Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS NEONATORUM

A. KONSEP TEORI
1. Definisi Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia 0-1bulan). Tetanus sendiri merupakan penyekit
toksemia akut yang menyerang susunan saraf pusat, oleh karena
adanya tetanospasmin dari clostridium tetani. Tetanus juga dikenal dengan
nama lockjaw, karena salah satu gejala penyakit ini adalah mulut yang
sukar dibuka (seperti terkunci) (Surasmi, Handayani, & Kusuma, 2006).
Menurut (Maryunani, Anik, & Nurhayati, 2008), Tetanus
Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang data
disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih. Masih
merupakan masalah di Indonesia dan di Negara berkembang lain, meskipun
beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di Indonesia. Angka
kematian tetanus neonatorum tinggi dan merupakan 45-75% dari kematian
seluruh penderita tetanus.
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat
anaerob dimana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen.
Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali
pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5-14
hari (Hidayat, 2008).
3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejalanya Tetanus Neonatorum menurut (Deslidel,
2011) adalah kejang sampai pada otot pernafasan, leher kaku,
dinding abdomen keras, mulut mencucu seperti mulut ikan, suhu tubuh
dapat meningkat.
Gambaran klinik tetanus neonatorum adalah:
a. Kejang-kejang sampai pada otot pernafasan
b. Leher kaku diikuti spasme umum
c. Dinding abdomen keras
d. Mulut mencucu seperti mulut ikan
e. Angka keamtian yang tinggi disebabkan oleh aspirasi
pneumonia dan sepsis (Prof.dr. Ida Bagus Gde Manuaba, 2006).
4. Patofisiologi
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril
akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali pusat dan
melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan dengan reseptor di
membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian bergerak melalui sistem
transpor aksonal retrograd melalui sel-sel neuron hingga ke medula spinalis
dan batang otak, seterusnya menyebabkan gangguan sistim saraf pusat
(SSP) dan sistim saraf perifer (Arnon, 2007). Gangguan tersebut berupa
gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya
neurotransmiter inhibisi, yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan
glisin, sehingga terjadi epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang
berlebihan dan berterusan, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls
dari otak ke bagian-bagian tubuh terganggu(Abrutyn, 2008). Ketegangan
otot dapat bermula dari tempat masuk kuman atau pada otot rahang dan
leher. Pada saat toksin masuk ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot
yang lebih berat dapat terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot
dada, perut dan mulai timbul kejang. Sebaik sahaja toksin mencapai
korteks serebri, penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistim
saraf otonom yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan
proses pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan,
perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi, gangguan
irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis) merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala penyulit ini jarang
dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala tersebut
timbul (Ismoedijanto & Darmowandowo, 2006).
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :
a. Pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit
b. Pemerksaan cairan otak biasanya normal
c. Pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas
muatan unit motorik secara terus-menerus (Prianhara & Teddy).
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tetanus neonatorum adalah perawatan tali pusat
dengan alat-alat yang steril (Deslidel, 2011).
Pengobatan tetanus ditunjukan pada:
a. Netralisasi toksin yang masih ada didalam darah sebelum kontak
dengan system syaraf, dengan serum antitetanus (ATS terapeutik)
b. Membersihkan luka tempat masuknya kuman untuk menghentikan
produksi toksin
c. Pemberian antibiotika penisilin atau tetrasiklin untuk membunuh
kuman penyebab
d. Pemberian nutrisi, cairan dan kalori sesuai kebutuhan
e. Merawat penderita ditempat yang tenang dan tidak terlalu terlalu
terang
f. Mengurangi serangan dengan memberikan obat pelemas otot dan
sesedikit mungkin manipulasi pada penderita (Maryunani, Anik, &
Nurhayati, 2008).
7. Komplikasi
a. Radang paru
b. Sepsis neonatorum
8. Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah
bersandarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan faktor-faktor
risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan perawatan tali pusat
wajib menggunakan alat yang steril. Pengendalian kebersihan pada tempat
pertolongan persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar
tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan
dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu diterapkan, yaitu
bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas tempat tidur
ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam
kurikulum pendidikan bidan. Selain persalinan yang bersih dan perawatan
tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan
dengan pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil. Pemberian imunisasi
TT minimal dua kali kepada ibu hamil dikatakan sangat bermanfaat untuk
mencegah tetanus neonatorum (WHO, 2006).

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat kehamilan prenatal
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT
b. Riwayat natal
Ditanyakan siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu
membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong
tali pusat, tempat persalinan.
c. Riwayat postnatal
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat
menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala
tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of
onset).
d. Riwayat psiko sosial
1) Kebiasaan anak bermain di mana
2) Hygiene sanitasi
e. Pemeriksaan fisik
Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari
tetanus, bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Pada hari
berikutnya bayi sukar menetek, mulut “mecucu” seperti mulut ikan.
Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstremitas. Tanda-tanda infeksi
tali pusat kotor. Hipoksia dan sianosis. Pada anak keluhan dimulai
dengan kaku otot local disusul dengan kesukaran untuk membuka
mulut (trismus).
Pada wajah : Risus sardonikus ekspresi muka yang khas akibat
kekuatan otot-otot mimik, dahi mengkerut, dahi terangkat, mata agak
menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.
Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot
punggung, otot pinggang, semua trunk muscle.
Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-mula
terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status
konvulsius.
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan apnea.
b. Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
c. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder
akibat infeksi atau inflamasi.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
sekunder akibat demam.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
hipovolemi.

3. Intervensi keperawatan
Dx 1 : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan apnea.
Kriteria hasil :
- Tidak ada sianosis dan dipsne, mendemonstrasikan batuk efektif dan
suara nafas yang bersih.
- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, tidak
ada suara nafas abnormal).
- TTV dalam rentang normal.
Intervensi Rasional
1. Posisikan pasien 1. Posisi semifowler dapat
semifowler. memaksimalkan ventilasi.
2. Auskultasi suara nafas, catat 2. Suara nafas tambahan dapat
adanya suara nafas menjadi tanda jalan nafas yang
tambahan. tidak adekuat.
3. Monitor respirasi dan status 3. Pada sepsis terjadinya gangguan
O2, TTV. respirasi dan status O2 sering
ditemukan yang menyebabkan
TTV tidak dalam rentang normal.
4. Berikan pelembab udara 4. Mengurangi jumlah lokasi yang
kasa basah NaCl lembab. dapat menjadi tempat masuk
organisme.
5. Ajarkan batuk efektif, 5. Untuk mengeluarkan secret pada
suction, postural drainage saluran nafas untuk menciptakan
jalan nafas yang paten.

Dx 2 : Infeksi berhubungan dengan prosedur invasive


Kriteria hasil :
- Suhu dalam batas normal
- Perkembangan status klien membaik selama masa terapi.
Intervensi Rasional
1. Berikan isolasi atau pantau 1. Isolasi atau pembatasan
pengunjung sesuai indikasi. pengunjung dibutuhkan untuk
melindungi pasien imunosupresi
dan mengurangi resiko
kemungkinan infeksi.
2. Cuci tangan sebelum dan 2. Mengurangi kontaminasi silang.
sesudah melakukan aktivitas
walaupun menggunakan
sarung tangan steril.
3. Dorong sering mengganti 3. Bersihan paru yang baik
posisi, nafas dalam atau mencegah pneumonia.
batuk.
4. Batasi penggunaan alat atau 4. Mengurangi jumlah lokasi yang
prosedur invasive jika dapat menjadi tempat masuk
memungkinkan. organisme.
5. Lakukan inspeksi terhadap 5. Mencatat tanda-tanda inflamasi
luka atau sisi alat invasive atau infeksi local, perubahan pada
setiap hari. karakter drainage luka atau
sputum dan urine. Mencegah
infeksi yang berkelanjutan.
6. Gunakan tekhnik steril setiap 6. Mencegah masuknya bakteri,
waktu pada saat penggantian mengurangi resiko infeksi
balutan ataupun suction atau nasokomial.
pemberian perawatan.

7. Pantau kecendrungan suhu, 7. Demam (38,5-40 0C disebabkan


jika demam berikan kompres oleh efek-efek dari endotoksin
hangat. pada hipotalamus dan endorphin
yang melepaskan pirogen.
Hipotermia (<360C) adalah tanda-
tanda genting yang menunjukkan
status syok atau penurunan perfusi
jaringan.
8. Amati adanya menggigil dan 8. Menggigil sering kali mendahului
diaphoresis. memuncaknya suhu pada adanya
infeksi.
9. Memantau tanda-tanda 9. Dapat menunjukkan
penyimpangan kondisi atau ketidaktepatan atau
kegagalan untuk membaik ketidakadekuatan terapi anti biotic
selama masa terapi. atau perumbuhan berlebih dari
organisme resisten.
10. Inspeksi rongga mulut 10. Depresi sistem imun dan
terhadap plak putih atau penggunaan dari antibiotic dapat
sariawan, selidiki juga meningkatkan resiko infeksi
adanya rasa gatal atau sekunder.
peradangan vaginal atau
perineal.
11. Kolaborasi dalam pemberian 11. Terapi pengobatan sangat
obat anti biotic. Perhatikan membantu penyembuhan dalam
dampak pemberian obat. masa terapi perawatan.

Dx 3 : Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder


akibat infeksi atau inflamasi.
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh dalam batas normal (suhu normal 36,5-37,5 0C)
- Nadi dan frekuensi nafas dalam batas normal (nadi neonatus normal
100-180x/menit, frekuensi nafas neonatus normal 30-60x/menit)
Intervensi Rasional
1. Monitoring TTV setiap 2 jam 1. Perubahan TTV yang signifikan
dan pantau warna kulit. akan mempengaruhi proses
regulasi ataupun metabolisme
dalam tubuh.
2. Observasi adanya kejang dan 2. Hipertermi sangat potensial untuk
dehidrasi. mengakibatkan kejang yang akan
semakin memperburuk kondisi
pasien serta dapat menyebabkan
pasien kehilangan banyak cairan
secara evaporasi yang tidak
diketahui jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke
dalam kondisi dehidrasi.

3. Berikan kompres dengan air 3. Kompres pada aksila, leher dan


hangat pada aksila, leher dan lipatan paha terdapat pembuluh-
lipan paha, hindari pembuluh darah besar yang akan
penggunaan alcohol untuk membantu menurunkan demam.
kompres. Penggunaan alcohol tidak
dilakukan karena
akan menyebabkan
penurunan dan
peningkatan panas secara drastis.
4. Berikan anti piretik sesuai 4. Pemberian antipiretik juga
kebutuhan jika panas tidak diperlukan untuk menurunkan
turun. panas dengan segera.

Dx 4 : Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan


sekunder akibat demam.
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh dalam batas normal (suhu normal 36,5-37,5 0C)
- Nadi dan frekuensi nafas dalam batas normal (nadi neonatus normal
100-180x/menit, frekuensi nafas neonatus normal 30-60x/menit)
- Bayi mau menghabiskan ASI 25 ml/6 jam

Intervensi Rasional
1. Monitoring TTV setiap 2 jam 1. Perubahan TTV yang signifikan
dan pantau warna kulit. akan mempengaruhi proses
regulasi ataupun metabolisme
dalam tubuh.
2. Observasi adanya hipertermi, 2. Hipertermi sangat potensial
kejang dan dehidrasi. untuk mengakibatkan kejang
yang akan semakin
memperburuk kondisi pasien
serta dapat menyebabkan pasien
kehilangan banyak cairan secara
evaporasi yang tidak diketahui
jumlahnya dan dapat
menyebabkan pasien masuk ke
dalam kondisi dehidrasi.
3. Berikan kompres hangat jika 3. Kompres air hangat lebih cocok
terjadi hipertermi, dan digunakan pada anak dibawah
pertimbangkan untuk langkah usia 1 tahun, untukmenjaga
kolaborasi dengan memberikan tubuh agar tidak terjadi
antipiretik. hipotermi secara tiba-tiba.
Hipertermi yang terlalu lama
tidak baik untuk tubuh bayi oleh
karena itu pemberian antipiretik
diperlukan untuk segera
menurunkan panas, misalnya
dengan asetaminofen.
4. Berikan ASI sesuai jadwal 4. Pemberian ASI sesuai jadwal
dengan jumlah pemberian yang diperlukan untuk mencegah bayi
telah ditentukan. dari kondisi lapar dan haus yang
berlebih.

Dx 5 : Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


hipovolemi.
Kriteria hasil :
- Saturasi oksigen >90%
- Keadekuatan kontraksi otot untuk pergerakan
- Tingkat pengaliran darah melalui pembuluh kecil ekstremitas dan memelihara
fungsi jaringan.
Intervensi Rasional
1. Pertahankan tirah baring. 1. Menurunkan beban kerja
miokard dan konsumsi oksigen
2. Pantau perubahan pada tekanan 2. Hipotensi akan berkembang
darah. bersamaan dengan
mikroorganisme menyerang
aliran darah.
3. Pantau frekuensi dan irama 3. Disritmia jantung dapat terjadi
jantung, perhatikan disritmia. sebagai akibat dari hipoksia.
4. Kaji frekuensi nafas, 4. Peningkatan pernafasan terjadi
kedalaman, dan kualitas. sebagai respon terhadap efek-
efek langsung endotoksin pada
pusat pernafasan di dalam otak.
5. Catat haluaran urine setiap 5. Penurunan urine
jam. mengindikasikan penurunan
perfungsi ginjal.
6. Kaji perubahan warna kulit, 6. Mengetahui status syok yang
suhu, kelembaban. berlanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Abrutyn, E. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. America:


McGrawHill.
Arnon, S. (2007). Nelsom Textbook of Pediactrics. Philadelphia: Saunders.
Deslidel, H. (2011). Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. A. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data .
Jakarta: Salemba Medika.
Ismoedijanto, & Darmowandowo. (2006). Pediatrik . Retrieved april 8, 2016, from
Pediatrik Web site: http//www.pediatrik.com
Maryunani, Anik, & Nurhayati. (2008). Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit
pada Neonatus. Jakarta : Trans Info Media.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Prianhara, & Teddy, I. B. Perawatan Bayi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Prof.dr. Ida Bagus Gde Manuaba, D. (2006). Ilmu Kebidanan, Penyakit
Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Surasmi, A., Handayani, S., & Kusuma, H. N. (2006). Perawatan Bayi Risiko
Tinggi. Jakarta: EGC.
WHO. (2006). Tetanus Vaccine. Swizeerland: WHO.
Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai