Anda di halaman 1dari 28

42

BAB III

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Kekuatan Mengikat Putusan Pengadilan

Secara teoritik, putusan hakim memiliki tiga macam kekuatan yaitu:42

a. kekuatan mengikat, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang

tetap (kracht van gewijsde, power of force), tidak dapat diganggu gugat

lagi. Putusan yang telah berkekuatan hukum pasti bersifat mengikat

(bindende kracht, binding force).

b. kekuatan pembuktian, yakni dapat digunakan sebagai alat bukti oleh para

pihak, yang mungkin dipergunakan untuk keperluan banding, kasasi atau

juga untuk eksekusi. Sedangkan putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang

berperkara sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalam

putusan tersebut.

c. kekuatan eksekutorial, putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap

atau memperoleh kekuatan yang pasti, mempunyai kekuatan untuk

dilaksanakan (executoriale kracht, executionary power).

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim

mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:43


42
Soepomo R. , Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta : Pradnya Paramita, 1993,
hlm . 57
43

a. Kekuatan Mengikat, Untuk dapat melaksanakan atau merealisasi suatu hak

secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang

menentapkan hak itu. Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk

menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau

hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan

mempercayakan sengketanya kepada pengadilan atau hakim untuk

diperiksa atau diadili, maka hal ini mengandung arti bahwa pihak-pihak

yang sangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan.

Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua belah

pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan

putusan. Jadi putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat : mengikat

kedua belah pihak (Pasal 1917 BW). Terikatnya para pihak kepada

putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberikan


44
dasar tentang kekuatan mengikat dari pada putusan;

1) Teori Hukum Materiil

Menurut teori ini maka kekuatan mengikat dari pada putusan

yang lazimnya disebut ”gezag van gewijisde” mempunyai sifat hukum

materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan

kewajiban keperdataan; menetapkan, menghapuskan atau mengubah.

43
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1998, hlm.
182
44
Ibid., hlm. 213
44

Menurut teori ini putusan dapat menimbulkan atau meniadakan

hubungan hukum. Jadi putusan merupakan sumber materiil. Disebut

juga ajaran hukum materiil karena memberi akibat yang bersifat

hukum pada putusan. Mengingat bahwa putusan hanya mengikat para

pihak dan tidak memberi wewenang untuk mempertahankan hak

seseorang terhadap pihak ketiga dan saat ini ajaran ini telah

ditinggalkan.

2) Teori Hukum Acara

Menurut teori ini putusan bukanlah sumber hukum materiil

melainkan sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini

bersifat hukum acara yaitu diciptakan nya atau dihapuskannya

wewenang dan kewajiban prosesuil. Ajaran ini sangat sempit, sebab

suatu putusan bukanlah sematamata hanyalah sumber wewenang

prosesuil, karena menuju kepada penetapan yang pasti tentang

hubungan hukum yang merupakan pokok sengketa.

3) Teori Hukum Pembuktian

Menurut teori ini putusan merupakan bukti tentang apa yang

ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh

karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak


45

diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah tidak banyak

penganutnya.

4) Terikatnya para Pihak pada Putusan

Terikatnya para pihak kepada putusan dapat mempunyai arti

positif dan negatif, yakni ;

a) Arti positif, arti positif dari kekuatan mengikat suatu putusan ialah

bahwa apa yang telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai

positif benar. Apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap

benar (res judicata pro veritate habetur). Pembuktian lawan tidak

dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada

undangundang Ps. 1917-1920 BW.

b) Arti negatif, arti negatif daripada kekuatan mengikat suatu putusan

ialah bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah

diputus sebelum nya antara para pihak yang sama serta mengenai

pokok perkara yang sama. Ulangan dari tindakan itu tidak akan

mempunyai akibat hukum : Nebis in idem (ps. 134 Rv). Kecuali

didasarkan atas pasal 134 Rv, kekuatan mengikat dalam arti

negatif ini juga didasarkan asas ”litis finiri oportet” yang menjadi

dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya

hukum; apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim

tidak boleh diajukan lagi kepada hakim. Di dalam hukum acara


46

kita putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dalam arti

positif maupun dalam arti negatif.

5) Kekuatan hukum yang pasti Suatu putusan memperoleh kekuatan

hukum yang pasti atau tetap (kracht van gewisjde) apabila tidak ada

lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa adalah

perlawanan, banding dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan

hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah, sekalipun

oleh Pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum

khusus yakni request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.

Pendapat para ahli hukum lain, ada yang berpandangan bahwa suatu

putusan mempunyai kekuatan hukum mengikat yang negatif kalau

belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan sejak mempunyai

kekuatan hukum yang pasti memperoleh kekuatan hukum yang

positif, maka putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang

pasti sudah mempunyai kekuatan mengikat yang positif. Putusan yang

dijatuhkan harus dianggap benar dan sejak diputuskan para pihak

harus menghormati dan mentaatinya.

b. Kekuatan Pembuktian

Putusan pengadilan dituangkannya putusan dalam bentuk tertulis

yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan

sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk
47

mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Putusan itu sendiri

merupakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai alat bukti.

c. Kekuatan Eksekutorial

Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan

atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti

semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnnya saja melainkan juga

realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan

mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak

berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan.

Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya

untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan

eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan

dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Suatu putusan

memperoleh kekuatan eksekutorial, apabila dilakukan oleh Peradilan di

Indonesia yang menganut ”Demi Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang

Maha Esa” (Ps. 4 ayat 1 Undangundang No. 4 tahun 2004) dan semua

putusan pengadilan di seluruh Indonesia harus diberi kepala di bagian

atasnya yang berbunyi ”Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang

Maha Esa” (Ps. 435 Rv jo. Ps. 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 tahun

2004)12.
48

Bedasarkan uraian tersebut di atas, kekuatan mengikat putusan pengadilan

adalah suatu kemestian yang praktis berhubung dengan tujuan acara perdata, yaitu

untuk menentukan bagaimana pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah

pihak untuk menentukan hukum menguasai soal yang menjadi perkara itu. Untuk

dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa diperlukan suatu

putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak itu. Suatu putusan

pengadilan dimaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan

menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan

dan mempercayakan sengketanya pada pengadilan atau hakim untuk diperiksa

atau di adili, hal ini mengandung pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan

patuh pada putusan yang dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah

dihormati kedua belah pihak.

B. Teori Penyelesaian Sengketa Kepegawaian

Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986, merumuskan pengertian Sengketa

Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha

Negara antara orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan TUN. 45 Keputusan Tata Usaha Negara merupakan

penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang berwenang,

45
Philip Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, 2008. hlm. 314
49

berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan bersifat

konkrit, individual dan final.

Sengketa Kepegawaian adalah sengketa/perselisihan yang timbul sebagai

akibat ditetapkannya keputusan Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian

oleh Badan atau Pejabat yang berwenang mengenai kedudukan, kewajiban,

hak dan pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Masalah Sengketa Kepegawaian

diatur dalam : Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan penyelesaian sengketa di

bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian

dari Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010

tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Sengketa Kepegawaian merupakan salah satu bagian dari sengketa Tata

Usaha Negara (TUN) dan keputusan/penetapan di bidang kepegawaian

merupakan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN). Sengketa-

sengketa di bidang kepegawaian tidak ditangani secara langsung oleh suatu

Peratun, namun terlebih dahulu harus diselesaikan melalui suatu proses yang

mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh

seorang pejabat di lingkungan pemerintahan. Proses tersebut di dalam ilmu

hukum disebut peradilan semu (quasi rechtspraak). Dikatakan sebagai

peradilan, karena memenuhi unsur-unsur layaknya suatu badan peradilan yaitu


50

adanya peraturan, adanya pihak-pihak yang bersengketa, adanya pejabat yang

berwenang menyelesaikan sengketa dan adanya sanksi. Dalam bukunya, Lutfi

Effendi menyatakan bahwa dikatakan semu(quasi), karena proses peradilan

tersebut dilaksanakan di dalam internal lingkungan pemerintahan tetapi tata

caranya sama dengan suatu badan peradilan, kegiatan peradilan dilakukan

oleh suatu badan atau komisi atau dewan atau panitia, dan bukan dilaksanakan
46
oleh lembaga peradilan independen di luar lingkungan pemerintahan.

Pengelolaan kepegawaian memang sangat rawan dengan masalah

Sengketa Kepegawaian, karena berkaitan dengan penerbitan atau penetapan

Keputusan Tata Usaha Negara bidang kepegawaian, antara lain berupa :

Keputusan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS),

Keputusan pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Keputusan

pengangkatan dalam pangkat (untuk kenaikan pangkat), Keputusan

pengangkatan dalam jabatan struktural dan jabatan fungsional, Keputusan

pemberhentian sementara sebagai PNS, Keputusan penjatuhan hukuman

disiplin, dan Keputusan pemberhentian sebagai PNS.

Untuk dapat dikategorikan sebagai sengketa kepegawaian, maka harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : subyek yang bersangkutan adalah

PNS di satu pihak sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara di lain pihak sebagai Tergugat, obyek sengketa adalah Keputusan

TUN di bidang kepegawaian mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan


46
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia, 2004, hlm. 97
51

pembinaan PNS, mengingat keputusan TUN di bidang kepegawaian

merupakan obyek sengketa, dalam praktek peradilan kemungkinan terjadi

perkembangan bahwa subyek yang bersengketa tidak hanya PNS yang

bersangkutan, tetapi bisa juga janda/duda PNS serta anak-anaknya sebagai

Penggugat dalam sengketa kepegawaian. Keputusan TUN bidang

kepegawaian dapat dianalogikan dengan keputusan TUN sebagaimana diatur

pada Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Sengketa Kepegawaian dapat terjadi oleh berbagai faktor diantaranya :

kesalahan penulisan identitas PNS seperti nama, tanggal lahir, NIP, pangkat

atau jabatan, kesalahan dalam keputusan kenaikan pangkat, kesalahan dalam

keputusan pengangkatan dalam jabatan struktulan dan fungsional,

ketidakpuasan PNS dalam keputusan penjatuhan hukuman disiplin,

keterlambatan penyelesaian permohonan izin perkawinan dan perceraian.

Pada dasarnya hak untuk membela kepentingan hukum merupakan salah

satu bentuk hak asasi yang dimiliki oleh seseorang/sekelompok orang. Untuk

itu hak untuk membela kepentingan hukum, khususnya dalam hubungan

dengan Keputusan TUN telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun

1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN.

Alasan gugatan Sengketa Kepegawaian adalah : Keputusan Badan atau

Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (baik yang

bersifat formal, prosedur maupun materiil/substansial) dan yang

dikeluarkannya oleh Badan/Pejabat TUN yang berwenang, Badan atau Pejabat


52

TUN dengan keputusannya telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan

lain daripada wewenang yang diberikan (detournement de pouvoir), Badan

atau Pejabat TUN mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan secara

tidak patut (willekeur).

C. Putusan Pengadilan dan KTUN

1. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian

Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986, merumuskan pengertian

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata

Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum perdata dengan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan TUN. 47 Keputusan Tata Usaha Negara merupakan

penetapan tertulis yang dilakukan oleh Negara atau pejabat yang berwenang,

berisi tindakan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan bersifat

konkrit, individual dan final.

Sengketa Kepegawaian adalah sengketa/perselisihan yang timbul

sebagai akibat ditetapkannya keputusan Tata Usaha Negara di bidang

kepegawaian oleh Badan atau Pejabat yang berwenang mengenai kedudukan,

kewajiban, hak dan pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Masalah Sengketa

Kepegawaian diatur dalam : Pasal 35 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

47
Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University
Press, 2008. hlm. 314
53

tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang menyatakan penyelesaian sengketa

di bidang kepegawaian dilakukan melalui peradilan untuk itu, sebagai bagian

dari Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010

tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Sengketa Kepegawaian merupakan salah satu bagian dari sengketa

Tata Usaha Negara (TUN) dan keputusan/penetapan di bidang kepegawaian

merupakan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).48 Sengketa-

sengketa di bidang kepegawaian tidak ditangani secara langsung oleh suatu

Peratun, namun terlebih dahulu harus diselesaikan melalui suatu proses yang

mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh

seorang pejabat di lingkungan pemerintahan. Proses tersebut di dalam ilmu

hukum disebut peradilan semu (quasi rechtspraak). Dikatakan sebagai

peradilan, karena memenuhi unsur-unsur layaknya suatu badan peradilan yaitu

adanya peraturan, adanya pihak-pihak yang bersengketa, adanya pejabat yang

berwenang menyelesaikan sengketa dan adanya sanksi. Dalam bukunya, Lutfi

Effendi menyatakan bahwa dikatakan semu(quasi), karena proses peradilan

tersebut dilaksanakan di dalam internal lingkungan pemerintahan tetapi tata

caranya sama dengan suatu badan peradilan, kegiatan peradilan dilakukan

48
Abdullah Gofar, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Malang:
Tunggal Mandiri, 2014, hlm. 9
54

oleh suatu badan atau komisi atau dewan atau panitia, dan bukan dilaksanakan

oleh lembaga peradilan independen di luar lingkungan pemerintahan. 49

Pengelolaan kepegawaian memang sangat rawan dengan masalah

Sengketa Kepegawaian, karena berkaitan dengan penerbitan atau penetapan

Keputusan Tata Usaha Negara bidang kepegawaian, antara lain berupa :

Keputusan pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS),

Keputusan pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Keputusan

pengangkatan dalam pangkat (untuk kenaikan pangkat), Keputusan

pengangkatan dalam jabatan struktural dan jabatan fungsional, Keputusan

pemberhentian sementara sebagai PNS, Keputusan penjatuhan hukuman

disiplin, dan Keputusan pemberhentian sebagai PNS.

Untuk dapat dikategorikan sebagai sengketa kepegawaian, maka harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : subyek yang bersangkutan adalah

PNS di satu pihak sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara di lain pihak sebagai Tergugat, obyek sengketa adalah Keputusan

TUN di bidang kepegawaian mengenai kedudukan, kewajiban, hak dan

pembinaan PNS, mengingat keputusan TUN di bidang kepegawaian

merupakan obyek sengketa, dalam praktek peradilan kemungkinan terjadi

perkembangan bahwa subyek yang bersengketa tidak hanya PNS yang

bersangkutan, tetapi bisa juga janda/duda PNS serta anak-anaknya sebagai

Penggugat dalam sengketa kepegawaian. Keputusan TUN bidang


49
Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Malang: Bayumedia, 2004, hlm. 97
55

kepegawaian dapat dianalogikan dengan keputusan TUN sebagaimana diatur

pada Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009.

Sengketa Kepegawaian dapat terjadi oleh berbagai faktor diantaranya :

kesalahan penulisan identitas PNS seperti nama, tanggal lahir, NIP, pangkat

atau jabatan, kesalahan dalam keputusan kenaikan pangkat, kesalahan dalam

keputusan pengangkatan dalam jabatan struktulan dan fungsional,

ketidakpuasan PNS dalam keputusan penjatuhan hukuman disiplin,

keterlambatan penyelesaian permohonan izin perkawinan dan perceraian.

Pada dasarnya hak untuk membela kepentingan hukum merupakan

salah satu bentuk hak asasi yang dimiliki oleh seseorang/sekelompok orang.

Untuk itu hak untuk membela kepentingan hukum, khususnya dalam

hubungan dengan Keputusan TUN telah diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU

No. 5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN.

Alasan gugatan Sengketa Kepegawaian adalah : Keputusan Badan atau

Pejabat TUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (baik yang

bersifat formal, prosedur maupun materiil/substansial) dan yang

dikeluarkannya oleh Badan/Pejabat TUN yang berwenang, Badan atau Pejabat

TUN dengan keputusannya telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan

lain daripada wewenang yang diberikan (detournement de pouvoir), Badan

atau Pejabat TUN mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan secara

tidak patut (willekeur).


56

2. Keputusan TUN sebagai Objek Sengketa

Ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986, berbunyi :

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di dalam Tata

Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau

pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam penjelasan UU tersebut dikonfirmasikan bahwa istilah

“sengketa” tersebut mengandung arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan

Tata Usaha Negara yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan

hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha dalam mengambil keputusan pada

dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal

atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan

kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, maka menurut azas

hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus diberikan

kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

Bertumpu pada rumusan/definisi di atas, Muchsan, SH

mengemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu

sengketa Tata Usaha Negara yaitu :

a. Harus ada perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun kewajiban

sebagai akibat dari penerapan hukum tertentu. Ini bahwa sengketa itu
57

timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh

pejabat Tata Usaha Negara.

b. Sengketa itu terletak dalam bidang Tata Usaha Negara.

c. Subjek yang bersengketa adalah individu/badan hukum perdata atau

sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara

sebagai pihak tergugat semua berhak tampil sebagai penggugat dalam

mepertahankan hak-haknya.

d. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha

Negara. Ini berarti bahwa keputusan Tata Usaha Negara merupakan

causa prima bagi timbulnya sengketa Tata Usaha Negara. 50

Sedangkan Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH

berpendapat bahwa unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :

a. Subjeknya atau pihak yang bersengketa orang atau badan hukum privat di

satu pihak dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.

b. Objek sengketa ialah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. 51

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses singkatan Tata Usaha

Negara terdapat dua subjek sengketa para pihak yang bersengketa di muka

Peradilan Tata Usaha Negara yaitu lazim disebut sebagai pihak penggugat

50
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm. 58-59
51
Baharuddin Lopa dan A. Hamzah, Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 47
58

dan pihak tergugat. Mengenai siapa mempunyai hak menggugat atau

penggugat berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No. 57/1986 adalah

mereka yang kepentingan dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha

Negara.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 4 di atas, maka hanya orang

atau Badan Hukum Perdata sajalah yang berkedudukan sebagai subjek yang

dapat mengajukan gugatan. Orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat

tampil sebagai penggugat adalah hanya orang atau badan hukum perdata

yang kepentingannya terkena langsung oleh akibat hukum Keputusan Tata

Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.

Mucshan, SH memberikan kesimpulannya, bahwa untuk dapat berperan

sebagai penggugat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Berbentuk individu atau badan hukum perdata, berarti suatu perkumpulan

atau organisasi yang tidak berbadan hukum dengan akte authenik tidak

dapat tampil sebagai penggugat

b. Terkena langsung oleh akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu

keputusan Tata Usaha Negara.

c. Menderita kerugian yang konkrit, artinya kerugian yang dapat dinilai

dengan uang (geld waarde). 52

Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan

(onbekwaam) melakukan perbuatan hukum atau menghadap di muka


52
Mucshan, Op.Cit, hal. 63
59

pengadilan, sehingga tidak dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata

Usaha Negara. Badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke

Peradilan Tata Usaha Negara adalah badan atau perkumpulan atau organisasi

atau koperasi dan sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan

BW (KUH Perdata) atau peraturan lainnya, yang telah merupakan Badan

Hukum (rechsperson).

Martiman Prodjohamidjojo, SH mengemukakan bahwa untuk adanya

perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak

menggugat di Peradilan Tata Usaha Negara diperlukan 3 syarat yakni :

a. Adanya lapisan anggota terlihat dari administrasinya

b. Merupakan organisasi dengan tujuan tertentu, sering diadakan rapat

periodik pemilihan pengurus, adanya kerjasama antara anggota dengan

tujuan fungsional

c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai kesatuan

Bila kelompok atau perkumpulan itu memenuhi ketiga persyaratan

tersebut dapat mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 1 UU 5/1986.

Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat telah dirumuskan di

dalam pasal 1 butir 6 UU No. 5/1986 yaitu : “Tergugat adalah badan atau

pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan

wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat

oleh orang atau badan hukum perdata. Tergugat itu dapat berbentuk tunggal

dan dapat juga berbentuk jamak.


60

Kemudian mengenai apa yang menjadi objek sengketa TUN secara

jelas dapat diketahui dari definisi/rumusan yang tercantum dalam Pasal 1 butir

4 UU No. 5/1986 yang dikutip di atas. Dari rumusan tersebut dapat

disimpulkan bahwa yang menjadi objek sengketa TUN dirumuskan peradilan

TUN adalah keputusan TUN, sehingga sengketa TUN tersebut selalu

berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan TUN. Keputuan TUN yang

dapat dijadikan sebagai objek sengketa harus memenuhi unsur-unsur

penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan dan disyaratkan dalam pasal

1 butir 3 yang berbunyi : “Keputuan TUN adalah suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum

TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang

bersifat kongkret, individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata”.

Indroharto, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 butir 3 UU No. 5

Tahun 1986 tersebut merupakan penetapan tertulis (beschikking) yang unsur-

unsurnya dibedakan atas 6 butir yaitu :

a. Bentuk penetapan itu harus tertulis

b. Penetapan itu dikeluarkan oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara

c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

e. Bersifat konkret, individual dan final


61

f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 53

Jika salah satu unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka keputusan

yang demikian tidaklah merupakan objek sengketa atau objek gugatan. Selain

itu meskipun keputusan TUN ini pada dasarnya merupakan causa prima

timbulnya sengketa TUN akan tetapi terhadap prinsip inipun masih ada

batasan-batasannya. Maksudnya ada bentuk Keputusan TUN (tidak dapat

digugat) meskipun telah memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis di atas.

Keputusan TUN yang demikian yaitu merupakan jenis yang dikecualikan dari

kewenangan lingkungan peradilan TUN.

Adapun keputusan-keputuan TUN yang dikecualikan atau yang

dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian beschiking atau yang

mempersempit kompetensi peradilan TUN, sehingga tidak dapat digugat ke

Peradilan TUN, adalah :

a. Keputusan-keputusan TUN yang ditentukan dalam pasal No. 5 Tahun

1986 meliputi :

1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan perdata

2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang

bersifat umum

3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan

53
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Edisi Baru, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1994, hlm. 163.
62

4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan

ketentuan KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan

lain yang bersifat hukum pidana

5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar

pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan-

peraturan perundang-undangan yang berlaku

6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha ABRI

7) Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah,

mengenai hasil pemilihan umum.

b. Keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan

ketentuan pasal 49 UU No. 5/1986, yang menyatakan bahwa Peradilan

Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan

yang disengketakan itu dikeluarkan :

1) Dalam waktu perang atau dalam keadaan berbahaya, keadaan bencana

alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

c. Keputusan-keputusan TUN yang telah melampaui tenggang waktu 40 hari

sejak tanggal/saat diterimanya atau diumumkannya atau diketahuinya

keputusan TUN dimaksud sesuai dengan pasal 55 UU No. 5/1986. Dengan


63

kata lain apabila telah melampaui tenggang waktu tersebut, maka

keputusan TUN itu tidak lagi diajukan atau digugat ke pengadilan TUN.

Di samping ketentuan yang mempersempit kompetensi TUN

sebagaimana yang dijelaskan di atas, ternyata ada juga ketentuan yang

memperluas kompetensi PTUN, yaitau pasal 3 UU No. 5 Tahun 1996 yang

menyatakan :

1) Apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan,

sedang hal itu merupakan kewajibannya, maka hal tersebut disamakan

dengan keputusan TUN.

2) Jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan TUN yang

dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atu

pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan

dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak

menentukan juga waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka

setelah lewat juga waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan badan

atau pejabat TUN yang bersangkutan penolakan atau disebut keputusan

TUN negatif fiktif.

Timbulnya sengketa TUN tersebut berkenaan dengan masalah sah

atau tidaknya suatu keputusan TUN, sehingga pengajuan gugat balik atau

rekonpensi tidak dikenal dalam Hukum Acara Peradilan TUN. Di atas


64

sudah dijelaskan bahwa keputusan TUN merupakan causa prima bagi

timbulnya sengketa TUN. Dengan demikian tanpa adanya keputusan TUN,

maka tidak mungkin timbul sengketa TUN sebab objek yang

dipersengketakan tidak ada. Meskipun ada keputusan TUN, akan tetapi

tidak memenuhi salah satu unsur dari pasal 1 butir 3, atau termasuk yang

dikecualikan, maka keputusan TUN yang demikian tidak dapat menjadikan

sebagai objek sengketa atau objek gugatan di peradilan TUN.

Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa yang sebenarnya

dipersengketakan dalam suatu proses di pengadilan TUN itu adalah

pelaksanan dari suatu wewenang pemerintahan menurut hukum publik

yang diharapkan oleh badan atau pejabat TUN, dengan kata lain yang

disengketakan itu selalu merupakan salah satu bentuk tindakan hukum

pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atau badan TUN yang

mengatakan badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang

melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Kewenangan dan Keabsahan Keputusan TUN

Van der Pot mengemukakan terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi

agar ketetapan administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya

tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi

tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. bevoedgheid (kewenangan) organ

administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de


65

wilsvorming (tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak );

3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah

ditetapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan

keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. 54

Sementara itu, menurut Philipus M. Hadjon prasyarat keabsahan

suatu tindakan pemerintah harus memenuhi syarat yaitu wewenang, prosedur

dan substansi.55 Aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang

mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku untuk itu. Aspek prosedur, berarti bahwa

ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tatacara yang

disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah. Aspek

substansi, artinya menyangkut obyek ketetapan atau keputusan tidak ada “

Error in re”.

Berdasarkan norma wewenang pemerintah, tindakan pemerintahan

bersumber dari atribusi, delegasi maupun mandat.56 Wewenang atribusi

adalah kewenangan wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan

perundang-undangan. Kewenangan tersebut disebut dengan asas legalitas.

Sementara wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh atas dasar

54
Dalam Boedi Djatmiko, Karakter hukum keputusan PTUN, Makalah.
55
Philipus M. Hadjon, Pengertian dasar tentang tindak Pemerintahan, Copy-Perc&stensil
Jumali, Surabaya, 1985, h. 25.
56
I Made Arya Utama, Hukum Lingkungan: Sistem Hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan, Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Pustaka Sutra, 2007, hlm. 34
66

pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang

mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan

rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang tegas oleh peraturan

perundang-undangan. Wewenang pemerintah yang diperoleh secara atribusi

adalah wewenang pemerintah yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan. Oleh karena itu segala tindakan hukum pemerintah harus selalu

berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku/berpedoman

pada norma wewenang yang ada dalam peraturan perundang-undangan

dimaksud dan tidak boleh bertentangan dengan norma wewenang yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan

dari istilah Belanda “ rechtmatigheid” (van bestuur). Rechtmatigheid =

legalitas = legality. Ruang lingkup keabsahan meliputi : 1. wewenang; 2.

prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 (wewenang dan substansi) merupakan

landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas

presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan pasal 67 ayat (1)

UU. No. 5 Th. 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi

dilaksanakannya Keputusan Badan atau Tata Usaha negara serta tindakan

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

Sebaliknya Berdasarkan hukum suatu keputusan yang tidak

memenuhi elemen atau syarat dapat dikatakan bahwa keputusan mengandung

kekurangan juridis dalam pembuatannya, sehingga keputusan tersebut


67

merupakan suatu keputusan menjadi tidak sah. E. Utrecht, mengatakan:suatu

ketetapan yang mengandung kekurangan tidak selalu merupakan ketetapan

atau keputusan yang tidak sah. Ada ketetapan yang mengandung kekurangan

tetap merupakan ketetapan sah. Menurutnya pada umumnya tergantung pada

hal apakah syarat yang tidak dipenuhi itu merupakan bestaansvoorwaarde

atau tidak untuk adanya ketetapan itu. ( bestaansvoorwaarde= syarat yang

harus dipenuhi agar sesuatu ada; kalau syarat tidak dipenuhi maka sesuatu itu

(dianggap) tidak ada.

Di dalam Hukum Administrasi bahwa ketetapan tidak sah akan

berakibat batal ketetapan tersebut, dapat dibedakan 3 ( tiga ) jenis

pembatalan suatu ketetapan tidak sah yaitu: pertama, ketetapan yang batal

karena hukum ( nietigheid van rechtswege); kedua, ketetapan yang batal (

nietig, juga: batal absolut, absoluut nietig); ketiga, ketetapan yang dapat

dibatalkan ( vernietigbaar).

Keputusan yang “ batal demi hukum” adalah suatu ketetapan yang

isinya menetapkan adanya akibat suatu perbuatan itu untuk sebagian atau

seluruhnya bagi hukum dianggap tidak ada, tanpa diperlukan keputusan

pengadilan atau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang

menyatakan batalnya ketetapan tersebut, jadi ketetapan itu batal sejak

dikeluarkan.bagi hukum dianggap tidak ada ( dihapus ) tanpa diperlukan

suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintah lain yang

berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruhnya.


68

Namun Utrecht sendiri menjelaskan dalam catatat kaki bukunya,

bahwa hal ini jarang sekali terjadi namun ada atau dengan kata-kata “ satu

dua hal”. yang maksudnya bahwa sebetulnya Utrecht mempunyai pendapat

secara umum bahwa batal karena hukum suatu ketetapan tidak secara

otomatis artinya diperlukan suatu tindakan pembatalan dari Pengadilan

maupun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Selanjutnya suatu ketetapan

yang “Batal” ( nietig) merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum yang

dilakukan yang berakibat suatu perbuatan dianggap tidak pernah ada yang

disebut juga sebagai “ Absoluut nietig”.

Selanjutnya pengertian “ dapat dibatalkan” ( vernietigbaar )

merupakan suatu tindakan atau perbuatan hukum Badan atau Tata Usaha

Negara yang dalam pengertian dapat dibatalkan karena diketahui perbuatan

itu mengandung kekurangan. Perbuatan yang dilakukan dan akibatnya

dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan

pemerintah lain yang berkompeten ( pembatalan diadakan karena pembuatan

tersebut mengandung sesuatu kekurangan ). Bagi hukum, perbuatan tersebut

ada sampai waktu pembatalannya, menjadi sah ( terkecuali dalam hal

undang-undang menyebut beberapa bagian akibat itu tidak sah). Setelah

pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan – bila mungkin – diusahakan

supaya akibat yang telah terjadi itu semuanya atau sebagiannya hapus.

Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan keputusan yang dapat

dibatalkan (vernietigbaar) yaitu Suatu keputusan baru dapat dinyatakan batal


69

setelah pembatalan oleh hakim atau instansi yang berwenang membatalkan,

dan pembatalan tidak berlaku surut. Jadi bagi hukum perbuatan dan akibat-

akibat hukum yang ditimbulkan dianggap sah sampai dikeluarkan keputusan

pembatalan (ex-nunc) kecuali undang-undang menentukan lain.

Anda mungkin juga menyukai