Anda di halaman 1dari 2

TUGAS ANALISA MATERI

PROBLEM BASED LEARNING

PENERAPAN KATEKESE UMAT DI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL DAN TEMPAT KERJA

Dalam Injil Markus 16; 15-18 dikisahkan bahwa Yesus memberi amanat kepada para murid-Nya
agar mereka pergi ke seluruh dunia untuk memberitakan Injil kepada segala makhluk, serta menyerukan
bahwa siapa yang percaya akan Yesus dan dibaptis, maka akan diselamatkan, tetapi yan g tidak percaya
akan dihukum. Demikian tugas perutusan penginjilan dari Yesus kepada murid-murid-Nya yang
diwariskan kepada Gereja juga semua yang percaya kepada Yesus Kristus. Pewartaan atau Penggemaan
Sabda Allah; Yesus Kristus yang hidup, sengsara, wafat disalib dan bangkit dari antara orang mati
selanjutnya merupakan hak sekaligus kewajiban segenap umat beriman.

Sehubungan dengan pengejawantahan hak dan kewajiban atau panggilan hidup misioner itu,
dalam prakteknya sering menemui banyak kendala/ masalah Sebagai Guru Mapel PAK di SMA misalnya,
masalah sederhana yang ditemui dan kemudian menjadi keheranan tersendiri, yaitu hampir sebagian
besar siswa/i SMA tidak dapat secara spontan melafalkkan doa-doa harian seperti doa malam,doa pagi,
doa iman,harap dan cinta juga menyebut lima perintah Gereja atau sepuluh perintah Allah.
Pertanyaannya mengapa hal sesederhana itu dalam konteks penghayatan iman bisa terjadi, siapa kah
yang patut disalahkan; orangtua, guru agama SD, SMP atau para pihak lain di sekitar lingkungan tempat
tinggal. Jika pengetahuan tentang doa saja seperti ini, maka bagaimana dengan bentuk penghayatan
iman lainnya seperti membaca Kitab Suci dan melaksanakan devosi-devosi tertentu. Berhadapan
dengan kenyataan ini, tentu saja tidak mungkin ada sikap saling mempersalahkan.

Paus Yohanes Paulus II dalam Catechesi Tradendae; Anjuran Apostolik kepada para Uskup, Klerus
dan segenap Umat Beriman tentang katekese masa kini, (16-10-1979), menegaskan bahwa
penyelenggaraan katekese oleh Gereja selalu dipandang sebagai salah satu tugas yang amat penting,
yang didasari oleh tugas Perutusan Yesus sendiri kepada murid-murid-Nya (CT.1) dan katekese yang
otentik seluruhnya berpusat kepada Kristus (CT.5). Selanjutnya Paus Paulus VI, dalam Imbauan Apostolik
Evangelii Nuntiadi (Mewartakan Injil) menyatakan bahwa Evangelisasi adalah Rahmatdan Panggilan khas
Gereja, merupakan jati dirinya yang paling dasar. Gereja ada untuk mewartakan Injil (EN.14). Bagi
Gereja, penginjilan berarti membawa Kabar Baik kepada segala tingkat Kemanusiaan, dan melalui
pengaruh Injil mengubah manusia dari dalam dan membuatnya menjadi manusia baru (EN.18). Injil
harus diwartakan melalui kesaksian hidup(EN.21). Kabar Baik yang diwartakan dengan kesaksian hidup
cepat atau lambat haruslah diwartakan dengan Sabda Kehidupan.

Berkaca pada Anjuran Apostolik dari Paus Yohanes Paulus II dan Paus Paulus VI, terkait masalah
penghayatan iman pada siswa/i SMA sebagaimana tersebut di atas maka beberapa hal dapat disebutkan
sebagai pokok soalnya seperti; kurangnya/jarangnya kebiasaan berdoa atau membaca Kitab Suci baik
secara pribadi maupun bersama keluarga di dalam rumah, tidak jalannya pembinaan iman secara
berjenjang terutama di lingkungan umat basis, dan kesadaran akan pentingnya doa (bicara secara
pribadi dengan Tuhan) dan mendengarkan Sabda Tuhan lewat membaca Kitab Suci masih rendah pada
diri anak-anak remaja masa kini.

Berdasarkan pokok permasalahan ini, sebagaimana penjelasan James Fowler tentang adanya
perkembangan iman secara bertahap, yaitu tahap iman intuitif (2-6 tahun), tahap iman mistil literal (7-
12 tahun), tahap iman sintetis konvensional (13-21 tahun), tahap iman individual reflektif (22-30 tahun),
tahap iman konjungtif (31 tahun ke atas) dan tahap iman universal. Dalam konteks ini, siswa/i SMA yang
rata-rata berusia 13- 21 tahun ada dalam perkembangan iman sintetis konvensional artinya orang mulai
membentuk ideologi ( sistem kepercayaan) dan mulai mencari identitas diri dalam hubungannya dengan
Tuhan. Perkembangan iman ini jika mengacu pada Evangelii Nuntiadi artikel 21 yang menekankan
pada aspek pewartaan melalui kesaksian hidup pada gilirannya menjadi gamang dan rancu. “Apa yang
bisa ditunjukkan oleh seorang siswa SMA sebagai bentuk kesaksian imannya yang nyata, jika melafalkan
doa-doa sederhana dan membaca Kitab Suci bukanlah hal biasa dalam kesehariannya.

Sebagai seorang Guru Agama Katolik, persoalan ini seperti sederhana tetapi tidak dapat dianggap
sederhana. Mengacu kepada penulis Leonardo Boff, yang menyatakan “rahmat merujuk pada
pengalaman kristiani yang paling mendasar dan paling asli”. Rahmat adalah kumpulan pengalaman akan
Allah yang mencintai manusia hingga memberikan diri-Nya, maka panggilan profesi ini haruslah diyakini
sebagai rahmat Allah yang harus dibagi kepada semua yang membutuhkan; siswa/i SMA dan semua
yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Upaya-upaya konkret harus dibuat sebagai solusinya,
seperti mengawali doa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran dengan doa-doa harian sederhana
itu bahkan menjadwalkan test lisan untuk doa-doa harian itu. Ketika doa-doa ini kemudian dibuat dalam
bentuk test lisan. Para siswa mau tak mau akan kembali seperti anak SD yang ada dalam masa
persiapan sambut baru/komuni pertama, ramai-ramai mencari buku doa harian dan menghafal ulang
doa-doa tersebut. Pada saat itulah memorinya terisi kembali. Inovasi dan kreativitas harus lahir demi
menjawab sekaligus menjembatani keprihatinan itu. Upaya-upaya baru harus menjadi terobosan
sehingga penemuan identitas diri sekaligus identitas iman siswa/i menjadi terbimbing, salah satunya
adalah menggalakan atau menggiatkan semangat membaca dan menceritakan ulang apa yang telah
dibaca dari suatu perikop Kitab Suci, termasuk membagi pengalaman-pengalaman real ttng hal-hal yang
dialami sebagai rahmat dari Tuhan baik yang menyangkut diri sendiri maupun orang lain bisa saja
membaca lalu meresume kisah santo dasn santo menurut hari peringatannya.

Tidak mudah memang, tetapi proses internalisasi dan pembiasaan harus selalu diupayakan.
Pertama-tama tentu saja harus mulai keluarga, lingkungan sekitar dan selanjutnya sekolah sebagai
tempat belajar. Kepada orang tua dapat diberikan pencerahan dan motivasi melalui suatu pertemuan
bersama dalam bentuk rekoleksi gabungan (siswa & orangtua). Kepada siswa/i harus rutin diberikan
pendalaman iman melalui kegiatan doa, ret-ret dan ziarah bersama. Kegiatan-kegiatan ini tentu pada
gilirannya akan memberi pengaruh baru dalam diri yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku.
Adab keagamaan muncul dalam sikap, nilai-nilai Kristiani ternyatakan walaupun tidak seperti membalik
telapak tangan. Pembiasaan demi pembiasaan ini seyogyanya adalah kaidah refleksi dan internalisasi
tentang sesuatu dan akan sesuatu. Terus merefleksikan tentang Yeus Kristus sebagai juru selamat dalam
proses waktu akan menjadi jiwa, menjadi bagian hidup. Dengan demikian, muncul kesadaran bahwa
oleh rahmat permandian semua orang yang percaya kepada Kristus dipanggil untuk mewartakan
kebenaran-kebenaran tentang Kristus – Sabda Allah yang telah menjadi manusia.

Anda mungkin juga menyukai