ILMIAH
Makalah
Penulisan Kerangka Dan Karangan Karya Ilmiah
KELOMPOK 11
Disusun Oleh :
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..................................................................................................
B. Saran .............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Kerangka karangan adalah rencana kerja yang memuat garis-garis besar suatu karangan yang
mengandung ketentuan-ketentuan bagaimana kita akan menyusun kerangka-kerangka
karangan yang mempunyai banyak fungsi dan manfaat bagi penulis.
Kerangka karangan mempunyai banyak bagian-bagian yang harus di pelajari agar suatu
karangan bisa tersusun dengan baik dengan menggunakan pola-pola penyusunan seperti pola
alamiah dan logis.
Agar karangan dapat dipahami oleh pembaca dan tidak terjadi pengulangan pembahasan
maka penulis perlu memahami tatacara dan syarat-syarat yang telah dikemukakan dalam
uraian kerangka karangan.
Berdasarkan pernyataan tersebut di atas maka penulisan makalah ini kami beri judul
“Pengertian, Manfaat Dan Fungsi Kerangka Karangan, Pola Penyusunan, Macam-Macam
Dan Syarat Kerangka Karangan”.
Karya ilmiah merupakan hasil tulisan yang menuruti suatu aturan tertentu. Aturan tersebut
biasanya merupakan suatu persyaratan tata tulis yang telah dibakukan oleh masyarakat
akademik. Secara umum, proses penulisan karya ilmiah dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu:
tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap perbaikan. Sebagai hasil penelitian atau
kegiatan ilmiah setiap karangan ilmiah mengandung komponen adanya masalah yang
menjadi topik karangan ilmiah itu. Adanya tujuan penelitian, metode penelitian, teori yang
dianut, objek penelitian, instrumen yang digunakan, dan adanya hasil penelitian yang
diperoleh. Setelah kaidah ditemukan dan dirumuskan, kegiatan penelitian harus diwujudkan
dalam bentuk laporan. Hal ini dimaksudkan karena sasaran akhir penelitian adalah
mengkomunikasikan hasil penelitian pada khalayak terkait. Oleh karena itu, menulis laporan
merupakan tahap akhir yang penting dalam penelitian, karena menulis laporan merupakan
proses komunikasi yang membutuhkan adanya pengertian yang sama antara penulis dan
pembaca.
Jadi, dapat disimpulkan belajar menulis karya ilmiah itu sangat penting. Supaya di setiap
proses dan tahapannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu, pentingnya belajar
menulis karya ilmiah juga dapat memperjelas sasaran atau tujuan dilaksanakannya penelitian
sehingga dalam pembahasannya dapat disampaikan secara tepat dan mudah dipahami oleh
pembaca.
B. Rumusan Masalah
C.Tujuan penulisan
10. untuk mengetahui dan memahami asas-asas penyusunan gagasan dalam karya ilmiah.
12. untuk mengetahui dan memahami aspek penalaran dalam karangan ilmiah.
13. untuk mengetahui dan memahami pengertian dari penalaran induktif dan deduktif.
BAB II
Kerangka karangan adalah rencana kerja yang membuat garis-garis besar suatu karangan
yang ketentuan-ketentuan bagaimana kita akan menyusun karangan-karangan.[1]
Kerangka karangan dapat diartikan rancangan kerja yang memuat ketentuan-ketentuan pokok
bagaimana suatu topik harus diperinci dan dikembangkan. Kerangka karangan dapat
berbentuk catatan-catatan sederhana tapi juga dapat berbentuk mendetail dan digarap sangat
cermat.
2. Mencegah pembahasan keluar dari sasaran yang sudah dirumuskan dalam topik,
judul,kalimat, tesis dan tujuan karangan.
4. Memudahkan penempatan antara pembagian karangan yang penting dengan yang kurang
penting.
1. Rumuskan tema.
2. Inventarisasi topik.
1. Pola Alamiah.
Pola Alamiah adalah suatu urutan kerangka karangan dengan keadaan nyata di alam yang
didasari tiga atau empat dimensi dalam kehidupan manusia atas-bawah, melintang-
menyeberang, sekarang-nanti, dulu-sekarang, timur-barat. Pola alamiah dapat di bagi menjadi
tiga bagian :
Urutan kronologis adalah urutan yang didasarkan pada runtunan peristiwa atau tahap-tahap
kejadian berdasarkan kronologinya. Peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Yaitu urutan yang didasarkan pada ruang atau tempat. yang biasanya digunakan dalam tulisan
yang bersifat deskriptif.
Yaitu untuk menggambarkan hal tersebut secara lengkap pada bagian-bagian tertentu.
2. Pola Logis.
b. Urutan kausal.
Urutan kausal mencakup dua pola dari sebab ke akibat dan urutan akibat ke sebab pola yang
pertama disebut sebab. Pola selanjutnya disebut akibat.
Urutan pemecahan masalah di mulai dari suatu masalah tertentu kemudian berkembang
menuju kesimpulan umum atau pemecahan suatu masalah tersebut. Landasan pemecahan
masalah terdiri atas tiga bagian :
Suatu masalah yang dimulai dari suatu kelompok kecil di sebut urutan umum-khusus, tapi
sebaliknya jika persoalan itu memaparkan peristiwa dari kelompok kecil sehingga menelusuri
kelompok besar di sebut khusus-umum.
E . Urutan familiaritas.
Adalah mengemukakan sesuatu yang sudah dikenal kemudian berangsur pindah kepada hal-
hal yang kurang di kenal.
f. Urutan akseptabilitas.
Adalah mempersoalkan apakah suatu gagasan diterima atau tidak oleh pembaca ataukah
disetujui atau tidak.[4]
1. Berdasarkan perincian.
Merupakan suatu alat bantu, sebuah penuntun bagi suatu tulisan yang terarah.yang terdiri dari
tesis dan pokok-pokok utama.
Kerangka karangan yang timbul dari pertimbangan bahwa topik yang akan di garap bersifat
sangat komplek atau suatu topik yang sederhana tetapi penulis tidak bermaksud untuk segera
menggarapnya.[5]
2. Berdasarkan perumusan teks.
A.Kerangka kalimat.
Menggunakan kalimat deklaratif yang lengkap untuk merumuskan setiap topik, sub topik.
Misalnya :
1). Pendahuluan
4). Tujuan.[6]
3). Kalimat yang dirumuskan dengan baik dan cermat akan jelas bagi siapapun, seperti bagi
pengarangnya sendiri.
B. Kerangka topik
Kerangka topik dimulai dengan perumusan tesis dalam sebuah kalimat yang lengkap dan
menggunakan kata atau frase. Kerangka lebih baik manfaatnya dari kerangka topik, tetapi
kelebihan kerangka topik adalah lebih jelas merumuskan hubungan-hubungan kepentingan
antar gagasan.
Setelah karangan tertulis tersusun langkah selanjutnya yang harus dilakukan penulis adalah
mengembangkan kerangka karangan menjadi sebuah bentuk karya tulis yang utuh.
Pengembangan kerangka karangan membutuhkan sejumlah data ataupun kebenaran-
kebenaran yang mendukung gagasan.
I. Penerapan Penyuntingan
Untuk menerapkan cara penyuntingan kerangka karangan dengan mempergunakan semua
persyaratan akan memudahkan uraian mengenai penerapan penyusunan.[8]
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan gagasan, deskripsi atau pemecahan
masalah secara sistematis, objektif dan jujur, dengan menggunakan bahasa baku, serta
didukung oleh fakta, teori atau bukti-bukti empirik. Karya ilmiah merupakan karya tulis yang
isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang
penulis atau peneliti.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya ilmiah adalah laporan
tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah
dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang
dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.
Penulisan karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal dan lugas.
Kejelasan dan ketepatan isi dapat diwujudkan dengan menggunakan kata dan istilah yang
jelas, tepat, tidak berbelit-belit dan struktur paragraf yang runtut.
Kelugasan dan keformalan gaya bahasa diwujudkan dengan menggunakan kalimat pasif,
kata-kata yang tidak emotif dan tidak berbunga-bunga. Hindarilah penggunaan kata seperti
saya atau kita. Jika terpaksa menyebutkan kegiatan yang dilakukan oleh penulis sendiri istilah
yang dipakai bukan kami atau saya, melainkan penulis atau peneliti. Namun, istilah penulis
atau peneliti hendaknya digunakan seminimal mungkin.
Skripsi yang mengikuti paradigma positivistik wajib ditulis dengan ragam bahasa ilmiah,
tidak menggunakan ragam bahasa sastra, orasi, daerah, pasar, populer dan sejenisnya. Dalam
ragam bahasa ilmiah positivistik berlaku ketentuan-ketentuan antara lain: baku, logis, terukur,
tepat, denotatif, efektif, terjalin kesinambungan urutan serta bahasa yang baik dan benar.
1. Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Kejelasan itu tidak saja berarti mudah dipahami,
mudah dibaca, tetapi juga harus tidak memberi ruang untuk disalahtafsirkan, tidak boleh
bersifat sama-samar, kabur dan tidak boleh ada di wilayah abu-abu. (Bahasa Jawa: ‘kedah
gamblang wijang-wijang’). Kejelasan di dalam karangan ilmiah itu ditopang oleh hal-hal
berikut:
a. Pemakaian bentuk kebahasaan yang lebih dikenal daripada bentuk kebahasan yang
masih harus dicari-cari dulu maknanya, bahkan oleh penulisnya.
b. Pemakaian kata-kata yang pendek, ringkas, tajam, lugas, daripada kata-kata yang
berbelit, panjang, rancu dan boros (verbose).
c. Pemakaian kata-kata dalam bahasa sendiri daripada kata-kata dalam bahasa asing.
Kata-kata asing dapat digunakan hanya kalau memang istilah itu sangat teknis sifatnya
sehingga tidak (belum) ada istilah/kata yang pas dalam bahasa indonesia.
2. Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjujung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian
hasil penelitian itu haruslah tepat/akurat. Supaya karangan ilmiah menjadi sungguh-sungguh
akurat, penulis/peneliti harus sangat cermat, teliti, tidak bleh sembrono, atau ‘main-main
dengan ilmu’.
Dalam penyampaiannya di dalam karangan ilmiah itu harus terwadahi butir-butir gagasan
dengan kecocokan sepenuhnya seperti yang dimaksudkan oleh peneliti/penulisnya.
Kualifikasi demikian itulah yang dimaksud dengan istilah ‘efektif-‘sangkil’.
3. Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Karangan yang
tebalnya 500 halaman dapat dikatakan ringkas sejauh di dalamnya tidak terdapat bentuk-
bentuk kebahasaan yang bertele-tele, kalimat-kalimat yang bertumpukan (running-on
sentences), dan sarat dengan kemubaziran dan kerancuan.
Jadi, karya ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata, tidak boleh mengulang-ulang
ide yang telah diungkapakan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau
gagasan. Karangan ilmiah harus dibangun dari ide yang kaya dengan bahasa yang hemat dan
sederhana. Jadi bukan sebaliknya, ide yang miskin namun dengan bahasa berbunga-bunga.
Karangan ilmiah harus ditulis dengan hati dan diteliti kembali, dibenahi dan diedit kembali
dengan pikiran. Jadi, peganglah prinsip ’writing with heart, editing with brain’ di dalam
praktik menulis karangan ilmiah.
Yang dimaksud dengan perwajahan adalah tata letak (lay out) unsur-unsur skripsi serta aturan
penulisan unsur-unsur tersebut, yang berkaitan dengan segi keindahan dan estetika naskah.
Tata letak dan penulisan unsur-unsur skripsi, tesis, atau disertasi harus diusahakan sabaik-
baiknya agar skripsi, tesis, atau disertasi tersebut tampak rapi dan menarik. Dalam
pembicaraan tentang perwajahan, dikemukakan secara ringkas mengenai masalah kertas pola
ukuran dan penomoran.
1. Kertas Pola Ukuran
Supaya tiap halaman ketikan rapi, sebaiknya digunakan kertas pola ukuran. Kertas pola
ukuran tersebut dipasang setiap kali mengganti halaman dan kertas pola ukuran itu harus
ditaati agar hasil ketikan tampak rapi. Jika menggunakan komputer, program-program
tertentu harus dikuasai terlebih dahulu agar format yang dikehendaki terwujud.
Pada umumnya garis pembatas pada kertas pola ukuran tersebut diatur dengan ukuran sebagai
berikut:
2. Penomoran
Angka untuk nomor yang lazim digunakan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau karangan
ilmiah umumnya adalah angka Romawi kecil, angka Romawi besar, dan angka Arab. Angka
Romawi kecil (i, ii, iii, iv, v) dipakai untuk menomori halaman judul, halaman yang bertajuk
prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran, dan daftar lain (jika ada).
Angka Romawi besar (I, II, III, IV, V) digunakan untuk menomori tajuk bab pendahuluan,
tajuk bab analisis, tajuk bab simpulan, misalnya BAB I PENDAHULUAN. Angka Arab (1, 2,
3, 4, dan seterusnya) digunakan untuk menomori halaman-halaman naskah mulai bab
pendahuluan sampai dengan halaman terakhir dan untuk menomori nama-nama tabel, grafik,
histogram, bagan, dan skema.
b) Letak Penomoran
Halaman judul, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik, daftar lampiran, menggunakan angka
Romawi kecil yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di tengah-tengah (simetris).
Halaman yang bertajuk bab pendahuluan, bab analisis, bab simpulan, daftar pustaka/rujukan,
indeks, dan lampiran, menggunakan angka Arab yang diletakkan pada bagian bawah, tepat di
tengah-tengah (simetris). Halaman-halaman naskah lanjutan menggunakan angka Arab yang
diletakkan pada bagian kanan atas.
c) Penomoran Subbab
Subbab dan subsubbab dinomori dengan angka Arab sistem digital. Angka terakhir dalam
digital ini tidak diberi titik (seperti 1.1, 1.2, 2.1, 1.1.2, 2.2.3, 3.2.1, dan seterusnya). Dalam
hubungan ini, angka digital tidak lebih dari tiga angka (maksimal, misalnya 1.1.1, 1.4.3,
1.1.2, 3.2.2, 3.3.3, 4.4.1), sedangkan penomoran selanjutnya menggunakan a, b, c, kemudian
1), 2), 3), selanjutnya a), b), c), dan seterusnya.
Artikel berbentuk feature dapat lebih dinikmati, kalau artikel tersebut diberi ilustrasi. Lebih-
lebih bila isinya mengenai sesuatu keilmuan atau petunjuk teknis. Informasi akan
menjenuhkan bila diungkapkan dengan kata, karena bertele-tele, lebih baik disajikan berupa
gambar ilustrasi.
Ilustrasi memang gambar, tetapi tidak hanya gambar tangan yang dibuat dengan pensil,
ballpen atau tinta Cina saja, melainkan dapat juga berupa foto jepretan lensa, gambar
pandangan pancungan, peta, denah, bagan dan diagram.
1. Aspek Keterkaitan
Aspek keterkaitan adalah hubungan antar bagian yang satu dengan yang lain dalam suatu
karangan. Artinya, bagian-bagian dalam karangan ilmiah harus berkaitan satu sama lain. Pada
pendahuluan misalnya, antara latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
harus berkaitan. Rumusan masalah juga harus berkaitan dengan bagian landasan teori,
pembahasan, dan harus berkaitan juga dengan kesimpulan.
2. Aspek Urutan
Aspek urutan adalah pola urutan tentang suatu yang harus didahulukan atau ditampilkan
kemudian (dari hal yang paling mendasar ke hal yang bersifat pengembangan). Suatu
karangan ilmiah harus mengikuti urutan pola pikir tertentu. Pada bagian Pendahuluan,
dipaparkan dasar-dasar berpikir secara umum. Landasan teori merupakan paparan kerangka
analisis yang akan dipakai untuk membahas. Baru setelah itu persoalan dibahas secara detail
dan lengkap. Di akhir pembahasan disajikan kesimpulan atas pembahasan sekaligus sebagai
penutup karangan ilmiah.
3. Aspek Argumentasi
Yaitu bagaimana hubungan bagian yang menyatakan fakta, analisis terhadap fakta,
pembuktian suatu pernyataan, dan kesimpulan dari hal yang telah dibuktikan. Hampir
sebagian besar isi karangan ilmiah menyajikan argumen-argumen mengapa masalah tersebut
perlu dibahas (pendahuluan), pendapat-pendapat atau temuan-temuan dalam analisis harus
memuat argumen-argumen yang lengkap dan mendalam.
Yaitu bagaimana pola penyusunan yang dipakai, apakah digunakan secara konsisten.
Karangan ilmiah harus disusun dengan pola penyusunan tertentu, dan teknik ini bersifat baku
dan universal. Untuk itu pemahaman terhadap teknik penyusunan karangan ilmiah
merupakan syarat multak yang harus dipenuhi jika orang akan menyusun karangan ilmiah.
5. Aspek Bahasa
Yaitu bagaimana penggunaan bahasa dalam karangan tersebut? baik dan benar? Baku?
Karangan ilmiah disusun dengan bahasa yang baik, benar dan ilmiah. Penggunaan bahasa
yang tidak tepat justru akan mengurangi kadar keilmiahan suatu karya sastra lebih-lebih
untuk karangan ilmiah akademis.
1. Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif dapat diartikan sebagai suatu proses berpikir di mana orang memulai dari
pernyataan yang umum menuju pernyataan yang khusus (spesifik) dengan menggunakan
aturan-aturan logika yang dapat diterima. Penalaran ini merupakan suatu sistem yang
digunakan untuk mengorganisir fakta-fakta yang telah diketahui guna membuat suatu
kesimpulan. Proses ini dilakukan melalui serangkaian pernyataan yang disebut silogisme,
yang berisi premis mayor, premis minor dan kesimpulan. Contoh:
Penarikan kesimpulan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Dikatakan
penarikan kesimpulan secara langsung bila ditarik dari satu premis, sedangkan bila ditarik
dari dua premis disebut secara tidak langsung.
1) Konversi
(d) Term yang tidak tersebar dalam premis juga tidak tersebar dalam kesimpulan.
Pada proposisi universal afirmatif, polanya adalah semua S adalah P (premis) dan sebagian P
adalah S (kesimpulan).
Contoh: Semua kursi untuk tempat duduk. (premis) Sebagian tempat duduk adalah kursi.
(kesimpulan) Pada proposisi universal negatif, polanya adalah tak satupun S adalah P
(premis) dan tak satupun P adalah S (kesimpulan).
Contoh: Tak satupun gajah adalah serangga. (premis) Tak satupun serangga adalah gajah.
(kesimpulan) Pada proposisi khusus afirmatif, polanya adalah sebagian S adalah P (premis)
dan sebagian P adalah S (kesimpulan).
Contoh: Sebagian pegawai adalah orang yang jujur. (premis) Sebagian orang yang jujur
adalah pegawai. (kesimpulan) Pada konversi, penarikan kesimpulan tidak dapat dilakukan
dengan proposisi khusus negatif.
2) Oversi
Oversi merupakan cara penarikan kesimpulan secara langsung dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
Pada proposisi universal afirmatif, polanya adalah semua S adalah P (premis) dan tidak
satupun S adalah tak P (kesimpulan).
Contoh: Semua rudal adalah senjata berbahaya. Tak satupun rudal yang bukan senjata
berbahaya. Pada proposisi universal negatif, polanya adalah tidak satupun S adalah P
(premis) dan semua S adalah tak P (kesimpulan).
Contoh: Tidak satupun mahasiswa laki-laki lulus ujian. Semua yang lulus bukan mahasiswa
laki-laki. Pada proposisi khusus afirmatif, polanya adalah sebagian S tidaklah P (premis) dan
sebagian S tidaklah P (kesimpulan).
Contoh: Sebagian mobil adalah bukan barang impor. Sebagian mobil adalah barang impor.
3) Kontraporsisi
Pada proposisi universal afirmatif, polanya adalah semua S adalah P (premis), tidak satupun
S adalah tak P (kesimpulan) dan tidak satupun tak P adalah S (kesimpulan).
Contoh: Semua gajah adalah berbelalai. Tidak satupun gajah adalah tak berbelalai. Tidak
satupun (yang) tak berbelalai adalah gajah. Pada proposisi universal negatif, polanya adalah
tidak satupun S adalah P (premis), semua S adalah tak P (kesimpulan) dan sebagian tak P
adalah S (kesimpulan).
Contoh: Tak seorangpun pejabat miskin. Semua pejabat tak miskin. Sebagian yang tak
miskin adalah pejabat. Pada proposisi khusus negatif, polanya adalah sebagian S tidaklah P
(premis), sebagian S adalah P (kesimpulan) dan sebagian tak P adalah S (kesimpulan).
Contoh: Sebagian jembatan bukan besi. Sebagian jembatan tak besi. Sebagian yang tak besi
adalah jembatan.
1) Silogisme Kategorial
Silogisme kategorial terdiri atas dua proposisi sebagai premis dan satu proposisi sebagai
kesimpulan. Premis yang bersifat umum disebut premis mayor, sedangkan yang bersifat
khusus disebut premis minor. Adapun dalam kesimpulan terdapat subjek dan predikat. Subjek
kesimpulan disebut term minor, sedangkan predikat kesimpulan disebut term mayor
Contoh: Semua binatang berjenis jantan dan betina (premis mayor) Sapi adalah binatang
(premis minor) Jadi, sapi berjenis jantan dan betina (kesimpulan)
2) Silogisme Hipotesis
Silogisme hipotesis merupakan bentuk silogisme yang terdiri atas premis mayor yang
berproposisi kondisional hipotesis. Pada silogisme hipotesis ini, bila premis mayornya
membenarkan anteseden, maka kesimpulannya akan membenarkan konsekuen. Bila premis
minornya menolak anteseden, maka kesimpulannya akan menolak konsekuen.
Contoh: Jika kertas dibakar, kertas akan hangus. Kertas dibakar. Jadi, kertas hangus. Jika
kertas dibakar, kertas akan hangus. Kertas tidak dibakar. Jadi, kertas tidak akan hangus.
3) Silogisme Alternatif
Silogisme alternatif ditandai dengan premis mayor alternatif. Jika premis minornya
membenarkan salah satu alternatif, kesimpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Contoh: Dia seorang guru atau pengusaha. Dia seorang guru. Jadi, dia bukan seorang
pengusaha. Dia seorang guru atau pengusaha. Dia bukan seorang guru. Jadi, dia seorang
pengusaha.
4) Entimen
Contoh: Semua peserta upacara ikut berbaris. Raehani adalah peserta upacara. Jadi, Raehani
ikut berbaris.
Dalam berkomunikasi sehari-hari, contoh silogisme di atas lebih banyak diungkapkan dalam
entimen demikian: “Raehani ikut berbaris karena peserta upacara.” atau “Karena sebagai
peserta upacara, Raehani ikut berbaris.”
2. Penalaran Induktif
A. Generalisasi
Generalisasi merupakan proses penalaran yang betumpu pada beberapa pernyataan yang
mempunyai sifat tertentu untuk menghasilkan kesimpulan umum.
Contoh: Jika dipanaskan, kawat memuai. Jika dipanaskan, tembaga memuai. Jika
dipanaskan, besi memuai. Jadi, jika dipanaskan, benda logam memuai.
B.Analogi
Analogi merupakan proses penalaran dengan cara membandingkan dua hal yang mempunyai
sifat yang sama atau yang memiliki kemiripan dalam hal-hal tertentu. Apa yang berlaku pada
hal yang satu akan berlaku juga pada hal yang lain karena dua hal tersebut memiliki
kemiripan.
Misalnya seorang pernah membeli jeruk. Waktu itu, dia harus memilih dengan saksama untuk
mendapatkan jeruk yang manis, bahkan harus mencicipinya pula. Akhirnya memang
mendapatkan jeruk yang manis dan dicermatilah karakter jeruk itu dari segi fisiknya. Kulit
jeruk agak kekuningan, teraba agak tipis dan sedikit lembek. Pada saat yang lain dia membeli
jeruk lagi. Kali ini tidak harus memilih jeruk dengan susah payah. Dia dapat menetapkan
jeruk di hadapannya itu manis atau masam hanya dengan menggunakan rujukan karakter
jeruk yang pernah dibelinya. Cara demikian berbentuk analogi.
C.Hubungan Kausal
Hubungan kausal adalah bentuk penalaran dengan cara mengaitkan gejala-gejala yang saling
berhubungan dalam hukum kausalitas. Penalaran dalam bentuk hubungan kausal ini dapat
bertolak dari sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab.
Misalnya, bila kita bakar kayu tentu akan muncul asap (sebab-akibat). Bila dari kejauhan kita
tahu ada asap membumbung ke angkasa, maka kita bisa menyimpulkan bahwa di bawahnya
terdapat api (akibat-sebab).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kesimpulan di atas dapat di simpulkan bahwa kerangka karangan merupakan suatu
rencana kerja yang mengandung ketentuan-ketentuan bagaimana caranya menyusun
karangan.
Cara penyusunan kerangka karangan mempunyai dua pola. Pertama, pola alamiah dan
kedua pola logis.
1. Karya ilmiah adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil
penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim
dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh
masyarakat keilmuan.
2. Penulisan karya ilmiah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas, tepat, formal
dan lugas dengan menggunakan kata dan istilah yang jelas dan tepat, kalimat yang
dan keringkasan.
4. Yang dimaksud dengan perwajahan adalah tata letak (lay out) yang berkaitan
dengan segi keindahan dan estetika naskah. Dalam hal ini dikemukakan secara
6. Penalaran deduktif merupakan proses berfikir dari pernyataan yang umum menuju
penalaran deduktif yaitu dari hal yang khusus menuju ke hal yang umum.
B. Saran
Dengan diselesaikannya makalah ini kami berharap makalah ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan pembaca. Selanjutnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran guna
peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ramlan, M. Kalimat, Konfungsi, Dan Repsisi Dalam Bahasa Indonesia Dalam Penulisan
Karangan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharta, 2008.
Syamrotul Fuadi, Deti. Bahasa Indonesia : Ringkasan dan Bank Soal. Bandung : Yroma
Widya 200
[1] Deti Syamrotul Fuadi, Bahasa Indonesia : Ringkasan Dan Bank Soal (Bandung : Yroma
Widya 2005), 244-245.
[2] Groys Keraf, Tata Bahasa Indonesia (Jakarta : Nusa Indah, 1997), 132.
[3] M. Ramlan, Kalimat, Konfungsi, Dan Repsisi Dalam Bahasa Indonesia Dalam Penulisan
Karangan (Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma, 2008), 158.
[4] Groys Keraf, Tata Bahasa Indonesia (Jakarta: Nusa Indah, 1997), 136-142.
[5] Yuni Pratiwi, Bahasa Dan Sastra Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2004), 56-59.
[6] M. Rahlan, Kalimat. Konjungsi Dan Reposisi Dalam Bahasa Indonesia Dalam Penulisan
Karangan (Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma, 2008) 160.
[7] Yuni Pratiwi, Bahasa Dan Sastra Indonesia (Jakarta : Erlangga,2004), 95-100.
[8] Deti Syamrotul Fuadi, Bahasa Indonesia, Ringkasan Dan Bank Soal (Bandung : Yrama
Widya 2005), 246.
(http://nurii-thaa.blogspot.com/2014/03/konsep-penalaran-ilmiah-dalam-
Rahardi, Kunjana. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga, 2009.
Revisi, Tim. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Kediri: Stain Press, 2009. Soeseno, Slamet.