Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan utama program

perbaikan gizi, yang menitikberatkan pada upaya pencegahan dan peningkatan

gizi anak. Disebutkan bahwa sekurangnya 80% balita disetiap kabupaten/kota di

timbang setiap bulan dan berat badannya naik sebagai indikasi bahwa balita tersebut

tumbuh sehat. Soekirman (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya

kasus kurang gizi pada masyarakat karena tidak berfungsinya lembaga– lembaga

sosial dalam masyarakat seperti Posyandu. Penurunan aktivitas Posyandu tersebut

berakibat pemantauan gizi pada anak dan ibu hamil terabaikan. Salah satu metode

penilaian status gizi secara langsung yang paling popular dan dapat diterapkan untuk

populasi dengan jumlah sampel besar adalah antropometri. Pengukuran antropometri

di Posyandu biasanya dilakukan oleh kader. Hasil penelitian Satoto dkk (2002),

menunjukkan tingkat kemampuan, ketelitian dan akurasi data yang dikumpulkan

kader masih rendah, 90,3% kader tidak benar dalam melakukan penimbangan.

Kesalahan penimbangan terutama dalam mengatur posisi bandul timbangan. Hasil

penelitian tersebut juga menggambarkan terdapat 88,9% dari kader yang dipilih

sebagai sampel tidak mengetahui cara menimbang yang benar. Akibatnya informasi

status gizi anak balita menjadi tidak akurat artinya seharusnya status gizi baik bisa

menjadi gizi kurang, dan atau gizi buruk dan sebaliknya.

Tujuan kegiatan ini yaitu untuk mengetahui penerapan pengukuran

antopometri oleh kader di posyandu. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini

yakni penyegaran (refreshing) kader dan pendampingan (bimbingan untuk kader).

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanakan di 5 posyandu (posyandu


Lancang Kuning, Dang Merdu, Sri Mersing, Toyyibah dan Ibu Sejati) wilayah kerja

puskesmas Sidomulyo, Kota Pekanbaru. Berdasarkan hasil kegiatan yang telah

dilaksanakan terjadi peningkatan Pengetahuan dan wawasan kader tentang

pengukuran antropometri pada bayi dan balita mengalami peningkatan setelah

dilaksanakan penyegaran dengan rata-rata nilai akhir yaitu pre-test 85,41 dan post-

test 96,66. Kemampuan dan keterampilan kader dalam pengukuran antropometri di

posyandu mengalami peningkatan. Skor hasil evaluasi pengukuran berat badan

(100%), tinggi badan (100%), panjang badan (100%) dan lingkar lengan atas

(100%). Perlu dilakukan lagi kegiatan yang sama di posyandu- posyandu lainnya.

Serta pihak puskesmas diharapkan untuk selalu memantau kerja kader posyandu

dengan mendampingi dan memberi edukasi tentang pengukuran antropometri yang

benar.

Kemudian pada tahun 2009 diperoleh data 68% kader tidak melakukan

penimbangan sesuai dengan prosedur pengukuran antopometri pada bayi dan

balita, sehingga hasil pengukuran antropometri yang diperoleh kurang akurat.

Hal ini dapat menggambarkan keterampilan kader posyandu di daerah tersebut

dalam pengukuran antropometri masih rendah karena standar pengukuran

antropometri yang seharusnya dilakukan kader yakni mencapai 80%. Peningkatan

jumlah kader yang melakukan kesalahan dari tahun 2008 sampai tahun 2009 juga

menjadi salah satu keadaan yang harus di perhatikan (Hida, 2011).

Permasalahan stunting pada usia dini terutama pada periode 1000 HPK, akan

berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam jangka pendek

stunting dapat menyebabkan terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,

gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme (Jakub, 2017).

Sedangkan untuk jangka panjang, stunting dapat menyebabkan menurunnya


kemampuan kognitif dan prestasi belajar. Selain itu juga, menyebabkan

penurunan kekebalan tubuh sehingga mudah sakit. Oleh karena itu, terjadi risiko

timbulnya penyakit seperti diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh

darah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua (Jakub, 2017).

Sementara itu prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Sudi berdasarkan

hasil BPB dengan indikator TB/U tahun 2022 adalah sebagai berikut: Desa

Tanggulun ( 21,3% ), Talun ( 5,67% ), Sudi ( 19,55 ), Mekarwangi ( 8,25% ) dan

Laksana ( 5,51% ). Hal tersebut diperkuat dengan adanya Perbup Kabupaten

Bandung nomer 74 tahun 2019 tentang penetapan 50 Desa Prioritas Percepatan,

Pencegahan dan penanggulangan stunting, yang termasuk di dalamnya Desa

Tanggulun dan Desa Sudi yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Sudi.

Maka dari itu diperlukan merefresh Keterampilan kader kesehatan salah satu

diantaranya meliputi kemampuan melakukan tahapan-tahapan penimbangan,

kader kesehatan biasanya melakukan kegiatan penimbangan di posyandu belum

sesuai dengan prosedur-prosedur pengukuran antropometri, sehingga hasil yang

diperoleh dari penimbangan dan pengukuran kurang tepat akurat.

Selama ini telah dilakukan berbagai pelatihan kader seperti kegiatan

refreshing kader dipuskesmas tetapi hasilnya tidak begitu memuaskan. Alternatif

lain dari metode serta media yang rutin sekarang ini perlu dicari. Pelatihan kader

dengan menggunakan media audio visual ini dikembangkan sebagai inovasi serta

jawaban terhadap kebutuhan untuk memberikan pelatihan secara sistematis

kepada para kader posyandu dengan berfokus pada peningkatan pengetahuan dan

keterampilan.
1.2. Rumusan Masalah

Sebanyak 46,7% memiliki tingkat pengetahuan yang rendah dan

sebanyak 53,3% memiiki keterampilan yang rendah dan tidak melakukan

penimbangan dan pengukuran dengan baik sesuai dengan prosedur. Sehingga

angka status gizi ataupun angka stunting diwilayah kerja puskesmas sudi

masih ada yang menjadi lokus stunting. Oleh sebab itu, peneliti menganggap

penting untuk meneliti efek pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan dan

keterampilan dalam kegiatan penimbangan balita pada kader posyandu di

desa Sudi tahun 2023

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimana gambaran pengetahuan dan keterampilan kader terhadap

kegiatan pemantauan status gizi balita di Posyandu Wilayah Kerja

Puskesmas Sudi tahun 2023 sebelum dan sesudah diberikan pelatihan?

2. Bagaimana efek pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan

kader dalam kegiatan penimbangan balita di desa sudi tahun 2023?

3. Bagaimana pengaruh variabel perancu terhadap pengetahuan dan keterampilan

kader setelah diberikan pelatihan?

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan

atau referensi ilmiah bagi Puskesmas, khususnya di bidang KIA

mengenai efek pelatihan kader guna meminimalisir terjadinya ketidak


akuratan data serta kesalahan pada proses penimbangan dan pengukuran

balita

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, pelatihan yang dilakukan pada kader diharapkan mampu

meningkatkan pengetahuan serta keterampilan khususnya pada

pemantauan status gizi dan stunting. Penelitian ini diharapkan pula dapat

menjadi masukan dan memberi gambaran terhadap metode – metode

promosi kesehatan yang bisa diterapkan di posyandu untuk mengatasi

keterhambatan pada proses berjalannya program gizi dan meminimalisir

kesalahan pengukuran TB sehingga angka kasus stunting di desa sudi

menurun. Kesehatan Kabupaten setempat dalam hal metode untuk kegiatan

pelatihan kader posyandu dalam pengelolaan pelayanan Posyandu.

- Sebagai bagian dari tugas peneliti dalam kegiatan di bidang pendidikan

serta pengabdian kepada masyarakat dan dapat menjadi informasi dan

masukan bagi penelitian lain yang ingin melakukan penelitian tentang Efek

pelatihan kader posyandu terhadap peningkatan pengetahuan serta

keterampilan dalam kegiatan pemantauan status gizi dan penurunan angka

stunting di desa sudi wilayah kerja puskesmas sudi.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang hasil pelatihan terhadap

peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader dalam kegiatan

penimbangan balita yang dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi S1

Kebidanan Alih jenjang Institut Kesehatan Rajawali. Adapun desain


penelitian yang digunakan yaitu Eksperimental

Sungguhan (True Eksperimental), yakni dengan memberikan

perlakuan atau intervensi kepada responden (kader posyandu) dengan

kelompok pembanding dan menggunakan analisis data berupa Uji t

dependen, yang hasilnya akan diukur melalui hasil pre-test dan post-

test. Perlakuan yang diterapkan kepada responden yakni berupa

penyuluhan serta penggunaan media audio-visual berupa video tentang

tata cara menimbang dan mengukur tinggi/panjang badan balita,

sedangkan pada kelompok pembanding diberikan perlakuan berupa

pelatihan dengan media visual saja. Penelitian ini dimulai sejak Maret

sampai selesai di Wilayah Kerja Puskesmas Sudi tepatnya desa sudi

dengan lokus stunting dan presentase gizi kurang yang masih banyak.
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor
gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Namun hal ini juga, terkait
dengan terbatasnya layanan kesehatan yang berkualitas dalam upaya mendeteksi kejadian
stunting pada balita (TNPPK, 2017). Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu
merupakan salah satu upaya pemantauan yang bertujuan untuk mendeteksi stunting pada
balita. Proses screening rutin tinggi badan, berat badan, dan pemberian informasi
mengenai stunting pada balita sudah selayaknya menjadi agenda wajib dalam setiap
kegiatan yang dilaksanakan balita diposyandu (Maryani,S 2015).

Namun pada kenyataannya, pengukuran tinggi badan dan berat badan hanya menjadi
rutinitas dalam setiap kunjungan, tanpa mengetahui apa manfaat dan tujuan dalam
kegiatantersebut sehingga upaya deteksi dini stunting dan pemberian layanan pun masih
kurang maksimal. Variabilitas pengukuran guna mendeteksi dini panjang dan tinggi
badan pada balita dapat dihasilkan dari berbagai pengaruh, termasuk pengaturan di mana
pengukuran dilakukan, perilaku dan kerja sama anak. Selain itu juga, dipengaruhi oleh
keakuratan dan ketepatan instrument serta kemampuan teknis antropometris. Dengan
demikian, dibutuhkan bekal pelatihan yang tepat dan kepatuhan terhadap metode dan
prosedur standar. Peran kader di komunitas sangat penting, karena bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan guna mengurangi kesalahan pengukuran dan meminimalkan
bias, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mercedes de Onis, dkk (Mercedes de
onis, 2016).

Hal tersebut, sejalan dengan penelitian Nurainun, Ardiani dan Sudaryati (2015)
menyatakan bahwa masih rendahnya pengetahuan kader mengenai stunting, dimana
semakin baik pengetahuan kader maka cenderung semakin terampil kader tersebut dalam
pengukuran BB dan TB (Nurainun, A 2016). Begitu juga sebaliknya semakin kurang
pengetahuan kader maka semakin tidak terampil dalam melakukan pengukuran BB dan
TB (Zainiah N, 2014). Hal ini juga, sejalan dengan penelitian oleh Harisman Zainiah
(2014) menyebutkan bahwa kurangnya pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang memadai bagi kader menyebabkan kurangnya
pemahaman terhadap tugas kader (Zainiah, N 2014).

Oleh karena itu, perlunya suatu wadah pemberian informasi atau pelatihan untuk
meminimalisir kejadian stunting dengan memberikan pembekalan edukasi terkait
stunting. Hal tersebut, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kader yang dapat
mendukung upaya pemantauan kesehatan dan pengendalian kejadian stunting pada anak
balita di posyandu (Arya,K 2018)

Dalam pelatihan, diperlukan pemilihan metode pembelajaran yang dapat mengubah


persepsi terhadap pembelajaran sehingga dapat menyampaikan pesan bisa lebih jelas dan
mudah dipahami dan dapat membangkitkan motivasi dan minat belajar (Hujair,AH 2011)
Menurut Nies dan McEwen yang dikutip dalam penelitian Oktorina R tahun 2019
pemberian edukasi akan lebih optimal jika menggunakan media atau alat bantu
pembelajaran (Oktorina,R, 2019). Modul merupakan media visual yang optimal sebagai
penuntun proses pembelajaran. Menurut penelitian Nia dkk pada tahun 2019
pembelajaran dengan modul bergambar, meningkatan pengetahuan 59,9% (Nia Budhi,
Eka P, 2019). Selain itu, salah satu media pembelajaran lain yang dapat digunakan yaitu
mediaaudiovisual. Media audiovisual mempunyai kemampuan yang lebih, karena media
ini mencakup indera pendengaran dan indera penglihatan. Kelebihan media audio visual
dalam bentuk video, yaitu menyajikan obyek belajar secara konkret atau pesan
pembelajaran secara realistic sehingga sangat baik untuk menambah pengalaman belajar
(Hujair,AH 2011). Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Edgar Dale,
aktivitas pembelajaran yang dapat dilihat berupa gambar akan diingat sebanyak 30% dan
yang dilihat dan didengar akan diingat sebesar 50% (Ermawan, 2010) (Maruf, 2018).

Anda mungkin juga menyukai