Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MAKALAH

FARMAKOTERAPI II
“PATOFISIOLOGI, GEJALA KLINIK, STRATEGI TERAPI DAN
PENATALAKSANAAN TERAPI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS”

OLEH :
KELOMPOK 5
Khairina Herda 20160013
Lora nopita sari 20160015
Della Syafira Refsa 20160021
Vincencia putri dewa 20160026
Suci rahmadona 20160039
Fitri tumagfira 19160038

6 FARMASI 1
UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS
PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Penulis berterimakasih kepada Dosen Mata kuliah farmakoterapi 2 Universitas
Dharma Andalas yang telah memberikan tugas dengan judul biofarmaseutikal dan farmakokinetik
yaitu mengenai “patofisiologi, gejala klinik, strategi terapi dan penatalaksanaan terapi pada
penyakit ginjal kronis” sehingga penulis dapat memenuhi tugas ini dengan usaha yang sia-sia.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam penuntutan ilmu diperguruan tinggi khususnya pada mata kuliah

Banyak kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam membuat tugas mandiri ini tapi
dengan semangat dan kegigihan serta arahan, bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas mandiri ini dengan baik.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena
ketidaksempurnaan yang saya miliki.. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Padang, 18 maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................2

BAB I .........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN ......................................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG ......................................................................................................4

B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................4

C. TUJUAN ..........................................................................................................................4

BAB II ........................................................................................................................................5

PEMBAHASAN .........................................................................................................................5

A. PENGERTIAN .................................................................................................................5

B. ETIOLOGI .......................................................................................................................5

C. CKD KARENA INDUKSI OBAT....................................................................................7

D. PATOFISIOLOGI ............................................................................................................7

E. ANEMIA PENYAKIT GINJAL KRONIS ........................................................................9

F. PENYAKIT GINJAL KRONIS – GANGGUAN METABOLISME MINERAL DAN


TULANG .............................................................................................................................. 10

G. PRESENTASI KLINIS .................................................................................................. 12

H. PENGOBATAN CKD .................................................................................................... 14

I. TERAPI ......................................................................................................................... 15

BAB III ..................................................................................................................................... 32

PENUTUP ................................................................................................................................ 32

A. KESIMPULAN .............................................................................................................. 32

B. SARAN .......................................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 33


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
penyakit ginjal kronis merupakan kerusakan pada ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan dengan keadaan nilai GFR < 60 ml/min/1,73 m2. Pada penyakit ginjal kronis, ginjal
tidak mampu lagi mempertahankan dan melakukan fungsinya pada keadaan normal.
Kerusakan ginjal ini bersifat irreversible dan dalam kurun waktu yang lama, dapat
menyebabkan kerusakan lainnya pada organ tubuh.
Penyakit ginjal kronis umumnya disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu hipertensi dan
diabetes. Ketika terjadi cedera, nefron akan kehilangan massanya. Ketika kehilangan massa
nefron, maka terjadi penurunan nilai GFR, Sehingga akan diaktifkan renin yang akan
mengubah angiotensinogen menjadi AT1 dan ATII. Terjadi vasokonstriksi pada arteri
renalis, sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi.
Dalam pengobatan CKD, sebagiknya diobati terlebih dahulu penyebab yang mendasarinya.
Namun, jika tidak menunjukkan perbaikan, maka dapat dilakukan dialysis dan
transplantasi ginjal

B. RUMUSAN MASALAH
- Apa itu penyakit ginjal kronis?
- Apa penyebab penyakit ginjal kronis?
- Bagaimana patofisiologi penyakit ginjal kronis?
- Bagaimana presentasi klinis penyakit ginjal kronis?
- Bagaimana pendekatan terapi penyakit ginjal kronis?

C. TUJUAN
- Mengetahui penyakit ginjal kronis
- Mengetahui penyebab penyakit ginjal kronis
- Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal kronis
- Mengetahui presentasi klinis penyakit ginjal kronis
- Mengatahui pendekatan terapi penyakit ginjal kronis
BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Pengakit ginjal kronis (CKD) merupakan kelainan berupa menurunnya struktur dan fungsi
ginjal yang terjadi secara bertahap, dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.

B. ETIOLOGI
Glomerulus Filtration Rate (GFR) menggambarkan banyaknya ml darah yang disaring
oleh glomerulus per menit.
Pada fungsi ginjal normal, GFR adalah 100-120 mL/min/ 1,73 M2.

Penyakit CKD paling umum biasanya disebabkan oleh hipertensi dn diabetes. Penyakit lain
yang menjadi penyebab CKD sebagai berikut :

Laju filtrasi glomerulus (GFR) yang lebih rendah dan rasio albumin ke kreatinin urin yang
lebih tinggi/Uacr berkaitan dengan efek samping. Seseorang dikatakan menderita penyakit
CKD jika terjadi penurunan GFR dan terjadi kerusakan ginjal kategori 1 dan 2. Seperti
yang terlihat pada gambar berikut :
Prognosis CKD bergantung pada beberapa faktor :
- Penyebab penyakit ginjal
- GFR pada saat diagnosis
- Derajat albuminuria diukur dengan uACR
- Kondisi komorboid lainnya

Pasien dengan salah satu gejala ini, dapat dirujuk ke ahli nefrologi dan dilakukan
pemeriksaan kolaboratif seperti :

- Albuminuria persisten dan signifikan (Uacr >1000 mg/g atau 110 mg/mmol)
- Perkembangan CKD (penurunan GFR tetapi tidak akut)
- Adanya penyebab nonsurgical hematuria
- Hipertensi refrakter terhadap pengobatan (misalnya, > 4 agen antihipertensi)
- Kelainan kalium serum yang persisten
- Nefrolitiasis berulang atau ekstensif
- GFR kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2
- Penyakit ginjal herediter

Pasien dengan CKD stadium 3 sampai 5 beresiko berkembang menjadi penyakit gagal
ginjal.
C. CKD KARENA INDUKSI OBAT
1. Nefropati analgesic
Nefropati analgesik terjadi akibat kebiasaan menelan analgesik selama bertahun-
tahun. Khususnya, agen yang mengandung setidaknya dua analgesik antipiretik dan
biasanya kafein atau kodein umumnya dikaitkan dengan perkembangan penyakit
ini. Ini adalah penyakit ginjal tubulointerstitial yang ditandai dengan nekrosis
papiler ginjal sebagai lesi primer dan nefritis interstitial kronis sebagai lesi
sekunder. Pada presentasi, pasien mungkin mengalami penurunan eGFR dan
temuan yang konsisten dengan CKD, seperti peningkatan SCr, BUN, dan
proteinuria. Namun, selama nekrosis akut, pasien mungkin mengalami nyeri
panggul, piuria, dan hematuria.
Disfungsi ginjal ditandai sebagai nefropati pemborosan garam, dengan penurunan
substansial dalam konsentrasi urin dan kemampuan pengasaman urin. Mekanisme
yang tepat untuk kerusakan ginjal tidak pasti, tetapi diduga karena acetaminophen
menumpuk di medula ginjal, metabolit oksidatifnya yang dihasilkan oleh sistem
enzim sitokrom P-450 meduler dapat berikatan dengan makromolekul,
menyebabkan nekrosis seluler.
2. Nefropati litium
Kemampuan berkonsentrasi di dalam ginjal dan eGFR telah terbukti menurun
dengan penggunaan litium jangka panjang. Pasien dengan lithium nefropati
umumnya asimtomatik. Mereka biasanya hadir dengan penurunan fungsi ginjal
yang berbahaya selama bertahun-tahun, dan proteinuria biasanya tidak ada atau
minimal

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya kerusakan ginjal bergantung pada etiologi penyakit dan sangat
berkaitan erat dengan usia, jenis kelamin, dan ACR urin. CKD diabetes ditandai dengan
ekspansi mesangial glomerulus (lesi structural yang ditandai dengan proliferasi sel
mesangial yang menyimpang dan produksi protein matriks yang berlebihan pada ginjal),
sementara dengan nefrosklerosis hipertensi, arteriol ginjal memiliki hyalinosis arteriolar
(penebalan dinding arteri).
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan perkembangan dan perluasan kista ginjal.

Bagan mekanisme ginjal kronis


Patofisiologi :
- Ketika terjadi cedera akibat suatu pathogen, akan mengakibatkan kehilangan massa
dari nefron ginjal.
- Menanggapi penurunan fungsi nefron, nefron yang tersisa akan mengkompensasi
melalui proses autoregulasi
- Dengan hilangnya nefron dan mengakibatkan penurunan tekanan perfusi dan GFR,
pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular meningkat dan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang kemudian diubah menjadi angiotensin II
(ATII).
- ATII adalah vasokonstriktor kuat dari arteriol aferen dan eferen, yang menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam kapiler glomerulus, akibatnya terjadi peningkatan fraksi
fitrasi.
- Awalnya, tindakan kompensasi ini mungkin bersifat adaptif dan menguntungkan;
namun, seiring waktu dapat menyebabkan perkembangan hipertensi dan hipertrofi
intraglomerular dan penurunan lebih lanjut jumlah nefron yang berfungsi
Tekanan kapiler intraglomerular yang tinggi merusak fungsi ukuran-selektif dari
penghalang permeabilitas glomerulus, mengakibatkan peningkatan ekskresi albumin dan
proteinuria urin. Perkembangan hipertensi intraglomerular biasanya sejalan dengan
perkembangan hipertensi sistemik. ATII, serta aldosteron, juga dapat memediasi
perkembangan CKD melalui efek nonhemodinamik dengan meningkatkan faktor
pertumbuhan (misalnya, mengubah faktor pertumbuhan beta [TGF-β]) dan menyebabkan
proliferasi sel, sel epitel dan hipertrofi sel endotel glomerulus dan fibros.

Proteinuria dapat meningkatkan hilangnya nefron secara progresif sebagai akibat dari
kerusakan sel langsung. Protein yang disaring seperti albumin, transferin, faktor
komplemen, imunoglobulin, sitokin, dan ATII bersifat toksik bagi sel tubulus ginjal.
keberadaan protein ini di tubulus ginjal menyebabkan peningkatan produksi sitokin
inflamasi dan vasoaktif seperti endotelin dan monosit chemoattractant protein-1 (MCP-1).

Proteinuria juga terkait dengan aktivasi komponen komplemen pada membran apikal
tubulus proksimal. Aktivasi komplemen intratubular mungkin merupakan mekanisme
utama kerusakan progresif nefropati proteinuria. Selanjutnya, peristiwa ini pada akhirnya
menyebabkan jaringan parut interstitium, hilangnya unit nefron struktural secara progresif,
dan penurunan GFR.

E. ANEMIA PENYAKIT GINJAL KRONIS


Penyebab utama anemia PGK adalah penurunan produksi erythropoietin, hormon
glikoprotein yang diperlukan untuk erythropoiesis (produksi sel darah merah), oleh
fibroblas interstisial di korteks ginjal.
Pada fungsi ginjal normal, konsentrasi eritropoietin plasma meningkat secara eksponensial
sebagai respons terhadap hipoksia; namun, respons ini hilang seiring perkembangan
penyakit ginjal ke CKD 3 dan lebih tinggi
Anemia defisiensi besi umum terjadi pada individu dengan penyakit ginjal lanjut
yaitu, CKD 4 dan 5 karena terjadi penurunan penyerapan zat besi gastrointestinal,
peradangan, tes darah yang sering, kehilangan darah dari hemodialisis (HD), dan
peningkatan kebutuhan zat besi dari terapi erythropoiesis stimulating agent (ESA). Ini
adalah penyebab utama resistensi terhadap ESA dan hrus diberi asupan suplemen besi
Hepcidin, hormon yang diproduksi oleh hati, secara langsung menghambat protein
ferroportin yang mengangkut besi keluar dari sel penyimpanan. Ketika simpanan besi
tinggi, produksi hepcidin meningkat dan menghasilkan penurunan penyerapan besi usus,
gangguan daur ulang besi dari makrofag, dan penurunan mobilisasi simpanan besi dari
hepatosit. Produksi hepcidin juga diinduksi oleh peradangan atau infeksi. Akibatnya,
peningkatan hepcidin dalam kondisi peradangan dapat menyebabkan penyerapan zat besi
dan produksi sel darah merah yang tidak efektif. Sebaliknya, produksi hepcidin menurun
ketika simpanan besi rendah.
Faktor tambahan yang berkontribusi terhadap perkembangan anemia CKD adalah
penurunan masa hidup sel darah merah (dari normal 120 hari menjadi sekitar 60 hari pada
individu dengan CKD 5D), efek akumulasi toksin uremik dan sitokin inflamasi, vitamin
B12. dan defisiensi folat

F. PENYAKIT GINJAL KRONIS – GANGGUAN METABOLISME MINERAL DAN


TULANG
Gangguan metabolisme mineral dan tulang sering terjadi pada PGK dan termasuk kelainan
pada PTH, kalsium, fosfor, vitamin D, faktor pertumbuhan fibroblast-23 (FGF-23),
pergantian tulang, serta kalsifikasi jaringan lunak. Secara historis kelainan ini telah
digambarkan sebagai karakteristik hiperparatiroidisme sekunder (sHPT) dan osteodistrofi
ginjal (ROD).
Istilah CKD-MBD mencakup kelainan pada metabolisme mineral dan tulang serta
kalsifikasi terkait.
PATOFISIOLOGI :
- Saat fungsi ginjal menurun, terjadi penurunan eliminasi fosfat, yang menyebabkan
hiperfosfatemia dan penurunan konsentrasi kalsium serum.
- Hipokalsemia adalah stimulus utama untuk sekresi PTH oleh kelenjar paratiroid.
- Hiperfosfatemia juga meningkatkan sintesis dan pelepasan PTH melalui efek
langsungnya pada kelenjar paratiroid dan produksi prepro-PTH messenger RNA.
- Dalam upaya untuk menormalkan kalsium terionisasi, PTH meningkatkan reabsorpsi
kalsium oleh tubulus distal dan menurunkan reabsorpsi fosfat di tubulus proksimal
ginjal (setidaknya sampai GFR turun menjadi kira-kira 30 mL/menit/1,73 m2[0,29
mL/detik/m2]) dan juga meningkatkan mobilisasi kalsium dari tulang.
- Produksi FGF-23 dalam tulang juga meningkat sebagai respons terhadap kadar fosfat
yang tinggi dan peningkatan PTH serta mendorong ekskresi fosfat oleh ginjal.
- Hasilnya adalah normalisasi relatif kalsium dan fosfor, setidaknya pada tahap awal
CKD; namun, hal ini terjadi dengan mengorbankan peningkatan PTH dan FGF-23
(“hipotesis trade-off”)
- Peningkatan PTH paling menonjol ketika GFR kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2(0,58
mL/detik/m2) (CKD 3a dan lebih tinggi) dan memburuk pada penurunan fungsi ginjal
yang lebih lanjut.
- Dengan penyakit ginjal lanjut, ginjal gagal merespons PTH atau FGF-23 dan kelainan
kalsium dan fosfor memburuk. Seiring waktu, efek negatif dari hiperparatiroidisme
yang berkelanjutan pada tulang disadari saat resorpsi kalsium dari tulang berlanjut

25-dihidroksivitamin D3 atau calcitriol meningkatkan penyerapan kalsium dan fosfor di


usus yang membantu menormalkan kalsium terionisasi. Calcitriol juga bekerja langsung
pada kelenjar paratiroid untuk menekan produksi PTH. Enzim 1-α-hidroksilase
bertanggung jawab untuk hidroksilasi akhir dan konversi prekursor vitamin D, 25-
hidroksivitamin D atau 25(OH)D, menjadi kalsitriol di ginjal. Seiring perkembangan
penyakit ginjal, konsentrasi kalsitriol menurun karena hilangnya aktivitas 1-α-hidroksilase.
Kekurangan vitamin D yang dihasilkan menyebabkan berkurangnya kalsium usus dan
penyerapan fosfor dan memburuknya hiperparatiroidisme. Bertambah dalam FGF-23 juga
meningkatkan defisiensi kalsitriol.32Defisiensi kalsitriol umum pada individu dengan
CKD 4-5. Defisiensi 25(OH)D (kadar <30 ng/mL [75 nmol/L]) juga umum terjadi pada
individu dengan PGK karena penurunan sintesis vitamin D pada kulit, penurunan paparan
sinar matahari, dan penurunan asupan vitamin D.

PEMBENTUKAN VITAMIN D :

- Produksi vitamin D aktif membutuhkan konversi 7-dehydrocholesterol menjadi


cholecalciferol (vitamin D3) oleh sinar matahari, diikuti oleh langkah hidroksilasi
pertama di hati untuk membentuk 25-hidroksivitamin D3 atau 25(OH)D3, dan langkah
konversi terakhir di ginjal untuk membentuk 1,25- dihidroksivitamin D3 atau kalsitriol.
- Di dalam ginjal vitamin D juga dapat diubah menjadi bentuk tidak aktif 24,25(OH)D3.
- Jika NVD diberikan, senyawa yang dihasilkan akan menjadi senyawa D2 (seperti
dengan ergocalciferol) atau senyawa D3 (seperti dengan cholecalciferol).
- Paricalcitol dan doxercalciferol adalah analog vitamin D. (DBP, protein pengikat
vitamin D; NVD, nutrisi vitamin D; VDR, reseptor vitamin D.

Morbiditas dan mortalitas pasien CKD meningkat pada individu dengan baik hipo- dan
hiperparatiroidisme berat.34Peningkatan fosfor serum, bahkan dalam batas atas kisaran
normal, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian KV dan/atau mortalitas (semua
penyebab atau mortalitas KV) pada pasien dengan CKD 3-5. Warfarin menghambat protein
matriks Gla, yang merupakan protein yang bergantung pada vitamin K yang mencegah
pengendapan kalsium di arteri, dan karenanya dapat mempromosikan kalsifikasi vaskular
pada individu yang berisiko.Asupan kalsium dari pengikat berbasis kalsium juga dapat
menyebabkan kalsifikasi arteri coroner.

G. PRESENTASI KLINIS
Penyakit CKD sering muncul tanpa gejala, karena itulah pasien CKD baru terdiagnosis
setelah memasuki stadium 4 atau 5 dan sudah berada pada titik terapi penggantian ginjal.

1. Pertimbangan diagnostic untuk anemia penyakit ginjal kronis


Gejala :
gejala yang sering terjadi yaitu kelelahan, sesak napas, intoleransi dingin, nyeri
dada, kesemutan di ekstremitas, takikardia, sakit kepala, dan malaise umum.
Pemeriksaan :
 Evaluasi labor diperlukan untuk diagnose awal anemia CKD
 Konsentrasi Hb harus diukur setidaknya setiap 3 bulan, setiap tahun pada
CKD stasium 3 dan 2 kali setahun pada CKD stadium 4-5
 Diagnosis anemia ditegakkan dan pemeriksaan anemia lebih lanjut
diperlukan bila Hb kurang dari 13 g/dL (130 g/L; 8,07 mmol/L) untuk pria
dewasa dan kurang dari 12 g/dL (120 g/L; 7,45 mmol/L) untuk wanita
dewasa.
 Karena kekurangan zat besi adalah penyebab utama resistensi terhadap
pengobatan anemia dengan ESA, penilaian status zat besi diperlukan.
 TSat memberikan informasi tentang zat besi yang segera tersedia untuk
digunakan di sumsum tulang untuk produksi sel darah merah dan feritin
serum merupakan pengukuran tidak langsung dari penyimpanan zat besi.

Pemeriksaan tambahan :

 Pemeriksaan tambahan bertujuan untuk mengevaluasi penyebab anemia


lainnya seperti kehilangan darah, kekurangan vitamin D12 atau folat, dan
penyakit lainnya yang berkontribusi pada anemia.

2. Pertimbangan diagnostic untuk penyakit ginjal kronik gangguan metabolisme


mineral dan tulang
 Gejala CKD-MBD tidak terlihat sampai terjadi kerusakan tulang yang
signifikan.
 Abnormalitas biokimia dari CKD-MBD yang umumnya terdapat pada
pasien dengan CKD termasuk perubahan serum fosfor, kalsium, PTH,
25(OH)D, 1,25(OH)2 D3atau kalsitriol, dan FGF-23.

Pemeriksaan :

 Pada pasien dengan CKD 3-5D, disarankan dilakukan pengukuran kadar


25(OH)D
 Tes standar emas untuk mendiagnosis manifestasi tulang CKD-MBD
adalah biopsi tulang untuk analisis histologis

H. PENGOBATAN CKD
Pendekatan umum pengobatan CKD :
a. Nonfarmakologi
 Olahraga 30 menit 5 x per minggu
 Menurunkan BB jika BMI > 25 KG/M2
 Berhenti merokok
 Alcohol : 2 minuman perhari untuk pria dan 1 minuman perhari untuk
wanita
 Jika hipertensi, lakukan diet sodium (<2 g/ hari, <90 mmol/hari)

b. Farmakologi
 Sesuaikan obat dengan fungsi ginjal
 Konsultasikan sebelum menggunakan obat-obatan atau suplemen nutrisi
 Obat herbal tidak dianjurkan
 Hentikan sementara obat yang berpotensi nefrotoksik/dieksresi ginjal jika
eGFR <60 mL/menit/1,73 m2 pada pasien yang tidak sehat secara akut atau
hipovolemik ( misalnya metformin, penghambat RAAS, diuretic,
NSAID/COX II inhibitor, litium, digoksin)
 Vaksin
 Influenza tahunan
 Vaksin pneumokokus jika eGFR <30 mL/menit/1,73 m2, sindrom nefrotik,
diabetes, atau menerima imunosupresi.
 Vaksin hepatitis B jika eGFR eGFR <30 mL/menit/1,73 m2
 ASA disarankan untuk pasien yang pernah mengalami aterosklerotik
kecuali ada peningkatan risiko pendarahan

I. TERAPI
1. TERAPI CKD
a) Non farmakologi
 Diet
 Ubah gaya hidup

b) Farmakologi
I. Proteinuria
1) ACEI DAN ARB
Memiliki efek antiproteinurik. Merupakan terapi lini
pertama jika eksresi albumin urin berada dalam kategori A2
atau lebih (uACR >30 mg/g; 3,4 mg/mmol).
Untuk penderita hipertensi, tujuan utamanya adalah
mencapai target tekanan darah sedangkan tujuan
sekundernya adalah mengontrol proteinuria.
Rekomendasi dosis khusus untuk ACEI dan ARB untuk
pengobatan proteinuria belum ditetapkan, sehingga dosis ini
dimulai dari dosis terendah dan ditingkatkan sampai
albuminuria berkurang 30% sampai 50% atau efek samping
seperti penurunan eGFR lebih dari 30% atau peningkatan
kalium serum terjadi.
Dosis :
Kurangnya respons beberapa pasien terhadap terapi ACEI
atau ARB mungkin disebabkan oleh pelepasan aldosteron
dari blokade sistem renin-angiotensinaldosteron (RAAS).
Terapi kombinasi dengan ACEI plus ARB atau direct renin
inhibitor (aliskiren) menghasilkan blokade RAAS yang
lebih lengkap dan hasilnya penurunan makroalbuminuria
yang lebih besar.

2) Penghambat transpor 2-glukosa natrium (SGLT-2)


Menunjukkan hasil yang besar dalam penghambatan
perkembangan CKD dengan penurunan glukosa. Dengan
mengurangi reabsorpsi glukosa dan natrium di tubulus
proksimal ginjal, agen ini menurunkan hiperfiltrasi
glomerulus dan mengurangi hipertensi glomerulus.
 Canagliflozin 100 mg/hari

3) Agen lain
 Dihydropyridine calcium channel blokers(CCBs)
menurunkan resiko yang disebabkan oleh penurunan
tekanan darah
 Agen nondihydropyridine (diltiazem dan verapamil), telah
menghasilkan efek menguntungkan pada proteinuria,
meskipun tidak sebesar ACEI
 CCB nondihydropyridine harus dianggap sebagai obat
antiproteinurik lini kedua atau ketiga ketika ACEI atau ARB
dikontraindikasikan atau tidak

II. Hipertensi
 pasien dengan riwayat diabetes, proteinuria kategori A3
didefinisikan sebagai proteinuria lebih dari atau sama
dengan 1 g/24 jam atau albuminuria lebih dari atau sama
dengan 600 mg/24 jam, penyakit ginjal polikistik, atau
riwayat stroke dikeluarkan

III. diabetes
 Pasien dengan diabetes harus diskrining setiap tahun untuk
CKD dimulai pada saat diagnosis diabetes tipe 2 dan 5 tahun
setelah diagnosis diabetes tipe 1 dengan menjalani kreatinin
serum, eGFR, dan uACR.
 Penatalaksanaan diabetes pada pasien CKD meliputi
pengurangan proteinuria dan pencapaian tekanan darah yang
diinginkan dan HbA1c. Target HbA1c pada populasi pasien
ini harus 7% (0,07; 53 mmol/mol Hb); namun, dokter dapat
mempertimbangkan target lebih besar dari 7% (0,07; 53
mmol/mol Hb) jika ada risiko hipoglikemia atau harapan
hidup yang terbatas.
 pengukuran HbA1C didasarkan pada perkiraan masa hidup
sel darah merah selama 120 hari. Di CKD, rentang masa
hidup sel darah merah menurun, sehingga nilai HbA1c
mungkin rendah. Oleh karena itu, pada pasien dengan CKD,
HbA1c harus diinterpretasikan bersamaan dengan
pembacaan glukosa darah.
 pasien dengan CKD 3 dan 4 berisiko lebih tinggi mengalami
hipoglikemia karena penurunan metabolisme insulin oleh
ginjal saat GFR menurun. Akibatnya, pasien ini mungkin
memerlukan pengurangan dosis agen hipoglikemik oral atau
injeksi.
 Metformin merupakan lini pertama untuk pasien diabetes
tipe 2 dan CKD. Metformin dapat dimulai dan/atau
dilanjutkan individu dengan eGFR lebih besar dari atau sama
dengan 45 mL/menit/1,73 m2. Tidak dianjurkan untuk
memulai metformin pada pasien dengan eGFR antara 30 dan
44 mL/menit/1,73 m2
 Metformin dikontraindikasikan pada individu dengan eGFR
kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2dan harus dihentikan
sementara

2. TERAPI HEMOGLOBIN DAN PENGGUNAAN AGEN STIMULASI


ERYTHROPOIESIS
a) Terapi hemoglobin
 Pedoman NKF K/DOQI merekomendasikan target 11 hingga 12
g/dL untuk hemoglobin pada pasien CKD yang menerima terapi
ESA. Pedoman NKF K/DOQI merekomendasikan target 11 hingga
12 g/dL untuk hemoglobin pada pasien CKD yang menerima terapi
ESA
 Status besi GB harus dievaluasi terlebih dahulu, dan diperbaiki jika
diperlukan. Jika mencapai status zat besi yang memadai tidak
memperbaiki manajemen anemia, terapi ESA dapat dimulai
 Kekurangan zat besi adalah penyebab utama hiporesponsif ESA.
penilaian status besi sangat penting sebelum memulai terapi
erythropoietic.
 TSAT dianggap sebagai besi tersedia untuk produksi sel darah
merah. Ferritin serum adalah penanda cadangan besi, yang disimpan
terutama dalam sistem retikuloendotelial (misalnya, hati, limpa)
 Tujuan dari terapi penggantian zat besi adalah untuk
mempertahankan TSAT lebih besar dari 20% dan feritin serum lebih
besar dari 100 ng/mL untuk CKD tahap 2 sampai 4 dan lebih besar
dari 200 ng/mL untuk CKD tahap 5 untuk menyediakan zat besi
yang cukup untuk produksi eritrosit
 Defisiensi zat besi fungsional dapat terjadi ketika ferritin lebih besar
dari 500 ng/mL, TSAT kurang dari 20%
 Jika GB kekurangan zat besi, dan terapi erythropoietik tidak
memadai, maka diperlukan terapi zat besi IV. Sediaan besi IV yang
saat ini tersedia adalah besi dekstran (INFeD, DexFerrum),
kompleks natrium besi glukonat dalam sukrosa (Ferrlecit), besi
sukrosa (Venofer), dan ferumoxytol (Feraheme). Sodium ferric
gluconate dan besi sukrosa adalah produk besi yang paling banyak
digunakan pada populasi CKD.
Dosis
- Dosis besi IV untuk perbaikan defesiensi besi absolut yaitu
dosis total 1 g yang diberikan dalam dosis terbagi atau untuk
jangka waktu lama.

i. iron dextran
untuk iroin dextran, dosis yang disetujui adalah peningkatan 100
mg, diberikan selama 10 sesi dialisis untuk pasien HD dengan total
1 g. Dosis yang lebih besar dari 500 mg hingga dosis total 1 g selama
periode infus yang lebih lama yaitu 4 hingga 6 jam.
ii. Ferri glukonat dan produk besi sukrosa
digunakan pada pasien yang mengalami reaksi alergi terhadap
produk dekstran.
Dosis :
- Untuk dosis total 1 g, ferri glukonat diberi 125 mg selama 8 sesi
dialysis berturut-turut. 2Pemberian 125 mg selama 10 menit (tanpa
dosis uji) ditetapkan sebagai alternatif yang lebih aman untuk preparat
dekstran pada pasien HD dan merupakan strategi pemberian dosis
yang disetujui
- Dosis sukrosa besi yang dianjurkan adalah 100 mg (5 mL) selama 10
sesi HD berturut-turut untuk memberikan dosis total 1 g.
- Dosis besi sukrosa 250 sampai 300 mg telah aman diberikan selama 1
jam dan terbukti sama efektifnya dengan pemberian natrium besi
glukonat dalam mempertahankan hemoglobin pada pasien yang
menerima epoetin
- Dosis besi IV yang lebih kecil, dengan peningkatan 25 sampai 200
mg, dapat diberikan setiap minggu, setiap 2 minggu, atau setiap bulan,
untuk pasien tanpa defisiensi besi absolut. Dosis ini akan
mempertahankan simpanan besi yang adekuat, mempertahankan nilai
hemoglobin target, dan berpotensi mengurangi dosis agen eritropoetik
yang diperlukan

iii. Ferumoxytol (Feraheme)


 kandungan besi bebas yang kecil dalam formulasi ini
memungkinkan pemberian dosis 510 mg dengan aman selama 17
detik, diikuti dengan injeksi IV 510 mg kedua 3 sampai 8 hari
kemudian.
 pasien dengan CKD (tahap 1-5) menunjukkan efektivitas superior
ferumoxytol dalam meningkatkan kadar hemoglobin pada pasien
CKD dibandingkan dengan besi oral.

b) Terapi agen stimulasi arythropoiesis


Dialisis secara teratur dapat memperbaiki kondisi anemia, tetapi tidak akan
mengembalikan konsentrasi hemoglobin menjadi normal karena penyebab
utama anemia adalah berkurangnya produksi EPO oleh ginjal.
transfusi darah pernah menjadi andalan pengobatan, sekarang dihindari,
karena dikaitkan dengan risiko penyakit virus (hepatitis, human
immunodeficiency virus [HIV]), kelebihan zat besi, dan penekanan
eritropoiesis lebih lanjut.
Saat ini GB bukan kandidat untuk transfusi berdasarkan hemoglobinnya 9,3
g/dL dan tidak adanya gejala yang signifikan pada presentasi. Androgen
meningkatkan konsentrasi EPO dan sebelumnya digunakan untuk
mengobati anemia CKD. Namun, respon erythropoietic tidak konsisten,
banyak efek samping, dan ketersediaan EPO rekombinan telah
menghentikan penggunaan androgen sebagai pengobatan anemia

i. HUMAN ERYTHROPOETIN-EPOETIN ALFA


Epoetin alfa (Epogen, Procrit) merupakan pengobatan yang efektif
untuk anemia dan secara substansial mengurangi kebutuhan akan
transfusi sel darah merah.
Epoetin alfa merangsang proliferasi dan diferensiasi sel progenitor
eritroid, meningkatkan sintesis hemoglobin, dan mempercepat
pelepasan retikulosit dari sumsum tulang.
 epoetin alfa umumnya diberikan melalui injeksi subkutan

dosis :
 Dosis awal pemberian epoetin alfa adalah 50 hingga 100
unit/kg tiga kali seminggu.
 Untuk pasien yang diubah dari pemberian IV ke SC (waktu
paruh epoetin alfa adalah 8,5 jam IV vs. 24,4 jam SC) yang
hemoglobinnya berada dalam kisaran target, dosis SC
biasanya dua pertiga dosis IV
 Untuk pasien yang belum mencapai target hemoglobin,
dianjurkan dosis SC setara dengan dosis IV
 Untuk pasien CKD yang tidak menjalani dialysis, Dosis
10.000 unit sekali seminggu hingga 40.000 unit setiap 4
minggu telah terbukti mempertahankan nilai target
hemoglobin

ii. DARBEPOETIN ALFA


Dosis 10.000 unit sekali seminggu hingga 40.000 unit setiap 4
minggu telah terbukti mempertahankan nilai target hemoglobin
Darbepoetin adalah analog hiperglikosilasi dari epoetin alfa yang
merangsang eritropoiesis dengan mekanisme yang sama
Dosis :
 Untuk CKD tahap 3 dan 4 (lini), dosis awal SC 0,45 mcg/kg
yang diberikan sekali seminggu dan 0,75mcg/kg sekali
setiap minggu
 Dosis awal darbepoetin alfa yang disetujui pada pasien yang
sebelumnya tidak menerima terapi epoetin adalah 0,45
mcg/kg diberikan baik IV atau SC sekali seminggu
 Untuk pasien yang menerima epoetin alfa 2 sampai 3 kali
per minggu, darbepoetin alfa dapat diberikan sekali
seminggu.
 Pasien yang menerima epoetin alfa sekali seminggu
harus menerima darbepoetin alfa setiap 2 minggu sekali.
 Resistensi terhadap terapi erythropoietic telah diamati
pada pasien yang menerima inhibitor ACE
 Pasien dengan nilai hemoglobin kurang dari 10 g/dL,
seperti GB, adalah kandidat terbaik untuk terapi
erythropoietic.

Meskipun pemberian zat besi saja dapat memperbaiki anemianya,


epoetin alfa atau darbepoetin alfa mungkin diperlukan, berdasarkan
tingkat keparahan anemianya dan sifat penyakit ginjalnya yang
progresif.

GB dapat memulai epoetin alfa dengan dosis 6.000 unit (∼ 100


unit/kg) diberikan SC sekali seminggu atau dibagi menjadi dua dosis
mingguan 3.000 unit, dengan asumsi status besinya sesuai (lihat
bagian Status Besi). Pilihan lainnya adalah darbepoetin alfa yang
diberikan dengan dosis 25 mcg (0,45 mcg/kg) SC sekali seminggu
c) AGEN ESA LAINNYA
i. Aktivator reseptor eritropoietin berkelanjutan (CERA)
Waktu paruh eliminasi CERA lebih lama dari EPO, sehingga
memungkinkan pemberian dosis dua minggu sekali dan sekali
sebulan.
ii. Peginesatide
Peginesatide (Hematide) adalah peptida eritropoietin-mimetik
sintetik. Peginesatide diberikan setiap bulan dan dapat memperbaiki
anemia pada pasien dengan aplasia sel darah merah murni.

3. KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
Hipertensi dikaitkan dengan LVH, penyakit jantung iskemik, dan gagal
jantung, yang semuanya merupakan faktor penyebab kematian secara keseluruhan
pada pasien CKD stadium 5 yang menjalani dialysis. Anemia berkontribusi besar
terhadap perkembangan LVH dan juga gagal jantung.
Faktor tambahan yang meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular dan
mortalitas pada HB termasuk peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida serta
hipoalbuminemia (albumin serum, 3,0 g/dL).

Terapi antihipertensi :

Terapi antihipertensi harus digunakan bersamaan dengan terapi dialisis pada HB


untuk menargetkan tekanan darah kurang dari 140/90 mm Hg sebelum HD dan
kurang dari 130/80 mm Hg setelah HD.

a) diuretik
 Diuretik umumnya digunakan pada pasien pada tahap awal CKD. ,
efektivitas diuretik bergantung pada jumlah natrium yang dikirim ke tempat
kerjanya di tubulus ginjal dan pada fungsi ginjal pasien.
 penurunan eGFR dari 125 menjadi 25 mL/menit/ 1,73 m2, secara teoritis,
dapat mengakibatkan penurunan sekitar 80% dalam jumlah natrium yang
disaring. eGFR yang semakin menurun, akan menurunkan efektivitas dari
diuretic atau tiazid. Diuretik hemat kalium juga tidak efektif dan dapat
meningkatkan risiko hiperkalemia.
 Diuretik loop (misalnya, furosemide), yang berfungsi lebih proksimal,
diindikasikan pada pasien dengan CKD stadium 4 (eGFR 15 hingga
29mL/menit/1,73m)

b) Ca channel blocker
adalah agen antihipertensi yang efektif pada pasien dengan CKD. Karena
agen nondihydropyridine (yaitu, diltiazem, verapamil) memiliki efek
kronotropik dan inotropik negatif, mereka harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan penyakit jantung.

4. GANGGUAN MINERAL DAN TULANG


a) Pembatasan asupan fosfor
pembatasan fosfor diet dapat mencegah hiperfosfatemia dan
mempertahankan konsentrasi fosfor target. Makanan fosfor tidak boleh
melebihi 800 hingga 1.000 mg/hari
b) Agen pengikat fosfat
Agen pengikat fosfat membatasi penyerapan fosfor dari saluran GI dengan
mengikat fosfor yang ada dari sumber makanan.
i. Preparat yang mengandung kalsium
kalsium karbonat dan kalsium asetat, sering digunakan untuk
mencegah hiperfosfatemia pada pasien penyakit ginjal. Jika pasien
mengalami hiperkalsemia atau bukti kalsifikasi lanjut, pasien harus
dialihkan ke pengikat fosfat berbasis nonkalsium.
ii. Sevelamer
Sevelamer hidroklorida (Renagel) atau karbonat (Renvela) adalah
produk berbasis polimer yang tidak diserap yang mengikat fosfor
dalam saluran GI.
Dosis :
- Hidroklorida Sevelamer tersedia dalam bentuk tablet 400 mg
dan 800 mg.
- Karbonat Sevelamer tersedia dalam bentuk tablet 800 mg
dan paket bubuk 0,8 g.
- 800 mg sevelamer dianggap setara dengan 667 mg kalsium
asetat (169 mg unsur kalsium).
iii. Karbonat lanthanum
Lantanum karbonat (Fosrenol) adalah pengikat fosfat yang baru
disetujui yang menawarkan opsi lain untuk preparat nonkalsium dan
nonaluminium.
Dosis :
- Lanthanum disediakan sebagai tablet kunyah untuk
pemberian oral dalam empat kekuatan: 250, 500, 750, dan
1.000 mg.
- Dosis harian total awal yang direkomendasikan adalah 750
hingga 1.500 mg diberikan dengan makanan
- Dosis titrasi hingga dosis maksimal 3.000 mg setiap hari
harus didasarkan pada kadar fosfat serum.

1Interaksi obat dengan lantanum termasuk pengurangan


bioavailabilitas ciprofloxacin (∼ pengurangan 50%) dan
levothyroxine.

c) Vitamin D
i. Vitamin D asli
Vitamin D terjadi secara alami sebagai ergocalciferol (vitamin D2)
diperoleh dari sumber makanan dan sebagai cholecalciferol (vitamin
D3) diperoleh dari sumber makanan dan diaktifkan di kulit oleh
sinar matahari pada mamalia, keduanya merupakan prekursor tidak
aktif dari bentuk aktif vitamin D.
respons terhadap vitamin D2 dan D3 pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dapat bervariasi, tergantung pada derajat disfungsi
ginjal dan kemampuan ginjal untuk memetabolisme 25-
hidroksivitamin D menjadi kalsitriol. Penurunan kadar 25-
hidroksivitamin D terjadi pada tahap awal CKD,
Perubahan metabolisme vitamin D yang terjadi pada populasi ini
membutuhkan pengukuran 25-hidroksivitamin D dan suplementasi
dengan prekursor vitamin D, seperti ergocalciferol atau
cholecalciferol.
Terapi oral dengan vitamin D aktif (oral calcitriol) atau analog (oral
doxercalciferol) mungkin diperlukan hanya bila PTH tetap
meningkat meskipun kadar 25-hidroksivitamin D normal
ii. Vitamin D aktif
Kalsitriol
Pemberian vitamin D aktif, bersama dengan kontrol serum fosfor
dan kalsium, diperlukan pada banyak pasien CKD untuk mengelola
CKD-MBD.
Calcitriol tersedia sebagai formulasi oral (Rocaltrol) atau formulasi
IV (Calcijex).

Dosis :
- Pemberian kalsitriol melalui rute oral atau IV dapat
didasarkan pada dosis konvensional (biasanya 0,25 sampai
0,5 mcg/ hari) atau dosis nadi (dosis intermiten 0,5 sampai
2,0 mcg dua sampai tiga kali per minggu).
- Dosis yang lebih tinggi (misalnya, 4 mcg tiga kali per
minggu) umumnya diperlukan untuk mengurangi sekresi
PTH pada sHPT (PTH) yang lebih parah>1.000 pg/mL).
- Dosis harian 0,25 sampai 0,5 mcg mungkin lebih disukai
pada pasien dengan hipokalsemia
- Penyesuaian dosis kalsitriol umumnya dibuat dalam 0,5-
hingga Peningkatan 1,0 mcg setiap 2 sampai 4 minggu pada
tahap awal terapi sampai iPTH dan kalsium serum
dipertahankan pada tingkat target

Paricalcitol

Pada pasien dengan sHPT, paricalcitol secara signifikan


menurunkan iPTH tanpa meningkatkan kalsium atau fosfor secara
signifikan.

- Dosis awal paricalcitol IV adalah 0,04mcg/kg hingga


0,1mcg/kg (2,8–7mcg) yang diberikan pada setiap sesi
dialisis atau dua hari sekali
- Kapsul paricalcitol oral tersedia dalam tiga kekuatan (1, 2,
dan 4 mcg) diberikan setiap hari atau tiga kali seminggu.
Dosis awal harus 1 mcg setiap hari atau 2 mcg tiga kali
seminggu jika kadar iPTH awal adalah 500 pg/mL atau
kurang, dan 2 mcg setiap hari atau 4 mcg tiga kali mingguan
jika iPTH lebih besar dari 500 pg/mL

Doxercalciferol

Doxercalciferol memiliki efek yang sama pada PTH seperti


analog vitamin D lainnya; Namun, itu meningkatkan fosfor dan
kalsium ke tingkat yang lebih besar daripada paricalcitol.

- Doxercalciferol tersedia sebagai kapsul dan injeksi IV.


Dosisnya adalah 4mcg IV atau 10 mcg secara oral tiga kali
seminggu dengan HD
- Dosis awal doxercalciferol yang direkomendasikan untuk
pasien dialisis adalah 4 mcg IV atau 10 mcg oral tiga kali per
minggu dengan dosis titrasi berdasarkan perubahan iPTH

Kalkimimetik

kalkimimetik Agen calcimimetic meningkatkan sensitivitas


calciumsensing receptor (CaSR) terhadap ion kalsium
ekstraseluler dan menghambat pelepasan PTH, menurunkan
kadar PTH dalam beberapa jam setelah pemberian.

- Cinacalcet calcimimetic adalah agen pertama di kelas ini


yang disetujui oleh FDA untuk mengobati
hiperparatiroidisme sekunder pada penyakit ginjal stadium
akhir
- Cinacalcet telah terbukti menjadi agen yang efektif untuk
mengurangi dan mempertahankan iPTH dalam konsentrasi
target pada pasien HD.
- Cinacalcet harus dimulai dengan dosis 30 mg setiap hari,
dengan titrasi dosis terjadi setiap 2 sampai 4 minggu sampai
60, 90, 120, atau maksimal 180 mg setiap hari untuk
mencapai target kadar iPTH.
- Efek sampingnya berupa mual dan muntah
- Jika kalsium serum turun di bawah 7,5 mg/dL dan dikaitkan
dengan gejala hipokalsemia dan vitamin D tidak dapat
ditingkatkan lebih lanjut, cinacalcet harus ditahan sampai
kalsium serum 8,0 mg/dL atau pasien tidak menunjukkan
gejala

Paratioidektomi

Kelenjar paratiroid membesar sebagai respon kompensasi terhadap


gangguan metabolisme fosfor, kalsium, dan kalsitriol pada pasien
CKD. Pemberian vitamin D dapat mencegah hyperplasia paratiroid.

5. KOMPLIKASI LAIN
a. Abnormalitas endokrin oleh uremia
Gangguan fungsi tiroid sering dijumpai pada pasien PGK karena ginjal terlibat
dalam semua aspek metabolisme hormon tiroid perifer. Abnormalitas endokrin lain
yang diamati pada pasien PGK meliputi disfungsi gonad yang menyebabkan
impotensi, ukuran testis yang mengecil, abnormalitas menstruasi, dan penghentian
ovulasi
b. Komplikasi GI
Kelainan gastrointestinal sangat umum pada pasien dengan CKD dan termasuk
anoreksia, mual, muntah, cegukan, sakit perut, perdarahan GI, diare, dan sembelit.
Motilitas lambung yang berkurang dapat terjadi akibat uremia
c. Komplikasi neurologis
Gangguan pada sistem saraf pusat (SSP) yang terjadi pada pasien yang menerima
dialisis disebut secara kolektif sebagai neuropati uremik. Akumulasi toksin uremik,
demensia vaskular, hipoperfusi serebral, dan silent stroke berulang mempengaruhi
pasien dialisis untuk beberapa komplikasi neurologis.
d. Komplikasi dermatologi
Beberapa kelainan kulit telah diamati pada pasien dengan CKD, termasuk
hiperpigmentasi, keringat abnormal, kulit kering, dan pruritus persisten. Ini,pruritus
uremikdapat menjadi yang paling mengganggu bagi pasien dan dapat menyebabkan
garukan berulang dan ekskoriasi kulit. Hiperparatiroidisme, hipervitaminosis A,
dan proliferasi sel mast dermal dengan pelepasan histamin selanjutnya diduga
sebagai penyebab pruritus
e. Penyakit glomerular
 Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria lebih dari 3,5 g/ hari,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Pada kondisi yang lebih
parah, kondisi hiperkoagulasi adalah meningkat dari hilangnya protein
kontrol hemostasis, termasuk antitrombin III, protein S, dan protein C.
Sindrom ini dapat terjadi dengan atau tanpa perubahan laju filtrasi
glomerulus
 Glomerulonefritis.
 Nefritis lupus
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronis merupakan kerusakan yang terjadi pada struktur dan fungsi ginjal
yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronis ditandai dengan
menurunan nilai GFR <60 ml/min/1,73 m2. Penyebab utama penyakit ginjal kronis adalah
hipertensi dan diabetes. Terapi Penyakit ginjal kronis dapat dilakukan dengan
menghilangkan terlebih dahulu penyebab yang mendasarinya, jika tidak memungkinkan,
dapat dilakukan dialysis dan transplantasi

B. SARAN
Setelah mempelajari makalah ini, diharapkan :
- Telah memahami patofisiologi, etiologi dari penyakit ginjal kronis
- Telah memahami penatalaksanaan penyakit ginjal kronis
DAFTAR PUSTAKA
Alldregre, Brian Kimble, dkk. 2001. Applied Therapeutics “the clinical use of drug”. California
: wolters Kluwer health

Dipiro, Joseph. dkk. 2020. Pharmacoterapy elevent edition. Canada : Mc Graw Hill

Anda mungkin juga menyukai