OVERVIEW
Perspektif pengukuran dalam pelaporan keuangan (financial reporting) adalah
sebuah pendekatan dimana akuntan mengambil sebuah tanggung jawab untuk
menggabungkan nilai wajar (fair values) dalam laporan keuangan (financial
statement) yang tepat, dengan tetap memperhatikan reliabilitas. Hal ini memberikan
sebuah kewajiban tambahan untuk memberikan informasi kepada investor sehingga
dapat digunakan untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa depan.
Ketika tidak mungkin bahwa perspektif pengukuran akan ‗mengganti basis biaya
historis dari akuntansi, maka kemungkinan menjadi suatu masalah dimana
keseimbangan relatif dari informasi berbasis biaya dibandingkan dengan informasi
berbasis fair-value dalam laporan keuangan bergerak dalam arah fair value.
Mungkin hal ini aneh, dari masalah teknik seperti RRA dan akuntansi biaya
langsung sudah terjadi. Tujuan dari chapter ini adalah untuk mengetahui alasan
yang mendasari tekanan dari current values.
Alasan pertama terkait dengan rasionalitas investor dan efisiensi pasar sekuritas,
dimana ternyata pasar sekuritas tidak seefisien yang dipercaya sebelumnya.
Alasan lain perubahan ke pendekatan pengukuran didorong dari variabilitas proporsi
rendah harga saham yang dijelaskan oleh historical based net income, dari Ohlson
clean surplus teori yang mendukung peningkatan pengukuran dan liabilitas legal
dimana akuntan mengungkapkan ketika perusahaan mengalami masalah finansial.
b. Prospect Theory
Teori prospek memberikan alternatif berdasar perilaku pada teori keputusan
rasional. Berdasarkan teori ini, investor yang mempertimbangkan investasi berisiko
akan secara terpisah mengevaluasi keuntungan dan kerugian prospektif. Teori ini
berlawanan dengan teori keputusan dimana investor mengevaluasi keputusan yang
dibuat dalam konteks menilai akibatnya terhadap total kekayaan yang mereka miliki.
Ini merupakan implikasi dari konsep psikologis narrow framing, dimana individu
menganalisis masalah di dalam lingkup yang sanagat tertutup sebagai cara
penghematan dari usaha mental atas pembuatan keputusan.
Teori prospek mengasumsikan loss aversion, perilaku dimana individu tidak
menyukai kerugian walaupun sangat kecil. Hal ini menyebabkan efek disposisi,
dimana investor menunjukkan perilaku pengambil risiko dengan respek pada rugi,
investor menahan saham saat rugi (loser) dan menjual saham saat laba (winner),
dan mungkin membeli lebih pada saham yang rugi.
Teori prospek juga mengasumsikan bahwa ketika individu mengkalkulasikan
perkiraan nilai dari suatu prospek, individu under/overweight probabilitas mereka.
Underweighting probabilitas merupakan bagian dari over confidence, sedangkan
overweighting probabilitas merupakan bagian dari representativeness. Tendensi ini
dapat mengakibatkan pada asumsi ―terlalu rendah atas probabilitas state yang
akan terjadi, dan ―terlalu tinggi atas probabilitas state yang mungkin tidak akan
terjadi.
Kombinasi dari evaluasi terpisah atas untung dan rugi serta weighting/pembobotan
dari probabilitas dapat mengakibatkan variasi luas dari perilaku irasional. Misalnya,
investor menghindar dari pasar saham karena ketakutan atas rugi atau mungkin
underreact atas badnews dengan tetap menahan saham untuk menghindari realisasi
rugi atau bahkan membeli lebih banyak saham loser walaupun menambah risiko.
c. Is Beta Dead?
Implikasi dari CAPM adalah beta saham, yaitu determinan spesifik perusahaan
tunggal atas harapan pengembalian dari saham.
Fama dan French (1992) menemukan bahwa beta dan CAPM memiliki kemampuan
kecil dalam menjelaskan return saham. Mereka menemukan bahwa book-to-market
ratio dan ukuran perusahaan (firm size) lebih signifikan menjelaskan keuntungan
sekuritas. Daripada melihat beta, lebih baik melihat book-to-market ratio dan ukuran
perusahaan sebagai ukuran risiko. Risiko akan meningkat dengan meningkatkanya
book-to-marke ratio dan menurun dengan semakin besarnya ukuran perusahaan.
Hasil penelitian Fama dan French ini menjadikan beta ―mati.
Sebaliknya, Kothari, Shanken, dan Sloan (1995) menemukan bahwa dalam jangka
waktu lama (1941-1990), beta merupakan prediktor signifikan atas return. B/M juga
sebagai prediktor return, tetapi relatif lemah.
Behavioral Finance menyediakan perspektif yang berbeda atas validitas CAPM dan
Beta. Perilaku return saham tidak konsisten dengan CAPM dipandang sebagai bukti
dari ketidakefisienan pasar. Daniel, Hiershleiferk,dan Subrahmanyam (2001)
menyajikan model yg mengasumsikan dua tipe investor, rasional dan
overconfidence. Karena investor rasional, beta saham berhubungan positif dengan
returnnya, sebagaimana pada CAPM. Sedangkan untuk investor overconfidence
bereaksi berlebihan terhadap informasi yang dikumpulkan sendiri, yang mendorong
B/M terlalu tinggi atau rendah. Semakin lama, harga saham beralih ke level efisien
saat overconfidence terungkap. Sehingga hasilnya, beta dan B/M berelasi positif
terhadap return masa depan. Berdasarkan Daniel, Hiershleiferk,dan
Subrahmanyam, relasi positif B/M terhadap return masa depan yang ditemukan oleh
Fama and French tidak didorong oleh investor rasional yang melindungi diri dari
kesulitan keuangan, tetapi didorong oleh overconfidence.
Status CAPM dan implikasinya pada Beta tidak jelas. Beta mungkin berubah selama
ini, tidak stationary. Dari sudut pandang akuntansi, luas beta bukan ukuran risiko
spesifik perusahaan yang relevan, dimana beta hanya meningkatkan peran laporan
keuangan dalam melaporkan informasi berisiko, yang artinya bahwa beta is not
dead. Bagaimanapun juga, beta berubah sepanjang waktu dan secara berangsur-
angsur memiliki status sebagai ukuran risiko dengan variable berdasar akuntansi.
d. Excess Stock Market Volatility
Pertanyaan mengenai apakah pasar efisien didorong dari bukti bahwa adanya
volatilitas harga saham ekses pada level pasar. CAPM beranggapan bahwa beta
dan tingkat bunga bebas risiko konstan, hanya perubahan dalam return pada
portofolio pasar (E(RMT)) yg menyebabkan perubahan dalam return saham-j.
Determinan fundamental E(RMT) adalah dividen harapan agregat di antara semua
perusahaan dalam pasar. Semakin tinggi dividen harapan agregat, semakin banyak
investor akan investasi dalam pasar yang menyebabkan permintaan saham dan
menyebabkan indeks pasar naik, dan sebaliknya. Akibatnya, jika pasar efisien,
perubahan dalam E(RMT) seharusnya tidak menyebabkan perubahan dalam dividen
harapan agregat.
Shiller (1981) menemukan bahwa variabilitas indeks pasar beberapa kali lebih besar
daripada variabilitas dividen agregrat yang menunjukkan bahwa pasar tidak efisien.
Penjelasan yang mungkin dari ketidakefisienan ini adalah faktor keperilakuan
meningkatkan volatilitas pasar saham. Sebagai contoh, Model momentum Daniel et
al. (2001) mengimplikasikan volatilitas pasar ekses seperti harga menaik (overshoot)
dan kemudian jatuh lagi. Shleifer et al. (1990) mempunyai argumen yang berbeda.
Menurut mereka, ada dua investor, yaitu rasional dan berumpan balik positif.
Berumpan balik positif yaitu investor membeli saham ketika harganya mulai naik,
dan sebaliknya. Sedangkan Rasional, investor akan menjual singkat (sell short ),
mengantisipasi turunnya harga yang akan mengikuti harga menaik yang disebabkan
oleh pembelian investor berumpan balik positif. Sebagai hasilnya, terdapat kelebihan
volatilitas di pasar karena harga pasar terus meningkat meskipun investor rasional
percaya bahwa harga saham melebihi nilai pasar efisien.
Penjelasan lain atas temuan Shleifer et al. adalah dividen adalah spesifik untuk
sebagian besar perusahaan. Variabilitas dividen antara perusahaan dapat
didiversifikasikan pada portofolio yang luas, sehingga kita tidak memperkirakan
bahwa variabilitas agregat dividen untuk menjelaskan variabilitas dari index pasar
saham.
Sadka et al. (2009) membandingkan variabilitas dari earnings terhadap variabilitas
return pasar saham. Mereka menemukan bahwa proporsi signifikan dari variabilitas
earning dijelaskan dari faktor ekonomi, dimana variabilitas earnings tidak dapat
didiversifikasikan. Mereka juga menemukan bahwa earning agregat dan return pasar
saham berkorelasi signifikan dan variabilitas earnings menjelaskan porsi signifikan
dari variabilitas return. Variabilitas index pasar saham tidak melebihi earnings, hasil
ini lebih konsisten dengan efisiensi pasar sekuritas dibanding temuan Shiller.
e. Stock Market Bubbles
Stock market bubbles adalah harga saham meningkat jauh dari nilai rasional yang
menggambarkan kasus ekstrim dari volatilitas. Bubbles berdasarkan Shiller didorong
dari kombinasi bias self attribution dan momentum, trading umpan balik positif, dan
perilaku yang didorong dari prediksi optimis media dari ahli pasar. Shiller
membuktikan bahwa perilaku bubble dapat terjadi suatu waktu, dan sulit diprediksi
kapan berakhirnya. Secepatnya, hal ini akan Meletus karena peningkatan
kepercayaan, seperti gangguan resesi dan peningkatan inflasi.
Namun demikian, perkembangan bubble tidak serta merta mengkontradiksi efisiensi
pasar, tergantung apakah informasi tersedia atau tidak pada saat itu untuk
mempredikasi risiko ini.
f. Diskusi Efisiensi Pasar Saham Vs Behavioural Finance
Secara kolektif, teori behavioural finace dan bukti yang telah didiskusikan
sebelumnya meningkatkan pertanyaan mengenai seberapa jauh efisiensi pasar
sekuritas dan perilaku rasional investor. Fama mengevaluasi bukti ini dan
menyimpulkan bahwa hal ini tidak menjelaskan gambaran besarnya. Walaupun
terdapat bukti inkonsisten dengan efisiensi, tidak terdapat teori alternatif yang
memprediksi dan mengintegrasikan bukti anomali. Misalnya, teori untuk
memprediksi kapan pasar akan overreact atau underreact.
Shleifer (BSV) menggambarkan konsep perilaku konservatif untuk menjelaskan
underreaction. Investor konservatif mengentengkan/underweight relasi bukti baru
terhadap informasi sebelumnya. Sehingga harga saham underreacts, relatif
terhadap reaksi pasar efisien, naik atau turun sampai evaluasi benar-benar terjadi
berdasarkan laporan penghasilan di masa depan.
Sedangkan untuk overreaction, BSV menggambarkan dalam representativeness.
Pada saat investor mengobservasi penghasilan perusahaan yang terus meningkat
sepanjang waktu, investor akan menganggap ini sebagai perusahaan berkembang,
mengesampingkan fakta bahwa kenyataan perusahaan berkembang sangatlah
jarang. Sehingga direlasikan dengan pasar efisien, harga saham overreacts
terhadap laporan penghasilan.
Hirshleifer&Teoh (2003) membuat model dimana sebagian nvestor adalah rasional
sepenuhnya, sedangkan sebagian sisanya memiliki limited attention yang
mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengolah informasi publik yang tersedia.
Limited Attention mempengaruhi interpretasi investor atas informasi. Sehingga pasar
akan underreacts terhadap informasi tambahan. Misalnya, diasumsikan pesent
values dari cadangan (minyak) menurun tajam tahun ini. Hirshleifer&Teoh
memprediksi bahwa pasar akan underreacts terhadap informasi ini karena investor
dengan kemampuan terbatas untuk mengolah informasi hanya berkonsentrasi
terhadap laba bersih perusahaan, mengabaikan informasi RRA yang ada di dalam
MD&A atau catatan laporan keuangan. Membawa current value accounting untuk
cadangan pada pernyataan keuangan secara baik akan memudahkan investor untuk
mengetahui implikasi dari kinerja perusahaan di masa depan dan mempercepat
reaksi pasar.
Hal ini diperkuat dengan bukti empiris oleh Ahmed et al. (2006), dimana mereka
menemukan tidak terdapat reaksi signifikan harga saham atas nlai derivativ yang
diungkapkan sebagai informasi tambahan, tetapi terdapat reaksi positif signifikan
ketika pengungkapan tersebut terdapat pada neraca.