Anda di halaman 1dari 22

(Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan)

Disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Kaidah Hukum Islam
(Fiqh Legal Maxim)

Dosen Pengampu:
Dr. Maimun, M.A

Oleh :
Frenky Sanjaya
2274134005

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
RADEN INTAN LAMPUNG
2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah swt.


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kaidah Hukum
Islam (Fiqh Legal Maxim) dengan judul: Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha.
Dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
yang dengan tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis
miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
Pendidikan.

Bandar Lampung, 24 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha................................................3
B. Dasar Hukum Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha...........................................4
C. Pendapat Para Fuqoha Tentang Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha...............6
D. Penerapan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha pada Kasus Hukum Ekonomi
Syari’ah Kontemporer..................................................................................7
E. Kaidah-Kaidah Cabang................................................................................8
F. Analisis Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha....................................................9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Niat merupakan hal yang penting dalam kajian Islam, tidak hanya
diimplementasikan pada ibadah (wajib maupun sunnah), niat juga
dimplementasikan dalam kegiatan muamalah. Karena niat, seseorang bisa
dinilai mengerjakan kebajikan atau kejahatan. Dengan niat sesorang juga
dapat diganjar pahala atau dosa. Seseorang bisa dianggap berdosa meskipun
melakukan kegiatan yang secara tampak merupakan ibadah.
Dalam kajian Fikih ada kaidah al-Umuru Bimaqasidiha, yang
merupakan kaidah yang berkenaan dengan niat. Kaidah al-Umuru
Bimaqasidiha adalah salah satu dari kaidah yang digunakan oleh para
Fukaha’ dalam Qawaidul Fiqhiyah. Lebih lanjut dikemukakan oleh Hammam
bahwa Qawaidul Fiqhiyah memiliki pernan strategis dalam membantu
merumuskan hukum dari permasalahan yang tidak dijelaskan secara spesifik
baik di dalam al-Quran dan Hadis.
Masyarakat dapat mengetahui hal-hal yang dapat dilakukan karena
diperbolehkan secara hukum Islam, dan hal-hal yang harus dihindari karena
bertentangan dengan hukum Islam. Di sinilah peran Kaidah Fiqhiyah yang
sangat membantu dalam proses penganalisaan dan penetapan hukum.
Tulisan ini membahas tentang implementasi al-Umuru Bimaqasidiha
dalam bidang muamalah khusunya. Karena pentingnya aspek niat dalam
ibadah, termasuk pula aktivitas lain yang diniatkan untuk ibadah.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah al-Umuru Bimaqasidiha?
2. Apa dasar hukum dari kaidah al-Umuru Bimaqasidiha?
3. Bagaimana pendapat para fuqoha tentang al-Umuru Bimaqasidiha?

1
4. Bagaimana Penerapan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha pada Hukum
Ekonomi Syari’ah?
5. Apa saja kaidah cabang dari kaidah al-Umuru Bimaqasidiha?
6. Bagaimana hasil analisis dari penjelasan tentang kaidah al-Umuru
Bimaqasidiha?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penilisan ini adalah
untuk mengetahui tentang:
1. Pengertian kaidah al-Umuru Bimaqasidiha.
2. Dasar hukum kaidah al-Umuru Bimaqasidiha.
3. Pendapat para fuqoha tentang al-Umuru Bimaqasidiha.
4. Penerapan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha pada Hukum Ekonomi Syari’ah.
5. Kaidah cabang dari kaidah al-Umuru Bimaqasidiha, dan
6. Memahami hasil analisis dari penjelasan tentang kaidah al-Umuru
Bimaqasidiha.

2
BAB II
PEMBAHASAN

.Kaidah Pengertian A ‫األمور بمقاصدها‬


Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi
konsekuensi atas setiap perkara haruslah selalu sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dari perkara tersebut1. Bila yang menjadi tujuan atau maksud
dari suatu perkara adalah hal yang haram meskipun tampaknya baik maka
hukum perkara tersebut haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau
maksud dari suatu perkara adalah baik meskipun kelihatan biasa-biasa saja
maka hukum perkara tersebut adalah halal.
Lafal al-umuru merupakan bentuk jama’ dari kata tunggal al-amru
yang secara bahasa memiliki arti "perbuatan" dan "tingkah", seperti ucapan:
“umuru fulan mustaqimah” yang artinya "beberapa tingkah laku fulan lurus."
Namun, yang dimaksud di sini bukan al-amru, yang dikehendaki di sini
adalah dalam pengertian "perbuatan", yang bentuk jama’nya adalah al-
umuru. Karena yang dimaksud "perbuatan" adalah gerakan anggota tubuh,
maka "perkataan" bisa masuk dalam kategori perbuatan, karena perkataan
juga merupakan gerakan anggota tubuh, yaitu gerak lisan.
Dalam bahasan kaidah al-umuru bi maqashidiha adalah setiap tujuan
(niat) yang terimplementasi dalam tindakan atau perbuatan yang nyata
(zhahir). Berdasarkan kaidah ini, niat yang tidak direalisasikan dengan
perbuatan nyata, maka tidak akan berimplikasi pada wujudnya hukum syar`i.2
Apabila seseorang di dalam hati atau di dalam batin mencerai isterinya, atau
secara batin telah menjual hewan piaraannya, dan apa yang ada dalam hati itu
tidak sampai diucapkannya, maka perbuatan batin tersebut tidak berakibat
pada hukum syar`i, karena hukum syar`i hanya bersinggungan dengan sesuatu
yang tampak nyata (nahnu nahkumu bi al-zhawahir). Demikian pula,
seseorang

1
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-
`Ilmiyyah, t. Th.), h. 17. Lihat pula Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), Cet II, h. 47
2
Ali Haidar, Durar al-Hukkam, h. 17

3
yang membeli harta untuk tujuan wakaf, dan setelah membelinya ia tidak
mengucapkan tujuan atau maksudnya, maka harta tersebut tidak menjadi
harta wakaf.3
Mengenai perbuatan atau perkataan yang tidak dibarengi niat, maka
perlu dirinci terlebih dahulu apakah perbuatan dan perkataannya termasuk
lafal yang sharih atau yang tidak sharih. Jika termasuk lafal sharih, maka
untuk menentukan hukumnya tidak harus tergantung pada niat, sebab dengan
hasil perbuatannya saja sudah cukup untuk menentukan dampak hukumnya,
karena perbuatan yang sharih (jelas) itu serupa dengan niat. Maka untuk
menentukan hukum di sini tidak dibutuhkan niat. Misalnya, apabila seseorang
berkata kepada yang lain "saya jual harta saya ini, atau saya wasiatkan harta
saya ini", maka jual beli dan wasiat semacam itu dianggap sah, meskipun
dalam hati tidak ada niat sama sekali. Demikian pula pada masalah wakalah,
penitipan, pinjaman, menuduh zina, mencuri dan lain-lain, semua itu
merupakan perbuatan yang tidak harus memerlukan niat. Dengan
melakukannya saja (tanpa diniati), sudah cukup untuk menentukan hukum.4

.Kaidah Hukum Dasar B ‫األمور بمقاصدها‬


Dasar yang digunakan sebagai pijakan pada kaidah ini adalah sabda
Rasulullah saw:
‫ْ أ‬ ‫أأ‬ ْ ‫أن‬ َّ
‫¸ك ا م ¸رئ ما ن وى ف من َكن ت ه¸ج رت ه إ¸ ل دن يا ي صي أب‬ ¸‫ن ما ل‬
‫أ‬ ْ
‫ها أ ْو إ¸ ل ا ْم رأ „ة إ¸ َّن ما ا ل ع ما ل ب¸ الن¸ َّيات ِوَإ‬

‫أأ‬
‫ها هج رت ه إ¸ ل ما هاج ر‬
ْ
‫¸ ينكح‬5‫إ¸ َلْه‬

”Sahnya beberapa amal perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap
orang hanya mendapatkan apa yang diniatinya. Orang yang perginya diniati
hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti mendapatkan pahala pergi
karena Allah dan Rasul-Nya, orang yang perginya diniati karena harta
benda (dunia) yang hendak dicapai, maka ia akan mendapatkannya, atau
diniati karena wanita,

4
3
Ali Haidar, Durar al-Hukkam, h. 17
4
Ali Haidar, Durar al-Hukkam, h. 18
5
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Qalam, t. th.), Juz I, h. 21

5
iapun akan menikahinya, maka perginya sesuai dengan tujuan pergi.” (HR.
Bukhari)

Hadits di atas diriwayatkan oleh lima imam yang terkenal lainnya,


bahkan imam al-Bukhari menyebutkan hadis ini berkali-kali di dalam
kitabnya. Ia memasukkan pembahasan ini dalam masalah iman, wudhu,
shalat, zakat, haji, puasa dan hukum Islam yang lain. Sebagian ulama
mengatakan, sebaiknya hadis ini ditempatkan pada pembuka setiap bab.6
Mengacu kepada fenomena kaidah yang diilhami oleh hadis di atas,
Ibn Rajab mengatakan, ”Kaidah ini merupakan ungkapan universal dan
mengakomodir seluruh persoalan, tidak ada sesuatupun yang tidak
terakomodir dalam kaidah ini.”7 Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadis ini
telah disepakati kesahihannya dan ditakhrij oleh imam-imam terkenal kecuali
Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’.8 Hadis ini juga ditakhrij oleh Ibn al-
Asy`ats dalam kitab Sunannya, dari hadis Ali bin Abi Thalib dan al-Daraqutni
dalam kitab Ghara’ib, kemudian Abu Nu`aim dalam kitab Hilyah dari hadis
Abu Said al-Hudri, dan Ibnu `Asyakir dalam kitab `Amali dari hadits Anas.
Semuanya dalam bentuk redaksi yang sama.9
Kaidah ‫ بمقاصدها األمور‬dikaitkan dengan hadis-hadis tadi bertujuan untuk
menjelaskan bahwa semua tindakan dan amal perbuatan manusia itu satu
sama lainnya berbeda-beda hukumnya, disebabkan perbedaan maksud dari
masing- masing orang dalam melakukan tindakan dan perbuatannya.10 Dalam
al-Qur’an dan hadis-hadis lainnya juga terdapat keterangan-keterangan yang
mendukung dan memperkuat bagi pentingnya kaidah ini, misalnya pada surat
an-Nisa ayat 100:

6
Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, (Mesir:
Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1959), Juz I, h. 12
7
Syihabuddin Ahmad ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam, (Beirut: Dar al-Ma`rifah,
t. th), h. 11
8
Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-`Asqalaniy, Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah. t. th), h. 12
9
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Mekkah Mukarramah:
DKI Beirut, 1997), h. 20.
h. 33
10
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990), h. 247

6
‫ج ًرا إ¸ ل‬
ٗ
‫بي م‬ ‫ع و أرج‬ ‫ك ر‬ ‫م ر‬ ‫ر سب¸يل ّ ¸ ٱ ل‬ ‫و من ي‬
‫ٗ من َي ت¸ه¸ ها‬ ‫ض م ث اي‬ ‫ٱ ل ي ۡر ف‬ ‫ف‬ ‫ها‬
‫ة‬ ¸ ‫ل د‬ ‫ج‬
‫م ‹ن‬ ¸
‫و‬ ‫ا‬
‫غ‬
‫س‬
ٗ
٠٠١ ‫رحي ما‬ ‫ّ َ كن ّأ‬ ‫قع أ ج‬ ‫ق‬ ‫أ‬ ‫أ‬
‫غ‬ ‫ّٱلل¸ سو در¸ ك ه ٱل‬
‫أ‬ ‫لل ٱ و ل‬
‫ٱ‬ ‫و أر‬
‫فو‬ ‫¸ل¸ و م وت ث َّم يأ د‬
‫¸ه‬ ‫أه‬ ‫ف‬ ‫ر‬
‫ٗ را‬ ‫ل‬ ‫ع‬

“Siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka


bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Siapa yang keluar
dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa [4]: 100).

Ayat ini menunjukkan pentingnya berlaku ikhlas dalam menetapkan


tujuan dan keinginan. Imam al-Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan
mengatakan:
”Orang yang keluar rumah dengan tujuan berhijrah karena Allah,
maka dia berhak mendapatkan pahala dari hijrahnya disebabkan
baiknya niat. Dengan begitu, apabila seseorang menemukan kematian
sebelum dia menyempurnakan suatu amal, maka pahalanya tidak
berkurang sedikitpun, karena telah terwujudnya niat dengan baik”.11

C. Pendapat Para Fuqaha Tentang Kaidah ‫بمقاصدها األمور‬


Menurut ulama-ulama Syafi’iyah niat didefinisikan sebagai maksud
melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Sedangkan menurut
mazhab Hanbali bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah
perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud tersebut berada di dalam
hati. Jika seseorang memiliki keyakinan di dalam hatinya, hal itu dianggap
niat sebelum melakukan perbuatan.
Menurut Imam Al-Baihaqi “Segala aktivitas manusia itu ada kalanya
berpangkal pada hati sanubari, pada lisan, dan ada kalanya pada anggota
badan lainnya. Niat yang berpangkal dari hati sanubari adalah aktivitas
kejiwaan, yang dianggap lebih penting dan kuat dibandingkan aktivitas yang
7
berpangkal pada lisan maupun anggota badan lainnya. Hal itu disebabkan
oleh niat itu

11
Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Mesir. Musthafa al-
Babiy al-Halabiy,1954), Cet.II, Juz, V h.238. Lihat Juga Abu Fida’ Ismail ibn Utsman ibn Umar
ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1970),Cet. II, Juz II, h.371

8
sendiri dapat berfungsi sebagai ibadah, sedangkan aktivitas lainnya tidak
dapat dinilai ibadah jika tanpa niat yang melandasinya”.12
Ulama fikih mayoritas sepakat bahwa niat berada di dalam hati.
Namun, karena wujud niat dalam hati itu sulit diketahui, maka para ulama
menganjurkan agar disamping niat juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan
lisan, sekedar untuk menolong dan membantu gerakan hati.13

D. Penerapan kaidah ‫ بمقاصدها األمور‬Pada Kasus Hukum Ekonomi


Syari’ah Kontemporer

1. Transaksi dalam Minimarket Modern


Hadirnya minimarket melahirkan sebuah tradisi baru yaitu jual beli
yang ijab qabulnya tidak secara lafdzi (pengucapan). Misalnya seseorang
yang hendak berbelanja disupermarket atau minimarket, mereka tinggal
mengambil semua barang yang diinginkannya tanpa harus meminta izin
kepada penjualnya setelah barang-barang tersebut telah dibayarkan dikasir
pembeli dapat membawa pulang barang-barang yang telah dibelinya.
Disini tidak ada ijab qobul secara ucapan, tetapi hanya dengan
perbuatan. Jika
dihubungkan dengan kaidah:
ْ ‫ْ ْ م با م قا‬ ‫أ أ‬
‫صد وال م عا ¸ن‬
ْ ‫ع قــ ْود¸ ل¸ لل‬ ‫ال‬
‫ْ ْ ¸ ن َل ل¸ل‬ْ ‫ب‬
‫فاظ ف ال‬ ْ ‫أ‬
ْ ‫ة‬
‫و ال‬

”Menghukumi transaksi dari lafadz dan alurnya, bukan niat dan


substansinya”

Jika kita lihat alurnya, pihak pembeli telah mengetahui harga


barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Ketika
pembeli mengambil barang tersebut artinya pembeli telah menyetujui
harga yang tertera, kemudian datang kemeja kasir yang menunjukkan
bahwa diantara

9
12
Yahya & Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung: Alma’arif, 1986), h.
53
13
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015), h. 45

1
0
mereka akan melakukan transaksi jual beli. Disinilah dapat terlihat bahwa
menghukumi sebuah transaksi itu dari alurnya.

2. Menggunakan Bank Konvensional


Apabila seseorang menabung di bank konvesional dengan niat
mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya,
maka ia dibolehkan karena dalam keadaan darurat, dan tidak ada bank
syariah ditempatnya. Ini sejalan denagan salah satu kaidah:
ْ ‫ْأ أ‬ ‫أ‬
‫ة ْف ال ع قــ ْود¸ ل¸ ل م قاصد وال‬
ْ ْ
‫م عا ¸ن ا ل ¸ع ب‬

“Menghukumi transaksi dari niat dan substansinya, bukan dari


lafadz dan alurnya.”
Dilihat disini adalah niat ia ketika melakukan transaksi, akan tetapi
jika ia menyimpan uang di bank konvesional itu dengan niat memperoleh
bunga atau memakmurkan bank konvesional maka hukumnya haram.14

.Cabang Kaidah-Kaidah E ‫األمور بمقاصدها‬


Diantara cabang dari kaidah ini adalah kaidah:

‫ن‬ َّ
.1 ‫َ لث واب إ َلب¸ ال ¸ ي‬

“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”15


Contoh ada dua orang pria (suami) bekerja. Pria pertama, bekerja
dengan niat untuk ibadah hal ini akan berpotensi mendapat pahala,
Sedangkan pria yang kedua, bekerja hanya karena ingin mendapat imbalan
saja, maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah
ia tidak mendapatkan pahala. Pekerjaan yang sejatinya sama-sama
dikerjakan, jenis pekerjaannya sama, waktu bekerjanya sama, namun akan
memiliki nilai berbeda jika yang satu diniatkan untuk ibadah dan yang
lainnya tidak.

14
Ibid, h. 68

1
1
15
Yahya & Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, … h. 60

1
2
.2 ‫ض‬
َّ
ً ْ ‫أ‬ ‫أ َت‬ ً ‫أط ض‬ ‫أ‬
‫ل عْي‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ما ي‬
‫أ‬ ‫أ‬ ‫اتل أل‬
‫ه ف إ¸ ذا ن‬ ‫ط‬
‫ة‬
‫طأ‬ ‫و‬
‫أ‬ ْ ‫و ش‬
‫ه أ خ‬
‫ص‬ ‫تعي¸ي‬ ‫َل‬ ْ
‫ُج‬ ‫ّ ع‬
‫ت‬
‫ل‬
‫ّر ش َت‬

“Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat, tetapi


secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila
dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya”16

Contoh misalnya seseorang akan menunaikan zakat fitrah. Dalam


niat zakat fitrah tidak perlu disebutkan zakat itu ditujukan untuk siapa,
namun misalnya dalam berniat diucapkan zakat ini akan diberikan kepada
Fatimah, namun ternyata tidak jadi diberikan kepada Fatimah tetapi kepada
Qasim, maka yang begitu itu tidak sah. Niat berzakat itu merupakan wajib,
untuk membedakan apakah beras tersebut diberikan sebagai penggugur
kewajiban zakat fitrah, atau sebatas hanya shodaqoh biasa. Namun dalam
niat tidak perlu dirincikan kepada siapa zakat tersebut akan ditujukan
(diberikan).

3. ‫ظ‬
‫صد الل ل ن¸ َّية¸ ال‬
َّ ‫م قا‬
‫لف¸ ع‬ ْ
‫فظ‬

“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”17


Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap perkataan adalah
tergantung pada apa yang diniatkannya di dalam hati. Contoh misalnya
seseorang ketika memberikan uang kepada orang lain, dengan mengatakan
bahwa uang ini adalah shodaqohnya (sunnah), namun sebenarnya dari dalam
hatinya dia berniat mengeluarkan itu sebagai kewajiban berzakatnya. Maka
yang demikian dihukumi bahwa orang tersebut telah mengeluarkan
zakatnya.

9
.Kaidah Analisis F ‫األمور بمقاصدها‬
Kaidah al-Umuru Bimaqosidiha merupakan kaidah asasi yang
pertama. Kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama
Syafi’iyah diartikan dengan maksud untuk melakukan sesuatu yang disertai
dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu
perbuatan dengan

16
Ibid, h. 61
17
Ibid, h. 62

9
niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan
dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau
kebiasaan, atau bahkan dia melakukan amal perbuatan dengan niat tidak
baik, atau niat jahat yang melatarbelakanginya. Oleh karena posisi niat yang
penting, niat disyari’atkan dengan beberapa tujuan:
1. Niat dilakukan agar dapat menjadi pembeda antara hal yang bernilai
ibadah dan hal yang merupakan adat/ kebiasaan.
2. Niat dilakukan agar menjadi pembeda antara perbuatan jahat atau
perbuatan baik.
3. Niat dilakukan untuk penentuapakah perbuatan ibadah itu sah atau tidak
serta menjadi pembeda mana yang merupakan ibadah wajib dan mana
yang sunnah.
Niat adalah kehendak hati untuk melakukan sesuatu perbuatan
bersamaan dengan pelaksanaannya. Niat menempati posisi paling awal dalam
setiap awal perbuatan seseorang. Menurut Al-Suyuti Dasar dari kaidah ini
dari
hadis Rasulullah saw.
‫أن‬ ¸ ْ
¸‫ما ل‬ ‫ما‬ ‫ما ا ل‬
(‫وى )…اخرجهابلخار‬ ‫ما ن‬ َّ‫يا‬
ْ ‫أ‬
‫ئ‬ ‫¸ك ا م ت‬ ‫ل ب¸ ا‬ ¸‫إ‬
‫ع‬
‫َِإو‬
ّ
‫ن‬
ّ
‫ن‬

“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan


sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari
dari Umar bin Khattab)
Hadis ini adalah hadis masyhur, diriwayatkan imam yang enam (al-
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah) dan dari
Umar bin Khattab r.a.18 Para pencetus kaidah ini, menggeser kata al-a’mal,
sebagaimana dalam sumber dalil kaidah ini berupa Hadis Nabi saw. : “innama al-
a’malu bi al-niyyat” agar lebih bersifat umum mencakup perkataan dan

10
perbuatan. Dengan demikian maksud dari kaidah ini hukum-hukum syariat
Islam dalam urusan manusia dan muamalah didasarkan kepada maksud dan
niat ketika melakukannya. Adakalanya seseorang melakukan suatu amal
perbuatan untuk maksud tertentu sehingga berdampak pada hukum tertentu.

18
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadzair,…h. 15.

11
Seseorang melakukan amal yang sama, tetapi maksud atau tujuan yang lain,
sehingga berdampak hukum yang lain pula.19
Bahkan ulama fikih sepakat bahwa sesuatu perbuatan yang telah
diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapatdilaksanakankarenasuatukesukaran
(masyaqqah) ia tetap diberi pahala atau ganjaran.

19
Moh. Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta:
Prenadamedia,2019), h. 36.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah Al-Umuru Bimaqasidiha merupakan salah satu Kaidah
Fiqhiyah yang boleh digunakan oleh ahli fuqaha pada hal-hal dalam
menyelesaikan masalah umat yang tidak terdapat didalam al-Quran dan Hadis,
sama halnya ijtihad, qiyas dan sebagainya, fikih pun dikeluarkan bersumber
dari al-Quran dan Hadis. Karena setiap masalah yang terjadi begitu dinamis,
dan mengikuti perkembangan zaman, maka Fikih kontemporer ini menjadi
bagian dari dasar hukum, karena sesuai dengan keadaan zaman tersebut.
Setiap sesuatu perbuatan itu akan dinilai berdasarkan niatnya, jika
perbuatan yang dilakukannya niatnya adalah untuk kebaikkan maka dia akan
mendapat pahala, sebaliknya jika perbuatan yang sama niatnya untuk
kejahatan, maka ia akan mendapat dosa. Niat juga merupakan salah satu alat
pengukur bagi perbuatan seseorang, apakah perbuatan tersebut bernilai ibadah,
yang akan diganjar dengan pahala, atau hanya sebagai kebiasaan saja tanpa
adanya niat untuk beribadah. Dan ibadah akan sempurna jika dimulai dengan
niat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin:


Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU).

al-`Asqalani, Syihabuddin Ahmad ibn Hajar. 1959. Fath al-Bari Syarh al-Bukhari
Juz I. Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy.

al-Bukhari. t. th. Shahih al-Bukhari Juz I. Beirut: Dar al-Qalam.

Haidar, Ali. t. th. Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam. Beirut: Dar al-
Kutub al-`Ilmiyyah.

Katsir, Abu Fida’ Ismail ibn Utsman ibn Umar ibn. 1970. Tafsir al-Qur’an al-
`Azhim Cet. II, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.

Mufid, Moh. 2019. Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta:
Prenadamedia.

al-Nadwi, Ali Ahmad. 1992. al-Qawa`id al-Fiqhiyyah. Beirut: Dar al-Ma`rifah.

Rajab, Syihabuddin Ahmad ibn. t. th. Jami` al-`Ulum wa al-Hikam. Beirut: Dar

al-
Ma`rifah.

al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman. 1997. Al-Asybah wa al-Nazha’ir. (Mekkah


Mukarramah: DKI Beirut.

al-Thabari, Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir. Tafsir al-Thabari Cet.II, Juz, V. 1954.
Mesir. Musthafa al-Babiy al-Halabiy.

Yahya & Rahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung:


Alma’arif.

al-Zarqa, Muhammad. 1989. Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah Cet II. Damaskus:


Dar al-Qalam.

Anda mungkin juga menyukai