Anda di halaman 1dari 64

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

PEDOMAN
PELAYANAN GIZI STUNTING DAN WASTING

Jakarta, September 2022


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI.............................................................................................................. i

KEP PEMBERLAKUAN PEDOMAN PELAYANAN GIZI STUNTING DAN WASTING............... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

BAB II STRUKTUR ORGANISASI ........................................................................ 4

BAB III FASILITAS................................................................................................. 6

BAB IV TATALAKSANA PELAYANAN................................................................... 7

BAB V LOGISTIK .................................................................................................. 8

BAB VI KESELAMATAN PASIEN .......................................................................... 9

BAB VII KESELAMATAN KERJA............................................................................ 11

BAB VIII PENGENDALIAN MUTU ........................................................................... 12

BAB X PENUTUP.................................................................................................. 13
LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN POLRI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA

KEPUTUSAN KARUMKIT BHAYANGKARA LEMDIKLAT


POLRI NOMOR : KEP / / IX / 2022

TENTANG

PEMBERLAKUAN PEDOMAN PELAYANAN GIZI STUNTING DAN WASTING


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA LEMDIKLAT POLRI

KARUMKIT BHAYANGKARA LEMDIKLAT POLRI

Menimbang : Bahwa dalam rangka kelancaran program Pelayanan Gizi Stunting


dan Wasting Rumah Sakit Bhayangkara Lemdiklat Polri, maka dipandang
perlu menetapkan keputusan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009


tentang Rumah Sakit;

3. Peraturan Kapolri Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 30 Juni 2011


tentang Susunan Organisasi dan tata Kerja Rumah Sakit
Bhayangkara Kepolisian Negara Republik Indonesia;

4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga


Kesehatan;

5. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


no 26 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan
Praktek Tenaga Gizi

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2


Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak;

7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021


tentang Percepatan Penurunan Stunting.
KEPUTUSAN
KARUMKIT BHAYANGKARA LEMDIKLAT POLRI
NOMOR : KEP / / IX / 2022 / RUMKIT
TANGGAL : SEPTEMBER 2022

Memperhatikan : Peraturan Kapolri Nomor 11 Tahun 2011 tanggal 30 Juni 2011


1. tentang Susunan Organisasi dan tata Kerja Rumah Sakit
Bhayangkara Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Saran dan pertimbangan staf Rumah Sakit Bhayangkara


2.
Lemdiklat Polri.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :1. Keputusan Karumkit Bhayangkara Lemdiklat Polri tentang


pemberlakuan Pedoman Pelayanan Gizi Stunting dan Wasting

2. Pedoman Pelayanan Gizi Stunting dan Wasting di Rumah Sakit


Bhayangkara Lemdiklat Polri, sebagaimana tercantum dalam
lampiran peraturan diatas

3. Pedoman Pengorganisasian ini harus dibahas sekurang –


kurangnya, setiap 3 (Tiga ) tahun sekali dan apabila
diberlakukan sewaktu – waktu dapat dilakukan perubahan
sesuai dengan perkembangan yang ada

4. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : September 2022

KARUMKIT BHAYANGKARA LEMDIKLAT POLRI

dr. RINI AFRIANTI, MKK


PEMBINA TK.I NIP.
197304172002122003
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada usia dibawah 5 tahun
(balita) akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang
tidak memadai (terutama dalam 1.000 hari Pertama Kehidupan, yaitu dari janin hingga
anak berusia 2 tahun). Anak tergolong stunting apabila panjang/tinggi badannya
berada di bawah minus dua standar deviasi panjang/tinggi anak seumurnya.
Wasting atau gizi kurang ialah kurangnya berat badan menurut panjang/tinggi
badan anak (BB/TB), disebabkan karena kekurangan makan/terkena penyakit infeksi
yang terjadi dalam waktu yang singkat (permasalahan gizi akut).
Stunting dan wasting berisiko menghambat pertumbuhan fisik (gagal tumbuh)
dan rentan terhadap penyakit infeksi, juga menghambat perkembangan kognitif dan
motorik yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di
masa depan.
Penanggulangan stunting dan wasting penting dilakukan sedini mungkin untuk
menghindari dampak jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya tumbuh
kembang anak. Stunting dan wasting mempengaruhi perkembangan otak sehingga
tingkat kecerdasan anak tidak maksimal. Hal ini berisiko menurunkan produktivitas
pada saat dewasa. Stunting dan wasting juga menjadikan anak lebih rentan terhadap
penyakit. Anak stunting dan wasting berisiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di
masa dewasanya. Bahkan, stunting dan wasting dan berbagai bentuk masalah gizi
diperkirakan berkontribusi pada hilangnya 2-3% Produk Domestik Bruto ( PDB) setiap
tahunnya.
Percepatan penurunan stunting dilakukan dengan berbagai upaya, untuk
mencapai prevalensi stunting sebesar 14% pada tahun 2024, pemerintah telah
menetapkan strategi nasional pencegahan stunting dalam 5 pilar yaitu:1) Komitmen
dan visi kepemimpinan, 2) Kampanye nasional dan perubahan prilaku, 3) Konvergensi
program pusat, daerah dan desa, 4) Ketahanan pangan dan gizi, dan 5) Pemantauan
dan evaluasi. Melalui program nasional ini diharapkan program pencegahan dan
penanggulangan stunting dan wasting antar kementerian/ lembaga lebih terkoordinasi.

1
Upaya penanggulangan stunting dan wasting dilakukan melalui penguatan
intervensi gizi spesifik dan sensitif. Lancet (2013) menyatakan bila intervensi gizi
spesifik adekuat 90% akan berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 20%.
Pelayanan Gizi Rumah Sakit merupakan suatu usaha untuk memenuhi
kebutuhan gizi masyarakat di rumah sakit baik rawat inap maupun rawat jalan melalui
tindakan preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif dalam rangka meningkatkan
kesehatan pasien. Ruang lingkup kegiatan pokok pelayanan gizi di rumah sakit terdiri
dari asuhan gizi pasien rawat inap, asuhan gizi pasien rawat jalan, penyelenggaraan
makanan, penelitian, dan pengembangan gizi.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021
tentang Percepatan Penurunan Stunting maka RS Bhayangkara Lemdiklat Polri telah
melakukan berbagi upaya terutama pelayanan gizi dalam menurunkan prevalensi
stunting dan wasting di RS Bhayangkara Lemdiklat Polri.

B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan Umum adalah menurunkan angka prevalensi stunting dan wasting melalui
peningkatan mutu pelayanan instalasi gizi.

2. Tujuan Khusus :
a. Terlaksananya kegiatan Pelayanan Gizi Stunting dan Wasting sesuai
perencanaan dan anggaran kebutuhan bahan makanan, sarana, dan prasarana
di Instalasi Gizi;
b. Penyelenggaraan makanan yang berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan
pasien maupun konsumen untuk menunjang pelayanan stunting dan wasting
sesuai standard dan kebijakan Karumkit;
c. Terlaksananya pelayanan Asuhan Gizi Stunting dan Wasting di Ruang Rawat
Inap;
d. Terlaksananya kegiatan penyuluhan gizi dan promosi kesehatan stunting dan
wasting Rumah Sakit;
e. Terlaksananya evaluasi dan pelaporan semua kegiatan;

i. Meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan gizi stunting dan wasting
di rumah sakit;

j. Terlaksananya higiene sanitasi, keamanan pangan dan keselamatan kerja

2
C. Ruang Lingkup Pelayanan

Ruang lingkup kegiatan pokok pelayanan gizi di Rumah Sakit Bhayangkara


Lemdiklat Polri ini terdiri dari :
1. Penyelenggaraan Makanan Pasien Rawat Inap
2. Asuhan Gizi Pasien Anak Rawat Inap dengan gangguan gizi
3. Asuhan Gizi Pasien Kebidanan dengan anemia dan kekurangan gizi kronik
4. Asuhan Gizi Pasien Perinatologi dengan gangguan gizi (berat badan dan panjang
badan kurang)
5. Promosi Kesehatan dalam upaya pencegahan stunting dan wasting (Makanan gizi
seimbang bagi Ibu hamil dan menyusui, ASI Eksklusif, Pemberian Makanan bayi
dan anak)

Untuk meningkatkan pelayanan paripurna kepada pasien, maka perlu dibentuk


Tim Asuhan Gizi yang bertugas menyelenggarakan pelayanan rawat inap dan rawat
jalan, termasuk pelayanan klinik gizi yang merupakan bagian dari instalasi rawat
jalan, namun untuk sementara waktu Klinik Gizi di Rumah Sakit Bhayangkara
Lemdiklat Polri belum dapat berjalan dan masih dalam proses.

D. Batasan Operasional
Batasan operasional yang dimaksud merupakan batasan istilah, yang dipandang
sesuai dengan konsep pelayanan gizi.
1. Pelayanan Gizi
Suatu upaya memperbaiki, meningkatan gizi, makanan, dietetik masyarakat,
kelompok dan individu atau klien yang merupakan suatu rangkaian kegiatan
meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, simpulan, anjuran, implementasi, dan
evaluasi gizi, makanan dan dietetik dalam rangka mencapai status kesehatan
optimal dalam kondisi sehat atau sakit.
2. Pelayanan Gizi Rawat Inap
Pelayanan gizi yang dimulai dari proses pengkajian gizi, diagnosis gizi, intervensi
gizi meliputi perencanaan, penyediaan makanan, penyuluhan/edukasi, dan
konseling gizi, serta monitoring dan evaluasi.
3. Pelayanan Gizi Rawat Jalan

3
Serangkaian proses kegiatan asuhan gizi yang berkesinambungan dimulai dari
assessment/pengkajian gizi, menetapkan diagnosa gizi, melakukan intervensi gizi
dan monitoring evaluasi kepada pasien rawat jalan, dengan implementasi kegiatan
berupa konseling/penyuluhan gizi.
4. Terapi Gizi
Pelayanan gizi yang diberikan kepada klien berdasarkan pengkajian gizi, yang
meliputi terapi diet, konseling gizi dan atau pemberian makanan khusus dalam
rangka penyembuhan penyakit pasien. (Nutrition an Diet Theraphy Dictionary,
2004)
5. Asuhan Gizi
Serangkaian kegiatan yang terorganisir/terstruktur yang memungkinkan untuk
identifikasi kebutuhan gizi dan penyediaan asuhan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
6. Skrining Gizi
Proses dari identifikasi klinik dan penapisan Gizi yang bertujuan untuk
mengidentifikasi pasien/klien yang berisiko, tidak berisiko malnutrisi atau kondisi
khusus.
7. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)
Pendekatan sistematik dalam memberikan pelayanan asuhan gizi yang berkualitas
melalui serangkaian aktivitas yang terorganisir meliputi pengkajian data (Nutrition
Assesmen), diagnosa gizi (Nutrition Diagnosis), intervensi (Nutrition Intervention),
dan monitoring evaluasi (Nutrition Monitoring and Evaluation).
8. Dietetik
Integrasi, aplikasi dan komunikasi dari prinsip prinsip keilmuan makanan, gizi
sosial, bisnis dan keilmuan dasar untuk mencapai dan mempertahankan status gizi
yang optimal secara individual, melalui pengembangan, penyediaan dan
pengelolaan pelayanan gizi dan makanan di berbagai area/lingkungan/latar
belakang praktek pelayanan.
9. Gizi Klinik
Suatu ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara makanan dan kesehatan
tubuh manusia termasuk mempelajari zat-zat gizi dan bagaimana dicerna, diserap,
digunakan, dimetabolisme, disimpan dan dikeluarkan dari tubuh.
10. Konseling Gizi

4
Serangkaian kegiatan sebagai proses komunikasi dua arah yang dilasanakan oleh
ahli gizi/dietesienuntuk menanamkan dan meningkatkan pengertian, sikap,dan
perilaku pasien dalam mengenali dan mengatasi masalah gizi sehingga pasien
dapat memutuskan apa yang dilakukannya.

11. Penyuluhan Gizi


Serangkaian kegiatan penyampaian pesan-pesan gizi dan kesehatan yang
direncanakandan dilaksanakan untuk menanamkan dan meningkatkan
pengertian, sikap serta perilaku positif pasien/klien dan lingkungannya terhadap
upaya peningkatan status gizi dan kesehatan. Penyuluhan gizi ditujukan untuk
kelompok atau golongan masyarakat masal, dan target yang diharapkan adalah
pemahaman perilau aspek kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
12. Rujukan Gizi
Wewenang yang timbal balik atas pasien dengan masalah gizi, baik secara
vertikal maupun horisontal.
13. Profesi Gizi
Suatu pekerjaan dibidang gizi yang dilaksanakan berdasarkan suatu ilmu (body of
knowledge), memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang
berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani masyarakat.
14. Standar Profesi Tenaga Gizi
Batasan kemampuan minimal yang harus dimiliki.dikuasai oleh tenaga gizi untuk
dapat melaksanakan pekerjaan dan praktik pelayanan gizi secara professional
yang diatur oleh organisasi profesi.
15. Tenaga Gizi
Setiap orang yang telah lulus pendidikan dibidang gizi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
16. Sarjana Gizi
Seorang yang gtelah mengikuti dan menyelesaikan minimal pendidikan formal
sarjana gizi (S1) yang diakui pemerintah Republik Indonesia.
17. Nutrisionis/Dietisien
Seorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh untuk
melakukan kegiatan teknis fungsional di bidang pelayanan gizi, makanan dan
dietetik, baik dimasyarakat maupun dirumah sakit dan unit kesehatan lain.

5
18. Nutrisionis Registered
Tenaga gizi, Sarjana Terapan Gizi dan Sarjana Gizi yang telah lulus uji
kompetensi dan terintregasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Registered Dietisien
Tenaga gizi, Sarjana Terapan Gizi atau Sarjana Gizi yang telah mengikuti
pendidikan profesi (internship) dan telah lulus kompetensi serta teregistrasi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan berhak mengurus ijin memberikan
pelayanan gizi, makanan dan dietetik dan menyelenggarakan praktik gizi mandiri.
20. Teknikal Registered Dietisien
Seorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan program diploma tiga gizi
sesuai aturan yang berlaku atau ahli madya gizi yang telah lulus uji kompetensi
dan teregistrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
21. Tim Asuhan Gizi / Nutrition Suport Tim (Nst) Tim Terapi Gizi (Ttg) / Panitia
Asuhan Nutrisi
Sekelompok tenaga profesi dirumah sakit yang terkait dengan pelayanan gizi
beresiko tinggi/malnutrisi, terdiri dari dokter/dokter spesialis, ahli gizi/dietesien,
perawat, farmasi dan unit pelayanan penunjang yang lain, bertugas bersama
memberikan pelayanan paripurna yang bermutu.
22. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)
Dokter yang bertanggung jawab dalam penatalaksanaan medis sesuai bidang
spesialisnya. Dalam penatalaksanaan tersebut DPJP memberikan pengobatan
medikamentosa untuk penyakitnya, dan menentukan preskripsi diet awal.
23. Dietetik
Kombinasi penerapan ilmu dan seni pengaturan macam dan jumlah makanan
berdasarkan kondisi kesehatan, kebutuhan gizi dan sosial ekonomi pasien. ilmu
yang dimaksud adalah pengetahuan menganai gizi, kehidupan, dan kondisi
penyakit. Sedangakan seni adalah pengetahuan dari prktek merencanakan dan
menyiapkan/mengolah dan menyajikan makanan yang enak dan menarik untuk
berbagai tingkat ekonomi sehingga orang sehat maupun sakit mau menyantap
makanan dan patuh terhadap diet.
24. Pasien Kondisi Khusus
Pasien yang membutuhkan terapi dietetik untuk memenuhi kebutuhan gizi,
mengontrol kadar biokimia darah/urine terkait penyakitnya dan memperbaiki

6
status gizi seperti pasien dengan penyakit ginjal kronik/hemodealisis, geriatri,
anak, pasien dengan penurunan imunitas, pasien dengan kemoterapi, pasien
dengan sakit berat, pasien dengan gangguan metbolisme Diabetes Militus,
gangguan fungsi hati, sirosis hepatis, jantung, paru, hiperlipid, dll.
25. Promosi Kesehatan Rumah Sakit
Upaya membudayakan individu, kelompok dan masyarakat untuk memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatan melalui peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan, serta mengambangkan iklim yang mendukung dalam
melakukan perilaku bersih dan sehat yang dilakukan dari, oleh dan masyarakat,
sesuai dengan sosial budaya dan kondisi setempat.
26. Masyarakat Rumah Sakit
Sekelompok orang yang berada di dalam lingungan RS dan terkait dengan
aktifitas RS, terdiri dari pegawai atau karyawan, pasien rawat inap dan
pengunjung poliklinik.
27. Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit
Suatu rangakaian kegiatan mulai perencanaan menu, penerimaan bahan
makanan, penyimpanan, persiapan, produksi/pengolahan bahan makanan,
sampai dengan pendistribusian makanan kepada pasien, serta monitoring dan
evaluasi.
28. Diet
Pengaturan pola dan konsumsi makanan dan minuman yang dibatasi jumlahnya,
dilarang, atau perlu ditambah/diperbolehkan dengan jumlah tertentu disesuaikan
dengan kebutuhan gizi untuk tujuan terapi penyakit yang diderita.
29. Bentuk Makanan
Konsistensi makanan yang berupa makanan cair, makanan saring, makanan
lunak dan makanan biasa.
30. Jenis Diet
Macam diet berdasarkan kelompok penyakit atau zat gizinya seperti Diabetes
Militus, Diet Jantung, Diet Rendah Garam, Diet Rendah Protein, dll.
31. Penerimaan Bahan Makanan
Pemeriksaan, pencatatan dan pelaporan tentang macam, kualitas bahan
makanan sesuai dengan spesifikasi dan pesanan yang ditetapkan.
32. Penyimpanan Bahan Makanan

7
Tata cara menata, menyimpan, menjaga keamanan bahan makanan kering dan
segar di gudang penyimpanan bahan.
33. Persiapan Bahan Makanan
Kegiatan prapengolahan bahan, meliputi membersihkan, mengupas, memotong,
merendam, mencuci, dll.
34. Pengolahan Makanan
Kegiatan memproses bahan makanan mentah menjadi makanan yang siap
dikonsumsi, berkualitas (bergizi dan bercitarasa tingg ) dan aman.

35. Distribusi Makanan


Kegiatan penyaluran makanan sesuai dengan jumlah porsi dan jenis makanan
secara sentralisasi dan desentralisasi di unit produksi makanan dan pantri
selanjutnya dibagikan kepada pasien diruang rawat inap.
36. Makanan Cair
Makanan dalam bentuk cair yang diproduksi oleh unit produksi makanan, dibuat
dari campuran beberapa bahan makanan dengan bahan dasar susu ( untuk
makanan cair biasa/standar ), kacang kedele (untuk pasien tidak tahan susu),
ditambah dengan bahan lain seperti gula, minyak dan lain-lain, untuk mencapai
kandungan gizi yang sesuai standar. Makanan cair yang dibuat sedemikian rupa
sehingga mampu melewati pipa nasogratik
37. Makanan Saring
Makanan semi padat dengan tekstur halus. Makanan pokoknya terbuat dari
tepung beras atau havermut, lauk dan sayurnya dihaluskan dengan blender.
38. Makanan Lunak
Makanan yang memiliki testur yang mudah di kunyah, ditelan dan dicerna
dibanding makanan biasa. Makanan pokoknya beras bisa dibuat bubur atau nasi
tim, lauk dan sayur dimasak sedemikian rupa sehingga tidak keras dan tidak
merangsang, pemasakan tidak digoreng dan tidak pedas.
39. Makanan Biasa
Makanan yang dapat dan biasa dimakan oleh orang sehat pada umumnya.
Bentuk makanan pokoknya berupa nasi, lauk dan sayur beraneka ragam,
bervariasi dengan bentuk, tekstur dan aroma yang normal.
40. Hiegene Makanan

8
Kondisi dan perlakuan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan dan
keamanan makanan.
41. Sanitasi Makanan
Upaya untuk mengendalikan fator kebersihan makanan, meliputi : orang, tempat,
dan perlengkapan masak dan bahan makanan yang dapat atau mungkin dapat
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan.
42. Mutu Pangan
Nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan
standar terhadap bahan makanan dan minuman.

43. Higiene Sanitasi


Usaha kesehatan preventif yang menitikberatkan kegiatannya pada kesehatan
individu dan upaya pencegahan untuk membebaskan makanan dari bahaya yang
menggangu /merusak kesehatan, mulai dari persiapan sampai makanan
dikonsumsi oleh konsumen.
44. Penelitian Dan Pengembangan Gizi Terapan
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guna menghadapi
tantangan dan masalah gizi terapan yang kompleks, dengan tujuan untuk
mencapai kualitas pelayanan gizi rumah sakit secara berdaya guna dan berhasil
guna di bidang pelayanan gizi, penyelenggaraan makanan rumah sakit,
penyuluhan, konsultasi, konseling dan rujukan gizi sesuai kemampuan institusi.
45. Keamanan Pangan
Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah makanan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimiawi, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan dan
membahayakan kesehatan.
46. Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia dibawah lima tahun
(balita) akibat kekurangan asupan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada
periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak
berusia 23 bulan. Stunting ditentukan oleh indeks antropometri yang
menggunakan data panjang badan berdasarkan umur (PB/U) untuk anak usia
dibawah 2 tahun dan menggunakan data tinggi badan berdasarkan umur (TB/U)
untuk anak usia 2 tahun ke atas.

9
47. Gizi kurang (wasting)
Keadaan gizi balita yang ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: i) BB/PB atau
BB/TB berada pada -3 sampai dengan kurang dari -2 standar deviasi (-3 SD sd <-
2 SD); ii) lingkar lengan atas (LiLA) kurang dari 12,5 cm sampai dengan 11,5 cm
pada balita usia 6-59 bulan.
48. Gizi buruk (severe wasting)
Keadaan gizi balita yang ditandai oleh satu atau lebih tanda berikut: i) pitting
edema bilateral, minimal pada kedua punggung kaki; ii) BB/PB atau BB/TB kurang
dari -3 standar deviasi (< -3 SD); iii) lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm pada
balita usia 6-59 bulan.

49. Formula 75 (F75)


Formula makanan cair terbuat dari susu, gula, minyak dan mineral mix, yang
mengandung 75 kkal (kilo kalori) setiap 100 ml, diberikan kepada balita gizi buruk
pada fase stabilisasi.
50. Formula 100 (F100)
Formula makanan cair terbuat dari susu, gula, minyak dan mineral mix, yang
mengandung 100 kkal setiap 100 ml, diberikan kepada balita gizi buruk pada fase
transisi dan rehabilitasi.
51. RUTF (Ready to Use Therapeutic Food)
RUTF adalah makanan padat gizi yang diperkaya dengan zat gizi mikro untuk
terapi balita gizi buruk sesuai standar WHO.

E. Landasan Hukum

- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


- Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif
- Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5570);
- Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal
- Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 193);

10
- Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi
- Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia
Dini Holistik-Integratif
- Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
- Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan
dan Gizi
- Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan
Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah ASI
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 26 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Pekerjaan dan Praktek Tenaga Gizi
- Peraturan Menteri Kesehatan No.23 Tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 25 Tahun 2014 tentang Upaya Kesehatan Anak
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi
Seimbang
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 66 Tahun 2014 tentang Pemantauan
Pertumbuhan, Perkembangan dan Gangguan Tumbuh Kembang Anak
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 88 Tahun 2014 tentang Standar Tablet Tambah
Darah Bagi Wanita Subur dan Ibu Hamil
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan
Massa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan dan Masa Sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta Pelayanan Kesehatan Seksual
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 Tahun 2015 tentang Standar Kapsul Vitamin
A Bagi Bayi, Balita dan Ibu Nifas
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk
Suplementasi Gizi
- Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun 2017 tentang Penyenggaraan
Imunisasi
11
- Peraturan Menteri PPN/ Kepala Bappernas No. 1 Tahun 2018 tentang Rencana
Aksi Pangan dan Gizi
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 14 tahun 2019 tentang Teknik Surveilans Gizi
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecakupan Gizi

- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020


tentang Standar Antropometri Anak

- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 tentang


Percepatan Penurunan Stunting.

12
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

Pelayanan gizi yang baik menjadi salah satu penunjang rumah sakit dalam
penilaian standar akreditasi untuk menjamin keselamatan paisen yang mengacu pada
The Joint Comission Internasional (JCI) for Hospital Accreditation. Semakin baik
pelayanan gizi yang diberikan oleh rumah sakit, maka semakin baik pula standar
akreditasi rumah sakit tersebut. Hal ini dapat terlaksana bila tersedia tenaga gizi yang
profesional dalam memberikan pelayanan gizi.
Manajemen penyelenggaraan makanan pada suatu institusi yang khususnya pada
pengolahan makanan bertujuan untuk memberikan dan menyediakan makanan bagi
konsumen/pasien dengan sebaik-baiknya dari segi kualitas atau kuantitas sesuai dengan
kebutuhan konsumen/pasien. Untuk menciptakan suatu kondisi pengolahan makanan
institusi yang berkualitas maka perlu disusun pengorganisasian seluruh unsur dalam
penyelnggaraan makanan. Dalam upaya menjamin pelaksanaan pelayanan gizi yang
optimal dirumah sakit diperlukan adanya standar kebutuhan tenaga gizi secara lebih rinci
yang memuat jenis dan jumlah tenaga.
Tenaga merupakan salah satu sumber daya penting karena menjadi kunci dalam
keberhasilan kegiatan penyelenggaraan makanan di Rumah Sakit. Berbagai fungsi
dalam manajemen Sumber Daya Manusia meliputi fungsi perencanaan, dan penentuan
kebutuhan staff (Staffing), Rekruitmen, Seleksi, pengembangan dan pembinaan karir,
penilaian kinerja serta sistem imbal jasa.
Suatu organisasi dalam Instalasi Gizi di Rumah Sakit seyogyanya menjamin bahwa
pembagian tugas didalamnya baik secara vertikal ataupun horizontal terjamin dan tetap,
dan untuk menjamin tujuan yang sama maka diperlukan kerjasama yang baik dalam
organisasi tersebut. Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri dimanajeri oleh
seorang kepala Instalasi yang mempunyai tugas mengatur agar sistem penyelenggaraan
makanan di RS Bhayangkara Lemdiklat Polri berjalan lancar. Kepala Instalasi Gizi
mengepalai seluruh tenaga yang ada di Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri.
A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Agar pelayanan gizi dapat terselenggarakan dengan mutu yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka pelayanan Gizi harus dilakukan oleh tenaga
yang profesional.

12
Tabel Kualifikasi Sumber Daya Manusia
No Nama Jabatan Pendidikan Sertifikasi
1 Kepala Instalasi D3-Gizi - Ijazah D3 Gizi
Gizi - STR, SIP
- Sertifikat seminar, workshop
gizi
2 Pelaksana D3-Gizi - Ijazah D3 Gizi
Asuhan Gizi - STR, SIP
Ruang Rawat - Sertifikat pelatihan, seminar,
Inap workshop gizi
3 Juru Masak SMA/SMK Tata Ijazah SMA/SMK Tata Boga
Boga

Distribusi Ketenagaan

Nama Jabatan Jumlah Kebutuhan Tenaga yang ada Keterangan

Kepala Instalasi 1 1 Cukup


Ahli gizi 4 1 Kurang
Juru masak 3 2 Kurang
Persiapan 2 1 Kurang
Penyaji 2 x 2 shift = 4 1 Kurang
TOTAL 14 6 Kurang

B. Pengaturan Jaga
NO. NAMA JABATAN WAKTU KERJA JUMLAH SDM
1. Kepala Instalasi Senin – Sabtu
Pagi : Pkl 07.00 - 15.00 1
Sore : Pkl 13.00 – 21.00

2. Ahli gizi rawat inap Senin - Sabtu


Pagi : Pkl 07.00 - 15.00 1
Sore : Pkl 13.00 – 21.00
3. Petugas Produksi Shift pagi
05.30 – 14.00
2
Shift siang
14.00 – 21.00

13
NO. NAMA JABATAN WAKTU KERJA JUMLAH SDM
4. Petugas Persiapan Shift pagi
1
Pkl 05.30 - 14.00
5. Petugas Distribusi Shift pagi
1
Makanan Pasien Pkl 05.30 - 14.00
C. Pengaturan Jaga Karyawan Gizi
a. Pengaturan jadwal dinas karyawan gizi dibuat dan dipertanggungjawabkan oleh
Kepala Instalasi Gizi.
b. Jadwal dinas dibuat untuk jangka waktu satu bulan dan langsung di realisasikan
ke karyawan gizi setiap satu bulan sekali.
c. Untuk karyawan gizi yang memiliki keperluan penting pada hari tertentu, maka
karyawan tersebut dapat mengajukan permintaan dinas. Dan apabila tenaga
cukup dan berimbang serta tidak menganggu pelayanan, maka permintaan akan
di setujui dan di sesuaikan dengan kebutuhan tenaga yang ada.
d. Jadwal dinas terbagi atas : Dinas pagi, Dinas Siang, Libur, dan Cuti.
e. Apabila ada karyawan gizi karena sesuatu hal sehingga tidak dapat jaga sesuai
jadwal yang telah di tetapkan, maka karyawan yang bersangkutan harus
memberitahukan sebelumnya kepada Kepala Instalasi Gizi minimal 1 hari
sebelum jadwal dinas.
D. Pembinaan Karyawan Gizi
a. Evaluasi
Evaluasi karyawan gizi instalasi RS. Bhayangkara Lemdiklat Polri ini
menggunakan Formulir Penilaian kinerja berkala setiap 1 tahun sekali. Tujuan
evaluasi ini adalah sebagai salah satu bagian dalam promosi pegawai, rotasi
tugas, mutasi karyawan atau sebagai pemberian sanksi.
b. Pendidikan dan Pelatihan
Tujuan pendidkan dan pelatihan bagi karyawan gizi adalah untuk:
1) Peningkatan Kinerja.
2) Peningkatan pengetahuan dan wawasan ilmiah.
3) Peningkatan keterampilan.
4) Perubahan sikap dan perilaku yang positif terhadap pekerjaan.
Jenis pendidikan dan pelatihan di Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat
Polri ini mencakup pendidikan dan pelatihan non formal (Internal maupun
Eksternal), yaitu :

14
1) Orientasi Karyawan Baru
Tujuan:
Mempersiapkan calon karyawan gizi dalam mengenal lingkungan tempat
bekerja, sistem yang ada di pelayanan gizi, serta tugas yang akan di lakukan
sehingga diharapkan calon karyawan gizi dapat menghayati hal-hal yang akan di
hadapi termasuk yang berkaitan dengan tugasnya dan tujuan unit pelayanan
gizi.
2) Seminar
Tujuan:
Meningkatkan kapasitas dan wawasan keilmuan karyawan gizi agar menjadi
tenaga yang lebih profesional sehingga mampu meningkatkan kinerja pelayanan
gizi di tempatnya bekerja. Selain itu, juga akan mempengaruhi jenjang karier
yang sesuai dengan keprofesiannya.
3) Pelatihan
Pelatihan dalam rangka meningkatkan kompetensi tenaga gizi yang
dilaksanakan melalui pelatihan internal dan eksternal bagi karyawan gizi RS
Bhayangkara Lemdiklat Polri.
Pelatihan bagi karyawan gizi bertujuan untuk:
1) Peningkatan kinerja karyawan gizi baik mengenai tanggung jawab maupun
hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan makan pasien di Instalasi
Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri
2) Mempersiapkan karyawan gizi untuk menjadi tenaga professional yang
handal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
lingkungannya
3) Diharapkan dapat merubah prilaku positif yang dapat meningkatkan citra
pelayanan gizi di unit kerja masing masing.

15
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANGAN (Denah Terlampir)


B. STANDAR FASILITAS
Agar kegiatan penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RS Bhayangkara
Lemdiklat Polri dapat berjalan optimal, maka perlu di dukung dengan sarana,
peralatan, dan perlengkapan yang memadai untuk Ruang Penyelengaraan Makanan
di Instalasi Gizi.
1. Fasilitas di Ruang Penyelenggaraan Makanan
Agar penyelenggaraan makanan dapat berjalan optimal maka ruangan,
peralatan, dan perlengkapannya perlu di rencanakan dengan baik dan benar.
Dalam merencanakan sarana bangunan untuk instalasi gizi rumah sakit di
perlukan Tim Perencana yang bertanggungjawab dalam mewujudkan hasil
perencanaan instalasi gizi yang semaksimal mungkin sehingga memenuhi
kegunaan yang tinggi.
Pembuatan Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri pada awalnya hanya
meggunakan bangunan yang ada di bantu oleh tim Design dan tim Proyek dari
pihak rumah sakit sehingga menjadi dapur gizi seperti sekarang ini.
a. Fasilitas Ruang Penyelengaraan Makanan Yang Ada di Instalasi Gizi RS
Bhayangkara Lemdiklat Polri
Terdiri dari :
1) Ruang Penerimaan Bahan Makanan
Ruangan ini digunakan untuk penerumaan bahan makanan dan
mengecek kualitas serta kuantitas bahan makanan. Letak ruangan ini
berada di ujung lorong rumah sakit, sehingga mudah untuk dicapai.
Terdapat Trolley dan timbangan di ruangan ini.
2) Ruang Penyimpanan Bahan Makanan
Di instalasi gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri ini terdapat 2 jenis
penyimpanan bahan makanan, yaitu penyimpanan bahan makanan
segar yang terdiri dari 3 lemari es, 1 Freezer serta penyimpanan bahan
makanan kering.
Macam peralatan dan perlengkapan :
 Rak Bahan Makanan

16
 Lemari Es
 Freezer
 Rice Box
3) Tempat Persiapan Bahan Makanan
Tempat ini dipergunakan untuk mempersiapkan bahan makanan dan
bumbu meliputi kegiatan membersihkan, mencuci, mengupas,
menumbuk, menggiling, memotong, mengiris, sebelum bahan makanan
di masak. Di tempat persiapan bahan makanan Instalasi RS
Bhayangkara Lemdiklat Polri ini dilengkapi dengan tempat pencucian
bahan makanan dari stainless stell sebelum bahan makanan dimasak
atau di simpan di tempat penyimpanan.
Macam persalatan dan perlengkapan:
 Talenan
 Lemari Kayu
 Blender
 Mixer
 Timbangan
 Bak cuci
 Pisau
 Baskom
 Cobek
 Tempat Sampah
4) Tempat Pemasakan
Tempat pemasakan di instalasi gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri ini
menggunakan kompor gas biasa 2 tungku sebanyak 2 buah.
Macam peralatan dan perlengkapan
 Oven
 Magic Com
 Kompor Gas 2 Tungku
 Gas besar
 Edhousevan
 Toaster
 Penggorengan

17
 Panci
 Cetakan Agar
 Lemari Alat
 Spatula
 Bak Cuci
5) Tempat Penyajian Makanan
Tempat penyajian makanan di Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat
Polri ini dilengkapi dengan 2 meja Kayu Besar..
Macam peralatan dan perlengkapan :
 Meja Kayu
 Lemari Kayu
 Plastik pembungkus makanan
 Nampan
 Peralatan makan
 Trolley dorong
6) Pendistribusian Makanan
Pendistribusian makanan pasien menggunakan 1 troli bersih dan untuk
penarikan peralatan makan pasien menggunakan 1 troli kotor.
7) Tempat Pencucian dan Peyimpanan Alat
Macam peralatan dan perlengkapan:
 Bak Cuci
 Rak Peralatan
 Tempat Sampah
 Sabun cuci piring
8) Tempat Pencucian Peralatan
Tempat pencucian peralatan makan pasien di Instalasi Gizi RS
Bhayangkara Lemdiklat Polri ini
 Terdapat 2 bak pencucian dari stainless steel
 Air yang mengalir cukup banyak
 Terletak terpisah dengan ruang pencucian bahan makanan serta
peralatan
 Adanya sabun serta sikat
 Adanya rak atau penyimpanan sementara yang bersih

18
9) Tempat Pembuangan Sampah
Di Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri terdapat tempat
pembuangan sampah sebanyak 3 buah dimana sampah yang terkumpul
akan segera di buang 3 kali sehari ke 2 tempat pembuangan sampah
besar yang di bedakan antara sampah medis dan non-medis yang
berada di luar bangunan rumah sakit.
 Sampah dari dapur gizi di ikat dan dibuang menggunakan kantong
plastik besar berwarna hitam ke tempat pembuangan sampah non-
medis.
 Sampah sisa makanan pasien di ikat dan di buang menggunakan
plastik sedang berwarna hitam ke tempat pembuangan sampah non-
medis.
Macam peralatan dan perlengkapan:
 Sapu
 Pel
 Plastik
 Bak sampah
 Locker
10) Dapur Susu
Ruangan ini berfungsi untuk membuat makanan cair untuk pasien di RS
Bhayangkara Lemdiklat Polri Polri
Macam peralatan dan perlengkapan:
 Meja Kerja
 Blender
 Dispenser
 Termos Air Panas
 Freezer
 Bak Cuci

b. Sarana Fisik Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri


Hingga saat ini, instalasi gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri merupakan
lokasi atau ruangan yang tersisa, walaupun demikian kami tetap merancang
secara keseluruhan sehingga fasilitas atau ruangan yang di butuhkan ada di

19
instalasi gizi. Selain itu, di tambah dengan sarana fisik dapur gizi yang
lengkap sehingga tidak mempengaruhi efisiensi kerja pelayanan makanan di
RS Bhayangkara Lemdiklat Polri ini.
Sarana Fisik Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri:
1) Berada di dalam rumah sakit dan memiliki akses sendiri sehingga mudah
dicapai untuk pengiriman bahan makanan.
2) Letaknya berada di lantai 1 (satu) bersebelahan dengan tangga
perawatan sehingga mudah di capai dari semua ruang perawatan,
mengingat bangunan ini di buat bertingkat.
3) Selain itu jauh dari kamar perawatan, sehingga kebisingan dan keributan
di tempat pengolahan tidak menganggu ruangan lainnya.
4) Letaknya tidak berdekatan dengan tempat pembuangan sampah, ruang
cuci laundry, kamar jenazah maupun lingkungan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan.
5) Pintu masuk instalasi gizi di bedakan menjadi 2. Yaitu pintu bersih dan
kotor.
6) Penerangan dalam instalasi gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri
menggunakan lampu di bantu dengan 2 blower besar di lengkapi dengan
exhouse fan yang cukup untuk menyedot asap , bau makanan, uap
lemak, hawa panas, keluar sehingga ruangannya tidak terlalu panas dan
terdapatnya sirkulasi udara yang baik.
7) Langit-langit tertutup. Dinding mempergunakan porselen sehingga
mudah di bersihkan, tahan terhadap cairan, dan memantulkan cahaya
yang cukup bagi ruangan.
8) Lantai mempergunakan keramik sehingga mudah di bersihkan, tidak
membahayakan, tidak licin, tidak menyerap air.
9) Kran pencucian yang ada di ruang instalasi gizi RS Bhayangkara
Lemdiklat Polri terdapat 4 buah dimana 2 buah berada di tempat
persiapan bahan makan, 1 buah di tempat pengolahan, dan 1 buah di
dapur susu.

c. Arus Kerja Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri


1) Bahan makanan basah maupun kering yang datang, di terima dan di
periksa dari segi kualitas dan kuantitas barangnya apakah sudah sesuai

20
dengan pesanan bahan makanan yang telah di tentukan.
2) Kemudian di lanjutkan ke ruang persiapan untuk di bersihkan dan di
simpan ke tempat penyimpanan sesuai dengan jenis masing masing
barang.
3) Bahan makanan yang sudah di bersihkan di lanjutkan ke ruang
pemasakan. Masakan yang sudah matang di simpan terlebih dahulu di
tempat penyimpanan makanan tertutup sampai waktunya untuk
penyajian makanan. Setelah penyajian makanan sesuai dengan etiket
makan masing masing pasien yang di buat yang berisi nama pasien,
tanggal lahir pasien dan diet yang sesuai dengan kebutuhan dan pola
kebiasaan makan, maka langsung dimasukkan ke dalam trolly bersih
stainless steel tertutup untuk di distribusikan langsung ke pasien.
Arus Kerja Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi RS Bhayangkara Lemdiklat Polri

Penerimaan

Penyimpanan Penyimpanan
Bahan Makanan Bahan Makanan
Segar Kering

Persiapan

Pemasakan

Pembuangan
Sampah Sementara
Penyajian Makanan

Distribusi Makanan

Pembuangan
Sampah Akhir
Pencucian Alat

21
BAB IV

TATALAKSANA PELAYANAN

A. TAHAPAN PELAKSANAAN
1. Penerimaan klien

2. Informed consent

3. Pemeriksaan antropometri

a. Penyampaian hasil pemeriksaan antropometri bukan stunting dan wasting :


 Memberikan apresiasi kepada keluarga telah menjaga status gizi dan
tumbuh kembang anak
 Memberikan dukungan kepada keluarga untuk selalu rutin melakukan
pemeriksaan antropometri anak

b. Penyampaian hasil pemeriksaan antropometri stunting/wasting :

 Perhatikan komunikasi non verbal saat memanggil keluarga pasien

 Pastikan keluarga pasien memahami pengertian stunting/wasting


 Lakukan secara jelas dan langsung dalam menyampaikan hasil
pemeriksaan dan rencana tatalaksana yang dibutuhkan
4. Rujukan

a. Bila hasil pemeriksaan antropometri pasien termasuk stunting/wasting


maka dilakukan pemeriksaan komprehensif untuk skrining komplikasi
yang ada pada pasien dan melaporkan hasil pemeriksaan kepada
DPJP
b. Pengobatan pasien stunting/wasting dengan komplikasi berat (penyakit
jantung bawaan, kelainan kongenital) di rujuk ke RS Bhayangkara TK I
Raden Said Soekanto
5. Manajemen Komprehensif Stunting dan Wasting

Rumah Sakit memiliki tugas pokok dan fungsi utama yaitu membina
kesehatan wilayah, melaksanakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perorangan,serta manajemen Rumah Sakit sendiri.Penanganan
stunting merupakan upaya kesehatan yang melibatkan kesehatan perorangan,

22
masyarakat dan juga pentingnya kolaborasi lintas sektoral, sehingga sangat
tepat Rumah Sakit menjadi ujung tombak penanganan stunting.

Upaya penurunan stunting dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan upaya


promotif dan preventif, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif
yang harus dilakukan oleh sektor kesehatan bekerjasama dengan sektor-sektor
lain.Stunting disebabkan oleh masalah multifaktorial, sehingga penanganannya
pun sangat membutuhkan kerjasama intersektoral.

a. Pencegahan Gizi Buruk


1. Prinsip umum pencegahan gizi buruk:
1) Penyiapan kesehatan dan status gizi ibu hamil dilakukan sejak masa
remaja dan selanjutnya saat usia subur.
 Menerapkan pola hidup sehat bergizi seimbang untuk memenuhi
kebutuhan gizi dan mencegah terjadinya Kekurangan Energi
Kronis (KEK).
 Konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD).
 Mendapatkan konseling pranikah.
 Mencegah pernikahan dini dan kehamilan pada remaja.
 Meningkatkan kepesertaan Keluarga Berencana (KB).
 Menerapkan praktik higiene dan sanitasi personal serta
lingkungan.
2) Ibu hamil mendapat pelayanan antenatal care (ANC) terpadu
berkualitas sesuai standar, penerapan standar pelayanan minimal,
deteksi dini dan penanganan adekuat, pola hidup sehat dan gizi
seimbang termasuk konseling.
3) Peningkatan status gizi dan kesehatan, tumbuh kembang serta
kelangsungan hidup anak melalui strategi Pemberian Makan Bayi dan
Anak (PMBA) yang dilakukan dengan praktik “Standar Emas Makanan
Bayi dan Anak”.
 Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
 ASI Eksklusif (0-6 Bulan)
 Pemberian MP ASI mulai usia 6 bulan
 Pemberian ASI diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih

23
Selain itu, dilanjutkan dengan pemberian makan anak usia 24–59
bulan yang bergizi seimbang untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi
tumbuh dan kembang anak. Balita harus dipantau pertumbuhan dan
perkembangannya secara rutin serta diberikan pola asuh yang tepat.
Balita juga harus mendapatkan stimulasi perkembangan dan
imunisasi lengkap sesuai dengan usianya seperti yang tercantum
dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
4) Penapisan massal untuk menemukan hambatan pertumbuhan dan
perkembangan pada balita di tingkat masyarakat, dilakukan secara
berkala melalui bulan penimbangan dengan target cakupan penapisan
100%.
5) Perhatian khusus diberikan kepada bayi dan balita dengan faktor
risiko akan mengalami kekurangan gizi, misalnya:
 Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan kurang energi kronis (KEK)
dan/ atau ibu usia remaja, bayi yang lahir prematur, bayi berat
lahir rendah (BBLR), kembar, lahir dengan kelainan bawaan.
 Balita dengan infeksi kronis atau infeksi akut berulang dan adanya
sumber penularan penyakit dari dalam/ luar rumah atau gangguan
kekebalan tubuh.
 Balita yang berasal dari keluarga dengan status sosio-ekonomi
kurang.
 Balita berkebutuhan khusus.
 Balita yang berada di lingkungan yang terkendala akses air
bersih, dan/ atau higiene dan sanitasi yang buruk.
6) Dukungan program terkait
7) Dukungan lintas sektor
b. Pencegahan Gizi Buruk pada Bayi < 6 Bulan
Proses terjadinya gizi buruk pada bayi di bawah usia 6 (enam) bulan dapat
dialami sejak dalam kandungan. Pencegahan gizi buruk pada kelompok ini
dimulai sejak kehamilan sampai pada masa menyusui serta faktor lainnya.
Pencegahan jangka pendek adalah dengan melakukan IMD dan
memberikan ASI Eksklusif serta pemantauan pertumbuhan dan
perkembangan sejak awal kehidupan, pemeriksaan neonatal esensial
dengan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) menggunakan

24
formulir pencatatan bayi muda umur < 2 bulan. Apabila ditemukan gangguan
pertumbuhan dan atau perkembangan, penyakit/ kelainan bawaan, maka
bayi perlu segera dirujuk untuk mendapatkan pelayanan yang adekuat dan
tepat.

c. Pencegahan Gizi Buruk pada Balita 6 - 59 Bulan


1. PMBA sesuai rekomendasi
Kapasitas lambung balita usia 6-23 bulan masih kecil yaitu 25-30 ml/kg
(Bergman, 2013) sehingga belum dapat menampung makanan dalam
jumlah besar. MP ASI yang diberikan harus berupa makanan padat gizi
sesuai dengan kebutuhan anak dengan volume yang tidak terlalu besar.
Minyak/ lemak merupakan sumber energi yang efisien yang dapat
memberi tambahan energi bagi MP ASI tanpa memperbesar jumlah/
volume makanan. Berbagai jenis minyak/ lemak antara lain, minyak
kelapa, minyak wijen, margarin, mentega, dan santan. Proporsi lemak
yang dianjurkan agar MP ASI menjadi makanan padat gizi adalah sebesar
30-45% dari total kebutuhan energi per hari (Ann Nutr Metab 2018;73
(suppl 1): 27–36).
Berikut ini kebutuhan energi pada balita usia 6-59 bulan:
 Balita usia 6-8 bulan: 600 kkal/hari dengan porsi ASI 60-70%, MP ASI
200 kkal dan kandungan lemak 30-45% dari kebutuhan energi.
 Balita usia 9-11 bulan: 800 kkal/hari dengan porsi ASI 60-70%, MP
ASI 300 kkal dan kandungan lemak 30-45% dari kebutuhan energi.
 Balita usia 12-23 bulan: 1100 kkal/hari dengan porsi ASI 30-40%, MP
ASI 550 kkal dan kandungan lemak 30-45% dari kebutuhan energi.
 Balita usia 24-59 bulan: kebutuhan energinya adalah 90 kkal/kg BB,
porsi lemak 30-35% dari kebutuhan energi dan sisanya dipenuhi dari
protein dan karbohidrat.

25
2. Pencegahan Penyakit
Upaya pencegahan penyakit, antara lain dilakukan dengan pemberian
imunisasi dasar lengkap, menyediakan jamban keluarga, sumber air
bersih serta menjaga kondisi lingkungan dari polusi termasuk polusi
industri, asap kendaraan bermotor dan asap rokok.
d. Alur Penapisan Balita Gizi Buruk/Kurang
Alur Penapisan Balita Gizi Buruk/Kurang dan Jenis Layanan yang
diperlukan;
1. Rawat jalan untuk: balita usia 6-59 bulan dengan gizi buruk tanpa
komplikasi. Layanan ini dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama/
Puskesmas.
2. Rawat inap untuk:
o Bayi < 6 bulan dengan gizi buruk (dengan atau tanpa komplikasi);
o Balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan komplikasi dan/ atau penyakit
penyerta yang memerlukan rawat inap;
o Semua balita diatas 6 bulan dengan berat badan < 4 kg. Rawat inap
dilakukan di Puskesmas perawatan yang mampu memberi pelayanan
balita gizi buruk dengan komplikasi (kecuali pada bayi < 6 bulan harus
di rumah sakit), Therapeutic Feeding Centre, RS pratama, serta RS
tipe C, B dan A. Pada rawat inap, keluarga tetap berperan
mendampingi balita yang dirawat.

26
e. Rawat Jalan pada Balita Usia 6-59 Bulan Gizi Buruk

Balita gizi buruk usia 6-59 bulan, dengan nafsu makan yang baik dan tanpa
komplikasi dapat menjalani rawat jalan, dengan kontrol seminggu sekali ke
fasilitas kesehatan untuk memantau/menilai kemajuan. Langkah layanannya
sebagai berikut:

1. Konfirmasi status gizi


a. Penjelasan kepada keluarga tentang prosedur yang akan dilakukan.
b. Pengukuran BB, PB atau TB, dan LiLA. Pengukuran ini
untuk memastikan status gizinya berdasarkan BB/PB
atau BB/TB, LiLA dan TB/U. Selain itu, dilakukan juga
pengukuran lingkar kepala. Semua hasil pengukuran
dicatat di Buku KIA.
c. Periksa apakah ada edema bilateral dan tentukan derajatnya (+1, +2 atau
+3).
d. Pengelompokan kasus.

2. Pelayanan rawat jalan


a. Setiap balita yang berobat ke tenaga medis atau berkunjung di
fasilitas kesehatan diperiksa dengan pendekatan MTBS, agar balita
terlayani secara komprehensif.
b. Prosedur yang dilakukan (jelaskan kepada keluarga, juga tentang
kondisi balita):
i. Anamnesis riwayat kesehatan balita: riwayat
kelahiran, imunisasi, menyusui dan makan (termasuk
nafsu makan), penyakit dan riwayat keluarga.
ii. Pemeriksaan fisik:

• Pemeriksaan fisik umum: kesadaran, suhu tubuh, pernafasan,


nadi.

• Pemeriksaan fisik khusus: seperti tercantum pada formulir MTBS.

iii. Pemeriksaan penunjang sesuai kebutuhan.

iv. Pemberian obat sesuai hasil pemeriksaan:


v. Kebutuhan gizi untuk balita gizi buruk tanpa komplikasi:
Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari.
Protein: 4-6 g/kgBB/hari.

Cairan: 150-200 ml/kgBB/hari.

27
Pemenuhan kebutuhan gizi ini dapat dilakukan dengan
pemberian F-100 atau RUTF.

a. Bila menggunakan F-100:


 F-100 dalam bentuk kering (susu, gula, minyak) diberikan untuk
keperluan 2 hari, karena pada suhu ruang hanya dapat bertahan 2 x
24 jam. Mineral mix diberikan terpisah.
 Pada tahap awal, balita yang beratnya kurang dari 7 kg hanya diberi
F-100. Bila BB ≥ 7 kg, maka dapat diberikan 2/3 dari total kebutuhan
kalori berupa F-100, sisanya diberikan berupa makanan yang
mengandung tinggi protein hewani dan tinggi energi/minyak.

Informasikan kepada orangtua/pengasuh cara mencampur bahan F-100


di rumah, cara penyimpanan dan cara pemberian kepada balita (lihat
Tabel 2 dan 3). Orangtua/ pengasuh dan balita diminta datang ke faskes,
atau tenaga kesehatan mengunjungi rumah balita untuk memberikan F-
100 berikutnya, sekaligus melakukan pemantauan. Hasil pemantauan
dicatat di Buku KIA. Periksa kemasan kosong F-100 pada setiap
kunjungan. Balita gizi buruk dengan anoreksia dapat dipertimbangkan
pemberian F-100 melalui NGT.

Tabel 2. Kandungan dan cara membuat F-100

Bahan makanan Per 1000 F-100 dengan susu F-100 dengan susu
ml skim bubuk full cream
Susu skim bubuk g 85 -
Susu full cream bubuk g - 110
Gula pasir g 50 50
Minyak sayur 60 30
Larutan elektrolit ml 20 20
Air ditambahkan ml 1000 1000
hingga
Nilai Gizi
Energi kkal 1000
Protein g 29
Laktosa g 42
Kalium mmol 59
Natrium mmol 19
Magnesium mmol 7,3
Seng mg 23
Tembaga (Cu) mg 2,5
28
% energi protein - 12
% energi lemak - 53
Osmolaritas mOsm/l 419
Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan tambahkan susu skim
sedikit demi sedikit, aduk sampai rata. Kemudian tambahkan larutan mineral mix, aduk
sampai rata dan encerkan dengan air yang telah dimasak sampai mendidih dan
sesudah didinginkan sampai sekitar 70°C, sedikit demi sedikit, aduk sampai homogen
hingga volume menjadi 1000 ml.

29
Jika tenaga kesehatan menggunakan F-100 yang dibuat sendiri,
maka suplementasi zat gizi mikro harus diberikan sebagai
berikut:
 Vitamin A:
• Bila tidak ditemukan tanda defisiensi vitamin A atau tidak
ada riwayat campak 3 bulan terakhir, maka vitamin A dosis
tinggi diberikan di hari ke-1 sesuai umur.
• Bila ditemukan tanda defisiensi vitamin A, seperti rabun senja
atau ada riwayat campak dalam 3 bulan terakhir, maka vitamin A
diberikan dalam dosis tinggi sesuai umur, pada hari ke-1, hari ke-2
dan hari ke-15.

30
Suplemen zat gizi mikro diberikan setiap hari paling sedikit selama 2
minggu:
• Asam folat (5 mg pada hari pertama, dan selanjutnya 1 mg/hari).
• Multivitamin (vitamin C dan vitamin B kompleks).
• Zat besi (3 mg/kgBB/hari) setelah berat badan mengalami kenaikan
(Tabel 4). Dibutuhkan waktu 2-4 minggu untuk koreksi anemia dan 1-3
bulan untuk menyimpan cadangan besi dalam tubuh.

Tabel 4. Suplementasi zat besi menurut berat badan


Suplementasi zat Berat Dosis Catatan
besi Badan
Tablet 10 - <15 kg ½ tab  Satu kali sehari selama > 14
besi/folat: Ferro hari sampai kadar Hb
15 - <20 kg ½ tab 1
sulfat 200 mg + normal selama 2 bulan
20 - 29 kg tab berturut-turut.
250 µg asam folat
 Lakukan pemeriksaan
= 60 mg besi kadar Hb
elemental saat masuk dan bila
Sirup besi: 3 - < 6 kg 1 ml mungkin diulang setiap 1
Ferro fumarat, 100 6 - <10 kg 1,25 ml bulan. Bila setelah
mg per 5 ml = 20 dievaluasi Hb tidak naik,
10 - <15 kg 2 ml
mg/ml besi pikirkan penyebab lain.
15 - <20 kg 2,5 ml
elemental
20-29 kg 4 ml

b. Bila menggunakan RUTF, maka dilakukan tes nafsu makan (Kotak 1),
yang sebaiknya dilakukan pada setiap kunjungan dengan menggunakan
RUTF. Jumlah RUTF yang diberikan sesuai dengan berat badan balita
dan diberikan untuk 7 hari. Contoh RUTF dapat dilihat pada Lampiran 4,
mengandung 500 kkal/bungkus (92 g) atau 545 kkal/100 g (lihat Tabel 5 dan
6). Informasikan kepada orangtua atau pengasuh cara pemberian dan
penyimpanan RUTF di rumah, baik yang belum dibuka maupun yang telah
dibuka kemasannya. Balita yang hasil tes nafsu makannya buruk dirujuk ke
rawat inap.
vi. Melakukan konseling kepada pengasuh tentang cara pemberian RUTF atau
F-100.
vii. Lakukan pencatatan hasil layanan dalam rekam medis dan
formulir rawat jalan (lihat Lampiran 5).

Prosedur yang dilakukan pada saat kunjungan ulang (seminggu


sekali):

1. Pada setiap kunjungan dilakukan penilaian kemajuan dengan


menimbang berat badan, periksa edema dan kondisi klinis

31
lainnya. Untuk mengukur kemajuan, digunakan target kenaikan
berat badan minimal 5 g/kgBB/hari atau 50
g/kgBB/minggu. Lakukan penilaian apakah kondisi balita
membaik atau memburuk.
2. Hitung ulang kebutuhan RUTF atau F-100 sesuai dengan berat
badan terakhir.

Tabel 5. Kandungan RUTF

Kandungan gizi per 100 gram


545
Energi: kkal
Protein: 13,6 g = 10% kalori protein
Lemak: 35,7 = 59% kalori lemak
g
(kemudian dengan pengurangan: 31% kalori karbohidrat = 42,2 g karbohidrat

Vitamin Mineral
Vitamin A: 910 mikrogram Kalsium: 320 miligram
Vitamin D: 16 mikrogram Fosfor: 394 miligram
Vitamin E: 20 miligram Potassium: 1111 miligram
Vitamin C: 53 miligram Magnesium 92 miligram
Vitamin B1: 0,6 miligram Zink: 14 miligram
Vitamin B2: 1,8 miligram Tembaga 1,78 miligram
Vitamin B6: 0,6 miligram Zat besi: 11,53 miligram
Vitamin B12: 1,8 mikrogram Yodium: 110 mikrogram
Vitamin K: 21 mikrogram Sodium: < 290 miligram
Biotin: 65 mikrogram Selenium: 30 mikrogram
Asam Folat: 210 mikrogram
Asam Patotenat: 3,1 miligram
Niasin: 5,3 miligram

Tabel 6. Jumlah RUTF dengan kandungan 500 kkal/bungkus (92 g) yang


diberikan sesuai dengan berat badan pada balita gizi buruk12

Berat badan Paket per Paket per Kkal per


balita (kg) hari minggu hari
4,0-4,9 1½ 10 750
5,0-6,9 2 15 1000
7,0-9,9 3 20 1.500
10,0-14,9 4 30 2.000

32
a. Pemberian zat gizi mikro: balita gizi buruk yang mendapatkan RUTF
tidak perlu diberikan lagi tambahan suplementasi zat gizi mikro
(seperti vitamin A, asam folat, zat besi, seng dan tembaga) karena
telah terkandung dalam RUTF. Pemberian vitamin A dosis tinggi diberikan
pada hari ke-1, ke-2 dan ke-15, hanya bila ditemukan tanda-tanda defisiensi
vitamin A atau ada riwayat campak dalam tiga bulan terakhir dengan dosis:
 bayi kurang dari 6 bulan: 50.000 SI;
 bayi 6-12 bulan: 100.000 SI; dan
 balita > 12 bulan:200.000 SI.

Jika tenaga kesehatan menggunakan F-100 yang dibuat sendiri,


maka suplementasi zat gizi mikro harus diberikan sesuai dengan
cara di bawah ini.
 Vitamin A:
Bila tidak ditemukan tanda defisiensi vitamin A atau tidak ada riwayat
campak 3 bulan terakhir, maka vitamin A dosis tinggi diberikan di hari
ke-1, dosis sesuai dengan umur.
Bila ditemukan tanda defisiensi vitamin A atau riwayat campak dalam 3
bulan terakhir, maka vitamin A diberikan dalam dosis tinggi sesuai
umur pada hari ke-1, ke-2 dan ke-15.
 Suplemen zat gizi mikro berikut ini diberikan setiap hari selama paling

BAB 4
sedikit 2 minggu:
Asam folat (5 mg pada hari pertama, dan selanjutnya 1 mg/hari).
Multivitamin (Vitamin C dan Vitamin B kompleks).
Zat besi (3 mg/kg BB/hari) setelah mendapatkan formula F-100 selama
2 hari (lihat Tabel 5). Suplementasi zat besi tidak diberikan pada
balita yang diberi RUTF.
2. Catat jumlah RUTF atau F-100 yang diberikan saat kunjungan dan jumlah sisa
jika balita belum habis jatah RUTF atau F-100 dari kunjungan sebelumnya.
3. Keluarga mendapat konseling pemberian makanan balita sesuai
umur/kebutuhan kalori dan pentingnya melakukan stimulasi tumbuh
kembang. Lakukan penilaian (Lampiran 7 dan 8).

33
a. Rawat Inap pada Balita Gizi Buruk

Layanan rawat inap dapat dilakukan di rumah sakit dan puskesmas rawat
inap. Ada dua jenis protokol dalam rawat inap balita dengan gizi
buruk sebagai berikut:
1. Balita gizi buruk usia 6-59 bulan dengan komplikasi dan/atau edema +3
atau dengan berat kurang dari 4 kg.
2. Bayi di bawah 6 bulan: semua bayi di bawah 6 bulan dengan gizi buruk
menjalani rawat inap, walaupun tidak ada komplikasi.
1. Rawat Inap pada Balita 6-59 Bulan Gizi Buruk
Penilaian awal difokuskan pada hal-hal berikut:
a. Penegakan diagnosis komplikasi/penyakit penyerta yang mengancam
jiwa dan segera lakukan layanan darurat untuk mengatasinya.
b. Konfirmasi status gizi buruk dengan pengukuran BB, PB atau TB, dan
LiLA sebagai data awal untuk pemantauan selanjutnya. Setelah itu
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap serta tindakan
lainnya berdasarkan 10 langkah tatalaksana gizi buruk.
c. Hasil pemeriksaan dicatat pada rekam medis pasien (Lampiran 5 a)
dan bagan rawat inap.
Tiga fase dalam terapi rawat inap
Terdapat tiga fase dalam tatalaksana rawat inap, yaitu:
a. Fase Stabilisasi;
b. Fase Transisi;
c. Fase Rehabilitasi.
Dalam ketiga fase itu terdapat 10 tindakan pelayanan rawat inap untuk
balita gizi buruk yang perlu dilakukan (Tabel 11).

Tabel 11. Tindakan pelayanan pada rawat inap balita gizi buruk menurut
fasenya

a. Fase Stabilisasi
34
BAB 4

Pada fase ini diprioritaskan penanganan kegawatdaruratan yang


mengancam jiwa:
i. Hipoglikemia.
ii. Hipotermia.
iii. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit.
iv. Infeksi.

i. Hipoglikemia
Semua balita gizi buruk berisiko mengalami hipoglikemia (kadar gula
darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl), sehingga setiap balita gizi buruk diberi
makan atau larutan glukosa 10% segera setelah masuk layanan rawat inap.
Pemberian makan yang sering (tiap 2 jam) sangat penting dilakukan pada anak
gizi buruk. Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar
gula darah, maka semua anak gizi buruk dianggap menderita hipoglikemia dan
segera ditangani sebagai berikut:
 Berikan 50 ml larutan glukosa 10% (1 sendok teh munjung gula pasir dalam 50
ml air)
secara oral/melalui NGT, segera dilanjutkan dengan pemberian Formula 75
(F-75).
 F-75 yang pertama, atau modifikasinya, diberikan 2 jam sekali dalam 24 jam
pertama, dilanjutkan setiap 2-3 jam, siang dan malam selama minimal dua
hari.
 Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian
F-75.
 Jika anak tidak sadar/letargi, berikan larutan glukosa 10% secara intravena
(bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/gula pasir 50 ml dengan
NGT. Jika glukosa IV tidak tersedia, berikan satu sendok teh gula ditambah 1
atau 2 tetes air di bawah lidah, dan ulangi setiap 20 menit untuk mencegah
terulangnya hipoglikemi. Pantau jangan sampai balita menelan gula
tersebut terlalu cepat sehingga memperlambat proses penyerapan.
 Hipoglikemia dan hipotermia seringkali merupakan tanda
adanya infeksi berat.

Pencegahan
 Beri F-75 sesegera mungkin, berikan setiap 2 jam selama 24 jam pertama.
Bila ada dehidrasi, lakukan rehidrasi terlebih dahulu. Pemberian makan
harus teratur setiap 2-3 jam, siang dan malam.

 Minta pengasuh untuk memperhatikan setiap kondisi balita, membantu


memberi makan dan menjaga balita tetap hangat.
 Periksa adanya distensi abdominal.

35
BAB 4
ii. Hipotermia
Hipotermia (suhu aksilar kurang dari 36 oC) sering ditemukan pada
balita gizi buruk dan jika ditemukan bersama hipoglikemia menandakan
adanya infeksi berat. Cadangan energi anak gizi buruk sangat terbatas,
sehingga tidak mampu memproduksi panas untuk mempertahankan suhu
tubuh.

Tatalaksana:
 Hangatkan tubuh balita dengan menutup seluruh tubuh, termasuk kepala,
dengan pakaian dan selimut.
 Juga dapat digunakan pemanas (tidak mengarah langsung kepada balita)
atau lampu di dekatnya (40 W dengan jarak 50 cm dari tubuh balita), atau
letakkan balita langsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke
kulit/metode kanguru).

Pencegahan
 Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas
angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut.
 Ganti pakaian dan seprei yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap
kering.
 Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu/setelah mandi,
selama pemeriksaan).
 Biarkan anak tidur dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di
malam hari.
 Beri makan F-75/modifikasinya setiap 2 jam, sesegera mungkin,
sepanjang hari/ siang-malam.
 Hati-hati bila menggunakan pemanas ruangan atau lampu pijar. Hindari
penggunaan botol air panas dan lampu neon/TL.

iii. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit

Diagnosis dan derajat dehidrasi pada balita gizi buruk sulit ditegakkan secara
akurat dengan tanda/gejala klinis saja. Semua balita gizi buruk dengan
diare/penurunan jumlah urin dianggap mengalami dehidrasi ringan.
Hipovolemia dapat terjadi bersamaan dengan adanya edema.

Tatalaksana (tergantung kondisi kegawatdaruratan yang ditemukan):


 Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat
BAB 4

dengan syok.
 Beri ReSoMal13 (lihat Tabel 12), secara oral atau melalui NGT, lakukan
lebih lambat dari rehidrasi pada anak dengan gizi baik:
36
- beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama;
- selanjutnya, berikan ReSoMal 5-10 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan

F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam. Jumlah yang
pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang keluar
dan apakah anak muntah.
 Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam.
 Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 2
tahun: 50-100 ml setiap buang air besar, usia ≥ 2 tahun: 100-200
ml setiap buang air besar.
Tabel 12. Cara membuat cairan ReSoMal

Bahan Jumlah

Oralit WHO* 1 sachet (200


ml)

Gula pasir 10 g

Larutan mineral-mix** 8 ml

Ditambah air sampai menjadi 400 ml

*2,6 g NaCl; 2,9 g trisodium citrate dihydrate; 1,5 g KCl; 13,5 g glukosa

**Lihat Tabel 14 untuk resep larutan mineral-mix

Jika balita gizi buruk dalam keadaan syok atau dehidrasi berat tapi tidak
memungkinkan untuk diberi rehidrasi oral/melalui NGT, maka rehidrasi
diberikan melalui infus cairan Ringer Laktat dan Dextrosa/Glukosa 10%
dengan perbandingan 1:1 (RLG 5%). Jumlah cairan yang diberikan
sebanyak 15 ml/kg BB selama 1 jam, atau 5 tetes/menit/kg BB (infus tetes
makro 20 ml/menit).
Mineral-mix juga telah tersedia dalam bentuk sachet. Setiap sachet serbuk mineral-
mix (8 gram) mengandung:

Kalium klorida 1,792 gram

Trikalium sitrat (1H2O) 0,648 gram

Magnesium klorida (6H2O) 0,608 gram

Seng asetat (2H2O) 0,066 gram

Tembaga sulfat 0,011 gram

Bahan tambahan secukupnya.


Cara membuat larutan mineral-mix/larutan elektrolit: 1 sachet mineral-mix ditambah air
37
BAB 4
matang menjadi larutan elektrolit 20 ml.

38
Tabel 13. Cara membuat cairan ReSoMal bila larutan mineral-mix tidak
tersedia
Bahan Jumlah
Oralit 1 sachet (200 ml)
Gula pasir 10 g
Bubuk KCl 0,8 g
Ditambah air sampai menjadi 400 ml
Karena larutan pengganti tidak mengandung Mg, Zn, dan Cu, maka dapat diberikan
makanan sumber mineral tersebut. Dapat pula diberikan MgSO4 40% IM 1 x/hari dengan
dosis 0,3 ml/kg BB, maksimum 2 ml/hari.

Tabel 14. Larutan mineral-mix


Larutan ini digunakan untuk pembuatan F-75, F-100 dan ReSoMal. Jika tidak tersedia larutan
mineral- mix siap pakai, buatlah larutan dengan menggunakan bahan berikut ini.

Bahan Jumlah
Kalium klorida (KCl) 89,5 g
Tripotassium citrate 32,4 g
BAB 4

Magnesium klorida (MgCl2. 6H2O) 30,5 g


Seng asetat (Zn asetat.2H20) 3,3 g
Tembaga sulfat (CuSO4. 5H2O) 0,56 g
Air: tambahkan menjadi 1000 ml

Jika ada, tambahkan juga selenium (0,01 g natrium selenat, NaSeO4.10H20) dan iodium
(0,005 g kalium iodida) per 1000 ml.
 Larutkan bahan ini dalam air matang yang sudah didinginkan.
 Simpan larutan dalam botol steril dan letakkan di dalam lemari es untuk menghambat
kerusakan. Buang jika berubah seperti berkabut. Buatlah larutan baru setiap bulan.
 Tambahkan 20 ml larutan mineral-mix pada setiap pembuatan 1000 ml F-75/F-100.
 Jika tidak mungkin untuk menyiapkan larutan mineral-mix dan juga tidak tersedia larutan
siap pakai, beri K, Mg dan Zn secara terpisah. Buat larutan KCl 10% (100 g dalam 1 liter air)
dan larutan 1,5% seng asetat (15 g dalam 1 liter air).

Untuk pembuatan ReSoMal, gunakan 45 ml larutan KCl 10% sebagai pengganti 40 ml


larutan mineral-mix, sedangkan untuk pembuatan F-75 dan F-100 gunakan 22,5 ml larutan
KCl 10% sebagai pengganti 20 ml larutan mineral-mix. Berikan larutan Zn-asetat 1,5% secara oral
dengan dosis 1 ml/kgBB/hari. Beri MgSO4 50% IM, 1x/hari dengan dosis 0,3 ml/kgBB/ hari,
maksimum 2 ml.

39
BAB 4

iv. Defisiensi gizi mikro

Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral.


Meskipun sering ditemukan anemia, zat besi tidak boleh diberikan
pada fase awal, dan baru diberikan setelah anak mempunyai nafsu
makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya pada
minggu kedua, mulai Fase Rehabilitasi). Zat besi dapat memperparah infeksi
bila diberikan terlalu dini. Pemberian zat gizi mikro sama dengan penjelasan
sebelumnya.
Jika tenaga kesehatan menggunakan F-75 dan F-100 yang dibuat
sendiri, maka suplementasi zat gizi mikro diberikan seperti
penjelasan pada Rawat Jalan.
Pemberian makan awal pada Fase Stabilisasi

Pemberian terapi gizi harus segera diberikan pada balita gizi buruk yang tidak
memerlukan tindakan kegawat-daruratan dan pada balita gizi buruk dengan
dehidrasi, hipotermi dan renjatan sepsis. Pemberian terapi gizi ini dilakukan
secara bertahap. Pada Fase Stabilisasi, balita gizi buruk diberi formula
terapeutik F-75, yang merupakan formula rendah protein (pada fase ini
protein tinggi dapat meningkatkan risiko kematian), rendah laktosa,
mengandung zat gizi makro dan mikro seimbang untuk memastikan kondisi stabil
pada balita.
F-75 mengandung 75 kkal/100 ml dan menormalkan kekurangan mikronutrien
serta gangguan fisiologi. F-75 dalam kemasan sudah mengandung semua
mikronutrien yang diperlukan untuk stabilisasi, sehingga tambahan mikronutrien
tidak diperlukan lagi. Bila tidak tersedia formula F-75 siap pakai, maka F-75 dapat
dibuat berdasarkan resep formula WHO F-75. Resep F-75 dan F-100 dapat dilihat
pada Tabel 15 dan resep formula modifikasinya dapat dilihat pada Tabel 16.

Tatalaksana
Hal yang penting diperhatikan pada pemberian makanan pada Fase Stabilisasi
BAB 4

adalah:
i. Makanan rendah osmolaritas, rendah laktosa, diberikan dalam jumlah sedikit
BAB 4

tetapi sering.
ii. Makanan diberikan secara oral atau melalui NGT dengan jumlah dan frekuensi
seperti dijelaskan pada Tabel 17. Pemberian makanan parenteral dihindari.
Pemberian makan dengan menggunakan NGT dilakukan jika balita
menghabiskan F-75 kurang dari 80% dari jumlah yang diberikan dalam dua kali

38
pemberian makan.

iii. Jumlahenergi/kalori: 100 kkal/kgBB/hari dan protein: 1-1.5 g/kgBB/hari.


iv. Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat maka diberi 100
ml/kgBB/hari).
v. Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa balita
menghabiskan F-75 sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.
vi. Gunakan cangkir untuk memberi makan balita. Pada balita gizi buruk yang
sangat lemah, gunakan sendok, semprit atau syringe.
Peningkatan jumlah dan frekuesi pemberian F-75 dilakukan bertahap bila makanan dapat
dihabiskan dan tidak ada reaksi muntah atau diare. Jumlah F-75 yang diberikan disesuaikan
dengan perubahan berat badan.
Bila jumlah petugas terbatas, prioritas diberikan untuk pemberian makan setiap 2
jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling berat, dan bila terpaksa
diupayakan agar paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan. Ajari orang tua/penunggu
pasien. Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak
terlalu lama tanpa pemberian makanan (puasa dapat meningkatkan risiko kematian). Bila
pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan minimal (80
kkal/kgBB/ hari), berikan sisanya melalui NGT. Pemberian makanan pada fase awal
ini tidak boleh melebihi 100 kkal/kgBB/hari.
Pada cuaca yang sangat panas dan balita berkeringat banyak, maka balita perlu mendapat
air/cairan ekstra. Pada balita gizi buruk dengan diare persisten akan lebih baik
diberikan F-75 yang berbahan serealia. Sebagian gula diganti dengan tepung beras atau
maizena, sehingga osmolaritasnya lebih rendah. Pembuatan F-75 berbahan serealia perlu
dimasak dulu.

Pemantauan

BAB 4
Pemantauan dilakukan dengan mencatat setiap hari:
• Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan.

• Jumlah dan frekuensi muntah.

• Frekuensi defekasi dan konsistensi feses.

• Berat badan.
b. Fase Transisi

Fase ini ditandai oleh transisi dari kondisi stabil ke kondisi yang memenuhi syarat untuk
menjalani rawat jalan. Fase Transisi dimulai ketika:
 Komplikasi medis teratasi;
 Tidak ada hipoglikemia;

39
 Nafsu makan pulih;
 Edema berkurang.

40
i. Transisi ke layanan rawat jalan

Tujuannya adalah untuk:


 mempersiapkan rehabilitasi gizi pada balita dengan gizi buruk agar
dapat menjalani rawat jalan dan mengonsumsi RUTF atau F-100 dalam
jumlah cukup untuk meningkatkan berat badan dan kesembuhan;

 memastikan balita tersebut untuk memperoleh kebutuhan gizi yang


dibutuhkan, yang dilakukan dengan memperkenalkan dan meningkatkan
proporsi harian pemberian RUTF atau F-100 secara bertahap.
Perlu diperhatikan bahwa lingkungan RS/tempat rawat inap berisiko
mengakibatkan infeksi nosokomial yang dapat menyebabkan kematian. Di
samping itu, rawat inap yang terlalu lama bisa mengganggu kehidupan
keluarga, terutama keluarga yang mempunyai banyak anak. Meskipun
pemulihan mungkin berjalan lebih lambat pada layanan rawat jalan, namun
pilihan ini lebih baik. Dalam proses pemulihan, balita sebaiknya dipindahkan
secepatnya ke layanan rawat jalan dan mulai diajak bermain dengan bahan-
bahan yang ada untuk stimulasi tumbuh kembang (lihat Lampiran 8).

ii. Transisi ke layanan rawat inap Fase Rehabilitasi


BAB 4

Bila tidak tersedia layanan rawat jalan, balita dirawat dan dipulihkan
sepenuhnya di layanan rawat inap. Bila setidaknya 80% dari jatah F-100
yang diresepkan berhasil diminum habis lewat mulut dan tidak ada masalah lain
yang ditemukan dalam pemantauan, balita dinilai siap melanjutkan ke fase
Rehabilitasi.

Tatalaksana
Transisi dilakukan secara bertahap dari F-75 ke F-100 atau RUTF selama 2-3
hari, sesuai dengan kondisi balita.
Formula F-75 diganti menjadi F-100 dalam volume yang sama seperti
pemberian F-75

yang terakhir selama 2 hari. Berikan formula tumbuh kejar (F-100 atau RUTF)
yang mengandung 100 kkal/100 ml dan 2,9 g protein/100 ml.
Pada hari ke-3:

Bila menggunakan F-100, jumlah F-100 dinaikkan sebanyak 10 ml/kali


pemberian sampai balita tidak mampu menghabiskan/tersisa sedikit. Biasanya

41
hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Setelah
transisi bertahap, berikan dalam frekuensi yang sering, dengan jumlah kalori:
150-220 kkal/kgBB/hari dan protein: 4-6 g/ kgBB/hari.
Bila menggunakan RUTF (lihat Kotak 3): pemberian RUTF dimulai dengan porsi
kecil tapi teratur. Balita dibujuk untuk makan RUTF lebih sering (8 kali/hari, dan
kemudian dapat menjadi 5-6 kali/hari).
Bila balita tidak dapat menghabiskan jumlah RUTF yang dibutuhkan pada Fase
Transisi ini, maka beri tambahan F-75 sehingga mencapai kebutuhan balita/hari.
Lakukan sampai balita mampu menghabiskan RUTF yang diberikan.
Bila balita tidak dapat menghabiskan sedikitnya setengah dari jumlah
RUTF yang dibutuhkan dalam 12 jam, maka pemberian RUTF dihentikan dan
kembali diberikan F-75. Setelah itu, pemberian RUTF dicoba lagi dalam 1-2 hari
sampai balita mampu menghabiskan jumlah RUTF yang diberikan.
Bila balita masih mendapat ASI, maka pemberian ASI dilanjutkan, dengan
memastikan bahwa balita terlebih dahulu menghabiskan F-100 atau RUTF
sesuai jumlah yang telah ditentukan.

BAB 4
Kotak 3. Prosedur pengenalan RUTF

1. Persiapkan dosis RUTF yang dianjurkan, F-75 dengan jumlah tepat dan segelas air
minum.
2. Pengasuh diingatkan agar mencuci tangannya sendiri serta tangan dan wajah balita.
3. Minta pengasuh menawarkannya pada balita (lihat cara memberikan RUTF-tes
nafsu makan).
4. Amati balita saat makan RUTF.
5. Tiap selesai memberikan suapan penuh, balita harus ditawari ASI/air minum.
6. Jika tidak mampu mengonsumsi jumlah RUTF yang dibutuhkan, anak harus
ditawari F-75 untuk diminum sebagai pelengkap RUTF yang sudah dimakan.
Waktu yang diperlukan untuk konsumsi RUTF dan F-75 (jika diperlukan)
semestinya tidak lebih dari 1 jam.
7. Catat jumlah F-75 dan RUTF yang dihabiskan pada kartu perawatan pasien.
8. Setiap kali selesai memberikan, RUTF harus disimpan di tempat sejuk, kering,
bebas dari serangga agar dapat digunakan kembali pada jadwal pemberian makan
selanjutnya.
9. Proses menawarkan RUTF dan F-75 dilanjutkan sampai balita mampu
menghabiskan jumlah yang dibutuhkan dalam waktu 24 jam.

c. Fase Rehabilitasi

Setelah Fase Transisi, balita mendapatkan perawatan lanjutan ke fase Rehabilitasi di

42
layanan rawat jalan, atau tetap di layanan rawat inap bila tidak tersedia layanan rawat
jalan.
Tatalaksana
Kebutuhan zat gizi pada Fase Rehabilitasi adalah:

Energi : 150-220 kkal/kgBB/hari Protein : 4-6 g/kgBB/hari


Bila menggunakan RUTF: sama seperti pemberian RUTF pada layanan rawat
jalan.
Bila menggunakan F-100: lihat Tabel 3 dan Tabel 18.

Tabel 18. Kebutuhan zat gizi untuk balita gizi buruk menurut fasenya

Pemantauan
Hal yang perlu dihindari pada fase ini adalah terjadinya gagal jantung. Perlu
diamati gejala dini gagal jantung, yaitu nadi cepat dan nafas cepat. Bila keduanya
meningkat, yaitu pernafasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit) yang menetap
selama 2 kali pemeriksaan masing-masing dengan jarak 4 jam berturut-turut,
maka hal ini merupakan tanda bahaya yang perlu dicari penyebabnya.

Bila terdapat gejala dini gagal jantung, langkah-langkah berikut perlu segera
dilakukan

 Volume makanan dikurangi, menjadi 100 ml/kgBB/hari diberikan tiap dua jam.

 Selanjutnya volume makanan ditingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut:


115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya; 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam
BAB 4

berikutnya; selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml.


 Penyebab ditelusuri dan kemudian diatasi.

Penilaian kemajuan
Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah Fase
Transisi dan mendapat F-100 atau RUTF.

43
 Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan. Hitung
dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari.
 Bila kenaikan berat badan:
kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 5 g/kg BB/hari,
balita membutuhkan penilaian ulang lengkap;
sedang, yaitu bila kenaikan berat badan 5-10 g/kg BB/hari), perlu diperiksa apakah
target asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi;
baik, yaitu bila kenaikan berat badan lebih dari 10 g/kg BB/hari. ATAU
kurang, yaitu bila kenaikan berat badan kurang dari 50 g/kg BB/per minggu,
maka balita membutuhkan penilaian ulang lengkap;
baik, yaitu bila kenaikan berat badan ≥ 50 g/kg BB/per minggu

Bila tatalaksana gagal, dilakukan analisis kegagalan terapi sebagai berikut:


i) apakah F-100 atau RUTF diberikan dengan benar; ii) apakah frekuensi pemberian
makanan tersebut benar (8 kali/hari); iii) apakah F-100/RUTF yang diberikan dapat dihabiskan;
iv) apakah anak sakit.

2. Rawat Inap pada Bayi Gizi Buruk Usia Kurang dari 6 Bulan

Bayi berusia kurang dari 6 bulan dengan gizi buruk harus mendapat layanan rawat
inap. Tatalaksananya perlu perhatian khusus, karena:
a. seringkali ada penyebab organik, misalnya adanya penyakit atau gangguan
yang terjadi sejak di dalam kandungan, kelahiran prematur atau proses persalinan
yang menimbulkan gangguan kesehatan bayi baru lahir, di samping adanya
masalah asupan gizi;
b. fisiologi berbeda dari anak balita, sehingga F-100 harus diencerkan untuk
Fase Rehabilitasi;
c. menyusu merupakan bagian terpenting untuk rehabilitasi dan sebagai
penunjang kelangsungan hidup, karena itu kesehatan ibu merupakan hal
yang sangat penting;
d. rehabilitasi membutuhkan tenaga terampil dan supervisi yang lebih
intensif.
Tatalaksana rawat inap bayi berusia kurang dari 6 bulan dengan gizi buruk dan bayi di
atas 6 bulan dengan berat badan kurang dari 4 kg melewati fase-fase yang sama
dengan rawat inap balita dengan gizi buruk pada umumnya, yaitu Fase Stabilisasi,
Transisi dan Rehabilitasi. Suatu hal khusus adalah pemberian ASI merupakan hal yang

44
sangat menentukan, karena dalam 6 bulan pertama kehidupannya makanan bayi adalah
ASI (ASI eksklusif).

a. Bayi < 6 bulan dengan gizi buruk dan ada kemungkinan pemberian ASI

Di bawah ini adalah tatalaksana pada tiap fase bila ada kemungkinan pemberian ASI.

i. Fase Stabilisasi
 Atasi komplikasi sesuai dengan protokol umum. Bayi < 6 bulan sangat rawan
terhadap hipoglikemia dan hipotermia.
 Mulai refeeding dengan susu formula pengganti. Beri formula dengan jumlah tetap
(130 ml/kgBB/hari).
Segera berikan F-75/F-100 yang diencerkan; atau bila keduanya tidak ada, berikan
formula dan teruskan pemberian setiap 2-3 jam.

Berikan terapi gizi dengan menggunakan cangkir, atau suplementer (bila bayi
mampu menghisap), atau dengan teknik drip-drop atau NGT.
 Dukungan pemberian ASI yang bertujuan meningkatkan produksi ASI dan

menerapkan kembali ASI eksklusif sehingga bayi dipulangkan hanya


dengan ASI.
Bila ASI masih ada dan bayi mampu menghisap:
 satu jam sebelum pemberian F-75/F-100 yang diencerkan/formula,
berikan ASI selama lebih kurang 20 menit. Lakukan hal ini siang dan
malam;
 Pada masa ini, F-75/F-100 yang diencerkan/formula merupakan makanan
utama, sedangkan ASI merupakan makanan tambahan. Pastikan
hal ini dilakukan dengan teknik yang benar;
 catat pemberian ASI pada tabel atau grafik (untuk memperlihatkan kepada ibu

pentingnya ASI);
 awasi bahwa menyusui benar-benar dilakukan.
Bila ASI masih ada tetapi bayi tidak mampu atau tidak mau menyusu:
 bantu ibu memerah ASI, yang dilakukan minimal 8x/hari selama 20-30 menit tiap
kali, walaupun ASI yang didapat hanya sedikit;
 berikan ASI perah kepada bayi dengan cara drip-drop/dengan cangkir/NGT;
 bila bayi sudah cukup kuat atau sudah mampu menghisap, bantu ibu untuk
meningkatkan pemerahan ASI.

45
Bila ASI tidak ada/menyusu telah dihentikan, maka ibu dianjurkan menyusui
kembali:
 bantu ibu melakukan relaktasi;
 berikan F-75/F-100 yang diencerkan atau formula dengan suplementer.

ii. Fase Transisi


Pada Fase transisi, formula yang digunakan tetap sama. Transisi yang terjadi adalah
mengupayakan agar bayi semakin banyak mendapatkan ASI dan secara bertahap
diharapkan bayi hanya mendapat ASI ketika pulang.

iii. Fase Rehabilitasi


Tujuan yang ingin dicapai pada fase ini adalah:
a. menurunkan jumlah formula yang diberikan;
b. mempertahankan kenaikan berat badan, dan
c. melanjutkan pemberian ASI.

Kemajuan klinis pada bayi dinilai dari kenaikan berat badan setiap hari:
a. Bila berat badan turun atau tidak naik selama 3 hari berturut-turut tetapi bayi tampak

lapar dan menghabiskan semua formula yang diberikan, tambahkan 5ml pada setiap
pemberian formula.

b. Biasanya suplementasi formula tidak bertambah selama perawatan tetapi berat


badan naik, yang berarti produksi ASI terus meningkat.
c. Bila setelah beberapa hari bayi tidak lagi menghabiskan jatah formulanya tetapi BB
tetap naik, berarti asupan ASI meningkat dan bayi mendapat cukup asupan untuk
memenuhi kebutuhan.
d. Bayi ditimbang setiap hari dengan timbangan yang mempunyai ketelitian sampai
10 g

Ketika bayi menunjukkan kenaikan BB 20 g/hari (kenaikan absolut), maka:


a. Pemberian F-100 yang diencerkan dikurangi jumlahnya. Pada awal F-100 yang
diencerkan dikurangi ¼ dari jumlah yang seharusnya, kemudian bertahap
dikurangi menjadi ½ nya. Dengan demikian bayi akan mendapat ASI lebih banyak.
b. Bila kenaikan berat badan tetap terjaga (10 g/hari tanpa melihat BB sekarang), F-100
yang diencerkan dapat dihentikan sama sekali.
c. Tetapi bila tidak terjadi kenaikan berat badan, maka pemberian formula kembali
ditambah hingga 75% (atau jatah) selama 2-3 hari. Bila kenaikan berat badan sudah
stabil, selanjutnya pemberian F-100 yang diencerkan dapat dikurangi dan dihentikan.

46
d. Dianjurkan untuk merawat bayi beberapa hari berikutnya dengan hanya mendapat ASI
untuk memastikan berat badan tetap naik, barulah bayi dipulangkan tanpa melihat
berapa berat badannya ataupun indeks BB/PB.

47
Gizi adekuat dan suplementasi bagi ibu menyusui
Ibu menyusui memerlukan energi ekstra sebesar 450 kkal/hari. Zat gizi mikro esensial
yang terkandung dalam ASI berasal dari diet dan suplementasi zat gizi mikro yang
diberikan kepada ibu. Karena itu, sangat penting untuk memenuhi kebutuhan energi
dan zat gizi ibu menyusui dengan mengonsumsi paling sedikit 2500 kkal/hari; dan
sesuai dengan program, ibu nifas mendapat 2 kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000
SI). Ibu dianjurkan minum minimal 2 L/hari, karena dehidrasi dapat mengurangi
produksi ASI.
b. Bayi kurang dari 6 bulan gizi buruk, dan TIDAK ada kemungkinan pemberian ASI
Mengingat bahwa ASI tidak mungkin diberikan, maka tujuan tatalaksana pada keadaan ini
adalah bayi gizi buruk mendapat makanan pengganti yang aman dan sesuai untuk
rehabilitasi gizi. Bayi dipulangkan dengan diberikan formula dan pengasuh memahami
cara yang aman pemberiannya. Fase yang dilalui menuju pemulihan sama dengan
bayi < 6 bulan dengan kemungkinan pemberian ASI. Di bawah ini penjelasan tentang
tatalaksana menurut tiga fase.
i. Fase Stabilisasi
Bayi diberi obat rutin dan suplemen:
 antibiotika: Amoksisilin diberikan 15mg/kgBB/kali setiap 8 jam selama 5 hari
sedangkan untuk bayi dengan berat badan di bawah 3 kg diberikan setiap 12 jam.
Kloramfenikol TIDAK diberikan kepada bayi muda;
 vitamin A 50.000 SI dosis tunggal pada hari pertama;

 asam folat 2,5 mg dosis tunggal;

 sulfas ferosus: diberikan segera setelah bayi dapat menghisap dengan baik dan
berat badan naik.

Terapi dietetik:
 pada Fase Stabilisasi, harus diberikan F-75 atau F-100 yang diencerkan. F-100
tidak boleh diberikan dengan konsentrasi penuh;
 bayi kurang dari 6 bulan dengan edema harus selalu diberi F-75 pada Fase
Stabilisasi;
 jumlah F-75 atau F-100 yang diencerkan dapat dilihat pada Tabel 19;

 berikan formula dengan cangkir atau dengan diteteskan melalui NGT (hanya
digunakan bila formula tidak dapat diberikan dalam jumlah cukup secara oral);
48
 terapkan teknik pemberian makan yang tepat, agar asupan makanan adekuat.

49
Tabel 19. Jumlah pemberian setiap kali minum F-75/F-100 yang
diencerkan pada bayi < 6 bulan yang menderita gizi buruk

Stabilisasi Transisi Rehabilitasi


F-100 yang diencerkan (atau F- F-100 yang diencerkan
Berat badan 75 pada bayi gizi buruk dengan
(kg) edema )
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah pemberian
pemberian (ml) pemberian (ml) pemberian (ml) setiap 4 jam (6
setiap 2 jam (12 setiap 3 jam (8 (ml) setiap kali / hari)
kali / hari) kali 2 jam (12
/ hari) kali / hari)
< 1,3 15 25
1,3 – 1,5 20 30 30 50
1,6 – 1,8 25 35 40 60
1,9 – 2,1 25 40 45 70
2,2 – 2,4 30 45 50 80
2,5 – 2,7 35 45 55 90
2,8 – 2,9 35 50 60 100
3,0 – 3,4 40 60 70 115
3,5 – 3,9 45 65 80 130
4,0 – 4,4 50 75 90 150
4,5 – 4,9 55 85 100 165
BAB 4

5,0 – 5,4 60 90 110 180


5,5 – 5,9 65 100 120 200
6,0 – 6,4 70 105 130 215
6,5 – 6,9 75 115 140 230
Volume dibulatkan ke 5 ml terdekat

Kriteria peralihan dari Fase Stabilisasi ke Fase Transisi:


 kembalinya nafsu makan;

 mulai menghilangnya edema pada bayi yang semula ada edema. Bayi dengan edema
berat (+3) harus tetap di Fase Stabilisasi sampai edema berkurang (+2).
ii. Fase Transisi Terapi dietetik
 Hanya F-100 yang diencerkan yang diberikan.

 Jumlah F-100 yang diencerkan dinaikkan 1/3 dari jumlah yang diberikan pada Fase
Stabilisasi.
 Tabel 19 digunakan untuk menentukan jumlah F-100 yang diencerkan.

50
iii. Fase Rehabilitasi Terapi dietetik
 Hanya F-100 yang diencerkan yang digunakan.

 Selama fase Rehabilitasi, bayi mendapat formula terapeutik (F-100 yang


diencerkan) sebanyak 2 kali jumlah yang diberikan pada Fase Stabilisasi.
 Tabel 19 digunakan untuk menentukan jumlah formula terapeutik yang diberikan
pada bayi yang tidak mendapat ASI.

Pemantauan
Pemantauan tidak berbeda baik pada Fase Stabilisasi, Transisi dan
Rehabilitasi, baik bagi bayi dengan ASI maupun tanpa ASI. Parameter
yang harus dipantau dan dicatat dalam rekam medik:
 Berat badan
 Derajat edema (0 sampai +3)
 Suhu tubuh (diukur 2 kali sehari)
 Gejala klinis: batuk, muntah, defekasi, dehidrasi, pernafasan, ukuran organ hati
 Hal-hal lain yang perlu dicatat, misalnya menolak makan, rute asupan
makanan (oral, NGT atau parenteral), transfusi

Kriteria sembuh/selesai perawatan


BAB 4

 Z-Skor BB/PB ≥ -2 SD selama 3 hari berturut-turut


 Tidak ada edema selama 2 minggu23
 Kondisi klinis baik, anak sadar dan tidak ada masalah medis
 Saat dipulangkan, F-100 yang diencerkan dapat diganti dengan
formula bayi standar

Kriteria pindah ke layanan rawat jalan


 Kondisi klinis baik, bayi sadar dan tidak ada masalah medis
 Tidak ada edema
 Bayi dapat menyusui dengan baik atau mendapatkan asupan yang cukup
 Kenaikan berat badan cukup (>5 g/kgBB/hari) selama 3 hari berturut-turut

Kriteria bayi < 6 bulan bisa keluar dari semua layanan gizi buruk
 Bayi menyusui dengan baik atau mendapatkan pengganti ASI yang cukup
 Kenaikan berat badan yang cukup
 Z-Skor BB/PB ≥ -2 SD

51
BAB V

LOGISTIK

A. LOGISTIK
Kebutuhan anggaran kegiatan pelayanan penganggulangan Stunting dan
Wasting di dukung dari anggaran BLU Rumah Sakit Bhayangkara Lemdiklat Polri.

52
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

A. KESELAMATAN PASIEN
Kewaspadaan merupakan upaya pencegahan infeksi yang mengalami
perjalanan panjang. Mulai dari infeksi nosokomial yang menjadi ancaman bagi
petugas kesehatan dan pasien. Seperangkat prosedur dan pedoman yang dirancang
untuk mencegah terjadinya infeksi pada tenaga kesehatan dan juga memutus rantai
penularan ke pasien. Terutama untuk mencegah penularan melalui darah dan cairan
tubuh,seperti: HIV dan HBV → juga patogen lain.
Prinsip Kewaspadaan Umum dijabarkan dalam kegiatan pokok yaitu :

1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang

Cuci tangan dilakukan :

a. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan bahan


terkontaminasi lain.

b. Segera setelah melepas sarung tangan.

c. Diantara kontak dengan pasien

d. Tidak direkomendasikan mencuci tangan saat masih memakai sarung


tangan
e. Cuci tangan 6 langkah.

f. Prosedur terpenting untuk mencegah tranmisi penyebab infeksi

g. Antiseptik dan air mengalir atau handrub

2. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

a. Sarung Tangan

b. Masker

c. Kaca Mata/ Goggle

d. Gaun/Jubah/Apron

e. Pelindung Kaki (Sendal tertutup)


53
3. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai (Dekontaminasi, Sterilisasi,
Disinfeksi)
a. Dekontaminasi : Suatu proses menghilangkan mikroorganisme patogen dan
kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan alkes bekas pakai
b. Pencucian : Proses secara fisik untuk menghilangkan kotoran terutama bekas
darah, cairan tubuh dan benda asing lainnya seperti debu, kotoran yang
menempel di kulit atau alat kesehatan
c. Disinfeksi : Suatu proses untuk menghilangan sebagian mikroorganisme
d. Disinfeksi Tingkat Tinggi = DTT
1) Suatu proses untuk menghilangan mikroorganisme dari alat
kesehatan kecuali beberapa endospora bakteri
2) Alternatif penanganan alkes apabila tdk tersedia sterilisator atau tidak
mungkin dilaksanakan.
3) Dapat membunuh Mikroorganisme (hep B, HIV), namun tidak

membunuh endospora dengan sempurna seperti tetanus.

e. Sterilisasi
Suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk
endospora bakteri dari alat kesehatan. Cara yang paling aman utk pengolaan
alkes yang berhubungan langsung dengandarah.

54
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

A. KESELAMATAN KERJA
Seluruh petugas wajib mentaati semua prosedur kerja (termasuk optimalisasi
penerapan Kewaspadaan Universal Precaution) yang sudah ditetapkan oleh rumah
sakit bila terjadi kecelakaan kerja maka akan dilakukan tindak lanjut sesuai prosedur
terpapar pajanan oleh Tim PPI dan K3.

55
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

A. PENGENDALIAN MUTU
Melakukan pengkajian SDM. Hasil / capaian yang didapat dilakukan analisis
tindak lanjut untuk mendapatkan capaian yang maksimal; dengan melakukan
pembahasan bersama semua pelaksana unit kerja terkait / staf untuk mendapatkan
solusi / jalan keluar terkait dengan mutu pelayanan rumah sakit.

56
BAB X

PENUTUP

Demikian pedoman ini disusun agar dapat dipergunakan sebagai acuan


dalam memberikan pelayanan terkait penanggulangan Stunting dan Wasting di RS
Bhayangkara Lemdiklat Polri dan senantiasa akan dilakukan revisi sebagai bentuk
penyesuaian dengan perkembangan yang ada.

Jakarta, September 2022


Mengetahui,
KARUMKIT BHAYANGKARA LEMDIKLAT POLRI

dr. RINI AFRIANTI, MKK


PEMBINA TK. I NIP. 197304172002122003

57

Anda mungkin juga menyukai