FARMAKOTERAPI II
“PATOFISIOLOGI, GEJALA KLINIK, STRATEGI TERAPI DAN
PENATALAKSANAAN TERAPI PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS”
OLEH :
KELOMPOK 5
Khairina Herda 20160013
Lora nopita sari 20160015
Della Syafira Refsa 20160021
Vincencia putri dewa 20160026
Suci rahmadona 20160039
Fitri tumagfira 19160038
6 FARMASI 1
UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS
PADANG
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang
sangat sederhana. Penulis berterimakasih kepada Dosen Mata kuliah farmakoterapi 2 Universitas
Dharma Andalas yang telah memberikan tugas dengan judul biofarmaseutikal dan farmakokinetik
yaitu mengenai “patofisiologi, gejala klinik, strategi terapi dan penatalaksanaan terapi pada
penyakit ginjal kronis” sehingga penulis dapat memenuhi tugas ini dengan usaha yang sia-sia.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam penuntutan ilmu diperguruan tinggi khususnya pada mata kuliah
Banyak kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi dalam membuat tugas mandiri ini tapi
dengan semangat dan kegigihan serta arahan, bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulis
mampu menyelesaikan tugas mandiri ini dengan baik.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena
ketidaksempurnaan yang saya miliki.. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
BAB I .........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................4
C. TUJUAN ..........................................................................................................................4
BAB II ........................................................................................................................................5
PEMBAHASAN .........................................................................................................................5
A. PENGERTIAN .................................................................................................................5
B. ETIOLOGI .......................................................................................................................5
D. PATOFISIOLOGI ............................................................................................................7
I. TERAPI ......................................................................................................................... 15
PENUTUP ................................................................................................................................ 32
A. KESIMPULAN .............................................................................................................. 32
B. SARAN .......................................................................................................................... 32
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
penyakit ginjal kronis merupakan kerusakan pada ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan dengan keadaan nilai GFR < 60 ml/min/1,73 m2. Pada penyakit ginjal kronis, ginjal
tidak mampu lagi mempertahankan dan melakukan fungsinya pada keadaan normal.
Kerusakan ginjal ini bersifat irreversible dan dalam kurun waktu yang lama, dapat
menyebabkan kerusakan lainnya pada organ tubuh.
Penyakit ginjal kronis umumnya disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu hipertensi dan
diabetes. Ketika terjadi cedera, nefron akan kehilangan massanya. Ketika kehilangan massa
nefron, maka terjadi penurunan nilai GFR, Sehingga akan diaktifkan renin yang akan
mengubah angiotensinogen menjadi AT1 dan ATII. Terjadi vasokonstriksi pada arteri
renalis, sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi.
Dalam pengobatan CKD, sebagiknya diobati terlebih dahulu penyebab yang mendasarinya.
Namun, jika tidak menunjukkan perbaikan, maka dapat dilakukan dialysis dan
transplantasi ginjal
B. RUMUSAN MASALAH
- Apa itu penyakit ginjal kronis?
- Apa penyebab penyakit ginjal kronis?
- Bagaimana patofisiologi penyakit ginjal kronis?
- Bagaimana presentasi klinis penyakit ginjal kronis?
- Bagaimana pendekatan terapi penyakit ginjal kronis?
C. TUJUAN
- Mengetahui penyakit ginjal kronis
- Mengetahui penyebab penyakit ginjal kronis
- Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal kronis
- Mengetahui presentasi klinis penyakit ginjal kronis
- Mengatahui pendekatan terapi penyakit ginjal kronis
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Pengakit ginjal kronis (CKD) merupakan kelainan berupa menurunnya struktur dan fungsi
ginjal yang terjadi secara bertahap, dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih.
B. ETIOLOGI
Glomerulus Filtration Rate (GFR) menggambarkan banyaknya ml darah yang disaring
oleh glomerulus per menit.
Pada fungsi ginjal normal, GFR adalah 100-120 mL/min/ 1,73 M2.
Penyakit CKD paling umum biasanya disebabkan oleh hipertensi dn diabetes. Penyakit lain
yang menjadi penyebab CKD sebagai berikut :
Laju filtrasi glomerulus (GFR) yang lebih rendah dan rasio albumin ke kreatinin urin yang
lebih tinggi/Uacr berkaitan dengan efek samping. Seseorang dikatakan menderita penyakit
CKD jika terjadi penurunan GFR dan terjadi kerusakan ginjal kategori 1 dan 2. Seperti
yang terlihat pada gambar berikut :
Prognosis CKD bergantung pada beberapa faktor :
- Penyebab penyakit ginjal
- GFR pada saat diagnosis
- Derajat albuminuria diukur dengan uACR
- Kondisi komorboid lainnya
Pasien dengan salah satu gejala ini, dapat dirujuk ke ahli nefrologi dan dilakukan
pemeriksaan kolaboratif seperti :
- Albuminuria persisten dan signifikan (Uacr >1000 mg/g atau 110 mg/mmol)
- Perkembangan CKD (penurunan GFR tetapi tidak akut)
- Adanya penyebab nonsurgical hematuria
- Hipertensi refrakter terhadap pengobatan (misalnya, > 4 agen antihipertensi)
- Kelainan kalium serum yang persisten
- Nefrolitiasis berulang atau ekstensif
- GFR kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2
- Penyakit ginjal herediter
Pasien dengan CKD stadium 3 sampai 5 beresiko berkembang menjadi penyakit gagal
ginjal.
C. CKD KARENA INDUKSI OBAT
1. Nefropati analgesic
Nefropati analgesik terjadi akibat kebiasaan menelan analgesik selama bertahun-
tahun. Khususnya, agen yang mengandung setidaknya dua analgesik antipiretik dan
biasanya kafein atau kodein umumnya dikaitkan dengan perkembangan penyakit
ini. Ini adalah penyakit ginjal tubulointerstitial yang ditandai dengan nekrosis
papiler ginjal sebagai lesi primer dan nefritis interstitial kronis sebagai lesi
sekunder. Pada presentasi, pasien mungkin mengalami penurunan eGFR dan
temuan yang konsisten dengan CKD, seperti peningkatan SCr, BUN, dan
proteinuria. Namun, selama nekrosis akut, pasien mungkin mengalami nyeri
panggul, piuria, dan hematuria.
Disfungsi ginjal ditandai sebagai nefropati pemborosan garam, dengan penurunan
substansial dalam konsentrasi urin dan kemampuan pengasaman urin. Mekanisme
yang tepat untuk kerusakan ginjal tidak pasti, tetapi diduga karena acetaminophen
menumpuk di medula ginjal, metabolit oksidatifnya yang dihasilkan oleh sistem
enzim sitokrom P-450 meduler dapat berikatan dengan makromolekul,
menyebabkan nekrosis seluler.
2. Nefropati litium
Kemampuan berkonsentrasi di dalam ginjal dan eGFR telah terbukti menurun
dengan penggunaan litium jangka panjang. Pasien dengan lithium nefropati
umumnya asimtomatik. Mereka biasanya hadir dengan penurunan fungsi ginjal
yang berbahaya selama bertahun-tahun, dan proteinuria biasanya tidak ada atau
minimal
D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya kerusakan ginjal bergantung pada etiologi penyakit dan sangat
berkaitan erat dengan usia, jenis kelamin, dan ACR urin. CKD diabetes ditandai dengan
ekspansi mesangial glomerulus (lesi structural yang ditandai dengan proliferasi sel
mesangial yang menyimpang dan produksi protein matriks yang berlebihan pada ginjal),
sementara dengan nefrosklerosis hipertensi, arteriol ginjal memiliki hyalinosis arteriolar
(penebalan dinding arteri).
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan perkembangan dan perluasan kista ginjal.
Proteinuria dapat meningkatkan hilangnya nefron secara progresif sebagai akibat dari
kerusakan sel langsung. Protein yang disaring seperti albumin, transferin, faktor
komplemen, imunoglobulin, sitokin, dan ATII bersifat toksik bagi sel tubulus ginjal.
keberadaan protein ini di tubulus ginjal menyebabkan peningkatan produksi sitokin
inflamasi dan vasoaktif seperti endotelin dan monosit chemoattractant protein-1 (MCP-1).
Proteinuria juga terkait dengan aktivasi komponen komplemen pada membran apikal
tubulus proksimal. Aktivasi komplemen intratubular mungkin merupakan mekanisme
utama kerusakan progresif nefropati proteinuria. Selanjutnya, peristiwa ini pada akhirnya
menyebabkan jaringan parut interstitium, hilangnya unit nefron struktural secara progresif,
dan penurunan GFR.
PEMBENTUKAN VITAMIN D :
Morbiditas dan mortalitas pasien CKD meningkat pada individu dengan baik hipo- dan
hiperparatiroidisme berat.34Peningkatan fosfor serum, bahkan dalam batas atas kisaran
normal, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kejadian KV dan/atau mortalitas (semua
penyebab atau mortalitas KV) pada pasien dengan CKD 3-5. Warfarin menghambat protein
matriks Gla, yang merupakan protein yang bergantung pada vitamin K yang mencegah
pengendapan kalsium di arteri, dan karenanya dapat mempromosikan kalsifikasi vaskular
pada individu yang berisiko.Asupan kalsium dari pengikat berbasis kalsium juga dapat
menyebabkan kalsifikasi arteri coroner.
G. PRESENTASI KLINIS
Penyakit CKD sering muncul tanpa gejala, karena itulah pasien CKD baru terdiagnosis
setelah memasuki stadium 4 atau 5 dan sudah berada pada titik terapi penggantian ginjal.
Pemeriksaan tambahan :
Pemeriksaan :
H. PENGOBATAN CKD
Pendekatan umum pengobatan CKD :
a. Nonfarmakologi
Olahraga 30 menit 5 x per minggu
Menurunkan BB jika BMI > 25 KG/M2
Berhenti merokok
Alcohol : 2 minuman perhari untuk pria dan 1 minuman perhari untuk
wanita
Jika hipertensi, lakukan diet sodium (<2 g/ hari, <90 mmol/hari)
b. Farmakologi
Sesuaikan obat dengan fungsi ginjal
Konsultasikan sebelum menggunakan obat-obatan atau suplemen nutrisi
Obat herbal tidak dianjurkan
Hentikan sementara obat yang berpotensi nefrotoksik/dieksresi ginjal jika
eGFR <60 mL/menit/1,73 m2 pada pasien yang tidak sehat secara akut atau
hipovolemik ( misalnya metformin, penghambat RAAS, diuretic,
NSAID/COX II inhibitor, litium, digoksin)
Vaksin
Influenza tahunan
Vaksin pneumokokus jika eGFR <30 mL/menit/1,73 m2, sindrom nefrotik,
diabetes, atau menerima imunosupresi.
Vaksin hepatitis B jika eGFR eGFR <30 mL/menit/1,73 m2
ASA disarankan untuk pasien yang pernah mengalami aterosklerotik
kecuali ada peningkatan risiko pendarahan
I. TERAPI
1. TERAPI CKD
a) Non farmakologi
Diet
Ubah gaya hidup
b) Farmakologi
I. Proteinuria
1) ACEI DAN ARB
Memiliki efek antiproteinurik. Merupakan terapi lini
pertama jika eksresi albumin urin berada dalam kategori A2
atau lebih (uACR >30 mg/g; 3,4 mg/mmol).
Untuk penderita hipertensi, tujuan utamanya adalah
mencapai target tekanan darah sedangkan tujuan
sekundernya adalah mengontrol proteinuria.
Rekomendasi dosis khusus untuk ACEI dan ARB untuk
pengobatan proteinuria belum ditetapkan, sehingga dosis ini
dimulai dari dosis terendah dan ditingkatkan sampai
albuminuria berkurang 30% sampai 50% atau efek samping
seperti penurunan eGFR lebih dari 30% atau peningkatan
kalium serum terjadi.
Dosis :
Kurangnya respons beberapa pasien terhadap terapi ACEI
atau ARB mungkin disebabkan oleh pelepasan aldosteron
dari blokade sistem renin-angiotensinaldosteron (RAAS).
Terapi kombinasi dengan ACEI plus ARB atau direct renin
inhibitor (aliskiren) menghasilkan blokade RAAS yang
lebih lengkap dan hasilnya penurunan makroalbuminuria
yang lebih besar.
3) Agen lain
Dihydropyridine calcium channel blokers(CCBs)
menurunkan resiko yang disebabkan oleh penurunan
tekanan darah
Agen nondihydropyridine (diltiazem dan verapamil), telah
menghasilkan efek menguntungkan pada proteinuria,
meskipun tidak sebesar ACEI
CCB nondihydropyridine harus dianggap sebagai obat
antiproteinurik lini kedua atau ketiga ketika ACEI atau ARB
dikontraindikasikan atau tidak
II. Hipertensi
pasien dengan riwayat diabetes, proteinuria kategori A3
didefinisikan sebagai proteinuria lebih dari atau sama
dengan 1 g/24 jam atau albuminuria lebih dari atau sama
dengan 600 mg/24 jam, penyakit ginjal polikistik, atau
riwayat stroke dikeluarkan
III. diabetes
Pasien dengan diabetes harus diskrining setiap tahun untuk
CKD dimulai pada saat diagnosis diabetes tipe 2 dan 5 tahun
setelah diagnosis diabetes tipe 1 dengan menjalani kreatinin
serum, eGFR, dan uACR.
Penatalaksanaan diabetes pada pasien CKD meliputi
pengurangan proteinuria dan pencapaian tekanan darah yang
diinginkan dan HbA1c. Target HbA1c pada populasi pasien
ini harus 7% (0,07; 53 mmol/mol Hb); namun, dokter dapat
mempertimbangkan target lebih besar dari 7% (0,07; 53
mmol/mol Hb) jika ada risiko hipoglikemia atau harapan
hidup yang terbatas.
pengukuran HbA1C didasarkan pada perkiraan masa hidup
sel darah merah selama 120 hari. Di CKD, rentang masa
hidup sel darah merah menurun, sehingga nilai HbA1c
mungkin rendah. Oleh karena itu, pada pasien dengan CKD,
HbA1c harus diinterpretasikan bersamaan dengan
pembacaan glukosa darah.
pasien dengan CKD 3 dan 4 berisiko lebih tinggi mengalami
hipoglikemia karena penurunan metabolisme insulin oleh
ginjal saat GFR menurun. Akibatnya, pasien ini mungkin
memerlukan pengurangan dosis agen hipoglikemik oral atau
injeksi.
Metformin merupakan lini pertama untuk pasien diabetes
tipe 2 dan CKD. Metformin dapat dimulai dan/atau
dilanjutkan individu dengan eGFR lebih besar dari atau sama
dengan 45 mL/menit/1,73 m2. Tidak dianjurkan untuk
memulai metformin pada pasien dengan eGFR antara 30 dan
44 mL/menit/1,73 m2
Metformin dikontraindikasikan pada individu dengan eGFR
kurang dari 30 mL/menit/1,73 m2dan harus dihentikan
sementara
i. iron dextran
untuk iroin dextran, dosis yang disetujui adalah peningkatan 100
mg, diberikan selama 10 sesi dialisis untuk pasien HD dengan total
1 g. Dosis yang lebih besar dari 500 mg hingga dosis total 1 g selama
periode infus yang lebih lama yaitu 4 hingga 6 jam.
ii. Ferri glukonat dan produk besi sukrosa
digunakan pada pasien yang mengalami reaksi alergi terhadap
produk dekstran.
Dosis :
- Untuk dosis total 1 g, ferri glukonat diberi 125 mg selama 8 sesi
dialysis berturut-turut. 2Pemberian 125 mg selama 10 menit (tanpa
dosis uji) ditetapkan sebagai alternatif yang lebih aman untuk preparat
dekstran pada pasien HD dan merupakan strategi pemberian dosis
yang disetujui
- Dosis sukrosa besi yang dianjurkan adalah 100 mg (5 mL) selama 10
sesi HD berturut-turut untuk memberikan dosis total 1 g.
- Dosis besi sukrosa 250 sampai 300 mg telah aman diberikan selama 1
jam dan terbukti sama efektifnya dengan pemberian natrium besi
glukonat dalam mempertahankan hemoglobin pada pasien yang
menerima epoetin
- Dosis besi IV yang lebih kecil, dengan peningkatan 25 sampai 200
mg, dapat diberikan setiap minggu, setiap 2 minggu, atau setiap bulan,
untuk pasien tanpa defisiensi besi absolut. Dosis ini akan
mempertahankan simpanan besi yang adekuat, mempertahankan nilai
hemoglobin target, dan berpotensi mengurangi dosis agen eritropoetik
yang diperlukan
dosis :
Dosis awal pemberian epoetin alfa adalah 50 hingga 100
unit/kg tiga kali seminggu.
Untuk pasien yang diubah dari pemberian IV ke SC (waktu
paruh epoetin alfa adalah 8,5 jam IV vs. 24,4 jam SC) yang
hemoglobinnya berada dalam kisaran target, dosis SC
biasanya dua pertiga dosis IV
Untuk pasien yang belum mencapai target hemoglobin,
dianjurkan dosis SC setara dengan dosis IV
Untuk pasien CKD yang tidak menjalani dialysis, Dosis
10.000 unit sekali seminggu hingga 40.000 unit setiap 4
minggu telah terbukti mempertahankan nilai target
hemoglobin
3. KOMPLIKASI KARDIOVASKULAR
Hipertensi dikaitkan dengan LVH, penyakit jantung iskemik, dan gagal
jantung, yang semuanya merupakan faktor penyebab kematian secara keseluruhan
pada pasien CKD stadium 5 yang menjalani dialysis. Anemia berkontribusi besar
terhadap perkembangan LVH dan juga gagal jantung.
Faktor tambahan yang meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular dan
mortalitas pada HB termasuk peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida serta
hipoalbuminemia (albumin serum, 3,0 g/dL).
Terapi antihipertensi :
a) diuretik
Diuretik umumnya digunakan pada pasien pada tahap awal CKD. ,
efektivitas diuretik bergantung pada jumlah natrium yang dikirim ke tempat
kerjanya di tubulus ginjal dan pada fungsi ginjal pasien.
penurunan eGFR dari 125 menjadi 25 mL/menit/ 1,73 m2, secara teoritis,
dapat mengakibatkan penurunan sekitar 80% dalam jumlah natrium yang
disaring. eGFR yang semakin menurun, akan menurunkan efektivitas dari
diuretic atau tiazid. Diuretik hemat kalium juga tidak efektif dan dapat
meningkatkan risiko hiperkalemia.
Diuretik loop (misalnya, furosemide), yang berfungsi lebih proksimal,
diindikasikan pada pasien dengan CKD stadium 4 (eGFR 15 hingga
29mL/menit/1,73m)
b) Ca channel blocker
adalah agen antihipertensi yang efektif pada pasien dengan CKD. Karena
agen nondihydropyridine (yaitu, diltiazem, verapamil) memiliki efek
kronotropik dan inotropik negatif, mereka harus digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan penyakit jantung.
c) Vitamin D
i. Vitamin D asli
Vitamin D terjadi secara alami sebagai ergocalciferol (vitamin D2)
diperoleh dari sumber makanan dan sebagai cholecalciferol (vitamin
D3) diperoleh dari sumber makanan dan diaktifkan di kulit oleh
sinar matahari pada mamalia, keduanya merupakan prekursor tidak
aktif dari bentuk aktif vitamin D.
respons terhadap vitamin D2 dan D3 pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dapat bervariasi, tergantung pada derajat disfungsi
ginjal dan kemampuan ginjal untuk memetabolisme 25-
hidroksivitamin D menjadi kalsitriol. Penurunan kadar 25-
hidroksivitamin D terjadi pada tahap awal CKD,
Perubahan metabolisme vitamin D yang terjadi pada populasi ini
membutuhkan pengukuran 25-hidroksivitamin D dan suplementasi
dengan prekursor vitamin D, seperti ergocalciferol atau
cholecalciferol.
Terapi oral dengan vitamin D aktif (oral calcitriol) atau analog (oral
doxercalciferol) mungkin diperlukan hanya bila PTH tetap
meningkat meskipun kadar 25-hidroksivitamin D normal
ii. Vitamin D aktif
Kalsitriol
Pemberian vitamin D aktif, bersama dengan kontrol serum fosfor
dan kalsium, diperlukan pada banyak pasien CKD untuk mengelola
CKD-MBD.
Calcitriol tersedia sebagai formulasi oral (Rocaltrol) atau formulasi
IV (Calcijex).
Dosis :
- Pemberian kalsitriol melalui rute oral atau IV dapat
didasarkan pada dosis konvensional (biasanya 0,25 sampai
0,5 mcg/ hari) atau dosis nadi (dosis intermiten 0,5 sampai
2,0 mcg dua sampai tiga kali per minggu).
- Dosis yang lebih tinggi (misalnya, 4 mcg tiga kali per
minggu) umumnya diperlukan untuk mengurangi sekresi
PTH pada sHPT (PTH) yang lebih parah>1.000 pg/mL).
- Dosis harian 0,25 sampai 0,5 mcg mungkin lebih disukai
pada pasien dengan hipokalsemia
- Penyesuaian dosis kalsitriol umumnya dibuat dalam 0,5-
hingga Peningkatan 1,0 mcg setiap 2 sampai 4 minggu pada
tahap awal terapi sampai iPTH dan kalsium serum
dipertahankan pada tingkat target
Paricalcitol
Doxercalciferol
Kalkimimetik
Paratioidektomi
5. KOMPLIKASI LAIN
a. Abnormalitas endokrin oleh uremia
Gangguan fungsi tiroid sering dijumpai pada pasien PGK karena ginjal terlibat
dalam semua aspek metabolisme hormon tiroid perifer. Abnormalitas endokrin lain
yang diamati pada pasien PGK meliputi disfungsi gonad yang menyebabkan
impotensi, ukuran testis yang mengecil, abnormalitas menstruasi, dan penghentian
ovulasi
b. Komplikasi GI
Kelainan gastrointestinal sangat umum pada pasien dengan CKD dan termasuk
anoreksia, mual, muntah, cegukan, sakit perut, perdarahan GI, diare, dan sembelit.
Motilitas lambung yang berkurang dapat terjadi akibat uremia
c. Komplikasi neurologis
Gangguan pada sistem saraf pusat (SSP) yang terjadi pada pasien yang menerima
dialisis disebut secara kolektif sebagai neuropati uremik. Akumulasi toksin uremik,
demensia vaskular, hipoperfusi serebral, dan silent stroke berulang mempengaruhi
pasien dialisis untuk beberapa komplikasi neurologis.
d. Komplikasi dermatologi
Beberapa kelainan kulit telah diamati pada pasien dengan CKD, termasuk
hiperpigmentasi, keringat abnormal, kulit kering, dan pruritus persisten. Ini,pruritus
uremikdapat menjadi yang paling mengganggu bagi pasien dan dapat menyebabkan
garukan berulang dan ekskoriasi kulit. Hiperparatiroidisme, hipervitaminosis A,
dan proliferasi sel mast dermal dengan pelepasan histamin selanjutnya diduga
sebagai penyebab pruritus
e. Penyakit glomerular
Sindrom nefrotik ditandai dengan proteinuria lebih dari 3,5 g/ hari,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Pada kondisi yang lebih
parah, kondisi hiperkoagulasi adalah meningkat dari hilangnya protein
kontrol hemostasis, termasuk antitrombin III, protein S, dan protein C.
Sindrom ini dapat terjadi dengan atau tanpa perubahan laju filtrasi
glomerulus
Glomerulonefritis.
Nefritis lupus
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronis merupakan kerusakan yang terjadi pada struktur dan fungsi ginjal
yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronis ditandai dengan
menurunan nilai GFR <60 ml/min/1,73 m2. Penyebab utama penyakit ginjal kronis adalah
hipertensi dan diabetes. Terapi Penyakit ginjal kronis dapat dilakukan dengan
menghilangkan terlebih dahulu penyebab yang mendasarinya, jika tidak memungkinkan,
dapat dilakukan dialysis dan transplantasi
B. SARAN
Setelah mempelajari makalah ini, diharapkan :
- Telah memahami patofisiologi, etiologi dari penyakit ginjal kronis
- Telah memahami penatalaksanaan penyakit ginjal kronis
DAFTAR PUSTAKA
Alldregre, Brian Kimble, dkk. 2001. Applied Therapeutics “the clinical use of drug”. California
: wolters Kluwer health
Dipiro, Joseph. dkk. 2020. Pharmacoterapy elevent edition. Canada : Mc Graw Hill