Anda di halaman 1dari 2

Nama : Novianza Suci Wulandari

NIM : E1A021009
Kelas : A

Jaminan pernyataan kebebasan pers di dunia diatur dalam article 19 UDHR, article 19 ICCPR.
Kebebasan pers di Indonesia Pra Reformasi yaitu dikendalkan ketat melalui departemen penerangan
dengan syarat adanya surat izin usaha peneribatan untuk mengontol media, pers pada masa ini juga
terdapat pembredelan pers seperti panji masyarakat, Indonesia Raya, TEMPO, Editor dan detik.
Kebebasan pers di Indonesia setelah reformasi terdapat dalam pasal 28F UUD 1945, UU 40 tahun 1999
yang mengatur mengenai kebebasan dari sensor bradel pelanggaran penyiaran, kebebasan memilih
organisasi wartawan dan perlindungan hukum terhadap wartawan, dan UU kebebasan informasi publik.
Dalam paragraph 15 general comment article 19 ICCPR mencantumkan kewajiban negara untuk
mengambil langkah-langkah yang sesuai guna menjamin kemerdekaan pers terkait kesedaran dan
perkembangan baru di media. Maka dari itu, Indonesia sebagai negara peserta harus melakukan langkah
yang di perlukan yaitu dengan memprokteksi hukumnya.

Banyaknya isu di media sosial yang memicu polarisasi di masyarakat yang merasakan pers tidak
bisa menengahi semua pihak sehingga membuat terpecah belahnya masyarakat dengan membaca
media tersebut. Akan tetapi Tetapi masih banyak pers yang baik yang menyebarkan informasi dengan
akurat. Jumlah media di Indonesia tahun 2019 lebih dari 47.000 dan di dominasi oleh media
daring/online dan kemungkinan luring akan terus berkurang karena mulai di tinggalkan baik oleh
pendengar maupun pembaca. Pada asosiasi media siber dalam tahun 2021 adanya peningkatan
verivikasi artinya mereka berupaya untuk tampil sebagai media yang kredibel yang bisa di pertanggung
jawabkan dalam sisi ekonomi, struktur redaksi, struktur perusahaan dan karya-karya jurnalistiknya.
Artinya jika sudah di veririfkasi saat terjadinya sengketa pers maka penyelesaian tehadap laporan karya
jurnalistik yang di nilai merugikan akan selalu diadukan ke dewan pers. Ketika dewan pers tidak
memutuskan karya karya jurnalistik maka berlaku hukum pidana, dalam hal ini lah terdapat persilangan
antara UU pers yang harusnya melindungi media dengan UU ITE yang berbeda. Contohnya dalam UU
pers pihak yang bertanggung jawab yaitu pemimpin redaksi sedangkan dalam UU ITE berbeda denga ada
kata “setiap orang” maka yang bertanggung jawab bukan pimpinan redaksi tetapi jurnalistiknya atau
editornya. Dengan adanya berubahan tersebut maka ada satu acuan yaitu komentar umum NO. 34
Komisi HAM PBB yang berisi pernyataan bahwa hak-hak yang diakui di ranah luring berlaku juga di ranah
daring, demikian juga dengan pembatasannya yaitu hak akses internet, hak untuk berekspresi dan hak
untuk merasa aman.

Represi teknologikal merupakan bagaimana perangkat digital ini menjadi senjata seperti
informasi sebagai senjata yang meliputi sensor online, online trolling, disinformasi, manipulasi opini,
propaganda komputasional, dan amuk sibet, lalu hukum sebagai senjata yang meliputi aturan hukum,
dan ketertiban hukum, dan teknologi sebagai senjata yang meliputi serangan ringan , serangan keras,
peringetan siber dan serangan infrastruktur.

Pemidanaan dengan UU ITE sudah cukup akut yang perlu lebih kuatkan dengan cara merevisi UU
ITE atau dalam KUHP baru mengenai illegal conten bisa di hapuskan. Jurnalis yang seharusnya di lindungi
oleh UU pers dapat dikenakan UU ITE karena tidak bekerja pasa intitusi pers yang dilindungi dan diakui
oleh UU pers selain itu perusahaan pers merupakan badan hukum Indonesia seperti media cetak dan
lain lain dan presma sendiri tidak termasuk kepana sintitusi yang diakui oleh UU pers sehingga bisa
dikenakan UU ITE.

Anda mungkin juga menyukai