Anda di halaman 1dari 50

kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan menipa diri

manusia itu sendiri. Oleh karena itu kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam
hukum ilmu atau konsep teoritik tidak boleh jatuh dibawah kekuasaan hawa nafsu
karena akibatnya dapat merusak alam, sebagaimana firman Allah Q.S 23: 71.
Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah
langit dan bumi dan apa-apa yang ada didalamnya, bahkan Kami telah datangkan
kepada mereka peringatan tetapi mereka berpaling.
J. Topik diskusi
Setelah mengikuti perkuliahan pada sesi kali untuke memperdalam pemahaman
saudara jelaskan dan diskusikan apa makan ilmu pengetahuan dalam islam.
Terimakasih

PERTEMUAN KE 11

A. Pengantar
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesi ke sebelas. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga
mampu menuntaskan pertemuan sesi ini. Setelah mengikuti pembelajaran ini
mahasiswa diharapkan dapat memahami materi mengenai Ahlaq dalam Islam berikut
dibawah ini materi saya lampirkan mohon dipelajari dengan benar.
B. MATERI
BAB VI
AKHLAQ DALAM ISLAM
A. Konsep Akhlaq
1. Pengertian Akhlaq
Kata akhlaq (Bahasa Arab) secara etimologis adalah bentuk jamak dari
khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari
kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalqun (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup
pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan
perilaku makhluq (manusia). Dengan perkataan lain, tata perilaku seseorang
terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki
apabila perilaku manusia itu didsarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Dari
pengertian di atas bisa dipahami bahwa akhlaq bukan saja merupakan sistem nilai
yang mengatur hubungan antar sesama manusia, melainkan mengatur pula
hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan hubungan antara manusia
dengan alam semesta.
Secara terminologis (istilah), akhlaq atau khuluq adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana
diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta
tidak memerlukan dorongan dari luar. Menurut Imam Al Ghozali dalam “Ihya’
Ulum ad-din”, “Akhlaq adalah sebuah keadaan yang tetap dalam jiwa yang
darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran
lagi.” Artinya, perbuatan itu terjadi secara refleks karena persinggungan antara
dimensi batiniah dari pelaku. Sifat spontanitas dari akhlaq tersebut dapat
diilustraskan dalam contoh sebagai berikut. Bila seorang mahasiswa selalu
menjaga diri dari pergaulan bebas dengan lawan jenis, bukan karena takut kalau
dilihat oleh teman yang lain melainkan karena menjaga diri dari pergaulan bebas
itu merupakan suatu kemuliaan. Contoh lain, seorang mahasiswa tidak mencontek
dalam sebuah ujian karena ada panitia pengawas, maka mahasiswa tadi belum
dikatakan mempunyai kedisiplinan, kejujuran dan kesabaran, karena kedisiplinan,
kejujuran dan kesabaran itu belum tentu muncul di saat tidak ada pengawas.
Boleh jadi, kalau tidak ada pengawas kemungkinan mahasiswa tadi akan
mencontek.
Akhlaq yang dalam istilah filsafatnya sering disebut sebagai “etika”
merupakan pelaksanaan kewajiban seseorang dan pemberian hak yang harus
diberikan kepada mereka yang berhak. Atau dengan kata lain, orang berakhlaq
adalah orang yang melaksanakan kewajiban terhadap segala yang ada secara
seimbang dan harmonis.
Pelaksanaan kewajiban manusia terhadap manusia lainnya akan menjadi
cermin dan tolok ukur untuk menilai apakah seseorang itu berakhlaq atau tidak.
Demikian juga perilakunya terhadap makhluk lain seperti binatang ataupun alam
semesta juga akan menjadi salah satu standar penilaian posisi dan martabatnya
dalam berakhlaq. Kalau dia secara sempurna dan seimbang melaksanakan
kewajibannya pada sesama manusia.
dan makhluq lain, maka dia mempunyai nilai lebih dalam pandangan manusia
dan Allah. Sebaliknya, kalau dia dengan begitu gampangnya menelantarkan
kewajibannya terhadap hak orang lain, maka kedudukan dan martabatnya akan
turun drastic sampai level terendah di mata manusia ayaupun Allah. Inilah
pentingnya kedudukan akhlaq dalam ajaran Islam.
Dari keterangan dan ilustrasi di atas jelaslah bahwa akhlaq itu haruslah
bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan
pertimbangan serta dorongan dari luar. Kata akhlaq, meskipun dari beberapa
difinisi di atas bersifat netral, tidak menunjuk kepada baik dan buruk, tetapi pada
umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka
kata akhlaq selalu berkonotasi positif (akhlaq mulia). Orang yang baik sering
disebut orang yang berakhlaq, sementara orang yang tidak berbuat baik sering
disebut orang yang tidak berakhlaq.
Akhlaq bukan sekadar sopan santun dan tata krama yang bersifat lahiriah dari
seseorang kepada orang lain. Makna akhlaq jauh lebih luas daripada itu, karena
akhlaq yang bersifat lahiriah semata tanpa diikuti tekad dan semangat batiniah
ibarat tubuh tanpa roh. Harus ada pemahaman yang benar terhadap akhlaq.
Artinya, bukan hanya semata-mata mengimplementasikan akhlaq tanpa
memahami esensi dan intisari akhlaq tersebut, melainkan harus ada sinergi antara
pelaksanaan akhlaq dengan pemahaman tujuan dari akhlaq tersebut.
Akhlaq Islam memiliki karakteristik diantaranya sesuai dengan fitrah
manusia. Manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki apabila mengikuti
nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh Alquran dan As- sunnah, sebagai sumber
akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam berfungsi untuk memelihara keberadaan
manusia sebagai makhluk yang terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
Dalam khasanah keislaman, di samping istilah akhlaq, kita mengenal juga
istilah etika dan moral. Istilah akhlaq, etika dan moral, ketiganya berhubungan
dengan penentuan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia. Perbedaannya
terletak pada standar masing-masing. Akhlaq, standarnya adalah Alquran dan
sunnah, etika standarnya adalah pertimbangan akal pikiran, sedangkan moral
standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.
Meskipun ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan dalam pengertiannya,
namun dalam penggunaan sehari-hari, bahkan dalam beberapa literatur keislaman
sering terjadi tumpang tidih.
Dalam sistematika ajaran Islam, akhlaq secara garis besar dibagi dalam dua
bagian besar, yaitu akhlak terhadap Allah Sang Pencipta (al-akhlaq ma’a al-
Khaliq) dan alkhlaq terhadap sesama makhluk (al-akhlaq ma’a al-khalq). Bagian
akhlaq yang terakhir ini mencakup baik akhlaq terhadap manusia maupun akhlaq
terhadap makhluk selain manusia.
2. Sumber Akhlaq
Sumber akhlaq yang dimaksud di sini adalah standar yang menjadi ukuran
baik dan buruk atau mulia dan tercelanya perilaku manusia. Sebagaimana
keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Alquran dan Sunnah, bukan akal
pikiran atau pandangan masyarakat seperti halnya pada konsep etika dan moral.
Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau
tercela, berdasarkan Alquran dan Sunnah sebagai acuannya. Misalnya sifat sabar,
syukur, pemurah, pemaaf, jujur dan sebagainya dinilai baik, karena syara’ menilai
bahwa sifat-sifat yang demikian adalah baik. Demikian pula sebaliknya, sifat
dusta, pemarah, kikir, boros dan sebagainya dinilai dinilai buruk, karena syara’
sudah menetapkan bahwa sifat-sifat itu adalah tidak baik.
Sekalipun demikian, Islam tidaklah begitu saja menafikan peran hati nurani,
akal dan pandangan masyarakat sebagai ukuran dalam menentukan baik dan buruk.
Dalam bahasa Alquran, hati nurani atau fitrah adalah anugerah Allah yang
memiliki kecenderungan untuk bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum
30:30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung
kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan
kebenaran, ingin mengikuti ajran-ajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan
didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenrana mutlak. Namun fitrah
manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari
luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah merupakan
potensi dasar yang sudah barang tentu perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa
banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak lagi dapat
menerima kebenaran. Oleh karena itu, ukuran baik dan buruk tidak dapat
diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata,
melainkan harus dikembalikan kepada penilaian syara’. Semua keputusan syara’
tidak akan pernah bertentangan dengan hati nurani dan fitrah manusia, sebab
keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah Swt.
Begitu juga dengan akal fikiran dan pandangan masayarakat, akal hanyalah
salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari dan menilai kebaikan
atau keburukan berdasarkan pengalaman empiris, yang sudah barang tentu
memiliki keterbatasan. Keputusan akal hanya bersifat spekulatif, tentatif dan
subyektif. Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran tentang
baik dan buruk, tetapi jusa bersifat relative, tergantung sejauhmana kesucian hati
nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga. Hanya kebiasaan
masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ukuran yang pasti, obyektif, universal
dan komprehensif untuk menentukan baik buruk hanyalah Alquran dan Sunnah.

3. Ruang Lingkup Akhlaq


Akhlaq Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di atas bumi. Dengan demikian pembahasan akhlaq meliputi wilayah
yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal
dengan Allah Swt. maupun secara horisontal dengan sesama ciptaan-Nya.
Dalam tulisan ini cakupan pembahasan akhlaq meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Akhlaq Terhadap Allah Swt.
b. Akhlaq Terhadap Rasulullah saw.
c. Akhlaq Pribadi
d. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia
e. Akhlaq Terhadap Lingkungan

4. Kedudukan Akhlaq dalam Islam


Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlaq menempati kedudukan yang
sangat istimewa dan penting. Bahkan Rasulullah saw. menempatkan
penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR.
Baihaqi).
Kedudukan akhlaq dalam agama Islam cukup identik dengan
pelaksanaan agama Islam itu sendiri dalam segala aspek kehidupan. Berakhlaq
Islami, berarti melaksanakan ajaran agama Islam secara kaffah (menyeluruh)
dalam seluruh lini kehidupan, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai
khalifah di muka bumi ini.
Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga
Rasulullah saw. pernah mendefinisikan agama itu dengan akhlaq yang baik
(husn a-l-khulq). Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, apakah agama itu? Beliau menjawab:
(Agama adalah) Akhlaq yang mulia). Pemaknaan agama (Islam) dengan
akhlaq yang baik tersebut sebanding dengan pemaknaan ibadah haji dengan
wuquf di ‘Arafah. Rasulullah saw. menyebutkan, “Haji adalah wuquf di
‘Arafah.” Artinya tidak sah haji seseorang tanpa wuquf di ‘Arafah.
Kedudukan akhlaq dalam kehidupan adalah sebagai barometer/ukuran
kualitas keimanan seseorang. Rasulullah saw. mengaitkan antara rasa malu,
adab berbicara serta sikap terhadap tamu dan tetangga, misalnya dengan
eksistensi dan kualitas iman seseorang. Hal ini terlihat misalnya dalam hadits-
hadits di bawah ini:
a. Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaqnya” (HR. Tirmidzi).
b. Rasulullah bersabda: “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi
satu, maka bilamana lenyap salah satunya hilang pulalah yang lain” (HR.
Hakim dan Thabrani)
c. Rasulullah bersabda: “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak
beriman! Demi Allah dia tidak beriman! Seorang sahabat bertanya: “Siapa
dia (yang tidak beriman itu) ya Rasulullah? Belau menjawab: “Orang yang
tetangganya tidak aman dari keburukannya” (HR. Bukhori)
d. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka hendaklan ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhori dan Muslim)
Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah
kepada Allah Swt. Misalnya shalat, puasa, zakat dan haji. Di dalam Alquran
banyak terdapat ayat yang berhubungan dengan akhlaq, baik berupa perintah untuk
berakhlaq yang baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-orang
yang mematuhi perintah itu, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta celaan
dan dosa bagi orang-orang yang melanggarnya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa
keterangan di bawah ini:
a. Yang artinya : “…dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Q.S. Al-
‘Ankabut 29: 45).
b. Sabda Rasulullah saw:
“Bukanlah puasa itu hanya menahan makan dan minum saja, tapi
puasa itu menahan diri dari perkataan kotor dan keji. Jika seseorang
mencaci atau menjahilimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku sedang
berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah).
c. Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah 9:
103).
d. Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan
yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh),
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji…” (QS. Al-Baqarah 2: 197).

Banyaknya ayat Alquran yang berhubungan dengan akhlaq ini


menunjukkan betapa pentingnya kedudukan akhlaq dalam Islam.

5. Ciri-ciri Akhlaq dalam Islam

Akhlaq Islam, di samping memiliki kedudukan dan keistimewaan juga


memiliki ciri-ciri yang khas diantaranya: (1) Rabbani, (2) manusiawi, (3)
universal, (4) seimbang, dan (5) realistik.

Akhlaq Rabbani maksudnya bahwa akhlaq Islam bersumber dari wahyu Allah
yang termaktub dalam Alquran maupun Sunnah dan memiliki nilai kebenaranan
yang mutlak, bukan situasional dan kondisional serta bertujuan untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat.

Akhlaq Rabbani mampu megnhindari kekacauan nilai moralitas dalam hidup


manusia. Firman Allah :

َّ ‫س ِبي ِلِۦه ۚ ٰذَ ِل ُك ْم َو‬


َ‫ص ٰى ُكم ِبِۦه لَ َع َّل ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ‫سبُ َل فَتَف ََّرقَ ِب ُك ْم‬
َ ‫عن‬ ۟ ُ‫ص ٰ َرطِ ى ُم ْستَقِي ًما فَٱت َّ ِبعُوهُ ۖ َو ََل تَت َّ ِبع‬
ُّ ‫وا ٱل‬ ِ ‫َوأ َ َّن ٰ َهذَا‬

Artinya: “Inilah jalan-Ku yang lurus, hendaklah kamu mengikutinya, jangan


kamu ikuti jlan-jalan lain, sehingga kamu bercerai-berai dari jalan-Nya.
Demikian diperintahkan kepadamu, agar kamu bertaqwa” (QS. Al-An’am 6:
153).

Manusiawi, artinya akhlaq Islam sejalan dengan tuntutan fitrah manusia


yaitu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan
yang semu. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang benar-benar memelihara
eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
Universal, artinya ajaran akhlaq dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan
yang universal dan mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik yang
berdimensi vertikan maupun horizontal. Misalnya Alquran meyebutkan
bermacam-macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setiap orang, yaitu
menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh anak karena takut
miskin, berbuat keji baik secara terbuka maupun secara tersembunyi,
membunuh orang tanpa alasan yang sah, makan harta anak yatim, mengurangi
takaran dan timbangan, persaksian tidak adil, menghianati janji dengan Allah,
dan sebagainya (QS. Al-An’am 6: 151-152).

Seimbang, artinya akhlaq Islam memenuhi tuntutan segala kebutuhan


manusia secara seimbang, yaitu antara kebutuhan jasmani dan ruhani,
kebutuhan pribadi dan social serta kebutuhan untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat

Realistik, ajaran akhlaq dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup


manusia. Meskipun manusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk
lainnya, namun ia juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Kekurangan-
kekurangan yang bersifat manusiawi itu memungkinkan manusia untuk
melakukan pelanggaran dan kesalahan- kesalahan. Oleh karenanya Islam
memberi kesempatan kepada manusia yang melakukan kesalahan itu untuk
memperbaiki diri dengan jalan bertaubat. Dari uraian singkat di atas bisa
dipahami bahwa akhlaq Islam tidak akan pernah bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal dan justru dengan akhlaq Islam akan terbangun
sebuah kehidupan yang bermartabat, sesuai dengan fitrah manusia.

B. AKHLAQ DAN AKTUALISASINYA DALAM KEHIDUPAN

Secara garis besar ajaran akhlaq Islam meliputi 2 wilayah pembahasan, yaitu
akhlaq manusia dengan Allah Swt. dan akhlaq manusia dengan sesama ciptaan-Nya.
Akhlaq manusia dengan sesama ciptaan Allah Swt. dibagi menjadi 2 bagian yaitu
akhlaq antara manusia dengan manusia dan akhlaq antara manusia dengan lingkungan
hidup.

1. Akhlaq Terhadap Allah Swt


Dalam menjalani kehidupan ini manusia dianugerahi kenikmatan oleh Allah
Swt. yang tiada ternilai harga dan jumlahnya. Diantara kenikmatan itu adalah nikmat
iman, nikmat kesehatan, nikmat akal fikiran, dan sebagainya. Dengan potensi nikmat
itu manusia bisa melakukan aktivitas untuk meraih tujuan hidup yang dicita-citakan.
Untuk itu semuanya Allah tidak pernah mengharapkan balas jasa terhadap hamba-
hamba-Nya.

Sebagai hamba-Nya yang baik maka sudah semestinya manusia memiliki


kesadaran untuk berinteraksi sebaik mungkin dengan Allah Swt. Di dalam Alquran dan
Sunnah banyak ditemukan informasi mengenai bagaimana pola hubungan yang harus
dibangun antara manusia dengan Allah Swt. Pola hubungan antara manusia dengan Allah
Swt. itu diantaranya adalah:

a. Mentauhidkan Allah, yaitu mengesakan-Nya baik dalam zat, asma’ was- shiffat
maupun af’al (perbuatan-Nya) serta menjauhkan diri dari perbuatan syirik yang bisa
menghancurkan sendi-sendi moral dan kehidupan manusia

b. Bertaqwa, yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya Seorang yang bertaqwa akan hati-hati sekali
menjaga segala perintah Allah, supaya tidak meninggalkannya. Hati-hati menjaga

larangan Allah supaya dia tidak melanggarnya, hingga dia dapat selamat hidup di
dunia dan akhirat. Firman Allah Swt.

c. Cinta dan Ridha

Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan kepada Allah
Swt. Allah lebih dicintainya daripada segala- galanya. Seseorang dikatakan dikatakan
mencintai Allah jika dia selalu berusaha melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya,
dan meninggalkan segala sesuatu yang tidak disukai atau dibenci-Nya.

Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti semua yang diajarkan oleh
Rasulullah saw. Allah berfirman:

Seorang mukmin yang mencitai Allah, mencintai Rasul dan jihad di jalan-
Nya berarti dia sudah bisa meraih cinta utama. Sedangkan cinta kepada ibu bapak,
anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan dan segala macamnya adalah
cinta menengah, yang harus berada di bawah cinta utama. Artinya, segala sesuatu
baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan pelaksanaan
cinta itu harus pula sesuai dengan syari’at-Nya. Apabila cinta menengah diangkat
melebihi cinta utama maka cintanya akan jatuh menjadi hina, yaitu cinta paling
rendah, tidak ada nilainya.

Sejalan dengan cintanya kepada Allah Swt. seorang muslim haruslah dapat
bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusan- Nya. Artinya dia dapat
menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun segala sesuatu yang
datang dari Allah dan Rasul- Nya. Dia akan melaksanakan semua perintah tanpa
menghitung-hitung keuntungan yang bakal diraih, meninggalkan semua larangan
tanpa menghitung-hitung kerugian yang bakal dihadapi.

Dengan keyakinan seperti itu dia juga akan rela menerima segala qadha
dan qadar Allah terhdapnya, akan bersyukur atas segala kenikmatan dan bersabar
dalam menghadapi segala cobaan yang dihadapi. Demikianlah sikap cinta dan
ridha kepada Allah Swt. Dengan cinta kita mengharapkan ridha-Nya, dan dengan
ridha kita mengharapkan cinta-Nya

d. Ikhlas
Dalam bahasa popular, ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih, hanya semata mata
mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas adalah syarat diterimanya seuatu amalan, baik
yang menyangkut amalan dunia maupun amalan akhirat. Niat yang ikhlas harus
diikuti dengan kualitas amal yang sebaik-baiknya. Seorang muslim yang mengaku
ikhlas melakukan suatu perbuatan harus membuktikannya dengan etos kerja dan
profesionalitas yang tinggi, tidak boleh sembarangan, asal jadi, apalagi acak-acakan.
Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitannya dengan honor atau imbalan materi.
Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt. menyukai, bila seseorang beramal, dia


melakukannya dengan sebaik-baiknya…” (HR. Baihaqi).

Seorang mukhlis tidak akan sombong ketika meraih keberhasilan dan tidak
akan putus asa ketika mengalami kegagalan. Tidak lupa diri ketika menerima pujian
dan tidak mundur ketika mendapatkan cacian, sebab dia hanya berbuat semata mata
karena Allah Swt., Sebaliknya dia akan selalu bersemangat dalam beramal karena
terdorong untuk mendapatkan ridho dari Allah Swt.

Lawan dari ikhlas adalah riya, yaitu melakukan pekerjaan bukan karena Allah
melainkan karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya. Pada asalnya, seorang yang
riya adalah orang yang ingin memperlihatkan kepada orang lain kebaikan yang dia
lakukan. Riya akan menghapus pahala amalan seseorang Rasulullah saw. menamai
riya dengan syirik kecil, dan beliau paling mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi
pada umatnya, Sabdanya:

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik
kecil”. Sahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah?” Rasul menjawab:
“Riya” (HR. Ahmad).

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman:

“Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa yang melakukan amalan
yang menyekutukan Aku dengan yang lain, mka Aku berlepas diri darinya, maka
amalan itu untuk sekutu itu” (HR. Muslim).
e. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada
selain Allah dan menyerahkan segala keputusan hanya kepada Allah Swt. Tawakal
harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai
tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa
melakukan apa-apa.

Rasulullah dan kaum muslimin generasi awal telah memberi contoh tentang
praktek tawakal ini. Mereka adalah para pekerja keras dalam berbagai lapangan
kehidupan, misalnya perdagangan, pertanian, perindustrian, keilmuan dan
sebagainya. Rasulullah selalu mendorong umatnya untuk bekerja keras, bahkan
beliau selalu berdoa agar dijauhkan dari sifat lemah dan malas.

Rasulullah juga mengajarkan bagaimana kita harus berusaha melakukan


upaya preventif untuk menghindari suatu bahaya dan penyakit, dengan sabdanya:
“Matikan lampu-lampu di waktu malam sebelum kamu tidur. Ikatlah pundit-pundi
air dan tutuplah makanan dan minuman” (HR. Bukhori)

Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah


tentang hukum sebab akibat, tetapi sekalipun demikian kita tidak boleh tawakal
dengan ikhtiar (usaha) yang kita lakukan. Misalnya, kita sembuh dari sakit setelah
berobat ke dokter. Sembuhnya kita dari penyakit itu bukan karena pengobatan dari
dokter semata, melainan pengobatan itu hanya sebagai sebabnya. Allah sematalah
yang sesungguhnya memberi kesembuhan itu.

Sikap tawakal sangat bermanfaat ntuk mendapatkan ketenangan batin.


Ketika seseorang berhasil dalam usahanya maka dia tidak lupa bersyukur, tidak
sombong dan tidak membanggakan diri, sebaliknya jika mengalami kegagalan
atau musibah dia tidak akan putus asa dan tetap bersabar. Orang yang bertawakal
akan selalu tenang dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan segala
kemungkinan. Orang yang bertawakal akan selalu dicukupkan oleh Allah segala
keperluannya, Firman Allah: “…Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. At- Thalaq 65:3).
f. Syukur
Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukannya. Syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu hati, untuk ma’rifah
dan mahabbah, lisan untuk memuja dan menyebut asma Allah dan anggota badan
untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk taat kepada Allah
dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.

Bersyukur kepada Allah adalah mengetahui dan mengakui bahwa semua


yang didapatkan (misalnya kekayaan, jabatan, kedudukan, dsb.) adalah karunia
dari Allah Swt. Usaha yang yang dia lakukan hanyalah sebab atau ikhtiar semata.
Ikhtiar tanpa taufiq dari Allah tidak akan menghasilkan apa yang diinginkan.
Kemudian dia membuktikan rasa syukur itu dengan amal perbuatan yang nyata,
yaitu memanfaatkan kenikmatan yang diterima itu pada jalan yang diridhoi- Nya.

Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah Swt. bukanlah untuk kepentingan


Allah itu sendiri, karena Allah tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta ini,
melainkan justru untuk kepentingan manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana
Firman-Nya :

Artinya: “…Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur,
maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Luqman
31:12)
Artinya: “Dan ingatlah, ketika Tuhannu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim 14: 7).

g. Muraqabah
Muraaqabah berakar dari kata raqaba yang berarti menjaga, mengawal,
menanti dan mengamati. Semua pengertian ini tersimpul dalam satu kata yaitu
pengawasan.

Muraqabah yang dimaksud di sini adalah kesadaran seorang muslim bahwa dia
selaluberada dalam pengawasan Allah Swt.

Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah Swt dengan sifat ‘ilmu,
basher dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) Nya mengetahui apa saja
yang dia lakukan kapan dan di mana saja. Dia mengetahui apa yang dipikirkan dan
dirasakan oleh hamba-Nya. Tidak ada satupun dari aktivitas manusia yang luput dari
pengawasan-Nya. Firman Allah:

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang baik, tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.
Kesadaran akan pengawasan Allah Swt. akan mendorong seorang muslim
untuk selanjutnya melakukan muhasabah (perhitungan, evaluasi) terhadap amal
perbuatan, tingkah laku dan sikap hatinya sendiri. Muhasabah dapat dilakukan
baik sebelum maupun setelah seseorang melakukan suatu tindakan atau
beraktivitas. Sebelum berbuat seseorang harus memperhitungkan dulu segala
kemungkinan menyangkut penilaian baik dan buruknya, manfaat perbuatan itu dan
selalu menilai kembali motivasi yang melandasinya.

h. Taubat
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecenderungan untuk selalu
mendekatkan diri kepada Allah Swt. yaitu kecenderungan untuk selalu mentaati
semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Namun, di saat yang sama
manusia juga berpotensi untuk melakukan penyimpangan terhadap jalan hidup
atau aturan yang telah ditetapkan Allah Swt.

Taubat adalah sebuah kebijakan Allah untuk menerima kembali hamba-


Nya yang telah menjauhkan diri dari-Nya dan menginginkan untuk kembali ke
jalan yang benar setelah melakukan kesalahan-kesalahan. Bertaubat kepada
Allah memiliki makna kembali menuju ketaatan setelah melakukan
kemaksiatan, kembali dari segala yang dibenci oleh Allah menuju yang diridhai-
Nya, kembali pada Allah setelah meninggalkn-Nya dan kembali taat setelah
menentang-Nya.

Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan
akan tetapi orang yang baik adalah orang yang bersegera minta maaf setelah
melakukan kesalahan-kesalahan dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang
diperbuatnya serta melakukan kebiakan untuk menghapus keburukan itu. Firman
Allah :

“Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, dan iringilah perbuatan
jahat dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu akan menghapuskannya dan
pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Dari keterangan di atas bisa dipahami bahwa taubat merupakan jalan menuju
pintu pengampunan Allah Swt. bagi setiap manusia yang telah melakukan kesalahan
dan ingin menggapai kembali kasih sayang dan rahmat-Nya. Rasulullah saw
memberikan perumpamaan bagaimana kebaikan menghapuskan keburukan dengan
sabdanya:

“Perumpamaan orang yang mengerjakan perbuatan buruk kemudian


mengerjakan perbuatan baik adalah seperti seseorang yang terbelenggu oleh rantai-
rantai lalu dia melakukan kebaikan, maka terlepaslah satu ikatannya, kemudian dia
melakukan kebaikan lagi, maka terlepaslah dia dari rantai lainnya sampai ia benar-
benar terlepas.” (HR. Ahmad dan Thabrani)

Allah Swt. Maha penerima taubat. Betapapun besarnya dosa seorang


manusia, apabila dia bertaubat, Allah pasti mengampuninya. Tidak ada kata terlambat
untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalau nyawa sudah berada di
tenggorokan atau matahari sudah terbit di barat, pintu taubat memang sudah tertutup.
Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supaya


bertaubat orang yang berbuat salah siang hari. Dan Dia membentangkan
tangan-Nya pada siang hari, supaya bertaubat orang yang melakukan
kesalahan malam hari. Keadaan itu tetap terus hingga matahari terbit dari
barat.” (HR. Muslim).

Demikian beberapa contoh cara kita berinteraksi dengan Allah Swt. yang
harus kita bangun dalam keseharian sehingga terjalin kehidupan yang selaras dan
seimbang demi mencapai kebahagiaan yang hakiki.

2. Akhlaq terhadap Rasulullah saw

Akhlaq terhadap Rasulullah adalah cara kita beinteraksi secara tidak langsung
kepada Rasulullah saw. yang meliputi tata cara kita bersikap kepada beliau dan tata
cara kita berinteraksi dengan segala sesuatu yang dibawanya.

Contoh akhlaq terhadap Rasulullah diantaranya adalah mencintai dan


memuliakannya. Mencintai Rasulullah juga berarti mencintai orang- orang yang
dicintai oleh beliau dan membenci orang-orang yang dibencinya, lebih khusus lagi
mencintai dan memuliakan keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah melarang
umatnya mencela sahabat-sahabat beliau.

“Janganlah kamu cela sahabat-sahabatku. Andaikata seseorang diantara kamu


memberikan infaq emas sebesar gunung Uhud, tidak akan sampai menyamai
satu mud (infaq) salah seorang diantara mereka, bahkan setengah mud pun
tidak.” (HR. Bukhori).

Sesudah mencintai Rasulullah, kita juga berkewajiban menghormati dan memuliakan


beliau, lebih daripada menghormati dan memuliakan tokoh manapun dalam sejarah
umat manusia. Di antara bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap beliau adalah
tidak boleh mendahului beliau dalam mengambil keputusan atau menjawab
pertanyaan. Firman Allah swt:
Para sahabat, jika diajukan pertanyaan di dalam majlis yang dihadiri Nabi,
mereka tidak mau mendahului beliau menjawab, apabila dihidangkan makanan mereka
tidak akan memulai makan sebelum Nabi memulainya, kalau berjalan bersama Nabi
mereka tidak akan berada di depan. Para sahabat, karena sangat hati-hatinya menjaga
jangan sampai mendahului Rasulullah saw, apabila ditanya oleh Rasulullah biasanya
mereka menjawab dengan mengatakan “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”
sekalipun sebenarnya mereka tahu jawabannya.

Demikianlah sikap para sahabat memuliakan dan menghormati Rasulullah saw.


Bagi kita sekarang, Di mana secara fisik Rasulullah tidak lagi hadir bersama kita, tidak
mendahului beliau dimanifestasikan dengan tidak menetapkan suatu perkara sebelum
membahas dan menelitinya terlebih dahulu dalam Alquran dan Sunnah sebagai dua
warisan beliau yang harus selalu dipedomani.

Bentuk lain menghormati dan memuliakan Rasulullah adalah tidak berbicara


keras dihadapan beliau, Firman Allah :
(QS. Al-Huhurat 49: 2-3)

Sikap penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah dalam berbicara seperti


yang diuraikan di atas, dapat diteruskan oleh umatnya

sekalipun kita sudah tidak berjumpa dengan Nabi secara fisik, yaitu dengan tidak
mengeraskan suara di hadapan para ulama pewaris Nabi, dalam majlis yang sedang
dibacakan atau diajarkan warisan Nabi (Alquran dan Sunnah), dan juga masjid
Nabawi lebih khusus lagi di kuburan Nabi.

Sikap atau akhlaq kita terhadap Rasulullah yang lain adalah mengikuti dan
mentaati segala yang diajarkan kepada kita. Mengikuti Rasulullah adalah salah satu
bukti kecintaan seorang hamba terhadap Allah swt
Rasulullah saw, sebagaimana rasul-rasul yang lain, diutus oleh
Allahh swt untuk diikuti dan dipatuhi.

Apa saja yang datang dari Rasulullah saw. harus diterima, apa yang
diperintahkannya diikuti, dan apa yang dilarangnya ditinggalkan. Allah berfirman:
Ketaatan kepada Rasulullah saw. Bersifat mutlak, karena taat kepada beliau
merupakan bagian dari taat kepada Allah swt.

Mengikuti dan mematuhi Rasulullah berarti mengikuti segala aturan yang


dibawa oleh Rasulullah yang terlembagakan dalam Alquran dan Sunnah yang
merupakan dua warisan yang ditinggalkan Rasulullah untuk umat manusia sebagai
pedoman hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Bentuk interaksi dengan Rasulullah yang berikutnya adalah mengucapkan


shalawat dan salam untuknya. Sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt.
Perintah untuk bershalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dalam ayat
diatas menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya kedudukan beliau di sisi Allah
Swt. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan
shalawat dan salam kepada Nabi bukanlah karena Nabi membutuhkannya. Sebab
tanpa do’a dari siapapun beliau sudah pasti akan selamat dan mendapatkan tempat
yang paling mulia dan terhormat di sisi Allah Swt.
Ucapan shalawat dan salam dari orang-orang beriman, disamping merupakan
bukti penghormatan kepada beliau, juga untuk kebaikan kita sendiri. Sabda Nabi saw:
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka dengan shalawatnya
itu Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Ahmad).
“Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat
adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi).

Sebaliknya Nabi menyatakan bahwa orang yang tidak bershalawat ketika


mendengar nama beliau disebut adalah orang yang bakhil.
“Yang benar-benar orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku
dihadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi dan
Ahmad).

Demikian beberapa bentuk interaksi dengan Rasulullah yang masih dan terus
bisa kita lakukan sampai kapanpun, sebagai perwujudan keimanan kita kepada Allah
Swt.
3. Akhlaq Pribadi
Menurut Imam Al Ghozali, “akhlaq adalah sebuah keadaan yang tetap dalam
jiwa yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan
pemikiran lagi”. Perilaku seseorang akan mencerminkan akhlaq yang baik manakala
selalu dilandasi dengan nilai-nilai yang secara universal sudah diterima baik dalam
pandangan manusia maupun dalam pandangan Allah Swt. Oleh karenanya setiap
muslim harus menginternalisasi nilai-nilai atau sifat-sifat itu ke dalam dirinya
sehingga menjadi bagian dari kepribadiannya. Nilai-nilai itu diantaranya shidiq,
amanah, istiqamah, iffah, tawadhu’, malu, sabar, pemaaf dan sebagainya.
a. Shidiq
Shidiq artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong.

Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati,
benar perkataan dan benar perbuatan. Rasulullah memerintahkan setiap muslim
untuk selalu shidiq, karena sikap shidiq membawa kepada kebaikan, dan kebaikan
akan mengantarkannya ke sorga. Sebaliknya, beliau melarang umatnya
berbohong, karena kebohongan akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan
akan berakhir di neraka. Sabda Nabi:

“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa


kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke sorga. Seseorang yang selalu
jujur dan selalu mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orabf
yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan
membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang
yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh
Allah sebagai pembohong (kadzdzab) (HR. Bukhori).

Shidiq (benar) meliputi benar pekataan, benar pergaulan, benar kemauan,


benar janji dan benar kenyataan harus ditegakkan sekalipun dengan musuh, anak
kecil dan orang non muslim. Sabda Nabi : “Barangsiapa yang berkata kepada
anak kecil, mari kemari, saya beri korma ini. Kemudian dia tidak memberinya,
maka dia telah membohongi anak itu”. (HR. Ahmad). Termasuk bagian dari
kebohongan, yaitu berkhianat, mungkir janji, kesaksian palsu, fitnah dan
menggunjing.

b. Amanah
Amanah artinya dipercaya, seakar dengan kata iman. Sifat

amnah lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang semakin
pudar pula sifat amanah pada dirinya. Antara keduanya terdapat kaitan yang
sangat erat, sabda Nabi saw: “Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak
amanah, dan tidak (sempurna) agama orang yang tidak menunaikan janji.” (HR.
Ahmad).

Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan


mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam
pengertian yang lebih luas, amanah mencakup beberapa hal, diantaranya:
Menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya
sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, termasuk amanah
yang paling utama adalah menjalankan tugas-tugas yang dipikulkan oleh Allah
kepada manusia (amanah taklif).

Termasuk bentuk amanah yang lain adalah tidak menyalahgunakan jabatan


untuk kepentingan tertentu, menunaikan kewajiban dengan baik dan memelihara
semua nikmat yang diberikan Allah Swt..

c. Istiqamah
Secara etimologis, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen. Dalam
istilah akhlaq, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan
keislaman sekalipun menghadapi berbagai tantangan dan godaan. Seorang yang

istiqamah laksana batu karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser


sedikitpun walaupun dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung. Perintah
supaya beristiqamah sebagaimana dinyatakan oleh Allah :
Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi, yaitu hati,
lisan dan amal perbuatan. Seorang yang beriman haruslah istiqamah dalam ketiga
dimensi tersebut. Dia akan selalu menjaga kesucian hatinya, kebenaran perkataan
dan kesesuaian perbutannya dengan ajaran Islam.

d. Iffah
Secara etimologis, iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu- ‘iffah yang
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Juga berarti kesucian tubuh.

Secara terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala


hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Untuk menjaga
kehormatan diri tersebut, setiap orang haruslah menjauhkan diri dari perkataan
dan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya,
tidak saja dari hal-hal yang haram, bahkan kadang-kadang harus juga menjaga
dirinya dari hal-hal yang halal karena bertentangan dengan kehormatan dirinya.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah ditanya tentang amal apakah


yang dapat memasukkan ke dalam sorga? Beliau menjawab, “Taqwa kepada
Allah dan akhlaq yang baik.” Kemudian beliau juga ditanya tentang perbuatan
seperti apa yang dapat menjerumuskan orang masuk neraka? Beliau menjawab,
“Lidah dan kemaluan”. (HR. Tirmidzi)

Berkaitan dengan pernyataan di atas, seorang muslim dan muslimah


diperintahkan untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat menjerumuskan, seperti
mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak
melakukan perbuatan yang dapat mengantarkannya kepada perzinaan. Sebaliknya,
diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan cara berpakaiannya.
Firman Allah:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka


menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka

menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…”. (QS. An-Nur 24: 30-


31).

e. Tawadhu’
Tawadhu’ artinya rendah hati, kebalikan dari sombong atau takabur. Orang
yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih hebat dari orang lain, sementara
orang sombong menghargai dirinya secara berlebihan. Rendah hati berbeda
dengan rendah diri, sekalipun dalam prakteknya orang yang rendah hati cenderung
merendahkan dirinya di hadapan orang lain, tetapi sikap tesebut bukan lahir dari
rasa tidak percaya diri.
Sikap tawadhu’ adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan
Kemahakuasaan Allah atas semua hamba-Nya. Manusia adalah makhluk lemah
yang tidak pernah punya arti apa-apa di hadapan Allah Swt. Manusia dalam
kehidupannya selalu membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat dari Allah Swt.,
manusia tidak akan pernah mampu bertahan hidup kecuali dengan kasih sayang

dan pertolongan Allah Swt. Sikap tawadhu’ akan melahirkan kesadaran bahwa apa
saja yang dimiliki, baik bentuk fisik, ilmu pengetahuan, harta kekayaan, maupun
pangkat dan kedudukan adalah merupakan karunia Allah Swt.

Kesadaran yang demikian akan mengingatkan manusia bahwa sikap sombong


itu sama sekali tidak pantas bagi manusia, apalagi menyombongkan diri terhadap
Allah Swt.

Dengan sikap rendah hati, harkat dan martabat seseorang tidaka akan
menurun, bahkan akan mengangkatnya baik di mata masyarakat maupun di mata
Allah Swt. Nabi bersabda:

“Sedekah tidak akan mengurangi kekayaan seseorang, Allah tidak akan


menambahkan kepada seseorang yang pemaaf kecuali kemuliaan. Dan
tiadalah seseorang yang merendah hati karena Allah, melainkan Allah
akan meninggikan derajatnya”. (HR. Muslim).

Rendah hati adalah akhlaq terpuji di sisi Allah. Allah memerintahkan Nabi
untuk bersikap rendah hati dengan firmN-Nya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman”. (QS. As-Syuara: 215).

Jika Nabi yang sudah dijamin masuk surgapun masih diperintahkan untuk
berendah hati, kita sebagai pengikut beliau sudah barang tentu meneladaninya.

f. Malu
Malu atau dalam bahasa Arab al-hayaa-u, adalah sikap menahan segala
kecenderungan berbuat keburukan, kedzaliman, kekejian, kesewenang-wenangan
dan tindak kemaksiatan lainnya. Orang yang memiliki rasa malu akan
mendapatkan banyak kebaikan. Rasulullah bersabda:

“Sifat malu merupakan kumpulan kebaikan.” (HR. Muslim). Karenanya


siapa saja yang memiliki rasa malu, sungguh dia telah mendapatkan nikmat yang
sempurna dari Allah Swt. perasaan malu merupakan cirri yang sangat khas akhlaq
mulia dalam pandangan Islam. Sabda Nabi: “Setiap agama mempunyai akhlaq,
dan akhlaq Islam yang fundamental adalah rasa malu.” (HR. Imam Malik)

Perasaan malu juga merupakan akhlaq yang paling asli dan pokok pada
Rasulullah saw.

Sifat malu merupakan cabang dari perkara keimanan yang sangat penting,
karenanya jika seseorang sudah tidak memiliki rasa malu lagi, maka kan lepaslah
segala sifat baik dan mulia pada dirinya, bahkan akan tercerabut pula perasaan
kemanusiaannya. Seseorang yang tidak memiliki rasa malu cenderung akan
melakukan apa saja, tanpa mempedulikan akibat buuknya, sekalipun akan
menimpa dirinya sendiri maupun menimpa kehidupan masyarakat. Karenanya,
sabda Nabi yang cukup utama dan pokok adalah “Jika kamu tidak malu, maka
lakukanlah apa saja yang kamu mau.” (HR. Bukhori, Abu Daud dan Imam
Ahmad)

Kehidupan berbasis materialistis talah semakin mengikis sifat malu dari


diri seseorang. Dengan materi sebagai tolok ukur segala- galanya, nilai-nilai
akhlaq, nilai kemanusiaan, kejujuran dan kebaikan lainnya kian tereliminasi.
Budaya malu selayaknya menjadi sikap yang senantiasa melekat di semua lini
kehidupan, baik dia sebagai rakyat biasa, terlebih sebagai pejabat pemerintahan.
Seyogyanya mahasiswa juga menjadikan sikap malu ini sebagai landasan dalam
menjalani kehidupan kesehariannya, baik di kampus maupun di masyarakat luas.
Mahasiswa harus malu jika mencontek ketika mengikuti ujian karena hal ini akan
merugikan diri sendiri dan mengakibatkan tertutupnya keberkahan ilmu yang
didapatkan.

g. Sabar
Sabar, secara etimologis berarti menahan dan mengekang. Sedangkan
secara istilah, sabar bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai
karena mengharapkan ridha Allah. Tidak selamanya sesuatu yang tidak disukai itu
terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi, seperti musibah kematian, sakit,
kelaparan, kekurangan dan sebagainya, melainkan bisa juga berupa hal-hal yang
disenangi, misalnya segala kenikmatan dunia yang sangat disukai oleh hawa
nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari
mempertuhankan hawa nafsu.

Seorang muslim dituntut memiliki sifat sabar dalam berbagai situasi,


seperti sabar dalam menerima cobaan, sabar dari keinginan hawa nafsu, sabar
dalam taat kepada Allah, sabar dalam berdakwah, sabar dalam perang dan sabar
dalam pergaulan.

Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Alquran


mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya, antara lain
dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah: 24), syukur (QS. Ibrahim 14: 3),
tawakkal (QS. An-Nahl 16: 41-42) dan taqwa (QS. Ali Imran 3: 15-17). Hal ini
berarti bahwa sifat sabar adalah sifat yang mulia dan memiliki kedudukan yang
istimewa. Dan oleh karenanya, orang yang memiliki sifat sabar adalah orang yang
memiliki kemuliaan dan memiliki kedudukan yang istimewa.

Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar sudah barang tentu


menjadi suatu kebutuhan manakala seseorang menginginkan kesuksesan dunia
dan akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan pernah berhasil menjadi sarjana yang
sukses kalau tidak memiliki sifat sabar dalam menghadapi situasi sebagaimana
disebutkan di atas.

h. Pemaaf
Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain
tanpa harus menunggu orang yang bersalah meminta maaf kepada dirinya.
Menurut Quraish Shihab, tidak ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan untuk
meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf.

Sekalipun orang yang bersalah sudah menyadari kesalahannya dan berniat


untuk minta maaf, tetapi boleh jadi karena hambatan psikologis menyebabkan
seseorang tidak mau meminta maaf, seperti karena status sosialnya lebih tinggi
dan sebagainya. Tindakan memberi maaf sebaiknya diikuti dengan tindakan
berlapang dada, sebagaimana

Kebalikan dari sifat pemaaf adalah dendam, yaitu menahan rasa


permusuhan di dalam hati dan menunggu kesempatan untuk membalas. Seorang
pendendam tidak akan mau memaafkan kesalahan orang lain sebelum dia bisa
melampiaskan sakit hatinya. Orang yang enggan memberi maaf pada hakikatnya
enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt.
Sifat pendendam tidak hanya merusak pergaulan bermasyarakat tetapi akan
merugikan dirinya sendiri. Orang yang pendendam hatinya tidak akan pernah
tenteram dan dia akan semakin tersiksa dengan gejolak amarah yang ada dalam
dirinya.

Islam mengajarkan, apabila seseorang tidak mampu dengan segera


menguasai amarahnya terhadap orang lain yang menyakitinya, dia boleh
menghindar untuk menenangkan dan menguasai nafsu amarahnya. Rasulullah
memberi batas toleransi selama tiga hari, karena waktu tiga hari tersebut dianggap
sudah cukup untuk meredakan kemarahan. Setelah itu dia wajib kembali
menyambung persaudaraan kembali kepada sesama muslim. Sabda Nabi:

“Tidaklah halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari


tiga hari, keduanya bertemu tetapi saling memalingkan mukanya. Dan
yang paling baik diantara keduanya adalah yang memulai lebih dulu
mengucapkan salam.” (H. Muttafaqun ‘Alaihi).
4. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia
Ajaran Islam selain mengatur interaksi manunia dengan Allah Swt. juga
mengatur interaksi antara manusia dengan manusia. Diantara bentuk- bentuk interaksi
itu adalah interaksi antara anak dengan kedua orang tua, interaksi dengan keluarga dan
interaksi dengan masyarakat.

a. Akhlaq kepada Ibu Bapak


Ajaran Islam menempatkan orang tua pada posisi yang sangat istimewa
sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang sangat mulia dan
sebaliknya durhaka kepada keduanya menempati posisi yang sangat hina.

Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan
seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat dan mendidik anak-anaknya.

Begitu juga bapak, sekalipun tidak ikut mengandung dan menyusui, tapi dia
berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan
dan mendidika anaknya hingga mampu berdiri sendiri, bahkan sampai waktu yang
tidak terbatas. Firman Allah :

Dalam ayat diatas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada ibu bapak
dengan cara mengajak manusia untuk menghayati pengorbanan yang diberikan ibu
ketika mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik anaknya. Karena itu doa yang
diajarkan Allah untuk orang tua diungkapkan sedemikian rupa dengan mengenang jasa
mereka :
Dalam Islam, bentuk konkret hubungan baik antara anak dengan kedua orang tua disebut
dengan “Birrul walidain”.

Birrul walidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru atau al-birru artinya
kebajikan dan al-walidain artinya dua orang tua atau ibu bapak. Jadi, birrul walidain

adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Semakna dengan birrul walidain,
Alquran menggunakan istilah ihsan, sebagaimana firman-Nya :

Istilah Birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad saw.,


sebagaimana sabdanya:

“Diriwayatkan dari AbuAbdirrahman Abdullah ibn Mas’ud ra. Dia berkata: Aku
bertanya kepada Nabi saw.: Apa amalan yang paling disukai oleh Allah Swt? Beliau
menjawab: “Salat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau
menjawab: “Birrul Walidain”. Kemudian aku bertanya lagi: Seterusnya apa? Beliau
menjawab: “Jihad fi sabilillah” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Birrul walidain menempati kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam.


Perintah ihsan kepada ibu –bapak diletakkan oleh Allah Swt. setelah perintah
beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana Firman-Nya:

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu: “Janganlahkamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. (QS. Al-Baqarah
2: 83).
Firman Allah Swt.:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.


Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak….” (QS. An-Nisa’ 4:36)

Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk- bentuk perbuatan
antara lain: menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai benuk terima kasih dengan
cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, menaati perintah (bukan maksiat),
meringankan beban, serta menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi
berusaha.

Berbuat baik kepada orang tua tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi harus
berlangsung walaupun mereka telah meninggal dunia dengan cara mendoakan dan
meminta ampunan untuk mereka, menepati janji mereka yang belum terpenuhi,
meneruskan silaturahmi dengan sahabat-sahabat sewaktu mereka hidup. Hal ini
diungkapkan Nabi:
Dari Abi Usaid is berkata: Ketika kami duduk disisi Rasulullah saw, tiba- tiba
datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah saraya bertanya: “Ya Rasulullah,
apakah masih bisa saya berbuat baik, kepada kedua ibu bapakku sedangkan mereka
telah meninggal dunia?” Rasulullah menjawab: “Ya, (yaitu dengan jalan) mendoakan
keduanya, meminta ampun bagi keduanya, menepati janji keduanya, memelihara
silaturahmi yang pernah dibuat keduanya dan memelihara teman-temannya. (Hadis
riwayat Abu Daud).

Berdasarkan semuanya itu, tentu sangat wajar, normal dan sangat logis jika
seorang anak dituntut untuk berbuat kebaikan sebaik- baiknya kepada kedua orang
tuanya, dan dilarang keras mendurhakai keduanya. Bahkan orang tua (lebih-lebih ibu)
harus mendapatkan prioritas utama untuk dibantu dibandingkan dengan orang lain.

Sabda Nabi saw:

“Siapakah yang paling berhak aku Bantu dengan sebaik-baiknya? Jawab Nabi:
“Ibumu”. Kemudian siapa? Jawab Nabi: “Ibumu” Lalu siapa lagi? Jawab Nabi:
“Ibumu”, Lalu siapa lagi? Jawab Nabi: “Bapakmu” (QS. Bukhori dan Muslim).

Kebalikan dari “birrul walidain” adalah “‘Uququl walidain” yang berarti


mendurhakai orang tua. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa Allah Swt.
menempatkan perintah birrul walidain langsung sesudah perintah untuk beribadah
kepada-Nya, maka sebaliknya Allah Swt. pun menempatkan ‘uququl walidain sebagai
dosa besar dalam urutan kedua setelah syirik. Sabda Nabi saw:

“Dosa-dosa besar adalah: mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua,
membunuh orang dan sumpah palsu”. (HR. Bukhori).

Durhaka kepada kedua orang tua adalah dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah
Swt, sehingga azabnya disegerakan Allah di dunia ini.

Sabda Nabi saw:


“Semua dosa diundurkan oleh Allah (azabnya) sampai waktu yang dikehendaki-Nya
kecuali durhaka kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah menyegerakan
(azabnya) untuk pelakunya di waktu hidup di dunia ini sebelum dia meninggal.”
(HR. Hakim).

Sabdanya pula:

“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb
(Allah) ada pada kemarahan orang tua.” (HR. Tirmidzi).

Bentuk pendurhakaan terhadap orang tua bermacam-macam dan bertingkat-


tingkat, mulai dari mendurhakai dalam hati, mengomel, mengatakan ah (uffin,
berkata kasar, menghardik, tidak menghiraukan panggilannya, tidak pamit, tidak

patuh) dan tindakan-tindakan lain yang membuat orang tua kecewa dan sakit hati.
Firman Allah swt :

Demikianlah ajaran Islam tentang tata cara berinteraksi dengan kedua orang tua
yang telah diabadikan oleh Allah Swt. dalam Alquran dan telah dicontohkan oleh Nabi
saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

b. Akhlaq kepada Keluarga


Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di antara
anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komonikasi. Komunikasi dalam
keluarga diungkapkan dalam bentuk perhatian baik melalui kata-kata, isyarat-isyarat
maupun prilaku. Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan
dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari
komunikasi orang tua dan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian
sebaliknya akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu kasih sayang
harus menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam keluaraga.

Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin, keakraban,
dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan diantara
mereka. Dengan demikian rumah bukan hanya menjadi tempat menginap (house),
tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal (home) yang damai dan menenangkan,
menjadi surga bagi para penghuninya. Melalui komunikasi itu pula dilakukan
pendidikan dalam keluraga, yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak
sebagai landasan bagi pendidikan yang akan mereka terima pada masa-masa
selanjutnya.

Pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga akan menjadi ukuran utama bagi
anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka diluar rumah. Dengan
dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat menjaring segala pengaruh yang datang
kepadanya. Sebaliknya anak-anak yang tidak dibekali nilai dari rumah, jiwanya kosong
dan akan mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan di luar rumah . inilah yang
dimaksud dengan ayat :

Nilai esensial yang didikkan kepada anak di dalam keluarga adalah aqidah,
yaitu keyakinan tentang eksistensi Allah. Apabila keyakinan terhadap Allah ini
telah tertanam dalam diri anak sejak dari rumah, maka kemanapun ia pergi dan
apapun yang dilakukannya akan hati-hati dan waspada karena selalu merasa
diawasi oleh Allah Swt.

c. Akhlaq terhadap Masyarakat


Menurut Alquran, manusia secara fitri adalah makhluk sosial, dan hidup
bermasyarakat merupakan merupakan suatu keniscayaan bagi mereka. Dalam
Surat Al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari laki-laki dan
perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal.

Dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim harus dapat berhubungan


baik dengan masyarakat yang lebih luas, baik di lingkungan pendidikan, kerja,
sosial dan lingkungan lainnya. Baik dengan orang-orang yang seagama maupun
dengan pemeluk agama lainnya.

Pada dasarnya, tidak ada bedanya antara tata cara pergaulan bermasyarakat
sesama Muslim dengan non-Muslim. Kalaupun ada perbedaan, hanya terbatas
dalam beberapa hal yang bersifat ritual keagamaan.

Untuk terciptanya hubungan baik bagi sesama Muslim dalam masyarakat,


setiap orang harus mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing sebagai
anggota masyarakat. Hal ini tercermin dalam sebuah hadits Nabi saw:

“Kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima: Menjawab


salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jnazah, memenuhi
undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR. Khamsah).

Dari hadits yang singkat ini, Rasulullah saw. telah menerangkan beberapa hal
yang terkait dengan etika hubungan antara seorang muslim dengan Muslim
lainnya. Enam hal ini adalah etika pokok yang harus dijalankan oleh seseorang
Muslim dalam kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan Muslim lannya.

Tujuan digariskannya interaksi anta Muslim oleh Rasulullah ini tidak lain
kecuali agar hubungan mereka terjalin dengan baik dan kokoh, sehingga
terciptalah kasih sayang, kedekatan dan cinta kasih mendalam di antara mereka.
Ini sebagaimana tergambar dalam hadits Nabi:
“Perumpamaan arang-orang Muslim dalam cinta dan kasih sayang di
antara mereka adalah seperti halnya stu tubuh. Kalau salah satu anggota
tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh juga merasa panas dan pening”.
(HR. Bukhori dan Muslim).

Selain beberapa etika di atas, kewajiban seorang Muslim dengan Muslim


yang lainnya adalah menghadiri undangan tpat pada waktunya. Dalam buku
Hayatu Muhammad Husain Haikal menceritakan bahwa Nabi saw. selalu
menghadiri setiap undangan yang dilayangkan oleh para sahabatnya. Beliau tidak
pernah pilih-pilih undangan, apakah itu orang kaya atau miskin, semua kalau tidak
ada halangan akan didatanginya.

Salah satu etika yang juga patut diperhatikan dalam berinteraksii dengan
sesama Muslim adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Hal ini adalah
kewajiban yang melekat pada setiap muslim ketika melihat kemunkaran di tengah-
tengah kehidupan kita. Sabda Nabi saw:

“Barangsiapa salah satu diantara kamu melihat kemunkaran hendaknya


dia mengubahnya dengan tangannya, dan kalau tidak mampu hendaknya
dengan lisannya, dan kalau tidak mampu, hendaknya dengan hatinya, dan
mengubah dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Walaupun pemberian nasihat sangat ditekankan dalam Islam, tetapi pemberian


nasihat kepada orang lain itu juga ada tata cara atau aturannya. Diantaranya
adalah, nasihat diucapkan dengan lemah lembut tanpa menyinggung perasaan
orang yang dinasihati. Salah satu cara agar sebuah nasihat bisa diterima adalah
penasihat memang melaksanakan apa yang dinasihatkan. Pemberi nasihat tidak
hanya mengucapkan tanpa pernah melakukannya. Pemberi nasihat harus terlebih
dahulu menjadi tauladan bagi orang lain.

5. Akhlaq Kepada Lingkungan Hidup


Manusia dianugerahi Allah Swt karunia yang melimpah di seluruh penjuru
bumi ini berupa kekayaan alam untuk dimanfaatkan sebaik mungkin bagii kepentingan
dan kesejahteraan seluruh makhluq hidup yang ada di dalamnya. Semua benda yang
ada di bumi pada dasarnya boleh dimakan kecuali yang jelas-jelas diharamkan oleh
Allah Swt.

Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada


manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup, sebagaimana firman Allah

swt.

Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagaii khalifah
di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola, dan
melestarikan alam. Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya alam sehingga
dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri.
Allah menyediakan bumi yang subur untuk disikapi oleh manusia dengan kerja keras

mengolah dan memeliharanya sehingga melahirkan nilai tambah yang tinggi,


sebagaimana firman-Nya :
Kekayaan alam yang berlimpah disediakan Allah untuk disikapi dengan cara
mengambil dan memberi manfaat dari dan kepada alam serta melarang segala bentuk
perbuatan yang merusak alam. Firma Allah :

Pengelolaan alam dan lingkungan dengan baik akan dapat memberi manfaat
yang berlipat-lipat, begitu pula sebaliknya alam yang dibiarkan merana atau hanya
diambil manfaatnya secara berlebihan akan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan
itu sendiri. Pemanaatan sumber daya alam yang hanya mengejar keuntungan ekonomis
yang bersifat sementara akan mendatangkan kerusakan alam yang parah dan tidak bisa
direhabilitasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun.

Dalam Islam ada aturan yang mungkin dapat dianggap sebagai latihan atau
cetak biru untuk mengendalikan diri dalam berinteraksi dengan alam, yaitu ketika
sedang melakukan ihram, seseorang dilarang mencabuti tumbuhan dan berburu
binatang.

Rasulullah pernah menegaskan tidak boleh dirusaknya tumbuhan tanpa


ditanam kembali, dan siapa saja yang menanam pohon untuk kelestarian alam ini atau
untuk tempat berteduh manusia, dia akan mendapatkan nilai kebajikan yang begitu
besar. Nabi bersabda: “Tidak seorangpun menanam tanaman kecuali ditulis baginya
pahala sesuai dengan buah yang dihasilkan oleh tanaman itu.” (HR. Ahmad)

Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa setiap orang yang menanam pohon untuk
kelestarian alam, keseimbangan alam, kesejukan hawa, dan berbagai fungsi positif
lainnya, demi menjalankan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini, maka dia akan
mendapatkan nilai kebajikan dari setiap perbuatannya itu.

Berakhlaq kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan mengembangkan


hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Pada intinya, etika Islam terhadap
alam semesta hanya mengajarkan satu hal saja yaitu perintah jangan membuat
kerusakan di muka bumi. Namun, perintah inii mempunyai derivasi yang cukup luas
mulai dari menjaga kebersihan bumi, tidak bersikap sewenang-wenang terhadap alam,
tidak mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan sendiri, dan himbauan
untuk memperbaiki kembali sumber daya alam yang telah rusak oleh ulah pihak yang
tidak bertanggung jawab.

Kerusakan alam dan ekosistem di lautan dan di daratan terjadi akibat manusia
tidak sadar, sombong, egois, rakus dan angkuh dan hal itu merupakan bentuk akhlaq
yang buruk dan sangat tidak terpuji. Seorang ilmuan pernah mengatakan, “Bumi ini

akan cukup memenuhi kebutuhan bermilliar-milliar manusia, akan tetapi tidak cukup
memenuhi keserakahan satu orang saja”.
Islam mengingatkan, sekalipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia,
namun semua yang ada ini adalah milik Allah Swt. Hal ini akan mengantarkan
manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada di dalam genggaman
tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjwabkan. “Setiap
jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara,
dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban

manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya” demikian kandungan


penjelasan Nabi saw tentang firman-Nya yang berbunyi: “Kamu sekalian pasti akan
diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)” (QS. At-
Takatsur 102: 8)

Islam mengingatkan, sekalipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia, namun semua
yang ada ini adalah milik Allah Swt. Hal ini akan mengantarkan manusia kepada kesadaran
bahwa apapun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang
harus dipertanggungjwabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin
sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan
dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya”
demikian kandungan penjelasan Nabi saw tentang firman-Nya yang berbunyi: “Kamu
sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)”
(QS. At-Takatsur 102: 8)

Dengan demikian manusia bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber
daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia. Firman
Allah

Pernyataan Tuhan dalam ayat di atas mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan
juga harus berpikir dan bersikap demii kemaslahatan semua pihak. Manusia tidak boleh
bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadap lingkungan alam.

C. TOLERANSI DALAM ISLAM


Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang bermasyarakat. Manusia tidak bisa hidup sendiri dalam kondisi terasing tanpa
berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi dengan manusia lain merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Sebab tidak ada satupun manusia yang
hidup di dunia ini yang tidak butuh dengan orang lain, baik itu kebutuhan materiil maupun
non materiil. Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan itulah yang kemudia memaksa manusia
untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain.
Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang begitu majemuk dan plurall jenis
penduduknya, maka sudah menjadi suatu kenyataan bahwa interaksii dengan orang lain
merupakan kebutuhan yang mendesak. Ada beragam suku dan agama yang dianut oleh
masyarakatnya. Dengan toleransi sebagai landasan untuk berinteraksi maka memungkinkan
terjalinnya kesatuan dan kerukunan antar warga di dalamnya
Demikian juga dengan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas dii Indonesia, tetapi
mereka tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan untuk berinteraksi dengan agama-agama
lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga sebaliknya, pemeluk agama lain
mau tidak mau harus berinteraksi dengan penganut Islam sebagai salah satu sarana untuk
memenuhi kebutuhannya.
kebutuhan hidupnya. Demikian juga sebaliknya, pemeluk agama lain mau tidak mau
harus berinteraksi dengan penganut Islam sebagai salah satu sarana untuk memenuhi
kebutuhannya.
Masing-masing pemeluk agama memang harus saling mengenal, gotong royong, saling
membantu dan saling menghormati. Sebab tanpa itu kiranya kehidupan berbangsa dan
bernegara akan mengalami disharmonisasi. Konflik horizontal antara pemeluk agama di
berbagai belahan negeri Indonesia akan cukup mewarnai perjalanan hidup nusantara tercinta
ini.
Dalam interaksi dengan pemeluk agama lain, Islam telah membuat beberapa garis besar
etika yang perlu diterapkan. Dengan tujuan selain mempertinggi harkat dan martabat Islam
itu sendiri, nantinya terwujud hubungan yang harmonis antara para pemeluk agama.
Sebelum bergerak dalam tindakan etika secara praksis, kiranya perlu dipahami dulu
ketentuan Allah tentang adanya pemeluk agama lain. Alquran banyak sekali menyinggung
mengenai pemeluk agama lain selain Islam. Seperti ditetapkan oleh Alquran, pada satu sisi
umat Islam harus meyakini bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar di sisi
Allah, sementara di lain pihak harus diyakini pula bahwa Allah menciptakan dalam bergam
agama. Artinya, keneradaan pemeluk agama lain merupakan sebuah kehendak dan hukum
Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat
Pluralisme adalah sebuah hukum Tuhan yang diterapkan di alam ini agar tercipta
keseimbangan. Tujuan pluralisme itu sendiri adalah agar manusia saling mengenal satu sama

lain, sebagaimana firman Allah:

Hal ini sebagaimana tujuan Rasulullah diutus ke dunia ini, yang tidak hanya
diperuntukkan bagi sekelompok manusia saja, melainkan diutus untuk menjadi rahmat bagi
sekalian alam.
1. Bentuk-bentuk Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Lain:
a. Dialog secara Baik dan Saling Menghormati
Prilaku dan dialog yang baik dengan penganut agama lain dilakukan dengan tujuan saling
menghormati keyakinan masingmasing. Firman Allah:
Dialog dengan cara yang baik juga bertujuan untuk menghindari terjadinya benturan dan
konflik antar pemeluk agama, sehingga hal ini justru akan merusak kemuliaan dan keluhuran
Islam itu sendiri.
b. Tidak Boleh Menghina Sesembahan Mereka
Persoalan yang bersifat teologis sangat rentan untuk diperdebatkan, karena akan
memunculkan konflik antar agama. Islam melarang praktik penghujatan terhadap
sesembahan agama lain, karena justru akan menjadi bumerang bagi penghujat sendiri,
Firman Allah:

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki berhala-erhala yang mereka sembah selain
Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampauai batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah, mereka kembali, lalu Dia
memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am:
108).
C. Toleransi Pada Keyakinan Masing-masing
Prilaku toleransi atau tenggang rasa terhadap pemeluk agama lain adalah
sebuah kemestian, karena kita tidak dapat memaksakan keyakinan agama kita kepada
mereka. Sebab mereka sudah beragama, dan memang di Indoneia tidak
diperkenankan untuk menyerukan agama kepada pemeluk agama lain. Firman Allah:

Toleransi juga perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan menghormati


praktik-praktik peribadatan agama lain
D. Tolong Menolong
Tolong menolong dalam urusan sosial harus dilakukan sekalipun kepada
orang kafir dzimmi (orang kafir yang hidup berdampingan dengan umat Islam).
Keberadaan mereka sama sekali tidak ingin memerangi umat Islam tetapi malah ingin
hidup bersaudara. Dalam hal ini umat Islam wajib melindungi dan menolong mereka
kalau mereka dalam kesusahan dan penderitaan. Tetapi dalam urusan keyakinan umat
Islam tidak boleh campur tangan, karena hal itu merupakan urusan rumah tangga
masing-masing pihak.
E. Menepati Janji dengan Mereka Selama Mereka Menepati Janji
Rasulullah pernah mengadakan perjanjian dengan pemeluk agama lain yang
dikenal dengan “Piagam Madinah” agar di Madinah tercipta iklim keberagamaan
yang kondusif dan harmonis, yang intinya mempertahankan sikap saling
menghormati dan tidak saling mengganggu antar pemeluk agama. Rasulullah
berusaha sekuat tenaga menepatii perjanjian itu walaupun pihak-pihak lawan
berusaha melanggarnya.
F. Senantiasa Berbuat Adil
Keadilan adalah sesuatu yang mutlak tanpa mengenal agama dan warna kulit.
Firman Allah:

G. PENUGASAN
Setelah saudara mempelajari materi pertemuan pada sesi kali ini buatlah makalah
atau paper secara individu dengan tema “ toleransi dalam Islam”
Ketentuan :
1. Font times new roman space 1.5 margin 3.4.3,3
2. Minimal halan 8 lembar dan maksimal 10 lembar tidak termasuk Cover dan
daftar pustaka
3. Minimal mengambil rujukan 3 dari buku dan 5 dari jurnal baik nasional
maupun internasional

PERTEMUAN KE 12

A. PENGANTAR
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini. Saudara mahasiswa yang
saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada pertemuan sesi kedua belas .
Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga mampu menuntaskan
pertemuan sesi ini. Setelah mengikuti pembelajaran ini mahasiswa diharapkan dapat
memahami materi mengenai wawasan islam moderat berikut dibawah ini materi saya
lampirkan mohon dipelajari dengan

Anda mungkin juga menyukai