Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ahmad Alifia Astafah (4131220071)

Arsa Veda (4131220016)


Ken Dzaki Ananta Wiguna Varilyno (4131220116)
Syafri Maulana Akbar (4131220178)
Wildan Abyan Fachri (4131220258)
Kelompok : 5
Kelas : ASP 1-05

TUGAS PENGANTAR MANAJEMEN

TEORI
Menurut Yulinda (2009), Faktor Hygiene adalah faktor yang berhubungan
dengan aspek disekitar pelaksanaan pekerjaan atau job content yang disebut juga aspek
ekstrinsik pekerja, yang terdiri dari kebijaksanaan dan prosedur perusahaan,
supervisor, upah/gaji, hubungan dengan rekan kerja, kondisi kerja. Dari teori tersebut
bisa dipahami bahwa salah satu kebutuhan penting dalam menaikan motivasi untuk
meningkatkan produktivitas adalah upah dan menurut maslow’s hierarchy of needs
upah merupakan salah satu komponen kebutuhan physiological menduduki tingkatan
paling dasar dari hierarki kebutuhan ini yang makin mempertegas bahwa upah
merupakan faktor penting dalam menaikan motivasi.
Feriyana (2018) menjelaskan bahwa Upah minimum adalah suatu standar
minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan
upah kepada pekerja di dalam lingkungan usahanya. Regulasi tentang upah minimum
sendiri ditetapkan dengan Peraturan Menteri No.1 Pasal 1 Th 1999. Pembagian upah
minimum yang kadang berada di bawah atau di atas upah pasar tentu saja
memunculkan konsekuensi yang berbeda. Di satu sisi dapat memunculkan
pertambahan jumlah pengangguran, di sisi lain dapat menimbulkan keuntungan berupa
efisien (efficiency wage). Penetapan upah minimum didasarkan dari beberapa
pertimbangan seperti : wujud pelaksanaan UUD 1945, jejaring pengaman agar nilai
upah tidak merosot dibawah kebutuhan hidup minimum, upaya pemerataan pendapatan
dan proses pertumbuhan kelas menengah, kepastian hukum bagi perlindungan atas hak-
hak dasar buruh dan keluarganya sebagai warga negara Indonesia, dan merupakan
indikator perkembangan ekonomi pendapatan perkapita.

KRONOLOGI MASALAH
a. Respon buruh terhadap penetapan UMP berdasarkan PP 36/2021
Serikat buruh mengancam akan melakukan mogok kerja untuk mendesak
pemerintah agar tidak mengubah PP nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan
sebagai acuan dalam menaikkan UMP/UMK. Mereka menolak penetapan upah
baru yang berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2022 karena menurutnya UU tersebut
merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, maka tidak bisa digunakan sebagai acuan
dalam penetapan UMP/UMK.
Partai Buruh meminta penetapan upah mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015
karena dalam peraturan tersebut kenaikan upah dihitung dengan memperhatikan
besarnya nilai inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Jika kenaikan didasarkan
pada peraturan yang berlaku saat ini, kenaikan upah akan berada di bawah nilai
inflasi sehingga daya beli buruh semakin menurun. Apabila Menteri
Ketenagakerjaan tidak mengubah acuan upah, Partai Buruh menyatakan akan
melakukan aksi protes massif yang akan diikuti oleh 5 juta buruh di seluruh
Indonesia.
b. Buruh menuntut kenaikan upah
Kalangan buruh menuntut adanya kenaikan UMP sebesar 13%, tetapi
pengusaha mengaku tidak sanggup menangani tuntutan kenaikan UMP sebesar itu.
Akan tetapi, demi memuluskan agendanya tersebut, buruh bukan hanya melakukan
aksi demonstrasi, namun juga akan mengadakan mogok nasional pada akhir tahun
2022. Mogok nasional sudah direncanakan untuk dilaksanakan pada bulan
November, tetapi Upah Minimum Provinsi (UMP) baru ditetapkan pada 28
November 2022. Para buruh juga sudah menyiapkan aksi-aksi lain hingga akhir
tahun.
c. Aksi mogok kerja karyawan AICE berujung PHK
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan buruh terjadi di
perusahaan PT Alpen Food Industry (AFI) selaku produsen es krim AICE. Pada
saat itu, sudah ada sekitar 300 buruh yang melakukan mogok kerja, yang mendapat
surat PHK. PHK dilakukan karena para buruh melakukan mogok kerja secara tidak
sah. Pihak perusahaan sudah dua kali melakukan pemanggilan terhadap buruh
untuk kembali bekerja. Namun para buruh tidak mengindahkan hal tersebut.
Menurut Keputusan Menteri (Kepmen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232
Tahun 2003 ayat 1 pasal 6, dijelaskan bahwa mogok kerja yang dilakukan secara
tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas dasar hal tersebut, perusahaan
menyatakan karyawan yang tidak memenuhi dua kali pemanggilan kerja dianggap
mengundurkan diri.
Para buruh yang bekerja di PT Alpen Food Industry (AFI) selaku produsen es
krim AICE melakukan aksi mogok kerja semata-semata karena ingin mendapatkan
upah layak. Pada 2014-2016, PT AFI menjalankan bisnis dengan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 1520 atau makanan terbuat dari susu.
Kemudian, pada tahun 2017, KBLI tersebut diubah menjadi KBLI es krim. Hal ini
membuat nilai upah buruh mengalami penurunan dari upah sektor II menjadi upah
minimum kabupaten (UMK). Terkait penurunan upah, jika mengacu pada upah
minimum 2019, buruh kehilangan upah Rp 280 ribuan. Itulah yang membuat buruh
memutuskan untuk melakukan aksi mogok kerja agar perusahaan memberikan
tambahan upah.
Sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4929095/aksi-mogok-
kerja-karyawan-aice-berujung-phk/1

SUMBER MASALAH
Dari ketiga kasus yang terjadi pada contoh sebelumnya, ketiganya memiliki
persamaan. Persamaan tersebut adalah alasan mengapa para buruh melakukan mogok
kerja. Para buruh ini melakukan mogok kerja karena ingin menuntut kenaikan UMP
atau UMK, upah yang mereka terima saat ini dirasa tidak sesuai dengan pekerjaan yang
mereka laukan. Selain itu, mereka juga merasa belum terpenuhinya hak-hak mereka
sebagai buruh. Maka dari itu, aksi mogok kerja lakukan sebagai bentuk protes para
buruh atas UMP yang telah ditetapkan serta pemenuhan hak-hak mereka sebagai buruh.

EVALUASI
Gaji menjadi permasalahan utama dalam kasus di atas. Partai Buruh dan
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar demonstrasi yang
mengusung empat tuntutan, dua di antaranya mengenai kenaikan UMP 2023 sebesar
13% dan menolak UU Cipta Kerja. Para buruh meminta kenaikan UMP sebesar 13%
karena mereka menilai ancaman meningkatnya inflasi pada tahun 2023 harusnya
berbanding lurus dengan kenaikan upah buruh yang signifikan. Jika tuntutannya itu
tidak didengar oleh Menteri Ketenagakerjaan, para buruh mengancam akan melakukan
mogok nasional.
Mogok kerja termasuk ke dalam perilaku ketidakhadiran (Absenteeism), yaitu
perilaku penarikan yang dilakukan ketika pekerja tidak datang untuk bekerja, biasanya
untuk jangka waktu tertentu atau tidak datang kerja dalam beberapa hari (Cohen &
Golan, 2007). Perilaku ini tentunya berhubungan dengan tingkat kepuasan kerja. Two
factor theory menjelaskan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan kerja diciptakan oleh
dua faktor yang berbeda dan terpisah, yaitu motivation factor (satisfier) dan hygiene
factor (dissatisfier).
Hygiene factor adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan,
seperti pengawasan, gaji, kondisi kerja, dan hubungan antar pribadi. Menurut two
factor theory, kebalikan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan melainkan tidak ada
kepuasan, begitu juga sebaliknya. Komponen gaji ditempatkan di hygiene factor karena
saat gaji seseorang dianggap terlalu rendah, seseorang akan merasakan ketidakpuasan.
Namun, jika dirasa sesuai harapan atau terlalu tinggi maka orang itu tidak lagi merasa
tidak puas. Hal ini terjadi karena sifat manusia yang tidak akan merasa cukup atau puas
dari yang mereka dapat.

Anda mungkin juga menyukai