Anda di halaman 1dari 5

Hilangnya Upah Cuti Haid dan Melahirkan

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan


Dosen Pengampu: Dr. Siti Kunarti, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Tivania Wulandari Da Silva Leong

E1A019110

Universitas Jenderal Soedirman

2021

1
Hilangnya Upah Cuti Haid dan Melahirkan

BAB 1
Latar Belakang Masalah

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tenaga kerja perempuan
dari 2018 ke 2019 mengalami peningkatan. Pada 2018, tercatat 47,95 juta orang
perempuan yang bekerja. Jumlahnya meningkat sekitar satu juta setahun setelahnya
menjadi 48,75 juta orang. Dominasi tenga kerja perempuan di Indonesia mencapai
58,04% dibandingkan tenaga kerja laki-laki.

Hak-hak tenaga kerja perempuan dalam menjalankan pekerjaannya selama ini


dilindungi oleh berbagai hukum yang berlaku, mulai dari jaminan atas hak hak
pekerja secara umum dan hak hak spesifik yang hanya didapatkan oleh pekerja wanita
seperti cuti haid dan melahirkan.

Cuti Haid sendiri diatur dalam Pasal 81 Undang Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan
memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan
kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Cuti melahirkan sendiri diatur dalam Pasal 82 Undang Undang No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan
dokter kandungan atau bidan.

Dan diatur pula tentang upah yang berhak diterima oleh pekerja perempuan saat
menggunakan hak untuk cuti melahirkan dalam Pasal 84 Undang Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
“Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak
mendapat upah penuh.”.

Dalam Undang Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Sendiri sekilas
tak terlihat banyak perubahan berarti mengenai cuti haid dan melahirkan jika
dibandingkan dengan Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
namun jika ditelusuri lebih dalam penggantian atau penghilangan substansi dalam
pasal pasalnya saling tumpang tindih.

Substansi UU Cipta Kerja juga bermasalah dan dikhawatirkan membawa potensi


buruk khususnya bagi pekerja/buruh dan perempuan karena perspektif dalam
substansi UU Cipta Kerja condong pada kepentingan pengusaha, bukan lagi dilandasi
semangat untuk melindungi pekerja/buruh yang relasi kuasanya lebih lemah.

2
Berdasarkan penjelasan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah Ketentuan UU
Cipta Kerja memang tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti melahirkan yang ada
di dalam UU No 13 tahun 2003. Akan tetapi, beliau justru tak menjelaskan terkait
apakah perusahaan masih harus diwajibkan membayar upah penuh selama cuti haid
dan melahirkan.

BAB 2
Analisis

Menurut analisis saya substansi tentang upah sesuai dengan ketentuan terbaru
dalam Pasal 88 B Undang Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang
berbunyi:
“Upah ditetapkan berdasarkan:
a.satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil. “

Yang mana berarti peraturan tetang upah belum diatur secara jelas dan
membutuhkan peraturan tambahan seperti peraturan pemerintah, namun hal ini
menimbulkan banyak ke khawatiran dikalangan para pekerja/buruh terutama bagi
buruh perempuan karena membuka peluang besar dalam penerapan skema no work no
pay dimana pemberlakuan upah per jam atau upah sesuai produktifitas kerja
menghilangkan esensi dari upah cuti haid dan cuti melahirkan karena jika pekerja
perempuan menjalani cuti tersebut otomatis tidak dihitung bekerja, sehingga tidak
mendapatkan upah cuti. Hal ini juga dapat menjadi penyebab buruh menerima upah
di bawah nilai upah minimum dan merugikanpekerja/ buruh, karena pengusaha
hanya akan membayarkan upah sesuai dengan jumlah jam bekerja saja. Sistem
pengupahan seperti ini juga dianggap dapat diakali oleh perusahaan secara
sepihak untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kendati demikian Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa regulasi


terkait sistem pengupahan tidak akan menyebabkan pergantian sistem, dan
hanya akan berlaku untuk jenis pekerjaan tertentu.

Dan seperti peryataan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita


yang dikutip oleh suara.com ‘Jadi, penerapan gaji per jam ini untuk pekerja jasa
dan pekerja paruh waktu. Misalnya konsultan. Skema pengupahan per jam
sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju,"

Yang berarti Kementian Perindustrian akan berusaha memastikan sektor


industri akan tetap mengikuti pola gaji minimun bulanan, namun sektor
penunjang industri seperti sektor jasa dan perdagangan dapat memanfaatkan
penerapan upah per jam.

3
BAB 3
Kesimpulan

Maka dapat disimpulkan bahwa walaupun ada kekhawatiran akan dampak


negatif dari substansi mengenai upah dalam Undang Undang No. 11 Tentang Cipta
Kerja terhadap pekerja/buruh terutama pekerja/buruh wanita karena tidakan sewenang
wenang pihak pengusaha hal ini akan diminimalisir dan ditangani oleh Kementrian
yang bersangkutan serta memperkuat alasan utama pengantian susbtansi upaha dalam
rangka mengakomodir pekerja di bidang pekerjaan baru yang sebelumnya tidak
memiliki kepastian hukum atas pengaturan upah mereka.

4
Daftar Pustaka

Dany Girjito. 8 Oktober 2020. Benarkah Upah Dihitung per Jam Dalam Omnibus
Law Cipta Kerja? Ini Faktanya. https://www.suara.com/. diakses pada 06 januari
2020.

Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Anda mungkin juga menyukai