(Kesulitan Itu Menimbulkan Adanya Kemudahan: Dr. Maimun, M.A
(Kesulitan Itu Menimbulkan Adanya Kemudahan: Dr. Maimun, M.A
Disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Kaidah Hukum Islam
(Fiqh Legal Maxim)
Dosen Pengampu:
Dr. Maimun, M.A
Oleh :
Frenky Sanjaya
2274134005
Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha................................................3
B. Dasar Hukum Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha...........................................4
C. Pendapat Para Fuqoha Tentang Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha...............6
D. Penerapan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha pada Kasus Hukum Ekonomi
Syari’ah Kontemporer..................................................................................7
E. Kaidah-Kaidah Cabang................................................................................8
F. Analisis Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha....................................................9
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Niat merupakan hal yang penting dalam kajian Islam, tidak hanya
diimplementasikan pada ibadah (wajib maupun sunnah), niat juga
dimplementasikan dalam kegiatan muamalah. Karena niat, seseorang bisa
dinilai mengerjakan kebajikan atau kejahatan. Dengan niat sesorang juga
dapat diganjar pahala atau dosa. Seseorang bisa dianggap berdosa meskipun
melakukan kegiatan yang secara tampak merupakan ibadah.
Dalam kajian Fikih ada kaidah al-Umuru Bimaqasidiha, yang
merupakan kaidah yang berkenaan dengan niat. Kaidah al-Umuru
Bimaqasidiha adalah salah satu dari kaidah yang digunakan oleh para
Fukaha’ dalam Qawaidul Fiqhiyah. Lebih lanjut dikemukakan oleh Hammam
bahwa Qawaidul Fiqhiyah memiliki pernan strategis dalam membantu
merumuskan hukum dari permasalahan yang tidak dijelaskan secara spesifik
baik di dalam al-Quran dan Hadis.
Masyarakat dapat mengetahui hal-hal yang dapat dilakukan karena
diperbolehkan secara hukum Islam, dan hal-hal yang harus dihindari karena
bertentangan dengan hukum Islam. Di sinilah peran Kaidah Fiqhiyah yang
sangat membantu dalam proses penganalisaan dan penetapan hukum.
Tulisan ini membahas tentang implementasi al-Umuru Bimaqasidiha
dalam bidang muamalah khusunya. Karena pentingnya aspek niat dalam
ibadah, termasuk pula aktivitas lain yang diniatkan untuk ibadah.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah al-Umuru Bimaqasidiha?
2. Apa dasar hukum dari kaidah al-Umuru Bimaqasidiha?
3. Bagaimana pendapat para fuqoha tentang al-Umuru Bimaqasidiha?
1
4. Bagaimana Penerapan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha pada Hukum
Ekonomi Syari’ah?
5. Apa saja kaidah cabang dari kaidah al-Umuru Bimaqasidiha?
6. Bagaimana hasil analisis dari penjelasan tentang kaidah al-Umuru
Bimaqasidiha?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan dari penilisan ini adalah
untuk mengetahui tentang:
1. Pengertian kaidah al-Umuru Bimaqasidiha.
2. Dasar hukum kaidah al-Umuru Bimaqasidiha.
3. Pendapat para fuqoha tentang al-Umuru Bimaqasidiha.
4. Penerapan Kaidah al-Umuru Bimaqasidiha pada Hukum Ekonomi Syari’ah.
5. Kaidah cabang dari kaidah al-Umuru Bimaqasidiha, dan
6. Memahami hasil analisis dari penjelasan tentang kaidah al-Umuru
Bimaqasidiha.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ali Haidar, Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-
`Ilmiyyah, t. Th.), h. 17. Lihat pula Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah,
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1989), Cet II, h. 47
2
Ali Haidar, Durar al-Hukkam, h. 17
3
yang membeli harta untuk tujuan wakaf, dan setelah membelinya ia tidak
mengucapkan tujuan atau maksudnya, maka harta tersebut tidak menjadi
harta wakaf.3
Mengenai perbuatan atau perkataan yang tidak dibarengi niat, maka
perlu dirinci terlebih dahulu apakah perbuatan dan perkataannya termasuk
lafal yang sharih atau yang tidak sharih. Jika termasuk lafal sharih, maka
untuk menentukan hukumnya tidak harus tergantung pada niat, sebab dengan
hasil perbuatannya saja sudah cukup untuk menentukan dampak hukumnya,
karena perbuatan yang sharih (jelas) itu serupa dengan niat. Maka untuk
menentukan hukum di sini tidak dibutuhkan niat. Misalnya, apabila seseorang
berkata kepada yang lain "saya jual harta saya ini, atau saya wasiatkan harta
saya ini", maka jual beli dan wasiat semacam itu dianggap sah, meskipun
dalam hati tidak ada niat sama sekali. Demikian pula pada masalah wakalah,
penitipan, pinjaman, menuduh zina, mencuri dan lain-lain, semua itu
merupakan perbuatan yang tidak harus memerlukan niat. Dengan
melakukannya saja (tanpa diniati), sudah cukup untuk menentukan hukum.4
أأ
ها هج رت ه إ¸ ل ما هاج ر
ْ
¸ ينكح5إ¸ َلْه
”Sahnya beberapa amal perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap
orang hanya mendapatkan apa yang diniatinya. Orang yang perginya diniati
hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti mendapatkan pahala pergi
karena Allah dan Rasul-Nya, orang yang perginya diniati karena harta
benda (dunia) yang hendak dicapai, maka ia akan mendapatkannya, atau
diniati karena wanita,
4
3
Ali Haidar, Durar al-Hukkam, h. 17
4
Ali Haidar, Durar al-Hukkam, h. 18
5
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Qalam, t. th.), Juz I, h. 21
5
iapun akan menikahinya, maka perginya sesuai dengan tujuan pergi.” (HR.
Bukhari)
6
Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, (Mesir:
Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1959), Juz I, h. 12
7
Syihabuddin Ahmad ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam, (Beirut: Dar al-Ma`rifah,
t. th), h. 11
8
Syihabuddin Ahmad ibn Hajar al-`Asqalaniy, Fath al-Bari Syarh al-Bukhari, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah. t. th), h. 12
9
Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Mekkah Mukarramah:
DKI Beirut, 1997), h. 20.
h. 33
10
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1990), h. 247
6
ج ًرا إ¸ ل
ٗ
بي م ع و أرج ك ر م ر ر سب¸يل ّ ¸ ٱ ل و من ي
ٗ من َي ت¸ه¸ ها ض م ث اي ٱ ل ي ۡر ف ف ها
ة ¸ ل د ج
م ‹ن ¸
و ا
غ
س
ٗ
٠٠١ رحي ما ّ َ كن ّأ قع أ ج ق أ أ
غ ّٱلل¸ سو در¸ ك ه ٱل
أ لل ٱ و ل
ٱ و أر
فو ¸ل¸ و م وت ث َّم يأ د
¸ه أه ف ر
ٗ را ل ع
11
Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, (Mesir. Musthafa al-
Babiy al-Halabiy,1954), Cet.II, Juz, V h.238. Lihat Juga Abu Fida’ Ismail ibn Utsman ibn Umar
ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1970),Cet. II, Juz II, h.371
8
sendiri dapat berfungsi sebagai ibadah, sedangkan aktivitas lainnya tidak
dapat dinilai ibadah jika tanpa niat yang melandasinya”.12
Ulama fikih mayoritas sepakat bahwa niat berada di dalam hati.
Namun, karena wujud niat dalam hati itu sulit diketahui, maka para ulama
menganjurkan agar disamping niat juga sebaiknya dikukuhkan dengan ucapan
lisan, sekedar untuk menolong dan membantu gerakan hati.13
9
12
Yahya & Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung: Alma’arif, 1986), h.
53
13
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015), h. 45
1
0
mereka akan melakukan transaksi jual beli. Disinilah dapat terlihat bahwa
menghukumi sebuah transaksi itu dari alurnya.
ن َّ
.1 َ لث واب إ َلب¸ ال ¸ ي
14
Ibid, h. 68
1
1
15
Yahya & Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, … h. 60
1
2
.2 ض
َّ
ً ْ أ أ َت ً أط ض أ
ل عْي ن ي ما ي
أ أ اتل أل
ه ف إ¸ ذا ن ط
ة
طأ و
أ ْ و ش
ه أ خ
ص تعي¸ي َل ْ
ُج ّ ع
ت
ل
ّر ش َت
3. ظ
صد الل ل ن¸ َّية¸ ال
َّ م قا
لف¸ ع ْ
فظ
9
.Kaidah Analisis F األمور بمقاصدها
Kaidah al-Umuru Bimaqosidiha merupakan kaidah asasi yang
pertama. Kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama
Syafi’iyah diartikan dengan maksud untuk melakukan sesuatu yang disertai
dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu
perbuatan dengan
16
Ibid, h. 61
17
Ibid, h. 62
9
niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan
dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau
kebiasaan, atau bahkan dia melakukan amal perbuatan dengan niat tidak
baik, atau niat jahat yang melatarbelakanginya. Oleh karena posisi niat yang
penting, niat disyari’atkan dengan beberapa tujuan:
1. Niat dilakukan agar dapat menjadi pembeda antara hal yang bernilai
ibadah dan hal yang merupakan adat/ kebiasaan.
2. Niat dilakukan agar menjadi pembeda antara perbuatan jahat atau
perbuatan baik.
3. Niat dilakukan untuk penentuapakah perbuatan ibadah itu sah atau tidak
serta menjadi pembeda mana yang merupakan ibadah wajib dan mana
yang sunnah.
Niat adalah kehendak hati untuk melakukan sesuatu perbuatan
bersamaan dengan pelaksanaannya. Niat menempati posisi paling awal dalam
setiap awal perbuatan seseorang. Menurut Al-Suyuti Dasar dari kaidah ini
dari
hadis Rasulullah saw.
أن ¸ ْ
¸ما ل ما ما ا ل
(وى )…اخرجهابلخار ما ن َّيا
ْ أ
ئ ¸ك ا م ت ل ب¸ ا ¸إ
ع
َِإو
ّ
ن
ّ
ن
10
perbuatan. Dengan demikian maksud dari kaidah ini hukum-hukum syariat
Islam dalam urusan manusia dan muamalah didasarkan kepada maksud dan
niat ketika melakukannya. Adakalanya seseorang melakukan suatu amal
perbuatan untuk maksud tertentu sehingga berdampak pada hukum tertentu.
18
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadzair,…h. 15.
11
Seseorang melakukan amal yang sama, tetapi maksud atau tujuan yang lain,
sehingga berdampak hukum yang lain pula.19
Bahkan ulama fikih sepakat bahwa sesuatu perbuatan yang telah
diniatkan, namun perbuatan tersebut tidak dapatdilaksanakankarenasuatukesukaran
(masyaqqah) ia tetap diberi pahala atau ganjaran.
19
Moh. Mufid, Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta:
Prenadamedia,2019), h. 36.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah Al-Umuru Bimaqasidiha merupakan salah satu Kaidah
Fiqhiyah yang boleh digunakan oleh ahli fuqaha pada hal-hal dalam
menyelesaikan masalah umat yang tidak terdapat didalam al-Quran dan Hadis,
sama halnya ijtihad, qiyas dan sebagainya, fikih pun dikeluarkan bersumber
dari al-Quran dan Hadis. Karena setiap masalah yang terjadi begitu dinamis,
dan mengikuti perkembangan zaman, maka Fikih kontemporer ini menjadi
bagian dari dasar hukum, karena sesuai dengan keadaan zaman tersebut.
Setiap sesuatu perbuatan itu akan dinilai berdasarkan niatnya, jika
perbuatan yang dilakukannya niatnya adalah untuk kebaikkan maka dia akan
mendapat pahala, sebaliknya jika perbuatan yang sama niatnya untuk
kejahatan, maka ia akan mendapat dosa. Niat juga merupakan salah satu alat
pengukur bagi perbuatan seseorang, apakah perbuatan tersebut bernilai ibadah,
yang akan diganjar dengan pahala, atau hanya sebagai kebiasaan saja tanpa
adanya niat untuk beribadah. Dan ibadah akan sempurna jika dimulai dengan
niat.
13
DAFTAR PUSTAKA
al-`Asqalani, Syihabuddin Ahmad ibn Hajar. 1959. Fath al-Bari Syarh al-Bukhari
Juz I. Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy.
Haidar, Ali. t. th. Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam. Beirut: Dar al-
Kutub al-`Ilmiyyah.
Katsir, Abu Fida’ Ismail ibn Utsman ibn Umar ibn. 1970. Tafsir al-Qur’an al-
`Azhim Cet. II, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr.
Mufid, Moh. 2019. Kaidah Fikih Ekonomi dan Keuangan Kontemporer. Jakarta:
Prenadamedia.
Rajab, Syihabuddin Ahmad ibn. t. th. Jami` al-`Ulum wa al-Hikam. Beirut: Dar
al-
Ma`rifah.
al-Thabari, Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir. Tafsir al-Thabari Cet.II, Juz, V. 1954.
Mesir. Musthafa al-Babiy al-Halabiy.