Anda di halaman 1dari 49

PEDOMAN PELAYANAN ANESTESI

Disusun oleh:
Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kota Sungai Penuh

RUMAH SAKIT UMUM MAYJEN H.A. THALIB KOTA SUNGAI PENUH


Alamat : Jl. Jendral basuki Rahmat Telp. (0748) 21447-21118-21258
Fax. 21258Email: rsumhat_tu@yahoo.com
Website: http//www.rsumhat.com
Blog: www.rsumhat@blogspot.com

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat yang telah dikaruniakan
kepada tim penyusun, sehingga buku Pedoman Pelayanan Anestesi di Rumah Sakit
Umum Mayjen H.A. Thalib Kota Sungai Penuh ini dapat diselesaikan.
Buku Pedoman Pelayanan Anestesi ini merupakan panduan bagi semua pihak
yang berkaitan dengan pelayanan dan penyelenggaraan anestesi di lingkungan Rumah
Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kota Sungai Penuh.
Dalam buku pedoman ini diuraikan tentang persiapan tim anestesi sebelum
tindakan pembiusan dilakukan, dan persiapan pasien dari unit dimana pasien tersebut
di rawat sampai pasien tersebut dikirim kembali ke unit perawatan.
Tidak lupa tim penyusun menyampaikan terimakasih sedalam-dalamnya atas
bantuan semua pihak dalam pembuatan buku Pedoman Pelayanan Anestesi di Rumah
Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kota Sungai Penuh ini sehingga dapat diselesaikan.

Sungai Penuh,
Kepala Instalasi Anestesi dan Perawatan Intensif
Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kota
Sungai Penuh

Dr. Faisal Rachman , Sp.An

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ v
DAFTAR ISI............................................................................................................ vi
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Tujuan Pedoman Pelayanan Anestesi....................................... 1
C. Ruang Lingkup Pelayanan......................................................... 2
D. Batasan Operasional.................................................................... 4
E. Landasan Hukum........................................................................ 6
BAB II SUMBER KETENAGAAN............................................................... 8
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia............................................ 8
B. Distribusi Ketenagaan................................................................. 9
C. Pengaturan Jaga .......................................................................... 9
BAB III STANDAR FASILITAS.................................................................... 10
A. Denah Ruang............................................................................... 10
B. Standar Fasilitas........................................................................... 11
BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN.................................................... 12
A. Kategori / Tingkatan Anestesi / Sedasi ................................... 12
B. Pelayanan Anestesi Selama Prosedur Intervensi Manajemen
Nyeri Untuk Dewasa...................................................................
14
C. Pedoman Sedasi Sedang Dan Berat (Dalam)............................ 15
BAB V LOGISTIK........................................................................................... 21
A. Definisi .......................................................................................... 21
B. Peralatan Pembiusan.................................................................... 21
C. Perawatan dan Penanganan Alat dan Instrumen
Pascaanestesi................................................................................. 26
BAB VI KESELAMATAN PASIEN............................................................... 27
BAB VII KESELAMATAN KERJA................................................................. 30
A. Pengertian ..................................................................................... 12
B. Penerapan Kewaspadaan Universal.......................................... 30

iii
C. Metode Mencuci Tangan............................................................. 31
D. Resiko Kewaspadaan Universal yang Tidak diterapkan......... 33
E. Hal yang Harus Dilakukan Saat Terjadi Pajanan..................... 33
F. Penerapan Kewaspadaan Universal.......................................... 33
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU................................................................ 34
BAB IX PENUTUP............................................................................................ 36

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan anestesi merupakan suatu tindakan kedokteran yang
dibutuhkan agar suatu tindakan operasi oleh dokter operator dapat
dilakukan. Oleh karenanya tindakan pemberian anestesi termasuk
tergolong sebagai salah satu tindakan kedokteran yang beresiko tinggi,
karena tujuan akhirnya adalah pasien dapat bebas dari rasa nyeri, stres
psikis serta pasien dapat pulih kembali pascaoperasi sesuai dengan
derajat berat ringannya kerusakan yang dialami pasien serta
mempertahankan status fisiologis pasien secara optimal terhadap stressor
tindakan operasi. Adanya resiko yang tinggi tersebut menuntut adanya
manajemen pelayanan anestesi yang dapat berjalan aman, lancar dan
sukses dengan memperhatikan kaidah – kaidah keamanan pasien.

B. Tujuan Pedoman
Tujuan ditulisnya pedoman pelayanan anestesi ini adalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan pasien perianestesi / perisedasi.
2. Menerapkan budaya keselamatan pasien perianestesi / perisedasi.
3. Menstandarisasi layanan anestesi / sedasi di rumah sakit yang sesuai
dengan akreditasi.

C. Ruang Lingkup Pelayanan


Anestesiologi adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang meliputi :
1. Evaluasi pasien praanestesi
2. Rencana tindakan anestesi
3. Perawatan intraanestesi dan pascaanestesi
4. Manajemen sistem dan petugas yang termasuk didalamnya
5. Konsultasi perioperatif
6. Pencegahan dan penanganan kondisi perianestesi/perisedasi yang
tak diinginkan

1
7. Tatalaksana nyeri akut dan kronis
8. Perawatan pasien dengan sakit berat / kritis
9. Ruang diagnostik (radiologi, endoskopi, bronkoskopi, kolonoskopi,
dsb)
Semua pelayanan ini diberikan atau diinstruksikan oleh
anestesiologis (dokter spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif) dengan
konsep pelayanan rawat jalan maupun rawat inap untuk operasi dan
anestesi. Anestesiologis diharapkan memegang peranan sebagai dokter
perioperatif di Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kota Sungai
Penuh, fasilitas operasi rawat jalan, operasi rawat inap, tindakan
diagnostik, dan berpartisipasi dalam akreditasi rumah sakit sebagai salah
satu sarana untuk standarisasi serta meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
Pedoman ini diaplikasikan untuk semua layanan, termasuk
petugas yang terlibat dalam tata kelola rawat jalan anestesi. Pedoman ini
minimal dapat dikembangkan kapanpun dengan berdasarkan pada
pertimbangan / kebijakan petugas anestesi yang terlibat.

PRINSIP
1. Standar, Pedoman, dan Kebijakan ASA (American Society of
Anesthesiologists) harus diimplementasikan pada semua kondisi dan
situasi, kecuali pada situasi khusus.
2. Dokter yang berwenang harus dapat dihubungi 24 jam; baik pada
kasus-kasus pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Dokter jaga siap sedia menerima telepon / konsultasi dari paramedis
lainnya, sepanjang waktu selama penanganan fase pemulihan pasien,
hingga pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
3. Fasilitas rumah sakit harus diorganisir, dilengkapi, serta
dioperasikan sejalan dengan regulasi dan kebijakan pemerintah
setempat. Seluruh struktur pelayanan, minimalnya, harus memiliki
sumber daya oksigen, mesin penghisap, peralatan resusitasi, dan
obat-obatan kedaruratan yang dapat diandalkan.

2
4. Petugas harus memiliki kompetensi dalam perawatan pasien dan
mampu melakukan prosedur-prosedur yang diperlukan di rumah
sakit, yang terdiri atas:
a. Petugas professional
1. Dokter yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) /sertifikat
yang memenuhi syarat
2. Perawat yang memiliki surat izin dan memenuhi syarat
b. Petugas administrasi
c. Petugas kebersihan dan pemeliharaan rumah sakit
5. Dokter pelayanan medis bertanggungjawab dalam melakukan
peninjauan ulang, penyesuaian kewenangan, jaminan mutu, dan
evaluasi rekan sejawat.
6. Petugas dan peralatan yang berkualitas dan tersedia setiap saat
diperlukan untuk menangani situasi kedaruratan. Harus dibuat
suatu kebijakan dan prosedur untuk menangani situasi kedaruratan
serta transfer pasien ke fasilitas pelayanan akut.
7. Layanan pasien, minimal meliputi :
a. Instruksi dan persiapan praanestesi
b. Evaluasi dan pemeriksaan praanestesi yang memadai oleh
anestesiologis, dilakukan sebelum tindakan anestesi dan
operasi. Pada kondisi dimana tidak terdapat petugas medis,
anestesiologis harus memverifikasi informasi yang didapat dan
mengulangi serta mencatat elemen-elemen penting dalam
evaluasi.
c. Studi dan konsultasi praanestesi, sesuai indikasi medis.
d. Rencana anestesi dibuat oleh anestesiologis, didiskusikan
dengan pasien beserta keluarganya untuk mendapatkan
persetujuan. Kesemuanya ini harus dicatat di rekam medis
pasien.
e. Tindakan anestesi dilakukan oleh anestesiologis, personel
anestesi yang kompeten, atau petugas anestesi non-dokter yang
dipandu / dibimbing secara langsung oleh anestesiologis.
f. Pemulangan pasien merupakan tanggung jawab dokter
penanggung jawab pasien

3
g. Pasien yang menjalani anestesi harus didampingi oleh orang
dewasa saat pemulangan pasien.
h. Instruksi pascaanestesi dan pemantauan selanjutnya harus
dicatat dalam rekam medis
i. Memiliki rekam medis yang akurat, terpercaya, dan terbaru.

D. Batasan Operasional
Untuk membantu lebih mengarahkan pemahaman tentang isi
pedoman ini, perlu kami buatkan batasan istilah penting yang terkait
dengan kerangka pelayanan Instalasi Anestesi dan Perawatan Intensif
Rumah Sakit.
Batasan operasional berikut ini merupakan batasan istilah, yang
bersumber dari buku Standar Pelayanan Kedokteran 2010.
1. Pengertian Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani: an-"tidak, tanpa"
dan aesthētos-"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
operasi dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver
Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi atau pembiusan adalah
pengurangan atau penghilangan sensasi untuk sementara, sehingga
operasi atau prosedur lain yang menyakitkan dapat dilakukan.
2. Macam tindakan anestesi
a. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah teknik untuk menghilangkan atau
mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu. Hal ini
memungkinkan pasien untuk menjalani prosedur operasi dan
gigi tanpa rasa sakit yang mengganggu.
Anestesi lokal dilakukan dengan cara menginfiltrasi pada ujung
saraf di lokasi yang akan diinsisi.

b. Anestesi Regional
Anestesi regional adalah teknik anestesi dengan memberikan
obat yang menghambat impuls nyeri suatu bagian tubuh

4
sementara pada impuls saraf sensorik sehingga impuls nyeri dari
satu bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi
pasien tetap sadar. Anestesi regional dilakukan pada berkas saraf
dekat medula spinalis (plexus block) atau pada medula spinalis
(epidural block dan subarachnoid block).
c. Anestesi Umum
Anestesi umum atau pembiusan umum adalah kondisi atau
prosedur ketika pasien menerima obat untuk amnesia, analgesia,
melumpuhkan otot, dan sedasi. Anestesi umum memungkinkan
pasien untuk mentoleransi prosedur operasi yang dalam kondisi
normal akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, berisiko
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan
yang tidak menyenangkan. Anestesi umum dapat menggunakan
agen intravena (injeksi) atau hirup.
Kombinasi dari agen anestesi yang digunakan untuk anestesi
umum membuat pasien tidak merespon rangsangan yang
menyakitkan, tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia),
tidak dapat mempertahankan proteksi jalan napas yang
memadai dan/atau pernapasan spontan sebagai akibat dari
kelumpuhan otot dan perubahan kardiovaskuler.
d. Sedasi
Sedasi adalah penggunaan agen-agen farmakologik untuk
menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga
menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan
tanpa kehilangan komunikasi verbal. ASA (The American Society
of Anesthesiologists) menggolongkan sedasi sebagai sedasi ringan,
sedang dan dalam.

3. Anestesiologis
Anestesiologis adalah dokter spesialis yang melakukan anestesi.
Dokter spesialis anestesiologi selama operasi berperan memantau
tanda-tanda vital pasien karena sewaktu-waktu dapat terjadi

5
perubahan yang memerlukan penanganan secepatnya. Rangkaian
kegiatan yang merupakan kegiatan sehari-hari dokter anestesi
adalah:
a. Mempertahankan jalan napas
b. Memberi napas bantuan.
c. Membantu kompresi jantung bila berhenti.
d. Membantu peredaran darah.
e. Mempertahankan kerja otak pasien.

E. Landasan Hukum
Sebagai acuan dasar pertimbangan dalam penyelenggaraan
pelayanan anestesi dan perawatan intensif di rumah sakit, maka instalasi
harus mempunyai staf khusus dengan peralatan yang khusus pula. Oleh
sebab itu penyelenggaraan instalasi anestesi dan perawatan intensif ini
sesuai dengan :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
920/MenKes/Per/II/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan
Swasta di Bidang Kesehatan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan.
3. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Departemen Kesehatan
2008
4. Peraturan Menteri Kesehatan 1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang
Standar Pelayanan Kedokteran
5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1045/MENKES/PER/XI/2006 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan.
6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan
7. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
8. Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1996, tentang tenaga kesehatan.
9. Keputusan Menkes RI Nomor 148 tentang registrasi dan praktik
perawat.

6
7
BAB II
SUMBER KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Definisi
1. Tim Anestesi: tim yang dipimpin oleh dokter spesialis anestesi
dengan beranggotakan dokter anestesi dan perawat anestesi
2. Perawat asisten anestesi: adalah perawat yang terdaftar dengan SIP,
asisten dokter yang terlatih yang sesuai dengan kebijakan, pedoman,
dan standar institusi dan nasional dalam memberikan obat anestesi
dan analgesik, serta memantau pasien selama pemberian sedasi berat
/anestesi umum. Perawat asisten anestesi harus bekerja dengan
supervisi langsung oleh dokter yang kompeten dan terlatih baik.

Anggota Inti Tim Anestesi


1. Tim anestesi melibatkan dokter dan non-dokter.
2. Setiap anggota tim memiliki kewajiban untuk mengidentifikasi
diri sendiri dan anggota tim lainnya secara akurat kepada pasien
dan keluarganya.
3. Anestesiologis bertanggung jawab untuk mencegah salah
penafsiran /anggapan terhadap petugas non-dokter sebagai
dokter anestesi.
4. Tindakan /layanan anestesi dilakukan oleh tim anestesi, termasuk
pemantauan dan pelaksanaan tindakan anestesi.
5. Instruksi diberikan oleh anestesiologis dan harus sejalan dengan
kebijakan dan regulasi pemerintah serta kebijakan rumah sakit.
6. Tanggung jawab keseluruhan terhadap kinerja tim anestesi dan
keselamatan pasien terletak pada anestesiologis.
7. Anestesiologis harus mewujudkan keselamatan pasien yang
optimal dan memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
setiap pasien yang menjalani tindakan anestesi.

8
8. Berikut adalah anggota tim anestesi:
a. Dokter
1) Anestesiologis (dokter spesialis Anestesi dan Terapi
Intensif) – Pimpinan Tim Anestesi
Merupakan seorang dokter yang memiliki SIP dan telah
menyelesaikan program studi spesialisasi di bidang
anestesi yang terakreditasi.
b. Non-dokter
1) Perawat anestesi
Merupakan perawat dengan SIP yang telah menyelesaikan
program studi perawat dan pelatihan anestesi terakreditasi
B. Distribusi Ketenagaan
Distribusi tenaga anestesi baik dokter dan non-dokter dilakukan di area
pelayanan anestesi yang ada di Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib
Kota Sungai Penuh, yaitu di kamar operasi dan ruang radiologi.
C. Pengaturan Jaga
Pengaturan jaga tenaga anestesi ditentukan dengan jadwal jaga bulanan
oleh masing-masing pimpinan satuan kerja didalam Instalasi
Anestesiologi dan Perawatan intensif.
No Dokter Anestesi No.HP Jam Jaga
1. dr. Faisal Rachman, Sp.An 081264039893 24 jam

9
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruang
Denah area anestesi di kamar operasi Rumah Sakit Umum Mayjen H.A.
Thalib Kota Sungai Penuh yang berwarna kuning.

Pintu masuk
Pintu masuk
dan keluar
petugas pasien

Pintu keluar
PREMEDIKASI
pasien

R PULIH SADAR LORONG KAMAR OPERASI I

KAMAR

OPERASI

KAMAR OPERASI II

KAMAR OPERASI III


OBHP

JALUR EVAKUASI

B. Standar Fasilitas

10
Dalam pelayanan anestesi standar fasilitas yang harus diperhatikan
adalah adanya sarana dan prasarana dasar dalam manajemen sistem
pernafasan, sistem kardiovaskuler, dan sistem lainnya.

11
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

A. KATEGORI / TINGKATAN ANESTESI DAN SEDASI


1. Anestesi umum: hilangnya kesadaran di mana pasien tidak sadar, bahkan
dengan pemberian stimulus nyeri. Pasien sering membutuhkan bantuan
untuk mempertahankan patensi jalan napas, dan mungkin membutuhkan
ventilasi tekanan positif karena tidak adekuatnya ventilasi spontan/
fungsi kardiovaskular dapat terganggu. Terdapat 4 stadium anestesi
umum diantaranya :
a. Stadium I
Stadium I disebut stadium analgesik. Pada stadium ini, pasien diberi
zat anestetik hingga kesadaranya hilang. Ciri berakhirnya stadium ini
adalah hilangnya refleks bulu mata.
b. Stadium II
Stadium II disebut stadium delirium. Pada stadium ini, kesadaran
pasien hilang dengan pernafasan teratur. Pada stadium ini pula terjadi
depresi pada ganglia basalis yang menyebabkan reaksi berlebihan
terhadap stimulasi tertentu (seperti cahaya, raba, nyeri, dan rasa).
c. Stadium III
Stadium III disebut stadium operasi. Pada stadium ini, pernafasan
teratur namun pernafasan spontan hilang. Stadium ini terbagi menjadi
4 plana yaitu :
 Plana 1
Dengan ciri ventilasi teratur dengan pernafasan thorakal-
abdominal, pupil terfiksasi (miosis), masih ada reflek cahaya,
hiperlakrimasi, tidak ada reflek faring dan muntah, tonus otot mulai
menurun.
 Plana 2
Dengan ciri ventilasi teratur dengan pernafasan thorakal-
abdominal, volume tidal berkurang, frekuensi napas meningkat,
pupil terfiksasi ditengah (midriasis), reflek cahaya menurun, dan
tidak ada reflek kornea.

12
 Plana 3
Dengan ciri ventilasi teratur ditandai pernafasan abdominal dengan
kelumpuhan saraf interkostal, lakrimasi (-), pupil melebar dan
sentral, reflek laring dan peritonium menurun.
 Plana 4
Dengan ciri ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat oleh karena
otot-otot diafragma lumpuh atau menurun, tonus otot menurun
atau tonus otot tidak sesui dengan volume tidal, pupil midriasis,
reflek sfingter ani dan kelenjar lakrimasi tidak ada.
d. Stadium IV
Stadium IV disebut stadium paralisis medula oblongata, sering juga
disebut stadium kelebihan obat atau intoksikasi. Pada stadium ini
terjadi kelemahan pda pernafasan perut serta terjadi henti nafas
sampai henti jantung.
2. Sedasi adalah suatu proses yang berkelanjutan / kontinu, sehingga tidak
selalu mungkin untuk memprediksi bagaimana respon setiap pasien yang
mendapat sedasi. Oleh karena itu, petugas anestesi yang memberikan
sedasi harus dapat melakukan penanganan segera terhadap pasien yang
efek sedasinya lebih dalam / berat daripada efek yang seharusnya terjadi
(misalnya: petugas anestesi yang memberikan anestesi sedang harus
dapat melakukan penanganan terhadap pasien yang jatuh ke dalam
kondisi sedasi berat).
a. Sedasi ringan / minimal (anxiolysis): kondisi di mana pasien masih
dapat merespons dengan normal terhadap stimulus verbal. Meskipun
fungsi kognitif dan koordinasi dapat terganggu, ventilasi dan fungsi
kardiovaskular tidak terpengaruh. Contoh sedasi minimal adalah:
1. Blok saraf perifer yang mendapatkan ansiolitik
2. Anestesi lokal atau topikal yang mendapat ansiolitik
3. Pemberian 1 jenis obat sedatif / analgesik oral dengan dosis yang
sesuai untuk penanganan insomnia, ansietas, atau nyeri
b. Sedasi sedang (pasien sadar): suatu kondisi depresi tingkat kesadaran
di mana pasien memberikan respons terhadap stimulus sentuhan.
Tidak diperlukan intervensi untuk mempertahankan patensi jalan

13
napas, dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskular
biasanya terjaga dengan baik.
c. Sedasi berat / dalam: suatu kondisi depresi tingkat kesadaran di mana
pasien memberikan respons terhadap stimulus berulang /nyeri.
Fungsi ventilasi spontan dapat terganggu /tidak adekuat. Pasien
mungkin membutuhkan bantuan untuk mempertahankan patensi
jalan napas. Fungsi kardiovaskular pada umumnya terjaga dengan
baik.

Sedasi Sedasi Sedasi berat / Anestesi Umum


ringan / sedang Dalam
minimal (Pasien
(anxiolysis sadar)
Respon Respon Merespon Merespon Tidak sadar,
normal terhadap setelah meskipub dengan
terhadap stimulus diberikan stimulus nyeri
stimulus sentuhan stimulus
verbal berulang /
stimulus nyeri
Jalan nafas Tidak Tidak perlu Mungkin perlu Sering
terpengaruh intervensi intervensi memerlukan
intervensi
Stimulasi Tidak Adekuat Dapat tidak Sering tidak

spontan terpengaruh adekuat adekuat

Fungsi Tidak Biasanya dapat Biasanya dapat Dapat terganggu

kardiovaskuler terpengaruh dipertahankan dipertahankan


dengan baik dengan baik

B. PEDOMAN SEDASI SEDANG, SEDASI DALAM, DAN ANESTESI


1. Evaluasi praanestesi/prasedasi
A. Untuk meningkatkan efikasi klinis agar proses pemberian
sedasi/anestesi dan analgesik yang berjalan lancar.

14
B. Menurunkan risiko kejadian efek samping.
C. Evaluasi ini meliputi:
1) Riwayat penyakit pasien yang relevan
a. Abnormalitas sistem organ utama
b. Riwayat anestesi /sedasi sebelumnya, dan efek samping yang
pernah dialami
c. Obat-obatan yang dikonsumsi saat ini, alergi obat, dan interaksi
obat yang mungkin terjadi
d. Asupan makan dan minum terakhir
e. Riwayat merokok, alkohol, atau penyalahgunaan obat-obatan
2) Pemeriksaan fisik terfokus
a. Tanda vital
b. Evaluasi jalan napas (lihat lampiran 3)
c. Auskultasi jantung dan paru
3) Pemeriksaan laboratorium (berdasarkan pada kondisi yang
mendasari dan efek yang mungkin terjadi dalam penanganan
pasien)
4) Temuan klinis dikonfirmasi segera sebelum melakukan anestesi /
sedasi.
5) Konsultasi
2. Konseling pasien
Mengenai resiko, keuntungan, keterbatasan, dan alternatif/pilihan yang
ada.
3. Puasa praanestesi/prasedasi (lihat lampiran 4)
A. Prosedur elektif: mempunyai waktu yang cukup untuk pengosongan
lambung
B. Prosedur kedaruratan : berpotensi terjadi pneumonia aspirasi,
pertimbangkan dalam menentukan tingkat / kategori sedasi, apakah
perlu penundaan prosedur, dan apakah perlu proteksi trakea dengan
intubasi.
4. Monitoring intraanestesi
A. Data yang harus dicatat dengan interval yang teratur sebelum,
selama, dan setelah prosedur dilakukan:

15
1) Tingkat kesadaran pasien (dinilai dari respons pasien terhadap
stimulus)
a. Respons menjawab (verbal): menunjukkan bahwa pasien
bernapas
b. Hanya memberikan respons berupa refleks menarik diri
(withdrawal): dalam sedasi berat /dalam, mendekati anestesi
umum, dan harus segera ditangani.
2) Oksigenasi :
a. Memastikan konsentrasi oksigen yang adekuat selama proses
anestesi
b. Gunakan pengukuran saturasi oksigen (pulse oximetry)
3) Respon terhadap perintah verbal (jika memungkinkan)
4) Ventilasi paru (observasi, auskultasi)
a. Semua pasien yang menjalani anestesi umum harus memiliki
ventilasi yang adekuat dan dipantau secara terus-menerus
b. Lihat tanda klinis: pergerakan dinding dada, pergerakan
kantong pernapasan, auskultasi dada.
c. Pemantauan karbondioksida yang diekspirasi oleh pasien
kapnografi
d. Jika terpasang ETT /LMA: pastikan posisi terpasang dengan
benar
5) Sirkulasi
a. Elektrokardiogram (EKG) untuk pasien dengan penyakit
kardiovaskular yang signifikan.
b. Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
c. Tekanan darah dan frekuensi denyut jantung setiap 5 menit
(kecuali dikontraindikasikan)
d. Pasien dengan anestesi umum: semua hal di atas ditambah
evaluasi kontinu pada pengaturan mesin anestesi serta CO 2
absorber.
6) Temperatur tubuh
B. Pencatatan data untuk anestesi dan sedasi berat /dalam:
1) Respon terhadap perintah verbal atau stimulus yang lebih intens
(kecuali dikontraindikasikan)

16
2) Pemantauan karbondioksida yang diekspirasi untuk semua pasien
3) EKG untuk semua pasien
5. Perawat anestesi
A. Sebaiknya terdapat perawat anestesi yang ikut hadir dalam proses
anestesi, bertugas untuk memantau pasien sepanjang prosedur
berlangsung.
B. Memiliki kemampuan untuk mempertahankan patensi jalan napas,
melakukan ventilasi tekanan positif, dan resusitasi (bantuan hidup
lanjut) selama prosedur berlangsung.
C. Petugas ini boleh membantu dengan melakukan tugas-tugas ringan
lainnya saat pasien telah stabil
D. Untuk anestesi dan sedasi berat /dalam: petugas yang melakukan
pemantauan tidak boleh diberikan tugas /pekerjaan lain.
6. Pelatihan
A. Farmakologi obat-obatan anestesi dan analgesik
B. Farmakologi obat-obatan antagonis yang tersedia
C. Keterampilan bantuan hidup dasar
D. Keterampilan bantuan hidup lanjut
E. Untuk anestesi dan sedasi berat /dalam: keterampilan bantuan hidup
lanjut di kamar tindakan /prosedur
7. Peralatan kedaruratan (lihat lampiran 5)
A. Mesin penghisap peralatan patensi jalan napas dengan berbagai
ukuran, ventilasi tekanan positif
B. Peralatan intravena, obat-obatan antagonis, dan obat-obatan
resusitasi dasar
C. Peralatan intubasi
D. Defibrillator yang tersedia setiap saat dan dapat segera dipakai (untuk
pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular)
E. Untuk anestesi dan sedasi berat /dalam: defibrillator tersedia setiap
saat dan dapat segera dipakai (untuk semua pasien)
8. Oksigen tambahan
A. Tersedianya peralatan oksigenasi
B. Pemberian oksigen tambahan jika terjadi hipoksemia

17
C. Untuk anestesi dan sedasi berat /dalam: pemberian oksigen kepada
semua pasien
9. Pilihan obat-obatan anestesi atau sedasi
A. Sedatif: untuk mengurangi ansietas /kecemasan, menyebabkan
kondisi somnolen
B. Analgesik: untuk mengurangi nyeri
C. Kombinasi sedatif dan analgesik: efektif untuk sedasi sedang
dibandingkan dengan penggunaan satu jenis obat
D. Anestesi : untuk mengeblok syaraf atau menghilangkan kesadaran
10. Titrasi dosis
A. Pemberian obat intravena diberikan secara bertahap dengan interval
yang cukup antar pemberian untuk memperoleh efek yang optimal
B. Pengurangan dosis yang sesuai jika menggunakan sedatif dan
analgesik
C. Pemberian berulang dosis obat-obatan oral untuk menambah efek
sedasi / analgesik tidak direkomendasikan
11. Penggunaan obat anestesi induksi (diazepam, midazolam, propofol,
ketamin, etomidate, penthotal, dexmedethomidin)
A. Digunakan untuk sedasi ringan, sedang, berat dan anestesi umum
B. Tanpa memandang rute pemberian dan tingkat sedasi yang
diinginkan, pasien dengan sedasi berat harus dipantau secara
konsisten, termasuk penanganan jika pasien jatuh dalam keadaan
anestesi umum.

12. Akses intravena


A. Pemberian obat sedasi dan anestesi melalui jalur intravena:
pertahankan akses intravena dengan baik selama prosedur hingga
pasien terbebas dari risiko depresi kardiorespirasi dan ekstravasasi.
B. Pemberian obat sedasi dan anestesi melalui jalur lain: seperti inhalasi,
keputusan diambil berdasarkan kasus per-kasus.
C. Tersedia perawat yang memiliki keterampilan mengakses jalur
intravena

18
13. Obat antagonis: tersedia nalokson dan flumazenil jika pasien diberikan
obat opioid dan benzodiazepin.
14. Pemulihan
A. Mencatat jam ketika pasien masuk dan keluar ruang pemulihan.
B. Observasi sampai pasien terbebas dari risiko depresi sistem
kardiorespirasi
C. Oksigenasi harus dipantau secara rutin dan teratur sampai pasien
terbebas dari risiko hipoksemia
D. Ventilasi dan sirkulasi harus dipantau secara rutin dan teratur
sampai pasien diperbolehkan pulang.
E. Gunakan kriteria pemulangan yang sesuai untuk meminimalisir
risiko depresi kardiovaskular /pernapasan setelah pasien
dipulangkan. (lihat lampiran6).
15. Situasi khusus
A. Masalah medis berat yang mendasari (usia sangat lanjut, penyakit
jantung /paru /ginjal hepar yang berat) dapat dikonsultasikan
dengan dokter spesialis yang sesuai
B. Risiko gangguan kardiovaskular /pernapasan yang berat atau
diperlukannya ketidaksadaran total pada pasien untuk menciptakan
kondisi operasi yang optimal, wajib dikonsultasikan dengan
anestesiologis.

19
BAB V
LOGISTIK
PERALATAN DAN OBAT-OBATAN PEMBIUSAN

5.1 DEFINISI
1. Peralatan :
Peralatan yang dimaksud adalah : alat tenun, dan alat kedokteran yang
dipergunakan di kamar operasi untuk prosedur pembiusan.
2. Obat-obatan adalah:
Obat-obatan yang dimaksud adalah untuk sedasi, analgesi, induksi,
relaksasi, reversal, menghentikan perdarahan, obat kedaruratan, obat
simptomatik lain, dan gas anestesi. Selain itu diperlukan juga cairan
kristaloid dan koloid.

5.2 PERALATAN PEMBIUSAN


Peralatan perlu distandarisasikan dengan tujuan agar tersedianya alat
sesuai dengan jumlah dan jenis kebutuhan untuk memperlancar
pelaksanaan tindakan pembiusan serta menciptakan suasana yang
harmonis dan kepuasan kerja.
1. Jenis alat:
a. Alat tenun
b. Alat kesehatan
c. Kedokteran
2. Alat Tenun
a. Syarat Umum:
 Bahan terbuat dari katun 100%.
 Warna bahan tidak menyolok
 Warna khusus (hijau, biru), berbeda dengan warna bahan
yang dipakai di ruang perawatan.
 Panjang linen harus menutup daerah steril dan tidak boleh
menyentuh lantai.

b. Syarat model baju di kamar operasi:

20
 Panjang lengan baju (7-10) cm diatas siku.
 Panjang celana setinggi mata kaki, tidak boleh menyentuh
lantai.
 Cukup longgar untuk memudahkan bergerak.
c. Ukuran alat tenun:
 Linen 100 x 100
 Doek lubang bulat 90 x 125
d. Selain alat tersebut di atas juga yang diperlukan di kamar operasi
adalah:
 Topi
 Masker
3. Alat Kedokteran:
a. Alat monitor lengkap (SpO2, NIBP, IBP, EKG, Suhu,)
b. Alat manajemen jalan nafas : Pipa endotrakeal kinking dan non
kinking berbagai ukuran, Oropharyngeal Airway berbagai ukuran,
Nasopharyngeal Airway, Laryngeal Airway, Laringoskop, Mc Coy,
suction canul, Tight Fitting Mask, Mayo, Forcep Magill, Jackson Rees,
Introducer ETT, masker berbagai ukuran dan kanul nasal.
c. Cairan resusitasi seperti koloid, kristaloid dan rumatan
d. Mesin anestesi
e. Mesin penghisap
f. Tiang infus
g. Bantal khusus untuk intubasi
h. Plaster untuk ETT, NGT dan mata
i. Stetoskop
j. Alat disposable seperti: berbagai macam ukuran spuit, jarum infus
berbagai ukuran, set infus dan set tranfusi darah berbagai ukuran,
jarum berbagai macam bentuk dan ukuran, jarum spinal berbagai
ukuran, CVC dan set epidural, sarung tangan steril dan non steril,
berbagai ukuran kateter, NGT, lead ECG.

k. Kasa dan kapas.


l. Obat-obatan seperti antibiotika, desinfektan, antiseptik dll.

21
m. Syringe Pump dan Infusion Pump
n. Pressure Bag
o. Blanket Warmer
4. Obat-obatan kedaruratan
a. Epinefrin
b. Efedrin
c. Atropin
d. Lidokain
e. Difenhidramin
f. Dekstrose 40%
g. Metilprednisolon dan deksametason
h. Norepinefrin
i. Dopamin dan dobutamin
j. Aminofilin
5. Set instrumen
a. Set instrumen SAB
 Desinfeksi klem = 1 bh
 Mangkok antiseptik =2
 Doek lubang = 1 set
 Monitor anestesi
 Set anestesi umum
b. Set instrumen epidural
 Desinfeksi klem = 1 bh
 Mangkok antiseptik = 2 bh
 Doek lubang = 1 set
 Waskom kecil = 1 bh
 Monitor anestesi
 Set anestesi umum

c. Set instrumen anestesi umum


 Laringoskop
 Bantal intubasi

22
 Masker
 Introducer
 Mesin penghisap
 Jackson Rees
 Laryngeal mask
 Stetoskop
 Mesin anestesi
 Monitor pasien
 Tiang infus
6. Obat-obatan dan bahan habis pakai yang disiapkan
a. Anestesi SAB
 Obat anestesi lokal hiperbarik 0,5% atau isobarik yang
dibutuhkan
 Spuit 2,5 cc dan 5 cc
 Jarum spinal sesuai kebutuhan
 Obat-obatan kedaruratan
 Obat anestesi lokal
 Penutup luka antiseptik
 Betadin dan alkohol
 Sarung tangan steril
 Obat-obatan anestesi umum
b. Anestesi epidural
 Obat anestesi lokal isobarik 0,5 % yang dibutuhkan
 Spuit 2,5 cc dan 10 cc
 Set epidural
 Obat-obatan kedaruratan
 Obat anestesi lokal
 Penutup luka antiseptik
 Cairan normal saline 0,9%
 Plaster untuk selang epidural
 Betadin dan alkohol
 Obat-obatan general anestesi

23
c. Anestesi umum
 Alat manajemen jalan nafas : Endotracheal tube, oropharyngeal
airway, Laringoskop, suction cathether, nasopharyngeal airway,
dan plester
 Gas anestesi
 Obat-obatan induksi anestesi, analgesik, obat pelumpuh otot,
obat kedaruratan dan obat lain-lain yang diperlukan.
 Cairan koloid dan kristaloid
d. Sedasi
 Obat sedasi yang dibutuhkan (midazolam, propofol,)
 Obat analgesik kuat (fentanil)
 Spuit 2,5 cc dan 5 cc
 Alat monitor pasien.
 Kapas alkohol.
 Obat-obatan kedaruratan
 Aquades
 Alat managemen jalan napas : ETT, mayo, BVM,
Laringoskop, Jackson Rees, suction
 Oksigen
 Vaporiser

5.3 PERAWATAN DAN PENANGANAN ALAT DAN INSTRUMEN


PASCAANESTESI
Setelah prosedur anestesi, petugas asisten operasi bertanggung
jawab untuk menutup/ menyelesaikan lapangan steril dan
mempersiapkan instrumen pengolahan ulang.

a. Alat yang telah dipakai :


1. Dilakukan dekontaminasi (lihat cairan desinfektannya dan
caranya). Yang sebelumnya direndam dulu pada larutan
enzimatik

24
2. Pencucian
3. Lakukan pembilasan dengan air yang mengalir
4. Pengeringan, perlu juga lubrikasi
5. Disusun /pengepakan dan bungkus
6. Sterilisasi

25
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN OLEH TIM ANESTESI

Untuk mencapai terwujudnya keselamatan pasien yang optimal,


anestesiologis bertanggungjawab terhadap hal-hal berikut ini:
1. Manajemen kepegawaian
Anestesiologis harus memastikan terlaksananya penugasan dokter dan
perawat anestesi yang kompeten dan berkualitas dalam memberikan
layanan /prosedur anestesi kepada setiap pasien
2. Evaluasi praanestesi/prasedasi pasien
a. Suatu evaluasi praanestesi memungkinkan terwujudnya perencanaan
anestesi yang baik, di mana perencanaan tersebut juga mempertimbangkan
kondisi dan penyakit pasien yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi.
b. Meskipun perawat anestesi dapat berkontribusi dalam pengumpulan dan
pencatatan data praanestesi pasien, anestesiologislah yang memegang
tanggung jawab terhadap evaluasi keseluruhan pasien.
3. Perencanaan tindakan anestesi
a. Anestesiologis bertanggungjawab dalam menyusun rencana tindakan
anestesi yang bertujuan untuk mewujudkan kualitas pelayanan pasien
yang terbaik dan tercapainya keselamatan pasien dengan optimal.
b. Anestesiologis sebaiknya melakukan diskusi dengan pasien dan keluarga
mengenai risiko tindakan anestesi, keuntungan dan alternatif (pilihan)
yang ada, dan memperoleh izin persetujuan tindakan.
c. Ketika terdapat situasi di mana suatu bagian dari layanan anestesi akan
dilakukan oleh perawat anestesi, spesialis anestesi harus memberitahukan
kepada pasien bahwa pendelegasian tugas ini termasuk dalam pelayanan
anestesi oleh tim anestesi.
4. Manajemen tindakan anestesi
a. Manajemen tindakan anestesi bergantung pada banyak faktor, termasuk
kondisi medis setiap pasien dan prosedur yang akan dilakukan.
b. Anestesiologis harus menentukan tugas perianestesi/perisedasi mana yang
dapat didelegasikan.

26
c. Anestesiologis dapat mendelegasikan tugas spesifik kepada petugas
nondokter yang tergabung dalam tim anestesi, dengan syarat kualitas
pelayanan pasien dan keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik, tetap
berpartisipasi dalam bagian-bagian penting tindakan anestesi, dan tetap
siap sedia untuk menangani situasi kedaruratan dengan cepat
5. Perawatan pascaanestesi
a. Perawatan pascaanestesi rutin didelegasikan kepada perawat ruang
pemulihan.
b. Evaluasi dan tatalaksana komplikasi pascaanestesi merupakan tanggung
jawab anestesiologis.
6. Konsultasi anestesi
Seperti jenis konsultasi medis lainnya, tidak dapat didelegasikan kepada
nondokter.

C. MANAJEMEN KESELAMATAN PASIEN DALAM PENGGUNAAN


SEDASI SEDANG OLEH DOKTER ANESTESI
1. Dokter yang mengawasi bertanggungjawab akan semua aspek yang
terlibat selama penanganan pasien (pra, intra, dan pascaanestesi).
2. Saat pasien diberikan anestesi/sedasi, dokter yang bertanggungjawab
harus hadir /mendampingi di ruang tindakan.
3. Praktisi yang melakukan anestesi/sedasi harus terlatih dengan baik
dalam mengevaluasi pasien sebelum prosedur dilakukan untuk
mengenali kapan terdapat peningkatan risiko anestesi.
4. Kebijakan dan prosedur yang terkait memperbolehkan dokter anestesi
untuk menolak melakukan tindakan anestesi/sedasi dalam kasus-kasus
tertentu jika mereka merasa tidak kompeten dalam melakukan suatu
tindakan anestesi dan terdapat kemungkinan dapat membahayakan
pasien /menurunkan kualitas pelayanan pasien.
5. Dokter yang mengawasi bertanggungjawab memimpin timnya dalam
situasi kedaruratan di mana diperlukan tindakan resusitasi, termasuk
manajemen jalan napas.
6. Dokter yang melakukan sedasi harus mengidentifikasi pasien sebelum
tindakan anestesi dan berkomunikasi yang efektif dan juga menulis

27
hasil pengkajian praanestesi, intraanestesi dan pascaanestesi serta
memonitoring tanda tanda vital sebelum pemakaian obat-obat sedasi.
7. Mengulang kembali identifikasi pasien, lokasi tubuh pasien yang akan
dioperasi.
8. Untuk mencegah infeksi lakukan 6 langkah cuci tangan sebelum dan
sesudah tindakan anestesi, termasuk 5 momen cuci tangan.
9. Monitoring pasien selama pascaanestesi untuk mencegah jatuh karena
efek anestesi.

28
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

Keselamatan kerja di Instalasi Anestesiogi dan Perawatan Intensif


ditekankan kepada Kewaspadaan Universal (Universal Precaution).
1. Pengertian
Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) adalah kewaspadaan
terhadap darah dan cairan tubuh dengan tidak membedakan perlakuan
terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya,
agar petugas anestesi dapat terhindari dari infeksi yang diangkut aliran
darah, seperti HIV atau hepatitis B dan C. Termasuk pedoman penggunaan
sarung tangan lateks, masker, dan kacamata pelindung jika pekerjaan ada
kaitannya dengan darah atau cairan tubuh.
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, tindakan yang
dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan
alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut
pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada
pedoman untuk mencegah kemungkinan penularan terjadi. Pedoman ini
disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman
tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan
HIV, tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat
dan sebetulnya lebih mudah menular.

2. Penerapan kewaspadaan universal


Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau
tidak, petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal
secara penuh dalam hubungan dengan semua pasien, dengan melakukan
tindakan berikut:
a. Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka
sarung tangan
b. Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh
c. Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan
tubuh

29
d. Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan
tubuh
e. Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang
sekali pakai tidak boleh dipakai ulang
f. Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang
cocok
g. Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis
h. Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan
prosedur
i. Buang limbah sesuai prosedur

3. Metode mencuci tangan


a. Gunakan sabun cair lebih bagus dan dilakukan di air hangat mengalir.
b. Gosok tangan bersama-sama dengan selama minimal 30 detik.
c. Ingat untuk mencuci semua permukaan termasuk ibu jari, pergelangan
tangan, punggung tangan, antara jari dan sekitar dan di bawah kuku.
d. Bilas tangan dengan baik pada air mengalir dari pergelangan ke jari pada
air mengalir.
e. Keringkan tangan dengan handuk kertas, lalu menggunakan handuk
yang sama untuk mematikan kran.
f. Buang handuk

Apakah ada pilihan lain?


Sebelum kewaspadaan universal pertama dikenalkan di AS pada 1987, semua
pasien harus dites untuk semua infeksi tersebut. Bila diketahui terinfeksi, pasien
diisolasikan dan kewaspadaan khusus lain dilakukan, misalnya waktu operasi.
Banyak petugas layanan kesehatan dan pemimpin rumah sakit masih menuntut
tes HIV wajib untuk semua pasien yang dianggap anggota ‘kelompok berisiko
tinggi’ infeksi HIV, misalnya pengguna narkoba suntikan. Namun tes wajib ini
tidak layak, kurang efektif dan bahkan berbahaya untuk beberapa alasan:
a. Hasil tes sering baru diterima setelah pasien selesai dirawat
b. Bila semua pasien dites, biaya sangat tinggi
c. Jika hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites, infeksi HIV pada
pasien yang dianggap tidak berisiko tidak diketahui

30
d. Hasil negatif palsu menyebabkan kurang kewaspadaan saat dibutuhkan
e. Hasil positif palsu menyebabkan kegelisahan yang tidak perlu untuk
pasien dan petugas layanan kesehatan
f. Tes hanya untuk HIV tidak melindungi terhadap infeksi virus hepatitis
dan kuman lain dalam darah termasuk yang belum diketahui, banyak di
antaranya lebih menular, prevalensinya lebih tinggi dan hampir seganas
HIV
g. Tes tidak menemukan infeksi pada orang yang dalam masa jendela,
sebelum antibodi terbentuk
h. Tes HIV tanpa konseling dan persetujuan pasien/keluarga melanggar
peraturan nasional dan hak asasi manusia
i. Bila kewaspadaan universal hanya dipakai untuk pasien yang diketahui
terinfeksi HIV, status HIV-nya pasti diketahui orang lain, asas
kerahasiaan tidak terjaga, dengan akibat hak asasinya terlanggar.
Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk:
a. Petugas layanan kesehatan kurang pengetahuan
b. Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya
sarung tangan dan masker
c. Penyediaan pasokan tersebut kurang
d. Petugas layanan kesehatan ‘terlalu sibuk’

4. Risiko kewaspadaan universal yang tidak diterapkan


Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap
kecelakaan yang dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah
tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien
menusuk kulit seorang petugas layanan kesehatan. Penelitian menunjukkan
bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang bersangkutan
terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk
hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang
terinfeksi mengenai selaput mukosa (misalnya masuk mata) petugas layanan
kesehatan, risiko penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum
ada data tentang kejadian serupa dengan darah yang dicemar hepatitis B,
risiko jelas jauh lebih tinggi.

31
5. Hal-hal yang harus dilakukan saat terjadi pajanan
Segera membersihkan anggota tubuh yang mengalami kecelakaan dan
melapor ke poliklinik visiti untuk dilakukan tindakan lebih lanjut. Satu
pilihan untuk mencegah infeksi HIV setelah diselidiki adalah untuk
menawarkan profilaksis pascapajanan (PPP).

6. Penerapan kewaspadaan universal


Jelas penerapan kewaspadaan universal yang tidak sesuai dapat
menghasilkan bukan hanya risiko pada petugas layanan kesehatan dan
pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan diskriminasi yang
dihadapi oleh ODHA. Jadi kita harus mengerti dasar pemikiran
kewaspadaan universal dan terus menerus mengadvokasikan untuk
penerapannya. Kita harus mengajukan keluhan jika kewaspadaan universal
diterapkan secara pilih-pilih (kewaspadaan ODHA) dalam sarana medis.

32
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
Pengendalian mutu Instalasi Anestesiologi & Perawatan Intensif
mengacu pada Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, dalam pedoman ini
meliputi jenis-jenis pelayanan, indikator dan standar pencapaian pelayanan
rumah sakit.

Jenis-Jenis Pelayanan Rumah Sakit


NO JENIS PELAYANAN
1 Pelayanan Gawat Darurat
2 Pelayanan Rawat Jalan
3 Pelayanan Rawat Inap
4 Pelayanan Operasi
5 Pelayanan Persalinan, Perinatologi, dan KB
6 Pelayanan Intensif
7 Pelayanan Radiologi
8 Pelayanan Laboratorium
9 Pelayanan Rehabilitasi Medik
10 Pelayanan Farmasi
11 Pelayanan Gizi
12 Pelayanan Rekam Medik
13 Pelayanan Administrasi Manajemen
14 Pelayanan Ambulan dan Mobil Jenazah
15 Pelayanan Loundry
16 Pelayanan Pemeliharaan Sarana RS
18 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Pelayanan anestesi di kamar operasi Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib
Kota Sungai Penuh
N JENIS PELAYANAN INDIKATOR STANDAR
O
1 Kamar operasi 1. Waktu tunggu operasi elektif ≤ 2 hari
2. Kejadian kematian di meja operasi ≤2%
3. Tidak adanya kejadian salah pasien 100 %
4. Tidak adanya kejadian salah tindakan 100 %
5. Komplikasi anestesi karena overdosis, ≤6%
reaksi anestesi, salah penempatan ETT

33
BAB IX

PENUTUP

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan


dan kedokteran berdampak pula pada bidang medis dan perawatan. Instalasi
anestesi merupakan bagian integral dari pelayanan rumah sakit yang salah
satunya adalah pelayanan sebelum tindakan anestesi dalam rangka kesuksesan
tindakan operasi demi keselamatan dan pemulihan kondisi pasien pascaoperasi.
Pelayanan instalasi anestesi yang dilakukan di rumah sakit tentunya
perlu senantiasa disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Dalam
menyongsong era globalisasi dan menghadapi persaingan bebas di bidang
kesehatan, maka pelayanan anestesi juga harus disiapkan secara benar dan
berkualitas.
Pedoman ini disusun untuk menjadi acuan pelaksanaan pelayanan
anestesi di Rumah Sakit Umum Mayjen H.A. Thalib Kota Sungai Penuh, dan
tetap terbuka untuk dievaluasi dan disempurnakan dari waktu ke waktu.

34
LAMPIRAN 1

ANGGOTA TIM ANESTESI TAMBAHAN

Anggota tim anestesi lainnya yang dapat terlibat dalam perawatan perianestesi:
1. Perawat ruang pemulihan: adalah perawat yang merawat pasien dalam
fase pemulihan pascaanestesi
2. Perawat anestesi: adalah perawat yang melakukan observasi dan
membantu dokter anestesi selama di kamar operasi.
3. Perawat intensif: adalah perawat yang merawat pasien di ruang
perawatan intensif (IPI).
Anggota pendukung yang menangani masalah teknis, pengadaan alat, dan
pemeliharaan alat:
1. Teknisi anestesi
2. Petugas pembantu anestesi (anesthesia aides)
3. Teknisi mesin monitor (monitoring technicians)

35
LAMPIRAN 2

PERATURAN PENAGIHAN DAN DEFINISI YANG SERING DIGUNAKAN

ASA mengetahui adanya peraturan pembayaran komersial dan


pemerintahan yang berlaku untuk penagihan layanan anestesi dan memotivasi
para anggotanya untuk mematuhinya sebisa mungkin.

Beberapa tugas umum yang dilakukan meliputi:


1. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat terhadap
pasien sebelum menjalani anestesi
2. Menyusun rencana anestesi
3. Ikut serta dalam sebagian besar proses anestesi, termasuk induksi
anestesi (pasien dibius dan menjadi tidak sadar) dan pemulihan
(pemberian anestesi dihentikan dan pasien sadar kembali).
4. Pendelegasian perawatan anestesi hanya kepada personel anestesi yang
kompeten dan berkualitas.
5. Pemantauan pelatihan anestesi dengan interval yang cukup sering
6. Siap sedia /hadir setiap kali diperlukan untuk memberikan diagnosis
dan tatalaksana segera dan bertanggungjawab secara medis.
7. Menyediakan pelayanan perawatan pascaanestesi, sesuai indikasi
8. Melakukan dan mencatat evaluasi pascaanestesi.
ASA juga mengetahui akan kurangnya kepastian /prediksi dalam
perawatan anestesi dan banyaknya variabilitas akan kebutuhan pasien yang
dapat, dalam keadaan tertentu dan jarang, membuatnya kurang sesuai dari
sudut pandang keselamatan pasien dan kualitas pelayanan pasien untuk
mematuhi peraturan /ketentuan pembayaran yang berlaku.
Pelaporan pembayaran atas layanan anestesi harus secara akurat
mencerminkan layanan yang diberikan. Kemampuan untuk memprioritaskan
tugas dan kebutuhan perawatan pasien dari waktu ke waktu merupakan
keahlian yang penting yang harus dimiliki oleh tim anestesi. Anestesiologis
harus berusaha untuk memberikan pelayanan dengan kualitas tertinggi dan

36
menerapkan keselamatan pasien dengan optimal kepada semua pasien
perianestesi.
PENGARAHAN MEDIS (oleh anestesiologis)
Merupakan suatu istilah pembayaran yang mendeskripsikan pekerjaan /
tugas spesifik seorang anestesiologis dan keterbatasan yang terlibat dalam
pembayar tagihan untuk manajemen dan pengawasan petugas anestesi non-
dokter. Hal ini berkaitan dengan kondisi di mana anestesiologis terlibat dalam ≤
4 tindakan anestesi yang bersamaan.

SUPERVISI MEDIS (oleh anestesiologis)


Kebijakan pembayaran jasa medis berisi rumusan pembayaran khusus untuk
‘supervisi medis’ yang berlaku untuk kondisi “ketika anestesiologis terlibat
dalam > 4 prosedur tindakan secara bersamaan atau melakukan pelayanan lain
sambil mengarahkan prosedur / tindakan anestesi lainnya.

37
LAMPIRAN 3

PROSEDUR PEMERIKSAAN PATENSI JALAN NAPAS UNTUK


PEMBERIAN SEDASI DAN ANALGESIK

Pemberian ventilasi tekanan positif (VTP), dengan atau tanpa intubasi


trakea mungkin diperlukan jika timbul gangguan pernapasan selama proses
pemberian sedasi /analgesik.
1. VTP ini dapat lebih sulit dilakukan pada pasien dengan anatomi jalan napas
yang tidak lazim
2. Abnormalitas jalan napas dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
obstruksi jalan napas saat ventilasi spontan
3. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dalam manajemen jalan
napas antara lain:
a. Riwayat pasien
1) Adanya masalah dengan anestesi /sedasi sebelumnya
2) Stridor, mengorok (snoring), apnea saat tidur (sleep apnea)
3) Artritis rematoid yang lanjut / berat
b. Pemeriksaan fisik
1) Postur tubuh: obesitas yang signifikan (terutama di struktur wajah
dan leher)
2) Kepala dan leher:
a. Leher pendek
b. Eksensi leher terbatas
c. Pendeknya jarak antara os mentalis – hyoid(< 3 cm pada dewasa)
d. Massa di leher
e. Penyakit /trauma pada tulang spinal servikal
f. Deviasi trakea
g. Gambaran wajah dismorfik (misalnya: sindrom Pierre-Robin)
3) Mulut
a) Pembukaan kecil (< 3 cm pada dewasa)
b) Gigi seri yang menonjol / maju (protruding)
c) Gigi yang goyang

38
d) Menggunakan peralatan gigi (misalnya: kawat, gigi palsu)
e) Lengkung langit-langit yang tinggi
f) Makroglosia (lidah besar)
g) Hipertrofi tonsil
h) Uvula tidak terlihat
4) Rahang
a) Mikrognatia
b) Retrognatia
c) Trismus
d) Maloklusi yang signifikan

39
LAMPIRAN 4

PEDOMAN PUASA SEBELUM MENJALANI PROSEDUR ANESTESI DAN


SEDASI MENURUT AMERICAN SOCIETY OF ANETHESIOLOGIST

Jenis makanan Periode puasa minimal


Cairan bening / jernih 2 jam
Air Susu Ibu (ASI) 4 jam
Susu formula untuk bayi 6 jam
Susu sapi 6 jam
Makanan ringan 6 jam

Rekomendasi ini ditujukan untuk pasien sehat yang akan menjalani prosedur
elektif. Tidak ditujukan untuk wanita hamil. Perlu diingat bahwa dengan
mengikuti pedoman ini tidak menjamin pengosongan lambung yang sempurna.
Periode puasa minimal diterapkan untuk semua usia. ( Neonatus, bayi dan anak
anak )

Contoh cairan bening / jernih adalah: air putih, jus buah tanpa bulir / ampas,
minuman berkarbonasi, teh, dan kopi.

Konsistensi susu sapi mirip dengan makanan padat dalam waktu pengosongan
lambung, jumlah susu yang diminum harus dipertimbangkan saat menentukan
periode waktu puasa yang tepat.

Contoh makanan ringan adalah roti dan cairan bening. Makanan yang digoreng
atau berlemak atau daging dapat memperlama waktu pengosongan lambung.
Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi harus dipertimbangkan saat
menentukan periode waktu puasa yang tepat.

40
LAMPIRAN 5

PERALATAN KEDARURATAN UNTUK SEDASI DAN ANALGESIK

1. Peralatan kedaruratan yang sesuai harus tersedia saat melakukan


pemberian sedasi /analgesik yang berpotensi untuk menyebabkan
depresi kardiorespirasi.
2. Berikut adalah pedoman mengenai peralatan apa saja yang harus
tersedia, dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi tempat praktik.
a. Peralatan pemasangan akses intravena
1) Sarung tangan
2) Tourniquet
3) Alkohol swab
4) Kassa steril
5) Kateter intravena /kanula infus (ukuran 24, 22, 20, 18, 16, 14)
6) Selang infus (untuk anak-anak menggunakan tetesan mikro: 60
tetes/ml)
7) Cairan intravena /cairan infus
8) Jarum suntik untuk aspirasi obat, injeksi intramuscular (pada
anak dan bayi: jarum untuk injeksi intraosseous sumsum tulang)
9) Spuit dengan beragam ukuran
10) Perekat

b. Peralatan untuk manajemen jalan napas dasar


1) Sumber oksigen yang bertekanan
2) Mesin penghisap
3) Kateter untuk penghisap
4) Suction tipe-Yankauer
5) Sungkup wajah (berbagai ukuran dari bayi – dewasa)
6) Satu set self-inflating breathing bag-valve
7) Oropharyngeal airways dan nasopharyngeal airway (berbagai ukuran)
8) Lubrikan /gel pelumas

41
c. Peralatan untuk manajemen jalan napas lanjut (untuk petugas
dengan keahlian intubasi)
1) Laryngeal mask airways (LMA)
2) Pegangan laringoskop
3) Bilah laringoskop
4) Pipa endotrakeal (endotracheal tube-ETT): ukuran dengan balon /
tanpa balon berdiameter 6.0, 7.0, 8.0 mm.(berbagai ukuran yg
sesuai dg pasien)
5) Stilet /mandrin (ukuran disesuaikan dengan diameter ETT)

d. Obat-obatan antagonis
1) Nalokson
2) Flumazenil

e. Obat-obatan emergensi
1) Epinefrin
2) Efedrin
3) Atropine
4) Lidokain
5) Difenhidramin
6) Dekstros 10%, 25%, 50%
7) Metilprednisolon atau deksametason
8) Diazepam atau midazolam
9) Nitrogliserin (tablet atau semprot)  Aminophylin ?
10) Norepinefrin
11) Dopamin dan Dobutamin

42
LAMPIRAN 6

KRITERIA PEMULIHAN DAN PEMULANGAN PASIEN SETELAH


PEMBERIAN SEDASI DAN ANALGESIK

Setiap rumah sakit harus mempunyai kriteria pemulihan dan


pemulangan yang sesuai dengan pasien dan prosedur yang dilakukan. Beberapa
prinsip dasar yang harus miliki adalah:
1. Prinsip umum
a. Pengawasan medis dalam fase pemulihan dan pemulangan pasien
setelah pemberian sedasi sedang /dalam merupakan tanggung jawab
dokter yang melakukan sedasi.
b. Ruang pemulihan harus dilengkapi dengan monitor dan peralatan
resusitasi yang adekuat
c. Pasien yang menjalani sedasi sedang atau dalam harus dipantau
sampai kriteria pemulangan terpenuhi.
 Durasi dan frekuensi pemantauan harus disesuaikan dengan
masing-masing pasien bergantung pada tingkat sedasi yang
diberikan, kondisi umum pasien, dan intervensi /prosedur yang
dilakukan
 Oksigenasi harus dipantau sampai pasien terbebas dari risiko
depresi pernapasan
d. Tingkat kesadaran, tanda vital, dan oksigenasi (jika diindikasikan)
harus dicatat dengan rutin dan teratur
e. Perawat atau petugas terlatih lainnya yang bertugas memantau
pasien dan mengidentifikasi adanya komplikasi harus dapat hadir /
mendampingi pasien hingga kriteria pemulangan terpenuhi.
f. Petugas yang kompeten dalam menangani komplikasi (misalnya
mempertahankan patensi jalan napas, memberikan ventilasi tekanan
positif) harus dapat segera hadir kapanpun diperlukan hingga kriteria
pemulangan terpenuhi.

43
2. Kriteria Pemulangan Pasien
a. Pasien harus sadar dan memiliki orientasi yang baik. Bayi dan pasien
dengan gangguan status mental harus kembali ke status semula /
awal (sebelum menjalani anestesi /analgesik). Dokter dan keluarga
harus menyadari bahwa pasien anak-anak yang memiliki risiko
obstruksi jalan napas tidak boleh duduk dengan posisi kepala
menunduk ke depan.
b. Tanda vital harus stabil, penggunaan sistem skoring dapat membantu
pencatatan untuk kriteria pemulangan
c. Telah melewati waktu yang cukup (hingga 2 jam) setelah pemberian
terakhir obat antagonis (nalokson, flumazenil) untuk memastikan
bahwa pasien tidak masuk ke fase sedasi kembali setelah efek obat
antagonis menghilang.
d. Pasien rawat jalan boleh dipulangkan dengan didampingi oleh orang
dewasa yang dapat mengantarkan pasien sampai ke rumah dan dapat
melaporkan jika terjadi komplikasi pasca-prosedur.
e. Pasien rawat jalan dan pendampingnya harus diberikan instruksi
tertulis mengenai diet pasca-prosedur, obat-obatan, aktivitas, dan
nomor telepon yang dapat dihubungi jika terjadi keadaan emergensi.

44
Daftar Pustaka

1. Anesthesia Care Team. Statement on the anesthesia care team.


Disetujui olehASA House of Delegates; 2009.
2. Ambulatory Surgical Care. Guidelines for ambulatory anesthesia
and surgery. Disetujui oleh ASA House of Delegates; 2008.
3. American Society of Anesthesiologist. Practice guidelines for
sedation and analgesia by non-anesthesiologists: an updated
report by the American Society of Anesthesiologist Task Force on
sedation and analgesia by nonanesthesiologist. Anesthesiology.
2002;96:1004-17.
4. Pain Medicine. Statement on anesthetic care during interventional
pain procedures for adults. Disetujui oleh ASA House of
Delegates; 2010.
5. Standards and Practice Parameters. Standards for basic anesthetic
monitoring. Disetujui oleh ASA House of Delegates; 2010.

45

Anda mungkin juga menyukai