Anda di halaman 1dari 16

PENGEMBANGAN KRITERIA DALAM EVALUASI PROGRAM

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Evaluasi Program dan Pembelajaran PAI

Dosen Pengampu : Dr. Eko Setiawan, M.Pd

Di susun Oleh:

Hesty Hyldania Azizah (22202011013)

Faisal Ghufron Hasan (22202011014)

Dayu Irmawan (22202011016)

Sunanul Annisyah (22202011023)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2023
KATA PENGANTAR

Segala pujibagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-naNtikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan tugas dari mata kuliah Evaluasi Program dan Pembelajaran PAI dengan judul
“Pengembangan Kriteria dalam Evaluasi Program”.

Penulis tentu menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terimakasih.

Malang, 23 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Tujuan Kegiatan .............................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ..................................................................................... 3

B. Bentuk dan Penerapan Program atau Kegiatan ............................................................... 3

C. Pengembangan Kriteria dalam Evaluasi Program .......................................................... 4

D. Pembahasan................................................................................................................... 10

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 12

A. KESIMPULAN ............................................................................................................. 12

B. SARAN ......................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program adalah realisasi dari suatu kebijakan. Sedangkan evaluasi program adalah
upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan program, atau dengankata lain, untuk
mengetahui implementasi dari suatu kebijakan. Dengan demikian,kegiatan evaluasi program
mengacu pada tujuan, atau dengan kata lain, tujuan tersebut dijadikan ukuran keberhasilan.
Pertanyaannya, apakah perbedaan antara evaluasi program dengan penelitian? Atau
bagaimana perbandingan antara evaluasi program dengan penelitian? Di depan sudah
disinggung secara singkat persamaan dan perbedaan antara penelitian dengan evaluasi
program.
Manfaat evaluasi program menurut (Arikunto, 2009) evaluasi program dapat
disamaartikan dengan supervisi. Secara singkat, supervisi diartikan sebagai upaya
mengadakan peninjauan untuk memberikan pembinaan maka evaluasi program adalah
langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan
dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Perbedaan yang sangat mencolok terletak pada
arah kegiatannya. Evaluasi program mempunyai ukuran keberhasilan, yang dikenal dengan
istilah kriteria. Dikarenakan dalam evaluasi program kedudukan kriteria sangat penting maka
perlu dibicarakan secara mendalam.

B. Tujuan Kegiatan
Tujuan dari laporan tentunya adalah sebagai bentuk penyajian fakta tentang suatu
keadaan atau suatu kegiatan. Fakta yang disajikan itu pada umumnya berkenaan dengan
tanggung jawab yang ditugaskan kepada pembuat laporan. Fakta yang disajikan merupakan
bahan atau keterangan berdasarkan keadaan objektif yang dialami sendiri oleh pembuat
laporan (dilihat, didengar, atau dirasakan sendiri) ketika si pembuat laporan itu melakukan
suatu kegiatan.
Menyusun laporan evaluasi adalah kegiatan akhir dari evaluasi program. Laporan hasil
evaluasi disusun dalam bentuk tulisan dan dapat dipublikasikan. Secara garis besar laporan
evaluasi program terdiri dari empat pokok hal yaitu permasalahan, metodologi evaluasi, hasil
evaluasi dan kesimpulan hasil evaluasi. Dalam hasil laporan kami ini sebagai tujuan

1
2

observasi penelitian kami yaitu SMA Islam Al-Maarif Singosari untuk mencari tahu
program-program yang ada dalam lembaga tersebut, serta evaluasi seperti apa yang sudah
diterapkan apakah sudah berhasil atau masih diharuskan adanya beberapa evaluasi dalam
program tersebut. Hal ini tentunya untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri
khususnya evaluasi dalam program PAI.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Pelaksanaan observasi dilakukan di SMA Islam Al-Maarif Singosari. Namun
karena keterbatasan waktu observasi masih dilakukan melalui wawancara kepada salah
satu wakil kepala sekolah bagian kesiswaan yang dulunya juga mantan wakil kepala
sekolah bagian kurikulum.

B. Bentuk dan Penerapan Program atau Kegiatan


1. Program Sekolah
SMA Islam Al-Maarif Singosari memiliki dengan Slogan “MAJU” singkatan
dari kata Mandiri, Aswaja, Jujur dan Unggul. Lingkungan sekolah ini berada di
lingkungan pondok pesantren namun tidak seluruh siswanya berada didalam
pondok pesantren. Oleh karena itu sekolah memiliki tujuan untuk menjadikan siswa
nya “siswa rasa santri” dan “lulusan SMA rasa SMK”. Tujuan itu diharapkan kelak
akan menjadi bekal siswa setelah lulus agar siap untuk terjun di masyarakat. “Siswa
rasa santri” diharapkan seluruh siswa baik yang berada di pondok pesantren atau
tidak nantinya akan memiliki bekal keagamaan yang cukup. Sebagai bekalnya
dalam bidang pendidikan agama Islam, SMA Islam Al-Maarif tidak hanya
memberikan pembelajaran berbentuk materi saja melainkan ada beberapa aspek
pendukung selain pembelajaran formal pendidikan agama Islam yaitu kegiatan
Literasi Qurani, Kegiatan Ubudiyah, dan SKU.
Literasi Qurani dilakukan setiap 30 menit sebelum jama’ah sholat dhuhur
dihari senin-kamis yang dipimpin langsung dari kantor. Kegiatan literasi qurani ini
membaca al-quran juz 30 yang nantinya ini akan juga berfungsi pada kegiatan SKU.
Selain itu juga ada kegiatan BBQ dengan metode bilqolam setiap hari jumat dan
sabtu. Kegiatan ini untuk membimbing bacaan al-quran para siswa. Karena dalam
kegiatan BBQ ini siswa akan dibagi setiap jilid yang terdiri dari jilid 1-4 dan sesuai
dengan kemampuannya. Selanjutnya yaitu kegiatan Ubudiyah dan SKU, kegiatan
ubudiyah seperti kegiatan sholat jama’ah, pembacaan diba’ oleh siswi yang sedang
haid, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan. Sedangkan
kegiatan SKU adalah kegiatan yang mengujikan kemampuan siswa secara teori,

3
4

hafalan dan praktek. Materi yang diujikan seperti hafalan surat pendek, praktek
memandikan jenazah, praktek bab nikah, dan berbagai materi yang kelak bias
berguna baik untuk dirinya sendiri dan masyarakat.
Selain mewujudkan lulusan “siswa rasa santri” sekolah juga ingin
mewujudkan “lulusan SMA rasa SMK”. Hal tersebut diusahakan sekolah dengan
melakukan kerja sama antara SMA Islam Al-Maarif Singosari dengan Institut
Teknologi Surabaya di bidang prodistik. Prodistik adalah program terapan di bidang
TIK dimana ini merupakan kerjasama antara ITS Surabaya dengan SMA Islam
Almaarif Singosari. Program ini disiapkan untuk membantu pengembangan
kemampuan siswalulusan SMA Islam Almaarif Singosaridalam meningkatkan
SDM terutama dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Program ini
terdiri dari teori dan praktek dengan perbandingan sekitar 80% praktek dan 20%
teori. Selain itu, program ini juga dikemas dalam bentuk SKS sejumlah 25 SKS
yang akan ditempuh dari semester 1 hingga semester 5 yang rata-rata beban setiap
semesternya adalah 5 SKS. Dalam pelaksanaannya sudah diinclude dalam KBM
SMA Islam Al-Maarif Singosari.

C. Pengembangan Kriteria dalam Evaluasi Program


1. Peran kriteria dalam proses evaluasi program
Istilah "kriteria" dalam penilaian sering juga dikenal dengan kata "tolok ukur"
atau "standar". Dari nama-nama yang digunakan tersebut dapat segera dipahami
bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai
patokan atau batas minimal untuk sesuatu yang diukur. Kriteria atau standar dapat
disamakan dengan "takaran". Jika untuk mengetahui berat beras digunakan
timbangan, panjangnya benda digunakan meteran maka kriteria atau tolok ukur
digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai. Tentang batas yang ditunjuk
oleh kriteria, sebagian orang mengatakan bahwa tolok ukur adalah "batas atas",
artinya batas maksimal yang harus dicapai. Sementara sebagian orang lainnya
mengatakan bahwa tolok ukur atau kriteria adalah "batas bawah", yaitu batas
minimal yang harus dicapai.
Dapat disimpulkan bahwa kriteria atau tolok ukur itu bersifat jamak karena
menunjukkan batas atas dan batas bawah, sekaligus batas-batas di antaranya.
Dengan demikian, kriteria menunjukkan gradasi atau tingkatan, dan ditunjukkan
dalam bentuk kata keadaan atau predikat. Permasalahan di dalam kriteria evaluasi
5

program adalah aturan tentang bagaimana menentukan peringkat-peringkat kondisi


sesuatu atau rentangan-rentangan nilai, agar data yang diperoleh dapat dipahami
oleh orang lain dan bermakna bagi pengambil keputusan dalam rangka menentukan
kebijakan lebih lanjut. Jika evaluator tidak berniat membuat kriteria khusus,
sebaiknya menggunakan kriteria yang sudah lazim digunakan dan dikenal oleh
umum, misalnya skala 1–10 atau skala 1-100. Dari mana sebuah angka diperoleh
atau bagaimana menentukan suatu angka? Misalnya seorang guru memberikan nilai
akhir untuk pengisian rapor adalah angka 7. Untuk menentukan angka 7 tersebut
seorang guru mempertimbangkan beberapa hal. Komponen yang membentuk nilai
misalnya ulangan harian, ulangan umum, dan tugas-tugas.
Ketika guru menentukan nilai ulangan harian saja, sudah harus
mempertimbangkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu benar-salahnya jawaban dan
banyaknya soal yang dapat diselesaikan. Jika kriteria untuk prestasi belajar
menggunakan sepuluh jenjang penilaian, yaitu 1 sampai dengan 10, atau 1 sampai
dengan 100 (meskipun tidak semua digunakan secara rutin), untuk nilai dalam
evaluasi program pada umumnya menggunakan kriteria atau tolok ukur lima
jenjang. Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan tiga jenjang atau
tujuh jenjang. Apakah memang harus gasal? Tentang gasal dan genapnya jenjang
kriteria ada kelebihan dan kekurangan. Jika jenjangnya gasal, berarti ada nilai di
tengah untuk menyatakan "cukup" atau "sedang".
Ada sebagian ahli yang "mencurigai" penggunaan nilai tengah karena
dikhawatirkan untuk responden yang ragu-ragu dalam menentukan pilihan, akan
dengan cepat memilih nilai tengah. Untuk menghindari hal ini penyusun
mencantumkan pilihan genap. Dengan demikian, penyusun tidak menyediakan
pilihan nilai tengah. Untuk itu, banyaknya pilihan bisa 2, 4, atau 6. Jika pilihannya
terlalu banyak, dikhawatirkan justru akan membingungkan responden dan dikatakan
terlalu rumit.

2. Pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan criteria evaluasi program


Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri
dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai. Selain alasan
sederhana tersebut, ada beberapa alasan lain yang lebih luas dan dapat lebih
dipertanggungjawabkan, yaitu:
6

1. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur, evaluator dapat lebih mantap dalam
melakukan penilaian terhadap objek yang akan dinilai karena ada patokan yang
diikuti.
2. Kriteria atau tolok ukur yang sudah dibuat dapat digunakan untuk menjawab atau
mempertanggungjawabkan hasil penilaian yang sudah dilakukan, jika ada orang
yang ingin menelusuri lebih jauh atau ingin mengkaji ulang.
3. Kriteria atau tolok ukur digunakan untuk mengekang masuknya unsur subjektif
yang ada pada diri penilai. Dengan adanya kriteria maka dalam melakukan
evaluasi, evaluator dituntun oleh kriteria, mengikuti butir demi butir, tidak
mendasarkan diri atas pendapat pribadi (yang mungkin sekali "dikotori" oleh
seleranya).
4. Dengan adanya kriteria atau tolok ukur maka hasil evaluasi akan sama meskipun
dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dalam kondisi fisik penilai yang
berbeda pula. Misalnya penilai sedang dalam kondisi badan yang masih segar
atau dalam keadaan lelah hasilnya akan sama.

Kriteria atau tolok ukur memberikan arahan kepada evaluator apabila


banyaknya evaluator lebih dari satu orang. Kriteria atau tolok ukur yang baik akan
ditafsirkan sama oleh siapa saja yang menggunakannya. Yang dimaksud dengan
istilah "dasar" dalam pembuatan standar atau kriteria adalah sumber pengambilan
kriteria secara keseluruhan. Dengan pengertian bahwa kriteria adalah suatu ukuran
yang menjadi patokan yang harus dicapai maka kriteria tersebut harus "top"
kondisinya.
Timbul pertanyaan, dari manakah yang "top" itu diambil? Mengingat banyaknya
objek yang diukur dan dengan harapan serta kondisi yang berbeda-beda maka ada
beberapa sumber pembuatan kriteria. Kriteria atau tolok ukur sebaiknya dibuat
bersama, dan sebaiknya dibuat oleh orang-orang yang akan menggunakannya, yaitu
calon evaluator, dengan maksud agar pada waktu menerapkannya tidak ada masalah
karena mereka sudah memahami, bahkan tahu apa yang melatarbelakanginya.
1. Sumber Pertama
Apabila yang dievaluasi merupakan suatu implementasi kebijakan maka yang
dijadikan sebagai kriteria atau tolok ukur adalah peraturan atau ketentuan yang
sudah dikeluarkan berkenaan dengan kebijakan yang bersangkutan. Apabila penentu
kebijakan tidak mengeluarkan ketentuan secara khusus maka penyusun kriteria
7

menggunakan ketentuan yang pernah berlaku umum yang sudah dikeluarkan oleh
pengambil kebijakan terdahulu dan belum pernah dicabut masa berlakunya.
2. Sumber Kedua
Dalam mengeluarkan kebijakan biasanya disertai dengan buku pedoman atau
petunjuk pelaksanaan (juklak). Di dalam juklak tertuang informasi yang lengkap,
antara lain dasar pertimbangan dikeluarkannya kebijakan, prinsip, tujuan, sasaran,
dan rambu-rambu pelaksanaannya. Butir-butir yang tertera di dalamnya, terutama
dalam tujuan kebijakan, mencerminkan harapan dari kebijakan. Oleh karena itu,
pedoman atau petunjuk pelaksanaan itulah yang distatuskan sebagai sumber kriteria.
3. Sumber Ketiga
Apabila tidak ada ketentuan atau petunjuk pelaksanaan yang dapat digunakan
oleh penyusun sebagai sumber kriteria maka penyusun menggunakan konsep atau
teori-teori yang terdapat dalam buku-buku ilmiah.
4. Sumber Keempat
Jika tidak ada ketentuan, peraturan atau petunjuk pelaksanaan, dan juga tidak
ada teori yang diacu, penyusun disarankan untuk menggunakan hasil penelitian.
Dalam hal ini sebaiknya tidak langsung mengacu pada hasil penelitian yang baru
saja diselesaikan seorang peneliti (apalagi peneliti pemula), tetapi disarankan
sekurang-kurangnya hasil penelitian yang sudah dipublikasikan atau diseminarkan.
Jika ada, yang sudah disajikan kepada orang banyak, yaitu disimpan di perpustakaan
umum.
5. Sumber Kelima
Apabila penyusun tidak menemukan acuan yang tertulis dan mantap, dapat
minta bantuan pertimbangan kepada orang yang dipandang mempunyai kelebihan
dalam bidang yang sedang dievaluasi sehingga terjadi langkah yang dikenal dengan
expert judgment.
6. Sumber Keenam
Apabila sumber acuan tidak ada, sedangkan ahli yang dapat diandalkan sebagai
orang yang lebih memahami masalah dibanding penyusun juga sukar dicari atau
dihubungi maka penyusun dapat menentukan kriteria secara bersama dengan
anggota tim atau beberapa orang yang mempunyai wawasan tentang program yang
akan dievaluasi. Perbedaan cara ini dengan expert judgment adalah bahwa seorang
expert tentunya memiliki keahlian yang menonjol, sedangkan kelompok yang
diundang dalam diskusi ini tidak harus yang sangat mempunyai kemampuan lebih.
8

Kriteria atau tolok ukur yang tersusun dari diskusi ini merupakan hasil kesepakatan
kelompok.
7. Sumber Ketujuh
Dalam keadaan yang sangat terpaksa karena acuan tidak ada, ahli juga tidak ada,
sedangkan untuk menyelenggarakan diskusi terlalu sulit maka jalan terakhir adalah
melakukan pemikiran sendiri. Dalam keterpaksaan seperti ini penyusun kriteria atau
tolok ukur hanya mengandalkan akal atau nalar penyusun sendiri sebagai dasar
untuk menyusun kriteria yang akan digunakan dalam mengevaluasi program. Jika
ternyata sesudah digunakan dalam mengevaluasi masih menjumpai kesulitan,
penyusun harus meninjau kembali dan wajib memperbaikinya berkali- kali sampai
mencapai suatu rumusan yang sesuai dengan kondisi yang diinginkan.

3. Langkah-langkah pengembangan criteria evaluasi program


Sebelum membicarakan tentang bagaimana menyusun kriteria atau tolok ukur
perlu terlebih dahulu dipahami bahwa wujud dari kriteria adalah tingkatan atas
gradasi kondisi sesuatu yang dapat ditransfer menjadi nilai. Secara garis besar ada
dua macam kriteria, yaitu kriteria kuantitatif dan kriteria kualitatif.
1. Kriteria Kuantitatif
Kriteria kuantitatif sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) kriteria tanpa
pertimbangan, dan (2) kriteria dengan pertimbangan.
a. Kriteria Kuantitatif Tanpa Pertimbangan
Kriteria yang disusun hanya dengan memperhatikan rentangan
bilangan tanpa mempertimbangkan apa-apa dilakukan dengan membagi
rentangan bilangan.
Contoh:
Kondisi maksimal yang diharapkan untuk prestasi belajar
diperhitungkan 100%. Jika penyusun menggunakan lima kategori nilai maka
antara 1% dengan 100% dibagi rata sehingga menghasilkan kategori sebagai
berikut.
 Nilai 5 (Baik Sekali), jika mencapai 81-100%
 Nilai 4 (Baik), jika mencapai 61-80%
 Nilai 3 (Cukup), jika mencapai 41-60%
 Nilai 2 (Kurang), jika mencapai 21-40%
9

 Nilai 1 (Kurang Sekali), jika mencapai < 21%


Istilah untuk sebutan yang menunjukkan kualitas bukan hanya dari
Baik Sekali sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali, Tinggi,
Cukup, Rendah, dan Rendah Sekali, atau mungkin Sering Sekali, Sering,
sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-
istilah lain yang menunjukkan kualitas suatu keadaan, sifat, atau kondisi,
seperti Banyak Sekali, Sibuk Sekali, dan lain-lainnya. Untuk pertimbangan
atau pendapat orang, penyusun dapat menggunakan kata Setuju, Sependapat,
dan lain-lain.
b. Kriteria Kuantitatif dengan Pertimbangan
Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika kriteria kuantitatif
dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi
rentangan sama rata. Sebagai contoh adalah nilai di beberapa perguruan
tinggi untuk menentukan nilai dengan huruf A, B, C, D, dan E. Bagaimana
menentukan nilai untuk masing-masing huruf mengacu pada peraturan
akademik berdasarkan besarnya persentase pencapaian tujuan belajar sebagai
berikut.
 Nilai A: rentangan 80-100%
 Nilai B: rentangan 66-79%
 Nilai C: rentangan 56-65%
 Nilai D: rentangan 40-55%
 Nilai E: kurang dari 40%
Melihat pengkategorian nilai-nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa
rentangan di dalam setiap kategori tidak sama, demikian juga jarak antara
kategori yang satu dengan lainnya. Hal ini dibuat karena adanya
pertimbangan tertentu berdasarkan sudut pandang dan pertimbangan
evaluator.
2. Kriteria Kualitatif
Yang dimaksud dengan kriteria kualitatif adalah kriteria yang dibuat tidak
menggunakan angka-angka. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menentukan
kriteria kualitatif adalah indikator dan yang dikenai kriteria adalah komponen.
Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis kriteria kualitatif juga dibedakan menjadi
10

dua, yaitu (a) kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, dan (b) kriteria kualitatif
dengan pertimbangan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
a. Kriteria Kualitatif Tanpa Pertimbangan
Dalam menyusun kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, penyusun kriteria
tinggal menghitung banyaknya indikator dalam komponen, yang dapat
memenuhi persyaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara indikator,
komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa
1. komponen adalah unsur pembentuk kriteria program
2. indikator adalah unsur pembentuk kriteria komponen.
b. Kriteria Kualitatif dengan Pertimbangan
Dalam menyusun kriteria, terlebih dahulu tim evaluator perlu merundingkan
jenis kriteria mana yang akan digunakan, yaitu memilih kriteria tanpa pertim-
bangan atau dengan pertimbangan. Jika yang dipilih adalah kriteria dengan
pertimbangan maka tentukan indikator mana yang harus diprioritaskan atau
dianggap lebih penting dari yang lain. Kriteria kuaitatif dengan pertimbangan
disusun melalui dua cara, yaitu (1) dengan mengurutkan indikator, dan (2)
dengan menggunakan pembobotan.

D. Pembahasan
Salah satu ciri khas yang dimiliki SMA Islam Al Ma’arif Singosari adalah Program
BBQ (Bimbingan Baca Al-Qur’an). Program ini adalah kerjasama antara SMA Islam
Almaarif Singosari dengan Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) dan menjadi salah satu
program unggulan yang menjadi ikon yang dimiliki SMA Islam Almaarif Singosari,
program ini adalah program wajib yang harus dijalani setiap siswa dan menjadi sangat
istimewa karena seluruh tenaga pendidiknya diambil langsung dari pusat pembelajaran
metode baca Al-Qur’an Bil Qolam dibawah asuhan Almaghfurlah KH. Bashori Alwi
(PIQ). Dalam program ini terdapat beberapa jenjang kelas sesuai kemampuan siswa, dari
Bil Qolam (1,2,3) Juz Amma, Al-Qur’an dan Tahsin.
Adapun program BBQ ini diterapkan di SMA Islam Singosari melalui beberapa
proses mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Perencanaan BBQ meliputi
pembuatan kurikulum, kurikulum yang dipakai dalam program ini sepenuhnya mengambil
dari Pesantren Ilmu Qur’an dan instrukturnya juga berasal dari Pesantren Ilmu Qur’an.
Kriteria yang dijadikan dalam evaluasi program ini adalah dengan dengan pembagian
jenjang, dengan pembagian jenjang evaluasi akan mudah untuk dilakukan. Pengukuran
11

kriteria disini adalah dengan dibedakannya jilid yang dipakai untuk Bimbingan Baca Al-
Qur’an. Masing-masing dilid memiliki level kesulitan yang berbeda.
Evaluasi program ini bisa dilihat dari siswa yang telah selesai mengikuti kelas
bimbingan, siswa dikatakan bisa naik jilid apabila sudah mentustaskan jilid yang
sebelumnya dengan cara mengikuti tahsin. Apabila saat tahsin belum lancar maka siswa
tidak berhak untuk naik jilid. Dan begitu seterusnya setelah jilid pada metode bilqolam
selesai akan naik pada tingkat Juz Amma dan jika Juz Amma selesai maka bisa
melanjutkan ke Al-Qur’an.
Kriteria seperti itu sudah menjadi pertimbangan antara pihak SMA Islam dan
Pesantren Ilmu Qur’an dalam mewujudkan generasi Qur’ani. Melihat dari bentuk
pelaksanaan program ini yang dinilai cukup efektif dan sangat berdampak maka ada satu
program tambahan yaitu program Tahfidz dimana program ini bisa diikuti oleh siswa yang
memiliki kriteria telah menguasai metode Bil Qolam dan lulus Juz Amma. Program
Tahfidz SMA Islam Almaarif Singosari dimulai sejak tahun 2017 sebagai wadah untuk
membina peserta didik yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menghafal Al-
Qur’an.
Materi Program Tahfidz terdiri dari materi wajib dan materi lanjutan. Materi wajib
adalah surat-surat wajib yang harus dikuasai oleh peserta didik sebelum melangkah kepada
materi lanjutan, surat-surat wajib tersebut adalah: Juz 30, Al-Mulk, Al-Waqiah, Yasin, Al-
Kahfi. Sedangkan materi lanjutan: adalah materi yang diikuti oleh peserta didik setelah
mereka menguasai materi wajib, dan dimulai dari juz 1 hingga juz 29. Sistem
Pembelajaran Tahfidz meliputi:
1. Urdhoh: adalah kegiatan inti dari program tahfidz dimana peserta didik menyetorkan
hafalannya.
2. Muroja’ah: adalah kegiatan mengulang hafalan yang telah disetorkan kepada
pembina.
3. Tasmi’: adalah kegiatan mengulang hafalan yang telah disetorkan secara berpasangan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Evaluasi program pembelajaran PAI yang ada dan sudah berjalan di SMA Islam Al-
Maarif Singosari sudah berjalan cukup baik, hal ini bisa dilihat dari siswa yang telah selesai
mengikuti kelas bimbingan, siswa dikatakan bisa naik jilid apabila sudah mentustaskan jilid
yang sebelumnya dengan cara mengikuti tahsin. Apabila saat tahsin belum lancar maka siswa
tidak berhak untuk naik jilid. Dan begitu seterusnya setelah jilid pada metode bilqolam
selesai akan naik pada tingkat Juz Amma dan jika Juz Amma selesai maka bisa melanjutkan
ke Al-Qur’an. Tentunya dalam hal ini harus lebih ditingkatkan lagi, serta masih perlunya
evaluasi untuk mencapai tujuan pendidikan yang maksimal dan membentuk siswa siswi yang
berprestasi.

B. SARAN
Perlu adanya usaha lebih kepada seluruh elemen tenaga kependidikan dalam menyikapi
kurang intensnya komunikasi antar tenaga kependidikan. Hal ini berdampak pada proses
pembelajaran dikelas. Kedua, perlu adanya kualifikasi pendidik baru yang lebih
berkompetensi dan melek teknologi, ini dilakukan untuk meringankan beban pendidik,
menyikapi perkembangan teknologi di era digital, dan dapat memaksimalkan media
pembelajaran digital yang dimiliki sekolah

12
DAFTAR PUSTAKA

Ananda, R., & Rafida, T. (2017). Pengantar Evaluasi Program Pendidikan. Penerbit
Perdana.

Arikunto, S. & Jabar, C. S. A. (2009). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara.

Kemdikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia


Nomor 65. Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan menengah.

Majid, A. (2014). Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Interes Media

Moleong, L. J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

13

Anda mungkin juga menyukai