Anda di halaman 1dari 3

Rachel Rosetanya (2017-0500-0205)

Hukum Perburuhan

Pro dan Kontra Revisi UU Ketenagakerjaan


Pada Agustus 2018 ini beredar kabar bahwa akan dilaksanakan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dari beberapa sumber yang saya baca, dikatakan bahwa rencana revisi
tesebut adalah hoax atau berita bohong. Namun setelah saya membuka website
http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas dapat dipastikan bahwa hal tersebut bukanlah hoax, bahwa benar
ada rencana untuk merevisi UU Ketenagakerjaan tersebut dan sudah terdaftar dalam prolegnas.
Dikutip dari TIRTO.ID - Pemerintah menganggap UUK perlu diperbarui demi pasar tenaga kerja yang
lebih kompetitif. Pekan lalu misalnya, Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri menyampaikan relasi
perekonomian dunia kini menginginkan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Ia bahkan menyebut
aturan ketenagakerjaan saat ini bak 'kanebo kering' yang tak hanya memberatkan dunia usaha,
melainkan juga tak baik bagi iklim tenaga kerja di Indonesia.
Mungkin hal ini dapat dilihat sebagai sisi pro daripada revisi UU Ketenagakerjaan. Yakni agar
meningkatkan kualitas buruh di pasar tenaga kerja Indonesia dan mempersiapkan tenaga kerja Indonesia
yang akan bersaing di pasar tenaga kerja interasional.
Yang dimaksud hoax menurut Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yakni draft yang berisi pasal-
pasal yang akan direvisi. Memang pasal-pasal dalam draft tersebut biarpun belum dapat dipastikan
kebenarannya, dinilai beberapa memberatkan buruh. Maka dari itu banyak menuai protes dari
masyarakat khususnya buruh dan aktivis buruh.
Dari sekian banyak pasal yang terdapat pada draft revisi UUK yang beredar di internet, saya akan
membahas beberapa yang menurut saya perlu dibahas. Baik karena menguntungkan buruh atau malah
memberatkan buruh. Memang belum dapat dipastikan kebenarannya namun dapat dijadikan bahan
pertimbangan. Apa sajakah pasal-pasal tersebut?
Pasal pertama yang menarik perhatian saya dan menuai kontra adalah pasal 77 mengenai penambahan
jam kerja. Pada UUK yang lama pasal 77 berbunyi :
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau
pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Apabila perusahaan hendak mempekerjakan buruh lebih dari waktu kerja pada Pasal 77 ayat (2) maka
wajib mendapat persetujuan buruh dan wajib membayar upah kerja lembur.
Menurut saya, waktu kerja pada Pasal 77 sudahlah tepat. Perusahaan juga perlu memerhatikan
kesejahteraan buruhnya, karena manusia memerlukan istirahat. Justru apabila buruh terlalu dipaksa
bekerja dalam waktu yang lama akan menurunkan efektivitas pekerjaan. Atau dengan kata lain tidak
akan memberikan hasil kerja maksimal. Sehingga saya rasa pemerintah perlu memertimbangkan revisi
penambahan waktu bekerja.
Rachel Rosetanya (2017-0500-0205)
Hukum Perburuhan

Pasal selanjutnya yang mengundang kontroversi yakni perubahan atas pasal 151-155 mengenai
penetapan PHK. Menurut draft revisi UUK, penetapan PHK diterapkan antara buruh dengan pengusaha
tanpa melalui mekanisme pengadilan. Hal ini tentunya bersifat kontra. Karena apabila penetapan PHK
sepenuhnya diberikan kepada perusahaan, bukan melalui pengadilan sebagai pihak ketiga yang netral
akan menimbulkan ketidakadilan dalam pemutusan hubungan kerja. Dalam hal ini, diperlukan pihak
ketiga yang netral sebagai penengah antara buruh dan perusahaan, agar perusahaan tidak sewenang-
wenang melakukan PHK dengan alasan yang subjektif. PHK harus didasari pada alasan objektif.
Perlu diingat juga, PHK berbeda dengan pengunduran diri. Apabila wewenang penetapan PHK
diberikan sepenuhnya pada perusahaan, bisa saja perusahaan memainkan buruh dengan alasan
“pengunduran diri” bukan dengan PHK. Hal ini terlihat jelas pada perbandingan dampak PHK dengan
dampak pengunduran diri. Apabila seorang buruh atau pekerja mengalami PHK, maka ia berhak
memperoleh uang pesangon 2 (dua) kali lipat, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Sedangkan pengunduran diri karyawan hanya memperoleh uang penggantian hak. Ketentuan PHK
karena efisiensi diatur dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, tentang
ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang selengkapnya berbunyi :
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup, bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur), tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan
ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Pasal selanjutnya yang menurut saya paling menuai kontra adalah revisi terhadap Pasal 100. Perubahan
ini menyatakan bahwa fasilitas kesejahteraan buruh dihapuskan. Menurut Penjelasan Pasal 100 UUK,
yang dimaksud dengan fasilitas kesejahteraan antara lain pelayanan keluarga berencana, tempat
penitipan anak, perumahan pekerja/buruh, fasilitas beribadah, fasilitas olah raga, fasilitas kantin,
fasilitas kesehatan, dan fasilitas rekreasi. Menurut saya, keputusan ini adalah keputusan ini sangat
merugikan buruh/pekerja karena melanggar dari deklarasi universal hak-hak asasi manusia yang mana
terdapat dalam Pasal 22 Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan
berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk
martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama
internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara , Pasal 23 ayat (3) Setiap
orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan
jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu
ditambah dengan perlindungan sosial lainnya yang mana dari pasal-pasal di atas apabila mengenai
fasilitas yang diterima buruh di hapus maka hal tersebut telah melanggar HAM manusia yang
seharusnya di jaga dan di jamin oleh negara tanpa terkecuali, karna apabila hak-hak tersebut di cabut
maka dapat membuat kehidupan buruh menjadi tidak sejahta ...... bla-bla lagi tambahin rachel hasian
ya

Selain Pasal 100, perubahan atas Pasal 161-166 juga merugikan. Perubahan ini mengatur tentang
pemberian pesangon dengan mempertimbangkan alasan “kemampuan” pengusaha. Pesangon tidak lagi
diatur dalam UU melainkan dalam PKB dan perundingan bipartite. Menurut saya, pemberian pesangon
ini sangat perlu sebagai bentuk pengahargaan kepada buruh/pekerja yang berdedikasi pada perusahaan.
Pesangon merupakan jaminan kelangsungan hidup terhadap buruh/pekerja apabila pasal ini di cabut
,maka tidak ada lagi dasar yang mengatur tentang pemberian pesangon bagi buruh,dan membuat
perusahaan bebas dalam membuat PKB tanpa mementingankan hak-hak dari buruh itu sendiri ,
mengenai alasan kemampuan usaha tidaklah menjadi dasar yang kuat ,mengapa demikan karna
bagaiman nasib mereka yang telah bekerja puluhan tahun mendedikasikan dirinya melebihi
kemampuannya dan suatu ketika terjadi PHK dan tidak mendapat pesangon dengan alasan perusahaan
Rachel Rosetanya (2017-0500-0205)
Hukum Perburuhan

tidak mampu, seharusnya pemerintah bijak dalam menanggapi asas keadilan, mengapa UU ini dibuat,
UU ini dibuat untuk melindungi hak-hak para buruh supaya tidak ditindas,dan revisi tentang UU ini
memberatkan buru dan memberi kelonggaran bagi para pengusaha untuk mengurangi bahkan
menghilangkan hak-hak yang harus diterima oleh buru tanpa diskriminasi .
Di akhir kata, menurut saya revisi terhadap UUK lebih banyak menuai kontra ketimbang pro.

SUMBER :
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
https://tirto.id/alasan-di-balik-ngototnya-pemerintah-revisi-uu-ketenagakerjaan-eggh
https://money.kompas.com/read/2019/08/17/090956026/menaker-draf-revisi-uu-ketenagakerjaan-
yang-beredar-di-medsos-hoaks

Anda mungkin juga menyukai