Sawah-sawah berpetak di kaki gunung Rumah-rumah di jauh sana Seperti masa depan yang tenang dan sunyi Petani dan kerbau masih mencumbu nasib Melawan gedung-gedung yang tak kuasa ditampik
Ke terminal Cipede kuangankan
Bersama para pindang dalam angkot yang pengap Kawah Putih yang jauh Sejauh langkah penyair yang terus menggarap sajak-sajaknya Telah kau sisihkan sekolah pertanianmu Sebab tanah moyangmu terus mengerut Jadi semburat tumpukan semen dan batu bata Seperti nasib kita Kawah Putih beralih ke investor yang menggelontor Lalu apa kerja orang-orang kantor? Kritikan puisi diatas: Puisi Ke Kawah Putih Karya M.Shoim Anwar merupakan puisi yang bergendre sindiran atau jenis puisi sartirik. Pusisi satirik sendiri adalah puisi yang mengandung sindirian atau kritik tetang kepincangan yang terjadi. Puisi seperti ini banyak dijumpai dalam kehidupan ini, puisi jenis ini biasanya digunakan penyair untuk melakukan sindirian terhadap fenomena sosial yang dinilai timpang. Hal tersebut tergambar jelas pada baris paling akhir dalam puisi ini. “Kawah Putih beralih ke investor yang menggelontor” “Lalu apa kerja orang-orang kantor?” Puisi karya M.Shoim Anwar ini secara keseluruan menggambarkan kehidupan dan nasib masyarakat sekitar, khususnya di daerah Jawa Barat. Seringkali ungkapan nama tempat disebutkan secara gamblang oleh penyair seperti: Soreang, Cipede, Kawah Putih yang ketiganya merujuk pada kota Bandung, Jawa Barat. Dalam sindiranya, si Aku pada puisi ini mengungkakan kekesalannya terhadap pembangunan infrasrtuktur yang tidak tepat dan bukan pada porsinya, seperti ungkapan berikut pada bait pertama baris terakhir “Petani dan kerbau masih mencumbu nasib, melawan gedung-gedung yang tak kuasa ditampik” dan pada bait kedua baris ketujuh “jadi semburat tumpukan semen dan batu bata seperti nasib kita” Penggunaan gaya bahasa dalam puisi ini cenderung menggunakan gaya bahasa metafor dan citraan indra perasa. Misalkan pada baris pertama “kujilati punuk-punuk Soreang” kemudian penggunaan metafor pada kalimat berikut “bersama para pindang dalam angkot yang pengap” dan masih banyak lagi gaya bahasa yang digunakan si penyair pada puisi ini.