austin membedakan hukum menjadi:

I. Hukum yang dibuat oleh Tuhan untuk manusia (Law set by God to
men = Law of God)

II. Hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (Law set by men
to men = Human Law)

Hukum buatan manusia (Human Laws) dapat dibedakan dalam:

1). Positive Law atau law strictly, yaitu hukum yang dengan tepat
disebut “hukum positif”, yang dapat berupa:

a. hukum yang dibuat oleh kekuasaan politik yang lebih


tinggi untuk orang-orang yang secara politis merupakan
bawahannya. Contohnya adalah undang-undang.

b. peraturan-peraturan yang diadakan oleh orang-orang


sebagai pribadi (private persons) berdasarkan hak-hak yang
sah (legal right) yang diberikan kepadanya oleh penguasa
yang lebih tinggi. Contohnya adalah hak-hak yang diberikan
kepada wali (guardian) atas orang yang ada dibawah
perwaliannya. Dasar hukum dari hak tersebut pada
hakekatnya didapat secara tidak langsung dari penguasa
yang lebih tinggi yang memberikan hak tersebut kepada si
wali.
2). Positive Morality atau law improperly, yaitu hukum yang bukan
dalam arti sebenarnya.

Merupakan aturan-aturan yang tidak dibuat oleh seorang penguasa


politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang
dapat berupa ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-
perkumpulan, peraturan tentang mode, dalil-dalil tentang ilmu
alam, maupun ketentuan-ketentuan yang lazim dinamakan ”hukum
internasional.”

Ciri-Ciri Hukum Positif

Hukum positif (positive law) atau “hukum yang disebut dengan


sebenarnya” harus memenuhi 4 unsur yaitu:

a). command (perintah)

b). sanction (sanksi/ancaman hukuman)

c). duty (kewajiban)

d). sovereignty (kedaulatan)

Hukum yang disebut sebenarnya (yang dengan tepat disebut hukum)


adalah suatu jenis perintah (species of commands) yang berasal
dari satu sumber tertentu dimana pihak lain dituntut untuk
melaksanakannya jika tidak ingin dibebankan dengan sesuatu yang
tidak enak yang berupa sanksi. Kewajiban yang disebut sebenarnya,
mengharuskan suatu perintah untuk dilaksanakan. Tiap hukum
positif dibuat oleh seseorang yang berdaulat atau oleh satu badan
yang terdiri dari beberapa orang yang berdaulat untuk keperluan
anggota-anggota dari masyarakat politik yang merdeka, dimana
penguasa atau badan hukum tersebut di atas, mempunyai kedaulatan
yang penuh yang memegang kekuasaan tertinggi.
Unsur “perintah” mempunyai arti bahwa:

- satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya

- pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika


perintah itu tidak dijalankan atau ditaati

- perintah tersebut merupakan pembedaan kewajiban terhadap


yang diperintah

- perintah tersebut hanya dapat terlaksana jika yang


memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.

John Austin mencoba menganalisa arti dari ”command”


(perintah). Suatu perintah berbeda dengan keinginan. Keduanya
dibedakan oleh kekuatan dan tujuan dari pihak yang memerintah
atau menyatakannya untuk menimbulkan suatu kemalangan atau suatu
penderitaan dalam hal keinginan atau perintah tersebut diabaikan.
Jika seseorang tidak dapat atau tidak ingin melukai atau
memberikan beban penderitaan bagi orang lain yang tidak menuruti
perintahnya, maka keinginan orang tersebut bukanlah suatu
perintah (command), meskipun keinginan tersebut dinyatakan dalam
suatu kalimat perintah. Namun jika seseorang dapat atau ingin
menyakiti atau memberi suatu penderitaan bagi orang lain yang
tidak tunduk atau menuruti keinginannya, maka ekspresi atau
keinginan orang tersebut sama dengan suatu perintah (command).
Kemalangan atau penderitaan yang diberikan dalam hal suatu
perintah tidak dituruti inilah yang disebut sebagai SANKSI.

Pada prinsipnya, aliran hukum positif adalah aliran pemikiran


hukum yang memberi penegasan terhadap bentuk hukum (undang-
undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi,
perintah, kewajiban dan kedaulatan) dan sistematisasi norma
hukum. Secara implisit aliran ini pada hakekatnya menegaskan
beberapa hal:

1). bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

2). bahwa bentuk hukum adalah undang-undang

3). bahwa hukum diterapkan terhadap pihak yang dikuasai, yang


dimensi keharusannya diketatkan melalui pembebanan sanksi
terhadap pelanggarnya.

Hukum Internasional sebagai Moralitas Positif

Hukum yang berlaku di antara bangsa-bangsa bukanlah hukum


positif. Setiap hukum positif dibuat oleh kekuasaan tertentu
kepada seseorang atau orang-orang yang ada dalam keadaan tunduk
terhadap pembuat hukum tersebut. Hukum yang berlaku di antara
bangsa-bangsa adalah hukum yang dibuat oleh opini-opini umum.
Kewajiban-kewajiban yang dibebankannya diberlakukan oleh sanksi
moral, oleh rasa takut pada sebagian bangsa atau rasa takut pada
sebagian kekuasaan dimana akan menyebabkan permusuhan dan
kemalangan/kerugian jika melanggar ketentuan yang secara umum
telah diterima dan dihormati.

Menurut John Austin, hukum internasional bukanlah hukum dalam


arti yang sebenarnya (properly so called), karena tidak memiliki
kekuasaan untuk memaksakan sanksi, melainkan hanya merupakan
moralitas positif belaka. Kesimpulan Austin mengenai ciri hukum
internasional atau hukum yang berlaku di antara bangsa-bangsa
dipengaruhi oleh definisi tentang hukum. Sebagai seorang ahli
hukum, Austin tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi politis
yang bertentangan tentang nasionalisme dan internasionalisme.

Kedaulatan (Sovereignty)
Hukum merupakan perintah penguasa yang berdaulat. Jadi logika
hukum adalah undang-undang. Hukum kebiasaan akan diakui bila
dikukuhkan menjadi undang-undang oleh pejabat yang berwenang
(badan legislatif).

Kedaulatan oleh Austin diberi definisi:

Kalau seseorang yang berkuasa, yang tidak biasa tunduk pada


seorang yang kekuasannya sama, dipatuhi oleh sebagian besar dari
masyarakat tertentu, yang menetapkan bahwa yang berkuasa adalah
yang berdaulat pada masyarakat itu, yang merupakan masyarakat
politik yang bebas.

Konsep tentang Kedaulatan Negara (doctrine of sovereignty)


mewarnai hampir keseluruhan ajaran Austin, dimana dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:

1. Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu


atribut negara yang bersifat internal maupun eksternal

2. Sifat eksternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum


internasional, sedangkan sifat internal kedaulatan negara
tercermin pada hukum positif

3. Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Ketaatan terhadap


kedaulatan negara itu berbeda-beda sesuai kebutuhan
subjeknya.

4. Ada perbedaan antara ketaatan terhadap kedaulaan negara dengan


ketaatan terhadap ancaman penodong, misalnya yang membedakan
diantara keduanya adalah LEGITIMASI. Kedaulatan negara
berdasarkan legitimasi (didasarkan pada undang-undang) yang
berlaku dan diakui secara sah.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi atau kekuasaan yang
tidak dibawah kekuasaan lain. Kedaulatan memiliki beberapa sifat
yaitu asli, abadi, tunggal, dan tidak terbatas.
Macam – macam teori kedaulatan adalah:

1. Teori Kedaulatan Tuhan, yaitu kekuasaan tertinggi dalam


suatu negara yang berada di tangan Tuhan.

2. Teori Kedaulatan Raja, yaitu kekuasaan tertinggi dalam suatu


negara yang barada di tangan raja.

3. Teori Kedaulatan Negara, yaitu kekuasaan tertinggi dalam


suatu negara yang berada di tangan Negara.

4. Teori Kedaulatan Rakyat, yaitu kekuasaan tertinggi dalam


suatu negara yang berada di tangan rakyat.

5. Teori Kedaulatan Hukum, yaitu kekuasaan tertinggi dalam


suatu negara yang berada di tangan hukum.

Arti sebuah kedaulatan bagi setiap orang berbeda-beda.


Kedaulatan bagi seorang raja, adalah batas dimana daerah
kekuasaan telah ditentukan oleh hukum positifnya. Dimana batas
penentuan hukum positifnya tersebut pun dibatasi oleh kedaulatan
hukum positif dari kedaulatan kekuasaan lain.

Pengantar Ilmu Hukum (Introduction to Jurisprudence)


Setelah aliran hukum alam yang mengutamakan kekuasaan Tuhan
dalam penciptaan hukum, maka aliran yang cukup berkembang berikut
adalah aliran hukum positif dan aliran teori hukum. Penolakan
terhadap hukum alam/normatif karena cakupan pemberlakuan hukum
alam sangat luas baik dari kualitas maupun daerah berlakunya.
John Austin memberikan pendapat bahwa hukum yang berlaku pada
suatu kelompok tertentu adalah hukum yang berlaku di tempat
tersebut yang berasal dari kekuasaan yang diakui oleh masyarakat
dimaksud yang berasal dari kekuasaan yang diakui oleh masyarakat
tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam teorinya tentang ”Ilmu
Kedaulatan Negara” dan pengakuan hukum positif dimulai ketika
Hume memberikan pendapat bahwa keabsahan peraturan/hukum normatif
tidak dapat secara logika dipergunakan sebagai tujuan dari suatu
perbuatan, tetapi sangat tergantung kepada cara pandang para
pihak yang akan mempergunakannya. Hukum positif dalam pengertian
hukum negara adalah sesuatu yang dapat diketahui dan
keberadaannya diakui tanpa melihat kepentingan-kepentingan
subjektif.
Sejalan dengan perkembangan jaman, cara berpikir manusia
diperhadapkan dengan kepentingan moral yang tanpa batas dengan
mana seseorang bebas menentukan menerima atau menolak sanksi yang
berasal dari masyarakat yang dapat menerima atau menolak tindakan
tersebut. Jika hukum alam telah ditolak, maka yang menjadi
pertanyaan ialah apakah terdapat ilmu lain yang dapat memberikan
jawaban, menurut Hume hanya prinsip kegunaanlah yang dapat
memberikan jawabannya, yaitu melihat kepada manfaat dari tindakan
yang telah dilakukan dan Bentham telah memberikan penghargaan
yang sebesar-besarnya bagi Priesley yang telah memberikan
inspirasi bagi penemuan kebenaran ini.
Bentham secara khusus sangat tertarik kepada reformasi
dibidang hukum dan dia telah memperkenankan apa yang dikenal
sebagai ”censorial jurisprudence” atau ilmu perundang-undangan
dari ”expository jurisprudence” atau yang lebih dikenal sebagai
hukum sebagai mana adanya yang tanpa melihat karakter moral atau
immoralnya. Ilmu perundang-perundangan bagi Bentham adalah
merupakan cabang dari moral, dalam mana manusia bertindak untuk
memperoleh kebahagiaan yang sebesar-besarnya berdasarkan prinsip-
prinsip kebaikan yang bersumber kepada dirinya sendiri.
Sebagaimana tertuang dalam ”Of Laws in General”, Bentham
yang adalah seorang pengacara dan reformator hukum, percaya bahwa
tidak akan terdapat perubahan yang efektif dalam hukum tanpa
adanya perubahan bentuk dan struktur hukum itu sendiri. Bentham
adalah pendukung teori hukum yang mendasarkan teorinya kepada
”kekuasaan dan perintah”. Namun Bentham memberikan pengertian
yang agak berbeda dengan John Austin mengenai hal ini dan menurut
Bentham kekuasaan adalah terbatas dan dapat dibagi dan dibutuhkan
adanya keputusan mutlak dari masyarakat jika ingin memberikan
suatu kekuasaan yang tidak terbatas dan dapat dibagi.
Secara umum Austin dan Bentham memiliki banyak persamaan
terutama dalam memberikan pendapat tentang bagaimana mentaati
kekuasaan. Namun Austin lebih kepada hal-hal yang bersifat
kriminal sedangkan Bentham sudah mempertimbangkan perkembangan
dari modern analitical jurisprudence yang terlihat dari
rekonstruksi rasional, lebih luas dari apa yang dikemukakan oleh
Austin. Tujuan utama Bentham dengan teorinya adalah untuk
menunjukkan bahwa hukum bukan hanya apa yang dihasilkan oleh
lembaga pembuat undang-undang tetapi juga oleh keputusan hakim,
pegawai pemerintah bahkan keputusan orang tua terhadap anaknya
dalam konteks rumah tangga adalah juga hukum.
Perbedaan lainnya antara Bentham dan Austin adalah bagaimana
kedua orang ini memandang ”perintah”. Menurut Bentham perintah
adalah salah satu dari empat aspek yang dimiliki oleh pembuat
undang-undang dalam pelaksanaan tugas legislatifnya. Bentham
percaya bahwa pemahaman kepada struktur hukum akan memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai hubungan antara hal-hal yang
saling bertentangan dan saling mendukung dari empat aspek
keinginan para pembuat undang-undang tersebut.
Menurut John Austin hukum adalah perintah dan perintah
disini haruslah berasal dari orang/lembaga yang memang memiliki
kekuasaan. Namun dalam perkembangannya ”perintah” disini
mengalami pergantian istilah menjadi ”imperatif dan direktif”
yang pada dasarnya juga masih merupakan perintah. Hal ini terjadi
karena terdapat pandangan yang mempertanyakan apakah perintah
benar-benar dapat dianggap sebagai hukum dalam segala aspek, atau
dengan kata lain perintah dari seorang pimpinan kepada
prajuritnya dalam suatu barak militer adalah juga perintah dalam
konteks hukum yang harus ditaati.
Kekuasaan sebagai bagian dari aspek adanya hukum menurut
Austin tidak terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi. Kesalahan yang
utama dari pendapat ini ialah mengganggap bahwa kekuasaan itu
memiliki dunianya sendiri sehingga tidak dapat dibatasi dan
tidakdapat dibagi. Sebagai perbandingan bahwa kekuasaan yang
utama dalam suatu negara dapat dibagi-bagi kepada beberapa
lembaga negara dan terdapat lembaga lain yang menyelesaikan
permasalahan yang mungkin timbul. Memang terdapat banyak undang-
undang dasar yang telah memberikan kekuasaan yang tidak terbatas
oleh karena itu untuk melakukan perubahan terhadap kekuasaan itu
tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya perubahan konstitusi.
Hukum dan moral menurut para pengikut Austin adalah
terpisah. Kritik terhadap pandangan ini dianggap sebagai pengikut
dari aliran hukum alam eksternal. Pendekatan modern mengganggap
bahwa hukum berasal dari perintah yang bersumber dari struktur
moral yang ada pada orang yang memberikan perintah. Dalam kasus
NAZI maka hukum adalah sistem hukum yang berlaku, hal ini
bertujuan untuk memberikan gambaran adanya penolakan terhadap
pandangan Hume mengenai keberadaan/eksistensi dan nilai, hal ini
tercermin dari prakteknya bahwa kebenaran dari keputusan hakim
adalah kebenaran secara nyata.
Desakan Austin untuk menjadikan sanksi sebagai tujuan dari
hukum telah beberapa kali mengalami penolakan dari masyarakat.
Sanksi menurut masyarakat tidak dapat menjelaskan kenapa hukum
dirubah dan ditempatkan dalam rangka menciptakan rasa takut. Inti
dari sistem hukum adalah fakta yang terkandung didalamnya, bahwa
hukum diterima oleh masyarakat adalah sebagai suatu kesatuan dan
sanksi adalah hanya merupakan faktor yang tidak begitu penting
atau sekalipun penting dalam kerangka pelaksanaan fungsi dari
sistem itu sendiri.
Menurut John Austin, positivisme adalah suatu aliran dalam
filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum hanya
bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak
membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk dan tidak pula
membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Termasuk dalam
aliran ini adalah ajaran Analytical Jurisprudence yang
dikemukakan oleh John Austin.
Menurut John Austin terdapat dua bagian besar dari hukum
kemanusiaan yaitu hukum sebagai ciptaan dari kekuasaan politik
dan hukum yang berasal dari pantas atau tidak pantasnya tindakan
tersebut. Austin menyebut dua hal ini sebagai “positive law” dan
“positive morality”. Setiap hukum berlaku di dalam masyarakat
dikenal sebagai “hukum positif” baik itu merupakan produk hukum
dari seseorang atau sekumpulan orang yang berkuasa atau berlaku
karena keberadaan dari suatu lembaga dari individu yang berkuasa
tadi. Untuk membedakannya dengan hukum alam maka para penganut
aliran Jurisprudence dianggap sebagai pengikut “hukum positif”.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa hukum positif adalah pencerminan
dari sikap yang dibuat dengan tujuan mengatasi kekacauan antara
hukum kemanusiaan dalam arti hukum positif dan hukum Tuhan. Untuk
tujuan yang sama pula Austin memberikan istilah ”positive
morality” untuk hukum kemanusiaan/hukum Tuhan ketika hukum itu
berdiri sendiri atau bukan merupakan produk dari seseorang atau
sekelompok orang.
Ketika seseorang secara sadar taat kepada seseorang atau
sekumpulan orang yang kita kenal sebagai pemerintah maka kita
berada dalam suatu masyarakat politik. Hukum alam tidaklah ada
artinya bila tidak ada media lain yang membuktikan bahwa hukum
nasional itu bertolak belakang dengan hukum alam. Jiks
berdasarkan pengujian maka jarang ada hukum yang ditemukan oleh
orang-orang yang tidak menyukainya, berdasarkan penjelasan yang
dianggap tidak sesuai dengan kitab suci. Perbaikan mulai terlihat
kecuali timbulnya kecenderungan alamiah doktrin tersebut untuk
memaksa seseorang melalui kekuatan kesadaran untuk melawan hukum
apapun yang tidak disukai olehnya.
Prinsip kegunaan (utility principle) secara akurat dipahami
sebagai satu-satunya cara untuk membimbing seseorang untuk
melewati jalur ini. Prinsip kegunaan memberikan jawaban yang
tidak dapat diingkari oleh kedua belah pihak dan memberikan
sesuatu yang mendamaikan manusia bahkan dalam teori, sehingga
tujuan hukum ialah menciptakan kebebasan maksimum bagi tiap
individu sehingga ia dapat mengejar apa yang baik bagi dirinya.
Alam telah menempatkan manusia dibawah dua kekuasaan besar
yaitu rasa sakit dan kesenangan. Manusia sendiri yang menentukan
apa yang harus dilakukan, pada satu sisi menentukan benar atau
salah dan disisi yang lain menentukan sebab akibat dalam akal
sehat mereka. Manusia dapat berpura-pura menolak akal sehat
mereka tetapi dalam realita mereka tetap mentaati akal sehat
tersebut. Prinsip kegunaan menjadi fundasi dari ketidakberdayaan
ini dan mengasumsikan bagi sistem tersebut yang tujuannya
memberikan kebahagiaan dan kebaikan atau menghindari dari
kesusahan, kesakitan dengan alasan hukum.

3) HANS KELSEN

Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.

a. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre) adalah bahwa hukum itu


harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis,
dan sebagainya. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur
tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak
mempersoalkan hukum itu dalam kenyataannya, tetapi
mempersoalkan apa hukumnya.
Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan
dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen
keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.

b. Ajaran Stuffenbau Theory. Ajaran ini pada mulanya


dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh
Hans Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem
yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida.
Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu
norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin
abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma
semakin kongkrit sifatnya.Norma yang paling tinggi
menduduki puncak piramida disebut Grundnorm atau
unsprungnorm. Teori jenjang melihat hukum itu identik
dengan perundang-undangan. Menurut teori ini di luar
perundang-undangan tidak termasuk hukum. Teori jenjang
kemudian dihubungkan sistem hukum Indonesia berdasar
ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR
mengenai sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan
perundang-undangan RI didasari oleh Stuffenbau Theory
dengan ciri formal legalistik.

Teori Hukum Murni

Teori hukum murni adalah teori yang berasal dari aliran hukum
positif, dimana di dalam teori ini berusaha untuk memberikan
pengertian hukum dilihat sebagai sesuatu yang “ murni “ terlepas
dari segala unsur lain yang berasal dari luar ilmu hukum itu
sendiri. Dapat digambarkan bahwa antara abad 19 dan 20, kemurnian
suatu ilmu pengetahuan menjadi sesuatu hal yang sudah tidak ideal
lagi, hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya yurisprudensi-
yurisprudensi dimana di dalam yurisprudensi – yurisprudensi
tersebut banyak dipengaruhi oleh banyak hal-hal lainnya seperti
unsur psikologi dan biologi maupun unsur teologi yang ada pada
waktu itu, sehingga di dalam keadaan seperti itu untuk menemukan
suatu ilmu hukum yang murni merupakan suatu hal yang sulit untuk
didapatkan. Dalam hal ini apabila digambarkan dengan kondisi
mengenai apa yang digambarkan sebagai hukum tersebut seperti
jalannya prosesnya pemerintahan di dalam parlemen, putusan
pengadilan, proses hukum , maka kita dapat membedakannya menjadi
dua bagian. Bagian pertama adalah suatu perbuatan pada suatu
waktu dan tempat yang didasari oleh pikiran akal sehat yang
biasanya disebut sebagai perilaku manusia, bagian lainnya adalah
bagian yang lebih khusus Untuk mendefinisikan hukum sebagai suatu
norma yang diartikan terbatas sebagai suatu ilmu pengetahuan
hukum yang mempunyai fungsi berbeda dengan fungsi organ
legislative maupun eksekutif , maka harus dibatasi hukum tersebut
darui pengaruh hukum alam maupun ilmu pengetahuan lainnya.

Teori hukum murni berusaha untuk memisahkan pengertian antara


ilmu hukum dari pengaruh norma-norma moral dan menjadikan hukum
sebagai suatu system yang berjalan secara independent atau
mandiri terlepas dari pengaruh hukum moral. Sutau norma dapat
menjadi suatu produk hukum yang valid hanya dikarenakan norma
tersebut sudah dituangkan di dalam suatu bentuk undang-undang
yang dilahirkan melalui suatu prosedur hukum dan hal ini berlakuk
sebagai suatu hukum yang positif. Dalam bentuk suatu konstitusi
ilmu hukum tidak terdiri dari suatu system hukum yang sama, akan
tetapi mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri atau mempunyai
hierarki tersendiri. Pada umumnya tingkatan tersebut adalah
sebagai berikut:

Pada tingkatan paling atas terdiri dari konstitusi, dimana


konstitusi tersebut mendasari organ-organ yang ada untuk membuat
suatu prosedur yang berlaku secara umum, kemudian pada tingkatan
selanjutnya terdapat peraturan atau norma-norma umum yang dibuat
oleh bagian legislatif yang berfungsi tidak hanya menentukan
organ ( badan peradilan , dll ) maupun prosedur yang ada akan
teetapi juga peraturan-peraturan pendukung lainnya, dimana di
dalam peraturan-peraturan tersebut mnghubungkan suatu kondisi
yang secara abstrak diatur dengan kondisi yang sebenarnya.
Hubungan tersebut diwujudkan dengan adanya keputusan-keputusan
hukum yang dikeluarkan oleh badan Yudisial yang ada. Selain itu
terdapat bagian administratif, dimana hubungan antara bagian
yudikatif dengan administratif tersebut dapat dilihat dari
keinginan Negara untuk menjalankan fungsinya secara langsung,
seperti membangun sarana pendidikan atau sekolah, rumah sakit ,
sarana perhubungan, dimana proses administrasi yang dapat dilihat
hasilnya tersebut memerlukan suatu bagian tersendiri yang
bersifat administratif.

Di dalam beberapa pengertian hukum, seperti hukum perdata, maka


norma-norma atau peraturan yang ada tidak hanya didapat dari
organ-organ pemerintahan atau peraturan-peraturan yang ada, akan
tetapi berdasarkan atas peraturan-peraturan tersebut, para pihak
yang ada dapat membuat suatu kesepakatan tersendiri, dimana
kesepakatan itu yang akan menjadi hukum di antara mereka.

Di dalam Pengertian Hukum sebagai suatu perintah yang memaksa ,


dapat diartikan bahwa sanksi akan diberikan oleh hukum bagi siapa
saja yang melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dari hukum
tersebut, hal ini tidak berarti bahwa sanksi fisik akan
dijatuhkan begitu saja , akan tetapi hal ini diperlukan apabila
terjadi perlawanan terhadap penerapan dari hukum yang ada
tersebut. Hukum adalah suatu perintah yang memakasa, hal ini
dapat dilihat dari diterapkannya suatu ketentuan yang ada
walaupun sebenarnya ketentangan tersebut bertentangan dengan
keinginan-keiginan individu-individu yang ada akan tetapi dengan
adanya sanksi–sanksi yang diterapkan tersebut, maka individu–
individu tersebut dengan terpaksa harus memenuhi ketentuan-
ketentuan yang ada.
Biasanya pengertian perbedaan anatar hukum alam dengan norma
dibedakan dengan pengertian bahwa hukum alam tidak mempunyai
suatu pengecualian sebagaimana dengan norma yang ada, akan tetapi
hal ini tidak benar, di dalam hukum yang normatif, apabila
seseorang melakukan tindakan pencurian maka dia sudah seharusnya
untuk dihukum, hal ini tetap berlaku walaupaun seandainya orang
tersebut tidak jadi untuk dihukum. Jika dilihat dari pemikiran
orang-orang pada jaman dahulu, maka hukum sebab akibat yang ada
berasal dari suatu norma yang disepakati bersama. Dimana di dalam
kehidupannya alam menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan di
dalam menjalankan hubungan sosial yang ada.

Norma dasar (Basic Norm) adalah suatu norma yang paling mendasar,
dimana suatu peraturan yang ada dan berlaku bersumber dan tidak
ada yang melebihi atau bertentangan dari norma dasar tersebut.
Apabila ada suatu pertanyaan mengapa norma dasar tersebut harus
diperlakukan sebagai suatu norma yang mengikat, hal ini
dimungkinkan karena Tuhan menjadi sumber dari suatu peraturan
pertama yang mendasar tersebut. Fungsi menyeluruh dari norma
dasar (Basic Norm) adalah untuk memberikan atau menganugerahkan
kuasa untuk membuat suatu hukum kepada legislator dan untuk
menjustifikasi setiap tindakan-tindakan yang dilakukan
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ada tersebut. Di dalam
hal membuat setiap tindakan-tindakan yang ada tersebut menjadi
suatu hal yang berlaku secara mengikat dan dianggap sebagai suatu
hukum yang ada, maka norma dasar tersebut harus diwujudkan di
dalam suatu ketentuan hukum yang valid. Norma dasar tersebut
dapat dijadikan suatu jawaban apabila ada pertanyaan atas suatu
produk yuridis seperti keputusan-keputusan hukum, hak-hak yang
timbul, dimungkinkan ada, hal ini berpulang kembali kepada norma
dasar tersebut.
Selain itu hukum yang ada harus terlepas dari setiap unsur–unsur
lainnya seperti unsur etis, sosiologis, politis, dan ilmu-ilmu
pengetahuan non hukum lainnya.

Dengan norma-norma yang ada, dimana hal ini mendasari untuk dapat
menentukan apakah suatu perbuatan tersebut menjadi suatu hal yang
legal maupun illegal di mata hukum , maka hal ini harus
disesaikan dengan ketentuan yang ada. Produk hukum yang ada
menentukan bagimana manusia tersebut bertingkah laku disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan adanya “norma“, kita
dapat menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang
seharusnya tidak dilakukan. “Norma“ tersebut mendasari dari
setiap tindakan yang diperbolehkan atau diijinkan untuk
dilakukan.

Perilaku manusia didasari atas ketentuan-ketentuan normatif


yang ada baik positif maupun negatif. Perilaku manusia dapat
dikatakan sebagai suatu hal yang positif apabila hal tersebut
sesuai dengan ketentuan yang ada, Jika seorang individu melakukan
suatu tindakan yang sesuai dengan norma atau ketentuan yang ada
maka dia dapat dikatakan telah bertindak positif dengan mematuhi
peraturan yang berlaku, akan tetapi apabial individu tertsebut
melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada,
maka dia dapat dikatakan melanggra peraturan tersebut.

Suatu sistem hukum yang ada menunjukkan suatu karakter yang


dinamis, Norma hukum yang ada dapat dikatakan tidak valid bila
dilihat dari ketentuan-ketentuan yang mendasari norma tersebut,
apabial isi dari norma atau ketentuan tersebut bertentangan
dengan norma dasar yang ada, maka dapat dikatakan hukum tersebut
tidak valid. Sehingga norma dasar yang ada mendasari dari setiap
ketentuan-ketentuan yang akan dibuat nantinya.
Didalam membedakan hukum yang bersifat perdata dengan hukum
publik, maka dapat diartikan bahwa hukum publik mengatur hubungan
yang bersifat hubungan atas-bawah, hubungan antara negara dengan
rakyatnya, sedangkan hukum perdata atau privat mengatur hubungan
yang setara antara dua subyek hukum yang ada, dimana mereka
terikat oleh peraturan atau ketentuan yang telah disepakati
bersama. Hal ini dapat dilihat dari proses pembuatan suatu
kontrak yang merepresentasikan dari suatu proses hukum yang
berjalan secara demokratis, dimana hal tersebut dilakukan oleh
para puhak – pihak yang berkepentingan tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun juga.

Fungsi Konstitusi

Hukum adalah suatu sistem dari norma-norma dan norma-norma


adalah merupakan suatu alat dari keinginan yang digunakan untuk
mengatur sesama. Keinginan-keinginan bertindak ini adalah
keinginan bertindak dari manusia atau sesuatu diatas manusia-
seperti keinginan bertindak dari Tuhan atau dalam hal ini disebut
sebagai hukum alamiah dari alam, Namun hanya norma-norma yang
dijadikan merupakan alat keinginan dari bertindak manusia lah
yang dpaat dipertimbangkan sebagai norma-norma hukum atau lebih
tepatnya norma-norma sebagai bagian dari hukum positif. Hal ini
memiliki ciri khas untuk mengatur ciptaan dan penerapan milik
mereka sendiri.

Keinginan bertindak untuk mengatur orang lain, utamanya


disebut sebagai perintah. Tetapi setiap perintah bukanlah suatu
norma dan tidak setiap norma bukanlah perintah. Suatu norma dapat
merupakan suatu kuasa untuk menerbitkan perintah-perintah. Jika
seorng pencuri meminta saya memberikan uang kepadanya, maka alat
dari keinginan dia bertindak perintahnya bukanlah suatu norma.
Pengertian subyektif dari keinginan bertindak orang itu yaitu
saya harus memberikan uang kepadanya, tidak menjadikan hal
tersebut sebagai pengertian obyektif, yang mana hal ini tidak
dapat dartikan sebagai norma yang mengikat misalnya seperti suatu
perintah dari kantor pajak yang ditujukan kepada saya dimana saya
harus membayar sejumlah uang. Apakah yang menjadikan keinginan
bertindak menjadi suatu keharusan dan yang memiliki pengertian
obyektif dari suatu tindakan yaitu norma yang berlaku dan
mengikat tetapi dalam hal lainnya tidak. Untuk melihatnya secara
berbeda/terpisah: Apakah yang mendasari keberlakuan dari suatu
norma, yang ada dalam suatu hal dan tidak hal lainnya? Jawabnya
adalah karena dalam hal tertentu perintah dari kantor pajak
adalah tindakan, artinya hal ini adalah keharusan, yang
dikuasakan dari norma yang berlaku, namun dalam hal lainnya
bukanlah suatu keharusan. Oleh karena norma menguasakan tindakan,
maka pengertian subyektif di tindakan menjadi pengertian
obyektif-yaitu suatu norma yang berlaku dan mengikat. Pemberi
Kuasa yaitu norma yang lebih tinggi menjadi dasar dari
keberlakuan yang diberi kuasa yaitu norma yang lebih rendah .

Hal yang mendasari dari keberlakuan suatu norma yang lebih


rendah adalah norma yang lebih tinggi yang nantinya akan menuju
kepada suatu hal yang tidak terbatas. Pada tingkatan yang lebih
tinggi, norma yang mengatur adalah pengertian subyektif dari
keinginan bertindak yang diarahkan untuk mengatur orang lain; dan
jika dan hanya jika tindakan ini juga diatur oleh norma yang
lebih tinggi yaitu pengertian subyektif dan obyektifnya yaitu
norma yang berlaku dan mengikat. Sebagai contoh: seorang ayah
menyuruh anaknya untuk pergi ke sekolah. Kemudian sang anak
bertanya kepada ayahnya mengapa ia harus pergi ke sekolah.
Pertanyaan si anak ini adalah menanyakan mengapa tujuan subyektif
dari keinginan sang ayah juga merupakan tujuan/pengertian
obyektif yaitu suatu norma yang mengikat bagi dirinya atau dalam
pengertian lain, apakah yang mendasari keberlakuan norma
tersebut. Sang ayah menjawab: ”karena Tuhan telah memberikan
perintah kepada anak”, sang anak menjawab: ”mengapa seseorang
harus mematuhi perintah Tuhan? Hal ini maksudnya adalah apakah
pengertian subyektif dari keinginan bertindak Tuhan juga
merupakan pengertian obyektif yaitu norma yang berlaku? Atau
dengan kata lain apakah yang mendasari keberlakuan norma umum?
Satu-satunya jawaban adalah: sebagai orang yang mempercayai
Tuhan, sudah seharusnya seseorang mematuhi perintah Tuhan.
Pernyataan keberlakuan suatu norma yang seharusnya ada dalam
pikiran orang yang percaya kepada Tuhan dimaksudkan sebagai dasar
keberlakuan norma-norma dalam moralitas keagamaan. Norma dasar
dari moralitas agama ayitu norma yang mendasari dari keberlakuan
seluruh norma-norma adalam moralitas agama- suatu ”dasar” norma,
karena tidak ada pertanyaan yang bisa diajukan atas dasar
keberlakuan. Intinya adalah bukan suatu norma positif yaitu
bukanlah suatu norma yang dihasilkan dari tindakan nyata suatu
keinginan tetapi melainkan norma yang sehjarusnya ada dalam
pikiran seseorang yang mempercayai Tuhan.

Hukum dan Moralitas

Perbedaan antara hukum dan moralitas terletak pada hukum


adalah perintah yang bersifat memaksa, dimana hukum bertujuan
untuk menciptakan suatu tingkah laku/prilaku tertentu dari
manusia dengan cara menerapkan sesuatu yang berlawanan seperti
sanksi, tindakan memaksa, pembatasan atas hidup, kebebasan atau
ekonomi atau hal-hal lainnya yang berharga. Misalnya jika
seseorang mencuri, maka ia seharusnya dipenjara, dengan paksaan
apabila diperlukan. Menurut norma, hukum menginginkan seseorang
untuk mencuri. Sedangkan moralitas menginginkan suatu tingkah
laku tertentu dari perilaku manusia dan moralitas juga menerapkan
sanksi-sanksi. Namun, sanksi-sanksi ini merupakan moral dari
tindakan amoral, bukan tindakan memaksa walaupun sanksi-sanksi
ini ditujukan sebagai alat dari moral yang seharusnya dijalankan.

Di dalam norma hukum, bilamana seseorang mencuri maka ia


harus dipenjara, merupakan pengertian subyektif dari suatu
keinginan dalam bertindak dari pembuat hukum. Norma ini
diterapkan melalui keputusan pengadilan. Keputusan pengadilan
diartikan/dianggap mengikat, berlaku dan individual norma. Norma
ini apabila dari pengertian subyektifnya maka keinginan bertindak
daris eorang hakim merupakan tindakan dari sebuah badan
eksekutif. Apabila kita menginterpresentasikan pengertian yang
subyektif yang sebagai obyektif meaning yaitu norma yang mengikat
dan walaupun dapat dimengerti bahwa seseorang dapat ebrtindak
sebagai hakim karena untuk melakukan tindakan tersebut adalah
berdasarkan norma umum yang terkandung dalam kalimat: jika
seseorang mencuri, maka hakim yang berkompetensi berhak untuk
memenjarakannya.

Diposkan oleh Benny Swastik Nasution di 23:11


Label: Filsafat Hukum

Anda mungkin juga menyukai