1945 SURABAYA
MODUL
B E L A J A R
ANALISIS KEBIJAKAN
PUBLIK
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................... i
i
5.2 Kontroversi Analisa Kebijakan dan Analisa terhadap Kebijakan .. 48
7.1 Pentingnya Data Dan Berbagai Bentuk Data Dalam Analisis Kebijakan ... 71
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kebijakan publik, agenda setting (isu, masalah, dan agenda), serta praktek perumusan
masalah kebijakan. Penguasaan materi konsep dan studi kebijakan publik menjadi dasar
yang penting dalam mempelajari kebijakan publik. Penguasaan materi konsep dan studi
kebijakan publik ini selanjutnya menjadi bahan yang penting pula dalam mempelajari
materi-materi berikutnya, karena akan berkaitan erat dengan konsep kebijakan publik.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti pembelajaran ini peserta memiliki pemahaman tentang ilmu kebijakan
publik dan perkembangannya serta kemampuannya dalam merumuskan masalah kebijakan,
yang dinilai dari kemampuan peserta dalam:
a. Menjelaskan fenomena dalam masyarakat (sosial, politik, budaya dan lainnya) dan
hubungannya dengan kebijakan publik.
b. Menunjukkan hubungan antara berbagai fenomena dalam masyarakat sebagai bahan
penyusunan kebijakan.
c. Menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs private affairs).
d. Mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public private affairs).
e. Menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam menyelesaikan
permasalahan publik.
f. Menjelaskan konsep dan jenis studi kebijakan.
g. Mendemonstrasikan hubungan antara permasalahan publikdan jenis kebijakan.
2
menjadi sangat vital. Mengutip pendapat Dewey (1927), kebijakan publik menitikberatkan
pada “publik dan masalah-masalahnya”. M.C. Lemay (2002) menyebut kebijakan sebagai a
purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with problems.
Kebijakan publik dibuat sebagai reaksi atas masalah publik yang muncul. Selanjutnya
kemampuan menyelesaikan masalah-masalah publik menjadi titik sentral dalam kebijakan
publik. Dalam berbagai literatur, kebijakan publik didefinisikan secara beragam, karena
dalam suatu disiplin ilmu terdapat perspektif atau cara pandang yang bervariasi. Dari
berbagai definisi, kebijakan publik memiliki lingkup yang sangat luas.
Mengikuti definisi Thomas Dye (1975) misalnya, hampir semua yang diputuskan atau
tidak diputuskan oleh pemerintah termasuk dalam definisi sebagai kebijakan (Whatever
governments choose todo or not to do). Friedrich (2007) mengatakan bahwa kebijakan adalah
keputusan yang diusulkan oleh individu, kelompok atau pemerintah yang bertujuan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Sejalan dengan Friedrich, Sharkansky (1970)
mendefinisikan kebijakan sebagai tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Definisi-definisi tersebut memandang bahwa kebijakan publik merupakan instrumen
untuk mencapai tujuan.
Selanjutnya definisi kebijakan publik juga bisa dilihat dari sisi aktor pembuat
kebijakan, yang menekankan pentingnya peran aktor dalam membuat kebijakan. Anderson
(1979) mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang dipilih secara
sengaja oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang dimaksudkan untuk mengatasi
suatu masalah. Lester dan Stewart (1996) mengartikan kebijakan sebagai proses atau
rangkaian kegiatan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Selanjutnya Somit
dan Peterson (2003) mendefinisikan kebijakan publik sebagai aksi pemerintah. Pada beberapa
definisi tersebut, ada penekanan peran penting beberapa aktor dan bukan aktor tunggal dalam
dalam pengambilan kebutusan. Kebijakan publikmerupakan aksi kolektif dari beberapa aktor.
Aksi kolektif tersebut menjadi hal yang tidak mungkin dihindari mengingat proses
menghasilkan kebijakan publik itu tidaklah sederhana. Seperti yang diyakini oleh Kay (2006),
kebijakan publik didapatkan dari proses yang cukup rumit, mengingat bahwa terdapat
beragam keputusan yang dihasilkan oleh beberapa aktor yang tersebar di seluruh organisasi
pemerintah dalam tingkatan yang berbeda.
3
1.3 Sistem Kebijakan
Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh lingkungan. Dunn (2004) menyebutkan 3 (tiga) elemen kebijakan: pelaku/aktor
kebijakan, lingkungan kebijakan dan kebijakan publik. Kebijakan publik lahir karena
tuntutan-tuntutan yang merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan, dan kemudian
ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Dalam waktu yang bersamaan ada
keterbatasan dan konstrain dari lingkungan yang akan mempengaruhi pembuat kebijakan.
Faktor lingkungan tersebut antara lain: karakteristik sosial ekonomi, sumberdaya alam, iklim,
topografi, demografi,budaya dan sebagainya.
Pelaku
Kebijakan
Lingkungan Kebijakan
Kebijakan Publik
Gambar 1.1 sekaligus menjelaskan bahwa, meskipun dari berbagai definisi tentang
kebijakan publik menyiratkan bahwa pemerintah yang paling memiliki otoritas pembuatan
kebijakan, akan tetapi pembuatan kebijakan tidak berlaku di ruang hampa. Salah satu peran
pokok pemerintah adalah peran regulasi. Namun demikian, dalam lingkungan negara yang
demokratis, peran initentunya tidak selalu menjadi peran dominan pemerintah. Seluruh aktor
kebijakan, pemerintah dan non pemerintah secara kolektif bisa memberikan kontribusinya.
4
kompleks. Konsekuensinya pembuatan kebijakan akan selalu melibatkan publik. Ketika
globalisasi semakin meluas, aktor-aktor internasional pun tidak dapat dilepaskan sebagai
bagian yang penting dalam pembuatan kebijakan publik (bahkan ketika isu yang dibahas
adalah isu domestik).
Secara terperinci, Subarsono (2006) menjelaskan kerangka kerja kebijakan, yang dalam
realitasnya ditentukan oleh beberapa aspeksebagai berikut.
(1) Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai.
Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka akan sulit mencapai kinerja
kebijakan yang diinginkan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana,
maka semakin mudah untuk mencapainya.
(2) Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan.
Suatu kebijakan yang mengandung beberapa preferensi nilai akan lebih sulit untuk
dicapai dibandingkan dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai saja.
(3) Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan
oleh sumberdaya: finansial, material dan infrastruktur lainnya.
(4) Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas suatu kebijakan
akan dipengaruhi oleh kualitas para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan dan
penetapan kebijakan.
(5) Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Kinerja kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik pada tempat
atau wilayah kebijakan tersebut diimplementasikan.
Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi implementasi akan
mempengaruhi kinerja kebijakan. Strategi tersebut dapat bersifat top-down atau bottom up
approach; otoriter atau demokratis.
Selanjutnya, Dunn (2004) menjelaskan proses kebijakan publik sebagai berikut: (1)
penetapan agenda kebijakan (agenda setting), dengan menentukan masalah publik apa yang
akan diselesaikan; (2) formulasi kebijakan, dengan menentukan kemungkinan kebijakan
yang akan digunakan dalam memecahkan masalah melalui proses forecasting (konsekuensi
dari masing-masing kemungkinan kebijakan ditentukan); (3) adopsi kebijakan, menentukan
pilihan kebijakan melalui dukungan para eksekutifdan legislatif, yang sebelumnya dilakukan
proses usulan atau rekomendasi kebijakan; (4) implementasi kebijakan, tahapan dimana
kebijakan yang telah diadopsi tersebut dilaksanakan oleh organisasi atau unit administratif
tertentu dengan memobilisasi dana dan sumberdaya untuk mendukung kelancaran
implementasi. Pada tahap ini, proses pemantauan (monitoring) kebijakan dilakukan; (5)
5
evaluasi kebijakan, adalah tahap melakukan penilaian kebijakan atau kebijakan yang telah
diimplementasikan.
Shafritz dan Russel (1997) menjelaskan proses pembuatan kebijakan sebagai sebuah
siklus, dimulai dari (1) agenda setting dimana masalah-masalah publik diindentifikasi
menjadi masalah kebijakan, (2) memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan
kebijakan, (3) melaksanakan kebijakan (implementasi), (4) evaluasi kebijakan (baik berupa
program atau kegiatan) beserta dampaknya, dan (5) melakukan umpan balik, yakni
memutuskan apakah kebijakan tersebut akan diteruskan, direvisi atau dihentikan.
Proses kebijakan publik menurut Dunn (2004), pada praktiknya tidak berbeda dengan
yang disampaikan oleh Shafritz dan Russel (1997), kecuali menetapkan pelaksanaan proses
umpan balik untuk menentukan kelanjutan kebijakan yang sudah ada. Dunn juga
menekankan pentingnya umpan balik, namun tidak secara eksplisit dalam satu tahapan
khusus, begitu pula dengan Anderson (1979) yang memberi istilah agenda setting dengan
formulasi masalah.
Dari perspektif demokrasi, kebijakan publik yang akan diimplementasikan harus
mendapatkan dukungan dari publik, yang bisa digali dengan berbagai metode aspirasi, seperti
dengar pendapat atau konsultasi publik, diskusi kelompok terfokus, dan sebagainya.
Informasi dari publik sangat penting karena kemampuan wawasan, pengetahuan dan
penguasaan pembuat kebijakan tentang masalah-masalah publik kadangkala terbatas. Selain
itu, dapat diasumsikan bahwa keterlibatan publik yang lebihtinggi dalam proses pembentukan
kebijakan, semakin tinggi rasa memiliki dan dukungan publik untuk kebijakan, sehingga
mendorong penerapan dan penegakan kebijakan yang efektif. Partisipasi pemangku
kepentingan dan konsultasi publik ini penting untuk meningkatkan transparansi, membangun
kepercayaan publik dan mengurangi risiko implementasi. Peran analis kebijakan adalah untuk
memastikan bahwa kebijakan yang dibuat akan memecahkan masalah publik. Dengan kata
lain, kebijakan publik dibuat untuk kepentingan publik yang luas, bukan hanya untuk
menjaga kepentingan para pembuat kebijakan atau kelompok tertentu.
6
diimplementasikan (Dunn, 2004). Analisis kebijakan merupakan penerapan berbagai metode
penelitian yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok analis kebijakan yang bertujuan
untuk mendapatkan berbagai data dan mengolahnya menjadi informasi yang relevan terhadap
suatu kebijakan (policy information) untuk selanjutnya digunakan membantu merumuskan
(formulation) suatu masalah publik yang rumit dan kompleks menjadi lebih terstruktur (well-
structured policy problem) sehingga memudahkan dalam merumuskan dan memilih berbagai
alternatif kebijakan (policy alternatives) yang akan digunakan untuk memecahkan suatu
masalah kebijakan untuk direkomendasikan kepada pembuat kebijakan (policy maker).
Seorang analis kebijakan bekerja mengikuti tahapan proses perumusan kebijakan, baik
yang bersifat teknokratis maupun politis. Dalam proses teknokratis, analis kebijakan
menggunakan kemampuan metodologis dan substansi kebijakan untuk mengolah data
menjadi informasi kebijakan, sehingga memudahkan dirinya untuk merumuskan beberapa
alternatif pilihan kebijakan. Dalam proses ini seorang analisis perlu memiliki kecakapan
politik sehingga mampu menjalin hubungan dengan aktor-aktor kebijakan baik di
pemerintah maupun institusi non pemerintah termasuk kelompok masyarakat sipil. Hal
ini penting untuk memastikan bahwa informasi kebijakan yang dihasilkan para analis dapat
dipahami oleh pemangku kepentingan dan untuk menjadikannya sebagai basis informasi
dalam proses pengambilan keputusan. Meminjam istilah yang digunakan Parson (2001),
maka dapat disimpulkan bahwa seorang analis akan bekerja dalam dua kategori luas: (1)
Analisis proses kebijakan, yakni bagaimana cara mendefinisikan masalah, menetapkan
agenda, merumuskan kebijakan, mengambil keputusan, serta mengimplementasikan dan
mengevaluasi kebijakan; (2) Analisis dalam dan untuk proses kebijakan, yang mencakup
kajian penggunaaan teknis analisis, riset, dan advokasi dalam pendefinisian masalah,
pengambilan keputusan, implementasi dan evaluasinya.
Informasi yang dibutuhkan dalam proses perumusan kebijakan adalah: (i) apa masalah
kebijakan; (ii) apa hasil-hasil yang diharapkan dari suatu kebijakan di masa depan; (iii) apa
pilihan kebijakan yang paling ideal untuk menghasilkan hasil kebijakan yang diharapkan
tersebut; (iv) apa hasil kebijakan yang didapat setelah diimplementasikan; (v) bagaimana
kinerja suatu kebijakan, apakah kebijakan tersebut mampu memecahkan masalah yang
dirumuskan. Untuk dapat menghasilkan informasi kebijakan tersebut tugas analis kebijakan
adalah: (i) merumuskan masalah; (ii) membuat forecasting; (iii) memberikan rekomendasi; (iv)
melakukanmonitoring, dan (v) melakukan evaluasi.
7
1.6 Jenis Kebijakan
Jenis kebijakan akan membantu pemahaman aktor kebijakan termasuk masyarakat,
mengapa suatu kebijakan lebih penting dari kebijakan yang lain; siapa aktor yang terlibat
dalam perumusan kebijakan dan pada tahap mana peran seorang aktor lebih penting
dibanding dengan yang lain. Anderson (1979) membuat kategori jenis kebijakan sebagai
berikut.
1. Kebijakan substantif dan kebijakan prosedural. Kebijakan substantif adalah jenis
kebijakan yang menyatakan apa yang akan dilakukan pemerintah atas masalah,
misalnya kebijakan pengurangan angka kemiskinan melalui kebijakan beras miskin.
Kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.
Kebijakan ini bersifat lebih teknis, tentang standard dan prosedur (atau Standard
Operating Procedure), kriteria warga masyarakat yang berhak mendapat bantuan.
2. Kebijakan distributif, kebijakan regulatif dan kebijakan re- distributif. Kebijakan
distributif adalah kebijakan yang bertujuan untuk mendistribusikan atau memberikan
akses yang sama atas sumberdaya tertentu, misalnya kebijakan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Kebijakan regulatif adalah kebijakan yang mengatur perilaku orang
atau masyarakat, misal kebijakan menggunakan sabuk pengaman jika mengendarai
atau menjadi penumpang dalam mobil. Kebijakan redistributif adalah kebijakan yang
mengatur pendistribusian pendapatan atau kekayaan seseorang, untuk didistribusikan
kembali kepada kelompok yang perlu dilindungi untuk tujuan pemerataan, misal
kebijakan pajak progresif, kebijakan subsidi silang, kebijakan subsidi BBM.
3. Kebijakan material dan kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang
sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan sumberdaya yang konkrit pada
kelompok tertentu, misal kebijakan beras untuk orang miskin. misalnya kebijakan libur
Natal untuk orang beragama Kristen/Katolik, libur Waisak untuk menghormati orang
beragama Budha, atau libur Idul Fitri untuk menghormati orang beragama Islam.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang publik (public goods) dan barang privat
(private goods). Kebijakan barang publik adalah kebijakan yang mengatur tata kelola
dan pelayanan barang-barang publik, seperti kebijakan pengelolaan ruang
publik/fasilitas umum, jalan raya. Kebijakan barang privat adalah kebijakan yang
mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang privat, misalnya pengaturan parkir,
penataan pemilikan tanah.
8
1.7 Pengambilan Keputusan dalam Kebijakan Publik
Isu/masalah mendapat perhatian besar dengan berbagai alasan misalnya menyangkut
kepentingan orang banyak, mencapai titik kritis untuk segera diselesaikan, berdampak luas
pada masyarakat, berhubungan dengan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat, misal
demokrasi, keadilan, keluarga, serta memiliki implikasi pada anggaran publik. Sumber
masalah atau ketidakpuasan tersebut bisa dari masalah lama yang belum menjadi agenda
publik sebelumnya, masalah yang benar-benar baru sebagai akibat pembangunan, sisa
persoalan kebijakan sebelumnya atau pun karena adanya kegagalan dalam implementasi
sebuah kebijakan.
Peran aktor kebijakan tidak berhenti pada kegiatan mengenali masalah kebijakan, namun
juga harus memperjuangkan isu/ masalah tersebut diantara berbagai isu/masalah yang lain
untuk masuk dalam tindakan publik (agenda-setting) dan menjadi agendapembahasan formal.
Agenda adalah sekumpulan masalah, penyebab atas masalah-masalah tersebut, simbol-
simbol, dan elemen lain dari masalah publik yang mendapat perhatian dari berbagai pihak
(legislatif dan eksekutif) (Fischer dkk (eds.), 2007). Agenda juga memuat strategi bagaimana
penyelesaian terbaik masalah/isu tersebut, bagaimana pemerintah harus bertindak, apakah
harus diserahkan pada pihak swasta, organisasi non profit, atau kerja sama antar beberapa
institusi tadi.
9
melakukan sesuatu. Dari sisi ekonomi, terdapat kesulitan untuk menganalisis keberadaan
barang ini, mekanisme jual beli tidak dapat diterapkan (kegagalan pasar). Tragedy of the
common, free rider, exsternalities, prisoner‟s dilema, dan juga the logic of collective action
adalah karakter lain yang muncul dalam barang publik, natural monopoli, maupun barang
milik umum. Hanya pada barang privat mekanisme pasar dapat dijalankan secara efektif.
Tanpa adanya pihak yang menyeimbangkan dilema tersebut, permasalahan publik tidak
akan pernah selesai. Pemerintah yang memiliki anggaran (dari pajak) dianggap memiliki
tanggung jawab untuk pengadaan barang ini baik melalui pengadaan langsung, kerja sama
dengan pihak swasta (subsidi dan insentif lain) maupun strategi lainnya. Pertimbangan
intervensi pemerintah dalam penyediaan barang publik antara lain didasarkan pada
pertimbangan:
1. Keadilan (equity) – sehingga orang dengan berbagai perbedaan level memiliki akses
yang sama terhadap barang/jasa.
2. Kebutuhan (needs) bukan kemampuan untuk membayar.
3. Efisiensi (efficiency) – lebih mudah untuk menyediakan secara kolektif dalam skala
besar.
4. Mengurangi masalah the free-rider terkait dengan barang publik murni.
Terdapat berbagai faktor dan variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
kebijakan publik, misalnya lingkungan kebijakan, kualitas proposal kebijakan, interest aktor
kebijakan. Untuk mendapatkan sebuah isu atau kebijakan yang tepat‟ dan „urgent‟ aktor
kebijakan perlu secara rasional mempertimbangkan berbagai faktor dan konsekuensinya.
Namun demikian dalam prakteknya, keberadaan berbagai faktor dan variabel tersebut di atas
dengan dinamikanya dan sensitifitasnya pada situasi (tertentu) menyebabkan kondisi
„rasional murni‟ itu jarang terjadi.
Proses perumusan atau pemilihan masalah (dan juga tahapan lain dalam proses perumusan
kebijakan publik) seringkali „irrasional‟ karena keberadaan berbagai variabel dan faktor yang
secara dinamis memberikan kemungkinan yang berbeda terhadap berbagai pihak yang terkait
dengan keberadaan kebijakan publik tersebut. Beberapa alasan irasionalitas dalam pemilihan
isu/masalah (dan juga proses pembuatan kebijakan): instruksi atau perintah, persepsi,
„pengalaman‟, mental set, perbedaan penilaian, „solution minded‟, informasi yang terbatas,
kendala waktu, kebingunan menentukan masalah dan penyebabnya, dan „tanda awal‟
kesuksesan/kegagalan.
10
1.9 Tantangan Kebijakan Publik
Lingkungan dimana kebijakan publik dikembangkan bersifat dinamis, kompleks, penuh
yang memiliki kemudahan dalam mendapakan informasi menyebabkan munculnya harapan
yang semakin tinggi, memiliki permasalahan yang semakin kompleks, dan menuntut peran
pemerintah yang semakin tinggi pula. Untuk mensikapi hal tersebut, berbagai agenda
perubahan sektor publik dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas berbagai
penyelenggaraan publik. New public management, akuntabilitas, good governance,
managerialism, sound-government, reformasi birokrasi adalah berbagai upaya perbaikan
pemenuhan tuntutan masyarakat dan pembangunan.
Bagaimana dengan kebijakan publik? Apakah proses pembuatan kebijakan sudah siap
untuk mengimbangi tantangan lingkungan yang dinamis? Berbagai upaya pembaharuan
tersebut di atas diarahkan pada peningkatan efisiensi dan efektivitas, hanya sedikit yang
memberikan perhatian pada proses kebijakan dan bagaimana pembuat keputusan dapat
memenuhi kebutuhan konstitutennya dalam lingkungan yang semakin komplek dan
unpredictable (Geurts T., 2015). Pembuatan kebijakan yang baik merupakan salah satu
indikator kehandalan sebuah pemerintahan. Tantangan kebijakan publik adalah menciptakan
sebuah lingkungan yang memungkinkan proses kebijakan publik (pengambilan keputusan
dan pelaksanaan kebijakan) dapat berlangsung secara fleksibel, interaktif, adaptif, transparan
dan akuntabel serta sesuai dengan dinamika lingkungan yang sangat kompleks. Jika
lingkungan ini dapat diciptakan baik secara politik maupun teknis, tuntutan akan partisipasi,
tranparansi,keterbukaan, produktivitas serta actionable policy dapat diwujudkan.
Terdapat berbagai teori dan model yang memberikan gambaran mengenai tahapan
pembuatan kebijakan dengan berbagai variasinya. Tahapan tersebut dalam kondisi nyata
sering tumpang- tindih dan tidak dapat dipisahkan. Terkadang masalah kebijakan dan solusi
muncul secara bersamaan, evaluasi dan implementasi dilakukan bersamaan, siklus kebijakan
dimulai dari implementasi atau evaluasi dan lain-lain. Kondisi ini seringkali memunculkan
permasalahan tersendiri yang berakibat pada kualitas kebijakan yang tidak baik misalnya
hubungan solusi/keputusan kebijakan/kebijakan yang tidak jelas dengan masalah kebijakan.
Di satu sisi proses kebijakan harus dilakukan sesuai dengan standar tertentu, namun juga
akomodatif terhadap berbagai perubahan dan resiko yang muncul. Kesadaran akan adanya
phase transisi dan adanya keterkaitan antar tahapan dalam kebijakan perlu menjadi perhatian
dari semua pihak untuk meningkatkan kualitas proses kebijakan. Bagaimana hubungan antara
proses utama pembuatan kebijakan, dinamika politik dan aspek legal kebijakan memberikan
ruang bagi proses kebijakan untuk semakin obyektif.
11
Latihan
1. Sebutkan definisi kebijakan publik yang pengertiannya bisa juga dilihat dari sisi aktor
pembuat kebijakan!
2. Gambarkan 3 elemen hubungan kebijakan publik
3. Jelaskan proses kebijakan menurut Dunn!
4. Sebutkan informasi apa saja yang dibutuhkan dalam proses perumusan kebijakan!
5. Sebutkan kategori jenis kebijakan menurut Anderson!
Rangkuman
Pembuatan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Kebijakan
publik lahir karena tuntutan- tuntutan yang merupakakan serangkaian pengaruh lingkungan,
dan kemudian ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik. Transformasi ini dilakukan
oleh berbagai aktor negara, dimana negara menjadi aktor utama. Namun demikian, dalam
lingkungan Negara yang demokratis, peran ini tentunya tidak selalu menjadi peran dominan
pemerintah. Seluruh aktor kebijakan, pemerintah dan non pemerintah secara kolektif bisa
memberikan kontribusinya.
Kebijakan memiliki berbagai jenis seperti; kebijakan substantif dan kebijakan prosedural,
kebijakan distributif, kebijakan regulatifdan kebijakan re-distributif, kebijakan material dan
kebijakan simbolis, dan kebijakan yang berhubungan dengan barang publik(public goods)
dan barang privat (private goods). Berbagai jenis kebijakan tersebut dibuat dan
disesuaikan dengan jenis permasalahan yang timbul di masyarakat dan pembangunan. Saat
ini kondisi berbagai jenis kebijakan tersebut masih perlu ditingkatkan untuk dapat
dikatakan sebagai kebijakan yang berkualitas yang memiliki karakter forward looking
(mengarah padaoutcome dan mempertimbangkan dampak jangka panjang), joined up (proses
perumusannya dikelola dengan baik, holistic view, berkoordinasi dengan institusi yang
lain), serta communication (dalam proses perumusan juga mempertimbangkan strategi
mengkomunikasikan kepada publik).
12
BAB II
SISTEM, PROSES, SIKLUS, KEBIJAKAN PUBLIK DAN PERAN
INFORMASI DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK
Istilah kebijakan publik adalah terjemahan istilah bahasa Inggris “Public Policy”. Kata
“policy” ada yang menerjemahkan menjadi “Kebijakan. Meskipun belum ada kesepakatan,
apakah policy diterjemahkan menjadi “Kebijakan” ataukah “kebijaksanaan”, akan tetapi
tampaknya kecenderungan yang akan datang untuk policy digunakan istilah kebijakan maka
dalam modul ini, untuk public policy diterjemahkan menjadi “kebijakan publik”.
13
for the whole societ . y”. (kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara syah
kepada seluruh anggota masyarakat). Dengan demikian kebijakan publik adalah;
b. Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu itu
mempunyaitujuan tertentu.
c. Kebijakan Publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
14
Regulatory Policy, Suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/
pelaranganterhadap perbuatan/tindakan.
Contoh : kebijakan tentang larangan memiliki dan meng-gunakan senjata api.
c. Material Policy, Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan
sumber-sumber material yang nyata bagipenerimanya.
Contoh : kebijakan pembuatan rumah sederhana.
d. Public Goods and Private Goods Policies.
Public Goods Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-
barang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang banyak.
Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum.
Private Goods Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-
barang/pelayanan-pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan individu-individu
(perorangan) di pasar bebas dengan imbalan.
Contoh : kebijakan pengadaan barang-barang /pelayanan untukkeperluan perorangan,
misalnyatempat hiburan, hotel dan lain-lain.
Macam-macam penggunaan istilah “Kebijakan” (policy). Hogwood and Gunn (1988)
mengelompokkan penggunaan istilahkebijakan (policy) sebagai berikut :
1. Kebijakan sebagai label untuk suatu Bidang Kegiatan Tertentu. Dalam Konteks ini,
kata kebijakan digunakan untuk menjelaskan bidang kegiatan dimana pemerintah
terlibat didalamnya, seperti kebijakan ekonomi atau kebijakan luarnegeri.
2. Kebijakan sebagai Ekspresi mengenai Tujuan Umum atau Keadaan Yang
dikehendaki. Disini kebijakan digunakan untuk menyatakan kehendak dankondisi yang
dituju. Contohnya pernyataan tentang tujuan pembangunan dibidang SDM untuk
menunjukkan aparatur yang bersih.
3. Kebijakan sebagai Proposal di Bidang Tertentu. Dalam konteks ini, kebijakan lebih
berupa proposal, contoh:Usulan RUU (Rancangan Undang-Undang) dibidang
Keamanan dan Pertahanan atau RUU tentang Kepegawaian.Didalam kebijakan
tersebut dijelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan.
4. Kebijakan sebagai Keputusan yang dibuat oleh Pemerintah. Sebagai contoh
adalah keputusan untuk melaksanakan perombakan terhadap sistem
administrasi negara. Keputusan tersebut masih perlu dituangkan dalam bentuk
Peraturan Perundang-undangan. Kebijakan sebagai Pengesahan Formal
(formal Authorization). Disini kebijakan tidak lagi dianggap sebagai usulan, namun
15
keputusan yang sah. Sebagai contoh UU Nomor 32/2014 yangmerupakan keputusan
yang sah dalam rangka penyerahan sebagaian urusan pusat ke daerah.
5. Kebijakan sebagai Program. Yang dimaksud dengan kebijakan disini adalah program
yangakan dilaksanakan. Sebagai contoh, program peningkatan PAN (Pendayagunaan
Aparatur Negara), yang menjelaskan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
termasuk cara pengorganisasian, pelaksanaan, serta pembiayaannya.
6. Kebijakan sebagai Output, atau apa yang dihasilkan. Yang dimaksud disini adalah
output yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan. Sebagai contoh pelayanan yang
murah dan cepat atau PNS yang profesional, dll.
7. Kebijakan sebagai Outcome. Kebijakan disini digunakan untuk menyatakan dampak
yangdiharapkan dari suatu kegiatan, seperti pemerintahan yangefisien.
8. Kebijakan sebagai Teori atau model. Kebijakan disini menggambarkan model dari
suatu keadaan, dengan asumsi tentang apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan
apa konsekwensi dari tindakan pemerintah tersebut. Sebagai contoh, kalau pajak
dinaikkan X%, maka revenue diperkirakan naik Y%, atau kalau X dilakukan maka
dampak yang timbul adalah Y.
9. Kebijakan sebagai Proses atau tahapan yang perlu dilaksanakan.
Sebagai suatu sistem, maka dalam sistem kebijakan publik dikenaladanya unsur-unsur : Input,
Process, Output. Kebijakan publik adalah merupakan produk (output) dari suatu input, yang
diproses secara politis. Adapun elemen-elemen (unsur-unsur) sistem kebijakan publik adalah
:
a. Input : masalah Kebijakan Publik
Masalah Kebijakan Publik ini timbul karena adanya faktor lingkungan kebijakan publik
16
yaitu suatu keadaan yang melatar belakangi atau peristiwa yang menyebabkan
timbulnya “masalah kebijakan publik” tersebut, yang berupa tuntutan- tuntutan,
keinginan-keinginan masyarakat atau tantangan dan peluang, yang diharapkan segera
diatasi melalui suatu kebijakan publik. Masalah ini dapat juga timbul justru karena
dikeluarkannya suatu kebijakan publik yang baru. Sebagai contoh : masalah kebijakan
publik dapat timbul karena adanya dorongan dari masyarakat. Misalnya, timbulnya
INPRES SD, INPRES Pasar, INPRES Puskesmas, karena adanya pandangan
masyarakat (pada waktu itu) tentang kurangnya pemerataan pembangunan.
Pembangunan dikatakan sudah berhasil, tetapi kurang merata. Masalah kebijakan juga
dapat timbul, justru adanya kebijakan pemerintah. Misalnya sebagai akibat adanya
kebijakan pemerintah DKI Jakarta, bahwa untuk beberapa jalan protokol, kendaraan
roda empat (kecuali taksi dan Bus Kota) diwajibkan berpenumpang minimal tiga orang,
yang kemudian terkenal dengan sebutan “three in one” Kebijakan ini mengakibatkan
timbulnya masalah “Jockey”, yaitu “orang- orang yang dibayar” ikut mobil yang
berpenumpang kurangdari tiga orang.
b. Process (proses): pembuatan Kebijakan Publik.
Proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat politis, di mana dalam proses tersebut
terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan ada yang saling
bertentangan. Dalam proses ini terlibat berbagai macam policy stake- holders, yaitu
mereka-mareka yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik.
Policy Stakeholders bisa pejabat pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, dan
juga dari lingkungan masyarakat (bukan pemerintah), misalnya, partai politik,
kelompok-kelompok kepentingan, perusahaan dan sebagainya.
c. Output : Kebijakan Publik, yang berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan
untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan
oleh kebijakan publik.
d. Impacts (dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompok sasaran (target groups).
Kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang, kelompok-kelompok orang,
atau organisasi-organisasi, yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi atau
diubah olehkebijakan publik tersebut.
17
Proses Kebijakan Publik.
18
Siklus Kebijakan Publik.
Proses kebijakan publik ini dapat digambarkan sebagai suatusiklus kebijakan publik seperti
Latihan
Untuk lebih memantapkan pengertian mengenai sistem proses dan siklus kebijakan publik,
cobalah latihan di bawah ini:
Seringkali orang mengartikan data dan informasi itu sama. Akan tetapi sebenarnya data
dan informasi itu berbeda. Mengenai perbedaan data dan informasi, Murdick et al
(Kumorotomo dan Agus Margono, 1994) mengemukakan bahwa data adalah fakta yang sedang
tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan, biasanya dicatat dan diarsipkan dalam
tanpa maksud untuk segera diambil kembali untuk pembuatan keputusan. Sebaliknya
informasi terdiri dari data yang telah diambil kembali, diolah dan digunakan untuk memberi
dukungan keterangan untuk pembuatan keputusan. Informasi adalah data yang telah disusun
sedemikian rupa, sehingga bermakna dan bermanfaat untuk membuat keputusan. Oleh karena
itu, perlu dipahami bahwa pemakaian informasi itu penting, karena informasilah yang
dipakai untuk menunjang pembuatan keputusan.
Untuk membuat kebijakan diperlukan informasi yang berkualitas tinggi. Informasi yang
19
memiliki kualitas tinggi akan menentukan sekali efektivitas kebijakan publik. Mengenai
syarat-syarat informasi yang baik, Parker (Kumorotomo dan Agus Margono, 1994)
mengemukakan sebagai berikut :
a. Ketersediaan (availability).
Syarat pokok bagi suatu informasi adalah tersedianya informasi itu sendiri. Informasi
harus dapat diperoleh bagi yang hendak memanfaatkannya.
b. Mudah dipahami.
Informasi harus mudah dipahami oleh pembuat kebijakan.
c. Relevan.
lnformasi yang diperlukan harus benar-benar relevan dengan permasalahannya.
d. Bermanfaat.
Terkait dengan syarat relevansi, informasi harus bermanfaat bagi pembuat kebijakan.
e. Tepat waktu.
Informasi harus tersedia tepat waktunya, terutama apabila pembuat kebijakan ingin
segera memecahkan masalah yang dihadapi oleh pemerintah.
f. Keandalan (Reliability).
g. Informasi harus diperoleh dari sumber-sumber yang dapat diandalkan kebenarannya
Akurat.
lnformasi seyogyanya bersih dari kesalahan, harus jelas dan secara tepat
mencerminkan makna yang terkandung dari datapendukungnya.
h. Konsisten.
Informasi tidak boleh mengandung kontradiksi dalam penyajiannya.
William N. Dunn (1994) memberikan definisi Analisis kebijakan publik sebagai suatu
disiplin llmu Sosial Terapan, yang meng- gunakan berbagai macam metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan
kebijakan yang digunakan dalam lingkungan politik tertentu untuk memecahkan masalah-
masalah kebijakan.
Dari pengertian Analisis Kebijakan Publik tersebut dapat dilihat bahwa untuk
memecahkan masalah-masalah kebijakan diperlukan informasi. Dalam
perumusan/pembuatan kebijakan, diperlukan informasi, dari data yang telah diolah. Misalnya
pemerintah akan merumuskan/membuat kebijakan kependudukan, maka untuk ini
20
diperlukan informasi tentang pertumbuhan penduduk, persebaran penduduk, kualitas dan
struktur umur penduduk. Apabila pemerintah ingin merumuskan/ membuat kebijakan ekonomi,
maka diperlukan informasi tentang sektor-sektor yang potensial dapat dimanfaatkan untuk
meningkat kan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, misalnya: sektor-sektor Industri.
Tugas seorang Analis Kebijakan (Policy Analist) adalah memberikan informasi kepada
pembuat kebijakan (Policy Maker) untuk membuat kebijakan. Dalam kaitannya dengan
penyediaan informasi ini, William N. Dunn (1994), mengemuka- kan bahwa metodologi
dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan menjawab lima bentuk
pertanyaan, yaitu :
a. Masalah apakah yang dihadapi?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang masalah-masalah kebijakan
(policy problem).
Misalnya, apabila pertanyaan ini diajukan kepada Pemerintah DKI Jakarta, maka
jawabannya adalah masalah-masalah kemacetan lalu lintas, urbanisasi, meningkatnya
kriminalitas, perkelahian antar pelajar, dan lain-lain.
b. Kebijakan-kebijakan apa yang telah dibuat untuk memecahkan masalah-masalah tersebut,
baik pada masa sekarang maupunmasa lalu; dan hasil-hasil apakah yang telah dicapai?
Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang hasil- hasil kebijakan (policy
outcomes).
Misalnya, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, Pemerintah DKI Jakarta telah
membuat kebijakan tentang Pajak Progresif, untuk pemilik mobil pribadi lebih dari
satu. Makin tambah jumlah mobil yang dimiliki, makin tinggi pajaknya. Selain itu juga
ada kebijakan “three in one” untuk beberapa jalan protokol.
Hasil-hasil kebijakan tersebut di atas tampaknya belum bisa mengatasi masalah
kemacetan lalu lintas.
c. Bagaimana nilai (tujuan yang dinginkan) dari hasil-hasil kebijakan tersebut dalam
memecahkan masalah? Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang kinerja
kebijakan (policy performance).
Menurut William N. Dune (1994), Policy Performance adalah suatu tingkat (derajat)
sampai di mana hasil suatu kebijakan membantu pencapaian. suatu nilai (tujuan yang
diinginkan). Dalam kenyataannya banyak masalah seringkali “tidak dapat dipecahkan”.
21
Oleh karena itu, seringkali perlu dicari cara- cara pemecahan yang baru, dirumuskan
kembali masalahnya, dan kemungkinan suatu masalah itu “tidak dapat dipecahkan”.
Meskipun suatu masalah itu mungkin dapat dipecahkan atau tidak dapat dipecahkan;
informasi tentang hasil-hasil kebijakan tetap diperlukan, terutama untuk meramalkan
kebijakan yang akan datang. Misalnya di DKI Jakarta, meskipun telah dibuat kebijakan-
kebijakan untuk memecahkan masalah kemacetan lalu lintas, tetapi tampaknya belum
dapat memecahkan masalah tersebut Oleh karena itu, perlu dipikirkan adanya
kebijakan untuk memecahkan kemacetan lalu-lintas.
d. Alternatif-alternatif kebijakan apakah yang tersedia untuk memecahkan masalah
tersebut, dan apakah kemungkinan di masa depan? Jawaban pertanyaan ini
memberikan informasi tentang kebijakan di masa depan (policy futures). Misalnya
untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas di DKI Jakarta, memang ada saran-saran
untuk membatasi umur kendaraan yang boleh beroperasi, membuat jalan di bawah
tanah, di samping pembuatan jalan layang yang sudah ada.
e. Alternatif-alternatif tindakan apakah yang perlu dilakukan untuk memecahkan
masalah tersebut? Jawaban pertanyaan ini memberikan informasi tentang tindakan-
tindakan kebijakan (policy actions/implementation). Misalnya, sebelum ada krisis
moneter, Pemerintah DKI Jakarta ada rencana untuk membuat jalan di bawah tanah
antara kawasan Blok M (Kebayoran Baru) dan kawasan Kota (Glodok).
Latihan
22
Rangkuman
Kebijakan publik adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kebijakan publik bertujuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat. Ada beberapa jenis kebijakan publik, yaitu
Substantive and Procedural Policies, Distributive, Redistributive and Regulatory
Policies, Material Policies, Public Goods and Private Goods Policies.
Data adalah fakta yang sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan,
sedangkan informasi adalah data yang telah diambil kembali, diolah dan digunakan untuk
pembuatan keputusan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai
informasi yang baik, yaitu : ketersediaan, mudah dipahami, relevan, bermanfaat, tepat waktu,
keandalan, akurat dan konsisten. Informasi ini penting, karena untuk memecahkan masalah
diperlukan informasi, terutama dalam perumusan masalah-masalah kebijakan. Metodologi
dalam analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan menjawab lima bentuk
pertanyaan. Jawaban masalah- masalah kebijakan, kinerja kebijakan, kebijakan di masa
depan, dan tindakan/implementasi kebijakan.
23
BAB III
PROSES KEBIJAKAN DAN ANALISIS KEBIJAKAN
24
alam yang dipandang mempunyai akibat pada kehidupan manusia.
Banyak kebutuhan atau ketidakpuasan yang ada dalam masyarakat, tetapi tidak
selalu hal itu langsung menjadi “public Problem”. Public problem adalah kebutuhan-
kebutuhan atau ketidakpuasan manusia yang tidak dapat dipenuhi atau diatasi secara pribadi
(privat). Dalam kebijakan publik dikenal adanya apa yang disebut “public problem” dan
“private problem”. Pada hakekatnya yang dinamakan “public problem” adalah masalah-
masalah yang mempunyai akibat yang luas, termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-
orang yang tak langsung terlibat. Sedangkan “private problem” adalah masalah-masalah
yang mempunyai akibat terbatas atau hanya menyangkut satu atau sejumlah kecil orang
terlibat secara langsung.
Mudahnya Meningkatny
perpindahan a
penduduk dari luar pembangun
DKI Jakarta an Kota
Jakarta
Kurangnya Kurangnya
pembangunan dorongan
fasilitas di daerah- perpindahan
daerah penduduk ke daerah
lain
25
Perumusan Tujuan/Sasaran
Tujuan/sasaran adalah suatu akibat yang secara sadar ingin dicapai atau ingin dihindari.
Pada umumnya suatu kebijakan bertujuan untuk mencapai kebaikan-kebaikan atau
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Teknik analisis tujuan/sasaran yang dapat digunakan
misalnya analisis sasaran, sebagai kelanjutan analisis masalah dengan menggunakan pohon
masalah.
1 3
Membatasi tinggal di Membatasi
DKI Jakarta Pembangunan
di Jakarta
2 4
Membangun Mendorong
fasilitas di daerah- perpindahan
daerah penduduk ke daerah
lain
a. Perumusan alternatif. Alternatif adalah pilihan tentang cara atau alat yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan/sasaran. Alternatif ini dapat diperoleh dari hasil
analisis sasaran.
b. Perumusan Model. Apabila diperlukan dapat dirumuskan suatu model analisis
kebijakan, misalnya flow chart, miniatur dan lain-lain.
c. Perumusan Kriteria. Kriteria ini dapat dipakai untuk mengukur/menilai
feasibilitas (kelayakan) dari tiap-tiap alternatif. Misalnya politik, ekonomi,
administrasi, teknologi, sosbud, agama, hankam dan penilaian alternatif.
Misalnya, hanya ada empat alternatif kebijakan yang akan diperhitungkan, yaitu :
1) Membatasi kemungkinan untuk tinggal di Jakarta dengan tidak memberikan KTP baru
bagi mereka yang baru datang.
26
2) Membangun fasilitas yang lebih baik di daerah-daerah.
3) Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan mem- batasi pertambahan investasi
baru.
4) Mendorong perpindahan penduduk ke wilayah lain dengan lebih mempermudah
transportasi laut ke dan dariwilayah-wilayah diluar Jakarta.
27
William N.Dunn (1994), menjelaskan bahwa monitoring mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
Compliance (kesesuaian/kepatuhan). Menentukan apakah implementasi kebijakan tersebut
sesuai dengan standard dan prosedur yang telah ditentukan. Misalnya, dalam INPRES Desa
Tertinggal (IDT), setiap desa menerima dana IDT sebesar Rp 20.000.000,00 (standard).
Monitoring adalah untuk mengetahui, apakah yang diserahkan benar-benar Rp 20.000.000,00
per desa.
a. Auditing (pemeriksaan).
Menentukan apakah sumber-sumber pelayanan kepada kelompok sasaran (target
groups) memang benar-benar sampai kepada mereka.
b. Accounting (Akuntansi).
Menentukan perubahan sosial dan ekonomi apa saja yang terjadi setelah
implementasi sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu.
c. Explanation (Penjelasan)
Menjelaskan mengapa hasil-hasil kebijakan publik berbeda dengan tujuan kebijakan
publik.
Evaluasi Kebijakan Publik
David Mackmias, seperti dikutip oleh Howlett and Ramesh (1995), mendefinisikan
evaluasi kebijakan sebagai : “suatu pengkajian secara sistematik dan empiris terhadap
akibat- akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang berjalan dan
kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut. Selain
itu, evaluasi kebijakan seperti pada tahap-tahap lainnya dalam proses kebijakan, merupakan
kegiatan politis. Evaluasi kebijakan selalu melibatkan para birokrat (pejabat pemerintah), para
politisi, dan juga seringkali melibatkan pihak- pihak di luar pemerintah (Howlett and Ramesh,
1995). Di tangan para aktor kebijakan ini, evaluasi memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu
memberikan masukan untuk penyempurnaan suatu kebijakan. Dengan melakukan evaluasi,
pemerintah dapat meningkatkan efektivitas program-program mereka, sehingga
meningkatkan pula kepuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Seperti diuraikan di
muka, evaluasi merupakan proses politik. Seringkali tidak disadari bahwa yang biasa disebut
evaluasi oleh birokrasi pemerintah, sebenarnya bukan evaluasi dalam arti yang benar. Para
pejabat evaluator sering tidak bersungguh-sungguh dalam menilai apakah kebijakan yang
mereka evaluasi itu efektif atau tidak. Hal ini terjadi karena yang mengevaluasi adalah pejabat
pemerintah. Mereka mempunyai kepentingan untuk menunjukkan bahwa kebijakan program
28
telah berjalan dengan, baik. (Samodera. Wibawa, et al, 1994). Akibatnya, misalnya suatu
instansi pemerintah melakukan evaluasi kebijakan, tetapi dalam kenyataannya hasilnya
jarang dipublikasikan, sehingga masyarakat sulit mengetahui hasil evaluasi kebijakan.
Howlett dan Ramesh (1995), mengemukakan tentang beberapa bentuk evaluasi kebijakan,
yaitu:
29
3.4 Analisis Kebijakan Publik
Dimensi-dimensi Kebijakan Publik
William N. Dunn, Analisis kebijakan publik adalah suatu disiplin ilmu sosial, terapan,
yang menggunakan berbagai macam metodologi penelitian dan argumen untuk menghasilkan
dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan, yang digunakan dalam
lingkungan politik tertentu, untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Stuart S.
Nagel, Analisis kebijakan publik adalah penentuan dalam rangka hubungan antara berbagai
alternatif kebijakan dan tujuan- tujuan kebijakan; manakah di antara berbagai alternatif
kebijakan, keputusan, dan cara-cara lainnya yang terbaik untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan
tertentu. Tujuan dari analisis kebijakan adalah memberikan informasi kepada pembuat
kebijakan, yang dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat. Di
samping itu, analisis kebijakan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah. Aplikasi analisis kebijakan meliputi wilayah permasalahan yang sangat luas,
misalnya energi, pendidikan, hubungan internasional, kriminalitas, kesejahteraan masyarakat,
pengangguran, transportasi, lingkungan hidup, stabilitas keamanan, kemiskinan, dan
sebagainya. (Dunn, 1994).
30
Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.
1. Faktor Politik. Faktor politik ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan suatu
kebijakan, karena dalam perumusan suatu kebijakan diperlukan dukungan dari
berbagai aktor kebijakan (policy actors), baik, aktor-aktor dari kalangan pemerintah
(Presiden, Menteri, Panglima TNI dan lain-lain), maupun dari kalangan bukan
pemerintah (Pengusaha, LSM, Asosiasi Profesi, ilmuwan; Media Massa dan lain-lain).
2. Faktor Ekonomi/Finansial. Faktor ekonomi/finansial pun perlu dipertimbangkan, terutama
apabila kebijakan tersebut akan menggunakan dana yang cukup besar atau akan
berpengaruh pada situasi ekonomi dalam negara.
3. Faktor Administratif/Organisatoris. Dalam perumusan kebijakan perlu pula
dipertimbangkan factor adminitratif/organisatoris, yaitu apakah dalam pelaksanaan
kebijakan itu benar-benar akan didukung oleh kemampuan administrative yang
memadai, atau apakah sudah ada organisasi yang akan melaksanakan kebijakan itu.
4. Faktor Teknologi. Dalam perumusan kebijakanpun perlu mempertimbangkan faktor
teknologi, yaitu apakah teknologi yang ada dapat mendukung, apabila kebijakan tersebut
kemudian diimplementasikan.
5. Faktor sosial, budaya, dan agama pun perlu dipertimbangkan, yaitu misalnya apakah
kebijakan tersebut tidak menimbulkan benturan sosial, budaya dan agama atau yang
sering disebut masalah SARA.
6. Faktor Pertahanan dan Keamanan. Faktor pertahanan dan keamanan ini pun akan
berpengaruh dalam perumusan kebijakan, misalnya apakah kebijakan yang akan
dikeluarkan ini tidak akan mengganggu stabilitas keamanan negara.
Faktor-faktor tersebut di atas akan menjadi kriteria dalam menentukan feasibilitas
(kelayakan) dari alternatif-alternatif kebijakan yang akan dipilih dalam langkah-langkah
perumusan kebijakan.
Amir Santoso, dalam tulisannya pada Jurnal Ilmu Politik menjelaskan tentang adanya
tiga aspek dalam analisis kebijakan publik, yaitu :
1. Analisis mengenai perumusan kebijakan
Analisis perumusan kebijakan, misalnya hubungan antara lembaga-lembaga/badan-
badan pemerintah, di mana dalam kebijakan tersebut dirumuskan hubungan antara badan
badan eksekutif dan legislatif, selama proses perumusan tersebut berlangsung. Analisis ini
31
mencoba menjawab pertanyaan, misalnya bagaimana kebijakan dibuat. Mengapa
pemerintah memiliki alternatif A dan bukan alternatif B, sebagai kebijakannya. Siapa saja
yang terlibat dalam perumusan tersebut dan siapa yang paling dominan. Mengapa orang itu
atau golongan itu yang paling dominan.
2. Analisis mengenai implementasi kebijakan.
Analisis implementasi kebijakan mencoba mempelajari sebab-sebab keberhasilan atau
kegagalan kebijakan publik melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang mem-
pengaruhi implementasi kebijakan, seperti masalah kepemimpinan dan interaksi
politik di antara pelaksana kebijakan. Aspek ini berkembang akibat kesadaran di
kalangan ilmuwan kebijakan bahwa implementasi suatu kebijakan/program tidak
hanya bersifat teknis dan administratif belaka. Implementasi kebijakan ternyata
melibatkan masalah-masalah politik, yang sering merupakan faktor yang mempengaruhi
implementasi suatu kebijakan/ program. Pertanyaan yang hendak dijawab, antara lain
adalah:
a. Bagaimana cara kebijakan diimplementasikan?
b. Siapa saja yang dilibatkan dalam proses implementasi tersebut?
c. Bagaimana interaksi antara orang-orang atau kelompok- kelompok yang terlibat
dalam implementasi kebijakan itu ?
d. Siapa yang secara formal diberi wewenang mengim- plementasikan kebijakan dari
siapa yang informal lebihberkuasa dan mengapa?
e. Bagaimana cara kerja birokrasi pusat dan daerah serta badan-badan lain yang
terlibat dalam implementasi kebijakan/program?
f. Bagaimana cara atasan mengawasi bawahan dan bagaimana
mengkoordinasikannya?
g. Bagaimana tanggapan target group terhadap kebijakan tersebut?
3. Analisis mengenai evaluasi kebijakan.
Evaluasi kebijakan mengkaji akibat-akibat suatu kebijakan atau mencari jawaban atas
pertanyaan “apa yang terjadi sebagai akibat dari implementasi suatu kebijakan?”.
Analisis evaluasi kebijakan sering juga disebut analisis dampak kebijakan, yang mengkaji
akibat-akibat implemen- tasi suatu kebijakan dan membahas “hubungan di antara cara
yang digunakan dan hasil yang dicapai”. Misalnya, apakah pelayanan terhadap
penumpang kendaraan umum menjadi lebih baik setelah dikeluarkan kebijakan mengenai
perbaikan transportasi umum?
32
Macam-macam Analisis Kebijakan (Policy Analysis)
Analysis Analysis
of for
Policy Policy
1 2 3 4 5
Determinati and
on Evaluation
33
mempengaruhi policy agenda, baik diluar maupun didalam pemerintah.
b. Information for Policy, yaitu suatu bentuk analisis yang ditujukan untuk
mendukung kegiatan pembuatan kebijakan dalam bentuk hasil penelitian.
RANGKUMAN
Banyak isu atau masalah yang dihadapi oleh pemerintah masuk dalam agenda
pemerintah untuk kemudian dirumuskan per- masalahannya. Ada dua bentuk agenda,
yaitu: “Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”. Ada beberapa prasyarat
untuk dapat masuk ke dalam “Systemic Agenda”. Di samping itu ada faktor-faktor yang
menyebabkan permasalahan masyarakat untuk dapat masuk ke dalam “Governmental
Agenda”. Tahap pertama proses kebijakan publik adalah perumusan kebijakan. Langkah pertama
dalam perumusan kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan. Dalam kebijakan publik
dikenal apa yang di sebut “public problem” dan “private problem”. Langkah kedua dalam
perumusan kebijakan adalah perumusan tujuan/sasaran. Langkah ketiga adalah perumusan
alternatif kebijakan. Alternatif ini dapat dikembangkan dari hasil perumusan tujuan/ sasaran.
Langkah keempat adalah perumusan model. Langkah kelima adalah menyusun kriteria yang
meliputi kriteria politik, ekonomi/finansial, administratif, teknologi, sosial-budaya- agama dan
hankam. Langkah keenam adalah penilaian alternatif. Dan langkah terakhir (ketujuh) adalah
perumusan rekomendasi.
Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan.
Akibat kurangnya perhatian pada implementasi kebijakan ini menimbulkan adanya
implementation gap, yaitu kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan
dengan apa yang senyatanya dicapai. Kebijakan publik mengandung resiko untuk mengalami
kegagalan. Kegagalan ini dikategorikan menjadi dua, yaitu non implementation dan
unsuccessful implementation. Tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur
hubungan antara tujuan kebijakan dengan tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan-
tujuan kebijakan. Monitoring kebijakan merupakan kegiatan pengawasan terhadap
implementasi kebijakan. Ada empat tujuan monitoring, yaitu : Compliance
(kesesuaian/kepatuhan), Auditing (pemeriksaan), Accounting (akuntansi), dan Explanation
(penjelasan). Evaluasi kebijakan adalah suatu pengkajian secara sistematik dan empiris
terhadap akibat-akibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang berjalan dan
kesesuaiannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut. Evaluasi kebijakan,
seperti tahap-tahap lain dalam proses kebijakan, merupakan proses politik, yang melibatkan para
birokrat, politisi dan fihak-fihak di luar pemerintah. Evaluasi merupakan kegiatan yang sulit,
34
karena tujuan kebijakan itu sendiri sering dirumuskan secara luas, sehingga sulit menyusun
indikator-indikatornya. Ada beberapa bentuk evaluasi kebijakan, yaitu Evaluasi Administratif,
Evaluasi Yudisial dan Evaluasi Politis.
Ada dua dimensi kebijakan publik, yaitu proses kebijakan dan analisis kebijakan. Analisis
kebijakan merupakan penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat multidisiplin dalam
proses kebijakan. Dalam analisis kebijakan publik perlu diperhatikan adanya faktor- faktor
strategis yang berpengaruh dalam perumusan kebijakan, yaitu faktor-faktor politik,
ekonomi/finansial, administratif/organisatoris, teknologi, sosial, budaya, agama, dan
pertahanan/keamanan. Ada beberapa aspek dalam analisis kebijakan, yaitu analisis mengenai
perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan analisis mengenaievaluasi kebijakan.
SIMPULAN
Kemajuan suatu negara ditentukan oleh kebijakan publik yang dimilikinya. Oleh karena
itu untuk mengetahui kualitas suatu kebijakan publik, diperlukan kemampuan untuk
menganalisis kebijakan publik. Namun untuk melakukan analisis tersebut secara tepat, terlebih
dahulu perlu dipahami esensi kebijakan publik itu. Kebijakan publik itu sendiri adalah suatu
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat.
Untuk menghasilkan kebijakan publik yang baik, maka kebijakan publik perlu dilihat sebagai
suatu sistem, yang terdiri dari unsur input yakni masalah kebijakan publik, proses yang berupa
pembuatan kebijakan publik, dan output yakni kebijakan publik dan dampak (impact) yang
ditimbulkan terhadap kelompok sasaran (target group). Disamping itu, kebijakan publik dapat
pula dilihat sebagai proses yang meliputi tahap perumusan masalah, implementasi,
monitoring, dan evaluasi kebijakan publik.
Dalam tahap perumusan masalah, kebijakan publik memerlukan input yang berupa data dan
informasi. Pengelolaan data dan informasi kebijakan publik perlu dilaksanakan dengan baik
agar dapat secara akurat memecahkan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Selanjutnya,
kebijakan publik memasuki tahapan implementasi, kemudian monitoring dan terakhir adalah
evaluasi. Implementasi adalah tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan-tujuan
kebijakan. Monitoring merupakan kegiatan pengawasan terhadap implementasi kebijakan,
sedangkan evaluasi kebijakan adalah suatu pencapaian secara sistematis atas kesesuaian tujuan
kebijakan dengan fakta empiris di lapangan. Untuk melihat keberhasilan kebijakan publik, maka
diperlukan analisis terhadap keseluruhan sistem, proses dan tahapan kebijakan. Analisis ini
35
bersifat multidisiplin yang mencakup faktor-faktor politik, ekonomi, administratif, teknologi,
sosial, budaya, dan pertahanan keamanan.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang disebut dengan Agenda dan Agenda Setting!
2. Jelaskan tentang “Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”!
3. Jelaskan pengertian “Public problem” dan “private problem”!
4. Jelaskan factor-faktor strategis yang mempengaruhi perumusan kebijakan publik!
5. Jelaskan aspek-aspek dalam Analisis Kebijakan Publik!
36
BAB IV
ANALISIS DAN KECANGGIHAN ANALISIS
arah dan tujuan yang belum pasti dan proses kebijakan itu sendiri diisi oleh pertentangan
dari berbagai kepentingan yang nantinya akan menentukan arah dan hasil kebijakan.
Contoh serupa bisa kita dapatkan juga dalam kasus penggusuran yang ditampilkan
dalam Box.1. Contoh Kasus: Kebijakan Penggusuran. Dari sudut pandang
pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan, langkah ini dianggap perlu demi
kebaikan masyarakat sendiri. Dalam kasus eksekusi tanah milik Perum Perumnas, argumen dan
logika yang digunakan untuk mempertimbangkan penggusuran demi terciptanya keadilan dan
terpenuhinya prinsip supremasi hukum yang dalam kasus tersebut menyatakan tanah tersebut
adalah milik Perum Perumnas dan karenanya mereka berhak menggusur orang yang
dianggap tidak berhak mendiami tanah tersebut.
Namun, dalam perspektif yang lain seperti yang dikemukakan dalam artikel tersebut, ada
dampak dari kebijakan penggusuran tersebut yang sangat berpotensi memunculkan
permasalahan publik baru. Warga yang tergusur tentunya mengalami gangguan dalam
kehidupan sosial dan ekonominya. Bagi analis kebijakan, tentunya hal ini tidak bisa
dikesampingkan begitu saja, mengingat tujuan dari kebijakan publik adalah menyelesaikan
permasalahan publik bukan menciptakan masalah publik baru.
37
IV.1.1.1
IV.1.1.2 Box 1. Contoh Kasus: Kebijakan
Penggusuran
Sumber: http://www.kompas.com/utama/news/0310/03/072649.htm,
Benarkah penggusuran adalah sesuatu yang merugikan? Bukankah tujuan dari
penggusuran kepentingan orang banyak?
38
Sumber: Nugroho, Riant, (2007), Analisis Kebijakan, Jakarta: Elex Media Komputiondo, hal.
158
Kondisi seperti di atas, di satu sisi dapat memberikan ruang yang leluasa bagi orang untuk
mengembangkan berbagai model dan metode analisis kebijakan. Namun, di sisi yang lain
menempatkan analis kebijakan pada situasi yang dilematis untuk menentukan perspektif
mana yang harus dipakai untuk menghasilkan analisis yang komprehensif. Keinginan untuk
menghasilkan sebuah analisis yang komprehensif, tidak jarang membawa seorang analis
untuk berupaya memperhitungkan semua faktor yang mempengaruhi proses sebuah
kebijakan. Harapannya, dengan memperhitungkan semua faktor, seorang analis bisa
menghasilkan informasi dan gambaran kebijakan yang akurat.
Namun, keinginan seperti di atas jarang sekali menjadi kenyataan dalam praktek
analisis kebijakan. Apabila analis yang bersangkutan tidak berhati-hati, bisa terjebak dalam
penggunaan nalar Rational-Comprehensive secara berlebihan yang mana ketika dia terlalu percaya diri
pada rasionalitas dan kapasitasnya sebagai seorang teknokrat atau analis kebijakan. Sebaliknya,
analisis yang sifatnya hanya parsial atau menyeluruh namun hanya berpilar pada prinsip-
prinsip normatif umum, kurang memiliki daya perkiraan, dan sedikit sekali utilitasnya bagi
kebutuhan praktis kebijakan.
Dalam menentukan pilihan perspektif dan konsekuensi tuntutan derajat
komprehensivitas yang ditimbulkan sebagai seorang analis, mahasiswa harus mengenal,
memahami, dan menghayati perspektif- perspektif dasar yang selama ini digunakan untuk
memahami, menjelaskan, dan memperlakukan kebijakan. Untuk itu, dosen memperkenalkan
dua pokok pemikiran dalam studi kebijakan publik dan analisis kebijakan publik. Kedua
pokok pemikiran itu adalah Rational- Comprehensive dan Garbage–Can Model. Kedua model
dasar ini banyak dipakai untuk menjelaskan logika dalam proses kebijakan publik. Perbedaan
keduanya adalah pada keyakinan yang mereka letakkan di atas rasionalitas, seperti pada
dalam Tabel II.I. Perbedaan Model-Model Pengambilan Keputusan.
Tabel.1.
Perbedaan Model-Model Pengambilan Keputusan
POIN
PERBEDAA
N
39
Asumsi ontologis obyektif konteks yang spesifik dan pengambilan
keputusan selalu
terjadi dalam sebuah
konteks yang spesifik
40
Cakupan analisis Substansi Substansi dan proses Proses
Teknik dan
metode analisis
yang biasa CBA, SWOT, Linear Game theory Game theory
digunakan programming.
Diantara kedua model tersebut, ada model yang berusaha mengambil jalan tengah yang
disebut sebagai Model Mixed-Scanning. Ketiga model tersebut memiliki definisi sendiri tentang
proses kebijakan. Model Garbage–Can melihat proses kebijakan yang sedikit sekali melibatkan
proses yang rasional dalam artian ilmiah. Proses kebijakan lebih digerakkan oleh kebiasaan-
kebiasaan yang sudah pernah dilakukan di masa sebelumnya atau ditempat lain.
Sebaliknya, Model Rational-Comprehensive mendefinisikan proses kebijakan sebagai proses
yang sepenuhnya rasional. Proses kebijakan meliputi aktivitas kalkulasi, proyeksi,
perencanaan, dan formulasi yang rumit. Segala keputusan diambil berdasarkan informasi yang
lengkap dan perhitungan yang komprehensif.
Model Mixed-Scanning mencoba mengambil posisi di antara keduanya. Model ini
mengakui keterbatasan nalar manusia dan melihat proses kebijakan tidak semata-mata
ditentukan oleh perhitungan rasional, efektif, efisien, tetapi juga perhitungan rasional politis
yang mengakibatkan proses kebijakan diwarnai oleh proses tawar menawar antar berbagai
aktor dan kepentingan yang terlibat. Proses tawar menawar ini juga dianggap terjadi dalam
sebuah konteks sosial yang spesifik dengan nilai, norma, dan kebiasaan yang terdapat pada
proses administratif dan politik yang terjadi.
Dosen memaparkan bahwa penggunaan ketiga model itu dalam analisa kebijakan dapat
berdampak pada tuntutan komprehensivitas dan kehandalan menganalisa yang berbeda
dari seorang analis. Tentunya hal ini disebabkan oleh perbedaan asumsi yang dijadikan
sebagai dasar analisa dalam tiap model. Instrumen analisa yang dipakai dalam tiap model
juga berbeda-beda.
IV.1.1.4 Bagan 1
Derajat Komprehensivitas Analisis Kebijakan
41
Misalnya, ada seorang analis yang melakukan analisis untuk pengambilan keputusan
kebijakan. Ketika dia memilih menggunakan Model Rational-Comprehensive, seorang analis
tersebut dituntut untuk melihat dan memperhitungkan secara komprehensif segala kemungkinan yang
menjadi konsekuensi dari setiap alternatif pilihan kebijakan yang ada. Sehingga, analisis
kebijakan dalam model ini tidak hanya dilakukan untuk menganalisis proses pengambilan
keputusan kebijakan, tetapi juga sampai pada pembuatan formula dan desain kebijakan.
Dalam model ini, pergeseran praktek dan realita kebijakan dari desain atau formula yang
sudah dirumuskan merupakan hal yang paling tidak diharapkan, meskipun bukan berarti tidak
diantisipasi. Biasanya desain dan formula kebijakan yang dibangun dengan model ini telah
menyiapkan desain atau formula contingency atau exit plan jika situasi kebijakan berkembang ke
arah yang tidak diantisipasi sebelumnya. Hal ini berarti, pilihan untuk melakukan analisa
dengan model ini memang menuntut seorang analis untuk benar-benar melakukan analisis
yang komprehensif.
Sebaliknya, analis yang bekerja dengan Model Garbage–Can atau Keranjang Sampah,
ketika melakukan analisis untuk pengambilan keputusan kebijakan, mungkin sekali hanya
dituntut untuk mengidentifikasi pengalaman-pengalaman yang mirip dengan kondisi yang
sekarang dianalisis. Kemudian mengidentifikasi keputusan apa yang „biasanya‟ diambil
dalam situasi yang dianggap serupa dan seberapa besar keputusan tersebut berhasil. Formula
dan desain kebijakan dirancang secara garis besar dan sangat mungkin untuk mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan situasi yang dihadapi. Namun, pilihan atas model ini
juga menghadirkan konsekuensi bahwa analis harus selalu siap dengan perubahan situasi yang
bisa terjadi seketika.
Dosen menegaskan kepada mahasiswa bahwa pilihan model dalam melakukan analisa
kebijakan bukanlah sebuah aktivitas yang tidak bermakna, tetapi merupakan suatu pilihan
yang selanjutnya menjadi kerangka acuan bagi seorang analis dalam membangun analisanya.
Baik buruknya analisa yang dilakukan ikut ditentukan oleh konsistensi antara model yang
digunakan dan analisis yang dihasilkan dari suatu analisis.
Sementara itu, Model Mixed–Scanning berusaha menawarkan fleksibilitas di antara
ketegangan dua model sebelumnya. Hal ini dikarenakan asumsi Model Mixed–Scanning melihat
bahwa meskipun proses kebijakan melibatkan konflik kepentingan dan tawar menawar antar aktor.
Seluruh aktor tersebut berbicara dalam suatu batas rasionalitas minimum.
Lebih lanjut, dosen memaparkan bahwa yang mempengaruhi pilihan posisi seorang analis
bukan sekedar keunggulan dan kelemahan masing-masing model. Seringkali, dalam memilih
model, analis juga harus mempertimbangkan faktor waktu yang tersedia, akses terhadap sumber
data, dan faktor-faktor lainnya. Tentunya kita tidak bisa mengabaikan faktor-faktor teknis ini
dalam pilihan model analisis.
Namun, terlepas dari itu semua penting untuk dipahami oleh seorang analis bahwa
kemampuan analisis sebetulnya tetap menjadi poin utama yang dituntut dari seorang analis.
Kemampuan seorang analis ini akan berujung pada reliabilitas dan akurasi analisis yang
dihasilkan. Kemampuan inilah yang kemudian harus dikompromikan dengan faktor-faktor
teknis yang seringkali harus dipertimbangkan oleh seorang analis dalam menentukan pilihan
posisinya.
Dalam menentukan pilihan posisi ini, seorang analis harus sanggup memahami dan
memproyeksikan konsekuensi yang muncul dari tiap pilihan posisi yang dihadapinya.
Konsistensi seorang analis dengan pilihan posisi yang diambilnya dengan segala
konsekuensinya yang merupakan poin utama penilaian baik buruknya seorang analis, selain
42
kemampuan analisa yang dihasilkan. Ini mengingat bahwa situasi yang mempengaruhi pilihan
seorang analis tidak pernah sama.
Untuk bisa memahami dan memproyeksikan konsekuensi dari tiap pilihan posisi, seorang
analis memerlukan kemampuan untuk berpikir kritis. Kritisisme ini terutama ditujukan pada
berbagai pilihan perspektif dan model kebijakan yang ada. Dari hal tersebut seorang analis
akan dapat mengetahui keunggulan dan kelemahan dari masing-masing perspektif dan model
kebijakan serta konsekuensinya dalam analisis yang akan dilakukan.
Pada kesempatan ini, dosen bisa memicu kemampuan berpikir kritis mahasiswa dengan
mengajak mereka untuk mengkritisi logika model-model kebijakan Rational-Comprehensive dan
Garbage-Can yang sudah dipaparkan sebelumnya.
Masing-masing kelompok memasukan komentar dari kelompok lain yang sama dengan
komentarnya dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi. Sementara itu, komentar kelompok lain yang
berbeda dengan komentar kelompoknya di masukkan dalam kolom Titik Buta Saya. Komentar
dari kelompok yang bersangkutan, yang tidak disinggung oleh kelompok lain, dimasukkan
dalam kolom Titik Buta Mereka.
Kita akan menemukan komentar-komentar dalam kolom Terbuka Bagi Diskusi. Komentar
yang ada dalam kolom ini bisa disebut sebagai inter-subyektivitas yang ada di antara para
mahasiswa tersebut, terkait dengan isu yang dikomentari atau dalam bahasa penganut
perspektif obyektivis, disebut sebagai pengetahuan yang obyektif.
Dari simulasi tersebut, dosen bisa mengajukan pertanyaan, “Apa yang membuat seseorang
43
memberikan komentar yang berbeda?”. Jika informasi tentang isu kebijakan yang digunakan
dalam simulasi ini relatif sedikit dimiliki oleh mahasiswa, opini mahasiswa akan banyak
terkumpul di kolom kuadran Titik Buta Saya dan Titik Buta Mereka. Artinya semakin kecil
inter-subyektivitas yang muncul.
Karena seluruh mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Analisis Kebijakan Publik pasti
sudah pernah membahas masalah klaim obyektivitas ilmu dalam mata kuliah Ilmu Sosial
Dasar, dosen bisa mengajukan pertanyaan, “Apakah obyektivitas bisa menyelesaikan
masalah?”. Melalui simulasi di atas, sebetulnya akan terlihat bahwa obyektivitas menjadi tidak
relevan ketika pengetahuan tidak lengkap, baik pengetahuan yang kita miliki maupun dimiliki
orang lain. Sebetulnya, obyektif atau tidak itu ditentukan oleh apa yang kita ketahui dan orang
lain ketahui. Orang Afrika dan orang Siberia memiliki obyektivitas atas gajah kalau keduanya
sama-sama mengenal dan memahami gajah, baik secara konseptual maupun simbolik. Tapi,
obyektivitas itu tidak akan terbentuk jika salah satunya tidak atau belum pernah mengenal
gajah.
Pada sesi sebelumnya, mahasiswa telah diminta untuk membaca tulisan Eugene,
(Bardach, Eugene, 2005, Practical Guide for Policy Analysis: Eightfold Paths toward Problem
Solving,NY: CQ Press). Pada Bab I ada dua sub-bab yang masing-masing berjudul “Sentuh Dulu
Basisnya” dan “Menggunakan Sepatu Orang Lain”. Dalam dua tulisan itu, poin yang
dikemukakan oleh Bardach adalah seorang analis yang cukup canggih sekalipun perlu
mendengarkan masukan dari orang lain, terutama aktor- aktor lain yang terlibat dalam area
kebijakan yang sama. Karena bisa jadi dari mereka akan ada masukan yang berharga untuk
menghasilkan analisa kebijakan yang lebih berkualitas. Setidaknya, ketika analis yang
bersangkutan diminta untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan dari analisis yang dilakukannya,
seorang analis bisa mengurangi potensi resistensi dari aktor-aktor kebijakan yang lain. Hal ini
terlihat bahwa Bardach menyadari pentingnya aspek politik dalam analisa kebijakan selain
aspek teknokratis, meskipun buku tersebut ditulis dari posisi dan lebih menggambarkan
analisis yang dilakukan seorang analis profesional.
Latihan
5. Jelaskan bagaimana hasil dari keputusan yang diharapkan dari ketiga model pengambilan
keputusan!
44
BAB V
KONTROVERSI ANALISIS UNTUK KEBIJAKAN DAN
ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN
45
mengukur suatu kebijakan untuk menghasilkan informasi dan pengetahuan yang sifatnya
obyektif. Di sini, diasumsikan bahwa analisis dan pengetahuan yang dihasilkannya bersifat
obyektif, bebas nilai, dan tidak melayani kepentingan apapun. Tarik-menarik kepentingan
politik, yang sangat kental mewarnai proses kebijakan, dianggap sebagai distorsi bagi upaya
analisis yang kemudian cenderung diabaikan dalam kebanyakan analisis yang dilakukan
dengan perspektif ini.
Di kutub politis, konflik kepentingan dalam proses kebijakan dipandang sebagai
sebuah keniscayaan, termasuk dalam analisis yang menyertai proses tersebut. Tentunya ini
membuat analisis yang dilakukan menjadi tidak obyektif dari perspektif teknokratis-
administratif. Analisis yang dihasilkan bisa jadi muncul bukan sekedar sebagai pengetahuan
yang bebas nilai atau tidak memihak, tetapi ditujukan agar bisa menjadi argumen untuk
mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan agar menguntungkan bagi kepentingan tertentu.
Dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa, sebetulnya kedua asumsi tersebut
muncul dari ketegangan antara paradigma obyektivis/ positivis dan subyektivis, yang
tentunya sudah dipahami oleh mahasiswa dalam berbagai mata kuliah metodologi yang telah
diikuti sebelumnya. Dalam paradigma yang pertama, analisa dan analis, dituntut untuk berdiri
mengatasi semua pertikaian dan silang sengketa kepentingan dari aktor-aktor kebijakan yang
terlibat dalam proses kebijakan yang dianalisis. Di sini diasumsikan bahwa rasionalitas
manusia akan mampu menemukan sebuah jalan keluar yang secara obyektif diakui
kebenarannya dan bisa diterima oleh semua aktor yang terlibat dalam suatu isu atau area
kebijakan tertentu.
Sebaliknya, paradigma subyektivis melihat bahwa analisis kebijakan, niscaya
berlangsung dalam sebuah konteks relasi berbagai aktor kebijakan yang memiliki
kepentingan yang beragam. Sebagai konsekuensinya, proses kebijakan maupun analisa
kebijakan tidak steril dari relasi kepentingan tersebut. Analisis yang dilakukan, mau tidak
mau, akan dihinggapi oleh subyektivitas. Karena itu, analisis di sini dilakukan bukan untuk
menghasilkan suatu pengetahuan yang obyektif, namun lebih diarahkan untuk membangun
inter-subyektivitas atau kesepahaman di antara relasi kepentingan terkait dengan kebijakan
yang dianalisis. Dosen bisa mengingatkan mahasiswa pada simulasi tentang pemahaman kita
dan orang lain di pertemuan sebelumnya!
46
Tabel 1. Matriks Perbedaan Analisis Sebagai Kegiatan Yang Obyektif
dan Analisis Sebagai Kegiatan yang Subyektif
Lebih dari itu, begitu berharganya pengetahuan atau informasi yang dibutuhkan untuk
membuat kebijakan, seringkali dalam praktek kebijakan, informasi ini menjadi komoditi
politik. Penguasaan atas pengetahuan atau informasi menentukan nasib kepentingan setiap
aktor dalam proses kebijakan yang diikutinya. Dengan demikian, muncul kecenderungan
akan tidak pernah lengkapnya informasi dalam setiap proses kebijakan. Hal ini tentunya
membuat analis menghadapi kesulitan yang luar biasa untuk menghimpun keseluruhan
47
pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu analisa yang obyektif
dengan hasil yang memuaskan semua pihak.
48
dasar teoritik. Dasar teoritik ini, sebagian besar, dihasilkan melalui analisis terhadap
kebijakan dalam policy studies. Di sini, proses pembangunan teori memang tunduk pada
kaidah- kaidah ilmiah, dan baik-buruknya analisis dalam corak ini dilihat dari sejauh mana
proses analisis dan teori yang dibangun memenuhi kaidah-kaidah keilmiahan. Namun, ketika
berada di tangan analis atau aktor politik yang melakukan analisis dengan corak analisis untuk
kebijakan, teori-teori ini akan diuji dalam dunia nyata untuk membuktikan “kegunaannya”
dalam situasi kebijakan yang spesifik. Bila terbukti memiliki kegunaan dalam praktek nyata
kebijakan, maka penerimaan terhadap teori yang bersangkutan akan semakin besar. Namun,
jika sebaliknya, teori yang bersangkutan tidak-serta merta dinyatakan salah, namun hanya
akan dipandang tidak relevan dengan situasi kebijakan yang tengah dihadapi. Ini karena teori
tersebut merupakan hasil abstraksi dari fenomena praktek kebijakan tertentu, yang mungkin
saja berbeda dengan praktek kebijakan di mana teori tersebut kemudian digunakan.
Dosen menjelaskan kepada mahasiswa bahwa dalam segmen kedua mata kuliah ini,
mahasiswa bebas memilih salah satu di antara kedua corak analisa kebijakan tersebut.
Mahasiswa perlu diingatkan, sebelum menentukan pilihan, mahasiswa harus memahami hal-
hal yang sifatnya meta-analisis sebelum menyentuh persoalan tertentu. Kelatahan dan
ketidakkritisan akibat kurangnya pemahaman terhadap permasalahan meta-analisis ini penting
untuk dihindari mengingat kecenderungan setiap perspektif atau pendekatan untuk
memfokuskan perhatiannya pada suatu aspek tertentu dan abai dengan aspek yang lain. Untuk
itu, pertama, analis harus tahu apa yang diketahuinya dan apa yang mungkin dihasilkan dari
pengetahuannya melalui kecakapan dan instrumen analisis yang dimilikinya.
Kedua, si analis harus memahami potensi karyanya dianalisis oleh orang lain dan dikritik
karena corak analisisnya, bukan karena substansinya. Dengan mengetahui lubang atau
kekurangan dari pengetahuan dan hasil analisanya, si analis bisa mengantisipasi adanya kritik
yang dilontarkan oleh orang lain atas corak analisis yang digunakannya.
49
kebijakan yang diharapkan sesuai dengan tujuan kebijakan yang diinginkan. Tuntutan peran
semacam ini, niscaya membuat si analis berada dalam posisi berkepentingan dengan
kebijakan yang dianalisisnya dan juga membuat baik-buruknya kinerja si analis tidak bisa
diukur dari seberapa obyektif analisis yang dilakukan dan pengetahuan yang dihasilkan,
melainkan seberapa jauh analisis yang dilakukannya menghasilkan formula yang efektif untuk
mencapai tujuan kebijakan yang sudah digariskan.
Agar lebih mudah dipahami dan dihayati oleh mahasiswa, dosen bisa memberikan
pertanyaan sebagai berikut: “Apa perbedaan peran yang dituntut dari seorang ahli masak,
ketika dia bekerja untuk sebuah restoran dengan ketika dia bekerja sebagai kontestan lomba
menulis resep?”. Ilustrasi serupa juga bisa kita dapatkan dari berbagai sektor kehidupan yang
kita temui sehari-hari. Itu bisa kita lihat dalam Tabel 2 Kontras Antara Analisis untuk
Kebijakan dan Analisis terhadap Kebijakan dalam Kehidupan Sehari-hari di Berbagai Area
Profesi.
TERHADAP UNTUK
KEBIJAKAN KEBIJAKAN
Kenapa analisis kebijakan di sini dibandingkan dengan memasak? Karena, seperti memasak,
analisa kebijakan publik selain merupakan bagian dari sebuah disiplin ilmu, juga merupakan
sebuah seni. Di sini, selain didasarkan pada metode dan kaidah ilmiah, seorang analis juga
harus mengandalkan intuisi dan „cita-rasanya‟, layaknya seorang ahli masak.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, seorang ahli masak yang sedang memasak untuk
pelanggan restoran adalah seorang ahli masak yang melayani orang yang membutuhkan
„realitas‟ masakan-nya dimana terlepas dari cara mengolah dan resep yang dipakai oleh si
ahli masak. Sementara, seorang ahli masak yang sedang berusaha menyusun buku masakan
atau menyampaikan pelajaran dalam sebuah kursus memasak, adalah seorang ahli masak
yang melayani orang yang membutuhkan „ilmu‟ memasaknya, terlepas dari permasalahan
apakah sesudahnya mereka mencicipi hasil demonstrasi yang diperagakan oleh si ahli
memasak?.
50
Ilustrasi Analis Aktivitas untuk Memahami Fenomena Kebijakan dari Perspektif
Tertentu
Kondisi yang sangat mirip juga terjadi dalam analisis untuk kebijakan dan analisis
terhadap kebijakan. Ketika melakukan analisis untuk kebijakan, si analis sedang melayani
orang yang membutuhkan „produk‟ kebijakan yang efektif, menurut kriteria dari orang
tersebut. Sementara, ketika melakukan analisis terhadap kebijakan, si analis sedang melayani
orang yang membutuhkan „ilmu‟ untuk menganalisis, termasuk untuk membuat, kebijakan
yang efektif dan reliable.
Sederhananya, kalau kita umpamakan analisis seperti sebuah lensa kacamata, dalam
posisi melakukan analisis terhadap kebijakan, si analis berkutat dengan hal-ikhwal membuat
dan cara menggunakan lensa yang tepat dan terpercaya untuk kebijakan secara umum.
Sementara, dalam posisi melakukan analisis untuk kebijakan, si analis berkutat dengan hal-
ikhwal menggunakan lensa tersebut demi mendapatkan pandangan yang jelas dan jernih.
Hasil dari analisis yang pertama adalah „benda‟ lensa dan cara penggunaan yang baik,
sedangkan dari analisis yang kedua, yang diharapkan adalah sesuatu yang dilihat secara tepat
dengan lensa tersebut, yang mungkin tidak akan terlihat jika lensa yang digunakan berbeda.
51
Lihat Bagan 2. Ilustrasi Analis Aktivitas untuk Memahami Fenomena Kebijakan dari
Perspektif Tertentu.
Untuk menjadi seorang analis yang baik, kita harus sensitif dan tanggap terhadap
perbedaan tuntutan dan kebutuhan yang dilayani dari posisi yang diambil sebagai analis.
Karena, untuk memenuhi kebutuhan tersebut memerlukan pendekatan dan keahlian yang
berbeda. Misalnya, ketika sama-sama menggunakan instrumen Cost- Benefit Analysis -
CBA, analis dalam posisi melakukan analisis untuk kebijakan akan menggunakannya
dengan berfokus pada hasil analisis yang akurat dan reliable, sebab itu yang dibutuhkan
untuk membuat sebuah kebijakan yang efektif. Sementara, analis yang berada dalam posisi
melakukan analisis terhadap kebijakan akan menggunakan instrumen yang sama, tetapi
berfokus pada detil cara penggunaannya. Misalnya untuk melihat apakah instrumen ini sudah
digunakan secara benar ataukah CBA memberikan hasil yang benar-benar akurat dan
reliable, atau, bisa jug, melihat apakah CBA memiliki kelemahan-kelemahan dan apa
yang bisa dilakukan untuk menutup kelemahan tersebut?
Untuk memberikan gambaran yang lebih tentang tuntutan peran yang harus dilakoni
seorang analis sesuai dengan pilihan corak analisanya, dosen mengajak mahasiswa untuk
mencermati Tabel III.3. Tabel tersebut memberikan deskripsi apa yang biasanya dilakukan
oleh analis ketika berada di posisi analis untuk kebijakan dan analis terhadap kebijakan.
Dalam tabel tersebut, dengan menggunakan formula 5W-1H Harold D. Laswell, mahasiswa
diajak untuk memahami posisi dan tuntutan yang harus dihadapi oleh seorang analis, sesuai
dengan pilihan corak analisis yang dilakukannya.
Dalam tabel itu aktivitas dan kepiawaian yang dituntut dari analis di masing-masing
posisi dideskripsikan menurut „Apa yang mereka lakukan?‟, „Siapa yang melakukan?‟,
„Untuk siapa/apa analisis dilakukan?‟, „Bagaimana itu dilakukan?‟, dan „Sampai sejauh mana
analisis tersebut dilakukan?‟.
Dosen juga menjelaskan bahwa di Tabel III.3., dalam masing- masing corak analisis
ditambahkan satu kategori, yang menempatkan posisi analis, sebagai bagian pengambil
keputusan kebijakan atau sebagai orang luar. Karena perbedaan posisi tersebut akan
berimplikasi pada perbedaan tuntutan peran yang harus dilakukan oleh seorang analis.
Namun, dosen perlu menambahkan bahwa kategorisasi yang terakhir ini menjadi agak kabur
batas-batasnya, karena dalam konteks governance yang sekarang ada, peran dan pengaruh
aktor-aktor non – negara semakin besar dalam proses kebijakan. Meskipun demikian,
kategorisasi ini tetap diberikan sekedar memberikan gambaran yang lebih lengkap kepada
52
mahasiswa.
Batas antara analis berada di dalam atau di luar lingkaran pembuatan kebijakan yang
jelas dan tangible, untuk saat ini, adalah posisi formal si analis atau kepentingan yang
dilayani oleh si analis. Misalnya, apakah si analis, selain sebagai analis, juga menempati
posisi sebagai pejabat publik atau bekerja untuk pejabat publik. Jika benar seperti itu, maka di
situ analis bisa disebut berposisi sebagai orang dalam. Tetapi jika tidak, kita bisa mengatakan
bahwa analis itu berada di luar lingkaran pembuat kebijakan.
Setelah mahasiswa mengenal apa yang diminta dari seorang analis dari posisi yang
dipilihnya, mahasiswa akan diajak untuk mengenal dan menghayati tipologi analis kebijakan
berdasarkan kapasitas dirinya. Ini berguna bagi mahasiswa untuk memahami corak analis
yang menjadi kecenderungan masing-masing tipe analis. Dari situ, sama seperti di atas,
sebagai analis, mahasiswa bisa mulai belajar untuk memaksimalkan keunggulan dan menutup
kelemahan yang timbul dari masing-masing tipe tersebut. Lihat Tabel 3. Kuadran Posisi
Analis Kebijakan.
Posisi
Analis
53
Kepentingan
internal institusi.
Untuk Menjamin kepentingan Namun bisa juga
kepentingan kelompok tertentu dibuat
For Whom
aksesibel
institusi dengan terpenuhi Diketahui
untuk masyarakat
mengatasnamakan khalayak luas
luas
public
Posisi Analis
networking. pewacanaan
media ataupun
KRITERIA
aksi massa
Melaksanakan
rancangan ke
Menggalang
To What Extent
dalam proses
yang lebih kesepakatan,
konkrit mempengaruhi Learning, Learning, evaluation
54
Tabel.4.Matriks Kapasitas Diri Analis
55
Peneleti kampus
Teknisi (tukang) Kesempatan Kualitas Detil-detil Jangka Obyektif dan Manual
untuk kerja yang perintah dan panjan apolitis: analisa
Skripsi, Tesis dan melakukan memuaska pemahaman g analisa sebagai kebijakan
disertasi(mahasis kebijakan n dirinya knowledge) tujuan akhir Lihat Dunn
wa) sebagai dan itu sendiri
orientasi koleganya
penelitian
preferences) a- sikan
yang dapat
membawa
akibat
manfaat
Komentar-
komentar
Sensasi, Dipercaya, Kabar sambil lalu.
mengisi waktu, membangun burung, berita Lihat
(Sok tahu) Pretender
56
tipologi yang digunakan dalam Tabel 4 adalah tipologi Arnold J. Meltsner. Sesungguhnya,
selain tipologi yang dibangun oleh Meltsner masih banyak tipologi yang lain, sehingga
mahasiswa tidak perlu merasa canggung jika mereka ingin menggunakan tipologi yang lain.
Dalam membangun tipologinya, Meltsner telah melakukan penelitian dengan mengambil
sampel 116 analis kebijakan. Dalam penelitiannya tersebut, kapasitas diri analis dipilah
menjadi empat kategori yang merujuk pada nilai dan cara kerja mereka dalam melakukan
analisa.3 Kategori pemilahan dibuat berdasar pada indikator “keterampilan politik” dan
“keterampilan analisa”. Hasil pemilahan tersebut adalah empat karakter analis berdasarkan
skill yang dimiliki, yaitu Wirausahawan (Enterpreneur), Teknisi/Tukang, Politisi serta Analis
„Sok Tahu‟ (Pretender)
Masing-masing tipologi analis tersebut bisa dijabarkan dalam Tabel 4. Matriks
Kapasitas Diri Analis. Pemahaman akan kapasitas diri seorang analis ini juga penting untuk
sebagai pertimbangan pemilihan posisi dan model analisis, yang akan dipaparkan pada sesi
berikutnya, karena pilihan posisi dan model melibatkan tuntutan terkait dengan
komprehensivitas dan kecanggihan analisa yang dituntut dari si analis.
1. Wirausahawan
Enterpreneur adalah tipe gabungan teknisi dan politisi, dia seorang pragmatis namun juga
pendidik, manipulator sekaligus pembangun koalisi. Dia mengawinkan politik dan
lingkungan organisasinya. Lebih politis dan agresif daripada teknisi, tetapi secara teknis
berkompeten dan memiliki standar internal sekaligus kontrol kualitas. Prinsipnya dia tidak
dalam kontrol klien, jika klien tidak mendengarkan maka orang lain yang akan mendengar
karena analis ini lebih melihat kepentingan publik sebagai klien utamanya. Kebanyakan
tipe ini adalah para ahli analisis kebijakan yang berasal dari kalangan akademisi ataupun
birokrat. Analisis adalah kekuasaan, begitulah kira-kira motto seorang analis
wirausahawan. Analis jenis ini paham benar bahwa policy making dipenuhi oleh banyak
aktor besar, maka mereka mengembangkan kuasanya sendiri untuk memanfaatkan semua
pengaruh. Dia menyadari kekuatannya, yaitu membuat kebijakan dengan mempengaruhi
keputusan. Analis ini lebih menempatkan diri sebagai think-thank kepentingan publik.
Analis jenis ini rajin membangun taktik, baik di dalam maupun di luar birokrasi.
Singkatnya, seorang analis entrepreneur adalah analis yang „ideal‟ karena tidak hanya
mahir melakukan analisa kebijakan, tapi secara diam-diam juga pandai dalam membangun
kekuatan politik
2. Teknisi
Seorang teknisi adalah peneliti akademis -seorang intelektual- dalam area birokrasi.
Bayangkan orang yang dikelilingi komputer, model-model teori, statistika, dan lain-lain
tetapi seperti ulat dalam kepompong. Dia hanya berkepentingan dengan riset atau tindakan
yang berhubungan dengan analisa kebijakan. Dia tahu politik tapi tidak banyak, karena
politik adalah sesuatu yang lain di luar kebijakan. Dia menerapkan standar untuk dirinya
57
sendiri, sehingga motto-nya „lebih baik menjadi benar daripada tepat waktu‟. Tipe ini
biasanya adalah para akademisi dan peneliti yang dikontrak oleh biro pemerintah tertentu.
Motivasi utama dari analis tipe ini adalah kesempatannya untuk melakukan riset yang
berhubungan dengan kebijakan dalam sebuah lingkungan pembuatan kebijakan (policy
making). Sehingga kebanyakan dari para teknisi ini adalah para intelektual yang berada di
menara gading, dengan menjadi pengamat dan tidak terlibat dalam policy making.
Baginya akurasi pengamatan dan penjelasan lebih penting daripada proses goal-nya
kebijakan.
Seorang teknisi mampu menjadi gudang data, karena kemampuannya mengolah beragam
data statistik, worksheet, laporan pemerintah, dan semacamnya. Sehingga mereka
cenderung untuk menempatkan analisa sebagai alat untuk menemukan kunci dalam
memahami masalah kebijakan atau solusi kebijakan. Substansi dari kebijakan lebih
menarik bagi mereka daripada proses didalamnya.
3. Politisi
Meski menyadari dirinya bukan birokrat, seorang analis politisi lebih berpikir ala birokrat
daripada seorang analis. Seorang analis politisi lebih memperhatikan dimana dia duduk dan
kepada siapa dia bekerja.Dia lebih khawatir penilaian yang buruk pada kinerja
pelayanannya daripada kualitas analisanya. Atribut kantor seorang analis politisi lebih
menonjolkan simbol yang menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi daripada sebagai
gudang data. Meski mereka menyadari dirinya generalis, namun mereka tetap melihat
dirinya berbeda. Tipe ini biasanya adalah para politisi.
Analisis kebijakan kelihatan seperti menawarkan kesempatan bagi politisi untuk
memperluas wawasan dirinya. Seperti halnya rekayasa sosial,mereka melihat pengalaman
sebagai perluasan kesempatan dalam ranah sosial dan membantu mereka mempelajari
tentang beberapa aktivitas pemberdayaan komunitas. Kepercayaan diri dari analis politisi
adalah keyakinan akan kemampuannya merubah gagasan menjadi kenyataan. Mereka
percaya bahwa dirinya mampu mentransformasi penelitian ilmu sosial ke dalam kebijakan
publik. Mereka ingin berada didalam kegiatan kebijakan itu sendiri dan bekerja didalamnya.
Akibatnya dia lebih mengutamakan agenda klien daripada agendanya sendiri.
4. ‘Sok Tahu’ (pretender)
Kiranya untuk tipe analis seperti ini tidak perlu kita bahas secara lebih mendetil karena
kontribusinya pada analisa kebijakan sangatlah sedikit. Namun demikian, mungkin tipe
inilah yang paling banyak dan paling mudah kita temukan. Kita dapat menemukannya
hampir disetiap jalan, warung, café, dan dimanapun tentang gosip-gosip politik
dibicarakan. Analisa para pretender tidak dapat dipertanggungjawabkan sekaligus tidak
memiliki efek yang politis. Namun jangan salah, biasanya para pretender pula yang
mampu menyebarkan gosip kebijakan menjadi perhatian, yang sangat mungkin akan
direspons secara serius oleh para teknisi, politisi maupun enterpreneur.
58
Sekali lagi dosen mengingatkan mahasiswa bahwa kategorisasi diatas hanyalah sebentuk
penyaringan.Kalau kita cermati, Arnold J. Meltsner membangun tipologi-nya hanya dengan
menggunakan dua variabel analisa, yaitu kemampuan analisa dan ketrampilan politiknya. Jika
kita mau melakukan investigasi lain yang lebih serius, kitapun dapat menerapkan standar
nilai yang akan kita ukur. Dari fenomena tersebut, kita semakin sadar dan mengakui bahwa
setiap analis memiliki standar nilai yang berbeda.
Penugasan
Di akhir pertemuan ini, mahasiswa yang telah diajak untuk mengenal tipologi analis menurut
kapasitas mereka. Diminta untuk mulai mempertimbangkan posisi dan corak analisis apa
yang akan dipilihnya dalam melakukan latihan analisis kebijakan di segmen kedua dari
perkuliahan ini. Untuk mengasah kepekaan mahasiswa dalam melakukan positioning,
mahasiswa diminta untuk:
• Memberikan kejelasan pilihan posisi dan alasan dia memilih posisi tersebut;
• Mengidentifikasi kecenderungan bias yang mungkin bisa timbul dari posisi yang
dipilihnya tersebut.
Sebagai ilustrasi, mahasiswa bisa merujuk pada Tabel 5. Bias Khas Tipe Analis
Kebijakan;
Pengusaha Keuntungan
59
PERTANYAAN:
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan "analisa untuk kebijakan” dan “analisa terhadap
kebijakan”?
2. Bagaimana kondisi yang yang terjadi dalam analisis untuk kebijakan dan analisis
terhadap kebijakan?
3. Bagaimana seseorang dapat melakukan analisis dengan corak untuk kebijakan?
4. Jelaskan empat karakter analisis berdasarkan skill yang dimiliki ?
5. Apa batas analis berada atau diluar lingkaran pembuatan kebijakan yang jelas dan
tangible ?
60
BAB VI
MENGEMBANGKAN KERANGKA ANALISIS KEBIJAKAN
Kebijakan adalah realitas yang kompleks dan bersifat multidimensional. Alat bantu untuk
menyederhanakan kompleks realitas yaitu kerangka analisis. Kerangka analisis memiliki
beberapa macam yaitu teori dan postulat, dimana postulat dikenal dengan nama model dan
framework. Paparan Elinor Ostrom yang dikutip oleh Hupe dan Hill dalam Pieters dan Hupe
eds (2006). Elinor Ostrom membedakan ketiga kerangka sebagai berikut:
61
Tabel I. Jenis Peta Menurut Informasi yang Disajikan dan
Kegunaannya
No Jenis peta Informasi yang Kegunaan
disajikan
4 Peta jaringan Rute dan moda transportasi Mengetahui rute dan moda
transportasi transportasi yang tersedia
62
Sumber: von Beyme dalam Goodin dan Klingeman, (1996), hal 524.
Von Beyme mengau pada kategorisasi orang lain, terutama untuk kategori umum,
seperti pemilihan berdasarkan pendekatan sistem-aktor dan level makro-mikro. Namun,
pilihan untuk menggunakan dan menggabungkan dua kategorisasi tersebut sebagai
sebuah model untuk mengklasifikasikan berbagai teori sosial yang semula bertebaran,
dapat kita asumsikan, serta didorong oleh kebutuhan analis untuk mengklasifikasi dan
menata berbagai teori tersebut.
Poin utama dari ilustrasi tersebut adalah bahwa seorang ilmuan bisa merumuskan
sendiri model yang akan digunakan untuk memvisualisasikan gagasannya. Ilustrasi lain
dapat dilihat bahwa konsep good governance sebenarnya sesuai dengan konsep
democratic governance, keselarasan tersebut bisa disajikan sebagai model seperti dalam
Bagan 2. Visualisasi Kesejajaran Ide Good Governance dan Democratic Governance.
63
elemen negara yang lain
Jargon-jargon tersebut, sebetulnya adalah model yang digunakan oleh ilmuwan yang
membuatnya untuk menjelaskan perpolitikan Indonesia. Selain Politik Patronase, kita juga
sering temukan istilah Negara Birokratik Otoritarian.
Dari paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan antara bahwa dalam membangun model
analis melakukan klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi. Dalam melakukan itu semua analis
digiring oleh nalar tertentu. Sehingga, penyederhanaan kompleksitas realitas sebetulnya
didasarkan pada preferensi subyektif si analis terhadap suatu nilai, perilaku dan tindakan
tertentu. Namun, sampai sejauh ini, bukankah kita masih menggunakannya untuk melakukan
analisis, Ini membuktikan bahwa meskipun mengandung subyektivitas yang cukup kuat,
model-model tersebut tidak berarti salah dan tidak berguna. Sebaliknya, berbagai model yang
sangat spesifik tersebut terbukti sangat berguna bagi kita untuk menyederhanakan
kompleksitas realitas kebijakan dan realitas politik Indonesia.
Salah satu bentuk penyederhanaan yang paling sering dilakukan untuk membangun
model analisa kebijakan adalah dengan menyederhanakan proses kebijakan sebagai sebuah
proses yang terdiri dari fase-fase atau bagian-bagian yang lebih kecil. Selain memecah proses
kebijakan ke dalam berbagai bagian yang lebih kecil, modelling juga mensyaratkan adanya
penjelasan yang rasional tentang relasi antar bagian tersebut dalam membentuk sebuah proses
kebijakan.
64
Dengan membagi kebijakan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, harapannya
kompleksitas kebijakan bisa dipahami dalam bentuk yang lebih sederhana. Dengan demikian
analisa juga lebih mudah dilakukan. Dengan membagi kebijakan ke dalam bagian-bagian
yang lebih kecil, analis juga bisa memfokuskan perhatiannya pada bagian tertentu dari
keseluruhan benda yang namanya kebijakan.
Model yang awalnya dipopulerkan oleh Harold Laswell ini memang banyak dipakai
dalam analisa kebijakan, Namun demikian, tidak semua model harus dibuat berdasarkan
urutan sekuensial, seperti dalam model yang selama ini kita kenal. Penyederhanaan kebijakan
bisa dilakukan dengan membedah anatomi kebijakan.
DIMENSI KEBIJAKAN
Model ini melihat bahwa dalam kebijakan apapun pasti melekat tiga hal, pertama,
substansi atau persoalan yang hendak diatasi. Kedua, proses yang perlu dilakukan untuk
mengatasinya. Terakhir, konteks di mana upaya untuk mengatasi persoalan itu berlangsung.
Dari modelling sederhana ini bisa dihasilkan banyak sekali model-model turunannya. Pada
prakteknya, analis tidak selalu mengedepankan ketiga dimensi tersebut secara berimbang dan
proporsional. Lebih sering, analis mengedepankan salah satu dari dimensi yang dianggapnya
paling relevan dengan fenomena kebijakan yang dianalisisnya.
Sementara, analis dengan tipe politisi biasanya cenderung berorientasi pada proses
untuk menyiasati konteks tertentu untuk mencapai substansi yang dia kehendaki. Berbeda
dengan teknokrat yang mengasumsikan bahwa proses kebijakan adalah proses yang berjalan
dengan logika birokratik ala Weberian. Analis model politisi melihat proses kebijakan
dijalankan dalam logika „everything is possible‟ demi menyiasati konteks yang ada untuk
mencapai substansi yang diinginkannya.
65
Dalam hal akar persoalan tidak
dipahami berbagai pihak, proses
Substansi Akar persoalan Menjanjikan efektivitas kebijakan yang diperlukan bisa
kebijakan mendapatkan resistensi
Menggiring
Proses proses konsensus
Konflik dan memudahkan Merepotkan penentu kebijakan
tindak lanjut
Pelibatan Mengantisipasi
masyarakat berbagai hal yang
tidak sempat Bertele-tele
dipikirkan
pemerintah
Berkaca pada model di atas, dalam melakukan analisa kebijakan seorang analis
memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan model apa yang akan digunakannya. Namun
kebebasan ini harus disertai oleh kemampuan untuk memahami dan mengelola konsekuensi
yang muncul dari pilihannya tersebut.
66
Dengan asumsi kebijakan yang berorientasi pada penyelesaian masalah, bahwa pada
dasarnya kebijakan publik adalah selalu kebijakan pemerintah. Sehingga kebijakan muncul
ketika ada suatu hal yang dianggap sebagai masalah oleh pemerintah. Berbagai isu yang
beredar di publik ditangkap sebagai masalah kebijakan i.e. Menjadi masalahnya pemerintah
didasarkan pada asumsi tertentu yang digunakan pemerintah untuk mendefinisikan masalah
kebijakan.
Peluang bagi munculnya model baru terbuka lebar karena tidak menutup
kemungkinan bahwa biang permasalahan dari seluruh permasalahan kebijakan adalah asumsi
pemerintah tentang masalah itu sendiri. Misalnya, kemiskinan yang seringkali dipahami oleh
pemerintah, semata, sebagai masalah kelangkaan uang. Memahami kemiskinan dengan cara
itu mendorong orang mengatasi masalah kemiskinan hanya dengan bagi-bagi uang dan tidak
pernah terpikir untuk mencari solusi lain
Namun, dapat dijumpai kekurangan pada model proses ini. Banyak kalangan di lingkaran
analis kebijakan yang menyesalkan bahwa sebagian besar orang menggunakan model ini
tanpa disertai kritisisme. Akibatnya, model stagist ini, di tangan para analis yang kurang
kritis tersebut, cenderung menyederhanakan proses kebijakan dan analisa kebijakan sebagai
sekedar hal teknis - prosedural. Kekritisan dan kejelian mutlak diperlukan dalam
menggunakan model ini, karena jika kita tidak, kitaberpotensi besar menjadi tidak peka
terhadap dimensi kontekstual yang selalu menyertai setiap realitas kebijakan.
Disamping model stagist masih ada model konflik, dengan banyak turunannya, yang melihat
proses kebijakan sebagai proses pertarungan kepentingan antar berbagai aktor kebijakan.
Model konflik ini lebih mengedepankan dimensi politik dari proses tersebut. Analisis
difokuskan pada konstelasi, sumberdaya, pola relasi dan koalisi antar aktor yang
berkepentingan dengan suatu proses kebijakan, serta konteks di mana pertarungan itu
berlangsung.
Sehingga, analisis yang dilakukan dengan model ini biasanya melihat di balik proses
kebijakan formal yang biasa kita kenal. Naskah undang-undang, peraturan, ketetapan, dan
sebagainya, dianggap hanya sebagai penampilan superfisial dari proses kebijakan. Proses
yang sesungguhnya, meliputi konflik kepentingan; tawar menawar; pembangunan koalisi
yang tidak nampak dalam semua proses formal tersebut, dan itulah yang perlu untuk
dianalisa.
Keunggulan model ini adalah sensitifitasnya yang cukup tinggi terhadap dimensi politik dari
kebijakan, sehingga bisa memberikan gambaran yang, bagi sebagian besar orang, lebih
realistis daripada model stagist. Sementara, kekurangannya, proses kebijakan cenderung
67
menjadi sebuah proses yang open – ended; ditentukan oleh dinamika antar – aktor, kebijakan
juga cenderung terlihat hanya didasari oleh tujuan jangka pendek, dan model ini juga
cenderung overlook terhadap tahapan perencanaan dari kebijakan.
Bagi analis, salah satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi situasi seperti itu adalah
dengan membangun model analisa kebijakan yang diasumsikan digunakan untuk
menganalisa kebijakan yang berlangsung dalam situasi abnormal.
Untuk situasi seperti itu, proses kebijakan normal tidak berlaku, sehingga perlu
dikembangkan double-track policy making. Model double-track policy making memuat pola
pembuatan kebijakan dalam kondisi normal dan kondisi tidak normal.
Tentunya, untuk itu analis harus memahami situasi dan proses kebijakan dalam situasi
abnormal, misalnya situasi bencana. analis bisa memiliki gambaran tentang situasi yang
menjadi kontekspembuatan kebijakan dalam situasi abnormal dan bisa membangun analisis
yang relevan melalui pemahaman terhadap siklus penanggulangan bencana.
Sebagai seorang analis perlu memahami secara betul dari penggunaan model dengan
memperhatikan konsekuensi yang dihadapi dalam pemilihan model untuk melakukan suatu
analisis kebijakan. Analis harus selalu hati-hati terhadap asumsi yang dibangun agar tidak
terjerumus dan menimbulkan konsekuensi buruk yang menimbulkan kebijakan yang tidak
adaptif dalam penyelesaian masalah.
SOAL LATIHAN
2. Sebutkan dan jelaskan jenis peta menurut infomasi yang disajikan dan kegunaannya.
68
4. Sebutkan dan jelaskan model yang digunakan dalam analisis kebijakan.
69
BAB VII
METODOLOGI
Latar Belakang
Sebuah kebijakan publik yang baik dan tepat merupakan suatu keharusan dalam
kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan bernegara. Salah satu kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang analis kebijakan adalah kemampuan dalam menjelaskan berbagai
pendekatan dalam metodologi penelitian, serta mampu mengembangkan instrumen
penelitian/kajian. Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan tidak hanya menguasai
berbagai teori mengenai metodologi penelitian, tapi juga mampu mempraktikkan
kemampuannya tersebut dengan berbagai contoh kasus yang telah disiapkan.
Modul ini
adalah bagian dari serangkaian proses analisis kebijakan yang saling berkaitan dan
melengkapi.
Deskripsi Singkat
Tujuan Pembelajaran
70
5. Mengembangkan logical framework dalam disain analis kebijakan;
6. Mendemonstrasikan pemahaman mengenai metode-metode pengumpulan data
kuantitatif dan kualitatif dalam instrumenpengumpulan data untuk analisis
kebijakan;
7. Menganalisis kualitas data, mendeteksi penyalahgunaan data dalam proses
kebijakan publik;
8. Mendesain teknik pengumpulan data dari pendekatan positivist atau non-
positivist.
7.1 Pentingnya Data Dan Berbagai Bentuk Data Dalam Analisis Kebijakan
Setelah mempelajari, peserta mampu menganalisis kualitas data dan mendeteksi
penyalahgunaan datadalam proses kebijakan publik.
71
4. Karena masyarakat terus berkembang, maka kebijakan publik juga perlu
dirancang agar memenuhi harapan masyarakat tersebut. Oleh karena itu dalam
statemennya lebih lanjut dikatakan….”we will improve our use or evidence and
researchso that we understand better the problems we are trying toadress”.
5. Secara lebih spesifik bagaimana upaya untuk mengunakan evidence guna
memperbaiki kualitas perumusan kebijakan dalam white paper dikatakan: sangat
jelas bahwa perumusan kebijakan harus didasarkan atas dukungan data (evidence)
yang memadai. Unsur utama evidence adalah informasi.Kualitas perumusan
kebijakan dengan demikian sangat ditentukan oleh kualitas informasi yang
diperoleh dari: para ahli, berbagai penelitian yang sudah dilakukan baik oleh
lembaga nasional maupun internasional, data statistik, konsultasi dengan para
stakeholder, evaluasi dari kebijakan sebelumnya, riset-riset yang baru, data
sekunder, atau berbagai data yang diperoleh dari internet.
Sebagai sebuah pendekatan, EBP merupakan langkah terobosan sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas perumusan kebijakan. Namun demikian para peserta diklat perlu
mengetahui beberapa kelemahan EBP dan perlu mengantisipasinya. Pertama, data yang
digunakan untuk mendukung proses perumusan merupakan hasil penelitian. Perlu diketahui
bahwa penelitian tidak selalu mampu mengungkapkan realitas kehidupan masyarakat yang
kompleks. Selain itu, hasil penelitian lebih banyak merupakan studi kasus yang dilakukan
pada suatu daerah atau peristiwa tertentu. Dengan demikian, kesimpulan yang diperoleh dari
penelitian memiliki keterbatasan generalisasi. Sehingga analis kebijakan harus berhati- hati
dalam menggunakan data atau kesimpulan suatu penelitian yang diperoleh dari studi kasus.
Kedua, maksud baik pemerintah untuk menggunakan hasil penelitian guna mendukung proses
perumusan kebijakan juga perlu diperhatikan oleh seorang analis kebijakan apakah
pemerintah tulus atau tidak dalam memanfaatkan data hasil penelitian untuk mendukung
proses perumusan suatu kebijakan.
Persoalan utama yang hendak dipecahkan oleh seorang analis kebijakan adalah apa yang
disebut sebagai policy problem masalah kebijakan. Masalah kebijakan bersumber dari public
problem masalah publik, yaitu masalah-masalah yang muncul di tengah- tengah masyarakat
yang mana masyarakat secara sendiri-sendiri individual tidak akan mampu memecahkannya
karena adanya fenomena yang disebut sebagai free rider problem. Fenomena free rider
problem ini yang kemudian mendorong munculnya persoalan publik, yaitu suatu persoalan
yang hanya dapat dipecahkan melalui aksi kolektif yang manifestasinya kemudian disebut
sebagai kebijakan publik. Masalah publik yang sudah masuk dalam agenda pemerintah untuk
dipecahkan kemudian akan berubah menjadi masalah kebijakan, yaitu masalah yang menuntut
pemerintah untuk secara serius mencarikan solusinya. Masalah kebijakan memiliki tiga
bentuk Dunn, 2003 221 yaitu masalah yang sederhana dan terstruktur dengan baik well
72
structured, masalah agak sederhana moderatly structured dan masalah yang rumit ill-
structured.
Dunn (2003:247) menyebut beberapa teknik yang dapat dipakai seorang analis
kebijakan untuk membantu melakukanpenyederhanaan masalah kebijakan tersebut, yaitu:
1. Analisis pembatasan masalah;
2. Analisis klasifikasi;
3. Analisis hierarkis;
4. Sinektika;
5. Brainstorming;
6. Analisis perspektif berganda;
7. Analisis asumsi;
8. Pemetaan argumentasi.
Semua teknik yang dapat dipakai analis untuk menyederhanakan masalah kebijakan
sebagaimana disebutkan di atas membutuhkan data, baik data yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Berikutcontoh penggunaan analisis klasifikasi untuk membantu
merumuskan masalah kebijakan dalam bidang pengentasan kemiskinan. Tahapan
penyederhanaan masalah dapat dilakukansecara berurutan sebagai berikut, dari kompleks
menjadi sederhana:
1. Data statistik yang dikeluarkan oleh BPS pada bulan September 2014
menyebutkan bahwa saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 27,7
juta jiwa (10,9 dari total penduduk Indonesia);
2. Siapa dan dimana orang miskin tersebut berada?. Analis kebijakan dapat
menyederhanakan masalahnya dengan memasukkan variabel tempat tinggal,
misalnya Desa vs Kota;
3. Berdasarakan data yang ada, jumlah penduduk miskin yang tinggal di pedesaan
adalah 17,371,090 jiwa (67% dari totaljumlah penduduk miskin di Indonesia),
sementara yang tinggal di perkotaan adalah 10,356,690 jiwa (37% dari total
jumlah penduduk miskin di Indonesia);
4. Jika analisis tersebut dilanjutkan lagi, dengan informasi bahwa 70% penduduk
miskin yang tinggal di pedesaan adalah perempuan, maka masalah kebijakan
yang harus dipecahkan menjadi semakin jelas, yaitu: penduduk miskin
perempuan yang tinggal di pedesaan;
5. Dengan teknik analisis pembatasan masalah sebagaimana digambarkan di atas
maka seorang analis akan dapat merumuskan dengan jelas apa masalah kebijakan
yang harusdipecahkan.
Mengapa data memiliki peran penting dalam perumusanmasalah kebijakan? Dengan
data yang akurat sebagaimana dicontohkan dalam ilustrasi di atas, para peserta
pelatihan menjaditahu bahwa analis kebijakan akan terhindar dari apa yang disebut
73
sebagai error the third tipe. Howard Raiffa (dikutip dalam Dunn, 2003:231)
menjelaskan yang dimaksud sebagai kesalahan tipe IIIsebagai berikut:
“Salah satu paradigma yang paling populer dalam ... matematika menerangkan kasus di
mana seorang peneliti harus menerima atau menolak apa yang dikenal sebagai hipotesis
nol. Pada pelajaran awal statistik mahasiswa belajar bawa dia harus terus menerus
menyeimbangkan antara membuat kesalahan tipe pertama (yaitu, menolak hipotesis nol
yang benar) dan kesalahan tipe kedua (yaitu menerima hipotesis nol yang salah) … sementara
para praktisi juga terlalu sering membuat kesalahan tipe ketiga: memecahkan masalah yang
salah”.
Berbagai data yang dibutuhkan dalam pekerjaan melakukananalisis kebijakan diperoleh
melalui riset kebijakan.
Data yang dapat digunakan oleh seorang analis kebijakan melakukan pekerjaannya dapat
terdiri dari berbagai jenis sebagaimana diuraikan oleh Purwanto dan Sulistyastuti (2007:20-
22).
74
menggambarkan jarak yang sesungguhnya antara satu kategori dengan
kategori yanglain. Contoh mengkategorikan bobot responden menjadi tiga
kategori, yaitu: 1= kurus, 2=sedang, 3=gemuk ).
3) Data interval (data yang memiliki semua karakter di atas,namun belum
memiliki nilai nol yang bersifat murni. Contoh suhu udara. Jika dalam
termometer dengan skala Celcius dinyatakan suhu udara 0 derajat Celcius
tidak berarti suhunya tidak ada, sebab jika diukur dengan skalaFahrenheit
maka akan diperoleh nilai 32 derajat).
4) Data rasio (data yang memiliki karakter di atas dan sudahmemiliki nilai nol
murni. Contoh pendapatan. Jika seorangresponden menyatakan
pendapatannya nol rupiah, berarti dia memang tidak memiliki pendapatan
sama sekali).
75
tahapan: (i) merumuskan masalah yang hendak dijelaskan, (ii) membangun hipotesis,
(iii) melakukan eksperimen/observasi, (iv) uji hipotesis, dan (v) penarikan kesimpulan
dan generalisasi.
Sebuah riset dikatakan memiliki bobot ilmiah apabila memiliki ciri-ciri sebagaimana
dikatakan oleh Kerlinger (1990):
1. Observable (dapat diamati)
2. Repeatable (dapat diulang oleh orang lain dengan hasil yangsama)
3. Measurable (dapat diukur dengan indikator kuantitatif)
4. Testable (dapat diuji kebenarannya)
5. Predictable (dapat diramalkan hasilnya)
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai riset dapat dibedakan menjadi riset yang
bersifat dasar (basic research) atau sering juga disebut riset teoritis (theoretical research)
dan riset terapan (applied research). Riset dasar memiliki tujuan utama untuk
mengembangkanteori (theory building) terkait dengan disiplin ilmu tertentu atau paling
tidak dikaitkan dengan penemuan hal-hal yang baru terkait dengan disiplin ilmu tertentu.
Sementara itu riset terapan bertujuan untuk memecahkan suatu persoalan tertentu
(problem solving). Dengan tujuan utama untuk mencari pemecahan atas suatu persoalan
publik, maka riset kebijakan lebih merupakan riset terapan. Sebagai sebuah riset
terapan, riset kebijakan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (SIPRI dan WASCI, 2011:7):
1. Riset kebijakan dimaksudkan untuk merespon masalahpublik tertentu;
2. Hasilnya dikaitkan dengan proses perumusan suatukebijakan;
3. Pragmatis, menganalisis apa yang dapat diterapkan dan yangtidak;
4. Menjauhi hal-hal yang abstrak dan mengutamakan hal-hal yang mudah
dipahami atau dikomunikasikan;
5. Digunakan untuk mempengaruhi pengambil kebijakan.
Oleh karena itu elemen penting yang harus dipahami oleh seorang analis kebijakan ketika
melakukanriset kebijakan adalah (SIPRI dan WASCI, 2011:7):
1. Fokus pada persoalan publik yang kontemporer atau sedang menjadi perhatian
publik;
2. Dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan pengambil kebijakan;
3. Riset kebijakan membutuhkan tindakan yang cepat karena hanya tersedia sedikit
waktu untuk melakukan pengumpulandata, analisis dan menyusun rekomendasi;
76
4. Pragmatis, rekomendasi harus merupakan hal yang dapat dikerjakan;
5. Tujuannya adalah untuk memperjelas persoalan publik yang rumit sehingga
dapat diselesaikan;
6. Jembatan antara dunia teori dengan dunia praktis.
Seorang analis kebijakan perlu memahami bahwa pekerjaan mereka membutuhkan
informasi, data, dan evidences terkait dengan masalah publik yang harus mereka
pecahkan. Informasi pada dasarnya semua hal yang kita kumpulkan dari para responden,
narasumber, atau lembaga statistik yang kita duga memiliki keterkaitan dengan
persoalan publik yang sedang dianalisis seorang analis kebijakan. Dengan demikian data
adalah informasi yang memiliki keterkaitan atau relevansi dengan persoalan publik yang
sedang dianalisis oleh seorang analis kebijakan dan dikumpulkan dengan metode ilmiah
yang dapat diuji validitas dan reliabilitasnya. Apabila ditelaah lebih lanjut, berbagai
data yang disusun secara lebihsistematissehinggamampumenjelaskan penyebab
munculnya suatu masalah, akibat yang ditimbulkan dari masalah tersebut, hasil yang
akan dicapai apabila dilakukan suatu tindakan, inilah yang kemudian disebut sebagai
evidence.
Berdasarkan data yang dikumpulan, suatu riset dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif. Disebut positivistik karena
kemunculan metode penelitian ini bersamaan dengan munculnya abad pencerahan di Eropa
Barat sebagai bentuk perlawanan logika berfikir yang negativistik di mana masyarakat
menjelaskan peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat metafisis. Karena sifatnya yang demikian, metode penelitian positivistik
juga sering kali disebut deteministik karena asumsi yang dipakai bahwa setiap kejadian pasti
ada faktor yang menjadi penyebabnya. Secara umum, para ahli mengatakan bahwa asumsi
yang mendasari metode penelitian yang bersifat positivistik adalah:
77
4. Bersifat deduktif (dimulai dengan teori, membangun hipotesis, merancang
instrumen pengukuran, pengamatan/ eksperimen, analisis data, dan penarikan
kesimpulan);
5. Metode penelitian yang dipakai bersifat terstruktur (sudah disiapkan sebelum
penelitian dilakukan);
6. Data yang dikumpulkan bersifat kuantitatif (realitas sosial yang diteliti
dikonversi menjadi data-data kuantitatif denganmenggunakan indikator-indikator
yang sudah terstandar);
7. Hasil penelitian bersifat replicable (dapat diulang dengan hasil yang sama);
8. Penelitian kuantitatif selama ini juga dikaitkan dengan dua metode pengumpulan
data(Creswell, 1994:11), yaitu: surveydan eksperimen.
Penelitian naturalistik atau kualitatif merupakan anti tesis dari metode penelitian
positivistik. Oleh karena itu penelitian kualitatifjuga sering disebut sebagai penelitian post-
positivistik. Secara umum, penelitian kualitatif memiliki berbagai asumsi sebagai berikut:
1. Subyektif. Realitas sosial bersifat subyektif dan bervariasi tergantung pada
perspektif orang yang terlibat dalam studi. Tidak seperti penelitian yang
positivistik, penelitian kualitatif berargumen bahwa sebagai bagian dari realitas
sosial, peneliti tidak mungkin dipisahkan dari obyek yang ditelitinyasehingga
tidak mungkin peneliti dapat sepenuhnya bersifat obyektif dalam melihat realitas
sosial yang ditelitinya;
2. Bersifat induktif. Peneliti mencoba menjelaskan realitas yangditelitinya dalam
suatu konteksdan mencoba memberi makna dalam konteks yang lebih luas;
3. Kontekstual. Realitas sosial dipengaruhi oleh banyak faktor, peneliti berusaha
untuk mengungkapkan makna dibalik suatu fenomena yang ditelitinya;
4. Peneliti merupakan bagian dari pembuat realitas yang diamatinya, sehingga
peneliti dapat menggunakan metode yang dapat mengungkap „insider
knowledge‟ dengan cara melakukan pengumpulan data dalam setting yang
bersifatnatural;
5. Data yang dikumpulkan bersifat naratif hasil observasi maupun wawancara;
6. Penelitian kualitatif selama ini dikaitkan dengan beberapa metode pengumpulan
data (Creswell, 1994:12), yaitu: etnografi, grounded theory, studi kasus,
penelitian phenomenologi, dan penelitian naratif.
78
Design Riset Kuantitatif
Desain penelitian merupakan panduan yang dapat digunakan oleh peneliti untuk dapat
memahami realitas sosial yang ditelitinya.Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika
seorang peneliti akan melakukan penelitian yang bersifat positivistik, yaitu (Purwanto dan
Sulistyastuti, 2007: 26):
1. Menentukan topik;
6. Bagaimana mengolah data dan alat statistik yang akandipakai untuk menguji
hipotesis penelitian.
Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal modul ini, design penelitian yang
bersifat positivistik tersebut perlu dikontekstuali- sasikan dengan tujuan riset kebijakan
yang bersifat problem solving. Untuk itu unsur-unsur dalam design penelitian tersebut
perlu disesuaikan dengan riset kebijakan.
1. Menentukan topik: topik riset kebijakan tentu sangat terkaitdengan sektor di
mana seorang
79
3) Pengisian kuesioner yang dikirim melalui Pos
4. Membangun Teori, Hipotesis dan Model: ebagaimana telah dijelaskan di bagian awal
modul ini, bahwa dalam penelitian yang bersifat positivistik, realitas sosial yang hendak
dijelaskan tersebut dipahami sebagai suatu relasi yang bersifat hubungan sebab dan
akibat. Hubungan sebab-akibat tersebut sebagian besar sudah diteorikan oleh para ahli
sebelumnya, sehingga tugas seorang peneliti pada dasarnya untuk membuktikan apakah
teori-teori yang sudah dirumuskan tersebut benar atau salah dalam kasus yang bersifat
spesifik . Setelah memilih teori, maka peneliti harus mampu menurunkan teori tersebut
menjadi:
a. Konsep;
b. Variabel;
c. Indikator.
80
bersifat:
a. Deskriptif
b. Eksplanatif
c. Inferensial
Seorang analis harus dapat menilai apakah suatu data statistik valid dan masuk akal,
dan menghindari kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan dalam menggunakan data
statistik. Terdapat beberapa kesalahan yang sering dijumpai terkait dengan penggunaan
data statistik. Kesalahan semacam ini bisa saja tidak disengaja atau disengaja
(bydesigned).
1. Grafik yang keliru (misleading)
Kadang dijumpai grafik atau diagram yang mengandung informasi yang terdistorsi
(misleading) atau label yang keliru. Seringkali informasi yang ada pada grafik/diagram
tersebuttidak lengkap sehingga pembaca tidak dapat mengkritisi informasi yang
disampaikan.
2. Tidak menampilkan margin of error
Untuk menilai hasil statistik diperlukan ukuran presisi dari statistik yang ditampilkan.
Misalnya jika peneliti atau media tidak dapat menampilkan ukuran ini dalam hasil survei,
perlu dipertanyakan bagaimana akurasi hasil survei tersebut.
3. Tidak ada informasi ukuran sampelnya
Seringkali informasi dalam suatu headline atau tampilan gambar tidak seperti yang terlihat
ketika dibaca lebih detil ternyata sampel yang digunakan sangat kecil. Atau dalam kasuslain
bahkan tidak ada informasi tentang ukuran sampel yang digunakan.
4. Sampel yang bias (Biased sample)
Salah satu penyalahgunaan statistik adalah menampilkaninformasi yang bias dengan
menggunakan sampel yang bias yang menjamin hasilnya mengarah pada kesimpulan
tertentu.Biased sample bisa karena tidak disengaja atau disengaja
5. Interpretasi yang salah tentang korelasi
81
Interpretasi yang keliru tentang korelasi sering dijumpai denganmenyamakannya dengan
sebab akibat. Padahal untukmenyimpulkan bahwa suatu variabel mengakibatkan variabel
lainnya memerlukan penelitian yang lebih dalam.
6. Angka yang salah
Kesalahan dalam menampilkan informasi kuantitatif bisa terjadi karena disengaja atau
disengaja (by designed). Karena itu, sebelum digunakan data kuantitatif yang ditampilkan di
suatu media atau sumber lainnya perlu dicek kembali. Pengecekan matematis sederhana
perlu dilakukan dalam informasi kuantitatif. Misalnya apakah proporsi yang ditampilkan
dalam pie chart jika dijumlahkan sama dengan 100%. Kesalahan lain mungkin dilakukan
karena menggunakan jenis statistik yangtidak tepat.
7. Memilih hasil tertentu saja
Karena statistik sering digunakan untuk mendukung argumen tertentu, bisa saja dijumpai
penyalahgunaan statistik secara sengaja. Misalnya dengan hanya yang memperlihatkan data
secara selektif untuk mendapatkan pola tertentu atau hasil yang signifikan (data fishing).
Penelitian naturalistik atau kualitatif tidak memiliki bentuk design penelitian yang
baku. Dari berbagai literatur tentang metode penelitian kualitatif, para ahli cenderung
mengemukakan cara yang berbeda-beda tentang bagaimana merancang design penelitian
kualitatif dan melaksanakannya di lapangan. Namun demikian, dalam pandangan
Creswell kita perlu membuat design penelitian yang mirip dengan design penelitian
kuantitatif sebelum melaksanakan penelitian kualitatif. Meskipun
tidak mudah, sebuah design penelitian kualitatif yang baik menuruh Creswell (2007:45)
adalah:
1. Peneliti menerapkan prosedur pengumpulan data yang ketat. Hal ini berarti
peneliti harus mampu mengumpulkan berbagaijenis data dan mampu
meringkasnya, misalnya dalam bentuk tabel;
2. Peneliti merancang penelitiannya dalam suatu framework yang sesuai dengan
karakteristik penelitiankualitatif,
3. Peneliti menggunakan salah satu pendekatan penelitian sebagaimana sering
digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu etnografi, grounded theory, studi
kasus, penelitian phenomenologi, dan penelitian naratif;
4. Peneliti memulai penelitiannya dengan satu fokus perhatian,kemudian dapat
82
dikembangkan menjadi lebih luas
5. Peneliti menggunakan berbagai level abstraksi dalam melakukan analisis
data;
6. Penulisan laporan harus menggunakan bahasa yang persuasifsehingga pembaca
memiliki pengalaman yang sama dengan peneliti seolah-olah dibawa ke tempat
dan bertemu dengan orang-orang yang menjadi partisipan penelitian;
7. Peneliti harus memegang teguh etika.
c. Pertanyaan penelitian;
d. Keterbatasan penelitian.
2. Prosedur penelitian
b. Strategi penelitian;
c. Peran peneliti;
g. Struktur narasi;
i. Signifikasi studi;
l. Lampiran.
Meskipun telah ada desain yang bersifat umum sebagaimana digambarkan diatas,
akan tetapi tahapan penelitian yang harus dilakukan peneliti berbeda-beda sesuai
83
dengan pendekatan yang dipakai.
Sebagai gambaran, langkah-langkah yang harus dilakukan peneliti kualitatif adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan naratif dilakukan dengan prosedur sebagai berikut (Creswell, 2007: 55-
57):
a. Menentukan apakah persoalan penelitian atau pertanyaanpenelitian yang akan
dijawab cocok dengan pendekatan naratif;
b. Pilih satu atau beberapa individu yang memiliki cerita atau pengalaman hidup
untuk diceritakan. Luangkan waktu yang memadai dan kumpulkan berbagai
informasi yang
relevan;
c. Kumpulkan informasi tentang konteks cerita yang disampaikan oleh para
partisipan penelitian, seperti:pekerjaan mereka, keluarga, etnisitas, dll. Serta
kontekswaktu di mana cerita itu terjadi (waktu dan tempat);
d. Analisis cerita partisipan penelitian dan ceritakan kembali dalam framework
yang dirancang peneliti sehingga cerita tersebut menjadi masuk akal;
e. Bekerja sama dengan partisipan penelitian dengan secaraaktif melibatkan
mereka dalam kegiatan riset yang sedang dilakukan.
2. Pendekatan phenomenologi dilakukan dengan prosedursebagai berikut (Creswell,
2007: 60- 62):
a. Peneliti menentukan apakah pertanyaan penelitian cocok dijawab dengan
pendekatan phenomenologi;
b. Peneliti melakukan pengumpulan data dari para partisipan penelitian yang
memiliki pengalaman terkait dengan fenomena yang hendak diteliti. Biasanya
pengumpulan data dilakukan dengan in-depth interview;
c. Pertanyaan yang disampaikan kepada para partisipan terkait dengan dua hal,
yaitu: pengalaman mereka dan konteks di mana mereka mengalami
pengalaman tersebut;
d. Analisis data dilakukan dengan mentranskrip hasilwawancara dan
menggarisbawahi hal- hal yang dianggap penting dari para partisipan
penelitian;
e. Berbagai statemen dan isu-isu yang dianggap penting akan ditulis dalam uraian
yang bersifat deskriptif (textualdescription) dan juga konteks dimana peristiwa
84
terjadi (structural description);
f. Berdasarkan dua deskripsi tersebut peneliti akan membuat esensinya atau
sering disebut sebagai the essential.
3. Pendekatan Etnografi dilakukan dengan prosedur sebagai berikut (Creswell,
2007: 70-71):
a. Menentukan apakah pendekatan etnografi cara
yang tepat untuk menjawab pertanyaan
penelitian;
b. Menentukan lokasi dan kelompok yang akan diteliti. Karena peneliti akan
berhadapan dengan banyak partisipan penelitian maka peneliti harus memiliki
key informants/participants;
c. Pilih tema yang penting untuk diteliti terkait dengan kelompok masyarakat
yang akan diteliti;
d. Kumpulkan data di mana anggota kelompok tinggal atau bekerja, hal ini
disebut sebagai
fieldwork;
4. Triangulasi (triangulation)
Triangulasi merupakan konsep mengkombinasikan teknik metodologi yang berbeda-beda
untuk mengatasi kelemahan- kelemahan yang ada pada teknik tertentu. Dengan
menggunakan indikator yang identik untuk mengukur variabel yang sama, diharapkan hasil
pengukuran lebih baik. Penggunaan triangulasi menurut Neuman (1997) dapat
meningkatkan kehati- hatian dalam dalam pengumpulan data dan analisis, membantu
memahamikekayaan dan perbedaan konteks sosial, dan memperkayadata. Misalnya metode
survei dikombinasikan dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif.
Untuk mengevaluasi kualitas evidence, ketika melakukan pengumpulan data analis
dapat melihat bagaimana relevansi evidence tersebut dalam menjawab pertanyaan
penelitian dan sejauh mana akurasi dan kedalaman evidence tersebut.
85
CBA (Cost Benefit Analysis) atau analisis biaya manfaat adalah pendekatan untuk
rekomendasi kebijakan yang memungkinkan analis membandingkan dan menganjurkan
suatu kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total
keuntungan dalam bentuk uang (Dunn, 2003:447). Awal perkembangan analisis biaya
manfaat (CBA) mulai familiar ketika menjadi klausul dalam Undang – Undang
Pengendalian Banjir AS (US Flood Control Act) tahun 1936. CBA berkembang sebagai
landasan teoritis ilmu ekonomi kesejahteraan, terutama konsep ilmu kesejahteraan yang
mengutamakan efisiensi (Pearce, 2008: 181). CBA saat ini merupakan teknik mapan
yang banyak digunakan dalam pemerintahan maupun organisasi internasional.
Meskipun tertentu yang mendasari konsep teknik berasal dari Eropa pada 1840-an,
penggunaan CBA di lingkungan ekonomi merupakan model implementasi yang
tergolong baru. Implementasi CBA mulai berjalan ketika peraturan yang ditetapkan
oleh pemerintah AS yang membuat penggunaan CBA wajib di keadaan tertentu di
tahun 1930. Dua konsep dasar yang berasal dari Eropa adalah konsep surplus konsumen
dan konsep eksternalitas. Konsep surplus konsumen diperdebatkan oleh Jules Dupuitin
1844, ketika ia menunjukkan bahwa pengguna jalan dan jembatan di Perancis
menikmati keuntungan melebihi jumlah korban yang mereka bayar untuk penggunaan.
Pigou mengembangkan secara efektif konsep eksternalitas dengan menyatakan bahwa
ada perbedaan antara swasta ekonomi produksi dan produk ekonomi masyarakat
(mishan and Quah :243).
CBA dilengkapi dengan pendekatan diskonto untuk menghitung pemasukan dan
pengeluaran di masa yang akan datang berdasarkan nilai sekarang dan tingkat diskonto
tertentu. Hal ini disebabkan oleh biaya dan manfaaat yang cenderung terakumulasi.
dalam realitas deskriptif, tingkat preferensi waktu dan taksiran biaya modal sangat
bervariasi akibat ketidaksempurnaan pasar-pasar modal. Hal ini disebabkan oleh
kebiasaan publik (sebagai konsumen) lebih menyukai kondisi (Pearce, 2008: 121-122).
Implementasi CBA dalam pembuatan rekomendasi di sektor publik mempunyai ciri ciri
antara lain berusaha untuk mengukur semua biaya dan manfaat untuk masyarakat yang
dihasilkan dari program pulik. Analisis biaya manfaat secara tradisional
merepresentasikan rasionalitas ekonomi karena kriteria sebagian besar ditentukan
dengan penggunaan efisiensi ekonomi secara global. Analisis biaya manfaat tradisional
juga menggunakan pasar (swasta) sebagai titik tolak untuk merekomendasikan kebijakan
publik. Analisis biaya manfaat kontemporer, atau disebut juga analisis biaya manfaat
sosial, dapat digunakan untuk mengukur redistribusi manfaat (Dunn, 2003: 448).
86
Melihat pada proses implementasinya, Analisis biaya manfaat (CBA) memiliki
keunggulan dalam penentuan program pemerintah, antara lain sebagai berikut.
a. Penggunaan sumber – sumber ekonomi secara efisien. Jika efisiensi terjamin,
pencapaian kesejahteraan masyarakat dari kebijakan publik yang
diimplementasikan lebih maksimal (Mangkoesoebroto,2001: 165-166).
b. Analisis biaya manfaat dalam pengitungan biaya maupun manfaat diukur dengan
mata uang sebagai unit nilai, sehingga memudahkan efisiensi (Dunn, 2003:448).
c. Sangat kompatibel dengan penghitungan biaya manfaat kebijakan / proyek dalam
skala besar atau makro khususnya yang mempengaruhi kinerja pembangunan
daerah secara keseluruhan (Sjafrizal, 2008 :170).
Sedangkan kelemahan CBA antara lain sebagai berikut.
a. Analisis ini membutuhkan waktu dan prosesnya yang sangat lama dan hanya bisa
diimplementasikan pada proyek/ kebijakan yang bersifat makro (Sjafrizal, 2008:
170)
b. Pemilihan kebijakan / proyek yang kurang menguntungkan bagi masyarakat. Hal
tersebut disebabkan oleh proses penghitungan manfaat secara kuantitatif,
sedangkan beberapa proyek atau kebijakan tidak dapat diukur manfaatnya secara
kuantitatif (Mangkoesobroto, 2001: 166).
c. Analisis ini tidak memiliki fleksibilitas tinggi, karena semua penghitungan
dilakukan secara kuantitatif. Hal ini menimbulkan interpretasi jika analisis ini
dilaksanakan terlalu jauh, pemerintah tidak lagi dilaksanakan oleh wakil wakil
rakyat yang membawa aspirasi rakyat, melainkan seakan akan dilaksanakan oleh
robot komputer (Mangkoesoebroto, 2001: 167).
Langkah yang ditempuh dalam menganalisis efisiensi suatu proyek melalui analisis
biaya manfaat yaitu dengan jalan menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek
yang akan dilaksanakan. Tahap selanjutnya menghitung manfaat dan biaya dalam nilai
uang, dan diteruskan dengan menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai
uang sekarang. Ada tiga metode untuk menganalisis manfaat dan biaya suatu proyek
yaitu nilai bersih sekarang antara lain (NPB = net present benefit), Internal Rate of
Return (IRR) dan perbandingan manfaat biaya (BCR = benefit- cost ratio). Pada proses
implementasi analisis kebijakan publik di Indonesia, CBA digunakan sebagai alat
utama dalam membuat evaluasi program atau proyek untuk kepentingan publik, seperti
87
manajemen sumber daya alam dan pengembangan sumber energi alternatif. Pada
umumnya analisis ini terintegrasi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) untuk mengevaluasi dampak suatu proyek atau program terhadap
lingkungan hidup. Oleh karena itu, Analisis ini tidak hanya melihat manfaat dan biaya
individu, tetapi secara menyeluruh memperhitungkan manfaat dan biaya sosial dan
selanjutnya dapat disebut sebagai analisis manfaat dan biaya sosial (Sugiyono, 2001).
NPB Nilai bersih suatu proyek merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek
dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan diperhitungkan
IRR (Internal Rate of Return) merupakan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi.
Suatu proyek/investasi dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya (rate of return)
lebih besar dari pada laju pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain.
Dalam metode penghitungan ini, tingkat diskonto dicari sehingga menghasilkan nilai
sekarang suatu proyek sama dengan nol. Rumus yang digunakan sebagai berikut.
Metode Perbandingan Manfaat dan Biaya (BCR) merupakan metode yang sering
digunakan dalam mengevaluasi sebuah investasi atau sebagai tambahan untuk
menvalidasi hasil evaluasi yang telah dilakukan dengan metode lain. Metode ini sangat
baik digunakan untuk sebuah investasi dalam proyek-proyek pemerintah yang
berdampak langsung terhadap masyarakat luas. Proyek yang dilaksanakan dalam
metode ini adalah proyek yang mempunyai angka perbandingan lebih besar dari satu.
Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
(Sugiyono, 2001)
88
Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) Dalam Pengambilan Kebijakan
Penanggulangan Kemacetan Di Jakarta
AHP dan ANP biasanya menggunakan data tingkat ordinal dengan menerapkan Skala Saaty
(1990) sebagai berikut
Skala Arti
1 Sama Penting (Equal importance)
3 Sedikit lebih penting (Moderate importance of one over another)
5 Lebih Penting
7 Sangat Penting (Strong Importance)
9 Mutlak sangat penting ( Absolutely very importance)
2,4,6,8 Nilai nilai tengah antara 2 nilai berdekatan
1/3-1/9 Nilai-nilai kebaikan (reciprocals).Bila aktifitas I bila dibandingkan
dengan
akitfitas j. mendapat salah satu nilai 1 s/d 9 aktifitas j mendapat
kebalikan nilai tersebut bila dibandingkan denga i
Sumber:Saaty,T.L “Ratio scales derives from perturbations of
consistent judgment”Behaviormetrika.1990.No.28,PP 1-2
Idowu (2016) menegaskan bahwa mayoritas kritik terhadap metodologi dalam studi
kasus. Kritik yang paling sering adalah ketergantungan pada kasus tunggal yang
menjadikannya tidak dapat digeneralisasi. Beberapa penelitian menggunakan judul studi
kasus, contoh penelitian Budi (2006) tentang studi kasus kekerasan terhadap perempuan
dalam rumah tangga di kota Yogyakarta kurang dapat memberi-kan gambaran
„bagaimana‟ kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi, tidak menyebutkan desain studi
89
kasus yang dimaksudkan, analisis data dilakukan secara kuantitatif. Demikian pula dengan
penelitian Nurmala, Anam & Suyono (2006) tentang studi kasus perempuan lesbian
(butchy) di Yogyakarta kurang dapat memberikan kesimpulan bagaimana dina-mika
psikologis perempuan lesbian yang dimaksud, sumber data tunggal berasal dari
wawancara, hasil penelitian belum merujuk pada parameter penelitian. Satu artikel
penelitian Novita & Siswati (2010) menggu-nakan terminologi desain studi kasus tunggal
dalam sebuah studi eksperimen pengaruh social stories terhadap ketrampilan sosial anak.
Demikian pula banyak peneli- tian yang menggunakan „studi kasus‟ di luar atrikel yang
digunakan dalam pemba-hasanini, untuk menjelaskan terminologi konteks atau tempat.
Selain hal tersebut studi kasus dalam studi kasus fokusnya terarah pada hal
yangkhusus atau unik. Kenunikan pada kasus berkaitan dengan :
a) Hakikat (the nature) kasus
b) Latar belakang sejarah kasus
c) Latar (setting) fisik
d) Konteks dengan bidang lain; ekonomi, politik, hukum, dan estetika
e) Mempelajari kasus-kasus lain yang berkaitan dengan kasus yang dipelajari
f) Informan-informan yang dipilih adalah orang-orang yang mengetahui kasus ini
sejak kemunculannya, jenis penelitian ini memperoleh banyak kritik karena dianggap
analisisnya lemah, tidak objektif dan penuh bias, tidak seperti penelitian kuantitatif yang
menggunakan statistik sebagai alat analisis. Sebab, realitanya Studi Kasus juga dapat
digunakan dalam metode penelitian kuantitatif, yakni Ex Post Facto Research. Dari penelitian
ini diharapkan dapat diambil pelajaran atau hikmah untuk generasi yang akan datang agar
tidak terulang. Namun demikian, untuk kepentingan disertasi penelitian Studi Kasus
diharapkan dapat menghasilkan temuan yang dapat berlaku di tempat lain jika ciri-ciri dan
kondisinya sama atau mirip dengan tempat di mana penelitian dilakukan, yang lazim disebut
sebagai transferabilitas. Tentu saja untuk dapat melakukan transferabilitas, temuan penelitian
harus diabstraksikan untuk menjadi konsep.
90
Bagaimana Studi Kasus Dilakukan?
Selain wawancara mendalam, ada lima teknik pengumpulan data penelitian Studi Kasus,
yakni dokumentasi, observasi langsung, observasi terlibat , dan artifak fisik. Masing-masing
untuk saling melengkapi. Inilah kekuatan Studi Kasus dibanding metode lain dalam
penelitian kualitatif. Selama ini saya melihat mahasiswa yang menggunakan Studi Kasus
hanya mengandalkan wawancara saja sebagai cara untuk mengumpulkan data, sehingga data
kurang cukup atau kurang melimpah. Sedangkan mendalam artinya peneliti tidak saja
menangkap makna dari sesuatu yang tersurat, tetapi juga yang tersirat. Dengan kata lain,
peneliti Studi Kasus diharapkan dapat mengungkap hal-hal mendalam yang tidak dapat
diungkap oleh orang biasa. Dalam pandangan paradigma fenomenologi, yang tampak atau
kasat mata pada hakikatnya bukan sesuatu yang riel . Itu hanya pantulan dari yang ada di
dalam. Tugas peneliti Studi Kasus ialah menggali sesuatu yang tidak tampak tersebut untuk
menjadi pengetahuan yang tampak. Karena itu dapat pula diartikan Studi Kasus sebagai
proses mengkaji atau memahami sebuah kasus dan sekaligus mencari hasilnya. Sejauh
pengamatan saya selama ini, dari tesis dan disertasi yang saya uji, para mahasiswa masih
gagal menangkap makna yang mendalam dari setiap kasus yang diangkat.
91
Mengapa Memilih Metode Studi Kasus?
Menggunakan istilah "Studi Kasus" artinya ialah peneliti ingin menggali informasi apa
yang akhirnya bisa dipelajari atau ditarik dari sebuah kasus, baik kasus tunggal maupun
jamak. Stake menyebutnya "what can be learned from a single case?. Begitu juga tidak setiap
pertanyaan bisa diangkat menjadi pertanyaan penelitian . Ada syarat-syarat tertentu,
sebagaimana dijelaskan di muka, agar sebuah peristiwa layak diangkat menjadi "kasus"
penelitian Studi Kasus. Begitu juga ada syarat- syarat tertentu agar sebuah pertanyaan bisa
diangkat menjadi pertanyaan penelitian.
Selain itu, Studi Kasus bisa dipakai untuk memenuhi minat pribadi karena ketertarikannya
pada suatu persoalan tertentu, dan tidak untuk membangun teori tertentu. Misalnya, tentang
kenakalan remaja, penyalahgunaan obat, fenomena single parents, dan sebagainya. Studi
semacam ini disebut sebagai Studi Kasus Intrinsik .
Menurut Lincoln dan Guba, sebagaimana dikutip Mulyana (2013: 201-202), keistimewaan
Studi Kasus meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Studi Kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni menyajikan
pandangan subjek yang diteliti.
2. Studi Kasus menyajikan uraian menyeluruh yang mirip dengan apa yang dialami
pembaca dalamkehidupan sehari-hari (everyday real-life).
3. Studi Kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara peneliti
dengan subjek atau informan.
4. Studi Kasus memungkinkan pembaca untuk menemukan konsistensi internal yang
tidak hanyamerupakan konsistensi gaya dan konsistensi faktual tetapi juga
keterpercayaan (trustworthiness).
5. Studi Kasus memberikan “uraian tebal” yang diperlukan bagi penilaian atas
transferabilitas.
6. Studi Kasus terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan bagi
pemaknaan atas fenomena dalam konteks tersebut.
92
Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus
b) Pembacaan Literatur
d) Pengumpulan Data
e) Penyempurnaan Data
f) Pengolahan Data
g) Analisis Data
i) Dialog Teoretik
Laporan Penelitian
Objektif artinya data yang diperoleh benar-benar dari subjek yang diteliti, bukan dari
peneliti dan pandangan peneliti. Secara garis besar batang tubuh karya ilmiah terdiri atas tiga
bagian utama, yaitu bagian awal , bagian pembahasan , dan bagian akhir . Bagian ini
memuat latar belakang/konteks, fokus/rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, lingkup penelitian, originalitas penelitian dan definisi operasional istilah-
istilah kunci. Yaitu :
3. Produk pembahasan.
Hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian terdiri atas tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan deskripsi atau gambaran tentang lokus penelitian di mana penelitian dilakukan. Sedangkan
mengikuti Metode ilmiah yang dimaksudkan ialah kegiatan penelitian mengikuti langkah-
langkah memperoleh pengetahuan ilmiah sesuai yang telah disepakati oleh para ilmuwan.
Memang juga terdapat beberapa versi tentang langkah memperoleh pengetahuan ilmiah.
93
Yaitu:
b. Pengembangan kepekaan teoretik dengan menelaah bahan pustaka yang relevan dan
hasil kajian sebelumnya.
a. Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang spesifik, unik dan hal-hal yang amat
mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus mampu mengungkap
makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
b. Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga memberi nuansa, suasana
kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang.
Kelemahan Studi Kasus.
Dari kacamata penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas,
reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat
diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang bertujuan untuk
mencari generalisasi. Riset merupakan kegiatan penerapkan metode scientific untuk
memahami suatu fenomena alam maupun sosial. Secara umum, metode sebuah penelitian
yang bersifat ilmiah akan dilakukan dengan tahapan: merumuskan masalah yang hendak
dijelaskan, membangun hipotesis, melakukan eksperimen/ observasi, uji hipotesis, dan
penarikan kesimpulan dan generalisasi.
Berdasarkan data yang dikumpulan tersebut, suatu riset kemudian dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif.
Sementara penelitian naturalistik atau kualitatif merupakan anti tesis dari metode penelitian
positivistik. Oleh karena itu penelitian kualitatif juga sering disebut sebagai penelitian post
positivistik. Berbeda dengan penelitian positivistik atau kuantitatif, penelitian naturalistik
atau kualitatif tidak memiliki bentuk design penelitian yang baku.
94
Latihan
Rangkuman.
Data merupakan komponen penting dalam analisis kebijakan karena data tersebut
akan ditransformasikan menjadi informasi yang menjadi basis pengambilan keputusan.
Untuk dapat memperoleh data, seorang analis kebijakan perlu melakukan riset. Setelah
itu data yang berhasil dikumpulkan tersebut dianalisis untuk tujuan membantu analis
dalam memahami masalah publik yang dianalisisnya agar menjadi lebih jelas. Karena
pentingnya data dalam analisis kebijakan, maka para pakar kemudian mengembangkan
sebuah gagasan yang disebut sebagai Evidence-Based Policy (EBP). Dengan
menggunakan pendekatan ini, seorang analis kebijakan diharapkan memiliki data yang
memadai untuk mendukung proses pengambilan keputusan, merancang pencapaian
target dantujuan kebijakan/program serta membantu dalam implementasinya.
Riset merupakan kegiatan penerapkan metode scientific (ilmiah) untuk memahami
suatu fenomena alam maupun sosial. Secara umum, metode sebuah penelitian yang
bersifat ilmiah akan dilakukan dengan tahapan: (i) merumuskan masalah yang hendak
dijelaskan, (ii) membangun hipotesis, (iii) melakukan eksperimen/ observasi, (iv) uji
hipotesis, dan (v) penarikan kesimpulan dan generalisasi. Seorang analis kebijakan perlu
memahami bahwa pekerjaan mereka membutuhkan informasi, data, dan evidences
(bukti-bukti) terkait dengan masalah publik yang harus mereka pecahkan. Berdasarkan
data yang dikumpulan tersebut, suatu riset kemudian dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif. Penelitian yang
bersifat kuantitatif juga disebut sebagai penelitian positivistik yang merujuk pada suatu
terminologi ketika manusia dapat menjelaskan peristiwa yang ada di sekitarnya dengan
penjelasan yang ilmiah denganmencari hubungan kausalitas antara sebab dan akibatnya.
95
96
BAB VIII
MODEL DAN TEHNIK ANALISIS KEBIJAKAN
Agenda Setting
Istilah agenda – setting mengandung dua kata kunci, yaitu „agenda‟ dan „setting‟ (aktivitas
penyiapannya). Agenda bisa dikatakan berisi berbagai hal atau kegiatan yang dianggap penting
dan layak mendapatkan prioritas dari pemilik agenda. Karena itu agenda – setting bisa
dikatakan merupakan proses di mana si pemilik agenda tersebut menyusun berbagai hal dan
kegiatan dalam skala prioritas yang didasarkan pada kepentingan si pemilik agenda.
Agenda setting adalah suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilahirkan, yaitu
bagaimana isu-isu (issues) itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindaklanjuti
berupa tindakan-tindakan pemerintah. Banyak isu yang masuk ke pemerintah, yang
diharapkan agar pemerintah segera mengambil tindakan, ternyata pemerintah tidak bertindak
sesuai dengan keinginan masyarakat. (Howlett and Ramesh, 1995). Isu-isu atau masalah-
masalah itu dapat timbul karena keinginan atau desakan dari masyarakat. Tetapi dalam
kenyataannya, sebelum masalah-masalah tersebut dipertimbangkan untuk dipecahkan, harus
melalui suatu proses yang kompleks.
Pada dasarnya, agenda setting adalah tentang pengenalan masalah, yang dihadapi oleh
instansi-instansi pemerintah. Sedangkan Cob and Ross, Seperti dikutip oleh Howlett and
Ramesh (1995), mendefinisikan agenda setting sebagai “proses di mana keinginan-keinginan
dari berbagai kelompok dalam masyarakat diterjemahkan ke dalam butir-butir kegiatan agar
mendapat perhatian serius dari pejabat-pejabat pemerintah”.
Salah satu kompleksitas utama proses setting agenda publik adalah kompleksitas publik itu
sendiri. Yang namanya publik ini merupakan kumpulan berbagai kepentingan, yang seringkali
tidak konvergen satu sama lain; bahkan tidak jarang berkonflik satu sama lain. Agenda setting
bisa dimaknai sebagai: Proses mengedepankan masalah untuk ditangani oleh pemerintah,
Proses seleksi permasalahan untuk ditangani oleh pemerintah, dan penyaringan Isu. Policy-
makers justru harus mengelola dinamika berbagai kekuatan politik yang ada agar bisa
mengerucut sebagai agenda kelembagaan yang ditangani pemerintah. Aktivitas analis dalam
proses agenda- setting adalah aktivitas yang bersifat aktif dan purposive. Agenda-setting adalah
permasalahan menentukan prioritas bagi dirinya sendiri dalam hubungannya dengan aktor-
aktor lain yang terlibat dalam perebutan prioritas agenda. Dalam ini, Agenda–setting bisa
dimaknai sebagai proses mengarahkan kebijakan melalui jendela-jendela kebijakan yang
muncul sebagai akibat dari dinamika politik yang terjadi dalam proses agenda – setting,
(Kingdon, 1995, Chap.1).
97
pemerintah tersebut semata-mata menggambarkan masalah masalah atau isu-isu yang
dihadapi oleh pembuat kebijakan. (Islamy, 2001).
• Cobb and Elder (Islamy 2001 Howlett and Ramesh 1995), membedakan antara
“Systemic Agenda” dan “Governmental Agenda”. Systemic Agenda (agenda
sistemik) terdiri atas isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota
masyarakat politik sebagai pantas mendapat perhatian dari pemerintah dan mencakup
masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintahan
masing-masing. Cobb and Elder, ada tiga prasyarat agar isu (policy Issue) masuk
agenda sistemik, yaitu :
Isu itu memperoleh perhatian yang luas atau sekurang-kurangnya menumbuhkan
kesadaran masyarakat.
Adanya persepsi atau pandangan masyarakat bahwa perlu dilakukan beberapa
tindakan untuk memecahkan masalah itu.
Adanya persepsi yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan
kewajiban dan tanggungjawab yang sah dari pemerintah untuk memecahkannya.
Proses pengambilan keputusan adalah proses memilih salah satu yang terbaik di antara
sekian alternatif. Model dan teknik pengambilan keputusan digunakan untuk menganalisa,
mencari informasi, terkait berbagai alternatif yang ada dan informasi tersebut digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan.
Setiap hari, setiap orang dihadapkan pada situasi yang mengharuskannya mengambil
keputusan. Dalam situasi tersebut, orang dihadapkan pada sekian alternatif, tetapi karena
keterbatasan sumber daya yang dimilikinya, seringkali orang harus memilih hanya satu atau
beberapa saja dari sekian banyak alternatif tersebut. Karenanya, sebelum mengambil
keputusan, orang biasanya akan mengumpulkan informasi untuk mengidentifikasi alternatif
yang dianggapnya paling baik di antara alternatif yang lain.
Situasi serupa juga terjadi dan dihadapi oleh negara dalam proses pengambilan keputusan
kebijakan. Karena terbatasnya sumber daya, negara atau pemerintah tidak bisa mengambil
semua alternatif tersebut menjadi keputusan kebijakan. Dalam situasi seperti ini, pembuat
98
keputusan harus memilih salah satu atau beberapa alternatif, yang dianggap tepat untuk
mengatasi problem yang dihadapi, untuk dijadikan sebagai keputusan kebijakan.
Permasalahannya, rumusan tentang permasalahan yang dihadapi tidak selalu sama,
sehingga tidak ada ukuran yang baku untuk menentukan apakah suatu alternatif tepat
untuk menjawab suatu permasalahan atau tidak. Kompleksitasnya tidak hanya sekedar rumusan
masalah yang berbeda, lebih dari itu, ada sekian banyak model dan teknik pengambilan
keputusan yang tersedia dan sampai sekarang, tidak ada kesepakatan, model dan teknik mana
yang paling benar atau paling baik di antara sekian banyak model.
„‟Penentuan pilihan di antara berbagai alternatif kebijakan yang telah ditawarkan, yang
konsekuensi-nya masing-masing telah diperkirakan. Bagian ini bisa dikatakan sebagai
bagian dari proses kebijakan yang watak politiknya paling jelas, karena dari sekian banyak
potensi solusi suatu masalah, sebagian harus ditolak dan satu atau beberapa yang lain
dipilih dan digunakan. Jelas di sini pilihan yang harus diambil tidaklah mudah dan
keputusan untuk tidak melakukan apa-apa seringkali menjadi salah satu alternatif solusi
yang kuat‟‟.
Definisi Brewer dan De Leon tentang pengambilan keputusan di atas didasarkan pada
asumsi bahwa setiap alternatif telah diperkirakan konsekuensinya. Situasi demikian, sayangnya
tidak selalu, bahkan jarang sekali, ditemui dalam praktek nyata pengambilan keputusan kebijakan.
Dalam hal tidak ada informasi yang lengkap tentang konsekuensi dari setiap alternatif yang
ada, pengambilan keputusan didasarkan lebih pada perkiraan dan ramalan saja. Ini berarti
memasukkan elemen ketidakpastian dalam pengambilan keputusan kebijakan. Definisi
pengambilan keputusan Brewer dan De Leon juga melihat bahwa fenomena proses
pengambilan keputusan adalah fenomena yang bersifat politik. Brewer dan De Leon melihat
bahwa dimensi politik dari fenomena ini disebabkan oleh adanya alternatif yang harus
ditinggalkan dan ada alternatif yang diambil sebagai keputusan kebijakan.
Dimensi politik dalam proses pengambilan keputusan terjadi sejak proses perumusan
masalah. Proses pengambilan keputusan melibatkan sejumlah kepentingan yang berbeda-beda
dan masing-masing mendefinisikan situasi permasalahan secara berbeda-beda. Ini berujung ada
sekian banyak rumusan masalah yang tidak selalu kongruen satu sama lain. Ujungnya,
alternatif solusi yang muncul dari berbagai rumusan masalah tersebut, bisa jadi menjadi solusi
bagi satu pihak, tetapi menjadi ancaman bagi pihak lain. Oleh sebab itu, proses pengambilan
keputusan menjadi sebuah proses yang kental dengan dimensi politik.
Terdapat tiga model dasar kebijakan yang biasa dipakai baik untuk menjelaskan maupun
menganalisa pengambilan keputusan kebijakan. Tiga model dasar pengambilan keputusan itu
adalah, Rational – Comprehensive; Mixed – Scanning; dan Garbage – Can. Perbedaan utama di
antara ketiganya adalah pada penjelasan mereka tentang bagaimana proses pengambilan
keputusan berlangsung. Model Rational – Comprehensive melihat bahwa pengambilan keputusan
berlangsung sebagai proses yang sistematis dan didasarkan pada perhitungan rasional dengan
99
tujuan yang diasumsikan selalu jelas.7
Di kutub yang berlawanan, ada pendekatan Garbage – Can yang melihat bahwa proses
pengambilan keputusan lebih didasarkan pada nalar kebiasaan atau kelaziman, dan sedikit sekali
mempertimbangkan hal-hal terkait dengan efektivitas dan efisiensi keputusan. Ini disebabkan
karena model ini mengasumsikan bahwa realitas proses pengambilan keputusan lebih sering berada
dalam situasi di mana informasi tidak tersedia secara lengkap, tujuan pengambilan keputusan
seringkali kabur, waktu yang terbatas, dan masing-masing aktor yang terlibat memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Model Garbage – Can melihat bahwa dalam situasi demikian,
tidak mungkin pengambil keputusan melakukan pertimbangan yang menyeluruh dan cermat untuk
semua alternatif yang ada.
Di antara keduanya, kita bisa temui ada pendekatan Mixed – Scanning yang berusaha
menjembatani dua kutub ekstrem yang diwakili oleh dua model dasar sebelumnya. Dalam
model Mixed – Scanning, dalam proses pengambilan keputusan para decision makers melakukan
scanning secara cepat untuk menjaring alternatif-alternatif yang “biasa” diambil dalam situasi-
situasi kebijakan yang relatif serupa. Selanjutnya, alternatif-alternatif yang terjaring dianalisis
dengan logika rasional untuk mendapatkan pilihan yang dianggap paling tepat dan sesuai
dengan kebiasaan yang ada. Analisis dengan logika rasional ini juga tidak mungkin
mencakup seluruh informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan keputusan yang ideal.
Kedua langkah ini dilakukan untuk menyiasati keterbatasan informasi, waktu, sumberdaya,
dan perbedaan rumusan permasalahan di antara aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan
keputusan.
Mengkaji Lingkungan
KEPUTUSAN
100
Dalam melakukan analisis dengan instrumen SWOT Analysis langkah-langkah dasar
yang umum digunakan dalam SWOT Analysis ialah seperti yang dipaparkan di bawah ini.
• Langkah 1,”Scan” of the environment of the programme
Langkah ini memungkinkan untuk melakukan deteksi terhadap trend dan masalah umum
yang sekiranya akan mempengaruhi masa depan teritori dibawah pertimbangan. Dalam
langkah 1 ini digunakan socio- demographic, economic, political and physical indicators.
Indikator kesenjangan regional berguna untuk mengidentifikasi berbagai peluang dan ancaman
yang ada. Namun demikian, langkah 1 ini jangan sampai menyita banyak energi sehingga
dilakukan secara cepat dan sepintas (scan).
• Langkah 2, The preparation of an inventory of possible actions
Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai alternatif tindakan yang
mungkin untuk dilakukan. Masing-masing alternatif dirumuskan dalam term-term yang
umum dalam hubungan dengan masalah utama yang sudah teridentifikasi.
• Langkah 3, The external analysis of opportunities and threats
Langkah ini terdiri dari mendaftar parameter dari lingkungan yang tidak dalam kontrol
langsung pembuat kebijakan dan diasumsikan akan sangat mempengaruhi
pembangunan sosio ekonomi.
• Langkah 4, Internal analysis of strengths and weaknesses
Langkah ini melibatkan pengidentifikasian faktor-faktor yang setidaknya berada di
bawah kontrol otoritas pembuat kebijakan, yang kemungkinan bisa mendorong atau,
sebaliknya, menghambat perkembangan.
• Langkah 5, Classification of possible actions
Langkah ini dilakukan dengan menyusun berbagai alternatif tindakan yang ada
dalam skala prioritas, yang didasarkan pada panduan strategis, yang dianggap paling
berpeluang menanggulangi permasalahan, dengan memfokuskan pada kekuatan
sembari mengurangi, atau bahkan menghilangkan kelemahan. Harapannya, dengan
kekuatan yang semakin besar, dan sebaliknya kelemahan semakin kecil, semakin
besar kesempatan dan semakin kecil resiko yang dihadirkan oleh lingkungan
eksternal.
• Langkah 6, Evaluation of a strategy
Langkah ke-6 ini bersifat opsional. Langkah ini dilakukan jika dianggap perlu
menimbang relevansi sebuah strategi yang sudah diimplementasikan atau sedang
direncanakan. Langkah ini bisa didesain berdasarkan sebuah analisis „aktivitas
portofolio‟.
Dalam melakukan analisis SWOT, analis perlu membuat semacam peta intervensi
yang dibangun berdasarkan dua poros utama, yaitu (1) poros fisibilitas internal,
mencakup kekuatan dan kelemahan, dan (2) lingkungan eksternal, yang mencakup
kesempatan dan ancaman. Peta itu bisa digunakan untuk mempertimbangkan relevansi
suatu strategi atau keputusan yang akan atau sudah diambil.
Hasil pemetaan di atas akan memunculkan strategi-strategi seperti terdapat dalam
Tabel VII.1.
• S-O Strategies : mengejar Opportunity yang sesuai dengan Strength
• W-O Strategies : mengatasi Weakness untuk mengejar Opportunity
• S-T Strategies : identifikasi cara yang dapat digunakan dalam rangka menggunakan
Strength untuk mengurangi external Threat
• W-T Strategies : menyusun rencana untuk mencegah kelemahan yang semakin besar
akibat ancaman dari luar.
101
Strength Weakness
102
Model Garbage-Can dalam Analisa Pengambilan Keputusan Kebijakan
Model Garbage - Can, secara umum, ada beberapa asumsi dasar yang menjadi
prasyarat bekerjanya model Garbage - Can dalam proses pengambilan keputusan
kebijakan.Tujuan pengambilan keputusan kebijakan, ada kejelasan alternatif-alternatif
keputusan kebijakan, informasi tersedia secara lengkap, dan aktor-aktor yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan, setidaknya, memiliki kesepakatan akan tujuan dari
pengambilan keputusan tersebut. Ini bisa kita sebut sebagai situasi pengambilan keputusan
yang ideal.
103
Pertama, dinyatakan bahwa model Garbage - Can „tidak‟ mengandaikan bahwa proses
pengambilan keputusan kebijakan berjalan dalam proses yang acak, di mana pengambil
keputusan secara serampangan mengambil satu isu sebagai permasalahan dan kemudian
mencocokannya dengan satu solusi yang dipilih dengan cara yang sama. Model Garbage -
Can sama sekali tidak menggambarkan proses seperti itu.
Kedua, dalam model Garbage - Can, asumsi yang paling dasar adalah bahwa seluruh
proses pengambilan keputusan terjadi dalam sebuah konteks kelembagaan tertentu. Konteks
kelembagaan tersebut mencakup pula nilai, norma, kebiasaan, dan aturan-aturan, baik tertulis.
Tatanan ini menjadi bagian dari kesadaran rutinnya, sehingga dalam nalar masing-masing
individu muncul gambaran tentang apa yang seharusnya saya lakukan dan apa yang
seharusnya tidak saya lakukan. Kadang proses pelembagaan nilai dan norma kebiasaan itu
muncul dalam bentuk dibuatnya peraturan tertulis. Namun, ternyata, peraturan tidak tertulis
inilah yang mengkerangkai sebagian besar perilaku manusia, termasuk dalam proses
pengambilan keputusan kebijakan. Maka model Garbage - Can ini, bahkan proses
pengambilan keputusan tersebut, menjadi sama sekali tidak relevan. Dalam konteks
kelembagaan tertentu seperti dicontohkan di atas, model Garbage – Can melihat bahwa
proses pengambilan keputusan adalah proses mencocokkan antara permasalahan, solusi,
partisipan dan choice - opportunity. Ini bisa digambarkan dengan ilustrasi orang memasukkan
sampah; berupa problem,berbagai alternatif solusi, serta energi yang dimiliki; ke dalam
keranjang sampah; yaitu konteks kelembaaan yang ada, dan berharap bahwa rangkaian
problem dan solusinya, yang sesuai dengan konteks kelembagaan dan energi yang dimiliki,
akan muncul dari keranjang sampah tersebut.
104
keseharian dan selalu menjadi acuan bagi sebagian besar orang ketika dihadapkan pada
situasi yang dianggap mirip.
1. Model Mixed-Scanning
Model Mixed-Scanning muncul sebagai upaya untuk menjembatani dua kutub ekstrim Model
Rational-Comprehensive dan Model Garbage-Can. Asumsi dasar yang digunakan dalam Model
Mixed-Scanning merupakan gabungan antara Model Rational-Comprehensive dan Model Garbage-
Can.
Model Mixed-Scanning mengakui kebenaran asumsi Model Rational- Comprehensive yang
menyatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, manusia menggunakan perhitungan-
perhitungan rasional. Namun, Model Mixed-Scanning juga mengakui bahwa fenomena proses
pengambilan keputusan seringkali terjadi dalam situasi yang mendesak, di mana tidak ada cukup
waktu untuk melakukan perhitungan- perhitungan rasional secara komprehensif.
Model Mixed-Scanning juga mengadopsi dan mengakui kebenaran asumsi Model Garbage –
Can. Model Mixed-Scanning melihat bahwa, dalam kenyataannya, fenomena proses pengambilan
keputusan terjadi tidak sebagai sebuah proses tunggal, tetapi sebagai bagian dari hiruk pikuk
sebuah proses besar yang sulit diurai ujung-pangkalnya. Dalam situasi tersebut ada berbagai
masalah yang harus direspons, solusi yang harus ditemukan permasalahannya, dan kepentingan
yang harus diakomodasi. Ini menggambarkan situasi organized anarchy, yang menjadi asumsi dasar
Model Garbage – Can tentang situasi proses pengambilan keputusan kebijakan.
Model Mixed-Scanning menggabungkan dua model itu dengan membangun asumsinya
sendiri yang melihat bahwa proses pengambilan keputusan kebijakan, tidak didasari sepenuhnya
oleh perhitungan- perhitungan rasional; tetapi juga tidak sepenuhnya terjadi dalam situasi yang
„anarkis‟. Masih ada kerangka rasionalitas yang membingkai hiruk pikuk tujuan, solusi, dan
kepentingan yang berputar dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.
Perbedaannya dengan Model Rational-Comprehensive, Model Mixed- Scanning mengakui bahwa
105
setiap aktor kebijakan yang terlibat memiliki rasionalitasnya sendiri dan tidak bisa direduksi
oleh rasionalitas teknokratis seperti dalam Model Rational-Comprehensive. Rasionalitas, dalam
pemahaman Model Mixed-Scanning, bukanlah sesuatu yang bersifat mendaku kebenaran
tunggal, melainkan bagian dari komoditi yang dipertukarkan dengan rasionalitas yang lain
dalam proses politik pengambilan keputusan kebijakan.
Karenanya, formulasi kebijakan, dalam Model Mixed – Scanning tidak dipandang
sebagai sesuatu yang baku serta diaplikasikan secara kaku dalam keseluruhan proses
kebijakan. Formula kebijakan lebih dipandang sebagai sebuah bingkai untuk mengarahkan
proses tawar menawar, adaptasi, akomodasi, yang terjadi secara terus-menerus dalam proses
kebijakan.
Artinya, upaya Model Mixed-Scanning menjembatani Model Rational-Comprehensive dan
Model Garbage-Can dilakukan dengan cara membangun kompromi antara substansi rasional dari
proses kebijakan dengan konteks anarkis yang meliputi proses kebijakan.
106
termasuk implementasi, berlangsung. Grinddle mengidentifikasi elemen dari policy context ini
meliputi: kekuatan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik rezim dan
institusi; dan kepatuhan dan responsivitas. Elemen-elemen yang ada di dalam variabel policy
context ini merupakan hal-hal yang cenderung diabaikan ketika orang terlalu naïf dengan
pendekatan teknokratis- administratif, karena diasumsikan bahwa semua orang akan patuh dan
tidak ada hal yang kontroversial dengan policy content. Namun dalam kenyataannya, policy
content yang tidak kompatibel dengan konteks-nya bisa menuai resistensi yang membuyarkan
seluruh keputusan kebijakan, bahkan yang paling teknokratis sekalipun. Model ini mengajak para
analis untuk memberikan perhatian yang selayaknya pada dimensi policy context.
Sub-variabel yang ada di dalam variabel content kebijakan di atas menjadi faktor yang
menentukan ketika disadari bahwa implementasi kebijakan selalu terjadi dalam konteks sosial,
politik, dan ekonomi tertentu. Sehingga dalam proses dan analisa implementasi kebijakan,
konteks menjadi variabel kedua yang perlu diperhitungkan.11 Misalnya, ketika melakukan upaya
administratif untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, implementor juga, mau tidak mau,
harus berinteraksi dengan aktor kebijakan lain. Aktor-aktor lain ini ikut menentukan kinerja
dan hasil dari kebijakan yang diimplementasikan.
Interaksi ini, dengan derajat yang bervariasi, niscaya akan melibatkan proses-tawar
menawar, akomodasi dan konflik. Hal ini menunjukkan bagaimana proses implementasi juga
merupakan proses yang bersifat politis, disamping administratif. Dua karakter, politis dan
administratif, dari proses implementasi ini diperlihatkan oleh Grindle dalam Bagan.1.
Menurut Hogwood dan Gunn ada dua perspektif umum dalam proses implementasi
kebijakan, yaitu pendekatan top – down dan pendektan bottom - up. Singkatnya, perspektif top-
down melihat proses implementasi sebagai sebuah proses yang ditentukan dari atas, berjalan
dalam secara konsekuental dalam tahap-tahap yang sudah ditentukan. Implementasi kebijakan
dilakukan menurut prosedur dan petunjuk yang ditetapkan dari atas. Dalam praktek
kebijakan di Indonesia fenomena ini bisa kita temui dalam Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan
Petunjuk Teknis (Juknis) yang biasanya menyertai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, baik di level pusat maupun daerah. Prosesnya bukanlah sebuah proses yang bersifat
konsekuental, namun berlangsung dalam proses tawar-menawar yang terjadi terus menerus antar
berbagai aktor kebijakan. Intinya, perspektif ini, alih-alih menekankan pada ketepatan dan
pedanticism-teknokratis, lebih mengandalkan pada inisiatif, pengetahuan, dan kemampuan belajar
dan beradaptasi dari masyarakat sebagai stakeholders dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan. Tabel di bawah ini. memberikan gambaran lebih detil tentang perbedaan antara
perspektif Top – Down dan Bottom – Up.
107
dipandang hanya mandiri masyarakat
sebagai obyek
kebijakan
108
Menurut, Grindle, terkait dengan content atau substansi kebijakan, setidaknya ada enam
faktor yang harus diamati dalam melakukan analisa kebijakan. Enam faktor itu adalah:
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan yang akan diimplementasikan. Ketika
kebijakan dipahami sebagai sebuah intervensi terhadap suatu situasi yang telah ada
sebelumnya, harus disadari bahwa dalam situasi tersebut sudah ada sistem yang berjalan,
lengkap dengan nilai dan aktor-aktor yang terlibat didalamnya. Aktor-aktor tersebut
tentu saja memiliki kepentingan dengan situasi yang ada pada saat itu. Jika keberadaan
keputusan kebijakan yang akan diimplementasikan ternyata berimplikasi negatif dengan
kepentingannya, tentunya akan muncul resistensi dari para aktor tersebut, dan bisa
menggagalkan proses implementasi dan tercapainya tujuan kebijakan.
2. Tipe manfaat yang diterima. Tipe manfaat dari kebijakan yang diterima juga
berpengaruh pada keberasilan proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan
yang diinginkan. Setelah kita menyadari bahwa dalam setting di mana kebijakan akan
diimplementasikan terdapat banyak aktor dengan kepentingannya masing-masing, tentu
kita, sebagai analis, juga harus sadar bahwa masing-masing aktor memiliki kepentingan
yang berbeda-beda terhadap kebijakan yang akan diimplementasikan.
3. Derajat perubahan yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan yang akan
diimplementasikan. Analis harus memahami derajat potensi perubahan yang
ditimbulkan sebagai akibat dari intervensi kebijakan terhadap situasi yang ada. Dalam
banyak kasus, substansi kebijakan yang memproyeksikan perubahan yang mendasar terhadap
situasi yang ada, cenderung mendapatkan resistensi yang lebih kuat, sehingga memiliki
potensi yang lebih besar untuk gagal. Analis harus mampu membaca kemungkinan ini
untuk bisa membangun sebuah desain implementasi kebijakan yang aplikabel.
4. Letak pengambilan keputusan. Analis harus memper- hitungkan konsekuensi dari isi
formula kebijakan terhadap letak pengambilan keputusan untuk implementasi kebijakan
dan siapa saja yang akan menjadi aktor kunci pengambilan keputusan pada proses
implementasi. Ingat, proses implementasi tidak hanya proses administratif yang tinggal
menjalankan apa yang sudah dinyatakan dalam formula, tetapi juga melibatkan proses
tawar menawar, akomodasi, dan konflik dengan aktor yang beragam.
5. Implementor program. Analis perlu memahami dan memperhitungkan konsekuensi
dari keputusan tentang siapa yang akan menjadi implementor program. Selain berkaitan
dengan masalah teknis, seperti kompetensi dari si implementor, untuk faktor ini seorang
analis perlu memahami bahwa di antara para implementor program, baik itu di
kalangan agensi aparatus pemerintah maupun kelompok-kelompok di masyarakat,
109
seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan. Implementasi kebijakan bisa gagal, atau
memberikan hasil yang tidak maksimal karena adanya tarik menarik-kepentingan ini.
Karenanya, dalam membangun desain implementasi kebijakan, khususnya dalam
merekomendasikan implementor program, seorang analis perlu jeli dan peka dalam melihat
relasi antar aktor kebijakan.
6. Sumber daya yang tersedia. Implementasi kebijakan mengimplikasikan adanya
kebutuhan akan resource. Tingkat kebutuhan akan resource seringkali juga dipengaruhi
oleh pilihan strategi dan instrumen implementasi kebijakan. Dalam kalkulasi rasional,
pilihan strategi dan instrument kebijakan biasanya juga harus dianalisa dalam relasinya
dengan variabel sumberdaya yang tersedia, disamping variabel efektivitas dari berbagai
pilihan strategi dan instrument implementasi yang tersedia.
6. Analisis Monitoring Kebijakan
110
dievaluasi berdasarkan informasi yang akurat dan reliabel, yang berarti menunjang
obyektivitas evaluasi terhadap kebijakan yang bersangkutan.
Proses kebijakan yang bersifat top - down cenderung melihat proses kebijakan sebagai proses
yang tujuannya telah ditetapkan sejak awal secara jelas dan definitif. Sementara proses
kebijakan yang bersifat bottom – up, tujuan kebijakan harus selalu dinegosiasikan dan kesepakatan
harus selalu dibangun kembali sepanjang proses kebijakan masih berlangsung. Sehingga
perubahan rumusan dan formula kebijakan bisa berubah-ubah sesuai dengan dinamika
interaksi antara aktor-aktor yang terlibat dan konteks mengingatkan kepada mahasiswa bahwa
pemaparan tentang monitoring kebijakan di atas memang lebih relevan digunakan pada proses
kebijakan yang bersifat top - down dan cenderung menggunakan asumsi teknokratis, dan kurang
relevan jika digunakan pada proses kebijakan yang bersifat bottom – up.
Analisa monitoring dibutuhkan untuk memproduksi informasi, pengetahuan, dan
mengembangkan metode monitoring kebijakan yang sangat diperlukan agar desain dan
instrumentasi monitoring suatu kebijakan bisa kompatibel dengan proses kebijakan secara
keseluruhan. Selain lensa teknokratis, monitoring kebijakan juga bisa dibaca dari lensa politis.
Seperti telah diketahui sebelumnya, proses kebijakan tentunya melibatkan berbagai aktor dan
kepentingan yang berbeda- beda. Bagi aktor-aktor kebijakan ini, baik yang berkepentingan
dengan diinisiasi atau di-drop-nya suatu kebijakan, proses dan hasil monitoring tentunya
menjadi sebuah arena dan instrumen politik untuk memaksimalkan kepentingan mereka dalam
proses kebijakan yang berlangsung.
Fungsi monitoring di sini, termasuk yang melekat pada DPR; dengan metode dan
instrumen tertentu, bertujuan memastikan bahwa proses kebijakan, kegiatan yang
dilaksanakan, dan dana yang digunakan, dipakai sebagaimana direncanakan dan membawa
pada tujuan yang ingin dicapai. Fungsi monitoring yang dilakukan, bisa dikatakan masih
bersifat teknis-administratif. Namun, perlu dicatat bahwa hasil monitoring yang dilakukan akan
mempengaruhi hasil evaluasi kebijakan. Karena itu, tidak mengherankan proses dan fungsi
monitoring kebijakan juga memiliki muatan politis yang tinggi.
Perbedaan utama antara monitoring dan evaluasi terletak pada logika penilaian terhadap
proses kebijakan yang berlansung. Monitoring kebijakan lebih didasarkan pada logika praktis
– pragmatis, terkait detil pelaksanaan prinsip dan desain kebijakan yang sudah digariskan.
Sementara, evaluasi kebijakan lebih didasarkan pada logika strategis, terkait dengan dampak
yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan.
Proses monitoring memiliki beberapa fungsi fundamental dalam praktek kebijakan negara,
yaitu:
111
• Penajaman dan atau pengalihan prioritas dan alokasi anggaran dan belanja pemerintah
kepada program dan kebijakan yang dimaksud. Atau dengan kata lain, sejauh mana
alokasi dan prioritas anggaran dapat difokuskan kepada sasaran dan target kebijakan
secara akurat.
• Memastikan belanja pemerintah sudah sesuai atau sudah taat azas
dengan rencana aksi yang telah dibuat.
Selain fungsi fundamental yang bersifat teknis administratif tersebut, dalam rezim yang
demokratis, proses monitoring juga diharapkan untuk mampu memenuhi fungsi partisipatif yang
menjadi perwujudan dari kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi representatif, fungsi monitoring
juga menjadisebuah fungsi yang bersifat representatif, sehingga, seharusnya DPR maupun
DPRD mengkonsilidasikan fungsi-fungsi yang ada di masyarakat, memetakan kekuatan-
kekuatan di masyarakat, kemudian memberikan akses untuk ikut melakukan fungsi monitoring
kebijakan negara. Tetapi dalam prakteknya, kita jarang menemukan adanya metode dan
instrumentasi yang digunakan secara tepat guna oleh pemerintah untuk menjalankan
pengawasan dalam logika besar seperti itu. Pengawasan cenderung dilakukan secara parsial dan
lebih berorientasi pada masalah teknis.
ANALISIS KEBIJAKAN
Evaluasi kebijakan, seperti tahap-tahap lain dalam proses kebijakan, merupakan proses
politik, yang melibatkan para birokrat, politisi dan fihak-fihak di luar pemerintah. Evaluasi
merupakan kegiatan yang sulit, karena tujuan kebijakan itu sendiri sering dirumuskan secara
luas, sehingga sulit menyusun indikator-indikatornya. Ada beberapa bentuk evaluasi
kebijakan, yaitu Evaluasi Administratif, Evaluasi Yudisial dan Evaluasi Politis.
112
yang dihasilkan kebijakan. Kesulitan ini terkait erat dengan masalah metodologis yang
dihadapi dalam pengambilan keputusan kebijakan, yaitu:
Keragaman dimensi dari berbagai tujuan kebijakan
Informasi yang sangat tidak lengkap
Keragaman alternatif untuk bisa menentukan dampak-dampak yang ditimbulkan dari
tiap alternatif
Keterbatasan yang beragam dan, bisa jadi, saling berkonflik satu sama lain
Kebutuhan akan kesederhanaan dalam menggambarkan dan mempresentasikan
kesimpulan di tengah-tengah kompleksitas- kompleksitas di atas
Ini berpengaruh terhadap penentuan kriteria apa yang digunakan untuk melakukan evaluasi.
Misalnya, kalau pemerintah ingin kebijakan untuk mengatasi kemiskinan, apakah cukup hanya
dengan membagi- bagikan uang kepada orang miskin? Kemudian, ketika ada orang kaya,
apakah kayanya orang tersebut karena sesuatu hal yang dilakukan pemerintah? Kita juga bisa
melihat gambaran proses evaluasi program pemerintah yang lazim dijalankan. Misalnya
pemerintah membuat proyek “A”, evaluasinya hanyalah soal berapa dana yang telah
dianggarkan, pelaksananya diberikan kepada PT “X” yang telah menang tender, capaiannya
atau output-nya. Namun, bagaimana dampak dari proyek “A” tersebut tidak pernah dibicarakan.
Padahal hal paling fundamental dari evaluasi kebijakan itu adalah mencermati apakah
kebijakan tersebut bisa menghasilkan dampak yang diharapkan atau tidak. Ketika proses
pelacakan berbagai output dan reaksi antar output itu tidak sama, maka kita tidak bisa
menentukan outcome-nya dengan baik.
Persoalan paling serius jika seseorang ingin mengevaluasi kebijakan dengan cara teknokratis
adalah memastikan bahwa dampak kebijakan itu betul-betul berasal dari kebijakan yang dibuat.
Pemerintah biasanya melakukan simplifikasi ketika melakukan evaluasi. Simplifikasi itu
adalah kecenderungan mereka untuk kesulitan membedakan antara output, outcome dan
impact. Pemerintah seringkali kesulitan untuk membedakan antara output dan outcome. Hal ini terjadi
karena ketika pemerintah memahami proses yang dianalisis, yang diperhatikan itu hanya proses di
dalam tubuh pemerintah itu sendiri. Ini cara pandang yang disebut sebagai state centric. Pemerintah
ketika menganalisis proses, yang dianalisis adalah proses pembukuan, proses penganggaran,
proses pengorganisasian dan seterusnya, sementara proses yang terjadi di masyarakat nyaris tak
tersentuh. Cara pandang teknokratis itu punya kelemahan bahwa dia bekerja mulai dari input,
proses, dan produk. Akan tetapi, ketika dia mulai bekerja di gambar kuning, itu dia tidak seksama,
tidak memperhatikan proses-proses sosial di luar pemerintahan yang seringkali justru bisa
113
mementahkan keadaan.
Ketika melakukan evaluasi sangat penting menganalisis berbagai proses sosial yang
berlaku, salah satu caranya adalah dengan menggunakan empat instrumen kebijakan.
Pemahaman tentang perilaku masyarakat menjadi sangat penting justru karena ada resistensi
masyarakat. Ketidaksukaan masyarakat terhadap kebijakan yang hendak dicapai itu bisa
ditangkap ketika mengamati proses-proses partisipasi masyarakat. Ada yang berpartisipasi
positif (mendukung), namun ada yang partisipasi negatif (melawan). Partisipasi atau respons
masyarakat itu sebenarnya tidak harus dikontraskan dengan pendekatan teknokratis yang
acapkali abai terhadap hal ini. Namun, partisipasi menjadi penting untuk disoroti karena
proses kebijakan, sejauh yang kita cermati sampai saat ini, cenderung dipahami hanya
sebagai prosesnya pemerintah sendiri atau tidak sensitif konteks. Tantangan terbesarnya
adalah bagaimana proses kebijakan itu bisa menjangkau konteks yang selalu dinamis,
sehingga proses aksi-reaksi yang berlangsung antara pemerintah dan partisipan bisa membuahkan
outcomeyang diinginkan.
Ketika tujuan kebijakan semata-mata ditentukan oleh orang- orangnya pemerintah; yang
notabene orang kaya, instrumennya dibuat oleh orang pemerintah dan dilaksanakan oleh
orang pemerintah juga, maka ketika pemerintah itu melakukan monitoring, yang dimonitoring
hanyalah output-nya saja. Output ini digariskan oleh orangnya pemerintah, bukan outcomenya,
yang diukur berdasarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang terkena dampak kebijakan.
114
telibat dalam proses penentuan isi kebijakan, itu tidak dibantah. Hanya saja, titik
strategis yang diutamakan dalam memahami proses kebijakan adalah proses politik,
bukan proses birokratis. Proses politik yang dimaksudkan adalah proses politik yang
digerakkan oleh partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan benturan berbagai
kepentingan masyarakat bisa diatasi. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya
menghormati prosedur-prosedur yang telah ada untuk memungkinkan proses kebijakan publik
bisa berlangsung dan mengenai sasaran. Dalam situasi yang demikian, maka mereka yang tidak
sepakat dengan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan kebijakan. Ini berarti
berjalannya kebijakan tidak lagi harus mengandalkan legalitas keputusan pemerintah,
melainkan justru legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau model yang disebutkan dalam
pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yang
didominasi pejabat negara ujung- ujungnya mengandalkan legalitas perundang-undangan,
dalam model ini diasumsikan bahwa peran pro-aktif masyarakat dan tegaknya lembaga-
lembaga kemasyarakatan (termasuk hukum) menjadikan pengambil kebijakan tidak haus
legalitas.
Bahwa kebijakan akan merugikan pihak-pihak tertentu dan menguntungkan pihak-pihak
lain, dari kacamata society centric ini dianggap tidak bermasalah. Keputusan pemerintah
yang tidak memuaskan akan menggerakkan pihak yang tidak puas ini untuk memperjuangkan
kepentingannya. Dengan demikian, maka proses kebijakan akan terus-menerus mengalir
dalam bentuk tuntutan/dukungan masyarakat yang senantiasa direspons secara mekanistik
oleh para pejabat negara.
Kedua cara penyederhanaan tentang proses kebijakan tersebut di atas sama-sama masuk
akal. Penyederhanaan cara memahami proses kebijakan ini bisa disebut sebagai model proses
kebijakan. Jelasnya, dari pembahasan tersebut di atas tersirat adanya dua model dasar
(menyederhanakan cara memahami) proses kebijakan.
1. Model yang pertama mengandaikan ekspresi keputusan otoritatif para pejabat negara
bisa dilakukan dengan mengandalkan kekuatan negara (dalam hal ini kapasitas
instrumental birokrasi pemerintah), sedangkan model yang satunya lagi justru
mengandaikan kuatnya basis institusional masyarakat untuk mewadahi partisipasi
politiknya. Model yang pertama dengan mudah dipraktikkan di negara yang
pemerintahnya dominan atau kapasitas kelembagaan politik masyarakatnya lemah.
Mengingat model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh para
115
pejabat negara, maka advokasi kebijakan menjadi suatu keniscayaan.
2. Model yang kedua sebetulnya disarikan dari pengalaman negara-negara industri
maju yang telah lama mengembangkan liberalisme sebagai pilar pemerintahannya.
Kesadaran akan hak-hak politik masyarakat telah menjadi sandaran bagi tegaknya
hukum, dan proses kebijakan memang bisa disederhanakan sebagai proses merespons
tuntutan dan dukungan masyarakat. Kalau model ini mau dijadikan basis (acuan
praktis) untuk pengelolaan proses kebijakan, maka prasyarat-prasyarat bagi
berjalannya model ini harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah bahwa proses kebijakan
berlangsung dengan dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai. Proses artikulasi
dan agregasi kepentingan, misalnya, dijalankan oleh partai-partai politik. Artinya,
model kedua mensyaratkan kuatnya basis politik kepartaian. Prasyarat semacam ini
tampaknya tidak dengan mudah bisa dipenuhi oleh masyarakat Indonesia saat ini.
Ini juga berarti bahwa, peran aktif dan pro-aktif pemerintah, memang tidak bisa
dihindarkan.
Alternatif model yang mengkombinasikan kedua model tersebut di atas ditawarkan oleh
J.A. Altman. Dia menyebutnya sebagai model social marketing, dimana pejabat negara dituntut
untuk aktif dalam proses kebijakan, namun keaktivan tersebut tidak mereduksi arti penting
kesepakatan (consent) dari masyarakat. Gagasan Altman ini disajikan dalam bagan. Ada
sejumlah butir gagasan yang penting untuk dicatat dari tawaran Altman ini.
6. Berlangsungnya proses kebijakan yang memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas,
mensyaratkan agar, baik pejabat negara maupun masyarakat, menjalani pendidikan
kebijakan. Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi
pendidikan bagi masyarakat. Poin tersembunyi yang perlu diungkapkan adalah
bahwa adanya kesediaan bagi pejabat negara mapun masyarakat untuk saling
belajar (membuka mata dan telinga) merupakan kunci bagi kelancaran proses
kebijakan.
7. Kebijakan pada dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka, namun
juga proses belajar. Poin ini penting untuk dikedepankan, karena betatapun tenaga
ahli telah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error
dalam proses kebijakan tidak akan hilang. Kebijakan publik adalah proses
eksperimentasi nasib sejumlah orang, kalau bukan nasib komunitas secara
keseluruhan. Oleh karena itu, disain kebijakan merupakan elemen penting. Sejalan
dengan kerangka berpikir tersebut di atas, public hearing merupakan proses kunci bagi
116
kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, dalam setiap fase pengelolaan kebijakan,
partisipasi masyarakat senantiasa terbuka.
Model alternatif tersebut mengedepankan arti penting belajar dan konsensus. Dalam
realitas, kebijakan justru tidak bisa mengatasi masalah yang diagendakan karena konflik
yang berkecamuk. Sehubungan dengan hal itu, kebijakan bisa disederhanakan sebagai proses
pengelolaan konflik antara berbagai pihak yang saling menggalang kekuatan untuk
memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier menawarkan model koalisi-advokasi untuk
memahami proses kebijakan. Dalam model ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan
komunitas kebijakan yang heterogen yang tergalang dalam sejumlah koalisi untuk
memenangkan gagasan kebijakan. Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang
mempersatukan para stake-holders dalam suatu koalisi adalah kesamaan kepentingan atau
keberpihakan terhadap suatu gagasan kebijakan. Ini artinya, sangat boleh jadi ada pejabat
negara yang justru ambil bagian dalam advokasi kebijakan yang dimotori oleh kekuatan-
kekuatan masyarakat. Sebaliknya, dalam ranah masyarakat kita menemukan adanya “kaki-
tangan” negara yang melangsungkan proses untuk mengamankan kebijakan pemerintah.
117
mekanisme yang baku dan disepahami para pelaku, maka masing-masing yang
terlibat dalam proses kebijakan bisa mengadu siasat, namun pada akhirnya dia harus
tunduk pada aturan main yang bekerja melalui mekanisme tersebut.
- Pengembangan partisipasi harus menjangkau aspek supply (peluang untuk berpartisipasi)
maupun aspek demand (gerakan sosial-politik untuk ikut mempengaruhi keputusan
kebijakan pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan kalau: (1) pemerintah maupun
masyarakat sanggup menegakkan aturan main. Mekanisme itu sendiri pada dasarnya
adalah aturan main (2) modal sosial yang ada selama ini ikut didayagunakan.
2. Prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini ada dua persoalan:
- Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) untuk mengubah mekanisme, ataukah
sebaliknya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan untuk memungkinkan
kiprah pada level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagaimana telah dikemukakan,
pengembangan mekanisme dalam tulisan ini didudukkan sekedar sebagai salah satu
pilar pengembangan proses kebijakan yang partisipatif. Mekanisme ini bisa dilahirkan
oleh perjuangan berbagai aktor yang kemudian sepakat untuk membakukan rumusan
dan membiasakan diri untuk mematuhinya. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi.
Berbagai perombakan makro-struktural dilakukan yang pada gilirannya berbuntut
memfasilitasi perubahan-perubahan mikro. Sehubungan dengan persoalan ini maka:
- pengembangan mekanisme tidak cukup diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis;
- jaminan yuridis/administratif yang diperoleh harus dikawal dengan aksi-aksi dan
sejumlah “rekayasa” dalam rangka pembiasaan terhadap mekanisme baru; (3) Aktor-
aktor yang menduduki posisi struktural dalam tubuh negara maupun dalam
masyarakat perlu didorong untuk mendayagunakan posisi struktural tersebut untuk
pembudayaan mekanisme baru.
- Persoalan yang kedua adalah bagaimana inovasi awal bisa menggelinding laksana
bola salju. Untuk itu advokasi lintas pihak yang sudah tergalang perlu bentuk dan
kemudian didayagunakan. Komunikasi lintas pihak, katakanlah antara aktor dalam
tubuh negara dengan aktor dalam masyarakat, bisa menghasilkan sinergi yang, kalau
dikelola dengan baik, bisa menjamin sustainabilitas.
118
PERTANYAAN :
1. Bagaimana peran dan proses agenda setting dalam proses formulasi kebijakan publik?
119
BAB IX
SARAN KEBIJAKAN
Deskripsi Singkat
120
yang penting bagi seorang Analis Kebijakan untuk melakukan konsultasi publik dan
advokasi kebijakan.
Saran-saran kebijakan yang diajukan oleh para Analis Kebijakan apabila tersusun
dengan baik dapat memudahkan dan meyakinkan pengambil keputusan atau pembuat
kebijakan dalam mempertimbangkan rekomendasi kebijakan dari para Analis Kebijakan.
Tujuan Pembelajaran
Dari pendapat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa analisis kebijakan merupakan
proses rasional di mana para analis memproduksi informasi dan argumen-argumen yang
beralasan tentang solusi-solusi yang potensial dari masalah publik yang didasari oleh
penelitian dan mengkomunikasikan pengetahuan tersebut dalam proses kebijakan.
121
Analisis kebijakan tersebut dilakukan dalam upaya untuk menciptakan kebijakan
berbasis bukti. Untuk mendapatkan berbagai hal yang dibutuhkan sebagai bukti
pendukung tersebut dibutuhkan pengetahuan yang cukup. Untuk itu dalam analisis
kebijakan diperlukan adanya knowledge management yang baik sehingga akan
mendukung tercapainya evidence based policy.
Knowledge management akhir-akhir ini mendapat perhatian yang luas. Tujuan dari
knowledge management adalah meningkatkan kemampuan organisasi untuk
melaksanakan proses inti agar lebih efisien. Terdapat beberapa pendapat pakar terkait
dengan knowledgemanagement (manajemen pengetahuan) ini, antara lain:
122
1. Menciptakan simpanan pengetahuan
Fokusnya adalah memperlakukan pengetahuan sebagai- mana aset lain di neraca keuangan.
Namun sifat pengetahuan yang tidak secara konkret berwujud memang membuatnya sangat
susah untuk ditransformasi dan diestimasi dalam konteks finansial. Dari berbagai pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa manajemen pengetahuan sangat bermanfaat terutama dapat
mempercepat pengambilan keputusan organisasi. Begitu juga terkait dengan kebijakan
publik, dengan adanya pengelolaan pengetahuan yang baik maka para analis kebijakan dapat
memanfaatkan berbagai pengetahuan yang sangat diperlukan untuk menganalisis kebijakan
dalam upaya memberikan rekomendasi berbasis evidence.
123
Hasil Analisis Kebijakan (Policy Work) Dan Perannya Dalam Proses Pembuatan
Kebijakan
Salah satu implikasi penting dari perkembangan pandangan rasional dalam proses
kebijakan, yaitu menculnya peran analis dalam proses kebijakan. Mereka tidak secara
langsung menentukankebijakan, tetapi rekomendasi yang mereka hasilkan melalui aplikasi
teknik-teknik analisis yang rasional mempengaruhi pembuatan kebijakan.
124
penasehatnya akan gagal dipertahankan dalam bernegosiasi dengan pengambil
kebijakan lainnya.
Tujuan utama dari saran atau rekomendasi kebijakan ditujukan untuk membantu
para pembuat kebijakan dalam memecahkan masalah-masalah publik. Namun demikian
kita ketahui bahwa proses pembuatan kebijakan tidak berada dalam ruang hampa,
banyak aspek yang mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan.
Lingkungan sosio-politik-kultural dan kemauan pembuat kebijakan sendiri akan sangat
menentukan diimplementasikan atau tidaknya saran atau rekomendasi kebijakan dari
para analis kebijakan. Untuk menjamin rekomendasi kebijakan merefleksikan dimensi
sosial, politik, kultural maka rekomendasi harus didasarkan pada data empiris dan
analisis secara benar (Danim, Sudarwan, 1997). Di sinilah arti pentingnya evidence-
basedrecommendation untukdapat menciptakan evidence based policy.
Berikut ada beberapa kemungkinan pembuat kebijakan memperlakukan
rekomendasi kebijakan, seperti:
a. mengadopsi rekomendasi
b. mengadaptasi rekomendasi
c. membangun rekomendasi baru, dan
d. menolak rekomendasi
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa kegagalan sebuah kebijakan yang
disebabkan oleh karena tidak didukung olehbukti empiris yang akurat dan lengkap (Smeru,
2011). Tidak sedikitkebijakan yang dibuat masih berdasarkan intuisi, pemahaman umum,
pengalaman, ideologi, opini publik atau bahkan kebijakan dibuat berdasarkan kepentingan-
kepentingan politik tertentu.
125
Buruknya pengambilan keputusan dalam kebijakan publik tidak hanya terjadi di
negara-negara berkembang saja, kenyataan menunjukkan bahwa negara maju seperti
Inggris pun sering menggunakan cara-cara yang buruk tersebut. Baru pada tahun 1997
Perdana Menteri Inggris Tony Blair yang telah memenangkan pemilihan,
mempopulerkan istilah evidence-based policy. Selanjutnya pada tahun 2008 Perdana
Menteri Australia dalam pidatonya di depan Senior Public Servant Pemerintah Australia
menyebutkan “evidence-based policy-making is at the heart of beinga reformist
government” Selanjutnya untuk membuktikan pentingnya evidence-based policy tersebut
dia menyatakan “I want to explore why that is profoundly true; what it means in practice,
andsome implications for those of us in public administration” (Gary Banks, tanpa tahun).
126
Capacity
Analytical approach allow for proper Research skills are sufficient to
consideration of the problems undertake the analysis
Areceptive policyenvironment
Willingness to test policy options and the structures and
resources to do so
127
mendidikmasyarakat
• Independensi (Independent). Insentif untuk memberikan saran
untukkepentinganumum
• Lingkungan kebijakan reseptif. Kesediaan untuk menguji pilihan kebijakan
danstruktur dansumber daya untuk melakukannya
• Evidence-Based Policy
Dari penjelasan tersebut di atas terlihat bahwa untuk menghasilkan kebijakan yang berbasis
evidence diperlukan berbagai aspek yang harus dipenuhi mulai dari metodologi, kapasitas
penelitian, waktu yang cukup, data yang baik, adanya transparansi, independensi, serta
lingkungan kebijakan yangreseptif. Saran kebijakan sebagai hasil analisis kebijakan
yangdisampaikan kepada pembuat kebijakan harus didasarkan padaterpenuhinya berbagai
prasyarat tersebut sehingga pengambilan keputusan menjadi tepat dalam mengatasi
permasalahan. Saran kebijakan yang tidak didasarkan kepada bukti yang kuat akan dapat
menjerumuskan para pengambil kebijakan dalam mengambil keputusan sehingga salah dalam
mengambil keputusan.
Policy paper (makalah kebijakan) menurut Scotten (2011),adalah “a research piece focusing
on a specific policy issue that provides clear recommendations for policy makers”.
Sementara itu Young and Quinn (2002) memberi definisi makalah kebijakan sebagai “Policy
paper is a problem-oriented and value driven communication tool. As such, wether
targeting other policyspecialists or decision-makers, the purpose of the policy paper is: to
provide a comprehensive and persuasive argument justifying the policy recommendations
presented in the paper and therefore, to actas a decision-making tool and a call to action for the
target audience”.Menurut Scotten (2011) yang dikutip oleh Tri Widodo
W. Utomo (tanpa tahun), policy paper memuat 4 (empat) unsur utama, yakni ringkasan
eksekutif, batang tubuh, kesimpulan dan lampiran. Batang tubuh sebagai bagian utama
policy paper sendiri berisi latar belakang, analisis, pilihan kebijakan, serta rekomendasi.
Selengkapnya policy paper menurut Scotten adalah sebagai berikut:
128
3. Background (what is the current policy? Why is it beingconducted this way?);
4. Analysis (why is the policynotworking? Why is itnecessary to find an alternative?);
5. Policy options (discuss a few alternatives and theirimplications);
6. Recommendation (provide your recommendation and howit can be implemented);
7. Conclusion (summarize analysis and recommendation);
8. Appendix (Relevant figures, maps, graphics).
129
3. Kerangka Strategi Implementasi
4. Penyediaan Pemantauan dan Evaluasi
5. Keterbatasan dan Konsekuensi yang
TidakTerantisipasi
Refere
nsi
Lampi
ran
Apabila analis kebijakan berhadapan dengan kendala waktu, kepada mereka disarankan
untuk menggunakan model yang lebihringkas, sebagai berikut:
Ringkasan Eksekutif
Bab I Analisis Situasi, yang berisi analisis tentang isu kebijakan, dengan
focus pada alasan mengapa isu tersebut diangkat sebagai isu kebijakan,
khususnya berkenaan dengan pembenaran terhadap isu tersebut. Pada
bagian ini disampaikan tiga alternatif kebijakan yang dapat diambil.
Bab II Rekomendasi Pertama, yang berisi analisis tentang isu kebijakan
terhadaprekomendasi pertama
Bab III Rekomendasi Kedua, yang berisi analisis tentang isu kebijakan
terhadaprekomendasi kedua
Bab IV Rekomendasi Ketiga, yang berisi analisis tentang isu
kebijakanterhadap rekomendasi ketiga
Bab V Matriks Antar-Rekomendasi, yang berisi perbandingan
antar-rekomendasi
Bab VI Rekomendasi Terpilih dan Strategi Implementasi, berisi pilihan
rekomedasi dan rekomendasi lanjutan apa yang harus dilakukan sebagai
tindak lanjutnya
Bab VII Penutup, yang berisi kesimpulan dari naskah
kebijakanLampiran
Data dan perhitungan
Simulasi kebijakan: Perumusan, Implementasi,
EvaluasiKepustakaan
130
Policy Brief
Policy brief merupakan dokumen ringkas dan netral yang berfokus pada isu tertentu
yang membutuhkan perhatian pengambil kebijakan, yang memaparkan alasan/rasional
pemilihan alternatif kebijakan tertentu yang ada pada tataran perdebatan kebijakan.
131
5. Merangsang pembaca untuk berse-mangat mengambil dan menetapkan
keputusan.
Adapun komponen-komponen dalam policy brief, yaitu:
1. Judul
Pembaca cerdas akan langsung menuju daftar isi, agar dapat segera
menangkapintisari sebuah buku.
Karenanya: daftar Isi harus detail dan informatif tetapi tetap ringkas sehingga
pembacanya segera dapat:
• memahami rincian garis besar substansi Policy Brief,
• Memahami keterkaitan antar kom-ponen dari Policy Brief,
• Memudahkan pembaca untuk melompat ke tiap komponen Policy Brief.
3. Ringkasan (Eksekutif)
Bagian ini dapat difokuskan untuk hanya memuat jawaban: Apa, mengapa,
Bagaimana dan Oleh siapa?
• Apa akar masalahnya?
• Mengapa dinilai sebagai masalah penting dan strategis?
• Bagaimana solusinya?
• Oleh siapa solusi tersebut akan dilaksanakan?
2.Pendahuluan
132
• Topik (spesifik) apakah yang dibahas dalam Policy Brief ini?
• Mengapa substansi yang ada pada Policy Brief ini pentingdan strategis?
• Mengapa pembacanya harus segera mengambil langkah tindak lanjut
yangdisarankan dalam Policy Brief ini?
3. Deskripsi masalah
Permasalahan harus dapat dijelaskan secara specifik dan terukur. Bila ternyata
deskripsinya masih memunculkan pema- haman yang berbeda, maka deskripsi
masalah tersebut masih kurang spesifik.
Beberapa pertanyaan yang dapat dipakai untuk mengarahkan adalah sebagai
berikut:
Apakah permasalahannya dan mengapa penting?
• Dimana dan siapa yang terkait dengan permasalahantersebut?
• Mengapa permasalahan itu terjadi? Beri bukti-bukti dancontohnya
• Apa efek dari permasalahan tersebut? Beri bukti dancontohnya
4. Rekomendasi kebijakan
133
beberapa data dan informasi pendukung dapat disajikan secara menarik pada
lampiran. Tetapi lampiran hanya dicantumkan jika sangat diperlukan.
3. Daftar Pustaka
1. Ringkasan (Eksekutif)
2. Pendahuluan
3. Deskripsi masalah
4. Rekomendasi kebijakan
5. Kesimpulan
6. Apendiks atau lampiran (bila harus ada)
7. Daftar Pustaka
Policy Memo
Policy memo relatif sama dalam hal kepentingan, tujuan, dan struktur isinya dengan policy
paper, namun dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek, bahkan kadang dalam hitungan
jam ataupun menit. Memo kebijakan dibuat untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang
bersifat sangat segera dari klien, biasanya eksekutif pemerintahan seperti Presiden dan
Menteri.
Memo kebijakan merupakan rekomendasi singkat akan satu isu kebijakan untuk
landasan pembuatan keputusan kebijakan yang bersifat terbatas. Misalnya untuk
menetapkan kondisi darurat yang harus diputus dengan segera, seorang pejabat publik
meminta analis kebijakan menyiapkan memo kebijakan yang akan dipergunakan
sebagai pembenaran dari kebijakan yang diambil. Memo kebijakan bersifat praktis
teknis, dan biasanya terdapat kombinasi pilihan kebijakan.
Sebuah memo dikatakan efektif jika pembaca memahami poin- poin utama setelah
satu kali membaca cepat atau bahkan setelah membaca hanya kalimat pertama dari
134
setiap bagian. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk memastikan bahwa memo
mendapatkan hasil yang diharapkan:
(1) Konten
Konten, tentu saja, adalah penentu paling penting dari sebuah
memo kebijakan yang baik. Lemah atau tidak logis ide, tidak
peduli seberapa baik-disajikan tidak akan memberikan informasi
yang tepat. Oleh karena itu, memo harus memberikan informasi
akurat dan relevan, sementara juga mengakui keterbatasan
rekomendasi atau analisis tertentu. Setiap rekomendasi harus
mencakup alternatif, jujur dan realistis.
(2) Struktur,
Struktur berarti bagaimana memo terlihat.
Header diformat di atas dilihat pada awal memo. Dengan header,
pembaca akan tahu kepada siapa memo ditujukan, kuasa penulis
harus mengatasi permasalahan pembaca, dan pesan yang paling
penting darimemo itu.
Di bawah header, memo umumnya mencakup ringkasan eksekutif,
satu paragraf yang merangkum seluruh memo. Setelah membaca
memo itu sekali, pembaca dapat memahami isi memo. Ringkasan
eksekutif dapat berdiri sendiri dan memungkinkan pembaca untuk
melihat paragraf pertama dan meng-identifikasi titik-titik utama
dari seluruh memo.
(3) Pilihan kata
Pilihan kata memainkan peran penting dalam membuat
sebuahmemo yang jelas dan ringkas. Pertimbangkan menghilang-
kan kata teoritis, kabur, istilah tertentu dan menggantinya
denganyang lebih konkret.
(4) Kejelasan.
Memo kebijakan harus jelas dan langsung sehingga pembacadapat
memahami poin utama dengan cepat. Jika penulis memo telah
berfokus pada membangun konten yang kuat yang terorganisir
dengan baik, dan jika tulisan pameran yang dipilih bahasa, maka
hasilnya adalah argumen yang jelas.
Rincian ini memo kebijakan adalah:
135
1. Pendahuluan (maksimal 10 baris)
2. Isi kebijakan yang diangkat (maksimal 10 baris)
3. Alternatif kebijakan, harus terdiri atas tiga alternatif, yaitu :
a. status quo,
b. perubahan kecil,
c. perubahan mendasar. Masing-masing diberi rasionalisasi dan proses
implementasinya (mak-simal 1,5 halaman).
4. Alternatif terpilih/disarankan disampaikan dengan
rasional(maksimal 10 baris)
(Policy Paper)
Diseminasi
dan debat
Digunakan136
untuk Digunakan untuk
mengenai tujuan advokasi tujuan advokasi
Konteks
dan lobi dan lobi
Model dari saran kebijakan mempunyai karakteristik sendiri yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Berikut beberapa kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing model saran kebijakan:
Policy Paper dapat memberikan informasi kepada para pembuat kebijakan pada
setiap tahap proses pembuatan kebijakan, namun dapat pula hanya difokuskan pada satu
atau beberapa tahap tertentu dalam proses pembuatan kebijakan, misalnya makalah
kebijakan khusus hanya berfokus pada memberikan alternatif kebijakan dan
merekomendasikan pilihan kebijakan, untuk mempromosikan desain implementasi
kebijakan tertentu, untuk mengevaluasi pilihan kebijakan yangdipilih.
Policy Brief lebih bersifat profesional karena diperuntukan bagi pembaca yang
tidak memiliki waktu banyak namun membutuhkannya untuk dapat mengambil
keputusan secara praktis. Sedangkan policy paper lebih bersifat akademik dan sangat
dibutuhkan oleh kalangan ilmiah yang sangat mementingkan soal logika dan
argumentasi akademik. Dengankarakter tersebut, maka policy brief pada umumnya
lebihsingkat dan disajikan dengan bahasa yang lebih umumdibandingkan policy paper
yang lebih komprehensif.
Policy Paper sebagai sebuah dokumen hasil analisis kebijakan mempunyai
kelemahan yaitu kurang mampu menjadi media komunikasi dengan policy maker,
sehingga banyak sekali hasil riset kebijakan dan makalah kebijakan yang tidak
dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan (policy making).
Latihan
137
Rangkuman
1. Para pejabat publik sebagai pembuat kebijakan dituntut untuk dengan cepat dan
tepat dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan-permasalahan publik
sehingga permasalahantersebut dapat segera diatasi. Untuk dapat melakukan hal
ini semua, maka para pembuat kebijakan perlu didukung oleh data daninformasi
yang akurat yang diperoleh dari para analis kebijakan. Data dan informasi
tersebut perlu dikelola dan didokumentasikan (knowledge management) sesuai
dengan kaidah ilmiah agar memudahkan pengambil keputusan atau pengguna
lain untuk memanfaatkannya.
2. Model dari saran kebijakan mempunyai karakteristik sendiri yang masing-
masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Tiap bentuk saran kebijakan
memiliki karakter yang berbeda, dilihatdari perbedaan pada aspek pembaca,
fokus masalah, konteks penggunaan dan metodologi. Apabila analis kebijakan
berhadapan dengan kendala waktu, kepada mereka disarankan untuk
menggunakan bentuk dokumentasi saran kebijakan yang lebih ringkas seperti
policy brief atau policy memo.
Salah satu tantangan dalam perumusan kebijakan adalah keberadaan sistem
perumusan kebijakan yang mengandalkan pembuatan kebijakan berbasis bukti.
Bahkan terhadap permasalahan-permasalahan yang kompleks yang segera
membutuhkan kecepatan dalam pengambilan keputusan sepertimasalah
penanganan bencana, kebijakan berbasis bukti menjadi sangat penting. Analis
kebijakan dalam hal ini harus mampu memaparkan data dan informasi empiris
dalam sebuah dokumen ilmiah yang bisa menjadi pegangan bagi pengambil
kebijakan untuk memutuskan alternatif terbaik dari saran/rekomendasi kebijakan
yang disusun oleh analis kebijakan.
Penutup Simpulan
Dokumentasi saran kebijakan merupakan bagian dari upaya membangun evidence- based
policy making di Indonesia. Metode ini mendorong penggunaan bukti-bukti nyata (evidence-
based policy) atas dasar hasil penelitian (research-based policy) dalam mempengaruhi dan
memperbaiki kebijakan sehingga meningkatkan efektifitas pengam- bilan keputusan dalam
138
mengatasi per- masalahan publik. Modul ini membekali peserta untuk memahami bentuk-
bentuk dokumentasi saran kebijakan yang efektif dan melatih peserta untuk menulis saran
kebijakan sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah.
139