Anda di halaman 1dari 173

OTITIS EKSTERNA DIFUSA

BATASAN
Otitis eksterna difusa ialah infeksi pada kulit Meatus Akustikus Eksternus (MAE).

ETIOLOGI
Kuman penyebab terbanyak ialah Streptokokus, Stafilokokus, tetapai dapat pula dari
golongan jamur (Apergilus atau Kandida).

PATOFISIOLOGI

Sebagai faktor predisposisi:

1. Faktor endogen : Keadaan umum yang buruk akibat anemia, hipovitaminosis, diabetes
melitus, datau alergi
2. Faktor eksogen : Trauma karena tindakan mengorek telinga.
Suasana lembab, panas, atau alkalis didalam MAE.
Udara yang lembab dan panas menyebabkan udim pada stratum korneum
kulit MAE, sehingga menurunkan resistensi kulit terhadap infeksi.
Kelembaban kulit yang tinggi setelah beranang/mandi menyebabkan
maserasi. Bentuk MAE yang tidak lurus menyulitkan penguapan dan
mengakibatkan kulit MAE lebih sering dalam keadaan lembab. Keadaan-
keadaan tersebut menimbulkan rasa gatal yang mendorong penderita
mengorek telinga, sehingga trauma yang timbul akan memperhebat
perjalanan infeksi.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
- Rasa gatal sampai rasa nyeri.
- Telinga berair (otorea).
- Pendengaran normal atau sedikit berkurang.
2. Pemeriksaan:
- MAE terisi sekret serous (alergi), purulen (infeksi kuman), keabu-abuan atau kehitam-
hitaman (jamur).
- Kulit MAE udim, hiperemi merata sampai ke membran timpani.

DIAGNOSIS BANDING
- Otitis media

PENYULIT
- Perikondritis
- Dermatitis aurikularis
- Erisipelas

TERAPI
- Membersihkan dan mengeringkan telinga setiap hari.
- Menghilangkan faktor predisposisi.
- Pemasangan tampon pita ½ cm x 5 cm yang dibasahi dengan larutan Burowi di dalam
MAE. Tampon dibiarkan selama 24 jam, dan selalu ditetesi dengan antiseptik dan steroid.
- Pada infeksi jamur dapat digunakan tetes telinga yang mengandung Nistatin atau larutan
asama salisilat 2% dalam alkohol. (Jangan digunakan pada perforasi membran timpani).
Tetes telinga diberikan 3 kali sehari, selama satu minggu.
- Untuk menghilangkan rasa nyeri diberikan analgesik seperti Metampiron 500 mg, atau
Asam mefenamat 250 mg.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1089-95.
2. Caruso VG, Myerhoff WL, Trauma and infections of the external ear. In: Paparella MM,
Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol II.2nd ed. Philadelphia, London, Toronto :WB
Saunders Co, 1980:1345-50.
PERIKONDRITIS AURIKULARIS

BATASAN
Perikondritis aurikularis adalah infeksi supuratif pada perikondrium tulang rawan
daun telinga.

ETIOLOGI
Kuman penyebab:
- P. aeroginosa
- S. aureus

PATOFISIOLOGI

Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari:


- Operasi telinga
- Trauma daun telinga
- Infeksi kulit daun telinga dan liang telinga.

Mula-mula terjadi infiltrat pada perikondrium, kemudian terjadi supurasi, dan selanjutnya
dapat terjadi nekrosis tulang rawan yang mengakibatkan terjadinya deformitas daun telinga.

DIAGNOSIS

1. Amnesis :
- Daun telinga terasa nyeri, merah dan bengkak.
- Kadang-kadang disertai demam

2. Pemeriksaan:
- Daun telinga hiperemi, udim dan nyeri tekan
- Terdapat fluktuasi bila terjadi supurasi
- Dapat disertai deformitas daun telinga.
TERAPI

1. Antibiotik : Kloksasilin 4 x 250-500 mg/hari per oral, atau Gentamisin 2 x 80 mg/hari


i.m. selama 5 hari.
2. Analgesik : Parasetamol atau Asetosal bila diperlukan.
3. Insisi bila terjadi supurasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1084-7
2. Becker W, Naumann HH, Platz CR. Ear, nose and throat diseases. New York: Thieme
Medical Publishers Inc, 1989:74-7.
OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT

BATASAN
Otitis media supuratif akut ialah infeksi akut dengan pembentukan sekret purulen
yang mengenai muka kavum timpani.

ETIOLOGI
Kuman penyebab :
- S. pneumonie
- S. aureus
- H. influenzae

PATOFISIOLOGI

Biasanya didahului oleh infeksi akut saluran nafas bagian atas.


Infeksi saluran nafas bagian atas menyebabkan penyumbatan tuba Eustakhius. Terjadi
gangguan ventilasi kavum timpani, dengan akibat timbulnya kavum timpani vakum.
Selanjutnya terjadi transudasi di dalam kavum timpani (“hydrop ex vauo”). Adanya infiltrasi
kuman patogen dari nasofaring dan rongga hidung menimbulkan supurasi.

DIAGNOSIS

Dibagi dalam 4 stadium :

Anamnesis Pemeriksaan
Stadium I (stadium kataral)

Telinga terasa penuh. Membrana timpani retraksi, hiperemi.


Grebeg-grebeg. Kadang-kadang tampak “air-fluid level”.
Gangguan pendengaran
Batuk, pilek.

Stadium II (stadium supuratif)


Nyeri telinga. Membrana timpani bombans, hiperemi.
Gangguan pendengaran. Belum ada sekret di dalam telinga.
Demam
Batuk, pilek.
Belum ada otorea.

Stadium III (Stadium perforasi)


Otorea. Sekret mukopurulen
Nyeri telinga. M. timpani perforasi
Gangguan pendengaran. Kadang-kadang tamapak pulsasi
Batuk, pilek.

Stadium IV (stadium resolusi)


Gangguan pendengaran. M. timpani perforasi, hiperemi.
Kadang-kadang ada tinitus. Tidak ada sekret.
Telinga kering.

DIAGNOSIS BANDING
- Furunkel liang telinga
- Otitis eksterna

PENYULIT
- Mastoiditis akut (abses retroaurikel).
- Paresis/paralisis syaraf fasialis.
- Labirintitis.
- Penyulit ke intrakranial : Meningitis, Abses otak, abses otak, abses otak kecil.

TERAPI

1. Memperbaiki drainase
- Tindakan : Parasentesis (Miringotomi).
- Obat-obatan : Dekongestan oral (Psedoefedrin) 3 x 30-60 mg setiap hari selama 5-7 hari.
Tetes hidung (Efedrin 1% 3 x sehari 3 tts), selama diperlukan.
2. Antibiotik diberikan selama 7 hari.
- Amoksisilin/Ampisilin (3-4 x 500 mg oral).
- Eritromisin (3 x 500 mg oral).
3. Simtomatik untuk infeksi saluran nafas atas:
- Analgesik/antipiretik (Asetosal/Parasetamol/Antalgin), bila diperlukan.
- Kombinasi dekongestan oral dan antihistamin apabila disertai Rinitis (Kombinasi
Psedoefedrin 60 mg dan Triprolidin Hkl 2.5 mg).
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1128-34.
2. Ransome J. Acute suppurative otitis media and acute mastoiditis. In: Evans JNG, ed. Scott
– Brown’s otolaryngology 5th ed. Paediatric Otolaryngology. London, Boston, Durban,
Singapore, Sydney, Toronto, Wellington : Butterworths, 1987:177-185.
OTITIS MEDIA SEROSA

BATASAN
Otitis media serosa ialah keradangan non bakterial mukosa kavum timpani yang
ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen (serous atau mukus).

PATOFISIOLOGI
Gangguan fungsi tuba Eustakhius merupakan penyebab utama. Gangguan tersebut
dapat terjadi pada:
- Keradangan kronik pada rongga hidung, nasofaring, faring misalnya oleh alergi.
- Pembesaran adenoid dan tonsil.
- Tumor nasofaring.
- Celah langit-langit.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
- Telinga terasa penuh, terasa ada cairan (grebeg-grebeg).
- Pendengaran menurun.
- Terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan/menguap.

2. Pemeriksaan :
- Pada otoskopi membran timpani berubah warna (kekuning-kuningan) refleks cahaya
berubah atau menghilang.
- Dapat terlihat “air-fluid level” atau “air bubles”.

3. Pemeriksaan tambahan: (bila tersedia sarana).


- Audiogram : tuli konduktif.
- Timpanogram : tipe B atau C.

DIAGNOSIS BANDING
Otitis media supuratif akut tipe kataral.
PENYULIT
- Otitis media kronik.
- Mastoiditis kronik.
- Timpanosklerosis.

TERAPI

1. Tahap I :
- Miringotomi dan pasang “ventilating tube”.
- Obat-obatan terhadap gangguan fungsi tuba. ((Dekongestan oral atau lokal, lihat terapi
Otitis media supuratif akut).

2. Tahap II:
- Bila ada pembesarantonsildan adenoid, dilakukan Adenotonsilektomi (ICOPIM 5.282)
- Perawatan alergi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1113-27.
2. Maw AR. Otitis Media with effusion. In : Evans JNG, ed Scott – Brown’s otolaryngology
5th ed. Paediatric Otolaryngology. London, Boston, Durban, Singapore, Sydney, Toronto,
Wellington : Butterworths, 1987:159-76.
MASTOIDITIS AKUT

BATASAN:
Infeksi akut yang mengenai mukosa dan sek-sel mastoid, yang merupakan jutaan dari
proses Otitis media akut supuratif yang tidak teratasi.

ETIOLOGI
Kuman penyebab :
- S. pneumonie
- S. aureus.
- H. influenzae.

PATOFISIOLOGI
Keradangan pada mukosa kavum timpani pada Otitis media supuratif dapat menjalar
ke mukosa antrum mastoid. Bila terjadi gangguan pengaliran sekret melalui aditus ad
antrum dan epitimpanum menimbulkan penumpukan sekret di antrum sehingga terjadi
empiema dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel mastoid.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis :
- Nyeri dan rasa penuh di belakang telinga.
- Otorea terus menerus selama lebih dari 6 minggu.
- Febris/subfebris.
- Pendengaran berkurang.

2. Pemeriksaan :
- Daun telinga terdorong ke depan lateral bawah, sulkus retoraurokuler
mengilang (Infiltrat/Abses Retroaurikula).
- Nyeri tekan pada planum mastoid.
- Pada otoskopi tampak:
a. Dinding belakang atas MAE menurun (“Sagging”)
b. Perforasi membran timpani.
c. “Reservoir sign”.
d. Sekret mukopurulen.

3. Pemeriksaan tambahan :
Pada x-foto mastoid Schuller tampak kerusakan sel-sel mastoid (Rongga
Empiema).

DIAGNOSIS BANDING
Furunkel liang telinga dengan komplikasi limfadenitis retroaurikula.

PENYULIT
- Abses subperiosteal (retroaurikula).
- Paresis/paralisis syaraf fasialis.
- Labirintitis.
- Komplikasi intrakranial : Abses perisinus, Abses ekstradural, Meningitis, Abses
otak.

TERAPI

1. Operasi : Mastoidektomi simpel.


2. Antibiotik : Ampisilin/Amoksisilin i.v atau oral 4 x 500 – 1000 mg diberikan
selama 7-10 hari. Untuk yang alergi terhadap Ampisilin/Amoksisilin dapat
diberikan Eritromisin dengandosis 3-4 x 500 mg, selama 7-10 hari.
3. Analgestik/Antipiretik: Parasetamol/Asetosal/Metampiron bila diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1124-34.
2. Shambaugh GE, Girgis TF. Acute otitis media and mastoiditis In : Paparella MM,
Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol II.2nd ed. Philadelphia, London, Toronto :WB
Saunders Co, 1980:1445-51.
PRESBIAKUS

BATASAN
Ketulian atau kekurang pendengaran yang disebabkan oleh proses ketuaan.

PATOFISIOLOGI
Terjadi pada usia 60-80 tahun. Dapat terjadi mulai umur 40 tahun (Presbiakusis
prekok). Paling banyak pada umur 60-65 tahun.
Kelainan dapat terjadi pada koklea, nervus auditivus maupun pada susunan syaraf
pusat (SSP).

Faktor yang mempengaruhi:


- Kebisingan.
- Diet lemak tinggi.
- Merokok dan ketegangan.

Berdasarkan patologinya dapat dibagi dalam:


- Presbiakusis sensoris (terjadi atrofori organon corti).
- Presbiakusis neural (neuron pada SSP berkurang).
- Presbiakusis strial (atrofi stria vaskularis).
- Presbiakusis koklear-konduktif (terjadi gangguan pergerakan membran basilaris).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
• Pendengaran berkurang, sulit berkomunikasi.
• Telinga berdenging.
• Diplakusis.
• Dapat disertai vertigo.
2. Pemeriksaan:
• Pada otoskopi tak ditemukan kelainan.
3. Pemeriksaan tambahan:
• Audiometri: Audiogram nada murni menunjukkan tuli perseptif bilateral
simetris, dengan penurunan pada frekuensi di atas 1000 Hz.

DIAGNOSIS BANDING
- Trauma akustik (karena kebisingan).
- Penyakit Meniere.
- Otosklerosis stadium lanjut.

TERAPI
Tidak ada terapi definitif yang memuaskan.
- Vasolidator: Asam nikotinat.
- Vitamin B kompleks, Vitamin A.
Keduanya diberikan dalam sebulan.
Dihentikan bila tidak ada perbaikan.

Apabila diperlukan dapat dipasang Alat Pembantu Mendengar (“Hearing Aid”).

Pencegahan:
- Menghindari kebisingan.
- Diet rendah lemak.
- Menghindari rokok, ketegangan, avitaminosis, anemi.
- Pengobatan terhadap kelainan kardiovaskular.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1067,1269.
2. Hinokosa R, Nauton RF.Presbycusis. In : Paparella MM, Shumrick DA, eds.
Otolaryngology, Vol II.2nd ed. Philadelphia, London, Toronto :WB Saunders Co,
1980:1777-87.
TULI MENDADAK

BATASAN

Suatu ketulian sensorineural yang terjadi secara tiba-tiba dalam beberapa jam atau
beberapa hari (5-7 hari), umunya unilateral, dan dapat disertai tinitus atau vertigo.

PATOFISIOLOGI
1. Teori infeksi virus
- Penyebab: virus campak, paotis, herpes zoster, varicella, influenza,
adenovirus, dsb.
- Pada koklea menyebabkan labirinitis endolimfatik, dan pada nervus VIII
menyebabkan neuronitis dan ganglionitis.
- Virus juga menginvasi endotel vaskular dan melekat pada eritrosit sehingga
lumen vaskular mengecil akibat pembengkakan endotel dan terjadi
hemaglutinasi yang pada akhirnya menyebabkan aliran darah ke koklea
terganggu.
2. Teori vaskular
- Fungsi koklea sangat peka terhadap gangguan aliran darah yang dapat
menyebabkan anoksia.
- Gangguan aliran darah tersebut dapat disebabkan karena vasospame,
trombosis, emboli, hiperkoagulasi, penyakit darah (polisitemia,
makroglobulinemia, penyakit seckle cell)
- Vasospasme dapat diakibatkan oleh stres, kelelahan, emosi, reaksi alergi.
- Trombisi dan emboli berhubungan dengan aterosklerosis.
3. Teori ruptur
- Terjadi ruptur membran Reissner pada koklea yang mungkin disebabkan
barotrauma mendadak, sehingga terjadi perubahan cairan intrakoklea yang
mengakibatkan gangguan fungsi koklea.
GEJALA KLINIS:
- Tuli mendadak dalam beberapa jam atau hari, umumnya unilateral.
- Dapat disertai tinitus atau vertigo
- Pada penderita perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu (DM,
hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung aterosklerosis), adanya barotraumu,
febris.

PEMERIKSAAN:
1. Pemeriksaan pendengaran:
- Audiometri nada murni : tuli sensorineural, umumnya unilateral
- Audiometri tutur : SDS <90%, SRT > 30 dB
- Tes SISI : positif (skor 70-100%)
- Tes Tone Decay : bisa positif atau negatif
2. Pemeriksaan vestibular (bila ada indikasi)
- Tes kalori: didapatkan respon abnormal yang bervariasi mulai dari tidak ada
respon sampai respon yang berbeda sedikit dengan normal.
3. Pemeriksaan laboratorium (bila ada indikasi)
- Darah lengkap, gula darah, kolesterol, trigliserida, coagulation studies,
protein darah.

DIAGNOSIS BANDING: -

KOMPLIKASI: -

PENATALAKSANAAN:
- Tirah baring (bagi yang baru terjadi dan vertigo)
- Vasolidator: Betahistin 3 x 1 tablet/hari
- Kortikosteroid: prednison 40-60 mg/hari, dosis tunggal, pagi hari, selama 1
minggu, selanjutnya dosis diturunkan bertahap
- Vitamin neutropik: B1 1 x 100 mg/hari
- Koreksi penyakit dasar yang ditemukan (konsul Interna)
- Terapi terhadap vertigo (bila ada vertigo)
DAFTAR PUSTAKA
1. Snow JB, Telian SA. Sudden deafness. In: Paparella NN, Shumrick DA, eds.
Otolaryngology Vol. III, 3rd ed. Philadelphia, Lomdom, Toronto, WB Saunders
Company, 1991:1619-28.
2. Duckert LG, Meyerhoff WL. Sudden hearing loss. In: Meyerhoff WL, ed. Diagnosis and
management of hearing loss. Philadelphia: WB Saunders Company, 1984:85-93.
VERTIGO

BATASAN:
Gangguan keseimbangan tubuh terhadap ruang sekitarnya atau berhalusinasi dari
gerakan berputar yang merupakan gejala dari bermacam-macam penyebab/penyakit.

ETIOLOGI:
• Lesi perifer
• Lesi sentral
• Lesi sistemik
• Psikogen

PATOFISIOLOGI:
Adanya gangguan pada input siste, vestibuler (kanalis semi sirkularis, dan organ otolit
yaitu utrikulus dan sakulus), input visual dan proprioseptif.

DIAGNOSIS:
1. Anamnesis:
 Sifat gangguan keseimbangan: frekwensi, lamanya, faktor pencetus dsb.
 Adanya gejala yang menyertai: penurunan pendengaran, tinitus, otalgi,
telinga terasa penuh, otore diplakusis rekruitmen, fenomena Tullio, mual
dan muntah, trauma kepala, paparan bising dsb.
 Penyakit sitemik: hipotiroid, insufisiensi adrenokortikal, penyakit
kardiovaskuler, diabetes melitus, penyakit kolagen, penyakit ginjal, sifilis,
gangguan penglihatan, alergi, kelainan darah dan obat-obat yang
digunakan dsb.
2. Pemeriksaan:
 THT rutin, tes fistula, fungsi pendengaran.
 Adanya nistamus: spontan, posisional, manuver Hallpike, tes kalori.
 Tes keseimbangan: Romberh, Stepping tes dll.
 Neurologi: saraf kranialis, kekuatan otot, sensibilitas, tes fungsi serebelum,
observasi gait (atas indikasi).
 Adanya penyakit sistemik dan vaskuler yang menyertai (sesuai dengan
anamnesis)
 Pemeriksaan psikiatrik: bila diduga ada faktor psikogen.
3. Pemeriksaan Penunjang.
 Pemeriksaan audiologi: tes garpu tala, audiometrik nada murni,
audiometrik nada tutur, SISI tes, Tone Deccay tes, timpanometri, reflek
stapedius, dan apabila ada fasilitas dapat dilakukan BERA (atas indikasi)
 Tes kalori, elektronistagmografi, posturografi (atas indikasi).
 Radiologi: X-foto kepala posisi Stenver dan Towne, foto mastoid, foto
vertebra servikal, CT scan, MRI dsb (atas indikasi).
 Pemeriksaan laboratorium dan EKG (atas indikasi).

Penyakit / penyebab:
• Penyakit meniere: vertigo hebat dan berulang, penurunan pendengaran
yang berfluktuasi, rasa penuh di telinga dan tinitus yang progresif.
• Labirintitis bakterial: vertigo hebat dan mendadak, tinitus dan tuli persepsi
yang permanan.
• Neuronitis vestibuler: serangan vertigo yang berat dan mendadak,
seringkali disertai rasa cemas, mual dan muntah tanpa disertai gangguan
pendengaran.
• Neuroma akustik: penurunan pendengaran, rasa tidak seimbang, gangguan
koordinasi, peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala terkenanya
saraf otak yang berbatasan, dan kadang disertai vertigo.
• Vertigo posisi jinak berulang ( BPPPV = Benign Paroxysmal Positional
Vertigo); vertigo yang timbul akibat perubahan posisi kepala.
• Vertigo sentral: umumnya disertai gejala SSP lain (gejala visual, sensoris
maupun motoris yang mendahului(, vertigo umumnya tidak hebat sekali
dan kompensasi relatif lambat.

PENYULIT: Tergantung penyebabnya


TERAPI:
Tergantung pada penyebabnya. Namun bila penyebabna belum dapat diidentifikasi,
dapat diberikan terapi non spesifik.
1. Medikamentosa:
 Fase akut: bertujuan untuk menekan mual dan muntah secara sentral, antara
lain diazepam 3 x 2-5 mg, meclizine 3 x 25 mg dan prometazine 3 x 25-50 mg,
kosikosteroid dengan tapering off untuk penyakit meniere dan neuritis
vestibuler, diuretic hemat kalium pada penyakit meniere. Pada kasus berat perl
terapi parenteral: diazepam 5-10 mg i.m, droperidol 2,5 mg i.m atau
proklorfenasin 25 mg supositoria.
 Serangan rekuren yang tak terlalu hebat: a.l difenhidrinat, prometasin,
sinarisin, flunarisin, betahistin.
2. Operatif: hanya sekitar < 5%
 Ablatif: transmastoid labirinthectomy, vestibular nerve section. Pada penyakit
Meniere.
 Non ablatif: endolymphatic sac decompression, endolymphatic sac shunt
(penyakit meniere dengan funsi pendengaran yang masih baik) dan posterior
canal oclusion (BPPV berat yang tak berhasil dengan terapi rehabilitatif)
3. Rehabilitatif: untuk meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi yaitu berupa
latihan vestibuler.

Daftar Pustaka

1. Vermeersch H, Meyerhoff WL. Vertigo. In: Diagnosis and Management of Hearing


Loss. Philadelphia: WB Saunders Company, 1984: 105-25.

2. Wilson WR, Montgomery WW. Infection Diseases of the Paranasal Sinuse. In Paparella
Otolaryngology Head and Neck, 3rded. Philadelphia: WB Saunders Company, 1991:1843-
60.
PERIKONDRITIS AURIKULA

BATASAN
Perikondritis adalah suatu keradangan supuratif pada perikondrium tulang rawan
aurikula.

ETIOLOGI
Kuman penyebab:
- Pseudomonas aeroginosa
- Stafilococcus aureus

PATOFISIOLOGI

Merupakan komplikasi dari:


- Trauma
- Operasi telinga
- OMK, Furunkel MAE, Otitis eksterna.
Mula-mula terjadi infiltrat pada perikondrium, kemudian terjadi supurasi, dan
selanjutnya dapat terjadi nekrosis tulang rawan yang mengakibatkan terjadinya
deformitas daun telinga.

DIAGNOSIS

1. Amnesis :
- aurikula terasa bengkak, nyeri, dan merah.
- Kadang-kadang disertai demam

2. Pemeriksaan:
- Udim luas pada aurikula dapat meluas keluar aurikula.
- Nyeri dan hiperemia
- Terdapat fluktuasi bila terjadi supurasi
- Terdapat deformitas bila sudah terjadi nekrosis
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Suhu tubuh naik, leksoit naik.
TERAPI
1. Antibiotik :
Kloksasilin
Gentamisin
Tobramisin
2. Insisi bila sudah terjadi supurasi, dilanjutkan dengan eksisi bila sudah terjadi
nekrosis tulang rawan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ:1991. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 14th ed. Lea &
Febiger, Philadelphia, London.
2. Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL. 1991. Otolaryngology. WB
Saunders. Co. 3rd ed. Philadelphia, London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo.
Hidung

RINITIS ALERGI

BATASAN
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gejala rinitis yang timbul setelah
pajanan/paparan alergen yang menyebabkan inflamasi mukosa hidung yang
diperantarai oleh IgE, dengan gejala bersin-bersin paroksismal, pilek encer, dan buntu
hidung.

ETIOLOGI
Alergen:
- Inhalan: debu rumah, debu kapuk, jamur, bulu hewan, dsb.
- Ingestan: buah, susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan dsb.

PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergi timbul karena paparan alergen hirupan pada mukosa hidung yang
menyebabkan inflamasi dan menimbulkan gejala bersin, gatal, rinore dan buntu
hidung. Segera setelah mukosa terkena paparan alergen, terjadi reaksi alergi fase
cepat dalam beberapa menit dan berlangsung sampai beberapa jam (immediate
rhinitis symptoms). Pada sebagian penderita akan terjadi reaksi fase lambat yang
terjadi beberapa jam setelah fase cepat dan dapat berlangsung hingga 24 jam. Pada
fase ini akan terjadi pengerahan sel-sel radang seperti limfosit, basofil, eosinofil dan
netrofil ke mukosa hidung. Akumulasi sel radang ini menyebabkan gejala hidung
buntu yang merupakan gejala yang lebih dominan pada fase lambat. Gejala ini dapat
menetap jangka lama pada rinitis yang persisten (chronic ongoing rhinitis).

GEJALA KLINIK
• Serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab.
• Didahului rasa gatal pada hidung, mata, atau kadang-kadang palatum mole.
• Bersin-bersin paroksismal, pilek encer, dan buntu hidung.
• Gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang-kadang disertai sakit
kepala.
• Tidak ada tanda-tanda infeksi (misalnya panas badan).
KLASIFIKASI
• Rinitis alergi intermiten : serangan < 4 hari per minggu, atau berlangsung < 4
minggu
• Rinitis alergi persisten : serangan > 4 hari per minggu, dan berlangsung > 4
minggu.
• Rinitis alergi ringan : Tidur normal, aktifitas sehari-hari, saat olah raga dan
santai normal, kegiatan bekerja dan sekolah normal, tak ada keluhan mengganggu
• Rinitis alergi sedang berat : Tidur terganggu (tak normal), aktifitas sehari-hari
saat olah raga dan santai terganggu, terdapat gangguan saat kerja dan sekolah,
adanya keluhan mengganggu.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis yang lengkap dan cermat. Adanya paparan alergen. Mungkin ada
riwayat alergi pada keluarga, adanya alergi di organ lain (asma, dermatitis)

2. Pemeriksaan:
Rinoskopi anterior: Konka udim dan pucat, sekret seromusinus. Pada rinitis
alergi persisten rongga hidung sempit, konka udim hebat.

3. Pemeriksaan tambahan:
- Tes kulit:”Prick Test”.
- Eosinofil sekret hidung. Positif bila > = 25%.
- Eosinofil darah. Positif bila >= 400/mm3.
- Bila diperlukan dapat diperiksa:
o IgE total serum (RIST dan PRIST). Positif bila > 200 IU.
o IgE spesifik (RAST).
- Endoskopi nasal: bila diperlukan dan tersedia sarana.
DIAGNOSIS BANDING
- Rinitis akut: ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen..
- Rhinitis medikamentosa (drug induced rhinitis): karena penggunaan tetes hidung
dalam jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin, klorpromasin,
dan fenotiasin yang lain.
- Rhinitis hormonal (hormonally induced rhinitis): Pada penderita hamil, hipertiroid,
penggunaan pil KB.
- Rinitis vasomator.

PENYULIT
- Sinusitis paranasal
- Polip hidung.
- Otitis media.

TERAPI
- Hindari alergen penyebab.
- Medikamentosa :
⇒ Antihistamin pada saat serangan: dapat dipakai CTM 3 x 2-4 mg. Untuk yang
non sedatif dapat dipakai: loratadin, setirizin (1X sehari 10 mg) atau
fleksofenadin (2X sehari 60 mg). Desloratadine adalah turunan baru loratadine
yang punya efek dekongestan. Antihistamin baru non sedatif cukup aman
untuk pemakaian jangka panjang.
⇒ Kortikosteroid (deksametason, betametason), untuk serangan akut yang berat.
Ingat kontra indikasi. Diberikan dengan tappering off.
⇒ Dekongestan lokal: tetes hidung, larutan efedrin ½-1%, atau oksimetazolin
0.025%-0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu.
⇒ Dekongestan oral: pseudo-efedrin, 2-3 x 30-60 mg sehari. Dapat dikombinasi
dengan antihistamin. (triprolidin + pseudo-efedrin, setirizin + pseudo-efedrin,
loratadin + psedo-efedrin)
⇒ Steroid semprot hidung untuk rinitis persisten sedang berat.

- Pembedahan: apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi), polip hidung,
atau komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah.
- Meningkatkan kondisi tubuh:
o Olah raga pagi.
o Makanan yang baik.
o Istirahat yang cukup dan hindari stres.

DAFTAR PUSTAKA

1. International Consensus Report of the Diagnosis and Management of Rhinitis.


International Rhinitis Management Working Group. Mechanisme of Rhinitis. Allergy
1994;49(Suppl.)7-9.
2. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and
Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:269-89.
3. Mabry RL. Allergic Rhinosinusitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:290-301.
4. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Executive Summary 2000.
5. Gluckman JL, Stegmeyer RJ. Non allergic rhinitis. In: Paparella NN, Shumrick DD,
Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck..
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1889-98.
6. Boyles JH. Allergic rhinosinusitis: Diagnosis and treatment. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III,
Head and Neck.. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1873-88.
SINUSITIS AKUT BAKTERIAL

BATASAN
Sinusitis paranasal akut merupakan proses infeksi dari mukosa sinus maksilaris yang
akut yaitu kurang dari 4 minggu yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Catatan: 4 minggu – 3 bulan maksilaris sub akut
> 3 bulan sinus maksilaris kronik.

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Didahului oleh infeksi virus pada rinitis akut, terjadi udim mukosa pada dan disekitar
ostium sinus, diikuti oleh obstruksi ostium yang akan menyebabkan hipoksi pada
rongga sinus. Selanjutnya disfungsi silia, kemudian terjadi pengentalan dan
penumpukan sekret.
Pada skema di bawah ini akan lebih jelas menggambarkan kondisi tersebut:

Hipoksia

Vasodilatasi Disfungsi silia Disfungsi kelenjar mukus

Transudasi Stagnasi sekret Sekret mengental

Penumpukan Sekret Kental

Pada permulaan terjadi kenaikan tekanan intra sinus yang kemudian diikuti terjadinya
tekanan negatif. Pada saat bersin, mengeluarkan ingus atau menghirup udara kuman
dapat masuk ke dalam sinus yang kemudian terjadi bacterial sinusitis.
Faktor penyebab yang lain adalah infeksi apeks gigi geraham atas, atresia koane, baro
trauma, polip hidung, benda asing atau tampon hidung yang lama.
Kuman penyebab yang sering di dapatkan adalah: S. pneumoniae, H. Influenzae dan
B. catarrhalis. Kuman lain yang lebih jarang adalah: S. aureus dan kuman anaerob.
GEJALA KLINIK
- Nyeri pada daerah hidung, pipi atau dahi (tergantung lokasi sinus), dan dapat
terjadi pada gigi atas(pada sinusitis maksila)
Gejala lainnya:
- Dapat terjadi buntu hidung, pilek, nafas berbau, panas badan, malaise dan
kelesuan.
- Pilek berbau busuk pada sinusitis maksila dentogen.
- Sekret mukopurulen, dapat terjadi periorbital udim pada infeksi yang berat.

CARA PEMERIKSAAN / DIAGNOSIS


Anamnesis: seperti diatas
Pemeriksaan:
- Nyeri tekan daerah fosa kanina dan sulkus gingivobukalis (pada sinusitis maksila),
nyeri tekan supra orbita (pada sinusitis frontal).
- Rinoskopi anterior:
⇒ Mukosa udim + hiperemi
⇒ Sekret muko purulen, terutama di meatus medius
- Rinoskopi Posterior: post anal sekret purulen
- Transiluminasi: pada sinus yang terkena gelap (sinus maksila).
Pemeriksaan radiologi:
- Plain foto sinus (posisi Water): penebalan mukosa, air fluid level atau
perselubungan.
- CT-scan: walaupun dapat memberi gambaran yang lebih jelas, tetapi biasanya
tidak diperlukan.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS: -

PENYULIT:
- Selulitis orbital
- Abses orbital.
- Osteomielitis.
- Abses epidural / subdural
- Meningitis
- Abses otak
- Trombosis sinus kavernosus

PENATALAKSANAAN:
 Antibiotik:
 Lini pertama:
 Amoksisilin, trimetropim sulfametoksazol(kotrimoksazol), atau
eritromisin.
 Lini kedua:
 Bila ditengarai kuman menghasilkan enzim beta-laktamase diberikan
kombinasi amoksisilin + asam klavulanat, sefaklor, atau sefalosporin
generasi II atau III oral.
 Antibiotik diberikan minimal 2 minggu.
 Dekongestan:
* Topikal (sol efedrin 1% tetes hidung, oksimetazolin 0,025% tetes hidung
–0,050% semprot hidung). Jangan digunakan lebih dari 5 hari.
* Sistemik (fenil propanolamin, pseudo-efedrin)
 Mukolitik (asetil sistein, bromheksin)
 Analgesik/antipiretik bila perlu
 Antihistamin: diberikan pada penderita dengan latar belakang alergi.
 Irigasi sinus maksila : bila resorpsi sekret sinus maksila tidak adekuat.
Perawatan gigi bila diketahui penyebab dentogen.

Daftar Pustaka

1. White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:184-202.
2. Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concept and management. In: Bailey BJ. Ed. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology, ed. Vol I, Philladelphia: JB. Lippincott Company,
1993:366-76.
3. Gustafson RO, Bansberg SF. Sinus surgery. In: Bailey BJ. Ed. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:377-88.
4. Wilson WR, Montgomerry WW. Infections Diseases of the Paranasal Sinuses. In:
Paparella, Shumrick DA, eds Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders
Company, 1991 : 1844-8.
5. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infections of the
Upper respiratory Tract. In: Harrison’s Manual of Medicine. 15th ed. Boston: McGraw
Hill International Edition, 2002:213-5
RINITIS VASOMOTOR

BATASAN
Rinitis vasomotor adalah sindroma/gejala-gejala kronik yang berupa pilek encer,
bersin-bersin dan buntun hidung yang tidak diketahui dasar penyebabnya.

PATOFISIOLOGI / ETIOLOGI
- Etiologi pasti belum diketahui.
- Diperkirakan ada ketidakseimbangan sistem sarag otonom, yaitu antara aktivitas
kolenergik dan adrenergik dengan berbagai faktor yang mempengaruhi masing-
masing.
- Biasanya ada hubungan dengan kelembaban udara yang tinggi dan udara dingin.

GEJALA KLINIK
- Pilek encer.
- Bersin-bersin paroksismal.
- Buntu hidung.
- Biasanya kambuh waktu pagi (dingin), mendung (kelembaban tinggi).

DIAGNOSIS
1. Anamnesis yang cermat dan teliti
2. Pemeriksaan fisik
- Rinoskopi anterior:
Pada saat serangan:
- Konka udim
- Sekret serokumulus
- Warna mukosa tidak khas
3. Pemeriksaan tambahan
- Transiluminasi
- x-foto sinus (water), bila dicurigai adanya penyulit.
- Tes alergi, untuk menyingkirkan apakah ada latar belakang alergi.
DIAGNOSIS BANDING
- Rinitis alergi
- Rinitis akut (“infectious Rhinitis”)
- Rinitis karena iritan (“irritant Contact Rhinitis”)
- Rinitis medikamentosa (“Drug Induced Rhinitis”)
- Rinitis hormonal (“Hormonally Induced Rhinitis”)

PENYULIT
- Sinusitis paranasal: paling sering sinus maksilaris
- Polip hidung
- Otitis media

TERAPI
Terapi kausal tidak ada; dapat dilakukan terapi simtomatik a.l:
⇒ Kombinasi antistamin dan dekongestan oral sebelum tidur malam/saat serangan.
Antihistamin: CTM, (2-4 mg) pada saat serangan.
Dekongestan oral: Psedoefedrin (30-60 mg) pada saat serangan.
⇒ Meningkatkan kondisi badan.
⇒ Olah raga pagi, gizi cukup, istirahat cukup.
⇒ Kalau buntu dapat dilakukan/diberi:
• Tetes hidung (waktu serangan akut).
• Kaustik konka inferior, atau kalau lebih berat,
• Konkotomi konka inferior (ICOPIM 5-215).

DAFTAR PUSTAKA.

1. Ballenger JJ.Chronic infections of the nasal fossae. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose,
throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:199-
204.
2. Kimmelman CP, Ali Gamal HA. Vasomotoe rhinitis. Otolaryngol Clin of North Am
1986;19:65-72.
3. Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal sinus. Massachusetts: PSG
Publishing Company, Inc, 1987:195-98.
4. Weir N. Vasomotor rinitis-allergi and non allergi. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-
Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 3rd ed. London: Butterwoths, 1979: 209-24.
SINUSITIS MAKSILARIS AKUT

BATASAN
SMA merupakan proses infeksi dari mukosa sinus maksilaris yang akut yaitu kurang
dari 4 minggu yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Catatan: 1 bulan – 3 bulan maksilaris sub akut
> 3 bulan sinus maksilaris kronis

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Faktor utama dan paling penting adalah udim mukosa pada dan disekitar ostium sinus,
yang akan menyebabkan disfungsi silia, kemudian terjadi pengentalan dan
penumpukan sekret.
Pada skema di bawah ini akan lebih jelas menggambarkan kondisi tersebut:

O2

vasodilatasi Disfungsi silia


Disfungsi kelenjar mukus

transudasi stagnasi
Pengentalan cairan

Tahanan sekresi yang kental

Pada permulaan terjadi kenaikan tekanan intra sinus yang kemudian diikuti terjadinya
tekanan negatif. Pada saat bersin, mengeluarkan ingus atau menghirup udara kuman
dapat masuk ke dalam sinus yang kemudian terjadi bacterial sinusitis.
Penyebab regional yang lain adalah infeksi apes gigi atas, atresia koane, baro trauma,
polip hidung, benda asing atau tampon hidung yang lama.
Kuman penyebab:
- Dapat didahului oleh infeksi virus.
- Kuman penyebab yang sering di dapatkan adalah: Streptokokus pneumoniae,
Hemofilus influensa, Stafilokokus aureus, Streptokokus α-Hemolitikus, dan
Branhamela kataralis.
- Sedangkan mikroorganisme anaerob yang dapat dijumpai adalah Veilonela,
peptokokus dan Pepto streptokokus.

GEJALA KLINIK
- Nyeri pada daerah hidung, pipi atau kepala, dan dapat terjadi pada gigi atas.
Gejala lainnya:
- Dapat terjadi buntu hidung, pilek, nafas berbau, panas badan, malaise dan
kelesuan.
- Pilek berbau busuk bila penyebabnya dentogen.
- Sekret mukopurulen, dapat terjadi periorbital udim pada infeksi yang berat.

CARA PEMERIKSAAN / DIAGNOSIS


1. Anamnesis: seperti diatas
2. Pemeriksaan:
* Nyeri tekan daerah fosa kanina dan sulkus gingivobukalis
* Rinoskopi anterior:
⇒ Mukosa udim + hiperemi
⇒ Sekret muko purulen, terutama di meatus medius
* Rinoskopi Posterior: post anal sekret purulen
* Transiluminasi: pada sinus yang terkena gelap.
3. Pemeriksaan tambahan:
• Dengan nasal endoskopi kondisi kavum nasi dan meatus medius dapat di
evaluasi lebih jelas.
• Plain foto sinus: penebalan mukosa, air fluid level atau perselubungan.
• CT scan: walaupun dapat memberi gambaran yang lebih jelas, tetapi biasanya
tidak diperlukan.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS: -

Penyulit:
- Selulitis orbital
- Abses orbital.
- Osteomielitis.
- Abses epidural / subdural
- Meningitis
- Abses otak
- Trombosis sinus kavernosus

Penatalaksanaan:
Antibiotik:
Lini pertama:
♣ Amosisilin
♣ Eritromisin
♣ Trimetropim sulfametoksasol
Lini kedua:
♣ Amosisilin + asam klavulanat
♣ Sefaklor
♣ Diberikan minimal 2 minggu, dengan dosis maksimal
Dekongestan:
♣ Topikal (sol efedrin 1% tetes hidung, oksimetasolin 0,025% tetes hidung –
0,050% semprot hidung).
♣ Sistemik
Analgetik
♣ Antihistamin: diberikan pada penderita dengan latar belakang alergi.
♣ Mukolitik
Irigasi sinus:
bila respon terhadap terapi medikal kurang, bila ada nyeri hebat atau komplikasi
mulai terjadi.
Daftar Pustaka

1. White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:184-202.
2. Facer GW, Kern EB. Sinusistis: Current concept and management. In: Bailey BJ. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:366-
76.
3. Wilson WR, Montgomerry WW. Infections Diseases of the Paranasal Sinuses. In:
Papaella, Shumrick DA, eds Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders
Company, 11 : 1844-8.
4. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infections of the
Upper respiratory Tract. In: Harrison’s Manual of Medicine. 15th ed. Boston: McGraw
Hill International Edition, 2002:213-5
RINITIS ALERGI
BATASAN
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gejala rinitis yang timbul setelah
pajanan/paparan alergen yang menyebabkan inflamasi mukosa hidung yang
diperantarai oleh IgE

ETIOLOGI
Alergen:
- Inhalan: debu rumah, debu kapuk, jamur, bulu hewan, dsb.
- Ingestan: buah, susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan dsb.

PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergi timbul karena paparan alergen hirupan pada mukosa hidung yang
menyebabkan inflamasi dan menimbulkan gejala bersin, gatal, rinore dan buntu
hidung. Segera setelah mukosa terkena paparan alergen, terjadi reaksi alergi fase
cepat dalam beberapa menit dan berlangsung sampai beberapa jam (immediate
rhinitis symptoms). Pada sebagian penderita akan terjadi reaksi fase lambat yang
terjadi beberapa jam setelah fase cepat dan dapat berlangsung hingga 24 jam. Pada
fase ini akan terjadi pengerahan sel-sel radang seperti limfosit, basofil, eosinofil dan
netrofil ke mukosa hidung. Akumulasi sel radang ini menyebabkan gejala hidung
buntu yang merupakan gejala yang lebih dominan pada fase lambat. Gejala ini dapat
menetap jangka lama pada rinitis yang persisten (chronic ongoing rhinitis).

GEJALA KLINIK
• Serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab.
• Didahului rasa gatal pada hidung, mata, atau kadang-kadang palatum mole.
• Bersin-bersin paroksismal, pilek encer, dan buntu hidung.
• Gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang-kadang disertai sakit
kepala.
• Tidak ada tanda-tanda infeksi (misalnya panas badan).
KLASIFIKASI
- Rinitis alergi intermiten : serangan < 4 hari per minggu, atau berlangsung < 4
minggu
- Rinitis alergi persisten : serangan > 4 hari per minggu, dan berlangsung > 4
minggu.
- Rinitis alergi ringan : Tidur normal, aktifitas sehari-hari, saat olah raga dan
santai normal, kegiatan bekerja dan sekolah normal, tak ada keluhan mengganggu
- Rinitis alergi sedang berat : Tidur terganggu (tak normal), aktifitas sehari-hari
saat olah raga dan santai terganggu, terdapat gangguan saat kerja dan sekolah,
adanya keluhan mengganggu.

DIAGNOSIS :

1. Anamnesis yang lengkap dan cermat. Adanya paparan alergen. Mungkin ada riwayat
alergi pada keluarga, adanya alergi di organ lain (asma, dermatitis)

2. Pemeriksaan:
Rinoskopi anterior: Konka udim dan pucat, sekret seromusinus. Pada rinitis alergi
persisten rongga hidung sempit, konka udim hebat.

3. Pemeriksaan tambahan:
• Tes kulit:”Prick Test”.
• Eosinofil sekret hidung. Positif bila > = 25%.
• Eosinofil darah. Positif bila >= 400/mm3.
• Bila diperlukan dapat diperiksa:
⇒ IgE total serum (RIST dan PRIST). Positif bila > 200 IU.
⇒ IgE spesifik (RAST).

DIAGNOSIS BANDING
- Rinitis akut: ada keluhan panas badan, mukosa hiperemis, sekret mukopurulen..
- Rhinitis medikamentosa (“Drug Induced Rhinitis”): karena penggunaan tetes
hidung dalam jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin,
klorpromasin, dan fenotiasin yang lain.
- Rhinitis hormonal (“hormonally induced rhinitis”): Pada penderita hamil,
hipertiroid, penggunaan pil KB.
- Rinitis vasomator.

PENYULIT
- Sinusitis paranasal
- Polip hidung.
- Otitis media.

TERAPI
- Hindari alergen penyebab.
- Medikamentosa :
⇒ Antihistamin (pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4 mg atau
loratadin/setirizin 1 x 10 mg sehari). Antihistamin baru non sedatif cukup aman
untuk pemakaian jangka panjang.
⇒ Kortikosteroid (deksametason, betametason), ingat kontra indikasi. Diberikan
dengan “tappering off”.
⇒ Dekongestan lokal: tetes hidung, larutan Efedrin ½-1%, atau oksimetazolin
0.025%-0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu.
⇒ Dekongestan oral: Pseudoefedrin, 2-3 x 30-60 mg sehari. Dapat dikombinasi
dengan antihistamin. (triprolidin + pseudo-efedrin, setirizin + pseudo-efedrin,
loratadin + psedo-efedrin)
⇒ Steroid semprot hidung untuk rinitis persisten sedang berat.
- Meningkatkan kondisi tubuh:
o Olah raga pagi.
o Makanan yang baik.
o Istirahat yang cukup dan hindari stres.
DAFTAR PUSTAKA
1 Mabry RL. Allergic rhinosinusitis. In: Bailey BJ. Ed. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Ed. Vol I. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:290-301.
2 Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Executive Summary 2000.
3 Weir N. Vasomotor rinitis-allergi and non allergi. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-
Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 3rd ed. London: Butterwoths, 1979: 209-24.
SINUSITIS MAKSILARIS AKUT

BATASAN
Sinusitis maksilaris akut merupakan penyakit infeksi akut mukosa sinus maksilaris.

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Faktor penyebab:
- Rinogen
Obstruksi sinus maksilaris yang dapat disebabkan oleh:
- Rhinitis akut (influensa)
- Polip, Deviasi septum nasi
- Dentogen
Penjalaran infeksi dari gigi geraham atas.

Kuman penyebab:
- S. pneumoniae
- H. influenzae
- S. viridans
- S. aureus
- B. catarrhalis

GEJALA KLINIK
1. Febris, pilek kental, berbau, bisa bercampur darah.
2. Nyeri:
- Pipi: biasanya unilateral
- Kepala: biasanya homolateral terutama pada sore hari
- Gigi (geraham atas) homolateral
3. Hidung:
- Buntu homo lateral
- Suara bindeng
DIAGNOSIS
1. Anamnesis yang cermat dan teliti
2. Pemeriksaan:
Rinoskopi anterior:
- Mukosa merah, udim
- Mukopus di meatus nasi medius (tidak selalu)
- Nyeri tekan pipi yang sakit
- Transiluminasi: kesuraman pada sisi yang sakit.
3. Pemeriksaan tambahan:
x-foto Sinus posisi water (bila diperlukan): gambaran kesuraman/”air fluid level”
pada sinus yang sakit.

DIAGNOSIS BANDING
- Sinus Maksilaris Vakum
- Infeksi gigi geraham atas
- Benda asing rongga hidung (anak-anak)

PENYULIT
- Penjalaran infeksi ke orbita.
- Penjalaran infeksi ke intrakranial.
- Osteomielitis (jarang).

TERAPI
a Drainase
i) Medikal
(a) Dekongestan lokal (diberikan selama 5-7 hari).
1. Efedrin 1% (dewasa)
2. Efedrin 0.5% (anak)
3. Oksimetazolin hidroklorida 0.025% (tetes hidung) untuk
anak-anak.
4. Oksimetazolin hidroklorida 0.05% (semprot hidung) untuk
dewasa.
(b) Dekongestan oral (diberikan selama 5-7 hari).
Psedoe fedrin 3x60 mg (dewasa)
ii) Surgikal
Irrigasi sinus maksilaris (ICOPIM 5-221)
Dilakukan sekali seminggu, sampai pus negatif.
b Antibiotik. Diberikan dalam 5-7 hari.
i) Ampisilin 4 x 500 mg atau,
ii) Amoksisilin 3 x 500 mg atau
iii) Eritromisin 2 x 100 mg/hari I, selanjutnya 1 x 100 mg/hari selama 5-10
hari (hanya untuk dewasa).
c Simptomatik/Analgestik (bila diperlukan).
i) Parasetamol, Metampiron, Asetosal, Asam mefenamat.
d Tambahan (bila tersedia sarana).
i) Diatermi (UKG)

DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ.Chronic infections of the nasal fossae. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose,
throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:205-
23.
2. Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal sinus. Massachusetts: PSG
Publishing Company, Inc, 1987:251.
3. Wright D. Acute sinusitis. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-Brown’s diseases of the
ear, nose, throat. 3rd ed. London: Butterwoths, 1979:243-71.
SINUSITIS AKUT BAKTERIAL

BATASAN
Sinusitis paranasal akut merupakan proses infeksi dari mukosa sinus maksilaris yang
akut yaitu kurang dari 4 minggu yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Catatan: 4 minggu – 3 bulan maksilaris sub akut
> 3 bulan sinus maksilaris kronis

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Didahului oleh infeksi virus pada rinitis akut, terjadi udim mukosa pada dan disekitar
ostium sinus, diikuti oleh obstruksi ostium yang akan menyebabkan hipoksi pada
rongga sinus. Selanjutnya disfungsi silia, kemudian terjadi pengentalan dan
penumpukan sekret.
Pada skema di bawah ini akan lebih jelas menggambarkan kondisi tersebut:

Sumbatan ostium

Hipoksia

Vasodilatasi Disfungsi silia Disfungsi kelenjar mukus

Transudasi Stagnasi sekret Sekret mengental

Penumpukan Sekret Kental

Pada permulaan terjadi kenaikan tekanan intra sinus yang kemudian diikuti terjadinya
tekanan negatif. Pada saat bersin, mengeluarkan ingus atau menghirup udara kuman
dapat masuk ke dalam sinus yang kemudian terjadi sinusitis bakterial.
Faktor penyebab yang lain adalah infeksi apeks gigi geraham atas, atresia koane, baro
trauma, polip hidung, benda asing atau tampon hidung yang lama.
Kuman penyebab yang sering di dapatkan adalah: S. pneumoniae, H. Influenzae dan B.
catarrhalis. Kuman lain yang lebih jarang adalah: S. aureus dan kuman anaerob.

GEJALA KLINIK
- Nyeri pada daerah hidung, pipi atau dahi (tergantung lokasi sinus), dan dapat
terjadi pada gigi atas(pada sinusitis maksila)
Gejala lainnya:
- Dapat terjadi buntu hidung, pilek, nafas berbau, panas badan, malaise dan
kelesuan.
- Pilek berbau busuk pada sinusitis maksila dentogen.
- Sekret mukopurulen, dapat terjadi periorbital udim pada infeksi yang berat.

DIAGNOSIS
a. Anamnesis: seperti diatas
b. Pemeriksaan:
o Nyeri tekan daerah fosa kanina dan sulkus gingivobukalis (pada sinusitis
maksila), nyeri tekan supra orbita (pada sinusitis frontal).
o Rinoskopi anterior:
 Mukosa udim + hiperemi
 Sekret muko purulen, terutama di meatus medius
o Rinoskopi Posterior: post anal sekret purulen
c. Transiluminasi: pada sinus yang terkena gelap (sinus maksila).
d. Pemeriksaan radiologi:
o Plain foto sinus (posisi Water): penebalan mukosa, air fluid level atau
perselubungan.
o CT scan: walaupun dapat memberi gambaran yang lebih jelas, tetapi tidak
diperlukan sebagai penentu diagnosis.

PENYULIT
- Selulitis orbital
- Abses orbital.
- Osteomielitis.
- Abses epidural / subdural
- Meningitis
- Abses otak
- Trombosis sinus kavernosus

PENATALAKSANAAN
Antibiotik:
Lini pertama:
Amoksisilin, trimetoprim sulfametoksazol(kotrimoksazol), atau
eritromisin.
Lini kedua:
Bila ditengarai kuman menghasilkan enzim beta-laktamase diberikan
kombinasi amoksisilin + asam klavulanat, sefaklor, atau sefalosporin
generasi II atau III oral.
Antibiotik diberikan minimal 2 minggu.
Dekongestan:
* Topikal: sol efedrin 1% tetes hidung, oksimetazolin 0,025% tetes hidung
untuk anak atau 0,050% semprot hidung. Jangan digunakan lebih dari 5
hari.
* Sistemik: fenil propanolamin, pseudo-efedrin.
Mukolitik : asetil sistein, bromheksin
Analgesik/antipiretik bila perlu
Antihistamin:
diberikan pada penderita dengan latar belakang alergi.
Irigasi sinus maksila :
bila resorpsi sekret sinus maksila tidak adekuat.
Perawatan gigi bila diketahui penyebab dentogen.
DAFTAR PUSTAKA

1. White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose,
Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:
184-202.
2. Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In: Bailey BJ and
Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia:
JB Lippincott Company. 1993:366-76.
3. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infections
of the upper respiratory Tract. In: Harrison’s Manual of Medicine. 15th ed. Boston:
McGraw Hill International Edition, 2002:213-5.
4. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious diseases of the paranasal sinuses. In:
Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd
ed. Vol. III, Head and Neck.. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co,
1991:1843-61.
5. Slavin RG. Rhinosinusitis: Epidemilogy and pathology. Fam Pract Recertification
2002:24:1-7.
6. Blair PA, Miller RH. Surgical treatment of paranasal sinus infections. In: Ballenger
JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia,
London: Lea & Febiger, 1991: 220-32.
SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK

BATASAN
SMK adalah proses infeksi dari mukosa sinus maksilaris yang kronis, yaitu lebih dari
3 bulan yang disebabkan oleh mikroorganisme.

PATOFISIOLOGI / ETIOLOGI:
SMK pada dasarnya adalah akibat SMK yang diobati secara inadekuat atau bahkan
tidak diobati. Proses yang terjadi adalah irreversible.
Kuman penyebab:
Streptokokus α-Hemolitikus, Streptokokus piogenes, Stafilokokus, Streptokokus
pneumoniae, Hemofilus influensa, Streptokokus viridans, Branhamela kataralis,
Pseudomonas aeruginosa.
Disini kuman penyebab anaerob juga lebih banyak dijumpai daipada SMA, dan yang
sering didapatkan adalah: Bakteriodes, Peptokokus, Propiobakterium, Fuso
bakterium, Veilonela dan Korine bakterium.

GEJALA KLINIK
Mirip dengan SMA, tetapi pada umumnya kurang berat dibanding SMA. Bila tidak
terjadi eksaserbasio akut biasanya tidak ada panas badan dan nyeri. Kadang-kadang
terjadi sakit kepala. Gejala lainnya adalah buntu hidung, kadang-kadang terjadi
penurunan penciuman dan pengecapan. Dapat terjadi sekret yang kekuningan atau
campur darah dari hidung atau faring (postnasal drip). Dapat pula terjadi bentukan
polip pada mukosa sinus, mukokel atau piokel.

DIAGNOSIS
1 Anamnesi seperti di atas.
2 Pemeriksaan
a) Tidak ada nyeri daerah fosa kanina dan sulkus gingivobukalis, kecuali ada
eksaserbasi akut.
b) Rinoskopi anterior:
1. Dapat ada sekret muko purulen/kekuningan yang kadang-kadang
bercampur darah, terutama pada meatus medius.
2. Dapat terjadi polip yang tampak pada meatus medius.
c) Rinoskopi posterior: -post nasal drip sekret muko purulen, kadang-kadang
bercampur darah.
d) Transiluminasi: pada sinus yang terkena gelap.

PEMERIKSAAN TAMBAHAN:
1. Plain foto sinus: penebalan mukosa, perselubungan, atau bentukan polip/mukokel.
2. Dengan nasal endoskopi kondisi kavumnasi dan meatus medius dapat dievakuasi
lebih jelas.
3. CT Scan kadang-kadang diperlukan khususnya pada yang unilateral untuk
menyingkirkan kemungkinan malignansi.
4. Pemeriksaan gigi atas untuk mencari kemungkinan penyebab dari gigi.

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
- Keganasan sinus maksilaris
- Sinusitis Maksilaris karena jamur

PENYULIT
- Selulitis orbita
- Abses orbita
- Osteo mielitis
- Abses epidural / subdural
- Meningitis
- Abses otak
- Trombosis sinus kavernoses

PENATALAKSANAAN:
- Terutama pendekatan surgikal
- Mulai dari:
Irigasi Sinus
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
Sampai ke yang lebih radikal yaitu operasi Caldwell – Luc.
- Pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab, terutama juga
untuk eradikasi kuman penghasil β laktamase dan kuman anaerob.
Dapat diberikanamoksisilin, eritromisin, trimetoprim sulfat, amoksisilin + asam
klavulanat, golongan sefalosporin, klindamisin dan sebagainya.
Konsul ke gigi bila dicurigai penyebabnya dari gigi.

DAFTAR PUSTAKA

1 White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear,
head and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:184-202.
2 Facer GW, Kern EB. Sinusistis: Current concept and management. In: Bailey BJ. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:366-
76.
3 Wilson WR, Montgomerry WW. Infections Diseases of the Paranasal Sinuses. In:
Papaella, Shumrick DA, eds Otolaryngology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders
Company, 11 : 1844-8.
4 Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infections of the
Upper respiratory Tract. In: Harrison’s Manual of Medicine. 15th ed. Boston: McGraw
Hill International Edition, 2002:213-5
RINITIS NON ALERGI

BATASAN
Rinitis gejala-gejala kronik yang tidak disebabkan oleh latar belakang alergi.
Termasuk dalam klasifikasi ini:
a. Rinitis vasomotor (RV)
b. Rinitis medikamentosa
c. Rinitis hormonal
d. NARES (non alergic rhinitis with eosinophilia syndrome)

PATOFISIOLOGI / ETIOLOGI
- RV : Etiologi pasti belum diketahui, ada ketidakseimbangan sistem saraf
otonom.Biasanya ada hubungan dengan kelembaban udara yang tinggi dan udara
dingin.
- Rhinitis medikamentosa (“Drug Induced Rhinitis”): karena penggunaan tetes
hidung dalam jangka lama, reserpin, klonidin, alfa metildopa, guanetidin,
klorpromasin, dan fenotiasin yang lain.
- Rhinitis hormonal (“hormonally induced Rhinitis”): Pada penderita hamil,
hipertiroid, penggunaan pil KB.
- NARES : Eosinofilia sekret hidung dengan tes kulit negatif. Penyebab belum jelas

GEJALA KLINIK
- RV :
o Pilek encer.
o Bersin-bersin paroksismal.
o Buntu hidung.
o Biasanya kambuh waktu pagi (dingin), mendung (kelembaban tinggi).
- Rinitis medikamentosa dan rinitis hormonal : gejala utama adalah buntu hidung,
terutama waktu berbaring.
- NARES : rinore kronik, bersin dan buntu jarang.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis yang cermat dan teliti
2. Pemeriksaan fisik
- Rinoskopi anterior:
Pada RV
Pada saat serangan:
- Konka udim
- Sekret serokumukus
- Warna mukosa tidak khas
Pada Rinitis hormonal dan Rinitis medikamentosa : Konka udim, rongga
hidung sempit, sekret sedikit.
Pada NARES, sekret seromukus, konka udim.
3. Pemeriksaan tambahan
Tes kulit dan eosinofil sekret hidung, untuk menyingkirkan adanya alergi.

DIAGNOSIS BANDING
- Rinitis alergi
- Rinitis akut (“infectious Rhinitis”)

PENYULIT
- Sinusitis paranasal
- Polip hidung
- Otitis media

TERAPI
Terapi kausal tidak ada; dapat dilakukan terapi simtomatik:
Untuk RV :
• Kombinasi antistamin dan dekongestan oral sebelum tidur malam/saat
serangan. antihistamin: CTM, 2-4 mg dengan dekongestan oral: pseudo-
efedrin 30-60 mg) Meningkatkan kondisi badan (olah raga pagi, gizi cukup,
istirahat cukup.
• Kalau buntu berat dapat dilakukan/diberi:
a. Tetes hidung (waktu serangan akut).
b. Kaustik konka inferior
c. Konkotomi konka inferior.
Untuk Rinitis hormonal dan medikamentosa : hentikan penggunaan obat penyebab
(bila memungkinkan). Kaustik atau konkotomi dapat dicoba.

DAFTAR PUSTAKA.

1. Ballenger JJ.Chronic infections of the nasal fossae. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose,
throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:199-
204.
2. Kimmelman CP, Ali Gamal HA. Vasomotoe rhinitis. Otolaryngol Clin of North Am
1986;19:65-72.
3. Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal sinus. Massachusetts: PSG
Publishing Company, Inc, 1987:195-98.
4. Weir N. Vasomotor rinitis-allergi and non allergi. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-
Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 3rd ed. London: Butterwoths, 1979: 209-24.
SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK

BATASAN
Sinusitis Maksilaris Kronik adalah sinusistis maksilaris yang telah menimbulkan
perubahan histologik pada mukosa, yakni fibrosis dan metaplasi skwamosa.

PATOFISIOLOGI
o Rinogen:
Obstruksi ostium sinus maksilaris yang kronik (misal karena deviasi septum nasi,
hipertrofi konka media, polip hidung), menimbulkan terjadinya perubahan
ireversibel pada mukosa sinus maksilaris:

o Hipertrofi /polipoid.
o Atrofi
o Dentogen:
o Infeksi gigi geraham atas, kuman penyebab: aerob/anaerob.

GEJALA KLINIK
o Pilek berbau, kental, biasanya satu sisi.
o Rasa kering pada tenggoroka, tenggorok berlendir.
o Batuk-batuk.
o Nyeri kepala jarang ada.
o Badan tidak panas.

DIAGNOSIS
1 Anamnesis yang cermat dan teliti
2 Pemeriksaan fisik
2. Rinoskopi anterior:
(a) Mukosa udim
(b) Mukosa hiperemi
(c) Mukosa di meatus medius
(d) Dijumpai penyebab obstruksi kronik ostium sinus (misal deviasi
spetum)
3. Rinoskopi posterior: mukopus di nasofaring.
4. Nyeri tekan pipi tidak jelas.
5. Transiluminasi: gelap pada sisi yang sakit.
6. Bila dentogen, ada karies pada geraham atas disisi yang sakit.
3 Pemeriksaan tambahan
x-foto water, (bila ragu): kesuraman pada sisi yang sakit/penebalan mukosa.

DIAGNOSIS BANDING
- Karsinoma sinus maksilaris
- Ozaena
- Benda asing rongga hidung (anak-anak)

PENYULIT
- Otitis Media Purulenta
- Sinusitis frontal/Etmoid
- Dakriosistitis
- Laringitis
- Osteomielitis
- Trombosis Sinus Kavernosus.

TERAPI
- Pengobatan terhadap obstruksi ostium (mis. Koreksi terhadap deviasi septumnasi).
- Pengobatan terhadap penyebab dentogen.
- Irrigasi sinus maksilaris setiap minggu (ICOPIM 5-221), dilakukan sampai kurang
lebih 5 kali. Bila tidak banyak kemajuan diperkirakan perubahan mukosa sudah
ireversibel.
- Operasi Caldwell Luc (bila perubahan mukosa sudah irreversibel) (ICOPIM 5-
222).
DAFTAR PUSTAKA

1 Ballenger JJ. Non surgical treatment of sinus infections. In: Ballenger JJ. Diseases of the
nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger,
1985:218-97.
2 Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal sinus. Massachusetts: PSG
Publishing Company, Inc, 1987:287-97.
3 Wright D. Acute sinusitis. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-Brown’s diseases of the
ear, nose, throat. 3rd ed. London: Butterwoths, 1979:273-313.
SINUSITIS PARANASAL KRONIK

BATASAN
Sinusitis paranasal kronik adalah proses keradangan dari mukosa sinus paranasal yang
kronis, yaitu lebih dari 3 bulan.

PATOFISIOLOGI / ETIOLOGI:
Sinusitis paranasal akut dapat menjadi kronik oleh berbagai faktor yakni faktor alergi,
faktor gangguan pada komplek ostio meatal (KOM) yang mengganggu patensi ostium
(deviasi septum nasi, polip nasi, konka bulosa dan sebagainya). Terjadi perubahan
mukosa sinus (penebalan, degenarasi polip, kista, mukokel). Batasan infeksi dan non
infkasi sering tidak jelas.
Kuman penyebab: Campuran kuman aerob dan anaerob. Kuman dominan adalah
P. aeruginosa dan kuman anaerob. Pada sinusitis maksila dentogen kuman anaerob
sangat dominan.

GEJALA KLINIK
Gejala utama adalah rinore yang kronik dengan sekret mukopurulen. Kadang-kadang
terjadi sakit kepala. Gejala lainnya adalah buntu hidung, kadang-kadang terjadi
penurunan penciuman dan pengecapan. Dapat terjadi sekret bercampur darah dari
hidung atau sekret yang turun ke faring (postnasal drip).

DIAGNOSIS
1 Anamnesis seperti di atas.
2 Pemeriksaan
a) Rinoskopi anterior:
o Dapat ada sekret muko purulen/kekuningan yang kadang-kadang
bercampur darah, terutama pada meatus medius.
o Dapat terjadi polip yang tampak pada meatus medius.
o Dapat juga terlihat deviasi septum nasi
b) Rinoskopi posterior: post nasal drip dengan sekret muko purulen, kadang-
kadang bercampur darah.
c) Transiluminasi: pada sinus yang terkena gelap (hanya untuk sinus maksila dan
sinus frontal).
d) Evaluasi untuk adanya latar belakang alergi

PEMERIKSAAN TAMBAHAN:
1. Plain foto sinus: penebalan mukosa, perselubungan, atau bentukan
polip/mukokel.
2. Nasal endoskopi : melihat rongga hidung dan meatus medius lebih jelas.
Kondisi KOM dapat dievaluasi lebih cermat.
3. CT Scan kadang-kadang diperlukan khususnya pada yang unilateral untuk
menyingkirkan kemungkinan malignansi atau bila disiapkan untuk
tindakan pembedahan.
4. Pemeriksaan gigi atas untuk mencari kemungkinan penyebab dari gigi
(dentogen).

DIAGNOSIS BANDING
- Keganasan
- Sinusitis karena jamur

PENYULIT
- Selulitis orbita
- Abses orbita
- Osteo mielitis
- Abses epidural / subdural
- Meningitis
- Abses otak
- Trombosis sinus kavernosus

PENATALAKSANAAN:
- Terutama menghilangkan faktor penyebab. Untuk patologi di KOM perlu
pembedahan.
- Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) untuk mengembalikan fungsi drainase
dan ventilasi sinus.
- Irigasi sinus maksila (untuk sinusitis maksila).
- Caldwell – Luc untuk sinusitis maksila kronik.
- Pemberian antibiotik disesuaikan dengan kuman penyebab, terutama juga untuk
eradikasi kuman penghasil β laktamase dan kuman anaerob.
Dapat diberikan amoksisilin, amoksisilin + asam klavulanat, sefalosporin generasi
II/III oral, klindamisin. Bila diperlukan penambahan metronidazol untuk infeksi
kuman anaerob.
Perawatan gigi bila ada penyebab dentogen.

DAFTAR PUSTAKA

1. White JA. Paranasal sinus infections. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose,
Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:
184-202.
2. Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In: Bailey BJ and
Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:366-76.
3. Gustafson RO, Bansberg SF. Sinus surgery. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds.
Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:377-87.
4. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Infections
of the upper respiratory Tract. In: Harrison’s Manual of Medicine. 15th ed. Boston:
McGraw Hill International Edition, 2002:213-5.
5. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious diseases of the paranasal sinuses. In:
Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd
ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co,
1991:1843-61.
6. Kennedy DW, Zinreich SJ. Endoscopic sinus surgery. In: Paparella NN, Shumrick
DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and
Neck.. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991
7. Blair PA, Miller RH. Surgical treatment of paranasal sinus infections. In: Ballenger
JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia,
London: Lea & Febiger, 1991: 220-32.
POLIP HIDUNG

BATASAN
Polip hidung adalah pengertian morfologis (bentuk) yang berarti penonjolan mukosa
kavum nasi yang panjang dan bertangkai. Polip buka neoplasma, tetapi psedotumor.

PATOFISIOLOGI
Penyebab pasti belum diketahui. Yang masih dianggap sebagai faktor penyebab
adalah alergi dan radang kronik yang berlangsung lama dan berulang-ulang,
menimbulkan hambatan aliran kembali cairan interstisial dan seterusnya secara
berturut-turut timbul udim, penonjolan mukosa, panjang dan bertangkai, maka
terbentuklah polip. Derajat kepadatan jaringan ikat dan pembuluh darah menentukan
derajat udim, sehingga menentukan timbulmnya polip. Karena konka nasi inferior dan
septum nasi mengandung banyak jaringan ikat padat, maka polop jarang ditemui pada
organ-organ tersebut. Stroma mengandung jaringan ikat yang terenggang oleh cairan
interstisial, mengandung banyak saluran limfe yang melebar, tetapi sedikit pembuluh
darah dan syaraf. Didapat tumpukan limfosit, sel plasma dan eosinofil dalam jumlah
yang bervariasi.

Polip hidung dibedakan:


- Multipel, sering dijumpai, biasanya berasal dari sel-sel etmoid.
- Soliter berasal dari sinus maksilaris dan tumbuh kearah koane (polip koanal).
Polip lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada wanita, banyak pada usia muda
dan jarang pada anak-anak.

GEJALA KLINIK
- Rimorea/pilek yang terus menerus, sekret mukus. Pilek bertambah hebat dan sekret
menjadi encer kalau penderita terserang rinitis akut atau serangan alergi.
- Buntu hidung, bisa parsial atau total tergantung besar atau banyaknya polip.
- Gejala-gejala lain adalah akibat buntu hidung, misalnya: suara bindeng, karies gigi,
batuk, sakit kepala.
- Semua gejala-gejala ini bertambah secara lambat tetapi progresif.
DIAGNOSIS
1 Anamnesis yang cermat dan teliti.
2 Pemeriksaan fisik
i) Inspeksi: dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama pada polip yang
berasal dari sel-sel etmoid.
ii) Rinoskopi anterior: tampak sekret mukus dan polip multipel atau soliter.
Polip kecil sring tak terlihat.
iii) Rinoskopi posterior: kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal.
3 Pemeriksaan tambahan
i) Naso-endoskopi untuk melihat KOM secara cermat, plip kecil dapat
terlihat.

DIAGNOSIS BANDING
- Angiofibroma nasofaring juvenilis: tampak seperti polip koanal, tetapi relatif
mudah berdarah.
- “Inverted Cell Papilloma”: tampak seperti polip multipel, tetapi biasanya
unilateral dan banyak pada orang berusia lanjut.
- Meningokel: biasanya pada bayi atau anak-anak. Polip jarang dijumpai pada anak-
anak maupun bayi.

PENYULIT
Jarang terjadi; kalau ada sebagai akibat tertutupnya ostium sinus paranasal atau
ostium tuba yakni polip dalam sinus paranasal, sinusitis paranasal atau otitis media.

TERAPI
Terapi kausal belum ada.
Yang dilakukan adalah:
- Ekstraksi polip intranasal
- Terapi dari sudut alergi kalau ada latar belakang alergi.(lihat Rinitis alergi).
- Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)
- Operasi Caldwell-Luc kalau polip mengisi sinus maksilaris
- Semprot hidung steroid intranasal (Mometason, Triamsinolon, Flutikason, dsb)
DAFTAR PUSTAKA

1 Montgomery W, Singer M, Hamaker R. Tumors of the nose and paranasal sinuses. In:
Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear.
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:254-55.
2 Drake-Lee AB. Nasal polyps. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-Brown’s diseases of
the ear, nose, throat. 5th ed. London: Butterwoths, 1987:142-53.
3 Marshall KG, Attia EL. Disorder of the nose and paranasal sinus. Massachusetts: PSG
Publishing Company, Inc, 1987:217-31.
TUMOR RONGGA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

BATASAN
Semua tumor jinak maupun ganas yang berasal dari rongga hidung dan/atau sinus
paranasal.

PATOLOGI
Urutan asal tumor menurut kekerapan:
1. Sinus maksila
2. Rongga hidung
3. Sel-sel etmoid
4. Sinus frontal
5. Sinus sfenoid

Pembagian menurut hispatologi:


♣ Tumor jinak
 Dari jinak lunak: fibroma, neurofibroma, meningioma.
 Dari jaringan tulang: osteoma, giant cell tumor, dispasia fibrosa, ossifying
fibrome.
 Odontogenik: kista-kista gigi, ameloblastoma.

♣ Tumor pra ganas:


Inverted papilloma.

♣ Tumor ganas
 Dari epitel: karsinoma sel skuamosa, limfoepitelioma, karsinoma sel basal,
silindroma, dsb.
 Dari jaringan ikat: fibrosarkoma, rabdomiosarkoma.
 Dari jaringan tulang/tulang rawan: osteosarkoma, kondrosarkoma.

GEJALA KLINIK
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah
perluasannya.
- Gejala hidung
Buntu hidung unilateral dan progresif, terutama pada tumor di rongga hidung.
Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya. Sekret hidung bervariasi.
Purulen dan berbau bila ada infeksi. Sekret yang bercampur darah atau adanya
epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan. Rasa nyeri di sekitar hidung
dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus. Sedangkan rasa nyeri terus-
menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.

- Gejala lokal masing-masing sinus

Sinus maksila
Pertumbuhan tumor lebih lanjut dapat menyebabkan:
o Pembengkakan pipi.
o Pembengkakan palatum durum.
o Geraham ataas goyah, maloklusi gigi.
o Gangguan mata bila tumor masuk orbita.

Sel-sel etmoid.
o Masuk ke orbita melalui lamina papirasea, mendesak bola mata, terjdi diplopi,
dan penurunan visus.
o Pendesakan ke arah depan menyebabkan benjolan pada pangkal hidung.

Sinus frontal
o Pendesakan ke depan menyebabkan benjolan pada dahi.
o Ke orbita menyebabkan diplopi, gangguan visus.

Sinus sfenoid
o Pertumbuhan ke arah nasofaring, benjolan terlihat pada rinoskopi posterior
(RP).
o Pendesakan ke retrobulbair, menyebabkan prostrusio bulbi dan penurunan
visus, dan gangguan gerakan bola mata.
DIAGNOSIS
- Anamnesis yang cermat terhadap keluhan-keluhan di atas.
- Pemeriksaan
 Inspeksi terhadap dahi, mata, pipi, geraham dan palatum.
 Palpasi terhadap tumor yang tampak dan kelenjar leher (bila ada).
 Rinoskopi anterior untuk mengevaluasi tumor di dalam rongga hidung.
 Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring.
 Pemeriksaan THT lainnya menurut keperluan.
- Pemeriksaan tambahan
 Pemeriksaan radiologi :
X-foto posisi Water: untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus
maksilaris, dan sinus frontal. Kranium lateral : untuk melihat ekstensi ke
fosa kranii anterior/media.
CT SCAN: untuk mengetahui lebih tepat perluasan tumor.
 Biopsi:
Biopsi dengan forsep Blakesley dilakukan pada tumor yang tampak.
Tumor di dalam sinus maksilaris dibiopsi dengan pungsi melalui meatus
nas inferior. Untuk tumor kecil di dalam rongga sinus maksila atau rongga
hidung dapat dilakukan menggunakan antroskopi atau naso-endoskopi.
Tumor jinak langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap
keganasan, bila perlu dapat dilakukan potong beku.

TERAPI
Tumor jinak: Terapi pembedahan.
Beberapa macam pembedahan antara lain:
 Rinotomi lateral
 Caldwell-Luc
 Pendekatan trans paltal
Tumor ganas:
Pembedahan:
 Reseksi:
♣ Rinotomi lateral
♣ Maksilektomi partial/total
♣ Dapat dengan kombinasi eksenterasi orbita
 Paliatif : mengurangi besar tumor (debulking), sebelum radiasi.

Radiasi:
 Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif.
 Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (misal: tumor sangat besar/inoperable,
metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi).

Kemoterapi: sebagai terapi tambahan pada pembedahan dan radiasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Miller RH. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of
the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger,
1991: 109-18.
2. Krespi YP, Levine TM. Tumors of the nose and paranasal sinuses. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head
and Neck.. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1938-58.
3. Myers EN, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In: Bailey BJ and
Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB
Lippincott Company. 1993:1091-109.
4. Lane M, Donovan DT. Neoplasms of the head and neck. In: Calabresi P, Schein PS. Eds.
Medical Oncology. 2nd ed New York: Mc Graw Hill, Inc. 1993:565-92.
FRAKTUR TULANG HIDUNG

BATASAN
Fraktur tulang hidung adalah patah, pecah atau hilangnya kontinuitas tulang hidung
(os nasale) disertai atau tidak kerusakan pada septum nasi dan tulang yang
berhubungan dengan tulang hidung. Tidak termasuk disini fraktur yang mengenai
tulang maksila.

PATOFISIOLOGI
Fraktur tulang hidung dapat tertutup, terbuka atau kombinasi. Dapat terjadi akibat
rudapaksa seperti pukulan, benturan dalam kecelakaan lalu lintas, perkelahian atau
olahraga. Bentuk fraktur dapat dipengaruhi oleh ara tekanan dan besar tekanan. Arah
tekanan dari depan dapat menyebabkan hidung melesak, sedang tekanan dari samping
dapat menyebabkan hidung deviasi (miring ke samping kontralateral). Twekanan
yang keras dapat merusak pula tulang dan tulang rawan septum nasi, menyebabkan
deviasi.

DIAGONOSIS
Anamnesis:
Adanya riwayat trauma yang mengenai hidung. Sering kali diikuti epistakis
dan buntu hidung. Dapat terjadi pembengkakan dan perubahan bentuk hidung
(deformitas).
Pemeriksaan:
Dapat terlihat adanya udim dan hiperemi pada hidung bagian tulang rawan.
Bila arah tekanan dari samping dapat terlihat deviasi hidung. Bila tekanan dari
depan dan kuat hidung dapat melesak ke dalam (mendatar/flat). Pada palpasi
terdapat nyeri tekan dan terasa krepitasi. Pada fraktur terbuka tampak adanya
luka terbuka pada kulit dan dapat terlihat fragmen tulang hidung mencuat
keluar (exposed).
Dapat ditemulam epistaksis yang masih aktif.
Pada rinoskopi anterior setelah pemberian tampon liodokain dan dekongestan,
dapat dievaluasi adanya luka terbuka pada mukosa rongga hidung atau adanya
deviasi pada septum nasi.
PEMERIKSAAN TAMBAHAN:
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu terutam bila tanda klinis tidak
mendukung. Bila perlu dikerjakan untuk tujuan dokumentasi. Dapat dibuat x-foto
tengkorak lateral. Pada orang Indonesia yang tulang hidungnya kecil seringkali tidak
jelas hasilnya.

PENATALAKSANAAN
Reposisi sedapat mungkin dilakukan segera. Bila dilakukan dalam 3 jam trauma
memberikan hasil maksimal. Penundaan dapat dilakukan sampai 3-7 hari bila ada
pertimbangan lain yang lebih urgen.

REPOSISI TERTUTUP

INDIKASI : deformitas ringan tanpa kerusakan pada septum nasi.


Dilakukan dengan anestesi lokal yakni dengan memasukkan kapas yang dibasahi
dengan larutan lidokain 1% yang dicampur dengan dekongestan (efedrin 1% atau
oksimetazolin 0,05%) ke dalam rongga hidung selama 10-15 menit. Dapat juga
dilakukan dengan penyuntikan lidokain 1-2% dicampur dengan adrenalin 1/100.000
sepanjang dorsum nasi, lateral dari piramid hidung dan septum nasi bagian bawah.
Alat yang digunakan adalah: spekulum hidung Killian, pinset hidung, elevator, forsep
Asch/Walsham.
Reposisi dilakukan dengan memasukkan elevator yang sudah dilindungi dengan
lapisan kain kasa seteril. Elevator dimasukkan menyusuri bagian depan atas rongga
hidung dengan kedalaman mendekati daerah deformitas. Elevator diangkat ke depan
atau kearah berlawanan dari arah deviasi, dari luar jari tangan mendorong ke arah
sebaliknya. Forsep digunakan untuk deviasi yang lebih berat.
Setelah reposisi dilakukan fiksasi intranasal dengan tampon yang mengandung
antibiotik selama 3-4 hari, dan fiksasi eksternal dengan plaster (gips kupu-kupu)
selama 7-14 hari. Bila fraktur multipel dan kerusakan juga mengenai septum nasi
serta deformitas yang hebat perlu dilakukan reposisi terbuka dengan anestesi umum.

RUJUKAN :
1. Bailey BJ. Nasal Fracture in: Bailey BJ, Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia, London: JB Lippincott Company.
1993:991-1007.
2. Beekhuis GJ. Nasal Fracture in: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL,
Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology Vol. III, 3rd ed. Philadelphia, London, Toronto,
WB Saunders, Co, 1991:1823-41.
FRAKTUR TULANG HIDUNG

BATASAN
Fraktur tulang hidung adalah patah, pecah atau hilangnya kontinuitas tulang hidung
(os nasale) disertai atau tidak kerusakan pada septum nasi dan tulang yang berhubungan
dengan tulang hidung. Tidak termasuk disini fraktur yang mengenai tulang maksila.

PATOFISIOLOGI
Fraktur tulang hidung dapat tertutup, terbuka atau kombinasi. Dapat terjadi akibat rudapaksa
seperti pukulan, benturan dalam kecelakaan lalu lintas, perkelahian atau olahraga. Bentuk
fraktur dapat dipengaruhi oleh ara tekanan dan besar tekanan. Arah tekanan dari depan dapat
menyebabkan hidung melesak, sedang tekanan dari samping dapat menyebabkan hidung
deviasi (miring ke samping kontralateral). Twekanan yang keras dapat merusak pula tulang
dan tulang rawan septum nasi, menyebabkan deviasi.

DIAGONOSIS
Anamnesis:
Adanya riwayat trauma yang mengenai hidung. Sering kali diikuti epistakis dan buntu
hidung. Dapat terjadi pembengkakan dan perubahan bentuk hidung (deformitas).
Pemeriksaan:dapat terlihat adanya udim dan hiperemi pada hidung bagian tulang rawan. Bila
arah tekanan dari samping dapat terlihat deviasi hidung. Bila tekanan dari depan dan kuat
hidung dapat melesak ke dalam (mendatar/flat). Pada palpasi terdapat nyeri tekan dan terasa
krepitasi. Pada fraktur terbuka tampak adanya luka terbuka pada kulit dan dapat terlihat
fragmen tulang hidung mencuat keluar (exposed).
Dapat ditemulam epistaksis yang masih aktif.
Pada rinoskopi anterior setelah pemberian tampon liodokain dan dekongestan, dapat
dievaluasi adanya luka terbuka pada mukosa rongga hidung atau adanya deviasi pada septum
nasi.

Pemeriksaan tambahan:
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu terutam bila tanda klinis tidak mendukung.
Bila perlu dikerjakan untuk tujuan dokumentasi. Dapat dibuat x-foto tengkorak lateral. Pada
orang Indonesia yang tulang hidungnya kecil seringkali tidak jelas hasilnya.

PENATALAKSANAAN

Reposisi sedapat mungkin dilakukan segera. Bila dilakukan dalam 3 jam trauma memberikan
hasil maksimal. Penundaan dapat dilakukan sampai 3-7 hari bila ada pertimbangan lain yang
lebih urgen.

Reposisi tertutup
Indikasi: deformitas ringan tanpa kerusakan pada septum nasi.
Dilakukan dengan anestesi lokal yakni dengan memasukkan kapas yang dibasahi dengan
larutan lidokain 1% yang dicampur dengan dekongestan (efedrin 1% atau oksimetazolin
0,05%) ke dalam rongga hidung selama 10-15 menit. Dapat juga dilakukan dengan
penyuntikan lidokain 1-2% dicampur dengan adrenalin 1/100.000 sepanjang dorsum nasi,
lateral dari piramid hidung dan septum nasi bagian bawah.
Alat yang digunakan adalah: spekulum hidung Killian, pinset hidung, elevator, forsep
Asch/Walsham.

Reposisi dilakukan dengan memasukkan elevator yang sudah dilindungi dengan lapisan kain
kasa seteril. Elevator dimasukkan menyusuri bagian depan atas rongga hidung dengan
kedalaman mendekati daerah deformitas. Elevator diangkat ke depan atau kearah berlawanan
dari arah deviasi, dari luar jari tangan mendorong ke arah sebaliknya. Forsep digunakan
untuk deviasi yang lebih berat.

Setelah reposisi dilakukan fiksasi intranasal dengan tampon yang mengandung antibiotik
selama 3-4 hari, dan fiksasi eksternal dengan plaster (gips kupu-kupu) selama 7-14 hari. Bila
fraktur multipel dan kerusakan juga mengenai septum nasi serta deformitas yang hebat perlu
dilakukan reposisi terbuka dengan anestesi umum.
RUJUKAN:

1. Bailey BJ. Nasal Fracture in: Bailey BJ, Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia, London: JB Lippincott Company.
1993:991-1007.
2. Beekhuis GJ. Nasal Fracture in: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL,
Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology Vol. III, 3rd ed. Philadelphia, London, Toronto,
WB Saunders, Co, 1991:1823-41.
PRESBIAKUSIS

BATASAN

Ketulian atau kekurangan pendengaran yang disebabkan oleh proses ketuaan.

PATOFISIOLOGI

Terjadi pada usia 60 – 80 tahun. Dapat terjadi mulai umur 40 tahun (Presbiakusis
prekok). Paling banyak pada umur 60 – 65 tahun.
Kelainan dapat terjadi pada koklea, nervus auditivus maupun pada susunan syaraf pusat
(SSP).

Faktor yang mempengaruhi :


- Kebisingan
- Diet lemak tinggi
- Merokok dan ketegangan

Berdasarkan patologinya dapat dibagi dalam :


- Presbiakusis sensoris ( terjadi atrofi organon Corti)
- Presbiakusis neural (neuron pada SSP berkurang)
- Presbiakusis strial (atrofi stria vaskularis)
- Presbiakusis koklear – konduktif (terjadi gangguan pergerakan membrana biasilaris)
DIAGNOSIS

1. Anamnesis :
- Pedengaran berkurang, sulit berkomunikasi
- Telinga berdenging
- Diplakusis
- Dapat disertai vertigo

2. Pemeriksaan
- Pada Otoskopi tak ditemukan kelainan

3. Pemeriksaan tambahan :
- Audiometri : Audiogram nada murni menunjukkan tuli perseptif bilateral simetris
dengan penurunan pada frekuensi diatas 1000 Hz

DIAGNOSIS BANDING

- Trauma akustik ( karena kebisingan)


- Penyakit Meniere
- Otosklerosis stadium lanjut

TERAPI

Tidak ada terapi definitif yang memuaskan


- Vasodilator : asam nikotinat
- Vitamin B kompleks, vitamin A
Keduanya diberikan dalan sebulan
Dihentikan bila tidak ada perbaikan
Apabila diperlukan dapat dipasang Alat Pembantu Mendengar (“Hearing Aid’)

Pencegahan :
- Menghindari kebisingan
- Diet rendah lemak
- Menghindari rokok, ketegangan, avitaminosis, anemi
- Pengobatan terhadap kelainan kardiovaskuler

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia :
Lea & Febiger, 1985: 1067, 1269
2. Hinokosa R, Nauton RF. Presbycusis. In : Paparella MM, Shumrick DA,eds.
Otolaryngology, Vol ll. 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto : WB Sauders Co,
1980:1777-87

1. OTITIS EKSTERNA

Sri Rukmini, Soepriyadi, Sri Harmadji

BATASAN: Otitis eksterna adalah infeksi pada kulit Meatus Akustikus Eksternus
(MAE).
Kuman penyebab paling sering adalah S. aureus. Penyebab lain adalah P.aeruginosa,
jamur golongan Aspergilus atau Kandida.
PATOFISIOLOGI
A. Sebagai faktor predisposisi:
a. Faktor endogen : Keadaan umum yang buruk akibat anemia, hipovitaminosis,
diabetes melitus, atau dermatitis seboroik
b. Faktor eksogen : Terlalu sering membersihkan telinga, mengakibatkan
serumen yang berfungsi sebagai pertahanan kulit MAE hilang.
Trauma karena tindakan mengorek telinga, kuman masuk lewat lesi yang ada.
Suasana yang lembab, panas, atau alkalis di dalam MAE menyebabkan
meningkatnya pertumbuhan kuman dan jamur. Kelembaban kulit terjadi akibat
MAE kemasukan air waktu setelah berenang, mandi atau udara yang terlalu
panas / berkeringat.
Bentuk MAE yang tidak lurus menyulitkan penguapan dan mengakibatkan
kulit MAE lebih sering dalam keadaan lembab.
Keadaan tersebut menimbulkan udem di kulit MAE yang dirasa gatal sehingga
mendorong penderita mengorek telinga, trauma yang timbul akan
memperberat infeksi.
Korek-korek telinga juga dapat menyebabkan hilangnya protective lipid layer
dan acid mantle. Hal ini menyebabka meningkatnya kelembaban dan suhu di
MAE. MAE yang lembab, hangat dan kotor merupakan media pertumbuhan
kuman yang baik. Penetrasi kuman lebih mudah terjadi. Pada awalnya terjadi
penyumbatan pada apopilosebaseus unit yang dilanjutkan dengan terjadinya
radang akut yang disebut furunkel.
B. Eczomatoid otitis eksterna: Terjadi akibat reaksi hhipersensitifitas, misalkan
karena obat tetes telinga yang mengandung antibiotik, pemakaian bahan kimia
/ logam misalkan hairspray, anting-anting (kontak dematitis), reaksi atopik,
atau akibat rangsangan sekret dari otitis media. Termasuk golongan ini adalah
Psoriasis dan neudermatitis.
C. Otitis eksterna seboroik: Merupakan bagian dari dermatitis seboroik.
Penyebabnya tidak diketahui, penyakit ini bersifat heriditer. Kelainan berupa
sisik-sisik atau lapisan tebal berminyak terutama terdapat pada kulit kepala. Di
telinga kelainan dapat ditemukan di MAE, konka atau di retro aurikuler.
DIAGNOSIS
Anamnesis:
- Rasa gatal sampai rasa nyeri di dalam telinga. Rasa gatal dapat dirasakan sampai
tenggorok. Kadang-kadang disertai sedikit rasa nyeri. Awalnya sekret encer, bening,
tetapi dapaat berubah menjadi sekret kental purulen. Pada bentuk kronik sekret tidak
ada atau hanya sedikit atau berupa gumpalan, berbau akibat adanya bakteri saprofit
ataupun jamur.
- Pendengaran normal atau sedikit berkurang.
- Pada furunkel MAE gejala yang paling dominan adalah nyeri telinga (otalgi). Nyeri
akan bertambah saat gerakan mengunyah atau bila telinga disentuh.

Pemeriksaan:
- MAE terisi sekret serus (alergi), purulen (infeksi kuman), keabu-abuan atau kehitam-
hitaman (jamur).
- Kulit MAE udim, hiperemi merata sampai ke membrana timpani.
- Pembesaran kelenjar regional: daerah servikal antero superior, parotis atau retro
aurikuler. P
- ada furunkel didapatkan udim, hiperemi pada pars katrilagenus MAE, nyeri tarik
aurikulum dan nyeri tekan tragus. Bila udim hebat membran timpani dapat tidak
tampak

DIAGNOSIS BANDING:
- Otitis media akut
- Otits eksterna bulosa

PENYULIT:
- Perikondritis
- Dermatitis aurikularis
- Erisipelas

PENATALAKSANAAN:
- MAE dibersihkan dengan menggunakan kapas lidi.
Pemasangan tampon pita ½ cm x 5 cm yang telah dibasahi dengan larutan Burowi filtrata
(3%) pada MAE. Tampon secukupnya, tidak boleh diletakkan terlalu ke dalam
(nyeri/bahaya melukai membran timpani, sulit mengeluarkan).
Tampon setiap 2-3 jam sekali ditetsi dengan larutan Burowi agar tetap basah. Tampon
diganti setiap 2 hari sekali. Obat tetes diberikan sampai 2-3 hari setelah gejala nyeri/gatal
hilang.
Larutan Burowi dapat diganti dengan tetes telinga yang mengandung steroid dan
antibiotik.
Apabila diduga infeksi kuman Pseudomonas berikan tetes neomisin hidrokortison.
Pada infeksi jamur digunakan tetes telinga asam sailisilat 2-5% dalam alkohol 20 %.
Pada otitis eksterna kronik difus dapat diberikan triamsinolon 0.25% krim/salep atau
deksametason 0,1% .
Antibiotika oral tidak perlu diberikan.

DAFTAR PUSTAKA:
5. Linstrom JL, Lucente FE. Infections of the external ear. In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:1542-56.
6. Meyerhoff WL, Caruso VG. Trauma and infections of the external ear. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology
and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders, Co, 1991:1227-36.
7. Austin DF. Diseases of the external ear. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose,
Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1069-
80.
TENGGOROK

1. TONSILITIS AKUT

BATASAN
Infeksi akut pada tonsil.

ETIOLOGI
Kuman S. Pyogenes (50%), dan Virus.

PATOFISIOLOGI
Banyak terjadi pada anak, terbanyak pada usia 5 dan 10 tahun.
Terjadi radang pada folikel tonsil, timbul udim dan eksudasi. Eksudat keluar ke permukaan,
sehingga terjadi penumpukan pada kripte yang disebut detritus. Hal ini terjadi pada infeksi
kuman streptokokus.

DIAGNOSIS

1 Anamnesis:
- Mula-mula tenggorok kering.
- Disusul timbulnya nnyeri telan yang makin hebat.
- Anak tidak mau makan.
- Nyeri menjalar ke telinga (“referred pain”).
- Demam (dapat sangat tinggi), nyeri kepala.
2 Pemeriksaan:
- Suara penderita seperti mulutpenuh makanan (“plummy voice”).
- Mulut berbau busuk (“foetor ex ore”).
- Ptialismus.
- Tonsil hiperemi dan membengkak, banyak detritus.
- Ismus fausium menyempit.
- Palatum mole, arkus anterior dan posterior tonsil udim dan hiperemi.
- Kelenjar getah bening jugulodigastikus membesar dan nyeri tekan.
DIAGNOSIS BANDING
Difteri tonsil: “pseudo membrane” putih keabuan, melekat erat, bila dilepas timbul
pendarahan, meluas keluar dari tonsil. Didapati udim perifokal kelenjar leher (“Bull Neck”).

PENYULIT
1 Lokal:
- Peritonsilitis, 4-5 hari kemudian menjadi abses peritonsil ($&%).
- Abses parafaring.
- Otitis media supuratif akut (pada anak-anak).
2 Sistemik: bila penyebabnya S. pyogenes.
- Glomerulonefritis akut.
- Demam rema, rematoid artritis.
- Endokarditis bakterial sub akut.

TERAPI
1 Istirahat, makan lunak, minum hangat.
Obat kumur (gargarisma kan).
Analgesik/antipiretik: Asetosal, Parasetamol, 3-4 x sehari 500 mg, 3-5 hari.

2 Pemberian antibiotik pada tonsilitis karena streptokokus.


- Untuk kasus berat (sulit menelan), diberikan:
Penisilin Prokain 2 x 0.6-1,2 juta IU/hari, i.m., diteruskan dengan femoksimetil
penisilin 4 x 500 mg/hari secara oral. Pengobatan diberikan selama 5-10 hari.
- Untuk kasus ringan pengobatan langsung dengan Fenoksimetil penisilin 4 x 500
mg/hari (anak-anak: 7,5-12,5 mg/kg BB/dosis, 4 x sehari), atau Eritromisin 4 x
500 mg/hari (anak-anak: 12,5 mg/kg BB/dosis, 4 x sehari). Diberikan selama 5-10
hari.
- Bila terjadi komplikasi abses peritonsil/parafaring, dilakukan insisi.

DAFTAR PUSTAKA
1 Ballenger JJ. Diseases of the tonsil and adenoids. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose,
throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:306-
17.
2 Kornblut AD. Non neoplastic diseases of the tonsils and adenoids. In: Paparella MM,
Shumrick DA, eds. Otolaryngology, 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto: WB
Saunders Co, 1980:2263-82.
3 Mawson SR. Diseases of the tonsil and adenoids (excluding neoplasms). In: Ballantyne J,
Groves J, eds. Scott-Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 4th ed. London:
Butterwoths, 1979:123-70.

2. FARINGITIS AKUT

BATASAN
Radang akut yang mengenai mukosa faring dan jaringan limfoid dinding faring.

ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah virus. Dapat juga oleh kuman S. pyogenes.

PATOFISIOLOGI
Penularan secara “droplet infection”, atau melalui makanan/minuman.
Dapat sebagai gejala permulaan dari penyakit lain musalnya: morbili, influensa, pnemoni,
parotitis, dsb. Seringkali bersam-sama dengan penyakit saluran nafas atas lainnya yakni:
rinitis akut, nasofaringitis, laringitis, dsb.

DIAGNOSIS

1 Anamnesis:
- Tenggorok rasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri menelan di bagian
tengah tenggorok.
- Demam, sakit kepala, malaese.

2 Pemeriksaan:
- Mukosa faring tampak merah dan udim, terutama di daerah “lateral band”.
- Granula tampak lebih besar dan merah.
- Kadang-kadang didapati pembesaran kelenjar regional yang nyeri tekan.

DIAGNOSIS BANDING
Tonsilitis akut.

PENYULIT
Bila daya tahan tubuh baik, jarang terjadi penyulit.
Dapat terjadi penyebaran ke bawah, seperti: laringitis, trakeitis, bronkitis, pnemoni, atau ke
atas melewati tuba Eustakhius menimbulkan otitis media akut.
Bila penyebabnya S. pyogenesis, dapat terjadi komplikasi seperti pada Tonsilitis akut.

TERAPI
- Istirahat
- Analgestik/antipiretik.
- Gargarisma kan.
- Tidak diperlukan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA

1 Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:270.

2 Jalisi M, Zaidi SH. A short book of ear, nose, and throat diseases. Karaci: Azamsons,
1985:198-202.

3 Hebbert J. Acute infections of the phariynx and tonsils. In: Evans JNG, ec. Scott Brown’s
otolaryngology. Pediatric otolaryngology. 5th ed. London: Butterworths, 1987:368-83.
PERIKONDRITIS AURIKULA

Sri Rukmini, Soepriyadi, Sri Harmadji

BATASAN
Perikondritis adalah suatu keradangan supuratif pada perikondrium tulang rawan
aurikula.

ETIOLOGI
Kuman penyebab:
- Pseudomonas aeroginosa
- Stafilococcus aureus

PATOFISIOLOGI

Merupakan komplikasi dari:


- Trauma
- Operasi telinga
- OMK, Furunkel MAE, Otitis eksterna.
Mula-mula terjadi infiltrat pada perikondrium, kemudian terjadi supurasi, dan selanjutnya
dapat terjadi nekrosis tulang rawan yang mengakibatkan terjadinya deformitas daun telinga.

DIAGNOSIS

3. Amnesis :
- aurikula terasa bengkak, nyeri, dan merah.
- kadang-kadang disertai demam

4. Pemeriksaan:
- udim luas pada aurikula dapat meluas keluar aurikula.
- Nyeri dan hiperemia
- Terdapat fluktuasi bila terjadi supurasi
- Terdapat deformitas bila sudah terjadi nekrosis
- Pembesaran kelenjar getah bening regional
- Suhu tubuh naik, leksoit naik.

TERAPI

a. Antibiotik : Untuk yang ringan, diberikan kloksasilin 3 X 500 mg oral/hari.Untuk


yang berat diberikan gentamisin intra vena 2 X 80 mg/ hari atau aminoglikosida
lainnya.
b. Anti inflamasi/analgesik : asam mefenamat, piroksikam atau diklofenak
c. Insisi bila sudah terjadi supurasi, dilanjutkan dengan eksisi bila sudah terjadi nekrosis
tulang rawan.

DAFTAR PUSTAKA

8. Linstrom JL, Lucente FE. Infections of the external ear. In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:1542-56.
9. Meyerhoff WL, Caruso VG. Trauma and infections of the external ear. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology
and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders, Co, 1991:1227-36.
10. Austin DF. Diseases of the external ear. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose,
Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1069-
80.

TONSILITIS KRONIK

BATASAN
Tonsilitis kronik merupakan keradangan kronik pada tonsil.
PATOFISIOLOGI
Merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil. Biasanya
terjadi pembesaran tonsil sebagai akibat hipertrofi folikel-folikel getah bening. Pada anak-
anak biasanya disertai hipertrofi adenoid sehingga sering disebut Adenotonsilitis kronik.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
- Nyeri tenggorok atau nyeri menelan ringan yang bersifat kronik, menghebat bila
terjadi serangan akut.
- Rasa mengganjal di tenggorok.
- Mulut berbau.
- Badan lesu, nafsu makan berkurang, sakit kepala.
- Pada Adenoiditis kronik, terjadi buntu hidung, tidur mendengkur (ngorok).

2. Pemeriksaan:
- Tonsil umumnya membesar, pada serangan akut (eksaserbsi akut), tonsil hiperemi.
- Kripta melebar dan terisi detritus. Detritus keluar bila tonsil ditekan.
- Arkus anterior dan posterior merah.
- Pada adenotonsilitis kronik, dapat terjadi “Adenoid face”.
- Pada rinoskopi anterior, fenomena palatum mole negatif, kadang tertutup sekret
mukopurulen.

PENYULIT
- Dapat terjadi penyulit seperti tonsilits akut.
- Pada adenotonsilitis dapat terjadi penyulir seperti: otitis median dan sinusitis
paranasal.

TERAPI
- Pada serangan akut terapi seperti pada tonsilitis akut.
- Bila diperlukan dapat dilakukan “tonsilektomi” atau “adenotonsilektomi” (lihat
indikasi).
Indikasi tonsilektomi/adenotonsilektomi:
Secara umum indikasi operasi ialah bila tonsil menjadi sumber infeksi yang memberi
risiko yang lebih besar daripada risiko operasi.

Indikasi khusus:
- Tonsilitis akut residivans (kambuh > 5 x setahun).
- Tonsilitis kronik yang sering mengalami eksaserbasi akut lebih dari 5 x setahun.
- Tonsil sebagai sumber infeksi.
- Tonsilitis dengan penyulit abses peritonsil.
- Tonsil besar dengan gangguan menelan/bernafas.
- Tonsil sebagai karier difteri.
- Tumor tonsil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the tonsil and adenoids. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose,
throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:306-
17.

2. Kornblut AD. Non neoplastic diseases of the tonsils and adenoids. In: Paparella MM,
Shumrick DA, eds. Otolaryngology, 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto: WB
Saunders Co, 1980:2263-82.

3. Mawson SR. Diseases of the tonsil and adenoids (excluding neoplasms). In: Ballantyne J,
Groves J, eds. Scott-Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 4th ed. London:
Butterwoths, 1979:123-70.
. TULI MENDADAK

Sri Soekesi, Adriani Iskandar, Nyilo Purnami

BATASAN
Suatu ketulian sensorineural yang terjadi secara tiba-tiba dalam beberapa jam atau beberapa
hari (5-7 hari), umunya unilateral, dan dapat disertai tinitus atau vertigo.

PATOFISIOLOGI

1. Teori infeksi virus


- Penyebab: virus campak, parotitis, herpes zoster, varisela, influenza, dan
penyakit virus lainnya.
- Pada koklea menyebabkan labirintitis endolimfatik, dan pada nervus VIII
menyebabkan neuronitis dan ganglionitis.
- Virus juga menginvasi endotel vaskular dan melekat pada eritrosit
sehingga lumen vaskular mengecil akibat pembengkakan endotel dan
terjadi hemaglutinasi yang pada akhirnya menyebabkan aliran darah ke
koklea terganggu.
2. Teori vaskular
- Fungsi koklea sangat peka terhadap gangguan aliran darah yang dapat
menyebabkan anoksia.
- Gangguan aliran darah tersebut dapat disebabkan karena vasospame,
trombosis, emboli, hiperkoagulasi, penyakit darah (polisitemia,
makroglobulinemia, penyakit sickle cell)
- Vasospasme dapat diakibatkan oleh stres, kelelahan, emosi, reaksi alergi.
- Trombosis dan emboli berhubungan dengan aterosklerosis.

3. Teori ruptur
- Terjadi ruptur membran Reissner pada koklea yang mungkin disebabkan
barotrauma mendadak, sehingga terjadi perubahan cairan intrakoklea
yang mengakibatkan gangguan fungsi koklea.

GEJALA KLINIS:
- Tuli mendadak dalam beberapa jam atau hari, umumnya unilateral.
- Dapat disertai tinitus atau vertigo
- Pada penderita perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu (DM,
hipertensi, dislipidemia, penyakit jantung aterosklerosis), adanya barotrauma,
febris.

PEMERIKSAAN:

4. Pemeriksaan pendengaran:
- Audiometri nada murni : tuli sensorineural, umumnya unilateral
- Audiometri tutur : SDS <90%, SRT > 30 dB
- Tes SISI : positif (skor 70-100%)
- Tes Tone Decay : bisa positif atau negatif
5. Pemeriksaan vestibular (bila ada indikasi)
- Tes kalori: didapatkan respon abnormal yang bervariasi mulai dari tidak
ada respon sampai respon yang berbeda sedikit dari yang normal.
6. Pemeriksaan laboratorium (bila ada indikasi)
- Darah lengkap, gula darah, kolesterol, trigliserida, coagulation studies,
protein darah.

KOMPLIKASI: -

PENATALAKSANAAN:
- Tirah baring (bagi yang baru terjadi dan vertigo)
- Vasolidator: betahistin 3 x 8 mg/hari, atau vasodilator lainnya.
- Kortikosteroid: prednison 40-60 mg/hari, dosis tunggal, pagi hari, selama 1
minggu, selanjutnya dosis diturunkan bertahap
- Vitamin neutropik: B1 1 x 100 mg/hari
- Koreksi penyakit dasar yang ditemukan
- Terapi terhadap vertigo (bila ada vertigo)

DAFTAR PUSTAKA

11. Snow JB, Telian SA. Sudden deafness. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman JL,
Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology and Neuro-otology.
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1619-28.
12. Kohut RI, Hinojosa R. Sudden sensory hearing loss. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC.
Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:1820-25.

4. BENDA ASING JALAN NAFAS


(Laring, trakea, bronkus)

BATASAN
Benda asing jalan nafas adalah benda asing yang secara tidak sengaja terhirup masuk ke jalan
nafas (Laring, trakea, bronkus).

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak dibawah 6 tahun yang pertumbuhan gerahamnya belum
terbentuk sempurna.
Jenis benda asing: kacang, kecik, sempritan mainan dll.
Masuknya benda asing ke dalam laring/trakea/bronkus terjadi ketika benda berada di dalam
mulut penderita, penderita menghirup nafas (inspirasi) dengan mulut terbuka (waktu tertawa
atau menangis), sehingga benda tersebut terhisap masuk kedalam laring/trakea/bronkus.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
- Pada awalnya timbul batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi dan dapat sampai biru
(sianosis). Kemudian diikuti dengan fase tenang, tidak batuk, sebab benda asing
berhenti pada salah satu cabang bronkus. Bila “lepas”, dapat timbul batuk-batuk
lagi.
- Sesak nafas terjadi bila ada penyumbatan pada laring atau trakea.
- Anamnesis yang cermat, sangat penting dalam menegakkan diagnosis.

2. Pemeriksaan fisik:
- Kadang-kadang tidak dapat ditemukan gejala yang jelas.
- Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak:
♦ Gelisah
♦ Sesak
♦ Stridor inspirasi
♦ Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra sternal.
♦ Biru (sianosis).
- Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
♦ Gerak nafas satu sisi berkurang
♦ Suara nafas satu sisi berkurang
- Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.

3. Pemeriksaan tambahan:
- X-foto toraks, hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu, karena bila masih baru
dan bendanya non radio opaqe, sering tidak tampak kelainan.

DIAGNOSIS BANDING
- Asma bronkial: didapatkan stridor ekspiratoir.
- Laringitis akut.
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni

PENYULIT
- Penyumbatan total laring/trakea  meninggal
- Bronkitis
- Pneumoni
- Emfisema, terjadi bila timbul “check valve mechanism”, di mana udara dapat masuk
tetapi tidak dapat keluar.
- Atelektasis, terjadi bila timbul penyumbatan total pada salah satu cabang bronkus.

TERAPI
- Ekstraksi benda asing melalui bronkoskopi di Lab/UPF THT. Bila tidak tersedia
fasilitas, kirim segera, sebaiknya dengan ambulans dan persediaan oksigen yang
cukup. Rujukan dapat menggunakan manfaat dari radio medik agar Lab/UPF THT
dapat mengadakan persiapan sebelumnya.
- Di daerah, bila sesak dapat dilakukan trakeotomi.
- Bila penderita apatis dan tidak tersedia peralatan tersebut, dapat dilakukan “Heimlich
manouvre”.

Cara-cara pengiriman penderita:


- Duduk, miring ke sisi obstruksi (anak dipangku ibunya).
- Jangan banyak bergerak atau menangis, sebab benda asing dapat “lepas”, dibatukkan
dan mungkin dapat terjepit pada rima glotis sehingga menimbulkanpenyumbatan jalan
nafas yang fatal.
- Diberikan oksigen.
- Sebaiknya disertai paramedis yang dapat melakukan “heimlich manouvre”.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1346-72.
2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:842-55.
3. Tucker GF Jr, Holinger LD. Foreign bodies in esophagus or respiratory tract. In:
Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 1980:2628-41.
. OTITIS MEDIA SEROSA

Sri Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto

BATASAN
Otitis media serosa ialah keradangan non bakterial mukosa kavum timpani yang
ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen (serous atau mukus).
Sinonim: otitis media efusa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, glue ear.

PATOFISIOLOGI
Gangguan fungsi tuba Eustakhius merupakan penyebab utama.
Gangguan tersebut dapat terjadi pada:
- Keradangan kronik pada rongga hidung, nasofaring, faring misalnya oleh alergi.
- Pembesaran adenoid dan tonsil.
- Tumor nasofaring.
- Celah langit-langit.

DIAGNOSIS

4. Anamnesis:
- Telinga terasa penuh, terasa ada cairan (grebeg-grebeg).
- Pendengaran menurun.
- Terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan/menguap.

5. Pemeriksaan :
- Pada otoskopi membran timpani berubah warna (kekuning-kuningan) refleks cahaya
berubah atau menghilang.
- Dapat terlihat “air-fluid level” atau “air bubles”.

6. Pemeriksaan tambahan: (bila tersedia sarana).


- Audiogram : tuli konduktif.
- Timpanogram : tipe B atau C.
DIAGNOSIS BANDING
Otitis media supuratif akut tipe kataral.

PENYULIT
- Otitis media kronik.
- Mastoiditis kronik.
- Timpanosklerosis.

TERAPI

3. Tahap I :
- Miringotomi dan pasang “ventilating tube” (Gromet).
- Obat-obatan terhadap gangguan fungsi tuba. ((Dekongestan oral atau lokal, lihat terapi
Otitis media supuratif akut).
4. Tahap II:
- Bila ada pembesarantonsil dan/adenoid, dilakukan ddenotonsilektomi.
- Bila ada factor alergi dilakukan perawatan alergi.

DAFTAR PUSTAKA

13. Kenna MA. Otitis media with effusion. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1592-606.
14. Paparella MM, Jung T TK., Goycoolea MV. Otitis media with effusion. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology
and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991: 1317-42.
15. Austin DF. Catarrhal diseases of the middle ear. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the
Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger,
1991:1092-103.

5. BENDA ASING DALAM ESOFAGUS


BATASAN
Benda asing dalam espfagus adalah terhentinya benda asing dalam esofagus.

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak berusia < 6 tahun.
Jenis benda sing:
- Pada anak-anak: yang tersering uang logam.
- Pada dewasa/orang tua: yang tersering daging, gigi palsu.
Pada anak-anak, biasanya karena secara naluriah memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut
dan ditambah pula karena kelalaian orang tua yang meletakkan sesuatu secara sembarangan
sehingga mudah dicapai anak.
Pada orang dewasa/orang tua, sebagai akibat mengunyah makanan dengan kurang sempurna
karena gigi geligi yang kurang baik/lengkap (memakai gigi palsu/ompong).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
- Tertelan sesuatu
- Terasa ngganjel pada tenggorok
- Sakit/sulit waktu menelan
- Muntah bila ada obstruksi total

2. Pemeriksaan fisik:
- Pada pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, tak ditemukan kelainan yang khas.

3. Pemeriksaan tambahan:
- Tes minum:
Obstruksi total (biasanya pada benda asing daging): muntah.
Sebagian (biasanya benda asing uang logam): masih dapat minum sedikit-sedikit.
- Pemeriksaan X-foto:
♦ Dibuat foto leher-toraks-abdomen AP (anak-anak) atau foto leher
AP/lateral (dewasa/orang tua) bila benda asing radio-opaque. Foto leher ini
harus dibuat sebab sebagian besar (>90%) benda asing berhenti pada
daerah krikofaring.
♦ Dibuat foto esofagus dengan kontras (barium + kapas), bila benda asing
tidak radio-opaque dan kecil.
♦ Untuk benda asing daging, tidak perlu dibuat foto.

DIAGNOSIS BANDING
- Faringitis akut.
- Esofagitis.

PENYULIT
- Dehidrasi.
- Lesi esofagus.
- Perforasi esofagus, dengan tanda-tanda: pendarahan, nyeri dada krepitasi dan febris.
- Infeksi (terutama pada Diabetes Melitus).

TERAPI
- Dipersiapkan esofagoskopi yang bersifat urgent dengan pembiusan umum untuk
diagnosis pasti dan ekstraksi benda asing.

DAFTAR PUSTAKA.

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1369-72.

2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:842-55.

3. McNab Jones RF. Foreign bodies in esophagus. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-
Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 4th ed. Vol IV. The pharynx and larynx.
London: Butterwoths, 1979:237-43
4. Tucker GF Jr, Holinger LD. Foreign bodies in esophagus or respiratory tract. In:
Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 1980:2628-41.

5. OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT

Sri Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto

BATASAN
Otitis media supuratif akut ialah infeksi akut yang mengenai mukoperiosteum kavum
timpani. dengan disertai pembentukan sekret purulen.

KUMAN PENYEBAB: tersering


- S. pneumoniae
- H. Infuenzae
Kuman lain yang lebih jarang adalah S. aureus, S. pyogenes, B. catarrhalis,

PATOFISIOLOGI
Biasanya diawali dengan terjadinya infeksi akut saluran pernafasan atas (ISPA).
Mukosa saluran pernafasan atas mengalami inflamasi akut berupa hiperemia dan udem,
termasuk juga pada mukosa tuba Eustachius. Akibatnya terjadi penyumbatan ostiumnya
yang akan diikuti dengan terjadinya gangguan fungsi drainase dan ventilasi tuba
Eustakhius. Kavum timpani menjadi vakum dan disusul dengan terbentuknya transudat
hydrops ex vacuo. Adanya infiltrasi kuman patogen ke dalam mukosa kavum timpani
yang berasal dari hidung dan nasofaring menimbulkan supurasi.

DIAGNOSIS
Cukup dilakukan dengan diagnosis secara klinis, yang meliputi anamnesis dan pemeriksaan
telinga (cara otoskopi).
Dibagi dalam 4 stadia :

STADIUM ANAMNESIS OTOSKOPI


1. KATARAL Diawali dengan ISPA - Membran timpani:
akut dan diikuti dengan Retraksi, warna mulai
gejala di telinga: hiperemia
- terasa penuh - Kadang-kadang tampak
- Grebeg-grebeg adanya air-fluid level.
- Gangguan pendengaran
2. SUPURASI/BOMBANS - otalgia hebat - Membrana timpani:
- Gangguan pendengaran. Bombans dan hiperemia
- Febris, Batuk, pilek. - Belum ada sekret di liang
- Pada bayi dan anak telinga luar
kadang disertai dengan: gelisah,
rewel, konvulsi, gastro-entetis
- Belum terjadi otore

3. PERFORASI - Otore, mukopurulen - Membran timpani:


- Otalgi dan febris mereda perforasi, sentral, kecil di kuadran
- Gangguan pendengaran. anteroinferior.
- Masih ada batuk dan pilek. - Sekret: mukopurulen
kadang tamapak pulsasi
- Warna Membran timpani hiperemia
4. RESOLUSI Gejala-gejala pada stadium - Membran timpani:
sebelumnya sudah banyak mereda sudah pulih menjadi normal kembali
Kadang masih ada gejala sisa: - Masih dijumpai lubang perforasi
Tinitus dan gangguan pendengaran - Tidak dijumpai sekret lagi (telinga
telah kering)
DIAGNOSIS BANDING
1. Furunkel liang telinga
2. Otitis eksterna

TERAPI

4. Antibiotika
Lini I: Amoksisilin: Dewasa 3 x 500 mg/hari
Bayi/anak: 50 mg/kg BB/hari
Eritromisin: Dosis dewasa/anak sama dengan dosis amoksisilin
Co-trimoksazol: (kombinasi TM 80 mg dan SMZ 400 mg-tablet)
Dewasa : 2 x 2 tablet
Anak-anak : (TM 40 dan SMZ 200 mg)
Suspensi 2 x 1 cth
Lini II: Bila ditengarai kuman sudah resisten (infeksi berulang)
- Kombinasi amoksisilin dan asam klavulanat:
Dewasa : 3 x 625 mg/hari
Bayi/Anak-anak: disesuaikan dengan berat badan dan usia.
Sefalosporin II/III oral (sefuroksim, sefiksim, sefadroksil dsb.)
Antibiotik diberikan 7-10 hari. Pemberian yang tidak adekuat dapat menyebabkan
kekambuhan.

5. Memperbaiki fungsi drainase dan ventilasi tuba Eustakhius (bila diperlukan).


a. Dekongestan: oral/topical.

6. Evakuasi Mukopus (bila diperlukan, pada stadium II).


Dilakukan miringotomi (parasintesis) pada kuadran postero inferior membran timpani dengan menggunakan bius lokal (Larutan
Xylocain 8 %)

PENYULIT
1. Mastoiditis Koalesen Akut
Terjadi empyem di rongga mastoid akibat terjadinya blokade di daerah epirimpanum.
Sering diikuti dengan terjadinya abses di belakang daun telinga (abses subperiostal
mastoid). Perlu segera dilakukan evakuasi empiem lewat pendekatan mastoidektomi
simpel (Schwartze)
2. Komplikasi Intrakranial
Mastoiditis koalesen akut kalau tidak dapat segera diatasi dapat meluas ke dalam
intrakranial (meningitis dan abses otak).
3. Paresis syaraf fasial perifer
Akumulasi pus di dalam kavum timpani pada otitis media supuratif akut dapat
menimbulkan kompresi pada syaraf fasial (kanal Falopi yang mengalami dehisensi – pars
horisontalis). Perlu segera dilakukan parasintesis dan diberikan antibiotika yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

16. Austin DF. Acute inflamatory diseases of middle ear. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the
Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger,
1991:1104-8.
17. Kenna MA. Otitis media with effusion. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head
and Neck surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1592-606.
18. Shambaugh Jr GE, Girgis TF. Acute otitis media and mastoiditis In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology
and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1343-48.
19. Neely JG. Intratemporal and intracranial complications of otitis media. In: Bailey BJ and
Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB
Lippincott Company. 1993:1607-22

LARINGITIS AKUT NON SPESIFIK

BATASAN
Laringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa laring. Infeksi ini pada umumnya merupakan
kelanjutan dari rhinitis akut atau nasofaringitis akut.
Walaupun epiglotis termasuk laring, batasan ini tidak untuk epiglotitis akut.
ETIOLOGI
Penyebab utama adalah: Virus
Tersering : Virus Parainfluenza 1
Virus penyebab yang lain : Parainfluenza 3, Influenza A dan B, Adenovirus, Rhinovirus.
Kuman penyebab infeksi sekunder: H influenza, Streptokokus pneumoni, Stafilokoks aureus
dan Pneumokokus.

PATOFISIOLOGI
Laringitis akut ini sering terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun dan sering menyebabkan
sumbatan jalan nafas atas.
Terjadi dilatasi kapiler, infiltrasi lekosit pada mukosa dan submukosa dengan lebih banyak
selmononuklear pada awal infeksi tetapi bila terjadi infeksi sekunder akan lebih banyak sel
polimorfonuklear. Mukosa laring tampak hipermi dan udim.

DIAGNOSIS
- Didapatkan gejala panas badan (subferil: 38,5oC), malaise, batuk dan pilek.
- Kemudian diikuti suara membesar, kemudian parau sampai afoni (tidak ada
suara sama sekali)
- Nyeri menelan atau berbicara
- Gejala sumbatan jalan nafas atas, terutama pada anak.

PEMERIKSAAN FISIK
- Suara parau sampai afoni
- Panas badan subfebril
- Gejala sumbatan jalan nafas atas:
* Stridor inspirasi
* Sesak saat inspirasi
* Retraksi supravikula, interkostal, epigastrial
- Pemeriksaan laringoskopi indirekta / direkta didapatkan
* Mukosa laring dan korda voklais hiperemi dan udim
* Rima glotis sempit (terutama pada anak)
PENYULIT
Lebih sering terjadi pada anak, dapat berupa:
Sumbatan jalan nafas atas
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni

TERAPI
- Istirahat, khususnya istirahat bicara
- Terapi simptomatis analgetik-antipiretik untuk panas badan dan nyeri menelan
- Ekspektoran untuk batuk dan mengencerkan lendir
- Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk . dingin
- Antibiotika dengan spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.

Laringittis Akut Non Spesifik Pada Anak

Sering menyebabkan sumbatan jalan nafas atas dan dapat berakibat fatal, karena:
- Rima glotis “sempit”, bila korda vokalis udim, rima glotismenjadi lebih sempit
- Banyak jaringan ikat kendor pada daerah supra/subglotis.

TERAPI
- Kortikosteroid: deksametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hr p.o
- Amoksisilin 4 x 25 mg/kgBB/hr p.o
- Obat diberikan selama 5 – 10 hari

Bila ada gejala sumbatan jalan nafas atas:


- Oksigen
- Kortikosteroid: deksametason 0,3 mg/KgBB i.m
- Kalau masih sesak diulang 1 jam kemudian berturut-turut sampai3 kali. Kalau tidak ada
kemajuan dilakukan trakeotomi
- Stoom uap air untuk mengencerkan lendir dengan kelembaban tinggi
- Infus
- Antibiotika
DAFTAR PUSTAKA

1. Bastian RW. Acute inflammatory diseases of the larynx. In: Ballenger JJ, ed. Diseases of
the nose, throat, ear, head and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991: 605-606.
2. Marvin P, Fried MD, Jo Shapiro MD. Acute and chronic laryngeal infections. In:
Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology. 3rd ed. Vol III Philadelphia: WB
Saunders Co, 11: 2245-2247.
3. Feehs RS, Koufman JA. Laryngitis. In: Nailey BJ, Johnson JT, eds. Head and neck
surgery otolaryngology. Vol 1. philadelphia: J.B Lippncort, 1993: 612-615.
4. Pedoman diagnosis dan terapi Lab / UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan 1994. RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

6. LARINGITIS AKUT (NON SPESIFIK)


PADA ANAK

BATASAN
Laringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa laring. Walaupun epiglotis termasuk laring,
batasan ini tidak untuk epiglotitis akut.

ETIOLOGI
Penyebab utama adalah virus.
Tersering: Virus Parainfluenza tipe 1.
Virus penyebab yang lain: Parainfluenza A dan B, serta golongan Adenovirus.
Kemudian terjadi infeksi sekunder oleh kuman: H. Influenzae Pneumololis sp, Streptokokus
sp dan Stafilokokus sp.

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun.
Terjadi dilatasi kapiler, infiltrasi lekosit pada mukosa dan submukosa, transudasi cairan limfe
dan serum, sehingga laring tampak hiperemi dan udim.
Sering timbul sesak nafas, karena:
- Rima glotis “sempit”, kalau korda vokalis udim, rima glotis menjadi lebih sempit.
- Banyak jaringan ikat kendor pada daerah supra/subglotik. Dengan demikian laringitis
akut pada bayi/anak-anak dapat berakibat fatal.

DIAGNOSIS

1. Hetero-anamnesis
- Biasanya didahului dengan panas badan (subfebril), batuk dan pilek.
- Kemudian diikuti dengan suara membesar, kemudian parau. Dapat sampai afoni
(tidak ada suara sama sekali).
- Sering didapatkan sesak nafas

2. Pemeriksaan fisik
- Suara parau, bila berat dapat afoni.
- Panas badan subfebris.
- Sering terdapat gejala sumbatan jalan napas atas, yaitu:
♦ Stridor inspirasi
♦ Sesak nafas inspirasi
♦ Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrium
- Anak tampak sakit berat dan gelisah.

3. Pemeriksaan tambahan:
- Laringoskopia direkta dilakukan bila sesak sudah berkurang atau sesudah
dilakukan trakeotomi.
- Tampak:
♦ Korda vokalis dan mukosa laring lainnya udim dan hiperemi.
♦ Rima glotis sempit.

DIAGNOSIS BANDING
- Laringitis difteri:
- Terdapat psedomembran
- Sesak tidak berkurang dengan kortiokosteroid
PENYULIT
- Penyumbatan laring
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni

TERAPI
- Kortikosteroid: deksametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hr p.o.
- Ampisilin 4 x 25 mg/kgBB/p.o. atau kloramfenikol 4 x 12.5mg/kgBB p.o. sehari.
- Obat-obatan diberikan selama 5-10 hari.

Bila ada gejala sumbatan jalan nafas atas:


- Oksigen
- Kortikosteroid: deksametason 0,3 mg/kgBB i.m. kalau masih sesak, diulang 1 jam
kemudian berturut-turut sampai 3 kali. Kalau tidak ada kemajuan, dilakukan trakeotomi.
- Stoom uap air, untuk mengencerkan lendir dengan kelembaban tinggi.
- Antibiotik.
- Infus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:454-9.

2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:576-79.

3. Friedmann I. Granulomas of the larynx. In: Paparella MM, Shumrick DA, eds.
Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de
Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 1980:2449.
. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

Sri Harmadji, Soepriyadi, Wisnubroto

BATASAN
Otitis media supuratif kronik ialah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan
struktur tulang di dalam kavum timpani dan tulang mastoid.

ETIOLOGI
Kuman aerob:
Positif Gram : S. pyogenes, S. albus.
Negatif Gram : Proteus spp., Pseudomonas spp., E.coli.
Kuman anaerob : Bacteroides spp.

PATOFISIOLOGI
Otitis media supuratif kronik timbul dari infeksi yang berulang dari otitis media
supuratif akut.
Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya infeksi berulang:
1. Eksogen : infeksi dari luar melalui perforasi m. Timpani.
2. Rinogen : dari penyakit di rongga hidung dan sekitarnya.
3. Endogen : alergi, Diabetes melitus, TBC paru.

Klasifikasi :
Otitis media supuratif kronik tipe benigna
Disebabkan peradangan atau sumbatan tuba Eustachius akibat penyebaran infeksi dari
nasofaring, sinus atau hidung. Tipe ini ditandai dengan perforasi sentral atau subtotal pada
pars tensa., sekret mukoid tidak berbau dan ganguan pendengaran ringan sampai sedang

Otitis media supuratif kronik tipe maligna


Ditandai oleh perforasi total, marginal atau perforasi atik dengan sekret yang berbau busuk
akibat nekrosis tulang. Terdapat kolesteatom dan jaringan granulasi. Gangguan pendengaran
bervariasi dari tuli ringan sampai tuli total
DIAGNOSIS

1. Anamnesis :
a. Otorea terus menerus/kumat-kumatan lebih dari 6-8 minggu.
b. Pendengaran menurun (tuli).

2. Pemeriksaan THT:
a. Otoskopi : Melihat tipe perforasi, mukosa kavum timpani, secret. Untuk
persiapan operasi diperlukan pemeriksaan dengan mikroskop.
b. Pemeriksaan hidung dan tenggorok untuk mencari factor penyebab kronik.
3. Pemeriksaan tambahan
a. Tes fungsi tuba.
b. Audiogram nada murni dan nada tutur.
c. X-foto mastoid posisi Schuller.

PENYULIT
1. Abses retro aurikula.
2. Paresis/paralisis syaraf fasialis.
3. Labirinitis.
4. Komplikasi intrakranial:
a. Meninginitis.
b. Abses ekstradural.
c. Abses otak.

TERAPI
1. Tipe benigna yang aktif (eksaserbasi akut)
• Antibioik: klindamisin (3 x 150-300 mg oral) per hari selama 5-7 hari.
• Pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya.
• Perawatan lokal dengan perhidrol 3 % dan tetes telinga (Ofloksasin).
• Pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi.
• Pada stadium tenang (kering) dilakukan timpanoplasti.
• Macam teknik pembedahan: atiko-antrotomi dengan miringoplasti.
2. Tipe maligna
Terapi pembedahan (mastoidektomi radikal, radikal modifikasi, radikal dengan
rekonstruksi)

Untuk OMSK dengan penyulit:

Abses retroaurikuler

1. Insisi abses

2. Antibiotik: Penisilin Prokain 2 x 0.6-1.2 juta IU i.m./hari dan Metronidazol 3 x 250-500


mg oral/sup/hari. Bila alergi terhadap penisilin, dapat diganti dengan klindamisin 2 x 300-
600 mg i.v/hari, atau 3 x 150-300 mg oral, selama 10-14 hari.

3. Mastoidektomi urgen.

Paresis/paralisis syaraf fasialis


1. Mastoidektomi urgen dan dekompresi syaraf fasialis.
2. Rehabilitasi

Labirinitis
Mastoidektomi urgen.

Meninginitis
1. Perawatan bersama dengan bagian syaraf.
2. Antibiotik:
a. Ampisilin 6 x 2-3 G/hari i.v.ditambah
b. Kloramfenikol 4 x 1 G atau seftriakson 1-2 G/hari i.v.
3. Bila meningitis sudah tenang segera dilakukanMastoidektomi radikal.

Abses ekstradural/abses otak.


1. Antibiotik: ampisilin 4-6 x 2-3 G/hari i.v ditambah
mentronidazol 3 x 500 mg Sup/hari.
2. Perawatan bersama dengan bagian bedah syaraf.
3. Drainase abses oleh bagian bedah syaraf.
4. Bila sudah tenang, dilakukan mastoidektomi radikal.

DAFTAR PUSTAKA

20. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. In: Paparella NN, Shumrick DD,
Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology and Neuro-
otology. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1349-76.
21. Austin DF. Chronic ear diseases. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear,
Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991:1109-118.
22. Strunk CL. Cholesteatoma. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:1635-46.
23. Goycoolea MV, Jung T TK. Complications of supurative otitis media In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. II. Otology
and Neuro-otology. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:1381-104.

7. NODUL VOKAL

BATASAN
Nodul vokal (“vocal nodule” = “chorditis nodosa”) adalah benjolan kecil (nodul) yang timbul
pada perbatasan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medial korda vokalis. Dapat terjadi
pada anak-anak dan dewasa. Sering terjadi pada guru.

PATOFISIOLOGI
Nodul vokal disebabkan oleh penggunaan suara yang salah (“missuse of the voice”/”vocal
abuse”), yaitu berbicara terlalu keras, terlalu lama atau dengan nada terlalu tinggi.
Lesi terjadi pada perbatasan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medikal korda vokalis,
yang merupakan getaran (vibrasi) korda vokalis.
Sebgai akibat terjadinya trauma mekanis ini, akan timbul reaksi radang yang berupa udim
pada stroma di bawah epitel dan peningkatan vaskularisasi.
Selanjutnya timbul penebalan, pengerasan setempat dan akhirnya terbentuk nodul. Nodul
inilah yang akan menghalangi kedua pita suara saling merapat pada waktu fonasi, sehingga
akibatnya timbul parau.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
- Mula-mula suara pecah pada nada tinggi, gagal mempertahankan nada suara,
bicara terasa cepat lelah,tidak mampu berbicara lama dan kemudian suara menjadi
parau.
- Pada permulaan, suara parau timbul pada sore hari dan membaik keesokan
harinya. Dan akhirnya menetap.

2. Pemeriksaan:
- Pada laringoskopia indirekta atau direkta, tampak adanya benjolan kecil pada titik
pertemuan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medikal korda vokalis dan
biasanya disertai bilateral simetris.

DIAGNOSIS BANDING
- Kista korda vokalis.
- Polip korda vokalis.
- Papiloma korda vokalis.
- Karsinoma korda vokalis stadium dini.

TERAPI
- Istitrahat suara 1-2 minggu.
- Re-edukasi suara yang dilakukan oleh bina wicara selam kurang lebih 3 bulan.
- Kemudian dilakukan kontrol pemeriksaan laring dengan laringoskopia indirekta/direkta.
 Bila ada kemajuan secar subyektif dan obyektif re-edukasi suara dapat diteruskan
sampai suara menjadi normal kembali.
 Bila tak ada kemajuan atau nodul bertambah besar, dilakukan ekstirpasi nodul
secara Bedah Laring Mikroskopik yang segera diikuti lagi dengan re-edukasi
suara.
- Pada anak-anak, tidak dilakukan operasi, karena:
 Hampir selalu terjadi kekambuhan.
 Hampir semua lesi akan mengjilang waktu pubertas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1369-72.

2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:849-55.

7. VERTIGO

Sri Soekesi, Adriani Iskandar, Nyilo Purnami

BATASAN
Gangguan keseimbangan tubuh terhadap ruang sekitarnya atau berhalusinasi dari gerakan
berputar yang merupakan gejala dari bermacam-macam penyebab/penyakit.

PATOFISIOLOGI
Adanya gangguan pada input sistem vestibuler (kanalis semi sirkularis, dan organ otolit yaitu
utrikulus dan sakulus), input visual dan proprioseptif. Vertigo bukan merupakan penyakit
tetapi suatu simtom yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit.

ETIOLOGI
• Lesi perifer
• Lesi sentral
• Lesi sistemik
• Psikogen

DIAGNOSIS
Anamnesis:
 Sifat gangguan keseimbangan: frekwensi, lamanya, faktor pencetus dsb.
 Adanya gejala yang menyertai: penurunan pendengaran, tinitus, otalgi, telinga
terasa penuh, otore diplakusis rekruitmen, fenomena Tullio, mual dan muntah,
trauma kepala, paparan bising dsb.
 Penyakit sitemik: hipotiroid, insufisiensi adrenokortikal, penyakit kardiovaskuler,
diabetes melitus, penyakit kolagen, penyakit ginjal, sifilis, gangguan penglihatan,
alergi, kelainan darah dan obat-obat yang digunakan dsb.
Pemeriksaan:
 THT rutin, tes fistula, fungsi pendengaran.
 Adanya nistamus: spontan, posisional, manuver Hallpike, tes kalori.
 Tes keseimbangan: Romberg, Stepping, dll.
 Neurologi: saraf kranialis, kekuatan otot, sensibilitas, tes fungsi serebelum,
observasi gait (atas indikasi).
 Adanya penyakit sistemik dan vaskuler yang menyertai (sesuai dengan anamnesis)
 Pemeriksaan psikiatrik: bila diduga ada faktor psikogen.
Pemeriksaan Penunjang:
 Pemeriksaan audiologi: tes garpu tala, audiometrik nada murni, audiometrik nada
tutur, SISI tes, Tone Deccay tes, timpanometri, reflek stapedius, dan apabila ada
fasilitas dapat dilakukan BERA (atas indikasi)
 Tes kalori, elektronistagmografi, posturografi (atas indikasi).
 Radiologi: X-foto kepala posisi Stenver dan Towne, foto mastoid, foto vertebra
servikal, CT scan, MRI dsb (atas indikasi).
 Pemeriksaan laboratorium dan EKG (atas indikasi).

Penyakit / penyebab:
• Penyakit meniere: vertigo hebat dan berulang, penurunan pendengaran yang berfluktuasi,
rasa penuh di telinga dan tinitus yang progresif.
• Labirintitis bakterial: vertigo hebat dan mendadak, tinitus dan tuli persepsi yang
permanen.
• Neuronitis vestibuler: serangan vertigo yang berat dan mendadak, seringkali disertai rasa
cemas, mual dan muntah tanpa disertai gangguan pendengaran.
• Neuroma akustik: penurunan pendengaran, rasa tidak seimbang, gangguan koordinasi,
peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala terkenanya saraf otak yang berbatasan,
dan kadang disertai vertigo.
• Vertigo posisi jinak berulang ( BPPPV = Benign Paroxysmal Positional Vertigo); vertigo
yang timbul akibat perubahan posisi kepala.
• Vertigo sentral: umumnya disertai gejala SSP lain (gejala visual, sensoris maupun motoris
yang mendahului), vertigo umumnya tidak hebat sekali dan kompensasi relatif lambat.

PENYULIT
Tergantung penyebabnya

PENATALAKSANAAN
Tergantung pada penyebabnya. Namun bila penyebabna belum dapat diidentifikasi, dapat
diberikan terapi non spesifik.
4. Medikamentosa:
 Fase akut: bertujuan untuk menekan mual dan muntah secara sentral, antara lain
diazepam 3 x 2-5 mg, meklizine 3 x 25 mg dan prometazine 3 x 25-50 mg,
kosikosteroid dengan tapering off untuk penyakit Meniere dan neuritis vestibuler,
diuretik hemat kalium pada penyakit Meniere. Pada kasus berat perlu terapi
parenteral: diazepam 5-10 mg i.m, droperidol 2,5 mg i.m atau klorfromazin 25 mg
supositoria.
 Serangan rekuren yang tak terlalu hebat: a.l difenhidrinat, prometasin, sinarisin,
flunarisin, betahistin.
5. Operatif: hanya sekitar < 5%
 Ablatif: transmastoid labirinthectomy, vestibular nerve section. Pada penyakit
Meniere.
 Non ablatif: endolymphatic sac decompression, endolymphatic sac shunt
(penyakit meniere dengan funsi pendengaran yang masih baik) dan posterior
canal oclussion (BPPV berat yang tak berhasil dengan terapi rehabilitatif)
6. Rehabilitatif: untuk meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi yaitu berupa latihan
vestibuler.

DAFTAR PUSTAKA:

2. Konrad HR. Peripherial vestibular disorder. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds.
Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1877-81.
3. Owen Black F, Grimm RJ, Horak FB, Pesznecker S. Central vestibular disorders. In:
Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck surgery – Otolaryngology Vol. II
Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993: 1883-92.

8. PAPILOMA LARING

BATASAN
Papiloma laring adalah tumor jinak yang umumnya terdapat di laring walaupun dapat juga
tumbuh di trakea/bronkus dan sifatnya residif.
Umumnya pada anak-anak dibawah usia 10 tahun.
Pada dewasa sangat jarang.
HISTOPATOLOGI
Gambaran papiloma laring ditandai dengan adanya pertumbuhan jaringan ikat (stroma)
berbentuk jari-jari yang tertutup epitel bertatah dengan membran basal yang utuh. Epitel
biasanya berdiferensiasi baik, kadang-kadang dijumpai diskeratosis.
Tidak ada perbedaan histologis antara tipe juvenil dan tipe senil.

PATOFISIOLOGI
Tumor jinak ini tumbuh secara pelan-pelan di laring, terutama kora vokalis, sehingga
menyebabkan suara parau. Pada tingkat lanjur tumor meluas ke supraglotik dan subglotik.
Dalam keadaan lanjut ini, tumor akan menutup jalan nafas dan menimbulkan sesak nafas.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
a. Suara parau yang progresif tetapi secara perlahan-lahan (berminggu-inggu).
b. Pada keadaan lanjut, terjadi sesak nafas.
2. Pemeriksaan:
a. Suara parau.
b. Pada keadaan lanjut, terjadi sumbatan jalan nafas atas dengan tnada-tanda:
sesak inspirasi dan retraksi pada epigastrium, interkostal dan supraklavikular.
c. Pada laringoskopia indirekta atau direkta, tampak tumor kecil berdungkul-
dungkul, warna pucat kemerahan.

DIAGNOSIS BANDING
Nodul vokal.

TERAPI
- Dalam keadaan sesak, dilakukan trakeotomi.
- Ekstraksi tumor melalui Bedah Laring Mikroskopik (BLM).
- Kalau trakea dipakai terus sampai pertumbuhan berhenti minimal 6 bulan atau bila anak
telah berusia > 8 tahun karena hampir selalu residif.
- Kontrol 1-2 bulan secara teratur.
- Bila residif, dilakukan ekstraksi lagi melalui BLM.
- Keluarga dilatih dalam perawatan kanul dan disadarkan penting kontrol secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:549-50.

2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:682-83.

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS.

BATASAN
suatu tumor pembuluh darah yang berasal dari dinding posterolateral nasofaring. Secara
hispatologi jinak, namun secara klinis ganas karena mempunyai sifat ekspansi kuat dan
progresif sehingga menekan tulang dan jaringan sekitarnya.

ETIOPATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya angiofibroma nasofaring juvenilis masih belum jelas, berbagai teori
dikemukakan antara lain:
Teori jaringan tempat asal tumor, dimana berasal dari dinding potero lateral nasofaring.
Teori hormonal, diduha terbentuknya angiofibroma nasofaring juvenilis berkaitan dengan
ketidakseimbangan hormonal.

Pada awalnya tumor tumbuh dimukosa bagian postero lateral nasofaring; bila perluasan ke
arah depan membentuk tonjolan ke rongga hidung; perluasan ke arah lateral menuju ke fossa
spenopalatona masuk ke fissura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding belakang sinus
maksilaris, bila berkembang akan memasuki fossa intra temporalis sehingga terjadi
pendesakan / benjolan di pipi. Perluasan ke intra / cranial biasa terjadi melalui intra
temporalis atau fissura pterigomaksilaris menuju ke fossa cranil media, sedangkan bila
melalui sinus ethmoidalis menuju fossa cranil anterior.
Secara makroskopis nasofaring juvenilis berupa tumor berbentuk oval / bulat, padat kenyal,
berwarna merah ke abu-abuan atau merah keunguan.
Sedangkan gambaran mikroskopis angiofibroma nasofaring juvenilis terbentuk dari
pembuluh darah dan jaringan ikat fibrous, dimana pembuluh darah tersebut berdinding tipis
tanpa tunika muscularis.

GEJALA KLINIS
- Sering terjadi epistaksis yang hebat dan berulang karena tumor kaya pembuluh darah.
- Gejala akibat tumor yang progresif antara lain:
 Anterior, dengan masuk ke rongga hidung menimbulkan:
- buntu hidung unilateral/bilateral.
- Mmendesak dorsum nasi menimbulkan “frog face”.
- Masuk ke orbita menimubulkan protusio bulbi.
 Lateral Menutup tuba Eustachius terjadi oclusio tuba dan otitis media. Bila masuk
ke fissura pterigomaksilaris, fossa temporalis timbul pembengkakan / benjolan di
pipi.
 Inferior: mendesak palatum mole, menyebabkan bombans. Dan bila masuk ke
orofaring menyebabkan gangguan menelan dan sesak nafas.
 Superior: mendesak dasar tengkorak dan masuk ke rongga tengkorak mendesak
otak.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
- Laki-laki, usia muda (pubertas.
- Sering epistaksis.
- Gejala-gejala yang berhubungan dengan pertumbuhan tumor.
2. Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi: tampak mata menonjol dan bentuk muka “frog face”.
- Rinoskopi anterior: Didapatkan tumor di bagian posterior rongga hidung
, Fenomena palatum mole negatif.
- Rinoskpoi posterior: tampak tumor di nasofaring yang berwarna merah keunguan.
3. Pemeriksaan tambahan:
- Foto Water’s dan tengkorak lateral untuk mengetahui perluasan tumor.
- Adapun fasilitas tersedia dapat dilakukan CT Scan untuk melihat perluasan tumor
dan angiografi untuk melihat vaskularisasi tumor.

Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya pendarahan, sehingga diagnosa angiofibroma


nasofaring juvenilis dapat ditegakkan secara klinis.

Untuk menentukan derajat perluasan tumor:


T1 = Terbatas di nasofaring.
T2 = Tumor meluas ke rongga hidung atau ke sinus sfenoid.
T3 = Tumor meluas ke satu atau lebih jaringan sekitar a.l.:
Antrum, etmoid, fosa pterigomaksilaris, fosa intra temporal, orbita dan atau pipi.
T4 = Tumor meluas ke intra cranial.

DIAGNOSIS BANDING
- Polip koanal: permukaan rata, pucat mengkilap.
- Adenoid: permukaan tak rata, posisi di tengah, tak ada keluahan epistaksis.
- Karsinoma nasofaring: usia 30-50 tahun. Sering disertai pembesaran kelenjar leher.

TERAPI
1. Operatif; dengan pendekatan
 Ekstraksi per oral (kabel ?).
 transpalatal.
 rinotomi lateral.
 mid facial degloving.
2. Radiasi
 Untuk tumor yang besar (T4) atau untuk tumor yang residif, sisa tumor setelah
operasi.
3. Hormonal
 Pemberian hormon estrogen, bertujuan untuk mengecilkan tumor dan mengurangi
resiko pendarahan sehingga pembedahan lebih mudah dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. The Nasopharynx. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 14th ed Lea & Febiger Philadelphia London, 1991:294-28
2. Krespi JP, Sevine TM, Tumour of the nose and paranasal sinuses. In Paparella MM,
Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology WB Saunders. Co. 3rd ed.
11. philadelphia London Toronto Montreal Sydney Tokyo, 1935-1958.
3. Maves MD. Vaskular Tumour of the Head and Neck. In: Bailey BJ. Head and Neck
Surgery otolaryngology. J.B. Lippincot Co. Philadelphia. 1993. 1399-1400.

9. ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS.

BATASAN
Angiofibroma nasofaring juvenilis (ANJ) ialah tumor yang terdiri dari jaringan ikat dan
pembuluh darah, secara klinik ganas karena mempunyai potensi tumbuh secara ekspansif
kuat, tetapi berdasarkan hispatologi jinak.

ETIOLOGI
Belum diketahui secara pasti. Diperkirakan karena ketidakseimbangan sistem androgenital
dari kelenjar pituitaria.
Banyak didapatkan pada laki-laki usia 10-17 tahun. Jarang sekali dijumpai pada wanita.

HISPATOLOGI
Terdiri dari jaringan ikat sembab dengan diantaranya didapatkan pembuluh-pembuluh darah
lebar, yang sanagt bervariasi dalam besar, bentuk, serta distribusinya. Pada beberapa tempat
tampak adanya pembuluh-pembuluh darah kapiler yang saling berhubungan. Dinding
pembuluh darah hanya dilapisi oleh selapis endotel tanpa lapisan otot.

GEJALA KLINIK
- Sering terjadi epistaksis yang hebat (80% penderita), ini karena tumor kaya pembuluh
darah.
- Tumor tumbuh ekspansif:
 Ke lateral: Menutup ostium tuba Eustakhius, terjadi oklusi tuba, otitis media.
 Ke anterior: Masuk ke rongga hidung menimbulkan buntu hidung
unilateral/bilateral. Menimbulkan “frog face”. Masuk ke orbita, menyebabkan
bombans.
 Ke bawah: mendesak palatum mole, menyebabkan bombans. Masuk ke orofaring,
hipofaring, menyebabkan gangguan menelan dan sesak nafas.
 Ke atas: mendesak dasar tengkorak, masuk ke rongga tengkorak.

DIAGNOSIS

4. Anamnesis:
- Laki-laki muda usia.
- Sering epistaksis hebat.
- Gejala sesuai dengan pertumbuhan tumor.
5. Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi: bentuk muka (“frog face”), mata menonjol.
- Rinoskopi anterior, didapatkan tumor di bagian belakang rongga hidung.
Fenomena palatum negatif.
- Rinoskpoi posterior, didapatkan tumor di nasofaring merah kebiruan.
6. Pemeriksaan tambahan:
- X-foto Water dan tengkorak lateral, untuk mengetahui perluasan tumor.
- Bila perlu dan tersedia fasilitas dapat dibuat arteriografi atau CT Scan.

Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya pendarahan.

Untuk menentukan derajat perluasan tumor:


T1 = Tumor terbatas di nasofaring.
T2 = Tumor meluas ke rongga hidung dan/atau ke sinus sfenoid.
T3 = Tumor meluas ke satu atau lebih jaringan sekitar a,1.
Antrum, etmoid, fosa pterigomaksilaris, fosa onfratemporal, orbita dan/atau pipi.
T4 = Tumor meluas ke intra kranial.
DIAGNOSIS BANDING
- Polip koanal: permukaan rata, pucat mengkilap.
- Adenoid: permukaan tak rata, lokasi di tengah, tak ada keluahan epistaksis.
- Karsinoma nasofaring: usia 30-50 tahun. Sering disertai pembesaran kelenjar leher yang
khas.

TERAPI
- Terapi utama adalah pembedahan
Beberapa pendekatan operasi:
- Ekstraksi per oral.
- Melalui insisi trans palatal.
- Melalui rinotomi lateral.
- Melalui “mid facial degloving”.
- Terapi hormonal.
Dengan menggunakan hormon estrogen. Bertujuan untuk mengecilkan tumor dan
mengurangi kecenderungan adanya pendarahan, sehingga lebih mudah dilakukan
pembedahan (untuk tumor T3).
- Radioterapi.
Untuk tumor yang besar (T4), atau sisa tumor, atau tumor yang residif.

DAFTAR PUSTAKA

4. Ballenger JJ. Diseases of the tonsil and adenoids. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose,
throat, ear, head and neck. 13th external ear. In: Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:306-
17.

5. Friednam I. Juvenile angiofibroma, vascular tumour of the nose and sinuses. In:
Pathology of granulomas and neoplasme of the nose and paranasal sinuses. Edinburg,
London, Melbourne, New York:Churcill Livingstone, 1982:209-30.

6. Montgomery WW. Nasopharyngeal angiofibroma. Surgery of the nasopharynx. In


surgery of the upper respiratory system. Philadelphia: Lea & Febiger, 1971:402-37.
10. KARSINOMA LARING

BATASAN
Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik).

ETIOLOGI
Diperkirakan rokok dan alkohol berpengaruh besar terhadap timbulnya karsinoma laring.
Merupakan 2,5% keganasan daerah kepala dan leher.
Umum tersering 40-50 tahun, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan
10:1.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:
Gejala dini: suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring yang seksama.
Gejala lanjut: sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan
menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esofagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).
2. Pemeriksaan fisik:
- Pemeriksaan THT: pada laringoskopi indirekta (LI) dan laringoskopi direkta (LD)
atau FOL dapat diketahui adanya tumor di laring.

- Pemeriksaan leher:
♦ Inspeksi: teutama untuk melihat pembesaran kelenjar loeher, laring dan
tiroid.
♦ Palpasi: untuk memeriksa pembesaran pada membran krikotiroid atau
tirohoid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laringeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dan keras.
Memeriksa ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening leher.
3. Pemeriksaan tambahan:
Pemeriksaan radiologik:
- X-foto leher AP dan Lateral (jaringan lunak).
- Tomogram laring atau “CT Scan” (bila tersedia fasilitas).
Biopsi:
Biopsi dilakukan dengan LI, LD, atau melalui bedah laring mikroskopik (BLM).

PENENTUAN STADIUM

Tumor supraglotik
T1 = Tumor terbatas di supraglotik, gerakan pita suara normal.
T2 = Tumor keluar dari supraglotik, tanpa fiksasi.
T3 = Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi dan/atau ekstensi tumor ke
poskrikoid, sinus piriformis atau daerah epiglotis.

T4 = Tumor masih keluar laring, mengenai orofaring, jaringan lunak leher, atau merusak
tulang rawan tiroid.

Tumor glotik
T1 = Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal.
T2 = ekstensi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masih dengan kerusakan tulang rawan tiroid dan/atau ekstensi keluar laring.

Tumor subglotik
T1 = Tumor terbatas di daerah subglotik.
T2 = Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masih dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar laring.

M0 = Belum ada metastasis jauh.


M1 = Metastasis jauh.

Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 M0
T1-4 N2-3 M0
T1-4 N0-3 M0
T1-4 N0-3 M1

DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis laring
Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip).
Nodul vokal.

TERAPI

Trakeotomi:
Dilakukan pada penderita yang mengalami sesak nafas.

Pembedahan:
- Laringektomi parsial (LP)(ICOPIM 5-302).
- Laringektomi total (LT)(ICOPIM 5-303).
Dapat dikombinasi dengan:
 Deseksi leher fungsional (DLF).
 Deseksi leher radikal (DLR).

Radioterapi dan kemoterapi:

Stadium I : Radiasi, bila gagal, diteruskan dengan tindakan pembedahan (LP/LT).


Stadium II : LT.
Stadium III: dengan/tanpa N1: LT + DLF/DLR, diikuti radiasi.
Stadium IV: tanpa N/M: LT + DLF diikuti radiasi
Stadium IV lainnya: radioterapi dan kemoterapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Safeley BJ, Biller HF. Surgery of the larynx. Philadelphia: WB Sauders Co, 1985:45-
72,313-71,417-33.

2. Ogura JR, Thawley SE. Cyst and tumours of the larynx. In: Paparella MM, Shumrick DA,
eds. Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de
Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 1980:2504-27.

FARINGITIS AKUT

Batasan:
Radang akut yang mengenai mukosa faring dan jaringan limfonodular di dinding faring.

Patofisiologi:
Penularan secara “droplet infection”. Penyebab utama adalah virus, dapat diikuti oleh
infeksi bakterial. Jarang sekali primer akibat infeksi bakteri. Kuman terbanyak adalah
Streptococcus, Haemophilus influenzae dan Pneumococcus. Kebanyakan infeksi oleh
kuman gram positif atau kadang infeksi campuran gram positif dan gram negatif, kadang-
kadang golongan anaerob. Dapat sebagai permulaan dari penyakit lain musalnya: morbili,
influensa, rubella, pnemoni, parotitis, dsb. Seringkali bersam-sama dengan penyakit
saluran nafas atas lainnya yakni: rinitis akut, nasofaringitis, laringitis, dsb. Kebanyakan
dimulai dari infeksi hidung dan sinus paranasal lewat post nasal drip. Masa inkubasi 12
jam – 4 hari.

Gejala klinik:
Tenggorok rasa kering dan panas, kemudian timbul nyeri menelan di bagian tengah
tenggorok.
Demam, sakit kepala, malaise.
Mukosa faring tampak merah dan udim, terutama di daerah lateral band, kadang-kadang
terdapat eksudat. Sekret yang terbentuk awalnya bening, lama kelamaan kental berwarna
kuning.
Granula tampak lebih besar dan merah.

Diagnosis banding: Tonsilitis akut.


Penyulit:
Bila daya tahan tubuh baik, jarang terjadi penyulit. Dapat terjadi penyebaran ke bawah,
seperti: laringitis, trakeitis, bronkitis, pnemoni, atau ke atas melewati tuba Eustakhius
menimbulkan otitis media akut. Bila penyebabnya Streptococcus β-Haemoliticus, dapat
terjadi komplikasi seperti pada Tonsilitis akut
Penatalaksanaan:
Istirahat, banyak minum hangat.
Analgestik/antipiretik: Parasetamol 3-4 x 500 mg, 3-5 hari.Obat kumur Gargarisma Kan.
Tidak diperlukan antibiotika, kecuali untuk infeksi berat.

Daftar Pustaka:

1. Ballenger JJ. Diseases of the oropharynx. In: Ballenger JJ, ed. Diseases of the nose,
throat, ear and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:243-58.
2. Wenig BM, KornblutAD. Pharyngitis. . In: Bailey BJ. Ed. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Ed. Vol I. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:551-67.

16. TONSILITIS AKUT

Hoetomo, Sri Roekmini, Dwi Reno Pawarti

BATASAN
Infeksi akut pada jaringan tonsil

PATOFISIOLOGI
Banyak terjadi pada anak. Infeksi disebabkan oleh kuman Streptococcus β-haemoliticus
grup A (S. pyogenes), Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophilus influenza, E. Colli,
dan virus. Pada anak kebanyakan virus, sedangkan pada dewasa akibat bakteri. Terjadi
radang pada folikel tonsil, timbul udim dan eksudasi. Eksudat keluar ke permukaan,
sehingga terjadi penumpukan pada kripte yang disebut detritus.
DIAGNOSIS
Gejala klinik:
Mula-mula tenggorok rasa panas dan kering.
Disusul timbulnya nyeri telan yang makin hebat.
Anak tidak mau makan.
Nyeri menjalar ke telinga (referred pain)
Demam (dapat sangat tinggi), nyeri kepala, malaise.

Pemeriksaan faring :
Suara penderita seperti mulut penuh makanan (plummy voice).
Mulut berbau busuk (foetor ex ore).
Ptialismus.
Tonsil hiperemi dan membengkak, banyak detritus.
Ismus fausium menyempit.
Palatum mole, arkus anterior dan posterior tonsil udim dan hiperemi.
Kelenjar getah bening jugulodigastrikus membesar dan nyeri tekan.

DIAGNOSIS BANDING
Difteri tonsil: pseudo membran putih keabuan, melekat, bila dilepas timbul
pendarahan, meluas keluar dari tonsil. Didapati udim perifokal kelenjar leher
(Bull Neck)
Leukemia, agranulositosis, mononukleosis

PENYULIT
Lokal: Peritonsilitis, abses peritonsil, abses parafaring, otitis media akut, laring,
rinosinusitis, infeksi leher dalam
Sistemik: Bila penyebabnya S. pyogenes, dapat terjadi glomerulonefritis akut, demam
rematik, rematoid artritis, endokarditis bakterial subakut, septikimia

Penatalaksanaan:
Istirahat, makan lunak, minum hangat
Obat kumur (Gargarisma Kan)
Analgesik/antipiretik: parasetamol 3-4 x 500 mg, 3-5 hari
(anak-anak: 10 mg/kg BB/dosis, 3-4 x sehari)
Antibiotika (pada tonsilitis karena Streptococcus):
fenoksimetil penisilin 4 x 500 mg/hari, 5-10 hari
(anak-anak: 7,5-12,5 mg/kg BB/dosis, 4 x sehari)
Bila alergi terhadap penisilin dapat diganti makrolid (eritromisin, spiramisin, azitromisin).
Eritromisin 4 x 500 mg/hari, 5-10 hari (anak-anak: 12,5 mg/kg BB/dosis, 4 x sehari)
Penyembuhan: 5-7 hari.

Pada Penyulit abses peritonsil:


Pungsi, insisi dan pemberian antibiotik seperti di atas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger JJ. Diseases of the oropharynx. In: Ballenger JJ, ed. Diseases of the nose,
throat, ear and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:243-58.
2. Brodsky L. Tonsillitis, tonsillectomy and adenotonsillectomy. In: Bailey BJ and
Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia:
JB Lippincott Company. 1993:833-47.
3. Kornblut AD. Non-neoplastic disease of the tonsils and adenoids. In: Paparella NN,
Shumrick DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III,
Head and Neck.. Philadelphia, Londom, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2129-47.

17. LARINGITIS AKUT NON SPESIFIK

Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro


BATASAN
Laringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa laring. Infeksi ini pada umumnya merupakan
kelanjutan dari rhinitis akut atau nasofaringitis akut.
Walaupun epiglotis termasuk laring, batasan ini tidak untuk epiglotitis akut.

ETIOLOGI
Penyebab utama adalah: Virus
Kuman penyebab infeksi sekunder: H influenzae, S. pneumoniae, S. aureus dan
Pneumococcus.

PATOFISIOLOGI
Laringitis akut ini sering terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun dan sering menyebabkan
sumbatan jalan napas atas.
Terjadi dilatasi kapiler, infiltrasi lekosit pada mukosa dan submukosa dengan lebih banyak
sel mononuklear pada awal infeksi tetapi bila terjadi infeksi sekunder akan lebih banyak sel
polimorfonuklear. Mukosa laring tampak hipermi dan udim.

DIAGNOSIS
- Didapatkan gejala panas badan (subferil: 38,5oC), malaise, batuk dan pilek.
- Kemudian diikuti suara membesar, kemudian parau sampai afoni (tidak ada suara sama
sekali)
- Nyeri menelan atau berbicara
- Gejala sumbatan jalan napas atas, terutama pada anak.

PEMERIKSAAN FISIK
- Suara parau sampai afoni
- Panas badan subfebril
- Gejala sumbatan jalan napas atas:
* Stridor inspirasi
* Sesak saat inspirasi
* Retraksi supravikula, interkostal, epigastrial
- Pemeriksaan laringoskopi indirekta / direkta didapatkan
* Mukosa laring dan korda voklais hiperemi dan udim
* Rima glotis sempit (terutama pada anak)

PENYULIT
Lebih sering terjadi pada anak, dapat berupa:
Sumbatan jalan napas atas
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni

TERAPI
- Istirahat, khususnya istirahat bicara
- Terapi simptomatis analgetik-antipiretik untuk panas badan dan nyeri menelan
- Ekspektoran untuk batuk dan mengencerkan lendir
- Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk . dingin
- Amoksisilin diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.

Laringittis Akut Non Spesifik Pada Anak

Sering menyebabkan sumbatan jalan napas atas dan dapat berakibat fatal, karena:
- Rima glotis “sempit”, bila korda vokalis udim, rima glotismenjadi lebih sempit
- Banyak jaringan ikat kendor pada daerah supra/subglotis.

TERAPI
- Kortikosteroid: deksametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hr p.o
- Amoksisilin 4 x 25 mg/kgBB/hr p.o
- Obat diberikan selama 5 – 10 hari

Bila ada gejala sumbatan jalan napas atas:


- Berikan oksigen
- Kortikosteroid: deksametason 0,3 mg/KgBB i.m.
- Kalau masih sesak diulang 1 jam kemudian berturut-turut sampai3 kali. Kalau tidak ada
kemajuan dilakukan trakeotomi.
- Stoom uap air untuk mengencerkan lendir dengan kelembaban tinggi.
- Infus dan antibiotika.

DAFTAR PUSTAKA

24. Bastian RW. Acute inflamatory diseases of the larynx. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of
the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger,
1991:605-15.
25. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. in: Paparella NN, Shumrick
DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck.
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2245-56.
26. Feehs RS, Koufman JA. Laryngitis. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and
Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:612-
19.
27. Pedoman diagnosis dan terapi Lab / UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok
1994. RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS.

BATASAN
Suatu tumor pembuluh darah yang berasal dari dinding posterolateral nasofaring. Secara
hispatologi jinak, namun secara klinis ganas karena mempunyai sifat ekspansi kuat dan
progresif sehingga menekan tulang dan jaringan sekitarnya.

ETIOPATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya angiofibroma nasofaring juvenilis (ANJ) masih belum jelas, diduga
terbentuknya berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal.
Pada awalnya tumor tumbuh pada mukosa bagian postero lateral nasofaring; bila perluasan ke
arah depan membentuk tonjolan ke rongga hidung; perluasan ke arah lateral menuju ke fossa
spenopalatina masuk ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding belakang sinus
maksila, bila berkembang akan memasuki fossa intra temporalis sehingga terjadi benjolan di
pipi. Perluasan ke intrakranial biasa terjadi melalui intra temporalis atau fissura
pterigomaksila menuju ke fosa media, sedangkan bila melalui sinus ethmoid menuju fosa
anterior.
Secara makroskopis ANJ berupa tumor berbentuk oval / bulat, padat kenyal, berwarna merah
ke abu-abuan atau merah keunguan. Gambaran mikroskopis terbentuk dari pembuluh darah
dan jaringan ikat fibrous, dimana pembuluh darah tersebut berdinding tipis tanpa lapisan otot.

GEJALA KLINIS
- Gejala khas adalah adnya epistaksis yang hebat dan berulang karena tumor kaya
pembuluh darah.
- Gejala akibat tumor yang progresif ke anterior, dengan masuk ke rongga hidung
menimbulkan buntu hidung unilateral/bilateral.
- Mendesak dorsum nasi menimbulkan “frog face”.
- Masuk ke orbita menimubulkan protusio bulbi.
- Ke lateral menutup tuba Eustachius menyebabkan otitis media.
- Bila masuk ke fissura pterigomaksilaris, fossa temporalis timbul benjolan di pipi.
- Ke inferior: mendesak palatum mole, menyebabkan bombans, dan bila masuk ke
orofaring menyebabkan gangguan menelan dan sesak nafas.
- Perluasan ke superior: mendesak dasar tengkorak dan masuk ke rongga tengkorak
mendesak otak.

DIAGNOSIS
7. Anamnesis:
- Laki-laki, usia muda (pubertas).
- Sering epistaksis.
- Gejala-gejala yang berhubungan dengan pertumbuhan tumor.
8. Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi: tampak mata menonjol dan bentuk muka “frog face”.
- Rinoskopi anterior: Didapatkan tumor di bagian posterior rongga hidung.
Fenomena palatum mole negatif.
- Rinoskpoi posterior: tampak tumor di nasofaring yang berwarna merah keunguan.
9. Pemeriksaan tambahan:
- Foto Water’s dan tengkorak lateral untuk mengetahui perluasan tumor.
- Perlu dilakukan CT-Scan untuk melihat perluasan tumor pada tumor yang besar.
- Angiografi untuk melihat vaskularisasi tumor.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya pendarahan, sehingga diagnosa angiofibroma
nasofaring juvenilis dapat ditegakkan secara klinis.

Untuk menentukan derajat perluasan tumor:


T1 = Terbatas di nasofaring.
T2 = Tumor meluas ke rongga hidung atau ke sinus sfenoid.
T3 = Tumor meluas ke satu atau lebih jaringan sekitar a.l.:
Antrum, etmoid, fosa pterigomaksilaris, fosa intra temporal, orbita dan atau pipi.
T4 = Tumor meluas ke intra cranial.
DIAGNOSIS BANDING
- Polip koanal: permukaan rata, pucat mengkilap.
- Adenoid: permukaan tak rata, posisi di tengah, tak ada keluhan epistaksis.
- Karsinoma nasofaring: usia 30-50 tahun. Sering disertai pembesaran kelenjar leher.

TERAPI
4. Operatif; dengan pendekatan
 Ekstraksi melalui mulut dengan kabel. (khusus tumor yang bertangkai).
 Transpalatal.
 Rinotomi lateral.
 Mid facial degloving.
5. Radiasi
 Untuk tumor yang besar (T4) atau untuk tumor yang residif, sisa tumor setelah
operasi.
6. Hormonal
 Pemberian hormon estrogen, bertujuan untuk mengecilkan tumor dan mengurangi
risiko pendarahan sehingga pembedahan lebih mudah dilakukan

DAFTAR PUSTAKA
7. Ballenger JJ. The Nasopharynx. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 14th ed Lea & Febiger Philadelphia London, 1991:294-28
8. Krespi JP, Sevine TM, Tumour of the nose and paranasal sinuses. In Paparella MM,
Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology WB Saunders. Co. 3rd ed.
11. Philadelphia, London Toronto Montreal Sydney Tokyo, 1991:1935-58.
9. Maves MD. Vaskular Tumour of the Head and Neck. In: Bailey BJ. Head and Neck
Surgery otolaryngology. J.B. Lippincot Co. Philadelphia. 1993. 1399-400.

18. NODUL VOKAL

Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro

BATASAN
Nodul vokal (“vocal nodule, chorditis nodosa”) adalah benjolan kecil (nodul), bilateral,
simetris, yang timbul pada perbatasan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medial korda
vokalis. Dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa. Sering terjadi pada guru.

PATOFISIOLOGI
Nodul vokal disebabkan oleh penggunaan suara yang salah (“misuse of the voice”/”vocal
abuse”), yaitu berbicara terlalu keras, terlalu lama atau dengan nada terlalu tinggi. Lesi
terjadi pada perbatasan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medikal korda vokalis, yang
merupakan pusat getaran (vibrasi) korda vokalis. Sebagai akibat terjadinya trauma mekanis
ini, akan timbul reaksi radang yang berupa udim pada stroma di bawah epitel dan
peningkatan vaskularisasi. Selanjutnya timbul penebalan, pengerasan setempat dan akhirnya
terbentuk nodul. Nodul inilah yang akan menghalangi kedua pita suara saling merapat pada
waktu fonasi, sehingga akibatnya timbul parau.
GEJALA KLINIK
Mula-mula penderita mengeluh suara pecah pada nada tinggi, gagal mempertahankan nada
suara, bicara terasa cepat lelah, tidak mampu berbicara lama dan kemudian suara menjadi
parau.
Pada awalnya, suara parau timbul pada sore hari dan membaik keesokan harinya, serta
akhirnya menetap.

CARA PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan laringoskopia indirekta, direkta atau fiberoptic laryngoscope (FOL),
tampak adanya benjolan kecil pada titik pertemuan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian
medial korda vokalis, dan biasanya bilateral simetris.

DIAGNOSA BANDING
- Kista korda vokalis.
- Polip korda vokalis.
- Papiloma korda vokalis.
- Karsinoma korda vokalis stadium dini.

PENATALAKSANAAN
- Istirahat suara 1-2 minggu.
- Re-edukasi suara yang dilakukan oleh bina wicara selama kurang lebih 3 bulan.
- Kemudian dilakukan kontrol pemeriksaan laring dengan laringoskopia
indirekta/direkta/FOL.
 Bila ada kemajuan secara subyektif dan obyektif re-edukasi suara dapat diteruskan
sampai suara menjadi normal kembali.
 Bila tak ada kemajuan atau nodul bertambah besar, dilakukan ekstirpasi nodul
melalui BLM dan pasca bedah segera diikuti dengan re-edukasi suara.
- Pada anak-anak, tidak dilakukan operasi, karena:
 Hampir selalu terjadi kekambuhan, karena vocal abuse.
 Hampir semua lesi akan menghilang waktu pubertas.

DAFTAR PUSTAKA
28. Kaiser TN, Spector GJ. Tumor of the larynx and laryngopharynx. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea &
Febiger, 1991: 682-746.
29. Shapshay SM, Rebeiz EE. Benign lesions of the larynx In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:630-43.
30. Thawley SE. Cyst and tumor of the larynx. In: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman
JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia,
London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991: 2307-70.

LARINGITIS AKUT NON SPESIFIK

BATASAN
Laringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa laring. Infeksi ini pada umumnya merupakan
kelanjutan dari rhinitis akut atau nasofaringitis akut.
Walaupun epiglotis termasuk laring, batasan ini tidak untuk epiglotitis akut.

ETIOLOGI
Penyebab utama adalah: Virus
Tersering : Virus Parainfluenza 1
Virus penyebab yang lain : Parainfluenza 3, Influenza A dan B, Adenovirus, Rhinovirus.
Kuman penyebab infeksi sekunder: H influenzae, S. pneumoniae, S. aureus dan
Pneumokokus.

PATOFISIOLOGI
Laringitis akut ini sering terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun dan sering menyebabkan
sumbatan jalan nafas atas.
Terjadi dilatasi kapiler, infiltrasi lekosit pada mukosa dan submukosa dengan lebih banyak
selmononuklear pada awal infeksi tetapi bila terjadi infeksi sekunder akan lebih banyak sel
polimorfonuklear. Mukosa laring tampak hipermi dan udim.
DIAGNOSIS
- Didapatkan gejala panas badan (subferil: 38,5oC), malaise, batuk dan pilek.
- Kemudian diikuti suara membesar, kemudian parau sampai afoni (tidak ada
suara sama sekali)
- Nyeri menelan atau berbicara
- Gejala sumbatan jalan nafas atas, terutama pada anak.

PEMERIKSAAN FISIK
- Suara parau sampai afoni
- Panas badan subfebril
- Gejala sumbatan jalan nafas atas:
* Stridor inspirasi
* Sesak saat inspirasi
* Retraksi supravikula, interkostal, epigastrial
- Pemeriksaan laringoskopi indirekta / direkta didapatkan
* Mukosa laring dan korda voklais hiperemi dan udim
* Rima glotis sempit (terutama pada anak)

PENYULIT
Lebih sering terjadi pada anak, dapat berupa:
Sumbatan jalan nafas atas
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni

TERAPI
- Istirahat, khususnya istirahat bicara
- Terapi simptomatis analgetik-antipiretik untuk panas badan dan nyeri menelan
- Ekspektoran untuk batuk dan mengencerkan lendir
- Humidifikasi dalam ruangan yang sejuk . dingin
- Amoksisilin diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
Laringittis Akut Non Spesifik Pada Anak

Sering menyebabkan sumbatan jalan nafas atas dan dapat berakibat fatal, karena:
- Rima glotis “sempit”, bila korda vokalis udim, rima glotismenjadi lebih sempit
- Banyak jaringan ikat kendor pada daerah supra/subglotis.

TERAPI
- Kortikosteroid: deksametason 0,1-0,2 mg/kgBB/hr p.o
- Amoksisilin 4 x 25 mg/kgBB/hr p.o
- Obat diberikan selama 5 – 10 hari

Bila ada gejala sumbatan jalan nafas atas:


- Oksigen
- Kortikosteroid: deksametason 0,3 mg/KgBB i.m
- Kalau masih sesak diulang 1 jam kemudian berturut-turut sampai3 kali. Kalau tidak ada
kemajuan dilakukan trakeotomi
- Stoom uap air untuk mengencerkan lendir dengan kelembaban tinggi
- Infus
- Antibiotika

DAFTAR PUSTAKA

5. Bastian RW. Acute inflammatory diseases of the larynx. In: Ballenger JJ, ed. Diseases of
the nose, throat, ear, head and neck. 14th ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1991: 605-606.
6. Marvin P, Fried MD, Jo Shapiro MD. Acute and chronic laryngeal infections. In:
Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology. 3rd ed. Vol III Philadelphia: WB
Saunders Co, 1991: 2245-2247.
7. Feehs RS, Koufman JA. Laryngitis. In: Bailey BJ, Johnson JT, eds. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology. Ed. Vol I. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:612-
619.
8. Pedoman diagnosis dan terapi Lab / UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan 1994. RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
19. PAPILOMA LARING

Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro

BATASAN
Papiloma laring adalah tumor jinak yang pada umumnya terdapat di laring walaupun dapat
juga tumbuh di trakea/bronkus dan sifatnya residif.
Umumnya pada anak-anak dibawah usia 10 tahun. Pada dewasa sangat jarang.

PATOFISIOLOGI
Tumor jinak ini tumbuh secara perlahan-lahan di laring, terutama korda vokalis, sehingga
menyebabkan suara parau. Pada tingkat lanjut, tumor dapat meluas ke supraglotik dan
subglotik sehingga dapat menutup jalan napas dan menimbulkan sesak napas.

GEJALA KLINIK
Suara parau yang progresif tetapi secara perlahan-lahan (berminggu-inggu).
Pada keadaan lanjut, terjadi sumbatan jalan nafas atas dengan tanda-tanda: sesak nafas
inspirasi dan retraksi pada epigastrium, interkostal dan supraklavikular.

CARA PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan laring melalui laringoskopia indirekta/direkta/fiberoptic laryngoscope
(FOL), tampak tumor kecil berdungkul-dungkul warna pucat kemerahan.

DIAGNOSIS BANDING
Nodul vokal

PENATALAKSANAAN:
- Dalam keadaan sesak, dilakukan trakeotomi.
- Ekstraksi tumor melalui Bedah Laring Mikroskopik (BLM).
- Kanul trakea dipakai terus sampai pertumbuhan berhenti minimal 6 bulan atau bila
anak telah berusia lebih dari 8 tahun karena hampir selalu residif.
- Kontrol setiap 1-2 bulan secara teratur.
- Bila residif, dilakukan ekstraksi lagi melalui BLM.
- Keluarga dilatih dalam perawatan kanul dan disadarkan penting kontrol secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA

31. Kaiser TN, Spector GJ. Tumor of the larynx and laryngopharynx. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea &
Febiger, 1991: 682-746.
32. Shapshay SM, Rebeiz EE. Benign lesions of the larynx In: Bailey BJ and Pillsburry III
HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:630-43.
33. Thawley SE. Cyst and tumor of the larynx. in: Paparella NN, Shumrick DD, Stuckman
JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck. Philadelphia,
London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991: 2307-70.

20. BENDA ASING JALAN NAPAS


(Laring, Trakea, Bronkus)

Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro

BATASAN
Benda asing jalan napas adalah benda asing yang secara tidak sengaja terhirup masuk ke jalan
napas (Laring, trakea, bronkus).

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak dibawah 6 tahun yang pertumbuhan gerahamnya belum
terbentuk sempurna.
Jenis benda asing: kacang, kecik, sempritan mainan dll.
Masuknya benda asing ke dalam laring/trakea/bronkus terjadi ketika benda berada di dalam
mulut penderita, penderita menghirup napas (inspirasi) dengan mulut terbuka (waktu tertawa
atau menangis), sehingga benda tersebut terhisap masuk kedalam laring/trakea/bronkus.

DIAGNOSIS
4. Anamnesis:
- Pada awalnya timbul batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi dan dapat sampai biru
(sianosis). Kemudian diikuti dengan fase tenang, tidak batuk, sebab benda asing
berhenti pada salah satu cabang bronkus. Bila “lepas”, dapat timbul batuk-batuk
lagi.
- Sesak napas terjadi bila ada penyumbatan pada laring atau trakea.
- Anamnesis yang cermat, sangat penting dalam menegakkan diagnosis.

5. Pemeriksaan fisik:
- Kadang-kadang tidak dapat ditemukan gejala yang jelas.
- Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak:
♦ Gelisah
♦ Sesak
♦ Stridor inspirasi
♦ Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra sternal.
♦ Biru (sianosis).
- Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
♦ Gerak napas satu sisi berkurang
♦ Suara napas satu sisi berkurang
- Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.

6. Pemeriksaan tambahan:
- X-foto dada, hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu, karena bila masih baru
dan bendanya non radio opaque, sering tidak tampak kelainan.

DIAGNOSIS BANDING
- Laringitis akut.
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni
- Asma bronkial: didapatkan stridor ekspiratoir, wheezing.

PENYULIT
- Penyumbatan total laring/trakea  meninggal
- Bronkitis
- Pneumoni
- Emfisema, terjadi bila timbul “check valve mechanism”, di mana udara dapat masuk
tetapi tidak dapat keluar.
- Atelektasis, terjadi bila timbul penyumbatan total pada salah satu cabang bronkus.

TERAPI
- Ekstraksi benda asing melalui bronkoskopi. Bila tidak tersedia fasilitas, kirim segera,
sebaiknya dengan ambulans dan persediaan oksigen yang cukup. Di daerah, bila sesak
dapat dilakukan trakeotomi.

Cara-cara pengiriman penderita:


- Duduk, miring ke sisi obstruksi (anak dipangku ibunya).
- Jangan banyak bergerak atau menangis, sebab benda asing dapat “lepas”, dibatukkan
dan mungkin dapat terjepit pada rima glotis sehingga menimbulkan penyumbatan
jalan napas yang fatal.
- Diberikan oksigen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mohz RM. Endoscopy and foreign body removal. In: Paparella NN, Shumrick DD,
Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck..
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2399-428.
2. Snow JB. Bronchology. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head
and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991: 1278-96.
3. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:842-55.
4. Thompson JN, Browne JD. Caustic ingestion and foreign bodies in the aero digestive
tract. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology Vol. I. Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:725-37.

NODUL VOKAL

BATASAN
Nodul vokal (“vocal nodule” = “chorditis nodosa”) adalah benjolan kecil (nodul) yang
timbul pada perbatasan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medial korda vokalis. Dapat
terjadi pada anak-anak dan dewasa. Sering terjadi pada guru.

PATOFISIOLOGI
Nodul vokal disebabkan oleh penggunaan suara yang salah (“missuse of the voice”/”vocal
abuse”), yaitu berbicara terlalu keras, terlalu lama atau dengan nada terlalu tinggi. Lesi
terjadi pada perbatasan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian medikal korda vokalis, yang
merupakan pusat getaran (vibrasi) korda vokalis. Sebagai akibat terjadinya trauma mekanis
ini, akan timbul reaksi radang yang berupa udim pada stroma di bawah epitel dan
peningkatan vaskularisasi. Selanjutnya timbul penebalan, pengerasan setempat dan akhirnya
terbentuk nodul. Nodul inilah yang akan menghalangi kedua pita suara saling merapat pada
waktu fonasi, sehingga akibatnya timbul parau.

GEJALA KLINIK
Mula-mula penderita mengeluh suara pecah pada nada tinggi, gagal mempertahankan nada
suara, bicara terasa cepat lelah, tidak mampu berbicara lama dan kemudian suara menjadi
parau.
Pada awalnya, suara parau timbul pada sore hari dan membaik keesokan harinya. Dan
akhirnya menetap.

CARA PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan laringoskopia indirekta, direkta atau fiberoptic laryngoscope (FOL),
tampak adanya benjolan kecil pada titik pertemuan 1/3 anterior dan 1/3 tengah dari bagian
medikal korda vokalis dan biasanya disertai bilateral simetris.

DIAGNOSA BANDING
- Kista korda vokalis.
- Polip korda vokalis.
- Papiloma korda vokalis.
- Karsinoma korda vokalis stadium dini.

PENATALAKSANAAN
- Istitrahat suara 1-2 minggu.
- Re-edukasi suara yang dilakukan oleh bina wicara selama kurang lebih 3 bulan.
- Kemudian dilakukan kontrol pemeriksaan laring dengan laringoskopia
indirekta/direkta/FOL.
 Bila ada kemajuan secar subyektif dan obyektif re-edukasi suara dapat diteruskan
sampai suara menjadi normal kembali.
 Bila tak ada kemajuan atau nodul bertambah besar, dilakukan ekstirpasi nodul
secara Bedah Laring Mikroskopik yang segera diikuti lagi dengan re-edukasi
suara.
- Pada anak-anak, tidak dilakukan operasi, karena:
 Hampir selalu terjadi kekambuhan.
 Hampir semua lesi akan mengjilang waktu pubertas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea &
Febiger, 1991:602,1275.
2. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat and ear. 2nd ed. Philadelphia: WB
Saunders , 1963:849-55.
3. Bailey BJ. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. 1. Philadelphia J.B. Lippincott
Co. 1993:622,894-5.
21. BENDA ASING DALAM ESOFAGUS

Sardjono Soedjak, Sri Herawati, Siswantoro

BATASAN
Benda asing dalam espfagus adalah terhentinya benda asing dalam esofagus.

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak berusia < 6 tahun.
Jenis benda asing:
- Pada anak-anak yang tersering uang logam.
- Pada dewasa/orang tua yang sering: daging, gigi palsu.
Pada anak-anak, biasanya karena secara naluriah memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut
dan ditambah pula karena kelalaian orang tua yang meletakkan sesuatu secara sembarangan
sehingga mudah dicapai anak.
Pada orang dewasa/orang tua, sebagai akibat mengunyah makanan dengan kurang sempurna
karena gigi geligi yang kurang baik/lengkap (memakai gigi palsu/ompong).

DIAGNOSIS
4. Anamnesis
- Tertelan sesuatu
- Terasa ngganjel pada tenggorok
- Sakit/sulit waktu menelan
- Muntah bila ada obstruksi total

5. Pemeriksaan fisik:
- Pada pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, tak ditemukan kelainan yang khas.

6. Pemeriksaan tambahan:
- Tes minum:
Obstruksi total (biasanya pada benda asing daging): muntah.
Sebagian (biasanya benda asing uang logam): masih dapat minum sedikit-sedikit.
- Pemeriksaan X-foto:
♦ Dibuat foto leher-toraks-abdomen AP (anak-anak) atau foto leher
AP/lateral (dewasa/orang tua) bila benda asing radio-opaque. Foto leher ini
harus dibuat sebab sebagian besar (>90%) benda asing berhenti pada
daerah krikofaring (just bellow cricopharynx).
♦ Dibuat foto esofagus dengan kontras (barium + kapas), bila benda asing
tidak radio-opaque dan kecil.
♦ Untuk benda asing daging, tidak perlu dibuat foto.

DIAGNOSIS BANDING
- Faringitis akut.
- Esofagitis.

PENYULIT
- Dehidrasi.
- Lesi esofagus.
- Perforasi esofagus, dengan tanda-tanda: pendarahan, nyeri dada krepitasi dan febris.
- Infeksi, sepsis, terutama pada penderita diabetes melitus.

TERAPI
- Dipersiapkan esofagoskopi yang bersifat urgent dengan pembiusan umum untuk
diagnosis pasti dan sekaligus ekstraksi benda asing.

DAFTAR PUSTAKA.

5. Thompson JN, Browne JD. Caustic ingestion and foreign bodies in the aerodigestive
tract. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology Vol. I. Philadelphia: JB Lippincott Company. 1993:725-37.
6. McNab Jones RF. Foreign bodies in esophagus. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-
Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 4th ed. Vol IV. The pharynx and larynx.
London: Butterwoths, 1979:237-43.
7. Snow JB. Esophagology. In: Ballenger JJ. Ed. Diseases of the Nose, Throat, Ear,
Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea & Febiger, 1991: 1297-321.
8. Mohz RM. Endoscopy and foreign body removal. In: Paparella NN, Shumrick DD,
Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and Neck..
Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991:2399-428.

PAPILOMA LARING

BATASAN
Papiloma laring adalah tumor jinak yang pada umumnya terdapat di laring walaupun dapat
juga tumbuh di trakea/bronkus dan sifatnya residif.
Umumnya pada anak-anak dibawah usia 10 tahun. Pada dewasa sangat jarang.

PATOFISIOLOGI
Tumor jinak ini tumbuh secara perlahan-lahan di laring, terutama korda vokalis, sehingga
menyebabkan suara parau. Pada tingkat lanjur, tumor dapat meluas ke supraglotik dan
subglotik sehingga dapat menutup jalan nafas dan menimbulkan sesak nafas.

GEJALA KLINIK
Suara parau yang progresif tetapi secara perlahan-lahan (berminggu-minggu).
Pada keadaan lanjut, terjadi sumbatan jalan nafas atas dengan tanda-tanda: sesak nafas
inspirasi dan retraksi pada epigastrium, interkostal dan supraklavikular.

CARA PEMERIKSAAN
Pada pemeriksaan laring melalui laringoskopia indirekta/direkta/fiberoptic laryngoscope
(FOL), tampak tumor kecil berdungkul-dungkul warna pucat kemerahan.

DIAGNOSIS BANDING
Nodul vokal
PENATALAKSANAAN:
- Dalam keadaan sesak, dilakukan trakeotomi.
- Ekstraksi tumor melalui Bedah Laring Mikroskopik (BLM).
- Kalau trakea dipakai terus sampai pertumbuhan berhenti minimal 6 bulan atau bila
anak telah berusia lebih dari 8 tahun karena hampir selalu residif.
- Kontrol 1-2 bulan secara teratur.
- Bila residif, dilakukan ekstraksi lagi melalui BLM.
- Keluarga dilatih dalam perawatan kanul dan disadarkan penting kontrol secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA

3. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th ed. Philadelphia: Lea &
Febiger, 1991:682,1275.
4. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat and ear. 2nd ed. Philadelphia: WB
Saunders , 1963:682-83.
5. Bailey BJ. Head and Neck Surgery Otolaryngology Vol. 1. Philadelphia J.B. Lippincott
Co. 1993:234,636,680.

BENDA ASING JALAN NAFAS


(Laring, trakea, bronkus)
BATASAN
Benda asing jalan nafas adalah benda asing yang secara tidak sengaja terhirup masuk ke jalan
nafas (Laring, trakea, bronkus).

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak dibawah 6 tahun yang pertumbuhan gerahamnya belum
terbentuk sempurna.
Jenis benda asing: kacang, kecik, sempritan mainan dll.
Masuknya benda asing ke dalam laring/trakea/bronkus terjadi ketika benda berada di dalam
mulut penderita, penderita menghirup nafas (inspirasi) dengan mulut terbuka (waktu tertawa
atau menangis), sehingga benda tersebut terhisap masuk kedalam laring/trakea/bronkus.

DIAGNOSIS

7. Anamnesis:
- Pada awalnya timbul batuk mendadak, hebat, bertubi-tubi dan dapat sampai biru
(sianosis). Kemudian diikuti dengan fase tenang, tidak batuk, sebab benda asing
berhenti pada salah satu cabang bronkus. Bila “lepas”, dapat timbul batuk-batuk
lagi.
- Sesak nafas terjadi bila ada penyumbatan pada laring atau trakea.
- Anamnesis yang cermat, sangat penting dalam menegakkan diagnosis.

8. Pemeriksaan fisik:
- Kadang-kadang tidak dapat ditemukan gejala yang jelas.
- Bila ada penyumbatan jalan napas atas, tampak:
♦ Gelisah
♦ Sesak
♦ Stridor inspirasi
♦ Retraksi supraklavikuler, interkostal, epigastrial, supra sternal.
♦ Biru (sianosis).
- Bila benda asing berhenti pada salah satu cabang bronkus:
♦ Gerak nafas satu sisi berkurang
♦ Suara nafas satu sisi berkurang
- Pada fase tenang, mungkin gejala tersebut di atas tidak ada.

9. Pemeriksaan tambahan:
- X-foto dada, hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu, karena bila masih baru
dan bendanya non radio opaque, sering tidak tampak kelainan.

DIAGNOSIS BANDING
- Asma bronkial: didapatkan stridor ekspiratoir, wheezing.
- Laringitis akut.
- Trakeitis
- Bronkitis
- Pneumoni

PENYULIT
- Penyumbatan total laring/trakea  meninggal
- Bronkitis
- Pneumoni
- Emfisema, terjadi bila timbul “check valve mechanism”, di mana udara dapat masuk
tetapi tidak dapat keluar.
- Atelektasis, terjadi bila timbul penyumbatan total pada salah satu cabang bronkus.

TERAPI
- Ekstraksi benda asing melalui bronkoskopi di Lab/UPF THT. Bila tidak tersedia
fasilitas, kirim segera, sebaiknya dengan ambulans dan persediaan oksigen yang
cukup. Rujukan dapat menggunakan manfaat dari radio medik agar Lab/UPF THT
dapat mengadakan persiapan sebelumnya.
- Di daerah, bila sesak dapat dilakukan trakeotomi.
- Bila penderita apatis dan tidak tersedia peralatan tersebut, dapat dilakukan “Heimlich
manouvre”.

Cara-cara pengiriman penderita:


- Duduk, miring ke sisi obstruksi (anak dipangku ibunya).
- Jangan banyak bergerak atau menangis, sebab benda asing dapat “lepas”, dibatukkan
dan mungkin dapat terjepit pada rima glotis sehingga menimbulkanpenyumbatan jalan
nafas yang fatal.
- Diberikan oksigen.
- Sebaiknya disertai paramedis yang dapat melakukan “heimlich manouvre”.

DAFTAR PUSTAKA

4. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1985:1346-72.

5. Jackson C, Jackson CL. Diseases of the nose, throat, and ear. 2nd ed. Philadelphia,
London: WB Saunders Co, 1963:842-55.

6. Tucker GF Jr, Holinger LD. Foreign bodies in esophagus or respiratory tract. In:
Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 1991:2628-41.

22. ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILIS

Mulyarjo, Widodo Ario Kentjono, Haryono Kusuma, Bakti Soerarso

BATASAN
Suatu tumor pembuluh darah yang berasal dari dinding posterolateral nasofaring. Secara
hispatologi jinak, namun secara klinis ganas karena mempunyai sifat ekspansi kuat dan
progresif sehingga menekan tulang dan jaringan sekitarnya.
PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya angiofibroma nasofaring juvenilis (ANJ) masih belum jelas, diduga
terbentuknya berkaitan dengan ketidakseimbangan hormonal.
Pada awalnya tumor tumbuh pada mukosa bagian postero lateral nasofaring; bila perluasan ke
arah depan membentuk tonjolan ke rongga hidung; perluasan ke arah lateral menuju ke fossa
spenopalatina masuk ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding belakang sinus
maksila, bila berkembang akan memasuki fossa intra temporalis sehingga terjadi benjolan di
pipi. Perluasan ke intrakranial biasa terjadi melalui intra temporalis atau fissura
pterigomaksila menuju ke fosa media, sedangkan bila melalui sinus ethmoid menuju fosa
anterior.
Secara makroskopis ANJ berupa tumor berbentuk oval / bulat, padat kenyal, berwarna merah
ke abu-abuan atau merah keunguan. Gambaran mikroskopis terbentuk dari pembuluh darah
dan jaringan ikat fibrous, dimana pembuluh darah tersebut berdinding tipis tanpa lapisan otot.

GEJALA KLINIS
- Gejala khas adalah adnya epistaksis yang hebat dan berulang karena tumor kaya
pembuluh darah.
- Gejala akibat tumor yang progresif ke anterior, dengan masuk ke rongga hidung
menimbulkan buntu hidung unilateral/bilateral.
- Mendesak dorsum nasi menimbulkan frog face.
- Masuk ke orbita menimubulkan protusio bulbi.
- Ke lateral menutup tuba Eustachius menyebabkan otitis media.
- Bila masuk ke fisura pterigomaksilaris, fossa temporalis timbul benjolan di pipi.
- Ke inferior: mendesak palatum mole, menyebabkan bombans, dan bila masuk ke
orofaring menyebabkan gangguan menelan dan sesak nafas.
- Perluasan ke superior: mendesak dasar tengkorak dan masuk ke rongga tengkorak
mendesak otak.

DIAGNOSIS
10. Anamnesis:
- Laki-laki, usia muda (pubertas).
- Sering epistaksis.
- Gejala-gejala yang berhubungan dengan pertumbuhan tumor.
11. Pemeriksaan fisik:
- Inspeksi: tampak mata menonjol dan bentuk muka frog face.
- Rinoskopi anterior: Didapatkan tumor di bagian posterior rongga hidung
, Fenomena palatum mole negatif.
- Rinoskpoi posterior: tampak tumor di nasofaring yang berwarna merah keunguan.
12. Pemeriksaan tambahan:
- Foto Water’s dan tengkorak lateral untuk mengetahui perluasan tumor.
- Perlu dilakukan CT-Scan untuk melihat perluasan tumor pada tumor yang besar.
- Angiografi untuk melihat vaskularisasi tumor.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat bahaya pendarahan, sehingga diagnosa angiofibroma
nasofaring juvenilis dapat ditegakkan secara klinis.

Untuk menentukan derajat perluasan tumor:


T1 = Terbatas di nasofaring.
T2 = Tumor meluas ke rongga hidung atau ke sinus sfenoid.
T3 = Tumor meluas ke satu atau lebih jaringan sekitar a.l.:
Antrum, etmoid, fosa pterigomaksilaris, fosa intra temporal, orbita dan atau pipi.
T4 = Tumor meluas ke intra cranial.

DIAGNOSIS BANDING
- Polip koanal: permukaan rata, pucat mengkilap.
- Adenoid: permukaan tak rata, posisi di tengah, tak ada keluhan epistaksis.
- Karsinoma nasofaring: usia 30-50 tahun. Sering disertai pembesaran kelenjar leher.

TERAPI
7. Operatif; dengan pendekatan
 Ekstraksi melalui mulut dengan kabel. (khusus tumor yang bertangkai).
 Transpalatal.
 Rinotomi lateral.
 Mid facial degloving.
8. Radiasi
 Untuk tumor yang besar (T4) atau untuk tumor yang residif, sisa tumor setelah
operasi.
9. Hormonal
 Pemberian hormon estrogen, bertujuan untuk mengecilkan tumor dan mengurangi
risiko pendarahan sehingga pembedahan lebih mudah dilakukan

DAFTAR PUSTAKA

10. Ballenger JJ. The Nasopharynx. In: Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 14th ed Lea & Febiger Philadelphia London, 1991:294-28
11. Krespi JP, Sevine TM, Tumours of the nose and paranasal sinuses. In Paparella MM,
Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL. Otolaryngology WB Saunders. Co. 3rd ed.
11. Philadelphia, London Toronto Montreal Sydney Tokyo, 1991:1935-58.
12. Maves MD. Vaskular Tumour of the Head and Neck. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC.
Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. II J.B. Lippincot Co. Philadelphia.
1993. 1399-400.

BENDA ASING DALAM ESOFAGUS

BATASAN
Benda asing dalam espfagus adalah terhentinya benda asing dalam esofagus.

PATOFISIOLOGI
Sering terjadi pada anak-anak berusia < 6 tahun.
Jenis benda sing:
- Pada anak-anak: yang tersering uang logam.
- Pada dewasa/orang tua: yang tersering daging, gigi palsu.
Pada anak-anak, biasanya karena secara naluriah memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut
dan ditambah pula karena kelalaian orang tua yang meletakkan sesuatu secara sembarangan
sehingga mudah dicapai anak.
Pada orang dewasa/orang tua, sebagai akibat mengunyah makanan dengan kurang sempurna
karena gigi geligi yang kurang baik/lengkap (memakai gigi palsu/ompong).

DIAGNOSIS

7. Anamnesis
- Tertelan sesuatu
- Terasa ngganjel pada tenggorok
- Sakit/sulit waktu menelan
- Muntah bila ada obstruksi total

8. Pemeriksaan fisik:
- Pada pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, tak ditemukan kelainan yang khas.

9. Pemeriksaan tambahan:
- Tes minum:
Obstruksi total (biasanya pada benda asing daging): muntah.
Sebagian (biasanya benda asing uang logam): masih dapat minum sedikit-sedikit.
- Pemeriksaan X-foto:
♦ Dibuat foto leher-toraks-abdomen AP (anak-anak) atau foto leher
AP/lateral (dewasa/orang tua) bila benda asing radio-opaque. Foto leher ini
harus dibuat sebab sebagian besar (>90%) benda asing berhenti pada
daerah krikofaring.
♦ Dibuat foto esofagus dengan kontras (barium + kapas), bila benda asing
tidak radio-opaque dan kecil.
♦ Untuk benda asing daging, tidak perlu dibuat foto.
DIAGNOSIS BANDING
- Faringitis akut.
- Esofagitis.

PENYULIT
- Dehidrasi.
- Lesi esofagus.
- Perforasi esofagus, dengan tanda-tanda: pendarahan, nyeri dada krepitasi dan febris.
- Infeksi (terutama pada Diabetes Melitus).

TERAPI
- Dipersiapkan esofagoskopi yang bersifat urgent dengan pembiusan umum untuk
diagnosis pasti dan ekstraksi benda asing.

DAFTAR PUSTAKA.

5. Ballenger JJ. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck. 13th external ear. In:
Philadelphia: Lea & Febiger, 1991:1369-72.
6. Thompson JN, Browne JD. Caustic ingestion and foreign bodies in the aerodigestive
tract. In: Bailey BJ. Ed. Head and Neck Surgery – Otolaryngology. Ed. Vol II
Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993: 725-37.
7. McNab Jones RF. Foreign bodies in esophagus. In: Ballantyne J, Groves J, eds. Scott-
Brown’s diseases of the ear, nose, throat. 4th ed. Vol IV. The pharynx and larynx.
London: Butterwoths, 1979:237-43
8. Tucker GF Jr, Holinger LD. Foreign bodies in esophagus or respiratory tract. In:
Paparella MM, Shumrick DA, eds. Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia,
London, Toronto, Mexico City, Rio de Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 199:2628-41.

24. KARSINOMA LARING

Mulyarjo, Widodo Ario Kentjono, Haryono Kusuma, Bakti Soerarso


BATASAN
Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik).

ETIOLOGI
Diperkirakan rokok dan alkohol berpengaruh besar terhadap timbulnya karsinoma laring.
Merupakan 2,5% keganasan daerah kepala dan leher.
Umum tersering 40-50 tahun, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan
10:1.

DIAGNOSIS

4. Anamnesis:
Gejala dini: suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring yang seksama.
Gejala lanjut: sesak napas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan
menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esofagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).
5. Pemeriksaan fisik:
- Pemeriksaan THT: pada laringoskopi indirekta (LI) dan laringoskopi direkta (LD)
atau laringoskopi serat optik(LSO) dapat diketahui adanya tumor di laring.
- Pemeriksaan leher:
♦ Inspeksi: teutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring dan
tiroid.
♦ Palpasi: untuk memeriksa pembesaran pada membran krikotiroid atau
tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laringeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dan keras.
Memeriksa ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening leher.
6. Pemeriksaan tambahan:
Pemeriksaan radiologik:
- X-foto leher AP dan Lateral (jaringan lunak).
- Tomogram laring atau CT Scan (bila tersedia fasilitas).
Biopsi:
Biopsi dilakukan dengan LI, LD, atau melalui bedah laring mikroskopik (BLM).

PENENTUAN STADIUM

Tumor supraglotik
T1 = Tumor terbatas di supraglotik, gerakan pita suara normal.
T2 = Tumor keluar dari supraglotik, tanpa fiksasi.
T3 = Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi dan/atau ekstensi tumor ke pos-
krikoid, sinus piriformis atau daerah epiglotis.

T4 = Tumor sudah keluar laring, mengenai orofaring, jaringan lunak leher, atau merusak
tulang rawan tiroid.

Tumor glotik
T1 = Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal.
T2 = Ekstensi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masif dengan kerusakan tulang rawan tiroid dan/atau ekstensi keluar laring.

Tumor subglotik
T1 = Tumor terbatas di daerah subglotik.
T2 = Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masif dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar laring.

M0 = Belum ada metastasis jauh.


M1 = Metastasis jauh.

Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 M0
T1-4 N2-3 M0
T1-4 N0-3 M0
T1-4 N0-3 M1

DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis laring
Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip).
Nodul vokal.

TERAPI
Trakeotomi:
Dilakukan pada penderita yang mengalami sesak napas.

Pembedahan:
- Laringektomi parsial (LP
- Laringektomi total (LT)
Dapat dikombinasi dengan:
 Deseksi leher fungsional (DLF).
 Deseksi leher radikal (DLR).

Radioterapi dan kemoterapi:


Stadium I : Radiasi, bila gagal, diteruskan dengan tindakan pembedahan (LP/LT).
Stadium II : LP/LT.
Stadium III: dengan/tanpa N1: LT dengan/tanpa DLF/DLR, diikuti radiasi.
Stadium IV: tanpa N/M: LT + DLF diikuti radiasi
Stadium IV lainnya: radioterapi dan kemoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lane M, Donovan DT. Neoplasms of the head and neck. In: Calabresi P, Schein PS.
Eds. Medical Oncology. 2nd ed New York: Mc Graw Hill, Inc. 1993:565-92.
2. Thawley SE. Cyst and tumours of the larynx. I2307-70n: Paparella NN, Shumrick
DD, Stuckman JL, Meyerhoff WL, eds. Otolaryngology 3rd ed. Vol. III, Head and
Neck. Philadelphia, London, Toronto, WB Saunders, Co, 1991: 2307-70.
34. Kaiser TN, Spector GJ. Tumor of the larynx and laryngopharynx. In: Ballenger JJ. Ed.
Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 14th ed. Philadelphia, London: Lea &
Febiger, 1991: 682-746.
35. Fried MP, Girdhar-Gopal HV. Advance cancer of the larynx. In: Bailey BJ and Pillsburry
III HC. Eds. Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott
Company. 1993:1347-60.
36. DeSanto LW. Supraglottic laryngectomy. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds. Head
and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1334-46.

KARSINOMA NASOFARING

BATASAN
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau
kelenjar yang terdapat di nasofaring.

ETIOLOGI
Penyebab timbulnya karsinoma nasofaring masih belum jelas. Namun banyak yang
berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidiomologik dan eksperimental, ada
tiga faktor yang berpengaruh, yakni:
- Faktor genetik (ras mongolid)
- Faktor virus (virus EIPSTEIN BARR)
- Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, bahan karsinogenik, dll).

Banyak ditemukan pada usia 40-50 tahun, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan
perbandingan 3:1.
HISTOPATOLOGI
Klasifikasi histopatologi menurut WHO (1982).

Tipe WHO 1:
- Termasuk disini karsinoma sel skuamosa (KSS).
- Diferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofitik (tumbuh di permukaan).

Tipe WHO 2:
- Termasuk disini karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak variasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional.

Tipe WHO 3:
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Termasuk disini antara lain: limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, “clear cell
carcinoma”, varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.

Indonesia Cina

Tipe WHO 1 29% 35%


2 14% 23%
3 57% 42%

Klasifikasi TNM (UICC edisi V)

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.


T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fosa nasal.
T2a : tanpa perluasan ke parafaring
T2b : dengan perluasan ke parafaring
T3 : Invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal.
T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf otak, fosa
infratemporal, hipofaring atau orbita
N menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6cm.
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6cm atau ekstensi ke supraklavikular.

M menggambarkan metastasis jauh.


M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat mertastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium I : T1, N0, M0
Stadium IIA : T2a, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0, atau T2b, N0-1, M0
Stadium III : T1-2, N2, M0, atau T3, N0-2, M0.
Stadium IVA : T4, N0-2, M0
Stadium IVB : Tiap T, N3, M0
Stadium IVC : Tiap T, Tiap N, M1
GEJALA KLINIK

1 Gejala dini: merupakan gejala pada saat tumor masih terbatas pada nasofaring.
i) Telinga: tinitus, pendengaran berkurang, grebek-grebek.
ii) Hidung: pilek lronik, ingus/dahak bercampur darah.
2 Gejala lanjut: merupakan gejala yang timbul oleh penyebaran tumor secara ekspansif,
iniltratif, dan metastasis.

- Ekspansif
 Ke muka: menyumbat koane, terjadi buntu hidung.
 Ke bawah: mendesak palatum mole; “bombans”. Terjadi gangguan
menelan/sesak.
- Iniltratif
 Ke atas: masuk ke foramen laserum, menyebabkan sakit kepala, paresis/paralisis
N III, IV, V, VI secara sendiri atau bersama-sama, menyebabkan gangguan pada
mata (ptosis, diplopi, oftalmoplegi, neuralgi trigeminal).
 Ke samping:
 Menekan N IX, X: paresis palatum mole, faring, gangguan menelan.
 Menekan N XI: gangguan fungsi otot sternokleido mastoideus dan otot trapezius.
 Menekan N XII: deviasi lidah.

- Metastasis
 Melalui aliran getah bening, menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening
leher. (kaudal dari ujung mastoid, dorsal dari angulus mandibula, medial dari otot
sternokleodomastoideus).
 Metastasis jauh ke: hati, paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya.

DIAGNOSIS

- Anamnesis yang cermat.

- Pemeriksaan fisik:
 Inspeksi luar: wajah, mata, rongga mulut, leher.
 Pemeriksaan THT
- Otoskopi: liang telinga, membran timpani.
- Rinoskopi anterior:
Pada tumor endofitik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya banyak
sekret.
Pada tumor eksofitik, tampak tumor di bagian belakang ringga hidung, tertutup
sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
- Rinoskopi Posterior:
Pada tumor endofitik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak menonjol,
tak rata dan vaskularisasi meningkat.
Tumor eksofitik tampak masa kemerahan.
Bila perlu rinoskopi posterior dilakukan dengan menarik palatum mole ke depan
dengan kateter Nelaton.
- Faringoskopi dan Laringoskopi:
Kadang-kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring. Refleks
muntah dapat menghilang (negatif).
Dapat dijumpai kelainan fungsi laring.

- Pemeriksaan tambahan
Biopsi:
Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah yang dicurigai. Dilakukan
dengan anestesi lokal.
Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi
anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu
biopsi dapat diulang sampai tiga kali.
Bila tiga kali biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan adanya
karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulangi dengan anestesi umum.
Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila penderita trismus, atau keadaan
umum kurang baik.
Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan untuk
konfirmasi.
X-foto: “CT scan”. Untuk melihat perluasan tumor serta untuk kepentingan
pemberian radiasi.

DIAGNOSIS BANDING
- TBC nasofaring
- Adenoid persisten (pada anak)
- Angiofibromanasofaring (pada laki-laki muda).

TERAPI
- Terapi utama: radiasi (4000-6000 R).
- Terapi ad juvan: kemoterapi

Empat minggu setelah radiasi selesai dilakukan evaluasi klinis, dan biopsi. Bila hasil biopsi
negatif dan klinis membaik, dilakukan pemeriksaan fisik serta biopsi ulang setiap bulan (pada
tahun pertama). Bila hasil biopsi positif, radiasi ditambah (booster).
Setelah radiasi (“full dose”), biopsi tetap positif diberikan kemoterapi.
Bila tetap negatif, pada tahun kedua pemeriksaan ulang dilakuakn setiap 3
bulankemudianpada tahun ketiga setiap 6 bulan, seterusnya setiap tahun sampai 5 tahun.

PROGNOSIS
Karena umumnya penderita datang pada stadium III/IV, prognosis biasanya jelek.

DAFTAR PUSTAKA

4. Neel III HB, Slavit DH. Nasopharyngeal Cancer. In: Bailey BJ. Ed. Head and Neck
Surgery – Otolaryngology. Philadelphia: JB. Lippincott Company, 1993:1257-73.
5. SkinnerDW, Van Hasselt CA, Tsao SY. Nasopharyngeal carcinoma: Mode of
presentation. Ann Otol Rhinol Laryngol 1991;100:544-51.
6. Tamori AT, Yoshizaki T, Miwa T, Furukawa M. Clinical evaluation staging system for
nasopharyngeal carcinoma: comparison of fourth and fifth editions of UICC TNM
classification. Ann Otol Rhinol Laryngol 2000;109:1125-9.
7. Prasad U. Current status of combination chemotherapy and radiotherapy in the treatment
of advanced nasopharyngeal carcinoma. Medical Progress 2000;17:8-10.
8. Pathmanathan R. Pathology. In: Chong VFH and Tsao SY, Eds. Nasopharyngeal
Carcinoma. Singapore: Armour Publishimg Pte Ltd 1997:6-13
9. Stanley RE, Fong KW. Clinical presentation and diagnosis. In: Chong VFH and Tsao SY,
Eds. Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Armour Publishimg Pte Ltd 1997:29-41

KARSINOMA LARING

BATASAN
Karsinoma yang mengenai laring (supraglotik, glotik, subglotik).

ETIOLOGI
Diperkirakan rokok dan alkohol berpengaruh besar terhadap timbulnya karsinoma laring.
Merupakan 2,5% keganasan daerah kepala dan leher.
Umum tersering 40-50 tahun, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan
10:1.

DIAGNOSIS
7. Anamnesis:
Gejala dini: suara parau. Suara parau pada orang tua lebih dari 2 minggu perlu
pemeriksaan laring yang seksama.
Gejala lanjut: sesak nafas dan stridor inspirasi, sedikit demi sedikit, progresif. Kesulitan
menelan terjadi pada tumor supraglotik, atau apabila tumor sudah meluas ke faring atau
esofagus.
Pembesaran kelenjar leher (kadang-kadang).
8. Pemeriksaan fisik:
- Pemeriksaan THT: pada laringoskopi indirekta (LI) dan laringoskopi direkta (LD)
atau laringoskopi serat optik(LSO) dapat diketahui adanya tumor di laring.
- Pemeriksaan leher:
♦ Inspeksi: teutama untuk melihat pembesaran kelenjar loeher, laring dan
tiroid.
♦ Palpasi: untuk memeriksa pembesaran pada membran krikotiroid atau
tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laringeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dan keras.
Memeriksa ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening leher.
9. Pemeriksaan tambahan:
Pemeriksaan radiologik:
- X-foto leher AP dan Lateral (jaringan lunak).
- Tomogram laring atau “CT Scan” (bila tersedia fasilitas).
Biopsi:
Biopsi dilakukan dengan LI, LD, atau melalui bedah laring mikroskopik (BLM).

PENENTUAN STADIUM

Tumor supraglotik
T1 = Tumor terbatas di supraglotik, gerakan pita suara normal.
T2 = Tumor keluar dari supraglotik, tanpa fiksasi.
T3 = Tumor masih terbatas di laring dengan fiksasi dan/atau ekstensi tumor ke
poskrikoid, sinus piriformis atau daerah epiglotis.

T4 = Tumor sudah keluar laring, mengenai orofaring, jaringan lunak leher, atau merusak
tulang rawan tiroid.

Tumor glotik
T1 = Tumor terbatas di korda vokalis, gerakan normal.
T2 = ekstensi ke supraglotik/subglotik dengan gerakan normal, atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas di laring dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masih dengan kerusakan tulang rawan tiroid dan/atau ekstensi keluar laring.

Tumor subglotik
T1 = Tumor terbatas di daerah subglotik.
T2 = Mengenai korda vokalis dengan gerakan normal atau sedikit terganggu.
T3 = Tumor terbatas pada laring, dengan fiksasi korda vokalis.
T4 = Tumor masih dengan kerusakan pada tulang rawan atau ekstensi keluar laring.

M0 = Belum ada metastasis jauh.


M1 = Metastasis jauh.

Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1-3 N1 M0
Stadium IV T4 N0 M0
T1-4 N2-3 M0
T1-4 N0-3 M0
T1-4 N0-3 M1

DIAGNOSIS BANDING
Tuberkulosis laring
Tumor jinak laring (papiloma, kista, polip).
Nodul vokal.

TERAPI

Trakeotomi:
Dilakukan pada penderita yang mengalami sesak nafas.

Pembedahan:
- Laringektomi parsial (LP
- Laringektomi total (LT)
Dapat dikombinasi dengan:
 Deseksi leher fungsional (DLF).
 Deseksi leher radikal (DLR).

Radioterapi dan kemoterapi:

Stadium I : Radiasi, bila gagal, diteruskan dengan tindakan pembedahan (LP/LT).


Stadium II : LP/LT.
Stadium III: dengan/tanpa N1: LT dengan/tanpa DLF/DLR, diikuti radiasi.
Stadium IV: tanpa N/M: LT + DLF diikuti radiasi
Stadium IV lainnya: radioterapi dan kemoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

3. Safeley BJ, Biller HF. Surgery of the larynx. Philadelphia: WB Sauders Co, 1985:45-
72,313-71,417-33.

4. Ogura JR, Thawley SE. Cyst and tumours of the larynx. In: Paparella MM, Shumrick DA,
eds. Otolaryngology, Vol. III 2nd ed. Philadelphia, London, Toronto, Mexico City, Rio de
Janeiro, Tokyo: WB Saunders Co, 1991.

23. KARSINOMA NASOFARING


Mulyarjo, Widodo Ario Kentjono, Haryono Kusuma, Bakti Soerarso

BATASAN
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau
kelenjar yang terdapat di nasofaring.

ETIOLOGI
Penyebab timbulnya karsinoma nasofaring masih belum jelas. Namun banyak yang
berpendapat bahwa berdasarkan penelitian-penelitian epidiomologik dan eksperimental, ada
tiga faktor yang berpengaruh, yakni:
- Faktor genetik (ras mongolid)
- Faktor virus (virus EIPSTEIN BARR)
- Faktor lingkungan (polusi asap kayu bakar, bahan karsinogenik, dll).

Banyak ditemukan pada usia 40-50 tahun, laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan
perbandingan 3:1.

HISTOPATOLOGI
Klasifikasi histopatologi menurut WHO (1982).

Tipe WHO 1:
- Termasuk disini karsinoma sel skuamosa (KSS).
- Diferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofitik (tumbuh di permukaan).

Tipe WHO 2:
- Termasuk disini karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak variasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional.

Tipe WHO 3:
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
- Termasuk disini antara lain: limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma,
varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.

Indonesia Cina

Tipe WHO 1 29% 35%


2 14% 23%
3 57% 42%

- Klasifikasi TNM

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.


T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan/atau fosa nasal.
T2a : tanpa perluasan ke parafaring
T2b : dengan perluasan ke parafaring
T3 : Invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal.
T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf otak, fosa
infratemporal, hipofaring atau orbita

N menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional


N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6cm.
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6cm atau ekstensi ke supraklavikular.

M menggambarkan metastasis jauh.


M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat mertastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium I : T1, N0, M0
Stadium IIA : T2a, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0, atau T2b, N0-1, M0
Stadium III : T1-2, N2, M0, atau T3, N0-2, M0.
Stadium IVA : T4, N0-2, M0
Stadium IVB : Tiap T, N3, M0
Stadium IVC : Tiap T, Tiap N, M1

GEJALA KLINIK
3 Gejala dini: merupakan gejala pada saat tumor masih terbatas pada nasofaring.
i) Telinga: tinitus, pendengaran berkurang, grebek-grebek.
ii) Hidung: pilek lronik, ingus/dahak bercampur darah.
4 Gejala lanjut: merupakan gejala yang timbul oleh penyebaran tumor secara ekspansif,
iniltratif, dan metastasis.

- Ekspansif
 Ke muka: menyumbat koane, terjadi buntu hidung.
 Ke bawah: mendesak palatum mole(“bombans”). Terjadi gangguan
menelan/sesak.
- Iniltratif
 Ke atas: masuk ke foramen laserum, menyebabkan sakit kepala, paresis/paralisis
N III, IV, V, VI secara sendiri atau bersama-sama, menyebabkan gangguan pada
mata (ptosis, diplopi, oftalmoplegi, neuralgi trigeminal).
 Ke samping:
 Menekan N IX, X: paresis palatum mole, faring, gangguan menelan.
 Menekan N XI: gangguan fungsi otot sternokleido-mastoideus dan otot trapezius.
 Menekan N XII: deviasi lidah.

- Metastasis
 Melalui aliran getah bening, menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening
leher. (kaudal dari ujung mastoid, dorsal dari angulus mandibula, medial dari otot
sternokleiodo-mastoideus).
 Metastasis jauh ke: hati, paru, ginjal, limpa, tulang dan sebagainya.
DIAGNOSIS
- Anamnesis yang cermat.dan lengkap.

- Pemeriksaan fisik:
 Inspeksi luar: wajah, mata, rongga mulut, leher.
 Pemeriksaan THT
- Otoskopi: liang telinga, membran timpani.
- Rinoskopi anterior:
Pada tumor endofitik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin hanya
banyak sekret.
Pada tumor eksofitik, tampak tumor di bagian belakang ringga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
- Rinoskopi Posterior:
Pada tumor endofitik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan vaskularisasi meningkat.
Tumor eksofitik tampak masa kemerahan.
Bila perlu rinoskopi posterior dilakukan dengan menarik palatum mole ke
depan dengan kateter Nelaton.
- Faringoskopi dan Laringoskopi:
Kadang-kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring.
Refleks muntah dapat menghilang (negatif).
Dapat dijumpai kelainan fungsi laring.

- Pemeriksaan tambahan
 Biopsi:
Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada tumor/daerah yang dicurigai. Dilakukan
dengan anestesi lokal.
Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat (kiri dan kanan), melalui rinoskopi
anterior, bila perlu dengan bantuan cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu
biopsi dapat diulang sampai tiga kali.
Bila tiga kali biopsi hasil negatif, sedang secara klinis mencurigakan adanya
karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulangi dengan anestesi umum.
Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila penderita trismus, atau keadaan
umum kurang baik.
Biopsi kelenjar getah bening leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan untuk
konfirmasi.
 X-foto: “CT scan”. Untuk melihat perluasan tumor serta untuk kepentingan
pemberian radiasi.

DIAGNOSIS BANDING
- TBC nasofaring
- Adenoid persisten (pada anak)
- Angiofibroma nasofaring juvenilis (pada laki-laki muda).

TERAPI
- Terapi utama: radiasi (4000-6000 R).
- Terapi ad juvan: kemoterapi

Empat minggu setelah radiasi selesai dilakukan evaluasi klinis, dan biopsi. Bila hasil biopsi
negatif dan klinis membaik, dilakukan pemeriksaan fisik serta biopsi ulang setiap bulan (pada
tahun pertama). Bila hasil biopsi positif, radiasi ditambah (booster).
Setelah dosis radiasi penuh, biopsi tetap positif diberikan kemoterapi. Dapat dilakukan CT-
scan untuk konfirmasi.
Bila tetap negatif, pada tahun kedua pemeriksaan ulang dilakuakn setiap 3
bulankemudianpada tahun ketiga setiap 6 bulan, seterusnya setiap tahun sampai 5 tahun.

PROGNOSIS
Karena umumnya penderita datang pada stadium III/IV, prognosis biasanya jelek.

DAFTAR PUSTAKA
1. Neel III HB, Slavit DH. Nasopharyngeal Cancer. In: Bailey BJ and Pillsburry III HC. Eds.
Head and Neck Surgery – Otolaryngology Vol. I Philadelphia: JB Lippincott Company.
1993:1257-73.
2. Skinner DW, Van Hasselt CA, Tsao SY. Nasopharyngeal carcinoma: Mode of
presentation. Ann Otol Rhinol Laryngol 1991;100:544-51.
3. Tamori AT, Yoshizaki T, Miwa T, Furukawa M. Clinical evaluation staging system for
nasopharyngeal carcinoma: comparison of fourth and fifth editions of UICC TNM
classification. Ann Otol Rhinol Laryngol 2000;109:1125-9.
4. Prasad U. Current status of combination chemotherapy and radiotherapy in the treatment
of advanced nasopharyngeal carcinoma. Medical Progress 2000;17:8-10.
5. Pathmanathan R. Pathology. In: Chong VFH and Tsao SY, Eds. Nasopharyngeal
Carcinoma. Singapore: Armour Publishimg Pte Ltd 1997:6-13
6. Stanley RE, Fong KW. Clinical presentation and diagnosis. In: Chong VFH and Tsao SY,
Eds. Nasopharyngeal Carcinoma. Singapore: Armour Publishimg Pte Ltd 1997:29-41

Anda mungkin juga menyukai