Anda di halaman 1dari 4

Hukum Kepailitan

6 Maret 2023

1. Para pihak dalam perkara kepailitan:


a. Debitur
b. Kreditur
c. Hakim Pengawas  hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau
putusan PKPU. Tugas hakim pengawas ialah mengawasi proses pengurusan dan
pemberesan harta pailit. Dalam hal ini, jumlah hakim pengawas dalam setiap perkara
hanya 1 (satu) orang, dimana ia wajib mengikuti seluruh kegiatan yang dilakukan oleh
kurator dalam wewenangnya sebagai kurator

d. Kurator  tugasnya ada 2: pengurusan dan pemberesan


Kurator itu ditunjuk oleh Pengadilan
- Pengurusan:
- Pemberesan: Yang dimaksud dengan “pemberesan” dalam ketentuan ini adalah
penguangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang (Penjelasan Pasal 16 ayat
(1) UU K-PKPU)
Dalam praktiknya, penguangan aktiva disebut sebagai pelelangan
Pasal 56 ayat (2)  ada aktiva yang tidak bisa diuangkan, yaitu tagihan kreditor yang
dijamin dengan uang tunai (mana bisa uang menjadi objek fidusia, yang bisa menjadi
objek fidusia kan cuma benda)
Jual bawah tangan dapat dilakukan apabila jual umum (pelelangan) tidak tercapai 
dengan izin Hakim Pengawas (Pasal 185 ayat (2) UU K-PKPU)
Apabila jual bawah tangan dilakukan tanpa melalui proses pelelangan terlebih dahulu,
maka hal itu disebut sebagai Penggelapan
Kawan kerja dari Kurator adalah Balai Harta Peninggalan
Singkatnya, Balai Harta Peninggalan (“BHP”) merupakan kurator dari institusi
pemerintah
Kurator boleh mengambil paksa aset/harta pailit dari debitor pailit  dilindungi oleh
Pasal 55 KUHP
Apabila kurator salah mengambil paksa aset/harta pailit  bertanggung jawab secara
pribadi atas dasar kelalaian dan kelalaian, sehingga akan dihukum (Pasal 72 UU K-
PKPU)
Contoh kelalaian 
Kurator itu dibayar sebesar 8% dari total nilai boedel pailit
e. Pengurus
f. Majelis Pemutus  apabila terdapat ‘Gugatan Lain-Lain’
Majelis hakim yang memutus permohonan pailit, dan akan terus bertugas apabila ada
GLL terhadap proses persidangan perkara pailit yang sama
Actio Pauliana  gugatan dari kreditor yang merasa dirugikan atas tindakan debitor,
dimana tindakan itu dilakukan sebelum putusan pailit diucapkan (Pasal 41 ayat (1) UU
K-PKPU)
Pengaturan mengenai Actio Pauliana ada di Pasal 41 UU K-PKPU, dimana pasal ini
terdiri dari 3 ayat

GLL  gugatan di masa pengurusan dan pemberesan boedel pailit  gugatan ini
diputuskan oleh Majelis Pemutus
Definisi GLL  ada di bagian Penjelasan Pasal 41 UU K-PKPU
Boedel pailit  semua harta debitur yang sudah teridentifikasi menjadi harta pailit

g. Balai Harta Peninggalan


Balai Harta Peninggalan dijalankan oleh para petugas BHP.

2. UU K-PKPU sebelum UU 37/2004  UU 4/1998 (mengesahkan Perppu 1/1998)  Stbl.


217 Tahun 1905 jo. Stbl. 398 Tahun 1914
3. Mengapa ada UU 4/1998  karena Indonesia mengalami krisis moneter, dimana Direktur
IMF membawa 11 letter of credit untuk memberikan pinjaman lunak kepada Indonesia,
dimana salah satu hal yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membentuk UU
Kepailitan
4. Perbedaan hukum acara pailit dengan hukum acara lain  tidak ada replik-duplik
(pembuktian sederhana)
Yang harus dibuktikan adalah adanya utang

5. PKPU  diatur pada Pasal 222 UU K-PKPU


6. Definisi PKPU  Pasal 222 ayat (2) UU K-PKPU
7. Yang ditugaskan oleh pihak pengadilan dalam perkara PKPU  Pengurus (Pasal 225 ayat
(2) UU K-PKPU)
8. PKPU adalah proses sebelum Kepailitan
9. PKPU itu ada 2 (dua), yaitu PKPU Sementara (45 hari) dan PKPU Tetap (jangka waktu
maksimalnya ialah 270 hari setelah PKPU sementara)
10. Perbankan tidak suka kepailitan sama sekali, karena bisnisnya akan terhenti seketika
11. Homologasi  pengesahan akta perdamaian antara kreditur pailit dan debitur pailit oleh
pengadilan niaga
12. Konstruksi keberlakuan akta perdamaian ini serupa dengan akta mediasi, mengingat akta
mediasi juga tidak dapat serta-merta berlaku tanpa adanya putusan pengadilan terlebih
dahulu. Hal ini tentu berbeda dengan kesepakatan para pihak dalam arbitrase yang tidak
wajib memerlukan pengesahan dari pihak pengadilan
13. Apabila ketentuan akta perdamaian ini tidak dilakukan sehingga PKPU gagal, maka otomatis
debitur mengalami kondisi pailit
14. Akta perdamaian itu bukan merupakan kontrak, karena akta ini tidak bisa diubah (kontrak
kan bisa diubah)
15. Akta perdamaian merupakan putusan pengadilan, karena pengesahan pelaksanaannya tidak
didasarkan pada kesepakatan kreditur, debitur, dan kurator semata, tetapi juga memerlukan
keterlibatan majelis hakim (melalui proses pengesahan akta perdamaian dalam Putusan
Homologasi)
16. Sifat putusan pengadilan  mengikat sebagai undang-undang, dimana hal ini tidak hanya
mengikat para pihak, tetapi juga pihak ketiga

17. Dalam hal ini, pengaturan mengenai pengesahan akta perdamaian oleh pihak pengadilan
diatur pada Pasal 285 UU K-PKPU.
Pasal 285 ayat (1) dan (2) UU K-PKPU
(1) Pengadilan wajib memberikan putusan mengenai pengesahan perdamaian disertai
alasan-alasannya pada sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (3).
(2) Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:
a. harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda,
jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
b. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
c. perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau
lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa
menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini;
dan/atau
d. imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau
tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

18. Pertanyaan  apakah koperasi dapat dipailitkan?


Secara definitif, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1
angka 1 UU Koperasi, “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang
atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”

Secara lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 46 UU Koperasi, disebutkan bahwa pembubaran
koperasi sendiri dapat dilakukan berdasarkan 2 (dua) hal, yaitu:
a. Keputusan Rapat Anggota; atau
b. Keputusan Pemerintah
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai pembubaran Koperasi berdasarkan Keputusan
Pemerintah diatur pada Pasal 47 ayat (1) UU Koperasi, yaitu:
a. terdapat bukti bahwa Koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan Undang-
Undang Koperasi;
b. kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
c. kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.
Terkait dengan alasan yang ditebalkan oleh penulis, bagian Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU
Koperasi kemudian merinci bahwa salah satu hal yang mendasari alasan tersebut ialah antara
lain karena adanya pernyataan pailit.

Anda mungkin juga menyukai