Anda di halaman 1dari 9

FARMAKOKINETIKA LANJUTAN

PENYESUAIAN DOSIS DAN THERAPEUTIC DRUG MONITORING (TDM)

PROPOSAL

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS SURABAYA
2022
BAB I
KASUS DAN REKOMENDASI

1.1 Kasus
Pasien anak dengan riwayat status epileptikus berulang sejak balita, masuk ke IGD
RS karena kejang epilepsi dan mendapatkan terapi antara lain diazepam iv bolus dan
fenitoin iv Page 9 of 10 infusi. Kejang pasien belum teratasi dalam waktu 15 menit setelah
obat diberikan dengan laju infus 100 mg/ 24 jam. Dokter menanyakan kepada Anda
penyebabnya.
Data pasien : usia 6 tahun, laki-laki, BB = 20 kg, TB = 140 cm, Vd fenitoin = 0,7
L/ kg BB. Fungsi ginjal normal, klirens kreatinin = 125 ml/ menit. Pasien ternyata telah
mengalami gangguan liver sedang fungsi liver berkurang sebanyak 40% (fungsi liver
tinggal 60%). Klirens fenitoin melalui liver, dengan laju eliminasi maksimum Vm = 10 ml/
kg BB/ hari; dan tetapan Michaelis Menten Km = 6 mg/ L. MEC fenitoin = 10 – 20
mikrogram/ mL, t ½ = 20 jam. Fenitoin terekskresi sempurna dalam waktu 100 jam setelah
pemberian dosis tunggal po ataupun iv. Sediaan iv adalah dalam bentuk garam Natrium
Fenitoin, dengan faktor garam S = 0,92.

1.2 Rekomendasi
• Diberikan suntikan loading dose iv bolus Fenitoin Na sebanyak 1.8 ml dengan
pengambilan sediaan sebanyak 1 ampul (100 mg/2 ml) secara iv bolus
• Kemudian dilanjutkan dengan maintenance dose sebanyak 140,665 mg/hari
• Monitoring pemberian fenitoin bersamaan dengan obat lain
• Pada pasien KRS, diberikan pilihan terapi obat adalah midazolam bukal atau
intranasal. Hal ini dikarenakan obat ini memiliki efektivitas yang sama dengan
diazepam rektal untuk penanganan kejang lama. Selain itu, penggunaan sediaan
midazolam lebih mudah dibandingkan diazepam rektal.
BAB II
LANDASAN ILMIAH

2.1 Diazepam
Pada kasus ini pasien dengan riwayat status epileptikus berulang sejak balita mendapatkan
terapi antara lain diazepam iv bolus dan fenitoin iv. Diazepam merupakan suatu senyawa yang
mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% C16H13ClN2O dihitung
terhadap zat kering. Sifat fisika kimia diazepam yakni serbuk hablur hampir putih sampai kuning;
praktis tidak berbau. Kelarutan dari diazepam adalah praktis tidak larut dalam air; larut dalam
etanol; mudah larut dalam kloroform. Injeksi Diazepam adalah larutan steril diazepam dalam
pelarut yang sesuai, yang mengandung Diazepam tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari
110,0% dari jumlah yang tertera pada etiket (Farmakope edisi VI hal 389 - 391). Farmakokinetika
diazepam pada absorbsi dalam sediaan oral adalah 85% hingga 100%, lebih dapat diandalkan
daripada I.M. Volume distribusi pada laki-laki muda yang sehat adalah 0,8-1,0 L/kg. Diazepam
terikat pada protein sebesar 98%. Diazepam dimetabolisme di hepatik. Pada orang dewasa
eliminasi waktu paruh (t ½) obat diazepam adalah 20-50 jam, namun waktu paruh (t ½) obat
diazepam terjadi peningkatan pada neonatus, lansia, dan pasien dengan gangguan hati yang parah.
Diazepam menghasilkan metabolit utama aktif (desmethyldiazepam) 50-100 jam; dapat
diperpanjang dalam neonatus (Drug Information Handbook edisi 27 Hal 606)

2.2 Fenitoin
Fenitoin memiliki rumus molekul C12H12N2O2. Sifat fisika kimia Fenitoin yaitu serbuk
kristal putih atau hampir putih, tidak berbau, sedikit higroskopis. Fenitoin larut dalam air dan
alkohol, praktis tidak larut dalam diklorometana. (MD 38 ed p. 495). Fenitoin dihidrolisis di hati
menjadi tidak aktif metabolit terutama 5-(4-hidroksifenil)-5-fenilhidantoin oleh sistem enzim yang
jenuh. Fenitoin mengalami daur ulang enterohepatik dan diekskresikan dalam urin, terutama
sebagai metabolit terhidroksilasi baik dalam bentuk bebas maupun terkonjugasi. Waktu paruh
(t1/2) dari obat fenitoin adalah 7 hingga 42 jam. Fenitoin terekskresi melalui urin kurang dari 5%
sebagai obat yang tidak berubah (gluoronida). (Drug Information Handbook edisi 23 Hal 1657).
2.3 Pilihan Terapi Obat untuk Status Ellipticus
2.3.1 Orang Dewasa

2.3.2 Ibu Hamil atau Menyusui

Lamotrigine 2.0% (1.19–3.24) (17); <300 mg /day 4.5% (2.77–6.87) (20); ⩾300 mg/day

Carbamazepine 3.4% (1.11–7.71) (5); <400 mg/day 5.3% (4.07–6.89) (56); ⩾400 mg/day to
<1000 mg/day 8.7% (5.24–13.39) (18); ⩾1000 mg/da

Valproic acid 5.6% (3.60–8.17) (24); <700 mg/day 10.4% (7.83–13.50) (50); ⩾700
mg/day to <1500 mg/day 24.2% (16.19–33.89) (24); ⩾1500 mg/day

Phenobarbital 13.7% (5.70–26.26) (7); ⩾150 mg/day


Management of epilepsy during pregnancy (2015)

2.3.3 Lansia
Secara umum, pengobatan lansia mengikuti rejimen yang sama dengan pengobatan untuk
kelompok usia yang lebih muda. Benzodiazepin intravena (lorazepam, diazepam, clonazepam) dan
midazolam intramuskular adalah pengobatan yang paling umum untuk SE (status epileptikus)
awal. Obat ini memiliki waktu paruh yang relatif singkat. Jika ini gagal, pasien dapat dianggap
berada dalam SE yang resisten terhadap benzodiazepin atau SE yang telah ditetapkan.
BAB III
PENYELESAIAN MASALAH

3.1 Strategi Penyesuaian Dosis


Diketahui:
• Kejang pasien belum teratasi dalam waktu 15 menit setelah obat diberikan dengan
laju infus 100 mg/ 24 jam
Laju infus = R= 100 mg/ hari
Data Pasien:
• Pasien anak epilepsi usia 6 tahun
• BB = 20 kg; TB = 140 cm
• Vd = fenitoin = 0,7 L/kg BB
• Fungsi ginjal normal. Klirens kreatinin = 125 ml/ menit
• Pasien mengalami gangguan liver sedang fungsi liver berkurang 40% (fungsi liver
tinggal 60%)
• Laju eliminasi maksimum Vm = 10 mg/kg BB/ hari
Vm = 10 mg/kg BB/ hari x BB
Vm = 10 mg/kg BB/ hari x 20 kg
Vm = 200 mg/ hari
• Tetapan Michaelis Menten Km = 6 mg/ L
• MEC Fenitoin = 10-20 µm/ ml
• t ½ = 20 jam
K = 0,69320 jam = 0,03465 jam
• Fenitoin terekskresi sempurna dalam waktu 100 jam setelah pemberian dosis
tunggal po ataupun iv
• Sediaan iv adalah dalam bentuk garam Natrium Fenitoin, dengan faktor garam S =
0,92.

Strategi penyesuaian dosis

Setelah pemberian Fenitoin Na 100 mg/ hari, namun kejang belum teratasi
• ( R) Fenitoin Na = 100 mg/hari
( R) Fenitoin = 100 mg/hari x faktor garam
= 100 mg/hari x 0,92
( R) Fenitoin = 92 mg/hari
• R = Vm x CssKm + Css
92 mg/hari = 200 mg/hari x Css6 mg/L + Css
Css = 5,111 mg/L
Css 5,111 mg/L tidak masuk MEC Fenitoin (10-20 µm/ ml). Oleh karena itu kejang masih
belum teratasi.
Agar kejang pasien teratasi maka dilakukan penyesuaian dosis. Untuk meningkatkan Css
maka diberikan suntikan loading dose iv bolus Fenitoin Na

• Vd = ( 0,7 L/kg BB x 20 kg) = 14 L


• LD (Fenitoin) = (Cpss yang diinginkan - Cpss terukur) x VdSxF
LD (Fenitoin) = (11 mg/L - 5,111 mg/L) x 14 L0,92 x 1
LD Fenitoin Na = 89,6152 mg
• Tersedia di pasaran = Fenitoin Na 100 mg/ 2 ml
100 mg Fenitoin Na = 2 ml
89,6152 mg Fenitoin Na = ? ml
89,6152 mg x 2 ml100 mg = 1,7923 ml = 1,8 ml

Dilakukan pengecekan ulang kadar Fenitoin (MEC = 10-20 µm/ ml)


• Fenitoin Na = 1,8 ml x 100 mg2 ml
Fenitoin Na = 90 mg
• LD (Fenitoin) = 0,92 x 90 mg
LD (Fenitoin) = 82,8 mg
• Cpss = LD (Fenitoin)Vd
Cpss = 82,8 mg14 L
Cpss = 5,9142 mg/L
• Cp total = Cp dari LD dan Cp terukur
= 5,9142 mg/L + 5,111 mg
= 11,0252 mg/L (Masuk MEC 10-20 µm/ ml)

Perhitungan Maintanance Dose


• R =Vmaks x Cp yang diinginkanS x F (Km + Cp yang diinginkan)
• R fenitoin = 200 mg/hari x 11mg/L0,92 x 1(6 mg/L + 11 mg/L)
= 140,665 mg/hari

Pasien mengalami gangguan liver sedang fungsi liver berkurang 40% (fungsi liver tinggal
60%)
Skor Child-Pugh lebih besar dari 8 adalah alasan untuk penurunan 25-50% dalam dosis
obat harian awal untuk fenitoin (Applied Clinical Pharmacokinetics, p. 498)
Dibutuhkan data Total bilirubin, Serum albumin, Prothrombin time, Ascites Absent Slight,
dan Moderate Hepatic encephalopathy untuk menentukan tingkat keparahan gangguan
liver.
BAB IV
Therapeutic Drug Monitoring (TDM)

Pada kasus tersebut perlu dilakukan pemantauan kadar obat dalam darah
(Therapeutic Drug Monitoring, TDM), karena obat fenitoin merupakan salah satu obat
dengan indeks terapi yang sempit yakni 10–20 μg/mL (Shargel 7th edition p. 683). Selain
itu juga fenitoin sangat terikat dengan protein dan memiliki farmakokinetik non linear
(Clinical Pharmacokinetics Pharmacy Handbook, 2019 p. 170). Fenitoin bersifat lipofilik,
sehingga eliminasi utama fenitoin adalah melalui metabolisme di liver dan bersifat
tergantung pada dosis. Adanya peningkatan dosis fenitoin akan menyebabkan penjenuhan
enzim pemetabolisme, sehingga dengan sedikit peningkatan dosis akan menyebabkan
kadar fenitoin sangat meningkat. Farmakokinetika obat yang tergantung dosis disebut
sebagai obat dengan farmakokinetika non linear dan mengikuti kinetika Michaelis Menten
(Profil Fenitoin dan Valproat pada Terapi Epilepsi, hal 36). Monitoring khusus juga perlu
dilakukan saat terapi fenitoin dihentikan. Penghentian terapi fenitoin secara mendadak
dapat menyebabkan serangan epilepsi (Profil Fenitoin Valproat pada Terapi Epilepsi, hal
47).
DAFTAR PUSTAKA

Larry A. Bauer. Applied Clinical Pharmacokinetics, Chapter 6. Digoxin


Pharmacy Practice & Development Division Ministry of Health Malaysia. 2019. Clinical
Pharmacokinetics Pharmacy Handbook Second Edition.
Purnamayanti, Anita., Parfati Nani. 2018. Profil Fenitoin dan Valproat pada Terapi Epilepsi
Shargel, Leon., Yu, Andrew B.C. 2012. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics
Seventh Edition. McGraw Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai