Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

“MASA PEMERINTAHAN DAULAH ABBASIYAH”

DOSEN PENGAMPU:

Dra.Fatmawati,M.Ag

Leli Indra Beti,M.Hum

DISUSUN OLEH :

Rahmat Hidayatullah (2230101119)

Sabilal Muhtadin (2230101141)

Adam (22301011)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

2022/1444H
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
BAB 2

PEMBAHASAN

A.Latar Belakang Berdirinya Daulah Abbasiyah

Nama Daulah Abbasiyah dinisbahkan kepada al Abbas ibn Abd al muthallib paman nabi
Muhammad SAW. Pendiri kerajaan abbbasiyah ini ialah Abu al Abbas Abdullah ibn Muhammad ibn ali
ibn Abdullah ibn al Abbas yang lebih terkenal dengan gelar al saffah.

Pada hakikatnya latar belakang berdirinya pemerintahan abbasiyah sangat erat kaitanya dengan
gerakan oposisi yang dilancarkan oleh golongan syiah terhadap pemerintahan bani umayyah. Golongan
syiah merasa tidak senang dengan kebijaksanaan pemerintahan bani umayyah , karena telah
mendiskreditkan mereka dari masyarakat umum. Hal ini bertambah meningkat setelah terjadinya
pembunuhan al Husayn ibn Ali ibn Abi Thalib di karbela. Namun kaum syiah itu sendiri pecah menjadi
beberapa kelompok , dan kelompok yang paling banyak pendukungnya adalah kelompok yang di pimpin
oleh Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, yang lebih terkenal dengan sebutan Muhammad ibn al
Hanafiyah.

Pada mulanya gerakan oposisi ini memakai nama Bani Hasyim, belum menunjukkan nama Syiah
ataupun Bani Abbas. Agar lebih banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Bani Hasyim terdiri dari
keturunan Ali bin Abi Thalib dan Abbas ibn Abd al Muthallib. Kedua keturunan ini telah menjalin
kerjasama untuk menjatuhkan Daulah Bani Umayyah. Gerakan mereka ini dilaksanakan melalui dua
tahap, yakni :

1.Gerakan Secara Rahasia dan Diam- Diam

Gerakan ini dimulai oleh seorang putra ali sendiri, Abu al Qasim Muhammad ibn Ali ibn
Thalib al Hasyimiy,yang lebih terkenal dengan sebutan Muhammad ibn al Hanafiyah. Setelah dia
meninggal, dilanjutkan oleh anaknya Abu Hasyim ibn Muhammad ibn al Hanafiyah. Abu Hasyim ini
kemudian jatuh sakit dan meninggal tahun 98 H/716 M di kota Humaymah, sebuah kota yang terletak di
antara Syiria dengan Hijaz dan merupakan pusat gerakan oposisi. Namun sebelum meninggal, dia telah
menyerahkan pimpinan kelompoknya kepada Abu Muhammad 'Ali ibn 'Abdillah ibn 'Abbas al Hasyimiy,
pimpinan keturunan 'Abbas yang tinggal di kota itu. Dengan demikian, kedua kelompok ini telah
menjalin kerja sama untuk menentang Bani Umayyah. Namun 'Ali ibn 'Abdillah ini tidak begitu tertarik
kepada masalah perjuangan politik, dia malah lebih tekun beribadat, sehingga terkenal dengan gelaran
al Sujjad. Karena itu, pimpinan gerakan ini dipegang oleh anaknya Muhammad ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn
'Abbas (Maidir Harun, 1999: 41-42).

Sebelum bedirinya Dawlah 'Abbasiyah, terdapat tiga tempat yang merupakan pusat kegiatan
oposisi, yang masing masingnya mempunyai peranan tersendiri untuk menegakkan kekuasaan keluarga
besar keturunan paman Nabi SAW 'Abbas ibn 'Abd al Muthallib. Ketiga tempat itu adalah Humaymah,
Kufah dan Khurasan. Humaymah merupakan tempat yang tenteram, dan yang bermukim di sana adalah
keluarga Bani Hasyim, baik dari kalangan pendukung keturunan 'Ali maupun pendukung keturunan
'Abbas Di sinilah tempat bermukimnya Muhammad ibn 'Ali dan dari kota ini pulalah diatur segala
macam pemikiran dan usaha untuk meruntuhkan Dawlah Bani Umayyah. Kufah adalah wilayah yang
penduduknya menganut aliran Syi'ah pendukung 'Ali ibn Abi Thalib, yang selalu didiskriminasikan oleh
Bani Umayyah, sehingga mereka mudah dipengaruhi untuk memberontak terhadap Bani Umayyah.
Khurasan mempunyai warga yang pemberani, kuat fisiknya, teguh pendiriannya, tidak mudah
dipengaruhi oleh pemikiran yang berbeda dari pemikiran mereka, dan gerakan menentang Bani
Umayyah mendapat dukungan di sini. Khurasan ini dipimpin oleh seorang tokoh terkenal, Abu Muslim
abd al Rahman ibn Muslim al Khurasaniy.

Pemimpin gerakan ini, Muhammad ibn 'Ali yang meletakkan dasar-dasar bagi berdirinya Dawlah
'Abbasiyah, mengemukakan masalah pemindahan kekuasaaan itu dengan hati hati serta menyebarkan
para propagandis untuk mendukung keluarga Nabi Muhammad SAW. Kegiatan oposisi ini makin
meningkat pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn 'Abd al 'Azis (99-101 H). sebab khalifah ini
terkenal dengan sifat dan sikap lemah lembutnya dan tidak bertindak keras terhadap kaum oposisi.

Muhammad ibn 'Ali wafat tahun 125 H di Humaymah, ketika Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah
al Walid ibn Yazid ibn 'Abd al Malik. Setelah itu, gerakan ini dipimpin oleh anaknya, Abu Is-haq Ibrahim
ibn Muhammad ibn 'Ali, yang terkenal dengan gelar Ibrahim al Imam. Pada tahun 129 H, di masa
pemerintahan Khalifah Marwan ibn Muhammad (744 - 750 M), pernah tertangkap sebuah surat rahasia
dari Ibrahim ibn Muhammad ibn 'Ali yang ditujukan kepada Abu Muslim al Kurasaniy di Khurasan. Isinya
antara lain menyebutkan perintah Ibrahim bin Muhammad kepada Abu Muslim agar membunuh setiap
orang yang berbahasa Arab di Khurasan.

Setelah mengetahui isi surat rahasia itu, maka Khalifah Marwan ibn Muhammad menangkap
Ibrahim ibn Muhammad dan memenjarakannya, sampai akhirnya dia wafat pada bulan Shafar tahun 132
H. Namun sebelum tertangkap, Ibrahim al Imam telah menunjuk saudaranya Abu al 'Abbas 'Abdullah ibn
Muhammad untuk melanjutkan perjuangan dan memintanya untuk pindah dari Humaymah ke Kufah.
Abu al 'Abbas tidak lagi bertindak secara rahasia dan diam-diam, sebab segala kegiatannya telah
diketahui oleh pemerintahan Bani Umayyah. Dia mulai secara terang terangan menentang Khalifah
Marwan ibn Muhammad, sehingga gerakan oposisi ini mulai memasuki tahap kedua, tahap terang-
terangan dan terbuka.

2.Secara Terang-terangan dan Terbuka

Seperti disebutkan di atas, sejak tertangkapnya surat Ibrahim ibn Muhammad kepada Abu Muslim,
gerakan opsisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan makin bertambah luas pengaruhnya,
sedangkan pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai melemah. Bahkan pada malam Jum'at
tanggal 13 Rabi' al Akhir 132 H, tokoh-tokoh oposisi ini telah membai'at Abu al 'Abbas 'Abdullah ibn
Muhammad, yang ketika itu berusia sekitar 28 tahun sebagai khalifah di Kufah. Besoknya, selesai shalat
Jum'at di Masjid Jami' Kufah, dilakukanlah pembai'atan secara umum kepada 'Abdullah ibn Muhammad
ibn 'Ali, yang kemudian menyebut dirinya dengan laqab al Saffah, sehingga berdirilah Dawlah
'Abbasiyah, sedangkan Dawlah Bani Umayyah masih ada dengan khalifahnya Marwan ibn Muhammad
ibn Marwan, yang lebih terkenal dengan gelaran Marwan al Himmar. Dalam pidato waktu
pembai`atannya itu, Abu al 'Abbas antara lain mengatakan:

"Saya berharap semoga pemerintahan Dawlah Abbasiyah ini akan mendatangkan kebaikan dan
kedamaian kepada kalian wahai penduduk Koufah, bukanya intimidasi, kekerasan dan kezhaliman.
Wahai penduduk Kufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami. Kalian tidak pernah berubah
pandangan, walaupun penguasa yang zhalim (Bani Umayyah) telah menekan dan menganiaya kaliab.
Kalian semua telah dipertemukan Allah dengan Dawlah 'Abbasiyah, maka oleh sebab itu jadilah kalian
orang-orang yang paling berbahagia dan yang paling kami muliakan. Ketahuilah wahai penduduk Koufah
saya adalah al Saffah.

Sejak saat itu populerlah gelar Abu al 'Abbas dengan al Saffah yang artinya seorang penumpas.
Kepopuleran gelar al Saffah ini tambah mendorong semangat Abu al 'Abbas untuk segera
menggulingkan Khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya dan menumaps habis orang orang
bani Umayah. Abu al abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali memimpin pasukan untuk menumpas
Marwan bin Muhammad.

Pertempuran terjadi antara pasukan Khalifah Marwan ibn Muhammad yang berjumlah sekitar
120.000 orang dengan pasukan 'Abdullah ibn 'Ali di tepi sungai al-Zab al Shaghir, anak Sungai Tigris di
sebelah timur. Pasukan Marwan yang besar itu terdesak dan dapat dikalahkan oleh pasukan 'Abdullah
yang lebih kecil jumlahnya. Marwan mundur ke Harran, lalu ke Qinsirin di utara Syiria, kemudian ke
Humsh, terus ke Damaskus. Namun 'Abdullah terus mengejarnya dan merebut kota-kota itu, sehingga
Marwan melarikan diri ke Palestina dan terus ke Mesir.

'Abdullah bin Ali menyuruh saudaranya Shalih ibn 'Ali untuk mengejar Marwan ke Mesir sehingga
terjadi pertempuran di Kampung Busir, daerah Bani Suwayf. Pasukan Marwan telah lemah sehingga
mereka dapat dikalahkan, bahkan Khalifah Marwan ibn Muhammad ibn Marwan tewas dalam
pertempuran ini, yakni pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H 750 M. Kepala Marwan ibn Muhammad ini
dipenggal oleh tentara 'Abbasiyah, lalu dibawa ke Kufah, pusat kegiatan Khalifah 'Abbasiyah Abu al
'Abbas 'Abdullah ibn Muhammad. Dengan demikian, berakhirlah pemerintahan Dawlah Bani Umayyah
dan Dawlah 'Abbasiyah tampil sebagai penguasa tunggal di kalangan umat Islam.

Bila diperhatikan, keberhasilan kaum oposisi dalam meruntuhkan pemerintahan Dawlah Bani
Umayyah ini adalah karena didukung oleh faktor geografis, faktor etnis dan faktor politis. Dari segi
geografis, daerah yang menjadi kegiatan oposisi terhadap Bani Umayyah adalah daerah Khurasan.
Daerah ini secara geografis jauh dari ibukota Dawlah Bani Umayyah (Damaskus), sedangkan pusat
kegiatan oposisi berada di Humaymah yang terletak dekat Damaskus. Dengan demikian apa saja yang
terjadi di Damaskus dapat dimonitor oleh gerakan oposisi dan setelah itu diinformasikan ke daerah-
daerah tapal batas golongan oposisi seperti khurasan, kufah dan lain-lainnya.

Dari segi etnis, sikap pemerintahan Dawlah Bani Umayyah yang terlalu memberi fasilitas dan
meninggikan penduduk yang berasal dari keturunan Arab, telah menimbulkan kecemburuan sosial di
kalangan penduduk yang bukan keturunan bangsa arab yang disebut dengan al Mawali. Dari kelompok
ini, yang paling tidak senang dengan sikap pemerintahan daulah Bani Umayyah tersebut adalah orang-
orang yang berasal dari keturunan bangsa Persia. Mereka merasa kurang diperlakukan secara adil oleh
pemerintahan, tidak ada rasa persamaan dan kebebasan. Orang orang Persia merasa diperlakukan
sebagai warga negara kelas dua oleh pemerintahan Bani Umayyah. Mereka tidak pernah mendapat
kesempatan untuk ambil bahagian dalam pemerintahan sipil dan militer. Mereka bahkan didiskriditkan
dan dianaktirikan dalam bidang usaha industri, perdagangan, pertanian dan profesi lainnya di daerah
asal mereka sendiri. Politik pemerintahan Bani Umayyah yang bercorak diskriminatif tersebut telah
menimbulkan kerawanan sosial, terutama antara golongan Arab dengan non Arab. Oleh karena itu,
tepat sekali W.Montogomery Watt mengatakan bahwa kejatuhan Dawlah Bani Umayyah adalah akibat
keresahan dan ketidak-puasan golongan non Arab, adanya kebencian sebahagian besar ulama dan
meluasnya keinginan pada juru selamat politik Islam yaitu seorang politikus yang kharismatik.

Setelah resmi menjadi khalifah, Abu al 'Abbas tidak mengambil kota Damaskus sebagai pusat
pemerintahannya, karena para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus, dan
lagi pula, kota itu terlalu dekat dengan Kerajaan Byzantium yang merupakan ancaman bagi
pemerintahannya. Dia lebih suka memilih kota Hasyimiyah dekat Kufah yang jauh dari Persia sebagai
pusat pemerintahannya, walaupun orang-orang Persia adalah tulang punggung Dawlah 'Abbasiyah
dalam menggulingkan Bani Umayyah. Kemudian khalifah yang kedua, Abu ja'far al manshur membangun
kota baghdad di dekat Ctesiphon, bekas ibuk kota kerajaan Persia, dan pada tahun 762 M, Khalifah al
Manshur menjadikan Baghdad sebagai ibukota Daerah Abbasiyah yang baru.

Anda mungkin juga menyukai