Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

QUALITY CONTROL DALAM METODE LEAN


SIX SIGMA
Disampaikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
PENGENDALIAN DAN PENJAMINAN MUTU
LEAN SIX SIGMA
Dosen : Ir. Titik Koesdjati, M.T

Disusun oleh :

Fahur Rosi (17370042 / C)

Elvin Herman H (173700017 / C)

Marvel Henry (173700023 / C)

Program Studi Teknik Industri

Fakultas Teknologi Industri

Universitas PGRI Adibuana Surabaya

2019
RINGKASAN

Lean Six Sigma merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi


pemborosan, menurunkan variansi dan mencegah cacat produk. Lean six sigma
juga sebagai sebuah konsep bisnis yang berusaha untuk menjawab permintaan
pelanggan terhadap kualitas yang terbaik, dimana memiliki pusat target untuk
fokus terhadap kebutuhan dan kepuasan pelanggan akan produk yang dihasilkan.
Selain itu, dalam hal kepuasan pelanggan juga memberikan pelayanan atau
penjaminan after sales yang baik salah satu contohnya yakni, dengan cara
memberikan garansi pada suatu produk. Pelaksanaan lean six sigma berfokus pada
proses, baik produksi atau jasa diharapkan dapat berjalan secara optimal dengan
memangkas waktu produksi dan menghilangkan biaya yang tidak penting tetapi,
tetap melakukan quality control pada setiap prosesnya. Cara penerapan lean ini
secara tidak langsung juga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan
meningkatkan output. Keberhasilan pada penerapan konsep lean six sigma pada
suatu perusahaan dapat meningkatkan nilai produk, serta kepercayaan dari
pelanggan yang cepat atau lambat akan memimpin pangsa pasar disektor industri
yang dijalankannya.
DAFTAR ISI

Cover
Ringkasan..................................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.........................................................................................................1

BAB II Landasan Teori


2.1 Kualitas .............................................................................................................2
2.2 Biaya ................................................................................................................2
2.3 Six sigma ..........................................................................................................3

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Hubungan Kualitas dengan Biaya .....................................................................4
3.2 Hubungan Kualitas Dengan Keuntungan ..........................................................5
3.3 Hubungan Kualitas dengan Produktivitas .........................................................8
3.4 Kegunaan six sigma dalam perbaikan sebuah produk ....................................10
3.5 Langkah-langkah implementasi six sigma 11 .................................................10

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISA

4.1 Konsep Lean ....................................................................................................11


4.2 Perbandingan Lean, Craft dan Mass Production .............................................11
4.3 Tujuan Lean Manufacturing ............................................................................13

BAB V KESIMPULAN .......................................................................................21

Daftar Pustaka .......................................................................................................22


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Karakteristik lingkungan dunia usaha saat ini ditandai oleh perkembangan


yang serba cepat di segala bidang. Persaingan bukan hanya mengenai seberapa
tinggi tingkat produktivitas perusahaan dan seberapa rendahnya tingkat harga
produk maupun jasa, namun lebih pada kualitas produk atau jasa tersebut
kenyamanan, kemudahan, serta ketepatan dan kecepatan waktu dalam
pencapaiannya. Persaingan ekonomi dunia usaha tersebu t menjadi semakin ketat
sehingga menuntut kepiawaian manajemen dalam mengantisipasi setiap
perubahan yang terjadi dalam aktivitas ekonomi dunia.

Istilah Kualitas memang tidak terlepas dari manajemen kualitas yang


mempelajari setiap area dari manajemen operasi dari perencanaan lini produk
dan fasilitas, sampai penjadwalan dan memonitor hasil. Kualitas merupakan
bagian dari semua fungsi usaha yang lain (pemasaran, sumber daya manusia,
dan keuangan). Dalam kenyataannya, penyelidikan kualitas adalah suatu
penyebab umum (common cause) yang alamiah untuk mempersatukan fungsi-
fungsi usaha. Flyn, Schroered, dan Sakalubara (1994) mengidentifikasi tujuh
faktor kualitas, yaitu dukungan manajemen (management support), informasi
kualitas (quality information), manajemen proses (process management), desain
produk (product design), manajemen kekuatan kerja (workforce management),
keterlibatan pemasok (supplier involvement), dan keterlibatan karyawan
(customer involvement) (Dilber, Buyyurt, Zaim, dan Tarim, 2005).

Dalam hal ini maka sangat lah dibutuhkan suatu metode, dimana metode
untuk menjaga kestabilan kualitas. Six Sigma merupakan suatu sistem yang
komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberi dukungan dan
memaksimalkan proses usaha, yang 2 berfokus pada pemahaman akan
kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data, dan analisis statistik
serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji
ulang proses usaha. Diamana Implementasi Six Sigma berokus pada proses,
baik itu pada proses produksi atau jasa. Apabila tercapai, maka Six Sigma
akan dapat memastikan bahwa keseluruhan proses produksi berjalan pada
efisiensi yang optimal.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Kualitas
Faktor utama yang menentukan kinerja suatu perusahaan adalah
kualitas barang dan jasa yang dihasilkan. Produk dan jasa yang berkualitas adalah
produk dan jasa yang sesuai dengan apa yang dijanjikan kepada konsumennya.
Hal ini sesuai dengan pengertian kualitas menurut Scherkenbach (Dalam
Dorothea Wahyu Ariani, 2003: 8) bahwa: Kualitas ditentukan oleh pelanggan;
pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan
harapannya pada suatu tingka harga tertentu yang menunjukkan nilai produk
tersebut‟. Kualitas disebut juga mutu. Istilah mutu (Quality) dapat
didefinisikan dalam berbagai cara tergantung pada pandangan dan pemakai.
Menurut Gregory B. Hutchins (Dalam Amin Widjadja Tunggal, 2002:1) bahwa:
Mutu (Quality) adalah:
1) Kesesuaian/ kecocokan dengan spesifikasi dan standar yang berlaku.
2) Cocok/ pas untuk digunakan (fitness for use).
3) Dapat memuaskan keinginan, kebutuhan dan pengharapan pelanggan
dengan biaya kompetitif.
Banyak ahli yang mendefinisikan kualitas yang secara garis besar orientasinya
adalah kepuasan pelanggan yang merupakan tujuan perusahaan atau organisasi
yang berorientasi pada kualitas. Kualitas adalah keseluruhan ciri atau
karakteristik produk atau jasa dalam tujuannya untuk memenuhi kebutuhan
dan harapan pelanggan. Pelanggan diartikan konsumen yang datang berulang
kali.
Kualitas menunjang keberlangsungan kehidupan suatu perusahaan, seperti yang
diungkapkan oleh Rusel (Dalam Dorothea Wahyu Ariani, 2003: 8) yang
mengidentifikasikan enam peranan pentingnya kualitas, yaitu :
1) Meningkatkan reputasi perusahaan.
2) Menurunkan biaya.
3) Meningkatkan pangsa pasar.
4) Dampak Internasional.
5) Adanya pertanggung jawaban produk.
6) Untuk penampilan produk.
7) Mewujudkan kualitas yang dirasakan penting.

2.2 Biaya
Dalam kegiatan perusahaan akan dijumpai suatu biaya, biaya merupakan
unsur utama yang harus dikorbankan demi kepentingan dan kelancaran
perusahaan. Oleh karena itu pelaksanaan biaya memerlukan perhatian yang
sangat penting dan juga merupakan unsur pengurangan yang berperan dalam
perolehan pendapatan perusahaan. Menurut Hansen dan Mowen (2004:40)
dalam bukunya manajemen biaya: Akuntansi dan Pengendalian mendefinisikan
biaya sebagai “Kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk
mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan memberikan manfaat saat ini
atau di masa yang akann datang bagi organisasi”. Sedangkan Supriyono
(2000:185) dalam buku akuntansi biaya : Perencanaan dan Pengendalian serta
Pembuatan Keputusan mengemukakan : “Biaya adalah pengorbanan ekonomis
yang dibuat untuk memperoleh barang atau jasa”. Pengertian biaya menurut
Harnanto dan Zulkifli (2003:14) pada bukunya yang berjudul Manajemen
Biaya adalah sesuatu yang berkonotasi pengurang yang harus dikorbankan
untuk memperoleh tujuan akhir yaitu mendatangkan laba”.
2.3 Six Sigma
Six Sigma merupakan suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk
mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus
pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data,
dan analisis statistik serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan
dan mengkaji ulang proses usaha.
Menurut Manggala, D. (2005) Six Sigma merupakan sebuah metodologi
terstruktur untuk memperbaiki proses yang difokuskan pada usaha mengurangi
variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk / jasa
yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools
secara intensif.
Keuntungan dari penerapan Six Sigma berbeda untuk setiap perusahaan
tergantung pada usaha yang dijalankannya, visi dan misi serta strategi perusahaan
bersangkutan. Tetapi umumnya dengan penerapan Six Sigma akan ada perbaikan
dalam hal-hal berikut ini:
1) Pengurangan biaya
2) Pertumbuhan pangsa pasar
3) Pengurangan waktu siklus
4) Retensi pelanggan atau loyalitas pelanggan
5) Pengurangan kesalahan pada produk atau produk cacat
6) Perubahan budaya kerja
7) Pengembangan produk atau jasa

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Kualitas dengan Biaya

Setiap kegiatan yang dilakukan perusahaan pasti terkait erat dengan biaya
yang harus dikeluarkan perusahaan tersebut. Dalam paradigma baru dikatakan
bahwa quality has no cost yang berarti kualitas tidak memerlukan biaya. Artinya
untuk membuat suatu produk yang berkualitas perusahaan dapat melakukannya
dengan cara menghilangkan segala bentuk pemborosan, yang biasanya
pemborosan ini disebabkan karena perusahaan menghasilkan produk yang
ternyata cacat sehingga harus diadakan perbaikan atau harus dibuang.
Selanjutnya, dalam paradigma baru dikenal bahwa peningkatan kualitas pasti
diiringi dengan peningkatan produktivitas. Mengapa demikian? Hal ini dapat
terjadi jika perusahaan berhasil menghilangkan pemborosan. Dalam paradigma
baru, kualitas tidak berdampak pada peningkatan biaya kualitas, bahkan akan
menghemat biaya tersebut. Biaya yang dapat dihemat terutama yang merupakan
biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk cacat.
Namun demikian, biaya kualitas itu akan tetap ada bila perusahaan menganut
paradigma lama. Dalam paradigma lama, dikatakan bahwa kualitas itu mahal.
Untuk meningkatkan kualitas produk dan jasa menurut paradigma lama,
diperlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Ada dua golongan besar biaya
kualitas, yaitu biaya untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan biaya
yang harus dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat. Menurut Russel dan
Taylor (1996), secara keseluruhan biaya kualitas tersebut meliputi:

1. Biaya untuk menghasilkan produk yang berkualitas (cost of achieving good


quality) yaitu biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk membuat produk
yang berkualitas sesuai dengan keinginan pelanggan, meliputi:

1) Biaya pencegahan (prevention costs) yaitu biaya untuk mencegah kerusakan


atau cacat produk yang terdiri dari :

a. Biaya perencanaan kualitas (quality planning costs) yaitu biaya yang


harus dikeluarkan untuk membuat perencanaan akan produk yang baik yang
akan dihasilkan.

b. Biaya perancangan produksi (production design costs) yaitu biaya yang


harus dikeluarkan untuk merancang produk sehingga produk yang
dihasilkan benar-benar berkualitas.
c. Biaya pemrosesan (process costs) yaitu biaya yang harus dikeluarkan
untuk dapat menjalankan proses produksi sehingga menghasilkan produk
yang berkualitas.

d. Biaya pelatihan (training costs) yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengadakan pelatihan bagi karyawan sehingga karyawan bertanggung
jawab untuk selalu membuat produk yang baik

e. Biaya informasi akan kualitas produk yang diharapkan pelanggan


(information costs) yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengadakan
survei pelanggan tentang kualitas produk yang diharapkan pelanggan.

2) Biaya penilaian (appraisal costs) yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengadakan pengujian terhadap produk yang dihasilkan, meliputi :

a. Biaya untuk mengadakan inspeksi dan pengujian (inspection and testing


costs), yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk mengadakan pengujian
terhadap produk yang dihasilkan.

b. Biaya peralatan pengujian (test equipment costs) yaitu biaya yang harus
dikeluarkan untuk pengadaan alat untuk pengujian terhadap kualitas produk.

c. Biaya operator (operator costs) yaitu biaya yang dikeluarkan untuk


memberikan upah pada orang yang bertanggung jawab dalam pengendalian
kualitas.

2. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan menghasilkan produk cacat


(cost of poor quality), meliputi :

1) Biaya kegagalan internal (internal failure costs) yaitu biaya yang harus
dikeluarkan karena perusahaan telah menghasilkan produk yang cacat tetapi
cacat produk tersebut telah diketahui sebelum produk tersebut sampai kepada
pelanggan. Biaya ini meliputi :

a. Biaya yang dikeluarkan karena produk harus dibuang (scrap costs), yaitu
biaya yang telah dikeluarkan perusahaan tetapi produk yang dihasilkan
ternyata produk cacat sehingga harus dibuang dan adanya biaya untuk
membuang produk tersebut.

b. Biaya pengerjaan ulang (rework costs), yaitu biaya untuk memperbaiki


produk yang cacat.

c. Biaya kegagalan proses (process failure costs) yaitu biaya yang harus
dikeluarkan dalam proses produksi tetapi ternyata produk yang dihasilkan
adalah produk cacat.
d. Biaya yang harus dikeluarkan karena proses produksi tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya (process down time costs).

e. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan terpaksa harus menjual


produk di bawah harga patokannya karena produk yang dihasilkannya cacat
(price-downgrading costs)

2) Biaya kegagalan eksternal (external failure costs) yaitu biaya yang harus
dikeluarkan karena menghasilkan produk cacat dan produk ini telah diterima
oleh konsumen, meliputi :

a. Biaya untuk memberikan pelayanan terhadap keluhan pelanggan


(customer complaint costs).

b. Biaya yang harus dikeluarkan karena produk yang telah disampaikan


kepada konsumen dikembalikan karena produk tersebut cacat (product
return costs).

c. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menangani tuntutan konsumen


terhadap adanya jaminan kualitas produk (warranty claims costs).

d. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan harus memberikan


jaminan atau garansi bagi konsumen bahwa produk yang dihasilkan adalah
baik (product liability costs).

e. Biaya yang harus dikeluarkan karena perusahaan tidak dipercaya oleh


konsumen sehingga tidak mau lagi membeli produk ke perusahaan tersebut
(lost sales costs).

3.2 Hubungan Kualitas Dengan Keuntungan


Penggolongan biaya kualitas ke dalam empat kategori yaitu biaya
pencegahan, biaya penilaian, biaya kegagalan internal dan biaya kegagalan
external adalah sebagai perangkat bagi manajemen atau pihak lain untuk
mempermudah melakukan analisis terhadap elemen-elemen biaya kualitas baik itu
dari segi perilakunya maupun hubungan antar masing-masing elemen dari biaya
tersebut serta pengaruhnya terhadap variabel lain di luar biaya kualitas, misalnya
dengan tingkat produktivitas dan profitabilitas perusahaan. Empat golongan biaya
kualitas tersebut dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
biaya pengendalian (cost of control) yang terdiri dari biaya pencegahan dan biaya
penilaian dan biaya kegagalan (failure cost) yang terdiri dari biaya kegagalan
internal dan biaya kegagalan eksternal.

Meningkatnya biaya pencegahan yang dilakukan oleh perusahaan akan


menyebabkan biaya penilaian yang dikeluarkan juga akan meningkat. Hal itu
terjadi karena kedua biaya tersebut merupakan suatu kesatuan usaha pengendalian
yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas. Usaha pengendalian kualitas yang
dilakukan dengan mengeluarkan biaya pencegahan dan penilaian akan
menyebabkan berkurangnya kualitas produk cacat yang dihasilkan sebelum
produk tersebut dikirim ke konsumen. Dengan menurunnya produk cacat tersebut,
maka biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kembali produk yang
cacat (biaya kegagalan internal) akan semakin menurun. Dengan menurunnya
produk cacat sebelum dikirim ke pelanggan, maka ini akan berdampak kepada
jumlah produk yang rusak di pelanggan akan menurun, sehingga akan mengurangi
tingkat retur atas produk cacat dari pelanggan dan ini tentu berdampak pada
menurunnya biaya garansi dan perbaikan yang merupakan komponen biaya
kegagalan eksternal.

Hubungan antar Komponen Biaya Kualitas dan Pengaruhnya Terhadap Produk


Berkualitas

Menurut Blocher, Chen dan Lin dalam bukunya Manajemen Biaya yang
diterjemahkan oleh Susty Ambarriani (2000:206), mengungkapkan lebih lanjut
bahwa dengan meningkatnya kualitas pada suatu produk yang dihasilkan maka
perusahaan akan memiliki keunggulan kompetitif dan menikmati laba yang lebih
tinggi. Pelanggan merasa bahwa kualitas produk adalah produk yang mempunyai
nilai (value) yang lebih tinggi.

Nilai tinggi yang dirasakan pelanggan memungkinkan perusahaan untuk


menentukan harga yang lebih tinggi dan mendapatkan pangsa pasar yang lebih
besar untuk meningkatkan pendapatan.

3.3 Hubungan Kualitas dengan Produktivitas


Pada dasarnya, Tujuan utama dari suatu perusahaan bisnis adalah untuk
menghasilkan keuntungan atau pun profit yang sebanyak-banyaknya. Untuk
meningkatkan keuntungan atau profit perusahaan, Ide ataupun usulan yang paling
sederhana dan paling pertama muncul adalah meningkatkan Produktivitas. Hal ini
tidak selalunya tepat. Berikut ini contoh atau gambaran mengapa meningkatkan
Produktivitas bukan suatu pilihan yang tepat pada kondisi tertentu.
Perusahan “X” adalah sebuah perusahaan manufacturing elektronika yang
memproduksi DVD Player, setiap harinya perusahaan tersebut berhasil
menghasilkan Output sebanyak 1000 unit dengan rata-rata tingkat defective
(cacat) adalah 5%. Untuk meningkatkan Profit, Manajemen Perusahaan kemudian
memutuskan untuk meningkatkan Produktivitas hingga 10%, artinya setiap hari
perusahaan harus menghasilkan 1100 unit. Keputusan meningkatkan Produktivitas
dengan menambahkan jumlah Output Produksi ini membuat karyawan
perusahaannya tertekan (stress) dan ketakutan. Tetapi karena merupakan
Kebijakan dan Instruksi dari Manajemen, Karyawan perusahaan tersebut tetap
berusaha untuk memenuhinya. Akan tetapi, Tingkat Kerusakan / Defective
(Cacat) produk yang dihasilkan bertambah dari yang sebelumnya rata-rata 5% per
hari menjadi rata-rata 12% per hari. Artinya, setiap hari terdapat 132 unit yang
cacat (rusak) dan Produk baik yang siap dikirimkan ke Customer (Pelanggan)
adalah hanyan 968 unit saja. Jumlah tersebut hanya sedikit lebih tinggi atau 18
unit lebih banyak dari kondisi sebelumnya (950 unit). Peningkatan Produktivitas
jika tidak diiringi dengan pengendalian proses dan peningkatan kualitas, Tingkat
kerusakan akan semakin tinggi sehingga hasilnya sering tidak sesuai dengan yang
diharapkan oleh manajemen perusahaan.
Perusahan “Y” adalah sebuah perusahaan manufacturing elektronika yang
memproduksi DVD Player, setiap harinya perusahaan tersebut berhasil
menghasilkan Output sebanyak 1000 unit dengan rata-rata tingkat defective
(cacat) adalah 5%. Untuk meningkatkan Profit, Manajemen Perusahaan kemudian
memutuskan untuk meningkatkan Kualitas, yang artinya perusahaan tetap
menghasilkan 1000 unit setiap hari. Ternyata, Tingkat Kerusakan / Defective
(Cacat) produk yang dihasilkan berkurang dari yang sebelumnya rata-rata 5% per
hari menjadi rata-rata 2% per hari. Artinya, setiap hari hanya terdapat 20 unit yang
cacat (rusak) dan produk baik yang siap dikirimkan ke Customer (Pelanggan)
meningkat menjadi 980 unit. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi atau 30 unit lebih
banyak dari kondisi sebelumnya (950 unit). Peningkatan pengendalian proses dan
peningkatan kualitas terbukti mampu mengurangi jumlah produk cacat yang
dihasilkan dan tidak menambah stress pada pekerja.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam perhitungan tabel di bawah ini :
Dapat dilihat perbedaan pada hasil dari Perusahaan “X” dan Perusahaan “Y”.
Perusahaan “Y” yang berusaha untuk mengendalikan proses untuk meningkatkan
kualitas Produksi berhasil meningkatkan Outputnya menjadi 980 unit sedangkan
Perusahaan “X” yang diperintahkan untuk menambahkan 10% Produktivitas
malah menghasilkan Jumlah Output baik yang lebih rendah daripada Perusahaan
“Y” yang meningkatkan Kualitasnya. Contoh diatas hanya sebagai gambaran
bagaimana Peningkatan Kualitas dapat mempengaruhi Peningkatan Produktivitas
dalam Kegiatan Produksi. Manajemen Perusahaan harus mampu menemukan cara
untuk menyeimbangkan peningkatan Kualitas dan Produktivitas. Terlalu
menekankan peningkatan Produktivitas akan mengorbankan Kualitas yang
mungkin pada akhirnya juga akan menurunkan Output Produksi. Sedangkan
terlalu menekankan peningkatan Kualitas dengan mengorbankan Produktivitas
juga akan menimbulkan Biaya Operasional yang tinggi. Oleh karena itu,
Peningkatan Kualitas dan Produktivitas harus dilakukan secara bersamaan tanpa
mengorbankan salah satunya.
Dengan meningkatkan Kualitas dan Produktivitas secara bersamaan, perusahaan
akan menikmati keuntungan seperti Harga Pokok Produksi yang lebih rendah,
Mengurangi biaya pekerjaan ulang (rework cost), meningkatkan kepuasan
pelanggan (Customer Satisfaction) dan tentunya meraih Profit (Laba) yang lebih
besar.

3.4 Kegunaan six sigma dalam perbaikan sebuah produk


Konsep Six Sigma merupakan perbaikan secara terus menerus (continous
improvement) untuk mengurangi cacat adalah dengan meminimalisasi variasi
yang terjadi pada proses produksi. Hendradi (2006) menyatakan General Electric
(GE) sebagai salah satu perusahaan yang sukses menerapkan Six Sigma
menyatakan, "Six Sigma merupakan proses disiplin tinggi yang membantu dalam
mengembangkan dan menghantarkan produk mendekati sempurna.
Ide sentral dibelakang Six Sigma adalah jika perusahaan dapat mengukur berapa
banyak cacat yang dimiliki dalam suatu proses, maka secara sistematis perusahaan
dapat mengatasi bagaimana menekan dan menempatkan perusahaan dekat dengan
zero-defect. Six Sigma telah mengubah DNA GE, dalam setiap tindakan pada
setiap produk GE. Dalam prespektif metodologi, Six Sigma merupakan
pendekatan menyeluruh untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses
melalui tahap DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control).
Dalam penelitian Banuelas et al. (2005) tentang aplikasi Six Sigma untuk
mengurangi cacat (defect) diperoleh hasil pengurangan cacat yang cukup
signifikan antara sebelum pengunaan metode Six Sigma dan sesudah pengunaan
metode Six Sigma yaitu pengurangan presentase cacat sebesar 9,37%.
3.5 Langkah-langkah implementasi six sigma
Vanany dan Emilasari (2007) mengaplikasikan metode Six Sigma untuk
melakukan perbaikan kualitas pada perusahaan manufaktur yang memproduksi
produk stationery dengan pendekatan DMAIC. Penentuan proyek Six Sigma pada
penelitian ini didasarkan atas proses dan jenis cacat pada setiap section.
Pendekatan FMEA yang dilakukan mampu memberi rekomendasi perbaikan
kualitas. Kesimpulan yang didapat dari penjelasan tersebut adalah implementasi
Six Sigma untuk meningkatkan kualitas penting dilakukan perusahaan agar
peningkatan daya saing produk semakin baik dalam era yang semakin kompetitif
dan dinamis. Implementasi tersebut perlu ditunjang oleh adanya metode dan tools
yang sistematis dan komprehensif agar pelaksanaan jalannya perbaikan berjalan
dengan baik dan memenuhi target yang hendak dicapai seperti DMAIC, seven
tools, big picture mapping dan FMEA.
Menurut Gasperz (2002) ada enam aspek yang perlu diperhatikan dalam
penerapan konsep Six Sigma dibidang manufactur:
1) identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai
kebutuhan dan ekspektasi pelanggan),
2) mengklasifikasikan karakteristik kualitas yang akan dianggap sebagai CTQ
(Critical to Quality),
3) menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian
material, mesin, proses-proses kerja, dan lain-lain.
4) menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang
dinginkan pelanggan (menentukan nilai Upper Specification Limit dan Lower
Specification Limit dari setiap CTQ),
5) menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai
maksimum standart deviasi untuk setiap CTQ),
6) mengubah desain produk dan atau proses sedemikian rupa agar mampu
mencapai nilai target Six Sigma yang berarti memiliki indeks kemampuan proses,
Cp minimum sama dengan dua (Cp ≥ 2) atau 3,4 DPMO.
Tahapan-tahapan yang sering digunakan dalam six sigma yaitu mengacu pada
Gasperz (2002) untuk menyelesaikan masalah dan peningkatan proses melalui
tahap DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control).

1. Tahap Define
Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Pada tahap ini akan dilakukan penentuan sasaran dan
tujuan perbaikan dan identifikasi cacat produk.
2. Tahap Measure
Measure merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap measure yaitu:
menentukan cacat yang paling vital yang merupakan karakteristik kualitas
kunci (CTQ) dengan menggunakan diagram pareto, mengukur kinerja saat ini
(current performance) pada tingkat proses untuk ditetapkan sebagai baseline
kinerja awal proyek Six Sigma.
3. Tahap Analyze
Fase mencari dan menemukan akar sebab dari suatu masalah. Dari data-data
yang telah dikumpulkan pada tahap define dan tahap measure. Maka perlu
dicari proses produksi beserta faktor faktor yang memengaruhi CTQ. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan diagram sebab akibat (cause and effect
diagram). Diagram sebab akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan
hubungan antara sebab-akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistik,
diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor
penyebab dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor
penyebab itu (Gazpers, 2003).
4. Tahap Improve
Pada tahap ini merupakan tahap meningkatkan proses dan menghilangkan
sebab-sebab cacat. Pada tahap improve ini digunakan PFMEA (Potential
Failure Mode Effect and Analysis). PFMEA adalah sistematika dari aktivitas
yang mengidentifikasi dan mengevaluasi tingkat kegagalan (failure) potensial
yang ada pada system, produk atau proses terutama pada bagian akar-akar
fungsi produk atau proses pada faktor-faktor yang memengaruhi produk atau
proses. Tujuan PFMEA adalah mengembangkan, meningkatkan, dan
mengendalikan nilai-nilai probabilitas dari failure yang terdeteksi dari sumber
(input) dan juga mereduksi efek-efek yang ditimbulkan oleh kejadian "failure"
tersebut (Hidayat, 2007).
5. Tahap Control
Pada tahap ini dilakukan perhitungan kapabilitas proses (Cp) dan level sigma
setelah dilakukan tahap improve. Tahap control ini digunakan untuk
mengendalikan pada level tersebut sampai dicapai kestabilan proses sebelum
dilakukan siklus DMAIC selanjutnya.

Rumus perhitungan DPMO

 Hitung Defect per Unit (DPU)

DPU =   (1)
 Hitung DPMO terlebih dahulu menentukan probabilitas jumlah kerusakan.

DPMO =   (2)
Tabel Hubungan sigma dan DPMO
Sigma Parts per Million
6 Sigma 3,4 defects per million
5 Sigma 233 defects per million
4 Sigma 6.210 defects per million
3 Sigma 66.807 defects per million
2 Sigma 308.537 defects per million
1 Sigma 690.000 defects per million
Sumber : Pande, Peter. 200

Contoh kasus implementasi DPMO six sigma :


Ditemukan 60 kesalahan untuk 6 karakteristik lritis pada 20 pesanan dalam
sampel acak sebanyak 400 pesanan, dengan asumsi ada 6 peluang per pesanan (6
karakteristik kristis), cacat per eluang atau DPO dihiung sebagai berikut;

Peluang = 400 pesanan * 6 peluang/persanan = 2400 peluang


Cacat per peluang (DPO) = 60 cacat : 2400 peluang = 0,025 DPO
DPMO = (0,025 DPO) * 106 peluang / juta peluang = 25.000 DPMO
BAB IV
DATA DAN ANALISA

4.1 Konsep Lean


Lean manufacturing (lean production) adalah seperangkat tools dan
metodologi yang bertujuan untuk mengeliminasi secara kontinyu semua waste
yang ada dalam proses produksi. Keuntungan utamanya adalah penurunan biaya
produksi, meningkatkan output dan memperpendek lead time. Lean adalah suatu
upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan
meningkatkan nilai tambah (value added) dari produk (barang dan atau jasa) agar
memberikan nilai lebih kepada pelanggan (customer value). Tujuan Lean adalah
meningkatkan terus-menerus customer s value melalui peningkatan terus-menerus
rasio antara nilai tambah terhadap waste (the value-to-waste ratio)
Lean (menurut APICS dictionary) sebagai suatu filosofi bisnis yang
berlandaskan pada minimisasi penggunaan sumber-sumber daya (termasuk waktu)
dalam berbagai aktivitas perusahaan. Lean berfokus pada identifikasi dan
eliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value adding activities) dalam
desain, produksi (untuk bidang manufaktur) atau operasional (untuk bidang jasa)
dan supply chain management yang berkaitan langsung dengan pelanggan.
Lean didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan sistematik untuk
mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas yang
tidak bernilai tambah (non-value addingactivities) melalui peningkatan terus
menerus secara radikal (radical continues improvement) dengan cara mengalirkan
produk (material, work inprocess, output) dan informasi, menggunakan sistem
tarik (pull system) dari custommer internal maupun eksternal untuk mengejar
keunggulan dan kesempurnaan. Jika Lean ini berhasil diterapkan pada
keseluruhan perusahaan maka perusahaan tersebut bisa dikatagorikan sebagai
Lean Enterprise, bila diterapkan pada manufacturing maka bisa disebut sebagai
Lean Manufacturing.
4.2 Perbandingan Lean, Craft dan Mass Production

Craft Mass Lean Tenaga Kerja Skill tinggi dalam desain, operasi serta fitting
Pembagian tenaga kerja, kewajiban perbaikan industri adalah engineer serta
foreman Tim yang fleksibel dalam proses. Tanggung Jawab perbaikan dalam
semua organisasi Organisasi Ekstrem Desentralisasi. Dikoordinasi oleh owner
Integrasi vertical. Organisasi terpusat- desain, engineering dan produksi dalam
satu tempat Jaringan supplier dengan desain serta engineering capability.
Perbaikan sepanjang supply chain Tools General-pupose machine tools Dedicated
machines General purpose Produk Volume produksi rendah. Tidak ada yang
sama Volume produksi tinggi. Siklus hidup produk panjang, Siklus hidup yang
tidak pernah turun
Tujuan Lean Manufacturing
1. Mengurangi defect dan waste.
2. Mengurangi lead time (Cycle Times)
3. Meminimasi level inventori
4. Meningkatkan produktivitas tenaga kerja
5. Efisiensi penggunaan peralatan dan space manufacturing
6. Meningkatkan Flexibility.
7. Meningkatkan Output.
Administrative Lean
Administative lean : aplikasi konsep lean manufacturing dan tools untuk
meningkatkan proses administrasi.
Konsep ini sesuai untuk proses administrasi yang berulang (repetitive) dan
transaksi dengan volume tinggi., misalnya entry order, pembelian, akuntansi atau
proses administrasi lainnya.
Metodologi dan Tools Lean
1. Standart Work
2. Communication of Standard work to employee
3. Standard work and flexibility
4. Visual Management
5. Quality and the source
6. Value Stram Mapping
7. The Five’S :Sort, Straigthten (Set in order), Scrub (Shine), Stabilize
(Standardize) and Sustain
8. Preventive maintenance
9. Total producive maintenance
10. Changeover/set up time
11. Batch size reduction
12. Production lay out and point of use storage
13. Kanban
14. Production leveling
15. Pacemaker
16. Overal equipment effectiveness
Pendekatan Lean berfokus pada peningkatan terus menerus customer value
melalui identifikasi dan eliminasi aktivitas yang tidak bernilai tambah dan
merupakan pemborosan (waste).
Waste (pemborosan) dapat didefinisikan sebagai segala aktivitas kerja yang tidak
memberikan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output
sepanjang value stream.
Waste yang hendak dihilangkan tersebut pada perspektif Lean, terbagi menjadi
dua katagori utama, yaitu Type One Waste dan Type Two Waste.
1. Type One Waste
Adalah aktivitas kerja yang tidak menciptakan nilai tambah dalam proses
transformasi input menjadi output sepanjang value stream, namun aktivitas
tersebut saat ini tidak dapat dihilangkan karena beberapa alasan. Misalnya,
pengawasan terhadap aktivitas orang, merupakan aktivitas yang tidak bernilai
tambah berdasarkan perspektif Lean, namun hal tersebut masih dibutuhkan karena
orang tersebut baru direkrut untuk mengerjakan hal tersebut. Jangka panjang,
aktivitas Type One Waste tersebut harus dihilangkan atau minimal dikurangi.
Type One Waste sering disebut Incidental Activity atau Incidental Work yang
termasuk aktivitas yang tidak bernilai tambah (non value adding work or acivity).
2. Type Two Waste,
Merupakan aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan dapat
dihilangkan dengan segera. Misalnya, menghasilkan cacat produk (defect) atau
melakukan kesalahan (error). Type Two Waste ini sering disebut sebagai waste
saja, karena merupakan pemborosan dan harus diidentifikasikan dan dihilangkan
dengan segera. Type Two Waste terbagi menjadi tujuh bagian plus satu (Seven
plus One Type of Waste), antara lain:
Waste 1 : Over Production
Diartikan sebagai produksi berlebihan yang tidak sesuai dengan up stream process
atau custommer.
Waste 2: Transportation
Memindahkan material atau orang dalam jarak yang sangat jauh dari satu proses
ke proses berikutnya, yang menyebabkan waktu penanganan material bertambah.
Waste 3: Unecessary Inventories
Pada dasarnya inventories menyembunyikan masalah dan menimbulkan aktivitas
penanganan tambahan yang seharusnya tidak diperlukan. Inventories juga
mengakibatkan extra paperwork, extra space dan extra cost.
Waste 4: Inappropriate Processes
Mencakup proses – proses tambahan atau aktivitas kerja yang tidak perlu atau
tidak efesien.
Waste 5: Dellays / Waitting Time
Keterlambatan dari orang – orang yang sedang menunggu (idle waitting) mesin,
peralatan, bahan baku, supplies, perawatan/pemeliharaan, dll.
Waste 6: Excess Motion
Setiap pergerakan dari orang atau mesin yang tidak menambah nilai kepada
barang dan jasa yang akan diberikan kepada pelanggan, tetapi hanya menambah
biaya dan waktu.
Waste 7: Defects
Mengacu pada defective products and informations. Devective product
disebabkan oleh perpindahan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan
disertai defective information, awalnya menyebabkan rework dan inventory,
selanjutnya akan menyebabkan tambahan dan varian waste yang lebih beragam,
seperti:
Waste 7+1 : Underutilization of Employees Mind and Ideas
Terkadang, suatu organisasi jarang me-utilize secara maksimal pikiran dan ide
dari karyawannya untuk terlibat dalam manufacturing processes, information
processing dan product design. Seharusnya pemanfaatan know-how karyawan
dalam melaksanakan proses kerja perlu di akomodir, karena karyawanlah yang
berhadapan langsung dengan proses dari suatu pekerjaan yang dilakukan
Lean six sigma dapat digambarkan sebagai berikut :
Faktor Kunci 1 : Delight your customer with speed & quality
Six Sigma starts with customers → Goal : eliminasi segala cacat
Cacat: segala hal yang tidak memenuhi kebutuhan konsumen.
Contoh: - Janji : deliveri dalam 2 hari.
- Realisasi : deliveri dalam 2,5 hari Konsumen: Eksternal : pengguna akhir
Internal : personel perusahaan yang menggunakan output proses dalam
perusahaan.
Hubungan quality – speed – low cost : Proses dengan banyak kesalahan tidak
dapat memenuhi tuntutan kecepatan. Proses yang lambat berkemungkinan
menghasilkan cacat tinggi (acuan: kecepatan proses secara keseluruhan). Loq
quality & slow speed → high cost.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Penerapan dari konsep lean six sigma ini dapat membantu perusahaan untuk
menghasilkan output yang optimal dengan memperhatikan keseimbangan antara
produktivitas dan kualitas. Sehingga dapat mencegah dan mengurangi
kemungkinan kerugian yang dialami oleh pabrik karena cacat produk baik secara
internal maupun eksternal, pemborosan waktu dan biaya saat produksi. Disiplin
ilmu ini juga akan memfokuskan perusahaan terhadap kebutuhan dan kepuasan
pelanggan sehingga dapat meningkatkan daya jual produk mereka dipasar.

Saran dari penerapan lean six sigma ini akan lebih baik jika, digabungkan dengan
metode QFD (quality function deployment) yang lebih terperinci dengan tabel
HOQ (house of quality)nya yang menentukan tingkat kepentingan akan kebutuhan
utama pelanggan terhadap produk yang dihasilkan. Sekaligus dapat memeriksa
tinggi atau rendahnya daya guna produk yang dihasilkan sebelum dipasarkan,
serta membandingkan dengan produk kompetitor lainnya.
Daftar Pustaka

Irawati, D. E. (2012). Pengaruh struktur modal, perumbuhan laba, ukuran


perusahaan dan likuiditas terhadap kualitas laba. Acccounting Analysis Journal,
1(2)

Utami, C. W. (2004). Pemimgkatan nilai perusahaan melalui perbaikan


produktivitas dan kualitas pada sektor jasa sebuah analisis konseptual. Jurnal
Manajemen san Kewirausahaan, 4(1), 56-64.

Gasperz, V. (2002). ISO 9001 dan Continual Quality Improvement.

Manggala, D. (2005). Six Sigma Secara Sederhana.

Christina Whidya Utami Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Peningkatan Nilai


Perusahaan Melalui Perbaikan Produktivitas dan Kualitas Pada Sektor Jasa
Sebuah Analisis Konseptual Vol. 4, No.1, 56 – 64 2002.

Ariani, D. W. (2014). Manajemen Kualitas. Hal 44.

Kusuma, D. S. (2012). Minimasi Defect Produk Dengan Konsep Six Sigma Jurnal
Teknik Industri 13, 43-50 Februari 2012

https://id.wikipedia.org/wiki/SixSigma

https://ilmumanajemenindustri.com/pengertian-hubungan-kualitas-dan-
produktivitas-produksi/

Anda mungkin juga menyukai