Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA IBU HAMIL DENGAN ABORTUS

DOSEN PENGAMPU:
Farida Purnamasari, S.Kep, M.K.M

DISUSUN OLEH
Kelompok 2:
1. Muhammad Reza Maulana (21020)
2. Syalsabila Sundari Wahab (21038)
3. Wayan Dewi Andini (21040)

DIII KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN KERIS HUSADA 2021/2022


Jl. Yos Sudarso Komplek Marinir Cilandak Jakarta Selatan Telp/Fax : 021-
78845502 Email : info@akperkerishusada.ac.id Website :
www.akperkerishusada.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan materi "Asuhan Keperawatan pada
Ibu Hamil dengan Abortus”.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Maternitas. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang abortus ibu hamil bagi para pembaca dan juga bagi pennlis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Farida Purnamasari, S.Kep, M.K.M selaku
dosen mata kuliah Keperawatan Maternitas yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari,
makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 30 Maret 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang .....................................................................................
B. Rumusan Masalah ................................................................................
C. Tujuan Penelitian .................................................................................
D. Manfaat penelitian................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
A. Konsep Abortus....................................................................................
1. Pengertian Abortus .........................................................................
2. Klasifikasi Abortus ........................................................................
3. Etiologi Abortus .............................................................................
4. Patofisiologi Abortus .....................................................................
5. Manifestasi Klinis Abortus ............................................................
6. Pemeriksaan Diagnostik Abortus...................................................
7. Penatalaksanaan Abortus ...............................................................
8. Komplikasi Abortus .......................................................................
B. Konsep Asuhan Keperawatan pada Kasus Abortus .............................
1. Pengkajian Keperawatan................................................................
2. Diagnosis Keperawatan..................................................................
3. Rencana Keperawatan....................................................................
4. Implementasi Keperawatan............................................................
5. Evaluasi Keperawatan....................................................................
BAB V PENUTUP..........................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka kematian ibu di Indonesia ini masih sangat tinggi mengingat target
SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2030 mengurangi angka
kematian ibu hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan
RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2015-2019, target angka
kematian ibu pada tahun 2019 yaitu 306 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes
RI, 2014).

Sebagian ibu hamil akan menghadapi kegawatan dengan derajat ringan


sampai berat yang dapat memberikan bahaya terjadinya ketidaknyamanan,
ketidakpuasan, kesakitan, kecacatan bahkan kematian bagi ibu dan bayinya.
Komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya perdarahan (Prawirohardjo,
2014).
Estimasi kejadian abortus tercatat oleh WHO sebanyak 40-50 juta, sama
halnya dengan 125.000 abortus per hari. Pada tahun 2010-2014, rata- rata sekitar
56 juta abortus yang di induksi terjadi di seluruh dunia pada setiap tahunnya. Sekitar
35 orang per 1000 wanita yang berusia antara 15 – 44 tahun, 25% dari semua
kehamilan berakhir dengan abortus (aman dan tidak aman). Hampir 88% dari semua
abortus berlangsung di negara berkembang dari pada negara maju (WHO, 2015).

Menurut Hamidah (2013) faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian


abortus imminens yang dilakukan di RSUP Ciptomangunkusumo Jakarta Tahun
2012 adalah usia, paritas, usia kehamilan dan riwayat abortus. Penelitian Putri
Nurvita Rochmawati (2013) mengungkapkan bahwa faktor-faktor dari abortus
diantaranya adalah pengaruh usia ibu, pengaruh interval kehamilan terhadap
abortus serta pengaruh paritas ibu terhadap kejadian abortus.
Pada kasus abortus tidak menutup kemungkinan terjadinya perdarahan.
Dengan adanya perdarahan tersebut menyebabkan defisit volume cairan yang
terjadi karena banyaknya perdarahan itu sendiri. Selain itu, penderita abortus
imminens juga akan mengalami perubahan aktivitas karena adanya perdarahan
sehingga tubuh akan mengalami kelemahan fisik dan akhirnya terjadi gangguan
pola aktifitas. Dari masalah tersebut, maka peran perawat sangat penting dalam
memberikan asuhan keperawatan.

Perawat sebagai tenaga professional mempunyai beberapa peran dan fungsi.


Salah satu fungsi utama perawat adalah meningkatkan kesehatan melalui upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawab perawat (Ali, 2013).

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar abortus ?
Apa saja klasifikasi abortus ?
bagaimana penerapan asuhan keperawatan ibu hamil dengan abortus?

Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menjelaskan Konsep Penerapan Asuhan Keperawatan pada Ibu Hamil dengan
Abortus
Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan pengkajian pada ibu hamil dengan abortus .
b. Mampu mendeskripsikan rumusan diagnosis keperawatan pada ibu hamil
dengan abortus.
c. Mampu mendeskripsikan perencanaan tindakan pada ibu hamil dengan
abortus.
d. Mampu mendeskripsikan pelaksanaan tindakan keperawatan pada ibu hamil
dengan abortus.
e. Mampu mendeskripsikan evaluasi asuhan keperawatan pada ibu hamil
dengan abortus.

C. Manfaat Penelitian
a. Bagi Penulis
Penulisan ini dapat menambah wawasan tentang konsep dasar abortus dan
konsep dasar asuhan keperawatan ibu hamil dengan abortus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Kasus Abortus


1. Pengertian Abortus
Menurut Nugroho (2012) dan Prawirohardjo (2014) abortus adalah terhentinya
kehamilan atau ancaman pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup
di luar kandungan jika tidak ditanggulangi dengan baik pada usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.
Ratnawati (2016) mengemukakan bahwa abortus adalah berakhirnya kehamilan
dengan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan
dengan usia kehamilan kurang dari 20 minggu.

2. Klasifikasi Abortus
Menurut Reeder (2014) dan Prawirohardjo (2014), klasifikasi abortus spontan
adalah sebagai berikut :
a) Abortus Imminens
Adalah perdarahan pervaginam atau perdarahan bercak-bercak yang terjadi
pada awal masa kehamilan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu yang
dapat berkaitan atau tidak dapat berkaitan dengan kram ringan, proses tersebut
dapat berkurang atau dapat menyebabkan abortus.
b) Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar
dan ostium uteri telah membuka, namun janin masih dalam rahim dan dalam
proses pengeluaran.
c) Abortus komplit
Semua hasil konsepsi telah keluar, perdarahan ringan, kram uterus ringan. Hasil
konsepsi yang keluar dari kavum uteri berkisar pada usia kehamilan 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.
d) Abortus Inkomplit
Sebagian hasil konsepsi telah dikeluarkan, tetapi sebagian lagi (biasanya
plasenta) tertahan dalam uterus, perdarahan hebat biasanya terjadi sampai hasil
konsepsi yang tertinggal dalam uterus dapat dikeluarkan.
e) Missed Abortion
Janin meninggal dalam uterus sebelum kehamilan 20 minggu tetapi hasil
konsepsi seluruhnya masih tertinggal dalam uterus.

3. Etiologi
Menurut Maryunani & Eka (2013) dan Prawirohardjo (2014) penyebab abortus
(early pregnancy loss) bervariasi, biasanya disebabkan lebih dari satu penyebab,
penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio.
Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama, separuh dari
abortus berupa trisomi autosom. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat
menyebabkan kematian janin atau cacat kelainan berat pada kehamilan muda.
b. Faktor Autoimun
Antara abortus berulang dan penyakit autoimun terdapat hubungan yang nyata.
Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosus (SLE) dan Antiphospholipid
Antibodies (aPA). aPA merupakan antibody spesifik yang didapati pada
perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan diantara pasien SLE sekitar
10 %, dibanding populasi umum. aPA merupakan antibodi yang akan berikatan
dengan sisi negatif dari fosfolipid. Sebagian besar kematian janin dihubungkan
dengan adanya aPA.
c. Faktor Infeksi
Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus,
diantaranya : bakteri, virus, parasit, dan spirokaeta.
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap
risiko abortus/EPL, diantaranya sebagai berikut :
1) Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang
berdampak langsung pada jani atau unit fetoplasenta.
2) Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga
janin sulit bertahan hidup.
3) Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta yang bisa berlanjut
kematian janin.
4) Infeksi kronis endometrium dari penyebaran keman genetalia bawah (misal
Mikoplasma hominis, Klamidia, Ureplasma urealitikum/HSV) yang bisa
mengganggu proses implantasi.
5) Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram negatif, Listeria
monositogenes).
6) Memacu perubahan genetik dan antomik embrio, umumnya oleh karena
virus selama kehamilan awal (missal rubella, parvovirus B19,
sitomegalovirus, koksakie virus B, varisela-zoster, kronik sitomegalo virus
CMV, HSV)
d. Faktor lingkungan
Diperkirakan 1 – 10 % malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia,
atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap
buangan gas anastesi dan tembakau. Rokok diketahui mengandung ratusan
unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif
sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga
menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan
adanya gangguan pada system sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan
pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.
e. Faktor Psikologis
Biasanya ibu belum mempunyai persiapan yang matang secara emosional
merupakan kelompok yang peka terhadap terjadinya abortus.
f. Kelainan pada plasenta misalnya endarteritis dapat terjadi dalam villi koriales
menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan kematian janin.
g. Faktor Imunologi
Terdapat antibodi kardiolipid yang mengakibatkan pembekuan darah di
belakang supra simfisis sehingga mengakibatkan kematian janin karena
berkurangnya aliran darah dari supra simfisis tersebut. Faktor imunologi yang
telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus spontan berulang antara
lain: antibodi antinuclear, antikoagulan lupus, dan antibodi cardiolipid.
h. Usia
Beberapa studi menunjukkan bahwa angka kematian janin yang berusia kurang
dari 20 minggu sebanyak 2% dengan usia ibu hamil kurang dari 30 tahun, dan
sebesar 10% dengan usia ibu hamil lebih dari 40 tahun. (Reeder, 2011).
Hutapea (2017) mengungkapkan bahwa kelompok usia dibawah 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun berisiko terjadinya abortus, karena pada usia dibawah 20
tahun reproduksi wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada
usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi wanita sudah mengalami penurunan dari
fungsi reproduksi normal.

4. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desisua basalis dan nekrosis dijaringan
sekitar. Ovum menjadi terlepas, hal ini memicu kontraksi uterus yang menyebabkan
ekspulsi. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut,
apabila kantung dibuka akan dijumpai janin kecil yang mengalami meserasi dan
dikelilingi oleh cairan, jika janin tidak tampak didalam kantung disebut blighted
ovum. Mola kerneosa atau darah adalah suatu ovum yang dikelilingi oleh kapsul
bekuan darah. Kapsul memiliki ketebalan bervariasi, dengan villi korionik yang
telah berdegenerasi tersebar diantara kapsul. Rongga kecil didalam yang terisi
cairan tampak menipis dan terdistorsi akibat dinding bekuan darah lama dan tebal
(Cunningham, 2012).
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua
secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8
sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan
sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14
minggu hasil konsepsi dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis belum
menembus desidua terlalu dalam. Pada abortus tahap lanjut, terdapat beberapa
kemungkinan hasil. Janin yang bertahan dapat mengalami maserasi. Tulang-tulang
kolaps dan abdomen kembung oleh cairan yang mengandung darah. Kulit melunak
dan terkelupas meningglakan dermis. Organ-organ dalam mengalami degenerasi
dan nekrosis (Manuaba, 2013).

5. Manifestasi Klinis
Menurut Maryunani & Eka (2013), manifestasi klinis abortus adalah:
a. Abortus Imminens
1) Ditandai dengan perdarahan bercak hingga sedang.
2) Serviks masih tertutup (karena pada saat pemeriksaan dalam belum ada
pembukaan).
3) Teraba nyeri/kram pada abdomen ringan.
4) Uterus sesuai gestasi.
5) Kram perut bawah nyeri memilin karena kontraksi tidak ada atau sedikit
sekali.
6) Tidak ditemukan kelainan pada serviks.
b. Abortus Insipiens
1) Perdarahan sedang hingga massif (banyak).
2) Kadang keluar gumpalan darah.
3) Serviks terbuka.
4) Uterus sesuai masa kehamilan.
5) Kram/nyeri pada perut bagian bawah karena kontraksi rahim kuat.
c. Abortus Komplit
1) Perdarahan bercak hingga sedang.
2) Serviks tertutup/terbuka.
3) Uterus lebih kecil dari usia gestasi.
4) Ada/tanpa nyeri perut bagian bawah dari riwayat hasil konsepsi.
5) Perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-
lambatnya dalam 10 hari perdarahan akan berhenti.
6) Abortus Inkomplit
1) Perdarahan sedang hingga banyak yang disertai dengan adanya
gumpalan.
2) Serviks terbuka karena masih ada benda di dalam uterus.
3) Besar uterus sesuai dengan usia gestasi.
4) Kram/nyeri perut bagian bawah.
5) Hasil konsepsi keluar sebagian dan test kehamilan masih positif.
7) Missed Abortion
1) Embrio telah meninggal dalam kandungan sebelum usia kehamila 20
minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan
hingga 8 minggu lebih.
2) Pada usia kehamilan 14 – 20 minggu penderita biasanya merasakan
rahimnya semakin mengecil.
3) Serviks tertutup dan perdarahan sedikit.
4) Sesekali pasien merasakan perutnya dingin dan kosong.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Jhonson (2014), pemeriksaan diagnostik pada pasien abortus diantaranya:
a. Tes urin akan positif untuk hCG, namun tanpa peningkatan progresif dalam
level serum.
b. Tidak adanya atau rendahnya serum hCG akan mengindikasikan aborsi
menyeluruh, sementara tingkat lebih tinggi dapat mengindikasikan aborsi
tidak sempurna.
c. Tes USG akan memperlihatkan uterus kosong atau produk parsial konsepsi
yang tertinggal dalam uterus dan tidak terdeteksinya detak jantung janin di
aborsi akhir.
d. Pemeriksaan kromosom akan dilakukan untuk menentukan seandainya
abonormalitas kromosom seperti aneuploidy ; hilangnya atau berlebihnya
kromosom X mengakibatkan aborsi (khususnya aborsi berulang).
e. Gangguan endokrin akan mengungkapkan level abnormal tiroid atau glukosa.
f. Kondisi imun mengindikasikan lupus atau antibodi-antibodi lainnya.
g. Pemeriksaan fisik untuk menunjukkan ketidakmampuan serviks atau
anormaly structural dalam serviks atau uterus, seperti polip atau fibroid, yang
akan merusak janin atau mengakibatkan keguguran.

7. Penatalaksanaan
Menurut Cunningham (2010), penatalaksanaan aktif pada pasien dengan abortus
umumnya terdiri dari:
a. Tirah baring
Tirah baring merupakan unsur penting dalam pengobatan abortus imminens
karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke uterus dan
berkurangnya rangsang mekanik (Wiknjosastro, 2009).
Menurut Manuaba (2008) istirahat total ditempat tidur akan meningkatkan
aliran darah ke rahim serta dapat mengurangi perdarahan. Apabila perdahan
tidak berhenti dalam 48 jam maka akan berpotensi untuk terjadinya abortus
insipiens.
b. Pemberian antibiotik hanya jika ada tanda infeksi
Penelitian retrospektif pada 23 wanita dengan abortus imminens pada usia awal
trimester kehamilan, mendapatkan 15 orang (65%) memiliki flora abnormal
vagina. Tujuh dari 16 orang mendapatkan amoksisilin ditambah klindamisin dan
tiga dari tujuh wanita tersebut mengalami perbaikan, tidak mengalami nyeri
abdomen dan perdarahan (Sucipto, 2013).
Mitayani (2009) mengemukakan bahwa penangan pada abortus spontan yang
dilakukan seperti terapi intravena atau transfusi darah dapat dilakukan bila
diperlukan. Pada abortus inkomplit diusahakan untuk mengosongkan uterus
melalui pembedahan, jika penyebabnya adalah infeksi, tindakan untuk
pengosongan uterus sebaiknya ditunda sampai mendapatkan penyebab yang
pasti untuk memulai terapi antibiotik.
c. Progesteron
Progesteron merupakan produk utama korpus luteum dan berperan penting pada
persiapan uterus untuk implantasi, mempertahankan serta memelihara
kehamilan. Sekresi progesteron yang tidak adekuat pada awal kehamilan diduga
sebagai salah satu penyebab keguguran sehingga suplementasi progesteron
sebagai terapi abortus diduga dapat mencegah keguguran (Sucipto, 2013).
d. Penggunaan alat kontrasepsi yang tidak mengandung hormon
Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan dalam penangan masalah
abortus yaitu dengan menganjurkan pasien maupun suaminya dalam memilih
alat kontrasepsi yang tidak mengandung hormon seperti: kondom, Intra Uterine
Device (IUD), sistem kalender, serta coitus interuptus. Penanganan ini
sebaiknya dianjurkan kepada suami istri, karena untuk wanita yang sudah
mengalami abortus spontan pada saat berhubungan seksual sel sperma belum
bisa membuahi sel ovum dikarenakan kondisi uterus wanita yang belum kuat
untuk melakukan pembuahan.
e. Evaluasi
Menurut Manuaba (2008) pada pasien abortus imminens evaluasi yang dapat
dilakukan diantaranya : cek jumlah perdarahan dan lamanya, tes kehamilan
dapat diulangi, konsultasi pada dokter ahli untuk penanganan lebih lanjut, serta
memberikan konseling pada ibu untuk dapat mengurangi aktifitas yang berat
setelah perdarahan berhenti.
Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan
antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4
minggu. Lakukan penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi. Jika perdarahan
tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya
penyebab lain (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Penatalaksanaan pasca abortus
Untuk mencegah abortus berulang pada pasien yang telah mengalami abortus,
dianjurkan melakukan pemeriksaan TORCH (Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus, dan Herpes Virus) lewat pengambilan darah. Terapi
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut (Mochtar, 2012).

8. Komplikasi
Menurut Wiknjosastro, (2007) dalam Maryunani dan Sari (2013) komplikasi yang
berbahaya pada abortus, meliputi :
1) Pendarahan.
Pendarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena pendarahan
dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2) Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati dengan teliti.
Jika ada tanda bahaya perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung dari
luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan
persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas mungkin pula terjadi
perlukaan pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau
kepastian terjadinya perforasi, laparatomi segera dilakukan untuk menentukan
luasnya cedera untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya
guna mengatasi komplikasi.
3) Infeksi dalam uterus dan adneksa
Biasanya ditemukan pada abortus inkomplit dan lebih sering pada abortus
buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Infeksi
dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus, tetapi biasanya di
dapatkan pada abortus inkomplit yang berkaitan erat dengan abortus yang tidak
aman (unsafe abortion).
4) Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena pendarahan (syok hemoragik) dan karena
infeksi perut (syok endoseptik).
Dampak Psikologis pada Pasien Abortus
Abortus iminens merupakan keguguran yang membakat dan akan terjadi dalam
hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat
hormonal dan anti pasmodica. Sekalipun abortus ini masih dapat dipertahankan
sebagian besar pasien dan keluarganya akan mengalami kecemasan yang
mengganggu sehingga menimbulkan kesedihan yang berkelanjutan. Pada 20%
kasus, kesedihan pasien dapat berlangsung berbulan-bulan.

Pertanyaan pasien yang senatiasa diajukan pada dokter dan memerlukan


jawaban yang dapat memuaskan dirinya: mengapa terjadi abortus, apakah ada
sesuatu yang dilakukan atau justru tidak dilakukan olehnya sehingga peristiwa
abortus terjadi, apakah kehamilan mereka yang selanjutnya juga akan bernasib
sama, sehingga dalam kasus ini tenaga kesehatan yang berwenang harus dapat
mengatasi atau mengurangi kecemasan yang dialami klien sehingga tidak
terjadi kesedihan yang berlanjut (Wiknjosastro, 2007).

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Abortus Imminens


1. Pengkajian Keperawatan
a. Karakterisktik pasien
Abortus yang terjadi pada usia kehamilan < 20 minggu umumnya dialami oleh
kelompok wanita usia 20 – 40 tahun. Abortus spontan umumnya terjadi pada
usia kehamilan 1 – 3 minggu setelah kematian embrio atau janin (Reeder, 2011).
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan Utama
Pasien dengan abortus spontan biasanya masuk ke rumah sakit dengan
keluhan perdarahan bercak hingga sedang pada usia kehamilan <20 minggu,
kram bagian bawah abdomen memilin karena kontraksi tidak ada atau
sedikit sekali (Maryunani & Eka, 2013).
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya pasien dengan abortus mengalami perdarahan ringan hingga
berat yang terjadi selama beberapa minggu dan dapat disertai/tidak nyeri
pada abdomen bawah (Reeder, 2011).
Menurut Reeder (2011) dan Maryunani & Eka (2013) Ibu hamil dengan
abortus biasanya mengalami perdarahan pervaginam atau flek- flek darah,
sehingga pasien dianjurkan untuk istirahat baring, karena dengan ini dapat
menambah aliran darah ke uterus tindakan keperawatan yang dapat
dilakukan yaitu memeriksa jumlah perdarahan dan karakteristik perdarahan.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien yang mengalami abortus spontan biasanya mempunyai riwayat
abortus sebelumnya. Ibu hamil dengan abortus sering terjadi pada usia
wanita kurang dari 30 tahun dan lebih dari usia 40 tahun (Reeder, 2011).
Menurut Maryunani & Eka (2013) dan Prawirohardjo (2014) pengaruh
lingkungan akibat radiasi, virus, paparan asap rokok maupun penyakit
kronis yang dialami ibu hamil seperti diabetes mellitus, hipertensi dan
herpes dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin yang berakibat
terjadinya abortus.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kemungkinan anggota keluarga yang pernah memiliki riwayat abortus.
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh faktor genetik. Paling
sedikit kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik sehingga hasil konsepsi dapat menyebabkan janin meninggal
atau mengalami kecacatan pada kehamilan muda (Prawirohardjo, 2014).

c. Riwayat Menstruasi
Riwayat menstruasi dikaji untuk mengetahui menarche pasien, siklus haid
teratur atau tidak, banyaknya darah yang keluar sewaktu haid, rasa
nyeri/tidak pada saat menstruasi dan HPHT untuk mengetahui usia
kehamilan (Wiknjosastro, 2008).
d. Riwayat obstetri
Riwayat obstetri perlu dikaji untuk mengetahui apakah sebelumnya pernah
hamil atau belum, hasil akhir yang muncul serta penangannya. Biasanya abortus
spontan terjadi karena adanya kelainan bawaan pada hasil konsepsi
(Wiknjosastro, 2008).
e. Personal Hygiene
Personal hygiene yang dikaji pada wanita dengan abortus untuk mengetahui
kebersihan dirinya terutama pada daerah genitalia untuk mencegah terjadinya
infeksi. Infeksi microplsma pada tracture genetalis dapat menyebabkan abortus
(Sulistyawati, 2012).
f. Aktivitas harian
Biasanya pada ibu hamil dengan abortus imminens harus beristirahat total untuk
menghentikan perdarahan dan meminimalisir terjadinya kematian pada janin.
Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas berat dan tidak melakukan
hubungan seksual sampai lebih kurang 2 minggu. Ibu hamil dengan abortus
imminens akan sulit untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan aktifitas dibantu
oleh suami atau keluarga (Ratnawati, 2016).
Ibu hamil yang bekerja cenderung untuk terkena abortus karena ibu hamil yang
bekerja lebih banyak melakukan aktiftas yang berlebih ditambah beban kerja
yang dialami ibu hamil cukup menguras tenaga dan waktu dan tidak dapat
membagi waktu kapan harus beristirahat sehingga dapat berisiko terhadap
kehamilannya (Hutapea, 2017).
g. Riwayat psikologis
Wanita yang mengalami abortus juga akan mengalami risiko psikologis seperti
merasa cemas, tertekan, ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan merasa
tidak berhak memilih. Gejalanya dapat ditandai dengan harga diri rendah, malu,
putus asa, sering menjerit, dan disertai dengan usaha bunuh diri (Maryunani &
Eka, 2013).
h. Riwayat spiritual
Wanita dengan abortus cenderung memiliki perasaan tidak percaya dengan
keselamatan kehamilannya, keyakinan religius atau spiritual yang kurang. Paien
merasa takut kondisi janin yang dikandungnya terancam meninggal.
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Ibu hamil dengan abortus cenderung terlihat lemah karena perdarahan yang
dialami, kemungkinan kesadaran menurun, tekanan darah normal atau
menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau
meningkat (Padilla, 2015).
2) Kepala dan wajah
Rambut ibu hamil dengan abortus kumungkinan tidak ada perubahan. Pada
wajah biasanya akan tampak pucat, ada/tidak cloasma gravidarum, edema
pada wajah tidak ditemukan. Konjungtiva pada mata nampak anemis, sklera
tidak ikterik, dan palpasi pembesaran kelenjar getah bening pada leher
biasanya tidak ditemukan kelainan.
3) Payudara
Kemungkinan pada ibu hamil dengan abortus imminens payudara akan
membesar, lebih padat dan lebih keras, puting menonjol areola menghitam
dan membesar dan permukaan pembuluh darah menjadi lebih terlihat.
4) Abdomen
Pada ibu hamil dengan abortus biasanya akan ditemukan umbilikus
menonjol keluar, dan membentuk suatu area berwarna gelap di dinding
abdomen, serta akan ditemukan linea alba dan linea nigra. Pada ibu tampak
perut membesar.
5) Genitalia
Ibu hamil dengan abortus biasanya mengalami perdarahan pervaginam
mulai dari ringan hingga berat mungkin disertai dengan keluarnya jaringan
hasil konsepsi (Padila, 2015).
6) Ekstremitas
Ibu hamil dengan abortus kemungkinan tidak ditemukan masalah pada
ekstremitas.
j. Pemeriksaan Ginekologi
a. Inspeksi Vulva : perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil
konsepsi, tercium bau busuk dari vulva.
b. Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah
tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak jaringan
berbau busuk dari ostium.
c. Pemeriksaan dalam vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba
atau tidak jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil
dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada
adneksa, cavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri (Padila, 2015)
k. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Jhonson (2014), pemeriksaan diagnostik pada pasien abortus
diantaranya:
 Tes urin akan positif untuk hCG, namun tanpa peningkatan progresif dalam
level serum.
 Tidak adanya atau rendahnya serum hCG akan mengindikasikan aborsi
menyeluruh, sementara tingkat lebih tinggi dapat mengindikasikan aborsi
tidak sempurna.
 Tes USG akan memperlihatkan uterus kosong atau produk parsial konsepsi
yang tertinggal dalam uterus dan tidak terdeteksinya detak jantung janin di
aborsi akhir.
 Pemeriksaan kromosom akan dilakukan untuk menentukan seandainya
abonormalitas kromosom seperti aneuploidy ; hilangnya atau berlebihnya
kromosom X mengakibatkan aborsi (khususnya aborsi berulang).
 Gangguan endokrin akan mengungkapkan level abnormal tiroid atau glukosa.
 Kondisi imun mengindikasikan lupus atau antibodi-antibodi lainnya.
 Pemeriksaan fisik untuk menunjukkan ketidakmampuan serviks atau
anormaly structural dalam serviks atau uterus, seperti polip atau fibroid, yang
akan merusak janin atau mengakibatkan keguguran.

2. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan


Menurut NANDA 2015–2017 dan SDKI 2016, diagnosa yang mungkin muncul
pada ibu dengan abortus adalah:
1) Risiko cedera janin berhubungan dengan masalah kontraksi.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan program pembatasan gerak.
3) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
4) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.
5) Hypovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.

3. Rencana Keperawatan

Tabel 2.1 Perencanaan Keperawatan


NO DIAGNOSA NOC/ SLKI NIC/SIKI
KEPERAWATAN
1. Risiko Cedera pada Janin Setelah dilakukan intervensi Pencegahan
berhubungan dengan keperawatan, risiko cedera Perdarahan:
masalah kontraksi pada janin dapat teratasi 1. Monitor dengan
(SDKI 2016. Hal 298) dengan kriteria hasil: ketat risiko
Definisi: terjadinya
Berisiko mengalami Status Janin: Antepartum: perdarahan pada
bahaya atau kerusakan 1. Denyut jantung janin (120 pasien
fisik pada janin selama – 160 x/menit) dalam batas 2. Monitor tanda dan
proses kehamilan dan normal gejala perdarahan
persalinan. 2. Hasil ultrasonografi janin menetap monitor
Faktor Risiko: dalam kisaran normal tanda- tanda vital
1) Besarnya ukuran janin 3. Frekuensi gerakan janin 3. Pertahankan pasien
2) Kecemasan yang baik tetap tirah baring jika
berlebihan tentang 4. Pola gerakan janin baik terjadi perdarahan
proses persalinan 5. Pola perlambatan dalam aktif
3) Riwayat persalinan monitoring elektronik pada 4. Lindungi pasien dari
sebelumnya janin trauma yang dapat
4) Usia ibu (<15 tahun 6. Tes kontraksi stress menyebabkan
atau >35 tahun) 7. Kecepatan aliran darah perdarahan
5) Nyeri pada abdomen arteri tali pusar 5. Instruksikan pasien
6) Kelelahan dan keluarga
7) Efek agen memonitor
farmakologis Kontrol Risiko: perdarahan
1. Mencari informasi tentang mengambil yang
risiko kesehatan tepat perdarahan
2. Mengidentifikasi factor untuk tanda-tanda
risiko dan tindakan jika
3. Memonitor factor risiko di terjadi perdarahan
lingkungan
4. Menyesuaikan strategi Monitor Janin Secara
control risiko Elektronik:
5. Menggunakan fasilitas Antepartum :
kesehatan yang sesuai 1. Tinjau obstetric,
dengan kebutuhan riwayat untuk faktor
6. Dapat menunjukkan risiko obstetric yang
perubahan status kesehatan menentukan
dibutuhkan
Pengetahuan Kehamilan: 2. Berikan materi
1. Kejadian perkembangan pendidikan
janin secara mayor kesehatan terkait
2. Perubahan psikologis yang pengujian
berhubungan dengan antepartum (mis.
kehamilan Nonstress,
3. Perubahan emosional yang pemberian oksitosin)
berhubungan dengan 3. Ukur tanda-tanda
kehamilan vital ibu
4. Strategi untuk 4. Tanyakan mengenai
menyeimbangkan aktifitas asupan oral,
dan istirahat termasuk diet,
5. Dapat mengetahui bahaya apakah merokok,
lingkungan sekitar dan menggunakan
obat-obatan
5. Verifikasi denyut
jantung ibu dan janin
2 Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan intervensi Bantuan Perawatan
berhubungan dengan keperawatan, hambatan Diri:
program pembatasan mobilitas fisik pada pasien 1. Pertimbangkan
gerak (NANDA 2015- dapat teratasi dengan kriteria budaya pasien ketika
2017. Hal 232) hasil: meningkatkan
aktivitas perawatan
Batasan Karakteristik: Pergerakan: diri
1) Dispnea setelah 1. Tidak terganggunya 2. Pertimbangkan usia
beraktivitas keseimbangan pasien ketika
2) Gerakan lambat 2. Cara berjalan dan meningkatkan
3) Kesulitan membolak- koordinas tidak terganggu aktivitas perawatan
balik posisi 3. Kinerja pengaturan tubuh diri
4) Keterbatasan rentang baik 3. Monitor kemampuan
gerak 4. Gerakan otot dan sendi perawatan diri secara
5) Ketidaknyamanan tidak terganggu mandiri
Gejala mayor: 5. Dapat berjalan dan 4. Berikan lingkungan
1) Mengeluh sulit bergerak dengan mudah yang terapeutik
menggerakkan dengan memastikan
Ekstremitas Tingkat Ketidaknyamanan: lingkungan yang
2) Kekuatan otot 1. Nyeri yang dirasakan dapat hangat, santai,
menurun berkurang tertutup dan
2. Cemas, stress dan rasa berdasarkan
Gejala minor: takut dapat diatasi pengalaman individu
1) Nyeri saat bergerak 3. Kehilangan nafsu makan 5. Berikan bantuan
2) Merasa cemas saat berkurang sampai pasien
bergerak 4. Pikiran bersifat paranoid mampu melakukan
3) Gerakan terbatas berkurang perawatan diri
4) Fisik lemah 5. Mual muntah tidak ada mandiri
6. Bantu pasien
Toleransi terhadap menerima kebutuhan
Aktifitas: terkait dengan
1. Tekanan darah ketika kondisi
beraktifitas tidak ketergantungannya
terganggu 7. Dorong pasien untuk
2. Kemudahan bernafas melakukan aktivitas
ketika beraktifitas normal sehari-hari
3. Kekuatan tubuh bagian sampai batas
atas dan bawah tidak kemampuan pasien
mengalami gangguan 8. Lakukan
4. Kemudahan dalam pengulangan yang
melakukan aktivitas hidup konsisten terhadap
harian rutinitas kesehatan
yang dimaksud
untuk membangun
perawatan diri
9. Ciptakan rutinitas
aktivitas perawatan
diri (NIC. Hal 79)
3 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
dengan agens cedera keperawatan selama 3 x 24
fisiologis neoplasma ( jam, diharapkan tingkatan Observasi:
SDKI D.0077 ) nyeri menurun dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi,
Gejala mayor: hasil: karakteristik, durasi,
1) Mengeluh nyeri frekuensi, kualitas,
2) Tampak meringis Tingkat nyeri : intensitas nyeri
3) Bersikap protektif 1. Kemampuan 2. Identifikasi skala
4) Gelisah menuntaskan aktifitas nyeri
5) Frekuensi nadi meningkat : 5 3. Identifikasi respons
meningkat 2. Keluhan nyeri menurun : nyeri non verbal
6) Sulit tidur 5 4. Identifikasi faktor
3. Meringis menurun : 5 yang memperberat
Gejala minor: 4. Sikap protektif menurun dan memperingan
1) Tekanan darah :5 nyer
meningkat 5. Gelisah menurun : 5 5. Identifikasi
2) Pola nafas berubah 6. Kesulitan tidur menurun pengetahuan dan
3) Nafsu makan berubah :5 keyakinan tentang
4) Menarik diri 7. Menarik diri menurun : 5 neri
5) Berfokus pada diri 8. Berfokus pada diri 6. Identifikasi pengruh
sendiri sendiri menurun : 5 budaya terhadap
9. Diaforesia menurun : 5 respons nyer
10. Perasaan depresi Identifikasi
(tertekan) menurun : 5 pengaruh nyeri pada
11. Perasaan takut kwalitas hidup
mengalami cedera 7. Monitor
berulang menurun : 5 keberhasilan terapi
12. Anoreksia menurun : 5 komplementer yang
13. Perineum terasa tertekan sudah diberikan
menurun : 5 8. Monitor efek
14. Uterus teraba membulat samping penggunaan
menurun : 5 analgetik
15. Ketegangan otot Terapeutik:
menurun : 5 1. Berikan teknik
16. Pupil dilatası menurun : nonfarmakologia
5 untuk mengurangi
17. Muntah menurun : 5 rasa nyeri (ma.
18. Mual menurun : 5 TENS, hipnosis,
19. Frekuensi nadi : 60 -100 akupuntur, terapi
/m musik,biofeedback,
20. Pola napas 12-22/m terapi pijat, aroma
21. Tekanan darah 120/80 terapi, kompres
mmhg hangat/dimgin)
22. Proses berpikir membaik 2. Kontrol lingkungan
:5 yang memperberat
23. Fokus membaik :5 nyeri (mis Suhu
24. Fungsi berkemih ruangan,
membaik :5 pencahayaan,
25. Perilaku Nafsu makan kebisingan) Fasitasi
membaik :5 strahat dan tidur
3. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri

Edukasi:
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategic
maredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri

Kolabrasi:
1. Kolaborasi
pemberian
analgetika perlu
4 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan intervensi Pengurangan
dengan kurang keperawatan, ansietas pada Kecemasan
pengetahuan tentang klien dapat diatasi dengan 1. Gunakan pendekatan
penyakit (NANDA 2015- kriteria hasil : yang tenang dan
2017. Hal 343). meyakinkan
Tingkat Kecemasan : 2. Dorong keluarga
Definisi: 1. Klien dapat beristirahat untuk mendampingi
Perasaan tidak nyaman 2. Perasaan gelisah klien dengan cara
atau kekhawatiran yang berkurang yang tepat
samar disertai respon 3. Klien mengatakan 3. Dengarkan klien
autonom (sumber sering cemasnya berkurang 4. Dorong verbalisasi,
kai tidak spesifik) 4. Tanda-tanda vital dalam perasaan, persepsi
perasaan takut yang rentang normal (NOC. Hal dan ketakutan
disebabkan oleh antisipasi 572). 5. Instruksikan klien
terhadap bahaya. untuk menggunakan
Perasaan ini merupakan teknik relaksasi
isyarat kewaspadaan yang 6. Kaji untuk tanda
memperingatkan bahaya verbal dan non
yang akan terjadi dan verbal kecemasan
memampukan individu (NIC. Hal 319).
melakukan tindakan
untuk menghadapi Terapi Relaksasi
ancaman. 1. Ciptakan lingkungan
yang tenang
Batasan Karakteristik: 2. Dorong klien untuk
Perilaku mengambil posisi
1) Penurunan yang nyaman dengan
produktivitas pakaian longgar dan
2) Mengekspresikan mata tertutup
kekhawatiran akibat 3. Minta klien untuk
perubahan dalam rileks dan merasakan
peristiwa hidup sensasi yang terjadi
3) Gelisah 4. Gunakan suara yang
4) Insomnia lembut dengan irama
5) Kontak mata buruk yang lambat untuk
6) Resah setiap kata
5. Tunjukkan dan
Afektif praktekkan teknik
1) Gelisah relaksasi pada klien
2) Distress 6. Dorong klien untuk
3) Ketakutan mengulang praktik
4) Perasaan tidak teknik relaksasi jika
adekuat memungkinkan
5) Marah 7. Berikan waktu yang
6) Menyesal tidak terganggu
7) Perasaan takut karena
8) Ketidakpastian memungkinkan saja
9) Khawatir klien tertidur
8. Evaluasi laporan
Fisiologis individu terkait
1) Wajah tegang dengan relaksasi
2) Peningkatan keringat yang dicapai secara
3) Gemetar/tremor teratur,dan monitor
4) Suara bergetar ketegangan otot
secara periodik, TTV
Gejala mayor: dengan tepat
1) Merasa bingung 9. Evaluasi dan
2) Anoreksia dokumentasikan
3) Sulit berkosentrasi respon terhadap
4) Tampak gelisah terapi relaksasi
5) Sulit tidur (NIC. Hal 446)
6) Tampak tegang

Gejala minor:
1) Mengeluh pusing
2) Anoreksia
3) Merasa tidak berdaya
4) Frekuensi nafas
meningkat
5) Frekuensi nadi
meningkat
6) Tekanan darah
meningkat
7) Diaforesis
8) Tremor
9) Kontak mata buruk

5 Hipovolemia Hipovolemia berhubungan Mandiri :


berhubungan dengan dengan perdarahan yang
1) Kaji perdarahan
kehilangan cairan aktif berlebihan akibat keguguran,
pervagina : warna,
(SDKI D.0023). kehilangan cairan aktif
jumlah pembalut
Tujuan : setelah dilakukan yang digunakan,
tindakan keperawatan 3x24 jam derajat aliran dan
banyaknya
Gejala dan Tanda diharapkan hipovolemia tidak 2) Kaji adanya
Mayor Subjektif- terjadi gumpalan darah
Objektif 3) Kaji adanya tanda-
Kriteria hasil :
1. Frekuensi nadi tanda gelisah, taki
1) Tanda-tanda vital dalam
meningkat kardia, hipertensi
batas normal : Tekanan
2. Nadi teraba lemah dan kepucatan
darah siastole 110-120
3. Tekanan darah 4) Observasi tanda-
MmHg, diastole 80-85
menurun tanda vital
MmHg, Nadi 60-80 x/menit,
4. Tekanan nadi 5) Kaji input dan output
Pernapasan 12-20 x/menit,
menyempit pasien
Suhu 36,5˚c-37,5˚c.
5. Turgor kulit
2) Akral hangat, tidak keluar Terapeutik:
menurun
keringet dingin
6. Membran mukosa 1) Hitung kebutuhan
3) Mukosa bibir lembab
kering cairan
4) Tugor kulit elastis
7. Volume urin 2) Berikan posisi
5) Perdarahan kurang dari
menurun modified
100cc.
8. Hematokrit Trendelenburg
6) Intake cairan membaik
meningkat 3) Berikan asupan
7) Konsentrasi urine menurun
Gejala dan Tanda cairan oral
Minor Subjektif:
Edukasi:
1. Merasa lemah
2. Mengeluh haus 1) Anjurkan
memparbanyak
Objektif asupan cairan oral
1. Pengisian vena 2) Anjurkan
menurun menghindari
2.Status mental berubah perubahan posisi
3. suhu tubuh mendadak
meningkat
Kolaborasi:
4. Konsentrasi urin
meningkat 1) Kolaborasi
5. Berat badan turun pemberian cairan IV
tiba-tiba
isotonis (mis. NaCl.
RL)
2) Kolaborasi
pemberian cairan IV
hipotonis (mis,
glukosa 2,5%,
NaC10,4%)
3) Kolaborasi
pemberian cairan
koloid (mis,
albumin,
Plasmanate)
4) Kolaborasi
pemberian produk
darah

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang telah direncanakan
mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri merupakan tindakan
keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat, serta bukan atas
petunjuk tenaga kesehatan lain. Di sisi lain, tindakan kolaborasi adalah tindakan
keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau
petugas kesehatan lainnya. (Ratnawati, 2016).
Dalam implementasi keperawatan, tindakan harus cukup mendetail dan jelas supaya
tenaga keperawatan dapat menjalankannya dengan baik dalam waktu yang telah
ditentukan. Perawat dapat melaksanakan langsung atau bekerja sama dengan tenaga
kesehatan lainnya. (Mitayani, 2011).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan penilaian perkembangan ibu hasi implementasi
keperawatan dengan berpedoman kepada hasil dan tujuan yang hendak dicapai.
(Ratnawati, 2016).
Hasil yang diharapkan bagi klien yang mengalami abortus spontas adalah sebagai
berikut :
a) Klien dapat mneyatakan perubahan fisiologis yang terjadi mengenai kondisinya
dan pengobatan yang berkaitan.
b) Klien tidak akan mneunjukkan tanda atau gejala kekurangan volume cairan.
c) Klien tidak akan mengalami komplikasi apapun.
d) Klien dapat mempertahankan kehamilan apabila perdarahan tidak terlalu
banyak atau tidak terdapat kontaindikasi lain selama kehamilan.
e) Klien dapat membahas dampak keguguran yang ia alami pada keluarganya,
mengalami kemajuan melewati proses berduka.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Nugroho (2012) dan Prawirohardjo (2014) abortus adalah terhentinya
kehamilan atau ancaman pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di
luar kandungan jika tidak ditanggulangi dengan baik pada usia kehamilan kurang dari
20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Diagnosa yang mungkin muncul:
- Risiko cedera janin berhubungan dengan masalah kontraksi.
- Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan program pembatasan gerak.
- Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
- Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.
- Hypovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain : mengontrol nyeri, bedrest, mengobservasi
ttv, memberikan cairan, terapi relaksasi.

B. Saran
Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa dan perawat dapat mengaplikasikan
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien abortus.
DAFTAR PUSTAKA

https://pustaka.poltekkes-
pdg.ac.id/index.php?p=show_detail&id=5243&keywords=

http://repository.unissula.ac.id/23707/1/40901800069_fullpdf.pdf

https://akper-pasarrebo.e-journal.id/nurs/article/download/53/29

https://www.academia.edu/11316812/ASUHAN_KEPERAWATAN_PADA_IB
U_ABORTUS

Anda mungkin juga menyukai