Anda di halaman 1dari 27

2.

5 Aspek Farmasi
Ahli farmasi dalam Interprofessional Collaboration berperan dalam
memastikan penanganan pasien dalam bidang farmakologi dilaksanakan dengan
tepat, dalam hal ini mencakup ketepatan jenis obat, dosis, dan indikasinya. Berikut
pembahasan mengenai tatalaksana farmakologi pasien:
a. Pemasangan IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
b. Drips Furosemide 1 cc/jam
c. Aspilet 1 x 80mg
d. NKR 2 x 2,5mg
e. Warfarin 1 x 2mg
f. Candesartan 1 x 16mg
g. A. oros 1 x 30 mg
h. KSR 1 x 600mg
i. Ketosteril 3 x 1tab
j. Spironolakton 1 x 50 mg

2.5.1 IVFD NaCl 0,9%


Cairan saline NaCL 0.9 % merupakan cairan kristaloid yang sering ditemui.
Cairan ini mengandung natrium dan clorida. Cairan infus ini digunakan untuk
menggantikan cairan tubuh yang hilang, mengoreksi ketidakseimbangan
elektrolit, dan menjaga tubuh agar tetap terhidrasi dengan baik. Kristaloid berisi
elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid tidak
mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang
intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit.

Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3


liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan
reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi
intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit
yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh.39
2.5.2 Furosemide
Furosemide merupakan golongan loop diuretic yang bekerja pada segmen
tebal ansa henle renal, yang kerap digunakan pada penatalaksanaan gagal jantung,
edema paru akut, dan hipertensi. Furosemide termasuk diuretik kuat. Obat ini bekerja
menghambat cotranspoter Na+/K+/Cl2- pada membran luminal tubulus dalam
mereabsorpsi elektrolit natrium, kalium dan klorida. Efek obat ini dapat
meningkatkan ekskresi air, sodium, klorida, magnesium dan kalsium. 1,2 Furosemide
digunakan sebagai diuretik pilihan pertama untuk penyakit gagal jantung. 4
Pada edema paru akut, furosemide diberikan secara intravena dengan dosis 40
mg bolus pelan 1-2 menit. Apabila tidak ada respon adekuat, dapat diulangi dalam 1
jam, dapat ditingkatkan hingga 80 mg bolus pelan 1-2 menit.
Edema akibat Gagal Jantung
 Dewasa : dosis inisial 40 mg per hari, dapat dikurangi menjadi 20 mg per hari
atau 40 mg dua hari sekali.
 Geriatri : dosis inisial 20 mg per hari, dapat ditingkatkan secara titrasi apabila
perlu.
 Anak : 0,5-1,5 mg/kgBB/ hari, maksimal 20 mg per hari. Hipertensi
Pada pasien hipertensi, furosemide dapat diberikan 40-80 mg per hari secara
tunggal atau digabung dengan antihipertensi lain.
A. Farmakologi
Aspek farmakologi furosemide utamanya adalah sebagai diuretik kuat dengan
menghambat cotranspoter Na+/K+/Cl2- pada membran luminal tubulus dalam
mereabsorpsi elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Farmakodinamik dan
farmakokinetik selengkapnya akan dijelaskan di bawah.
B. Farmakodinamik
Farmakodinamik furosemide terjadi pada segmen tebal pars asendens
lengkung henle.Mekanisme Kerja Furosemide bekerja pada bagian segmen tebal
pars asendens lengkung henle dengan menghambat kotransporter Na+/K+/Cl-
(disebut NKCC2) pada membran luminal tubulus. Kerja NKCC2 mereabsorpsi
ketiga elektrolit natrium, kalium, dan klorida. Paska reabsorpsi via NKCC2, kadar
ion  K+ berlebihan di dalam sel sehingga ion kalium berdifusi kembali ke lumen
tubular. Hal ini memicu reabsorpsi kation (Mg2+, Ca2+) ke dalam cairan
interstisial via jalur paraselular. Akibatnya pemberian furosemide akan
menghambat reabsorpsi natrium, kalium, dan klorida1.
C. Farmakokinetik
Aspek farmakokinetik furosemide dengan onset kerja 5-60 menit, dan
didistribusikan dalam tubuh berikatan dengan albumin.
a. Absorbsi
Bioavailabilitas furosemide pada saluran cerna 50%, dengan rentang 10-
100%. Onset diuresis terjadi sekitar 5 menit apabila diberikan secara
intravena, 30 menit apabila diberikan secara intramuskular, dan 30-60 menit
apabila diberikan per oral2,5,11.
b. Distribusi
Furosemide berikatan dengan protein 99% (albumin). Kemudian menuju
tubulus proksimal dan disekresikan melalui organic transporter lalu bekerja
pada kotransporter Na+/K+/Cl- .
c. Eliminasi
Furosemide diekskresikan di urin dalam 24 jam, 50% dalam bentuk
furosemide dan sisanya diubah menjadi glucoronide. Sebagian kecil juga
diekskresikan di feses. Waktu paruh furosemide bervariasi, pada pasien tanpa
gangguan ginjal, jantung, atau hati sekitar 1,5-2 jam.
d. Resistensi
Studi menunjukan terdapat kasus resistensi diuretik yang ditandai dengan
tidak tercapainya efek yang diharapkan walaupun pemberian dosis furosemide
maksimal.12

DAFPUS
1. Sam R, Pearce D, Ives HE. Diuretic agents. In : Katzung BG, Trevor AJ.
Basic and Clinical Pharmacology, 13th ed. 2015. McGraw Hill. p, 252-4.
2. Uptodate. Furosemide https://www.uptodate.com/contents/furosemide-drug-
information?source=history_widget
3. FDA.Furosemide
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2016/018667s036lbl.p
df
4. Pinokowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Falk V. ESC
Guidelines for the diagnosis and management of acute and chronic heart
failure. Eur Heart J. 2016;37: 2179-80.
5. MIMS. Furosemide
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/furosemide?mtype=generic
6. Chioncel O, Ambrosy AP, Bubenek S, Flipescu, Vinereanu D, Petris A, et al.
Epidemiology, pathophysiology and in-hospital management of pulmonary
edema: data from the Romanian acute heart failure syndromes registry. J
Cardiovasc Med. 2016;17:92-104.
7. Pacifici GM. Clinical pharmacology of furosemide in neonates: A review.
Pharmaceuticals. 2013;6:1094-129.
8. Oh SW, Han SY. Loop diuretics in clinical practice. Electrolyte Blood Press.
2015;13(1):17-21.
9. 12. Hoorn EJ, Ellison DH. Diuretic resistance. Am J Kidney Dis. 2016:1-6.
10. 13. Shiraishi M, Murakami T, Nawa T, Kobayashi H, Nagamine H, Shiraga
K, et al. Hypertonic saline with furosemide for diuretic resistant congestive
heart failure in an infant. Int Journal of Cardiology. 2016;215:127-8.

2.5.3 Norepinephrine
A. Farmakodinamik
Norepinephrine (NE) termasuk obat simpatomimetik yang bekerja pada
reseptor adrenergik α1, α2, dan β1. Tingkat afinitas NE terhadap reseptor α1=α2;
β1 >> β2.2 Norepinephrine berikatan dengan reseptor α menimbulkan efek
vasokonstriksi. Reseptor α banyak terdapat pada otot polos pembuluh darah di
kulit, splanknik serta nasal mukosa.2 Adrenoseptor α1 terdistribusi pada sebagian
besar otot pols pembuluh darah, otot dilator pupil, prostat, jantung. Adrenoseptor
α2 terletak pada neuron polisinaps system saraf pusat, platelet, ujung saraf
adrenergic dan kolinergik, beberapa otot poloh pembuluh darah serta sel lemak.2
B. Farmakokinetik
Farmakokinetik norepinephrine berupa aspek absorpsi, metabolisme, dan
eliminasinya.
a. Absorpsi
Norepinephrine hanya dapat diberikan secara intravena karena absorpsi secara
oral dan subkutan tidak baik. Pada pemberian oral, norepinephrine akan
mengalami kerusakan dalam saluran cerna. Pada pemberian intravena, onset kerja
norepinephrine dalam 1-2 menit.
b. Distribusi
Norepinephrine tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga hanya
terdistribusi pada sistem saraf simpatis di perifer.
c. Metabolisme
Norepinephrine dimetabolisme oleh enzim monoamine oxidase dan inhibitor
catechol-O-methyltransferase pada neuron adrenergik menghasilkan 2 bentuk
metabolit inaktif, yaitu normetanephrine, dan vanillylmandelic acid.
d. Eliminasi
Norepinephrine dieliminasi melalui hepar dan ginjal. Norepinephrine sebagian
besar diekskresikan melalui urin (84-96%) terutama dalam bentuk metabolit
inaktifnya.1,8

DAPUS
1. Adrenergic agonist & antagonists. In: Brunton LL Cabner BA, Knollman BC.
Goodman & Gilman’s the pharmacological basis of therapeutics, 12 ed.
McGraw-Hill. 2011
2. Biaggioni I, Robertson D. Adrenoceptor agonists & sympathomimetic drugs.
In: Katzung BG, Trevor AJ. Basic & Clinical Pharmacology, 13th ed.
McGraww-Hill. 2015 : 133-50.
3. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of sepsis
and septic shock: 2016. Society of critical care medicine.
4. Thiele H, Ohman M, Desch S, Eitel I, de Waha S. Management of cardiogenic
shock. Eur Heart J. 2015;36(20):1223-30.
5. Quala M, Treluyer JM, Lesage F, Blanquat LDS, Dupic L, Hubert P, et al.
Population pharmacokinetics and haemodynamic effects of norepinephrine in
hypotensive critically ill children. Br J Clin Pharmacol. 2014; 78(4):886-97.
6. FDA. Levophed (diakses dari
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2007/007513Orig1s02
4lbl.pdf)
7. Norepinephrine. Mims
(https://www.mims.com/indonesia/drug/info/norepinephrine/?
type=brief&mtype=generic)
8. Norepinephrine. Up To Date
(Diakses dari https://www.uptodate.com/contents/norepinephrine-
noradrenaline-drug-information?
source=search_result&search=norepinephrine&selectedTitle=1~150)
9. Gamper G, Havel C, Arric J, Losert H, Pace N, Mullner M, Herkner H.
Vasopressors for hypontensive shock. Cochrane. 2016;2:1-4.

2.5.4 Spironolactone
Spironolactone merupakan obat yang dapat digunakan untuk tata laksana
hipertensi dan gagal jantung. Obat ini merupakan golongan diuretik hemat kalium
yang fungsi utamanya bertujuan untuk meningkatkan produksi urine (diuresis).
spironolactone merupakan antagonis reseptor mineralokortikoid yang ditemukan
sekitar 50 tahun yang lalu dengan nama paten Aldactone®. 1
A. Hipertensi Esensial
Dosis spironolactone yang dapat diberikan untuk hipertensi esensial adalah 25–
100 mg/hari. Perlu dicatat bahwa dosis 25 mg/hari secara statistik tidak
menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik yang signifikan secara statistik
dibandingkan plasebo. [20] Rekomendasi oleh The Eight Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure (JNC 8) merekomendasikan spironolactone sebagai terapi
tambahan dari terapi lini pertama. 21
B. Gagal Jantung
Spironolactone dipertimbangkan untuk terapi pada gagal jantung dengan
klasifikasi fungsional NYHA kelas 3–4. Pemberian spironolactone dapat
memberikan efek diuretik pada kondisi overload cairan, memperbaiki fungsi
jantung pada kasus gagal jantung, menurunkan angka kematian akibat semua
sebab (termasuk sebab jantung) dan angka rawat inap akibat sebab jantung. Dosis
yang pernah ditemukan membawa keuntungan untuk kasus gagal jantung pada
studi RALES (Randomized Aldactone Evaluation Study) adalah 12.5 mg–25 mg.
Dosis di atas 50 mg meningkatkan risiko hiperkalemia yang membahayakan. 9,22

C. Penyakit Ginjal Kronis


Spironolactone ditemukan dapat mengurangi proteinuria sebagai terapi
tambahan pada penyakit ginjal kronis yang telah mendapatkan angiotensin
converting enzyme-inhibitor (ACEI) atau angiotensin II receptor blockers (ARB).
Dosis spironolactone yang ditemukan bermanfaat untuk kondisi ini adalah 25 mg
per hari. 11
DAFPUS
1. Funder JW. Spironolactone in cardiovascular disease: an expanding universe?
F1000Res,2017;6:1738
2. 2. Larik FA, Saeed A, Shahzad D, et al. Synthetic approaches towards the
multi target drug spironolactone and its potent analogues/derivatives.
Steroids, 2017;118:76-92
3. 3. Iyengar A, Davis JM. Drug therapy for the prevention and treatment of
bronchopulmonary dysplasia. Front pharmacol, 2015;6:12
4. 4. Kim GK, Rosso JQD. Oral spironolactone in post-teenage female patients
with acne vulgaris. J Clin Aesthet Dematol, 2012;5(3):37-50
5. 6. FDA. Aldactone ®. 2008. Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2008/012151s062lbl.p
df
6. 8. Qavi AH, Kamal R, Schrier RW. Clinical use of diuretics in heart failure,
cirrhosis and nephrotic syndrome. Int J of Nephrol, 2015; article ID 975934,
9 pages.
7. 9. Frigerio M, Roubina E. Drugs for left ventricular remodeling in heart
failure. The Am J of Cardiol, 2005;96(12):10-18
8. 11. Schrier RW, Masoumi A, Elhassan E. Aldosterone: role in edematous
disorders, hypertension, chronic renal failure, and metabolic syndrome.
CJASN, 2010;5(6):1132-1140
9. 19. Dudenbostel T, Calhoun DA. Use of aldosterone antagonists for treatment
of uncontrolled resistant hypertension. Am J of Hypertension,
2017;30(2):103-109
10. 21. James PA, Oparil S, Carter BL, et al. 2014 evidence-based guideline for
the management of high blood pressure in adults: report from the panel
members appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA.
2014 Feb 5;311(5):507-20
11. 22. Pitt B, Zannad F, Remme WJ, et al. The effect of spironolactone on
morbidity and mortality in patients with severe heart failure. N Engl J Med
1999; 341:709-717

2.5.5 Candesartan
Candesartan merupakan obat golongan angiotensin II receptor blockers
(ARBs) yang digunakan untuk menangani hipertensi dan gagal jantung. Untuk kasus
hipertensi, obat ini dapat digunakan oleh pasien dewasa maupun anak-anak yang
berusia ≥1 tahun. Sedangkan untuk gagal jantung, obat ini dapat digunakan oleh
pasien dewasa yang termasuk dalam kategori New York Heart Association (NYHA)
kelas II sampai IV, dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri.1
A. Farmakologi
Secara farmakologi, candesartan bekerja sebagai agen antihipertensi dengan
mengikat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) di berbagai jaringan, sehingga
angiotensin II tidak dapat mengikat AT1. Hal ini dapat mengurangi vasokonstriksi
dan reabsorbsi air/garam akibat aktivitas angiotensin II, sehingga dapat menurunkan
tekanan darah.
B. Farmakodinamik
Angiotensin II merupakan hormon vasoaktif utama dalam renin-angiotensin-
aldosterone system (RAAS) yang memegang peran penting dalam patofisiologi
hipertensi, gagal jantung, dan gangguan kardiovaskular lainnya. Angiotensin II dapat
menyebabkan vasokonstriksi dan menstimulasi aldosteron yang dimediasi oleh
reseptor AT1, di mana vasokonstriksi bersama sekresi aldosteron yang meningkatkan
reabsorbsi air/garam ini dapat meningkatkan tekanan darah1,3,5-7
C. Farmakokinetik
Konsentrasi puncak candesartan dalam plasma tercapai sekitar 3–4 jam setelah
konsumsi peroral dan waktu paruh plasma terhitung sekitar 9 jam pada individu yang
sehat. Pada individu dengan hipertensi, waktu paruh dilaporkan lebih lama.
a. Absorbsi
Candesartan cilexetil adalah prodrug dari candesartan. Setelah konsumsi,
candesartan cilexetil diubah menjadi bentuk aktif candesartan dengan
bioavailabilitas absolut sekitar 15–40%. Konsentrasi serum puncak rata-rata
tercapai 3–4 jam setelah konsumsi tablet.1,3
b. Distribusi
Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L/kg. Candesartan sangat terikat
pada protein plasma (>99%) dan tidak menembus sel darah merah. Pada
percobaan di tikus, candesartan dilaporkan tidak dapat menembus sawar darah
otak dengan baik, tetapi dapat menembus sawar plasenta dan mencapai fetus.1,3,5
c. Metabolisme
Sebagian besar obat diubah menjadi candesartan aktif melalui proses
hidrolisis ester saat absorbsi di saluran cerna. Sebagian kecil obat akan
dimetabolisme di hepar (<20%) untuk membentuk metabolit inaktif melalui
proses O-deethylation.1,3
d. Eliminasi
Sekitar 26% dosis oral akan dieliminasi tanpa perubahan di dalam urine.
Candesartan terutama diekskresi melalui urine (33%) dan melalui feses via sistem
bilier (67%). Klirens plasma candesartan dipengaruhi oleh insufisiensi ginjal
tetapi tidak dipengaruhi oleh insufisiensi hati ringan sampai sedang.1,3

DAFPUS
1. Drugs.com. Candesartan. 2020. https://www.drugs.com/ppa/candesartan.html
2. Australian Government Department of Health. Prescribing Medicines in
Pregnancy Database. 2019.
3. U.S. Food and Drug Administration. Atacand (Candesartan Cilexetil). 2015.
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2015/020838s036lbl.p
df
4. 5. MIMS Indonesia. Candesartan Cilexetil. 2017.
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/candesartan/
5. 6. Drugbank. Candesartan Cilexetil. 2017.
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00796
6. 7. Medsafe. Atacand Data Sheet. 2015.
http://www.medsafe.govt.nz/profs/Datasheet/a/Atacandtab.pdf
7. 8. U.S. Food and Drug Administration. Atacand HCT (Candesartan Cilexetil-
Hydrochlorothiazide) Tablets. 2012.
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2012/021093s015lbl.p
df

2.5.6 DORNER (BERAPROST) 1


Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk oral.
.Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak tercapai setelah 30
menit dan half life 35-40 menit setelah
A. Farmakodinamik
Natrium Beraprost (beraprost) adalah stabil, prostasiklin aktif secara oral (PGI2)
analog dengan sifat farmakodinamik mirip dengan PGI2. Mekanisme aksi dari
beraprost saat ini sedang diselidiki dan cenderung melibatkan relaksasi sel polos
vaskular, penghambatan agregasi platelet, dispersi agregat platelet yang ada,
penghambatan kemotaksis dan proliferasi sel dan efek sitoprotektif.
B. Dosis
Memperbaiki tukak, nyeri & rasa dingin yang berhubungan dengan oklusi arterial
kronik dengan dosis120 mcg/hari dalam 3 dosis terbagi. Hipertensi pulmonL 60
mcg/ hari dalam 3 dosis terbagi. Bila perlu, tingkatkan dosis s/d 180 mcg/ hari
dalam 3-4 minggu
C. Efek Samping
Sakit kepala, rasa hangat & kemerahan pada wajah, gangguan pada GI,
kecenderungan pendarahan, pusing. Peningkatan kadar enzim hati, trigliserida, &
bilirubin.

DAFPUS
1. Cynthia Damayanti, 2015, “Efek Angiogenesis Beraprost
Terhadap Gambaran Histopatologi Jantung Tikus Galur Wistar
Hipertensi”, Skripsi.

2.5.6 WARFARIN
Warfarin merupakan obat antikoagulan oral yang sering digunakan untuk
mengobati dan/atau mencegah terbentuknya bekuan darah (trombus). Warfarin
bekerja dengan cara menginhibisi faktor-faktor koagulan tergantung vitamin K
(Vitamin K- dependent factors). 1,2
A. Farmakologi
Farmakologi warfarin secara umum bekerja sebagai penghambat faktor koagulasi
tergantung vitamin K seperti faktor II, VII, IX, X, dan antikoagulan protein C dan
S.
B. Farmakodinamik
Efek antikoagulan dari warfarin berasal dari inhibisi interkonversi siklik vitamin
K di liver. Bentuk vitamin K yang tereduksi dibutuhkan untuk karboksilasi faktor
II, VII, IX, dan X sehingga faktor-faktor koagulasi ini menjadi bentuk aktif.
Maka, tanpa vitamin K tereduksi, faktor-faktor di atas tidak dapat berfungsi
sebagai faktor koagulan. Warfarin mengintervensi konversi vitamin K menjadi
bentuk yang tereduksi, sehingga warfarin secara tidak langsung mengurangi
jumlah faktor-faktor koagulasi tersebut. Dosis terapeutik warfarin mengurangi
jumlah faktor koagulan bentuk aktif tergantung vitamin K yang diproduksi oleh
liver mencapai hingga 30%-50%.   
C. Farmakokinetik
Aspek farmakokinetik warfarin terdiri dari aspek absorpsi, distribusi,
metabolism, dan eliminasinya.
a. Absorpsi
Warfarin diabsorpsi melalui rute oral dan membutuhkan waktu 4 jam untuk
mencapai konsentrasi puncak. Warfarin di absorpsi secara cepat dan komplit.
Efek antikoagulasi terjadi dalam 24 jam hingga 72 jam setelah administrasi,
waktu puncak efek terapeutik terlihat dalam 5-7 hari setelah terapi inisiasi.
Namun, hasil INR sudah ditemukan meningkat dalam 36-72 jam setelah terapi
inisiasi. 3,4,11,12
b. Distribusi
Volume distribusi warfarin adalah 0,14 liter/kg. Warfarin tidak didistribusikan
ke dalam air susu. Protein binding 99%.
c. Metabolisme
Warfarin terdiri dari isomer S dan R yang dimetabolisme di liver oleh enzim
mikrosomal hepatik (sitokrom P-450) menjadi metabolit inaktif terhidroksilasi
dan metabolit tereduksi. Isomer S memiliki potensi efek yang lebih tinggi dari
isomer R. Isomer S dimetabolisme oleh enzim CYP2C9 dan isomer R
dimetabolisme oleh CYP1A2. Metabolit ini diekskresikan melalui urine, dan
dalam jumlah sedikit diekskresikan melalui cairan empedu.
d. Eliminasi
Ekskresi warfarin paling utama lewat urine oleh filtrasi glomerular dalam
bentuk metabolit (92%) dan hanya sedikit yang dieksresikan dalam bentuk
tidak diubah. Waktu paruh warfarin efektif berkisar 20-60 jam, dengan rata-
rata 40 jam.4,12

DAFPUS
1. Hull R, Garcia D, Vazquez Sara , et al. https://www.uptodate.com. [Online].;
August 2018. Available from: https://www.uptodate.com/contents/warfarin-
coumadin-beyond-the-basics#H1.
2. National Center for Biotechnology Information.
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov. [Online]. Available from:
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/warfarin#section=Top.
3. Wigle P, Hein B, Bloomfield H, et al. Updated guideline on outpatient
anticoagulation. American Family Physician. 2013 April; 87(8). Available
from: https://www.aafp.org/afp/2013/0415/p556.html
4. Food and Drugs Administration. https://www.accessdata.fda.gov. [Online].
Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2007/009218s105lblv2
.pdf.
10. Moyer T, O'Kane D, Baudhuin L, et al. Warfarin sensitivity Genotyping: A
review of the literature and summary of patient experience. Mayo Clin Proc.
2009 December; 84(12). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2787394/
11. Patel S, Patel N. Warfarin. In. Treasure Island (FL): Statpearls; 2018.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470313/

12. 13. Rusdiana T, Yamamoto K, Araki T, Nakamura T, Subarnas A.


Responsiveness to low-dose warfarin associated with genetic variants of
VKORC1, CYP2C9, CYP2C19, and CYP4F2 in an Indonesian population.
Eur J Clin Pharmacol. 2013 March; 69(3). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22855348
13. 14. National Institute of Health. https://ghr.nlm.nih.gov. [Online].; 2018.
Available from: https://ghr.nlm.nih.gov/condition/warfarin-
resistance#synonyms.
14. 16. Sarafoff N, Holmes D. https://www.uptodate.com. [Online].; 2018.
Available from: https://www.uptodate.com/contents/coronary-artery-disease-
patients-requiring-combined-anticoagulant-and-antiplatelet-
therapy#H2492969741.
15. 17. Fisher M. Does the combination of Warfarin and Aspirin have a place in
secondary stroke prevention? American Heart Association. 2008 September;
40. Available from:
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/STROKEAHA.108.537670
16. 18. Medscape. https://reference.medscape.com. [Online]. Available from:
https://reference.medscape.com/drug/coumadin-jantoven-warfarin-342182.
17. 19. Barnes G, Lip G, Banerjee A, Boriani G, et al. CHEST Guideline on
Antithrombotics for Atrial Fibrillation. American College of Cardiology. 2018
August. Available from: https://www.acc.org/latest-in-cardiology/ten-points-
to-remember/2018/08/29/14/49/antithrombotic-therapy-for-atrial-fibrillation
20. Moon YJ, Nagaraju D, Franchi F, Angiolillo D. The role of anticoagulant
therapy in patients with acute coronary syndrome. Ther Adv Hematol. 2017
Dec; 8(12). Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5703114/

2.5.7 NKR (NITROKAF RETARD)


Nitrogliserin atau gliseril trinitrat merupakan obat golongan nitrat yang digunakan
untuk mengurangi nyeri dada pada angina pektoris, edema paru akut, dan hipertensi
pulmonal. Nitrogliserin berperan dalam vasodilatasi, permeabilitas sel, fungsi
platelet, dan proses inflamasi. Nitrogliserin masuk ke dalam otot polos pembuluh
darah dan dikonversikan menjadi nitrit oksida yang menginduksi sintesis cGMP dan
vasodilatasi. Walau efek pada pembuluh darah vena lebih dominan, nitrogliserin
dapat memberi efek vasodilatasi pada arteri dan vena. Oleh karena ituu nitrogliserin
juga digunakan pada kasus lainnya seperti edema paru akut dan hipertensi pulmonal
(Divakaran & Loscalzo, 2017). Indikasi nitrogliserin adalah untuk mengurangi gejala
serangan akut atau untuk profilaksis akut angina pektoris yang disebabkan oleh
penyakit jantung koroner (FDA, 2014).
A. Farmakodinamik
Farmakodinamik nitrogliserin utamanya adalah venodilatasi. Dilatasi pembuluh
pasca kapiler seperti vena-vena besar, mampu menghasilkan pengumpulan darah
balik ke jantung, serta menurunkan tekanan akhir diastolik (preload) pada
ventrikel kiri. Selain itu, nitrogliserin juga menyebabkan relaksasi arteriole,
sehingga menurunkan resistensi vaskular perifer dan tekanan arteri (afterload),
serta menyebabkan dilatasi arteri koronaria epikardial besar. Dosis terapi
nitrogliserin dapat menurunkan tekanan darah sistolik, diastolik, dan mean
arterial pressure. Tekanan perfusi koroner selalu dijaga efektif, namun tekanan
tersebut dapat terganggu apabila terjadi penurunan tekanan darah yang
berlebihan atau ketika terjadi peningkatan denyut jantung menurunkan waktu
pengisian diastolik. Peningkatan tekanan vena sentral dan tekanan baji kapiler
pulmonal (pulmonary wedge pressure), serta tekanan pulmonal dan resistensi
vaskular sistemik juga dapat menurun melalui terapi nitrogliserin. Denyut
jantung biasanya sedikit meningkat, kemungkinan disebabkan oleh respon
kompensasi terhadap penurunan tekanan darah.
B. Farmakokinetik
a. Absorbsi
Nitrogliserin dengan cepat diabsorpsi setelah penggunaan tablet sublingual.
Puncak konsentrasi plasma rata-rata terjadi pada sekitar 6-7 menit setelah
penggunaan. Konsentrasi plasma maksimum nitrogliserin dan area di bawah
kurva konsentrasi plasma-waktu (AUC) meningkat proporsional dengan
peningkatan dosis dari 0,3-0,6 mg. Bioavailabilitas absolut nitrogliserin
tablet adalah sekitar 40% namun cenderung bervariasi tergantung dari
faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat, seperti hidrasi
(kelembaban) sublingual serta metabolisme mukosa (FDA, 2014).
b. Distribusi
Volume distribusi nitrogliserin adalah 3,3 liter/kg. Pada konsentrasi plasma
antara 50 hingga 500ng/mL, pengikatan nitrogliserin kepada plasma protein
adalah sekitar 60%, di mana untuk 1,2-dinitrogliserin pengikatan plasma
adalah 60% dan untuk 1,3-dinitrogliserin sebesar 30% (FDA, 2014)..
c. Metabolisme
Enzim reduktase liver merupakan komponen utama dalam metabolisme
nitrogliserin menjadi gliserol dinitrat dan mononitrat yang pada akhirnya
akan diubah menjadi gliserol dan nitrat organik. Lokasi metabolisme
ekstrahepatik nitrogliserin antara lain, sel darah merah dan dinding vaskular.
Selain nitrogliserin, 2 metabolit yakni 1,2- dan 1,3-dinitrogliserin juga
ditemukan pada plasma. Konsentrasi plasma puncak rata-rata 1,2- dan 1,3-
dinitrogliserin adalah pada 15 menit setelah penggunaan obat. Waktu paruh
eliminasi dari 1,2- dan 1,3-dinitrogliserin adalah 36 dan 32 menit secara
berurutan. Metabolit dari 1,2- dan 1,3-dinitrogliserin dilaporkan
menghasilkan sekitar 2% dan 10%, secara berurutan. Efek farmakologis dari
nitrogliserin. konsentrasi plasma yang lebih tinggi dari metabolit dinitro,
bersamaan dengan waktu paruhnya yang sekitar 10 kali lipat lebih tinggi,
mungkin berkontribusi secara signifikan terhadap durasi efek farmakologis
obat tersebut. Metabolit gliserol mononitrat yang dihasilkan oleh
nitrogliserin tidak aktif secara biologis (FDA, 2014).
d. Eliminasi
Konsentrasi plasma nitrogliserin menurun dengan cepat, dengan waktu paruh
eliminasi rata-rata selama 2-3 menit (1,5 - 7,5 menit). Pembersihan
(clearance) nitrogliserin jauh melebihi aliran darah hepar yakni 13,6
liter/menit. Utamanya, obat ini diekskresikan melalui urine (FDA, 2014).

2.5.8 KSR atau Kalium Klorida


Kalium klorida merupakan salah satu jenis garam kalium yang dapat digunakan
dalam tata laksana hipokalemia dan sebagai suplemen untuk pasien hipertensi.
Sediaan kalium klorida tersedia dalam bentuk kapsul, tablet, serbuk untuk oral, dan
larutan untuk injeksi. Serbuk kalium klorida berwarna putih dan tidak berbau. Kalium
klorida terdiri dari ion kalium dan ion klorida. Keduanya memiliki peran penting
dalam mengatur proses fisiologis di dalam tubuh. Kalium berperan dalam menjaga
isotonisitas antara cairan intraseluler dan ekstraseluler, keseimbangan cairan, dan
keseimbangan asam basa. Selain itu, kalium juga berperan dalam transmisi impuls
saraf, kontraksi otot, pemeliharaan fungsi ginjal, dan penurunan tekanan darah.
(DrugBank, 2018), (National Center for Biotechnology Information, 2018), (Sur dan
Mohiuddin, 2019). Efek samping utama yang dapat ditimbulkan kalium klorida
adalah hiperkalemia, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal, pasien yang
menggunakan obat penghambat sekresi kalium, atau pasien dengan insufisiensi
adrenal. Jika terdapat gejala hiperkalemia, seperti paralisis, parestesia, atau gangguan
irama jantung, maka penggunaan kalium klorida harus dihentikan. (DynaMed, 2018).
Indikasi kalium klorida adalah pada kasus hipokalemia. Kadar kalium normal pada
dewasa adalah 3,5–5,1 mEq/L, sedangkan kadar kalium normal untuk anak adalah
3,4–4,7 mEq/L (Lerma, 2014). Hipokalemia dapat terjadi akibat penurunan asupan
kalium, peningkatan eksresi kalium, atau pergeseran ion kalium ke intraseluler (pada
kasus alkalosis metabolik). Penurunan asupan dapat disebabkan oleh malnutrisi,
malabsorpsi, dan pemberian nutrisi parenteral jangka waktu lama tanpa memberikan
ion kalium. Peningkatan eksreksi kalium dapat disebabkan oleh muntah, diare,
drainase cairan gastrointestinal, dialisis, gangguan ginjal, ketoasidosis diabetik,
hiperadrenalisme, penggunaan diuretik, penggunaan kortikosteroid, dan penggunaan
amfoterisin B (DrugBank, 2018).
Selain untuk kondisi hipokalemi, pemberian garam kalium dapat digunakan pada
kondisi:
 Hipertensi: Menjaga tekanan darah pada pasien hipertensi dan dapat
mencegah terjadinya hipertensi pada pasien sehat
 Aritmia: Kehilangan kalium dapat menyebabkan toksisitas glikosida pada
jantung, terutama pada pasien pasca pembedahan jantung
 Toksisitas thalium: Diberikan secara intravena untuk menatalaksana
keracunan (DrugBank, 2018).
A. Farmakodinamik
Kalium klorida berperan sebagai pengganti kalium yang hilang dari tubuh.
Kalium memiliki fungsi dalam berbagai proses fisiologis. Kalium merupakan
mineral yang penting dan merupakan kation utama cairan intraseluler. Sebagai
kation, kalium memiliki fungsi untuk mengatur isotonisitas antara cairan
intraselular dan ekstraseluler, pergerakan cairan, dan keseimbangan asam basa.
Perbedaan gradien antara kalium intraseluler dan ekstraseluler akan
menimbulkan eksitabilitas elektrik pada sel saraf dan otot yang memicu kontraksi
otot dan impuls saraf. Pergerakan ion kalium juga akan memicu pergerakan ion
lainnya, seperti natrium dan hidrogen. Pada kondisi hipokalemi, ion kalium akan
keluar dari dalam sel. Hal ini akan memicu pergerakan ion natrium dan hidrogen
untuk masuk ke dalam sel sehingga dapat menimbulkan metabolik alkalosis
ekstraseluler dan asiodis intraseluler. Di urin, kalium juga berperan untuk
menjaga pH urin. Penurunan kadar kalium dalam tubuh akan meningkatkan
sintesis amonia, sehingga pH urin menjadi meningkat. Kalium juga berperan
dalam transmisi impuls saraf, kontraksi otot, pembentukan jaringan, sekresi asam
lambung, dan pemeliharaan fungsi ginjal. Dalam pengaturan tekanan darah,
kalium juga berperan menurunkan nilai sistolik dan diastolic (Sur dan
Mohiuddin, 2019)..
B. Farmakokinetik
Farmakokinetik kalium klorida cukup baik per oral. Obat ini tidak dimetabolisme
dan diekskresikan melalui ginjal.
a. Absorpsi
Kalium diabsorpsi dengan baik jika dikonsumsi per oral. Penggunaan tablet
lepas-lambat membuat kalium dapat diserap secara perlahan dalam dosis
yang tidak terlalu besar. Hal ini bermanfaat karena pemberian kalium dalam
dosis besar melalui saluran cerna akan meningkatkan risiko ulserasi
(DynaMed, 2018).
b. Distribusi
Kalium yang diabsorpsi melalui saluran cerna, akan masuk ke cairan
ekstraseluler dan kemudian masuk ke dalam sel. Organ tubuh yang paling
banyak menyimpan kalium di intraseluler adalah otot skeletal (DynaMed,
2018).
c. Metabolisme
Kalium klorida tidak melalui proses metabolisme(DynaMed, 2018).
d. Eliminasi
Kalium klorida diekskresi melalui ginjal. Tindakan dialisis dan peritoneal
dialisis juga dapat mengekskresi kalium yang ada di dalam tubuh. Kalium
akan dikeluarkan secara bebas melalui filtrasi di glomerulus dan hampir
semuanya direabsorpsi kembali di tubulus kontortus proksimal. Kalium
kembali disekresikan di tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus.
Jumlah kalium yang disekresi ini sekitar 10% dari jumlah yang difiltrasi.
Ekskresi kalium juga terjadi melalui feses, namun jumlahnya sangat sedikit
sehingga tidak bermakna dalam keseimbangan kalium (Sur dan Mohiuddin,
2019).

2.5.9 KETOSTERIL
Ketosteril merupakan obat yang mengandung Asam 3-metil-2-oxovalerat 67 mg,
asam-4-metil-2-oksovalerat 101 mg, asam 2-okso-3-fenilpropionat 68 mg, asam 3-
metil-2-oksobutirat 86 mg, asam 2-hidroksi-4-metiltiobutirat 59 mg, L-lysine
monoasetat 105 mg, L-treonin 53 mg, L-tryptophan 23 mg, L-histidine 38 mg, L-
tyrosine 30 mg, nitrogen total 36 mg, Ca 0,05 g. Ketosteril digunakan untuk terapi
gangguan ginjal kronik sampai gejala gagal ginjal. Ketosteril mengandung Asam
Amino Esensial. Ketosteril digunakan untuk membantu terapi pengobatan gangguan
ginjal kronik bersama dengan diet tinggi kalori rendah protein 40mg/hari atau kurang
pada retensi yang terkompensasi, yaitu umumnya pada penderita dengan laju filtrasi
glomerulus antara 5 dan 50 ml/menit.

Aspilet atau Aspirin


Aspirin (asam asetilsalisilat) merupakan obat turunan asam salisilat yang memiliki
efek antipiretik, antiinflamasi, dan antiplatelet. Aspirin bukan nama generik yang
sebenarnya, namun sering dianggap demikian. Aspirin bekerja dengan cara
menginhibisi enzim siklooksigenase 1 dan 2 (COX-1 dan 2) sehingga menurunkan
produksi prostaglandin dan derivatnya, yaitu thromboxan A2. Hal inilah yang
memberikan efek antiinflamasi dan anti agregasi platelet. Obat ini sudah lama beredar
dan merupakan salah satu obat bebas yang paling banyak dibeli masyarakat. Aspirin
biasanya digunakan sebagai analgesik dan antiagregasi platelet, misalnya pada
pengobatan sakit kepala dan infark miokard akut. Indikasi utama aspirin (asam
asetilsalisilat) saat ini adalah pada sindroma koroner akut dan stroke. Penggunaan
untuk indikasi sebagai antipiretik dan antiinflamasi relatif lebih jarang di Indonesia.
(Kemenkes RI, 2013) (WHO, 2017) Sebagai analgesik dan antipiretik, pada dewasa
digunakan dosis :
 Per oral 4 x 325-650 mg, atau 3 x 975 mg, atau 3-4 x 500-100 mg
 Per rektal 4 x 300-600 mg
 Dosis maksimum dewasa 4 g/hari
Pada anak digunakan dosis 10-15 mg/kg/dosis sebanyak 4-6 kali sehari. Penggunaan
aspirin sebagai analgesik disarankan tidak lebih dari 10 hari.
A. Farmakodinamik
Farmakodinamik aspirin bekerja melalui inhibisi enzim siklooksigenase 1 dan 2
(COX-1 dan COX-2) secara ireversibel, sehingga menurunkan produksi
prostaglandin dan derivatnya, yaitu thromboxan A2. Efek yang diperoleh adalah
efek antipiretik, antiinflamasi, dan antiplatelet. Penghambatan pada COX-1 dan 2
akan menghambat pembentukan prostaglandin yang berperan dalam proses
inflamasi. Selain daripada itu, akan menghambat pula produksi thromboxan A2
yang memiliki kemampuan untuk menginduksi agregasi platelet. Selain daripada
itu, aspirin juga memiliki efek analgesik melalui jalur sentral, yaitu dengan
memengaruhi ambang nyeri di hipotalamus. Walaupun begitu, mekanisme pasti
efek ini masih belum diketahui. Onset kerja aspirin adalah 5-30 menit, dengan
durasi kerja: 4-6 jam.
B. Farmakokinetik
Farmakokinetik aspirin dimulai melalui absorpsi hingga eliminasi, serta
bergantung pada jenis sediaan dan cara pemberian.
a. Absorbsi
Aspirin sediaan tablet bisa diserap dengan sangat cepat di lambung dan
duodenum. Tablet extended release diserap lebih lambat dan tergantung
adanya makanan serta pH gaster. Bioavailabilitas aspirin adalah 50-75%
(Eikelboom et al., 2012).
b. Distribusi
Volume distribusi aspirin adalah 170 ml/kgBB. Aspirin juga banyak
terdistribusi pada jaringan. Pada konsentrasi rendah, sekitar 90% aspirin
terikat albumin. Semakin tinggi konsentrasi aspirin, proporsi yang berikatan
dengan protein semakin rendah, begitu pula pada kasus insufisiensi renal dan
pada kehamilan. Pada kasus overdosis aspirin, hanya 30% yang berikatan
dengan albumin (Kemenkes RI, 2013)
c. Metabolisme
Metabolisme aspirin berlangsung hampir segera setelah konsumsi. Aspirin
utamanya dihidrolisis menjadi salisilat oleh enzim esterase yang terdapat di
mukosa saluran cerna, eritrosit, cairan sinovial, dan plasma darah. Hasil
hidrolisis kemudian berikatan dengan glycine, menjadi salicyluric acid.
(Eikelboom et al., 2012).
d. Eliminasi
Waktu paruh aspirin adalah 15-20 menit, sedangkan waktu paruh salisilat
akan lebih lama sesuai dengan dosis pemberian. Pada dosis 300-650 mg waktu
paruh berkisar 3 jam, sedangkan pada dosis 1 gram waktu paruh adalah 5 jam
dan 2 gram waktu paruh 9 jam. Eliminasi aspirin utamanya melalui urin, 75%
dalam bentuk salicyluric acid dan 10% dalam bentuk asam salisliat
(Eikelboom et al., 2012).

2.5.10 Adalat Oros atau Nifedifine


Nifedipine merupakan vasodilator golongan penghambat sawar kalsium (calcium
channel blocker) dihidropiridin yang digunakan untuk penanganan hipertensi dan
hipertensi pada kehamilan Nifedipine berfungsi sebagai antihipertensi, tokolitik, dan
antiangina. Nifedipine sering juga disebut dengan Adalat atau Procardia. Nama kimia
obat ini adalah C17H18N2O6 (WHO, 2017) (Kemenkes RI, 2014) (NCBI, 2018).
Obat ini merupakan golongan obat keras (K) dan harus diberikan dengan resep (PIO
Nas, 2018).
Nifedipine dapat digunakan sebagai terapi lini pertama pada:
 Tokolitik pada kehamilan preterm
 Hipertensi gestasional emergensi atau hipertensi postpartum, terutama bila
tidak terdapat akses intravena (nifedipine lepas cepat / immediate release)
 Terapi farmakologis fenomena Raynaud’s primer
(Haas et al, 2014) (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2017)
(Hansel et al., 2017)
Efek terapi nifedipine antara lain adalah:
 Menyebabkan vasodilatasi pembuluh koroner dan perifer, sehingga
menurunkan tekanan darah dan demand oksigen
 Aktivitas inotropik negatif: menurunkan kontraktilitas miokardium dan
afterload
 Blokade sawar kalsium tipe L pada miometrium dan mempengaruhi reseptor
beta-adrenergik, sehingga menurunkan kontraksi uterus
(NCBI, 2018), (MIMS, 2018), (Gaspar et al., 2013)
A. Farmakodinamik
Nifedipine merupakan penghambat sawar kalsium dihidropiridin (DHP).
Nifedipine mencegah ion kalsium masuk ke sawar kalsium pada jantung dan otot
polos, sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah koroner dan perifer.
Obat ini juga memiliki efek inotropik negatif, sehingga menurunkan kontraktilitas
dan afterload jantung. Efek ini membuat konsumsi dan kebutuhan oksigen
miokardium menurun, sehingga dapat berfungsi sebagai antiangina stabil kronik.
Inhibisi ion kalsium nifedipine berlangsung secara selektif, sehingga tidak
mempengaruhi kadar ion kalsium dalam serum (NCBI, 2018), (MIMS, 2018),.
Sebagai tokolitik, nifedipine bekerja dengan menghambat sawar kalsium tipe L
pada miometrium, sehingga menyebabkan penurunan ion kalsium dan relaksasi
miometrium. Nifedipine juga dapat mempengaruhi reseptor beta-adrenergik dan
mempromosikan relaksasi uterus (Gaspar et al., 2013).
B. Farmakokinetik
Aspek farmakokinetik nifedipine berupa aspek absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan eliminasinya.
a. Absorbsi
Nifedipine mengalami absorpsi secara cepat pada traktus gastrointestinal.
Nifedipine membutuhkan waktu 30-60 menit untuk mencapai konsentrasi
puncak. Onset kerja nifedipine sekitar 20 menit. Absorpsi dipengaruhi
makanan. Absorpsi juga meningkat  bila dikonsumsi tidak utuh (dikunyah
atau digerus). Konsentrasi obat meningkat secara gradual dan mencapai
plateau dalam 6 jam setelah dosis pertama diberikan.
b. Distribusi
Nifedipine didistribusikan ke dalam air susu dalam jumlah sedikit. Protein
binding 92%-98%.
c. Metabolisme
Nifedipine mengalami metabolisme secara ekstensif di dalam liver melalui
sistem sitrokrom P450. Metabolisme nifedipine terutama melalui isoenzim
CYP3A4, tetapi juga dapat dimetabolisme oleh isoenzim CYP1A2 dan
CYP2A6.
d. Eliminasi
Ekskresi nifedipine paling utama melalui urin dalam bentuk metabolit inaktif
larut air (80%-95%) dan melalui feses. Waktu paruh nifedipine adalah 2 jam.
(NCBI, 2018), (MIMS, 2018)
DAFTAR PUSTAKA
1. Divakaran, S. dan Loscalzo, J. , The Role of Nitroglycerin and Other Nitrogen
Oxides in Cardiovascular Therapeutics. Journal of the American College of
Cardiology, 2017. 70(19): p. 2393-2410.
2. FDA, Nitrostat® (Nitroglycerin Sublingual Tablets, USP) 2014, Food and
Drug Administration.
3. DrugBank. Potassium chloride. 2018. Available from:
https://www.drugbank.ca/drugs/DB00761
4. National Center for Biotechnology Information. PubChem Database.
Potassium chloride, CID=4873. 2018. Available from:
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/4873
5. Sur M, Mohiuddin SS. Potassium. 2019. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539791/
6. DynaMed Plus. Ipswich (MA): EBSCO Information Services. 1995 - . Record
No. T907966, Potassium Chloride. 2018. Available from:
https://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T907966. Registration and login
required
7. Lerma EV. Potassium. 2014. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/2054364-overview#showall
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Daftar Obat Esensial Nasional
2013 [Internet]. Jakarta; 2013. Available from:
http://binfar.kemkes.go.id/2014/02/daftar-obat-esensial-nasional-2013/
#.WgvpY4VOJMs
9. World Health Organization. WHO Model List of Essential Medicines
[Internet]. Geneva: World Health Organization; 2017. Available from:
http://www.who.int/medicines/publications/essentialmedicines/en/
10. Eikelboom JW, Hirsh J, Spencer FA, Baglin TP, Weitz JI. Antiplatelet drugs:
Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American
College of Chest Physicians Evidence-Based Clinical Practice Guidelines.
Chest. 2012 Feb;141(2 Suppl):e89S–e119S.
11. World Health Organization. WHO Model List of Essential Medicines. WHO.
2017.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Daftar Obat Esensial Nasional
2013. Kemenkes RI. 2014.
13. National Center for Biotechnology Information. Nifedipine. PubChem. 2018.
Diakses dari: https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/nifedipine
14. Pusat Informasi Obat Nasional. Nifedipine. BPOM RI. 2018. Diakses dari:
http://pionas.pom.go.id/monografi/nifedipine
15. Haas DM, Benjamin T, Sawyer R, Quinney SK. Short-term tocolytics for
preterm delivery - Current perspectives. Int J Womens Health. 2014;6:343–9.
16. American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on Obstetric
Practice. Emergent Therapy for Acute-Onset, Severe Hypertension During
Pregnancy and the Postpartum Period. Committee Opinion. 2017;692.
17. Hansen-Dispen2za H, Narayanan S. Raynaud Phenomenon Treatment &
Management. Medscape. 2017. Diakses dari:
https://emedicine.medscape.com/article/331197-treatment
18. MIMS Indonesia. Nifedipine. Mims.com. 2018. Diakses dari:
http://mims.com/indonesia/drug/info/nifedipine/
19. Gaspar R, Hajagos-Toth J. Calcium Channel Blockers as Tocolytics:
Principles of Their Actions, Adverse Effects and Therapeutic Combinations.
Pharmaceuticals. 2013;6:689–99.

Anda mungkin juga menyukai