Anda di halaman 1dari 10

Proses Kepailitan

1. Mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga melalui Panitera


(Pasal 4)
2. pengadilan melaksanakan pemanggilan kepada Debitor dalam hal
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor atau Kejaksaan (Pasal
6)
3. Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap
kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk (Pasal 7):
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
Debitor, atau
b. Menunjuk kurator sementara untuk:
1) mengawasi pengelolaan usaha Debitor
2) mengawasi pembayaran kepada Kreditor, pengalihan dan
pengagunan kekayaan Debitor yang dalam rangka kepailitan
memerlukan persetujuan kurator.
4. Putusan pernyataan pailit dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Niaga, dan
dalam putusan pernyataan pailit harus diangkat (Pasal 13):
a. Seorang hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan
b. Kurator.
5. Dengan pernyataan pailit, Debitor pailit, demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan,
terhitung sejak pernyataan kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan
perhitungan hari pernyataan itu sendiri (Pasal 22)
6. Dalam jangka waktu paling lambat lima hari sejak tanggal putusan
pernyataan pailit ditetapkan, kurator mengumumkan dalam Berita Negara
Republik indonesia serta dalam sekurang-kurangnya dua surat kabar
harianyang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, hal-hal sebagai berikut (pasal
13 ayat (4):
a. Ikhtisar putusan pernyataan pailit
b. Identitas, alamat dan pekerjaan Debitor
c. Identitas, alamat dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditur
apabila telah ditunjuk
d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor
e. Identitas hakim pengawas.
7. Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala
perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan
kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum pernyataan pailit ditetapkan
atau Actio Pauliana. (pasal 41)
8. Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56A, setiap kreditor yang
memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan
lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
(Pasal 56 ayat (1)
9. Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 56 ayat (1) dan
hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan
Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90
hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan atau Stay (Pasal 56A).
10. Memasuki vase Pertama atau Conservatoir, yaitu semua harta kekayaan
Debitor yang pailit diinfentarisir dan disimpan.
11. Mulai dilakukan tindakan Verifikasi atau pencocokan piutang. Pencocokan
piutang merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam proses kepailitan
karena dalam pencocokan utang nantinya akan ditentukan perimbangan hak
dari masing-masing Kreditor. (Pasal 104)
12. Dalam Rapat Vrifikasi akan dihasilkan:
a. Dicapai komposisi (akkord atau perdamaian), kemudian pengadilam
memberikan pengesahan terhadap perdamaian tersebut atau Homologasi
(Pasal 135). Dapat juga Pengadilan Niaga menolak perdamaian yang
telah disepakati apabila memenuhi salah satu unsur yang terdapat dalam
Pasal 149 ayat (2).
b. Tidak ada akkord atau perdamaian, maka masuk ke dalam vase kedua.
13. Dalam vase Kedua, dinyatakan insolvensi atau debitor dinyatakan dalam
keadaan tidak mampu membayar hutang.
14. Kepailitan berakhir
15. Dilakukan Rehabilitasi.

H. Upaya Hukum
Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah upaya hukum kasasi ke
mahkamah Agung, Pasal 8 ayat (1), dan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung, pasal 11.
Dalam perkembangannya, 10 tahun pasca berlakunya UU Kepailitan dan
PKPU, tidak banyak perkara kepailitan yang dimohonkan ke Pengadilan Niaga.
Alasan utama Kreditor dan Debitor enggan menyelesaikan perkara diantara mereka
melalui permohonan kepailitan dikemukakan oleh Kartini Muljadi, antara lain:1
a. Penyelesaian perkara kepailitan tidak selalu berjalan lancer sebagaimana
diharapkan masyarakat pencari keadilan. Terkesan ada keterlambatan yang
mengganggu ketika Pengadilan Niaga memutuskan perkara permohonan
pailit, mengeluarkan salinan putusan Pengadilan Niaga, putusan kasasi dan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Keterlambatan ini memicu
ketidakpastian hukum.
b. Proses penyelesaian perkara pailit membutuhkan biaya yang tidak sedikit
dan waktu yang relative lama, walaupun dalam UU Kepailitan sepertinya
mudah syaratnya, hanya diperlukan bukti sederhana bahwa Debitor
mempunyai 2 atau lebih Kreditor dan Debitor tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
c. Kendala utama bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan pailit
adalah proses hukum berikutnya yang harus dijalani untuk melaksanakan

1
Kartini Muljadi, Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-Undangan Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, dalam Seminar “National Seminar On
Bankruptcy Law”, AKPI-In_ACCE Working Commite, Grand Hyatt, Jakarta, 29 Oktober 2008, hlm.
2-16.
putusan pernyataan pailit. Pada kenyataannya proses ini sangat sulit, rumit,
dan terkesan sangat bertele-tele.
1. Misalnya dalam proses pencocokan piutang atau verifikasi yang tidak
sederhana karena ada piutang yang diakui da nada yang dibantah oleh
Kurator. Dalam hal ada bantahan, dan hakim pengawas tidak dapat
mendamaikan Kreditor yang piutangnya dibantah oleh Kurator, maka
hakim pengawas dapat memerintahkan agar kedua belah pihak
menyelesaikan sengketa tersebut di Pengadilan Negeri (proses
renvooi). Bila memang diajukan ke Pengadilan Negeri dan diputuskan
oleh Pengadilan Negeri, maka terhadap putusan tersebut masih ada
upaya hukum banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali sehingga
prosesnya semakin lama (Pasal 127 UU Kepailitan). Jadi proses
verifikasi piutang saja memerlukan waktu yang lama.
2. Proses perdamaian (Accoord). Sebagaimana diatur dalam Pasal 144-
177 UU Kepailitan, Debitor berhak untuk menawarkan suatu
perdamaian kepada semua Kreditor. Rencana perdamaian dibicarakan
dalam rapat Kreditor untuk dapat diterima atau ditolak oleh rapat
Kreditor. Ususl perdamaian yang diterima baik oleh rapat Kreditor
tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga untuk disahkan (homologatie).
Pengadilan niaga dapat menolak atau mengesahkan usul perdamaian
tersebut. Jika Pengadilan Niaga menolak mengesahkan perdamaian,
baik Kreditor yang menyetujui perdamaian maupun Debitor pailit
dalam waktu 8 hari setelah tanggal putusan Pengadilan diucapkan,
dapat mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut
ke Mahkaman Agung (Pasal 160 Ayat (1) UU kepailitan). Jika
Pengadilan Niaga mengabulkan pengesahan perdamaian, maka
terhadap putusan tersebut dalam jangka waktu 8 hari setelah tanggal
putusan dapat diajukan kasasi oleh Kreditor yang menolak perdamaian
atau yang semula menyetujui perdamaian namun kemudian
mengetahui bahwa perdamaian dicapai karena penipuan (Pasal 160
Ayat (2) UU Kepailitan).
3. Proses pemberesan harta pailit (vereffening) diatur dalam Pasal 178
sampai dengan Pasal 203 UU Kepailitan. Menurut Pasal 178 Ayat (1),
jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian, atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima
atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka demi hukum harta pailit dalam
keadaan insolven. Langkah selanjutnya, hakim Pengawas mengadakan
rapat Kreditor untuk mengatur cara pemberesan harta pailit (Pasal 187
UU Kepailitan). Kurator wajib menyusun dan menyerahkan daftar
pembagian harta pailit kepada Kreditor yang piutangnya sudah
dicocokkan. Daftar pembagian tersebut harus disetujui hakim
pengawas. (Pasal 189 UU Kepailitan). Terhadap daftar pembagian
tersebut, Kreditor dapat mengajukan perlawanan ke Pengadilan Niaga
(Pasal 193 UU Kepailitan). Terhadap putusan Pengadilan Niaga atas
perlawanan tersebut, Kreditor/ Kurator berhak mengajukan kasasi
(Pasal 196 UU Kepailitan). Kepailitan baru berakhir setelah kepada
Kreditor yang telah dicocokkan dibayarkan penuh piutang mereka atau
segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat (Pasal 202
UU Kepailitan).
d. Alasan lain yang menyebabkan pencari keadilan enggan mengajukan
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, karena sering terjadi
ketidakkonsistenan Hakim Pengawas.
1. Misalnya dalam proses pencocokan piutang atau verifikasi yang tidak
sederhana karena ada piutang yang diakui da nada yang dibantah oleh
Kurator. Dalam hal ada bantahan, dan hakim pengawas tidak dapat
mendamaikan Kreditor yang piutangnya dibantah oleh Kurator, maka
hakim pengawas dapat memerintahkan agar kedua belah pihak
menyelesaikan sengketa tersebut di Pengadilan Negeri (proses
renvooi). Bila memang diajukan ke Pengadilan Negeri dan diputuskan
oleh Pengadilan Negeri, maka terhadap putusan tersebut masih ada
upaya hukum banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali sehingga
prosesnya semakin lama (Pasal 127 UU Kepailitan). Jadi proses
verifikasi piutang saja memerlukan waktu yang lama.
2. Proses perdamaian (Accoord). Sebagaimana diatur dalam Pasal 144-
177 UU Kepailitan, Debitor berhak untuk menawarkan suatu
perdamaian kepada semua Kreditor. Rencana perdamaian dibicarakan
dalam rapat Kreditor untuk dapat diterima atau ditolak oleh rapat
Kreditor. Ususl perdamaian yang diterima baik oleh rapat Kreditor
tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga untuk disahkan (homologatie).
Pengadilan niaga dapat menolak atau mengesahkan usul perdamaian
tersebut. Jika Pengadilan Niaga menolak mengesahkan perdamaian,
baik Kreditor yang menyetujui perdamaian maupun Debitor pailit
dalam waktu 8 hari setelah tanggal putusan Pengadilan diucapkan,
dapat mengajukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut
ke Mahkaman Agung (Pasal 160 Ayat (1) UU kepailitan). Jika
Pengadilan Niaga mengabulkan pengesahan perdamaian, maka
terhadap putusan tersebut dalam jangka waktu 8 hari setelah tanggal
putusan dapat diajukan kasasi oleh Kreditor yang menolak perdamaian
atau yang semula menyetujui perdamaian namun kemudian
mengetahui bahwa perdamaian dicapai karena penipuan (Pasal 160
Ayat (2) UU Kepailitan).
3. Proses

III. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


A. Pendahuluan
Ada dua cara yang disediakan oleh UUK agar Debitor dapat terhindar dari
pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal Debitor telah atau akan
berada dalam keadaan insolven. Pertama, dengan mengajukan PKPU atau
suspension of payment. Pengajuan PKPU dapat dilakukan sebelum terhadap Debitor
diajukan permohonan pailit atau pada waktu permohonan pernyataan pailit sedang
diperiksa oleh Pengadilan Niaga. Apabila PKPU diajukan sebelum terhadap Debitor
diajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan mengajukan PKPU tersebut
terhadap Debitor tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit. Sedangkan
apabila PKPU diajukan di tengah-tengah permohonan pernyataan pailit sedang
diperiksa oleh Pengadilan Niaga, maka pemeriksaan terhadap permohonan
pernyataan pailit itu harus dihentikan.
Cara yang Kedua adalah mengadakan perdamaian antara Debitor dengan para
Kreditornya setelah Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Perdamaian ini
memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi,
tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka kepailitan Debitor yang telah diputuskan
oleh pengadilan itu menjadi berakhir. Mengenai Perdamaian ini telah dibahas sekilas
dalam proses kepailitan.
PKPU dalam bukunya Munir Fuady, hal 177, adalah suatu masa yang
diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana di dalam masa
tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana
pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk
merestrukturisasi hutangnya tersebut.
PKPU seperti yang dikatakan oleh Kartini Muljadi, salah satu perancang
Perpu No. 1 Tahun 1998 merupakan pemberian kesempatan kepada Debitor untuk
melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh
atau sebagian utang kepada Kreditor Konkuren. Jika hal tersebut dapat terlaksana
dengan baik maka pada akhirnya Debitor dapat memenuhi kewjiban-kewajibannya
dan meneruskan usahanya. (Kartini Muljadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang
Piutang, dalam Rudhy A. Lontoh, dkk, Penyelesaian Utang Piutang: Melalui Pailit
atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hal. 173)
Apabila dalam kepailitan Debitor tidak lagi berwenang mengurus dan
memindahtangankan kekayaannya, dalam PKPU Debitor masih dapat melakukan
pengurusan dan pemindahan atas harta kekayaannya asalkan hal tersebut disetujui
oleh Pengurus (Pasal 266 ayat (1). Bahkan menurut Pasal 266 ayat (3) UUK, atas
kewenangan yang diberikan oleh pengurus, Debitor dapat melakukan pinjaman dari
pihak ketiga semata-mata dalam meningkatkan nilai harta Debitor.Kartini Mulyadi
mengemukakan bahwa Debitor selama PKPU tidak kehilangan penguasaan dan hak
(beheer en beschikking) atas kekayaannya, tetapi hanya kehilangan kebebasannya
dalam menguasai kekayaannya. Dalam PKPU, debitor dan pengurus merupakan dwi
tunggal karena salah satu antara mereka tidak dapat bertindak dengan sah tanpa yang
lain.
Pihak yang harus berinisiatif dalam mengajukan permohonan pengajuan
PKPU adalah Debitor, yakni Debitor yang sudah tidak dapat atau diperkirakan tidak
akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, dimana permohonan itu sendiri
mesti ditandatangani oleh Debitor bersama dengan penasehat hukumnya yang
mempunyai izin praktek (Pasal 213 ayat (1) jo Pasal 279)

B. Perbedaan antara Kepailitan dan PKPU


1. Kewenangan Debitur
Dalam proses kepailitan, setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga,
maka Debitor pailit hilang kewenangannya sejauh yang menyangkut
kepengurusan hartanya. Kewenangan tersebut diganti oleh kurator. Dalam
PKPU, Debitor tidak kehilangan kewenangannya dalam hal pengurusan
harta-hartanya, dan dalam melakukan tugasnya Debitor harus didampingi
oleh pengurus.
2. Jangka waktu penyelesaian
Dalam PKPU, seluruh proses PKPU sampai dengan perdamaiannya disahkan
oleh Pengadilan Niaga tidak boleh melebihi jangka waktu 270 hari terhitung
sejak putusan pengadilan terhadap PKPU tersebut (Pasal 217 ayat (4).
Apabila lewat waktu tersebut belum juga dicapai dan disahkan perdamaian,
maka Debitor yang bersangkutan demi hukum dianggap pailit.Dalam proses
kepailitan, tidak ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian untuk
keseluruhan.
3. Fungsi perdamaian
Dalam PKPU, fungsi perdamaian lebih luas, yaitu sebagai penyelesaian
pembayaran utang termasuk persetujuan terhadap dilakukannya utang-utang
debitor. Sedangkan dalam kepailitan, fungsi perdamaian adalah hanya
sebatas untuk bagaimana cara pemberesan dan pembagian harta pailit.
4. Pengaturannya lebih sederhana
Dalam PKPU, pengaturannya lebih sederhana dibandingkan dalam kepailitan
5. Antara pengurus dengan kurator
Dalam Proses kepailitan, orang yang menggantikan Debitor dalam mengurus
harta kekayaannya disebut kurator, sedangkan dalam PKPU dikenal pengurus
yaitu orang yang mendampingi Debitor dalam mengurus harta kekayaannya.
6. Jangka waktu penangguhan eksekusi dari kreditur preferen
Dalam proses kepailitan, jangka waktu stay selama 90 hari sejak putusan
pailit ditetapkan, sedangkan dalam PKPU, stay berlaku selama masa PKPU,
yaitu untuk jangka waktu maksimum 270 hari.
7. Alasan pengajuan permohonan pailit dan PKPU
Alasan pengejuan permohonan pailit adalah debitor mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak mampu membayar sedikitnya satu utang yang sudah
jatuh waktu dan dapat ditagih. Alasan PKPU adalah Debitor dalam keadaan
tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran
utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud
pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran seluruh atau sebagian hutang kepada Kreditur Konkuren
(Pasal 212 UUK)
8. Pihak yang mengajukan permohonan
Yang dapat mengajukan PKPU hanya Debitor saja, sedangkan dalam
kepailitan adalah Debitor sendiri, salah satu dari Kreditornya, Pihak
kejaksaan untuk kepentingan umum, Pihak Bapepam dalam hal Debitornya
perusahaan efek, dan Bank Indonesia dalam hal Debitornya suatu bank.
9. Debitur pailit, direktur dan komisaris perusahaan pailit tidak boleh menjadi
direktur atau komisaris di perusahaan lain. Ketentuan tersebut tidak terdapat
dalam PKPU.

C. Akibat-akibat hukum dari PKPU


1. Debitur kehilangan independensinya
2. Jika debitur telah minta dirinya pailit, dia tidak lagi dapat meminta PKPU
3. Jika PKPU berakhir, Debitor langsung pailit
4. Debitor tidak dapat dipaksakan membayar hutang dan pelaksanaan eksekusi
ditangguhkan
5. Debitor tidak boleh menjadi penggugat dan digugat
6. PKPU tidak berlaku bagi kreditor preferen

Anda mungkin juga menyukai