Anda di halaman 1dari 2

Kamis, 10 September 2009 | 08:55  

JAKARTA. Dua bank asing menelan kekalahan yang sama dalam sengketa transaksi
derivatif di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, kemarin (9/9). Pengadilan menyatakan
Citibank NA dan The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) telah melawan
hukum dalam perjanjian transaksi derivatif dengan nasabahnya.

Citibank N.A misalnya, hakim PN Jakarta Selatan menyatakan perjanjian transaksi derivatif
bank asal Amerika Serikat ini dengan sang nasabah, PT Permata Hijau Sawit tidak sesuai
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/6/PBI/ 2005 tentang Transparansi Informasi Produk
Bank.

Citibank bersalah karena tidak menjelaskan secara terperinci produk perbankannya.


Citibank cuma menjelaskan produk callable forward ke Permata Hijau dalam bahasa Inggris.
“Istilahnya membingungkan,” kata Ketua Majelis Hakim, Artha Theresia, dalam persidangan,
Rabu (9/9).

Artha juga menilai, Citibank membuat peraturan yang tidak berimbang. Yakni hanya Citibank
saja yang bisa membatalkan perjanjian secara sepihak. Alhasil, “Perjanjian callable
forward batal demi hukum,” ucapnya. Hakim memerintahkan kedua pihak untuk
mengembalikan uang dari transaksi yang telah terjadi.

Citibank harus mengembalikan uang US$10 juta ke Permata Hijau, termasuk membuka lagi
rekening milik perusahaan sawit ini sebesar US$545.000. Sebaliknya, Permata Hijau juga
harus mengembalikan uang Rp97,2 miliar ke Citibank.
Tak cuma itu. Citibank kudu meminta koreksi ke Bank Indonesia bahwa Permata Hijau
bukan debitur bermasalah di Sistem Informasi Debitur (SID).

Putusan ini membuat Citibank kecewa. Kuasa hukum Citibank Erwandi Hendarta
mengatakan, perjanjian transaksi derivatif ini sah karena telah diteken kedua pihak.
“Pembatalan ini telah merusak kesakralan sebuah kontrak,” ujarnya yang bakal melakukan
perlawanan hukum atas putusan ini.
Kuasa hukum Permata Hijau David Tobing bilang, putusan ini akan menjadi contoh yang
baik dalam sengketa transaksi derivatif lainnya. “Sebab, bank telah sewenang-wenang,”
ujarnya.

Pertimbangan hukum yang hampir serupa terjadi dalam kasus transaksi derivatif antara
HSBC melawan PT Fresh On Time Seafood. PN Jakarta Selatan dengan susunan majelis
yang sama juga membatalkan perjanjian transaksi derivatif kedua belah pihak.

Hakim menilai, HSBC telah melakukan perbuatan melawan hukum karena telah melanggar
PBI soal transparansi informasi produk bank. Hakim juga menilai, perjanjian keduanya harus
batal karena tidak seimbang. Makanya, hakim memerintahkan keduanya untuk
mengembalikan uang yang timbul dalam perjanjian yang sudah berjalan. “Menyatakan
gugatan dari penggugat (Fresh On Time) diterima sebagian,” ujar Artha, ketua majelis
hakim.

Kuasa hukum HSBC Krismawan bilang, merujuk revisi PBI tahun 2009 soal transaksi
derivatif, suatu perjanjian yang telah berjalan harus diselesaikan sampai tuntas. “Putusan
hakim melanggar keputusan BI,” ujarnya.

Sementara kuasa hukum Fresh On Time Taufik Arrizar mengatakan, putusan ini sudah adil
buat kliennya walaupun gugatan materiil sebesar Rp3,9 miliar tidak terkabul. “Tujuan kita
memang supaya perjanjian ini harus batal,” ujar Taufik.
Seperti contoh kasus Citibank dan HSBC yang bersengketa dengan nasabahnya
hingga masuk ke meja hijau. Kesalahan tersebut dapat menjadi suatu goncangan
dalam dunia perbankan sehingga nasabah dan calon nasabah akan berpikir untuk
kedua kalinya apabila ingin menginvestasikan dananya di dalam bank tersebut.
Peristiwa kedua bank tersebut secara sengaja untuk meraup keuntungan yang lebih
dengan cara melanggar PBI No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 yang tidak
menjelaskan secara terperinci kepada nasabah bank. Selain itu, ditambah dengan
bujuk rayu bank akan keunggulan-keunggulan melakukan transaksi derivative
sehingga secara cepat nasabah bank menyetujui perjanjian tersebut tanpa ingin
mengetahui lebih dalam arus kas yang berkembang menjadi laba yang besar.

Saran
Berdasarkan kasus derivative yang disalahgunakan oleh Citibank dan HSBC
merupakan gambaran kepada pemerintah khususnya Bank Indonesia harus
mengawasi lebih ketat perbankan yang ada di Indonesia. Selain itu bank seharusnya
menjelaskan atau memberitahukan secara luas, jelas dan menghindari informasi
yang sulit dimengerti oleh nasabah bank mengenai kegiatan tersebut. Hal ini juga
ditujukan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara pihak bank dan
nasabah bank. Dan untuk memperdalam pengetahuan sebelum menyetujui
perjanjian derivative maka akan lebih baik mengetahui dasar atau pedoman yang
telah diatur dalam UU Perbankan di Indonesia. UU Perbankan yang telah diatur oleh
Bank Indonesia dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menetapkan dan
melaksanakan kebijaksanaan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Tujuan Bank Indonesia adalah
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah akibat kecenderungan
melemahnya nilai tukar rupiah. Bank Indonesia berharap pembelian valuta asing
terhadap rupiah yang bertujuan spekulatif dapat diminimalkan, sehingga dapat
membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, yang akhirnya dapat memberikan
dampak positif bagi perekonomian Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai