Untitled
Untitled
Dosen Pengampu:
Afnijar Wahyu S.Kep,Ns,M.Kep
Kelompok 2
P a g e 1 | 20
Daftar Isi
Kata Pengantar..........................................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang................................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................3
1.3 Tujuan..............................................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN TEORI.....................................................................................................................5
2.1 Definisi Stress...................................................................................................................................5
2.2 Fisiologis Stres.................................................................................................................................7
2.3 Jenis Stress.......................................................................................................................................8
2.4 Tahapan Stress.................................................................................................................................8
2.5 Sumber Stress..................................................................................................................................9
2.6 Adaptasi Stress...............................................................................................................................10
2.7 Jenis Adaptasi Stress.....................................................................................................................11
2.8 Mekanisme koping.........................................................................................................................14
2.9 Klasifikasi koping..........................................................................................................................15
2.10 Gaya Koping................................................................................................................................15
2.11 Strategi koping.............................................................................................................................15
2.12 Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping individu........................................................16
BAB III PENUTUP.................................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................18
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................19
P a g e 2 | 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stres dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa kurang/tidak nyaman, tetapi dapat pula
justru memberikan rasa nyaman. Sebagai elemen yang memberikan rasa nyaman ia dapat
dimanfaatkan, dapat dinikmati, selain sebagai pemberi rasa tersebut, juga sebagai pendorong
untuk maju dalam kehidupan. Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan
banyak keluhan, dalam keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk khronis, gangguan
fisik maupun mental, kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian.
Stress merupakan fenomena yang pasti dialami oleh semua manusia. Dalam ilmu psikologi,
stress adalah perasaan tertekan dan ketegangan mental. Tingkat stress yang rendah mungkin
diinginkan, bermanfaat, dan bahkan sehat. Stress, dapat menimbulkan dampak positif, yaitu
dapat meningkatkan fasilitasi kinerja. Stress yang positif dianggap sebagai faktor penting untuk
motivasi, adaptasi, dan melakukan reaksi terhadap lingkungan sekitar. Namun, tingkat stressnya
tinggi dapat mengakibatkan masalah biologis, psikologis, dan sosial dan bahkan bahaya serius
bagi seseorang. Stress dapat berasal dari faktor eksternal yang bersumber pada lingkungan, atau
disebabkan oleh persepsi internal individu.
Stres adalah respons individu terhadap perubahan dalam situasi atau situasi yang
mengancam. Ini dapat dilihat sebagai reaksi pribadi terhadap peristiwa / permintaan eksternal
seperti menulis ujian atau kondisi pikiran internal seperti mengkhawatirkan ujian. Fakta yang
menarik adalah bahwa stres cenderung meningkat dengan saat tidak mampu mengatasi situasi
yang tidak menyenangkan yang dihadapi oleh seseorang. Bagi kebanyakan orang, stres
dipandang sebagai konsep negatif. Namun, stres dapat memacu kita untuk mencapai yang
terbaik.
Kehidupan manusia seperti era saat ini menjamin bahwa semua manusia akan mengalami
stres. Stres hanyalah produk sampingan kehidupan. Bahkan, kepercayaan pada kemampuan yang
kita miliki untuk dapat mengatasi stres sering kali berfungsi untuk menurunkan tingkat stres.
Dewasa ini perubahan tata nilai kehidupan berjalan begitu cepat karena pengaruh globalisasi.
Masyarakat menghadapi masalah yang semakin beragam sebagai akibat modernisasi dan
perkembangan dunia. Masalah hubungan sosial dan tuntutan lingkungan seiring harapan untuk
meningkatkan pencapaian diri ketidaksanggupan pribadi untuk memenuhi tuntutan tersebut bisa
menimbulkan stres dalam diri seseorang. Beberapa faktor penyebab umum dari stres antara lain:
masalah pekerjaan, ujian, problem rumah tangga, sakit, kurang tidur dan banyak lainnya.
Perubahan psikososial dapat merupakan tekanan mental (stressor psikosial) sehingga bagi
sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan dan berusaha beradaptasi
untuk menanggulanginya. Stresor psikososial, seperti perceraian dalam rumah tangga, masalah
orang tua dengan banyaknya kenakalan remaja, hubungan interpersonal yang tidak baik dengan
teman dan sebagainya. Namun, tidak semua orang dapat beradaptasi dan mengatasi stressor
akibat perubahan tersebut sehingga ada yang mengalami stres, gangguan penyesuaian diri,
maupun sakit.
P a g e 3 | 20
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu stress?
2. Apa saja jenis-jenis stress?
3. Apa saja tahapan-tahapan stress?
4. apa itu adaptasi stress?
5. Apa saja jenis-jenis adaptasi stress?
6. Apa itu koping?
1.3 Tujuan
Untuk memahami apa itu stress, definisi stress, Jenis-jenis stress, tahapan stress, pengertian
adaptasi stress, jenis-jenis adaptasi stress, dan koping.
P a g e 4 | 20
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Stress
stressor yang sama atau dari stressor yang lain secara bersaman) maka cekaman menjadi
nyata, kita kewalahan dan merasakan stress.
Kata stress berasal dari kosakata Bahasa Inggris. Menurut Kamus Oxford, stress memiliki
paling tidak enam pengertian, sesuai penggunaannya dibidang-bidang yang berbeda
diterjemahkan sebagai:
(1) tekanan atau kecemasan yang disebabkan oleh masalah-masalah dalam kehidupan
seseorang:
(2) tekanan yang diberikan ke suatu benda yang bisa merusak benda itu atau menghilangkan
bentuknya;
(3) kepentingan khusus yang diarahkan kepada sesuatu:
(4) suatu kekuatan ekstra yang dikerahkan ketika mengucapkan suatu kata khusus;
(5) suatu kekuatan ekstra yang digunakan untuk membuat suara khusus dalam musik;
(6) penyakit yang ditimbulkan oleh kondisi fisik yang terganggu
Menurut Taylor stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan
fisiologis, biokimiawi, kognisi, dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan
diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.
Definisi lain dumgkapkan oleh Sutherland dan Cooper bahwa stres adalah pengalaman
subjektif yang didasarkan pada persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak dalam
lingkungan Sedangkan Maramis menyatakan baliwa stres adalah segala masalah atau tuntutan
menyesuaikan diri, yang karena tuntutan itulah individu merasa terganggu keseimbangan
hidupnya.
Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Sarafino dalam Smet
mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu
dengan lingkungan yang menimbulkan jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari berbagai
situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis psikologis dan sosial seseorang.
Secara garis besar ada empat pandangan mengenai stres, yaitu: stres merupakan stimulus,
stres merupakan respon, stres merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan, dan stress
sebagai hubungan antara individu dengan stressor.
a) Stres Sebagai Stimulus
Menurut konsepsi ini stres merupakan stimulus yang ada dalam lingkungan (environment).
Individu mengalami stres bila dirinya menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Dalam konsep ini
stres merupakan variable bebas sedangkan individu merupakan variabel terikat. Stress sebagai
stimulus dapat dicontohkan: lingkungan sekitar yang penuh persaingan, misalnya di terminal dan
stasiun kereta api menjelang lebaran. Mereka yang ada di lingkungan tersebut, baik itu calon
penumpang, awak bus atau kereta api, para petugas, dst., sulit untuk menghindar dari situasi
yang menegangkan (stressor) tersebut. Hal serupa juga dapat diamati pada lingkungan di mana
terjadi bencana alam atau musibah lainnya, misalnya banjir, gunung meletus, ledakan bom di
tengah keramaian, dst.
P a g e 5 | 20
b) Stres Sebagai Respon
Konsepsi kedua mengenai stres menyatakan bahwa stress merupakan respon atau reaksi
individu terhadap stressor. Dalam konteks ini stress merupakan variable tergantung (dependen
variable) sedangkan stressor merupakan variable bebas atau independent variable. Respon
individu terhadap stressor memiliki dua komponen, yaitu: komponen psikologis, misalnya
terkejut, cemas, malu, panik, nerveus, dst. dan komponen fisiologis, misalnya denyut nadi
menjadi lebih cepat, perut mual, mulut kering, banyak keluar keringat dst. respon- repons
psikologis dan fisiologis terhadap stressor disebut strain atau ketegangan.
c) Stres Sebagai Interaksi antara Individu dengan Lingkungan
Menurut pandangan ketiga, stress sebagai suatu proses yang meliputi stressor dan strain
dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara
manusia dan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional.
Dalam konteks stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan, stres tidak dipandang
sebagai stimulus maupun sebagai respon saja, tetapi juga suatu proses di mana individu juga
merupakan pengantara (agent) yang aktif, yang dapat mempengaruhi stressor melalui strategi
perilaku kognitif dan emosional.
Konsepsi di atas dapat diperjelas berdasarkan kenyataan yang ada. Misalnya saja stressor
yang sama ditanggapi berbeda-beda oleh beberapa individu. Individu yang satu mungkin
mengalami stres berat, yang lainnya mengalami stres ringan, dan yang lain lagi mungkin tidak
mengalami stres. Bisa juga terjadi individu memberikan reaksi yang berbeda pada stressor yang
sama.
Menurut Bart Smet, reaksi terhadap stres bervariasi antara orang satudengan yang lain dan
dari waktu ke waktu pada orang yang sama, karena pengaruh variabel-varibel sebagai berikut:
Stres dan penyakit memiliki komponen yang saling bersilangan. Hubungan stres dan
penyakit menunjukkan bahwa stres akut (terjadi dalam jangka pendek) dan kronis (terjadi dalam
jangka panjang) dapat menyebabkan penyakit, dan mengarah pada perubahan perilaku dan
fisiologi.
Hubungan antara stres dan penyakit kompleks. Kerentanan terhadap stres bervariasi dari
setiap orang. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan seseorang adalah genetik,
kemampuan menyesuaikan, tipe kepribadian, dan dukungan sosial. Studi menunjukkan bahwa
stres jangka pendek dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, tetapi stres kronis memiliki
efek signifikan pada sistem kekebalan tubuh yang pada akhirnya akan memanifestasikan suatu
penyakit. Stres kronis dapat meningkatkan tingkat sel katekolamin dan sel penekan sel T yang
menekan sistem kekebalan tubuh. Penekanan ini dapat meningkatkan risiko infeksi virus.
Stres juga menyebabkan pelepasan histamin yang dapat memicu penyempitan broncho pada
penderita asma. Stres meningkatkan risiko diabetes mellitus, terutama pada individu yang
kelebihan berat badan karena stres mengubah kebutuhan insulin. Korelasi antara peristiwa
kehidupan yang penuh stres dan penyakit kejiwaan atau mental lebih kuat daripada korelasi
dengan penyakit medis. Korelasi stres kronis dengan kondisi mental biasanya diikuti oleh
depresi.
Dalam mekanisme stres, aksis HPA mengatur banyak fungsi tubuh, baik perilaku dan
fisiologis, melalui pelepasan hormon glukokortikoid. Aksis HPA melibatkan pelepasan hormon
corticotropin releasing hormone (CRH) dan vasopresin (VP) dari hipotalamus yang merangsang
hipofisis untuk mengeluarkan adrenocorticotropic hormone (ACTH). ACTH kemudian dapat
merangsang kelenjar adrenalin untuk mengeluarkan kortisol. Peningkatan kortisol biasanya
bertindak untuk meningkatkan glukosa darah, tekanan darah, dan ativitas imunologis. Berbagai
peningkatan seperti glukosa dan tekanan darah juga dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Saat ini, pengobatan lini pertama untuk gangguan depresi adalah antidepresan yaitu inhibitor
monoamine oxidase, antidepresan trisiklik, dan serotonin-norepinefrin dan selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs). Meskipun berbagai antidepresan tersedia di pasaran, sebagian besar
pasien tidak dapat mencapai remisi penuh atau mengalami efek samping. Sebagai contoh, telah
dilaporkan bahwa hampir 30% pasien tidak memberikan respon terhadap antidepresan. Efek
samping seperti mual, insomnia, agitasi, kenaikan berat badan, disfungsi seksual, dan efek
samping kardiovaskular telah dilaporkan.
Kelemahan dari penggunaan antidepresan adalah masa pengobatan yang panjang untuk
mendapat efek dari antidepresan tersebut. Keefektifan antidepresan umumnya tergantung pada
tingkat keparahan depresi. Semakin parah depresi yang dialami, semakin efektif antidepresan
bekerja. Dengan kata lain, antidepresan efektif bekerja terhadap depresi sedang dan parah
sedangkan pada depresi ringan antidepresan tidak efektif bekerja. Salah satu faktor yang
P a g e 7 | 20
mempengaruhi manjur atau tidaknya antidepresan yaitu genetik manusia yang mengakibatkan
perbedaan setiap orang dalam menanggapi efek obat.
Berbeda dengan H. Handoko berpendapat bahwa stres adalah suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan kondisi seseorang (Zuyina Luk Lukaningsih dan Siti
Bandiyah, 2011). Sedangakan dalam ilmu psikologi, stres diartikan sebagai suatu kondisi
kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan.
Pembagian jenis stres menurut Jenita DT Donsu (2017) secara umum stres dibagi menjadi
dua yaitu :
1. Stres akut
Stres yang dikenal juga dengan flight or flight response. Stres akut adalah respon tubuh
terhadap ancaman tertentu, tantangan atau ketakutan. Respons stres akut yang segera dan intensif
di beberapa keadaan dapat menimbulkan gemetaran.
2. Stres kronis
Stres kronis adalah stres yang lebih sulit dipisahkan atau diatasi, dan efeknya lebih panjang
dan lebih.
Demikian penjelasan jenis-jenis stres yang dikemukan oleh beberapa ahli. Jadi stres dapat
dibedakan dari jenis waktunya yaitu stres akut dan stres kronis, berdasarkan arah stres, yaitu
distres dan eustress.
P a g e 8 | 20
2.4 Tahapan Stress
(Dr. Robert J. Van Amberg dalam Yosep 2016) penelitiannya membagi tahapan-tahapan
stres sebagai berikut:
1) Stres tahap I
Merupakan tahapan stres yang paling awal dan paling ringan. Tahapan ini biasanya disertai
dengan perasaan-perasaan positif. Perasaan tersebut misalnya semangat bekerja besar dan
berlebihan, penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, serta merasa mampu menyelesaikan
pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari terdapat dampak negatif pula. Cadangan
energi didalam tubuh dihabiskan disertai munculnya rasa gugup yang berlebihan pula.
2) Stres tahap II
Dampak stres yang semula menyenangkan dan positif mulai menghilang dan timbul keluhan-
keluhan yang disebabkan karena cadangan energi tidak lagi cukup sebab tidak ada cukup waktu
untuk beristirahat sepanjang hari. Pada tahap ini timbul keluhan-keluhan dan gejala seperti:
merasa lelah dan tidak ada semangat waktu bangun tidur pagi, merasa mudah letih dan merasa
cepat capai, mengeluh lambung dan perut tidak nyaman, jantung berdebar-debar, otot punggung
dan tengkuk terasa tegang, dan tidak bisa bersantai.
3) Stres tahap III
Keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu didapatkan dalam tahap ini, yaitu:
gangguan lambung dan usus yang semakin nyata misalnya gastritis dan diare, ketegangan otot-
otot yang semakin terasa, perasaan tidak tenang dan ketegangan emosional yang semakin
meningkat, gangguan pola tidur (insomnia) dan terganggunya kordinasi tubuh. Apabila sudah
semakin berat yang ditandai dengan gejala-gejala tersebut seseorang sudah harus berkonsultasi
dan mendapat terapi. Beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh banyak beristirahat.
4) Stres tahap IV
Didalam tahap ini, keluhan-keluhan stres tahap III diatas oleh dokter dinyatakan tidak sakit
karena tidak ditemukannya kelainan fisik pada organ tubuh. Penderita terus memaksakan diri
untuk bekerja terus menerus tanpa istirahat dan akan muncul gejala-gejala seperti pekerjaan yang
semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit,
kehilangan kemampuan untuk merespon secara memadai, ketidakmampuan melaksanakan
kegiatan rutin sehari-hari, gangguan pola tidur yang disertai mimpi-mimpi yang menegangkan,
negativisme, daya ingat dan konsentrasi menurun, dan timbul perasaan ketakutan dan kecemasan.
5) Stres tahap V
Apabila gejala-gejala dalam tahap IV terus berlanjut dan tidak ada tindakan pencegahan serta
pengobatan maka akan jatuh pada stres tahap V yang ditandai dengan: kelelahan fisik dan mental
yang semakin mendalam, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan
sederhana, gangguan sistem pencernaan yang semakin berat, timbul perasaan ketakutan dan
kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
6) Stres tahap VI
Tahap VI ini merupakan tahap klimaks dan tahap akhir, dimana seseorang mengalami
serangan panik dan perasaan takut mati. Gambaran stres pada tahap ini adalah: debaran jantung
yang sangat kuat, susah bernapas (sesak dan megap-megap), seluruh tubuh gemetar, dingin dan
keringat bercucuran, tidak ada tenaga untuk hal-hal yang ringan, sampai hal-hal yang
mengancam seperti pingsan.
2.5 Sumber Stress
Sumber-sumber stres merupakan variasi stimulus baik eksternal maupun internal yang menimbulkan
stres. Lahey berpendapat bahwa rata-rata sumber-sumber stres yang diketahui oleh banyak individu
adalah semua hal, keadaan, atau kejadian yang bersifat memberikan tekanan. Meskipun begitu
menurut penelitian yang menjadi sumber stres terbesar adalah faktor-faktor berikut ini:
P a g e 9 | 20
a. Life events atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupan, baik yang bersifat negatif maupun
positif, seperti kriminalitas, pemerkosaan, kekerasan, kehilangan anggota keluarga, bencana
alam, terorisme, dan pertengkaran.
b. Frustrasion atau frustasi terjadi ketika suatu tujuan atau motif seseorang tidak terpenuhi atau
terpuaskan.
c. Conflict atau konflik merupakan keadaan dimana seseorang individu tidak dapat memenuhi
tujuan atau motif-nya karena adanya gangguan dari orang lain.
d. Pressure atau tekanan merupakan stres yang muncul karena disebabkan oleh ancaman
kejadian negatif. Biasanya dialami oleh siswa, mahasiswa dan karyawan, dimana mereka
dituntut untuk selalu memiliki performa yang baik dalam ujian dan pekerjaan dan jika tidak
memiliki performa yang baik maka mereka dianggap gagal.
e. Environmental conditions atau kondisi lingkungan seperti suhu ruangan, polusi udara,
kebisingan dan kelembaban dapat menyebabkan seseorang menjadi stres.
Sedangkan menurut Holmes dan Rahe berdasarkan hasil penelitian mereka terhadap siswa di New
Zealand mengenai 10 kerumitan sehari-hari (daily hassles) didapatkan sumber stres yang sering
dialami yakni:
1. Tidak cukup waktu (not enough time).
2. Terlalu banyak hal yang dikerjakan (too many things to do).
3. Kesalahan dalam memikirkan masa depan (troubling thoughts about future).
4. Terlalu banyak gangguan (too many interruptions).
5. Kehilangan atau salah meletakan suatu benda (misplacing or losing things).
6. Kesehatan anggota keluarga (health of family member).
7. Kewajiban sosial (social obligations)
8. Fokus pada standar (concern about standards)
9. Fokus untuk memperoleh kemajuan (concern about getting ahead)
10. Terlalu banyak tanggung jawab (too many responsibility)
Menurut Nasir dan Muthit (2011) penggolongan dibagi menjadi dua yaitu mekanisme koping
adaptif merupakan mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan belajar dan
mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara
efektif, memiliki persepsi luas dan dapat menerima dujungan dari orang lain. Mekanisme koping
maladaptif merupakan mekanisme koping yang menghambatnya integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung melakukan perilaku merusak melakukan
aktifitas yang kurang sehat seperti alkohol dan obat- obatan, tidak mampu menyelesaikan
masalah dan tidak mampu berpikir.
4) Prevensi, tritmen dan pemulihan
Asumsi ke empat yaitu model mencangkup pencengahan, tritmen, dan pemulihan dengan
menguraikan empat tahap asuhan keperawatan asuhan keperawatan jiwa meliputi krisis, akut,
mempertahankan kesehatan dan promosi kesehatan.Untuk setiap tahapan tritmen model
menyarankan tujuan tritmen, suatu fokus pengkajian keperawatan, sifat tindakan, dan hasil
asuhan keperawatan yang diharapkan.Oleh karena itu untuk mencakup rentang asuhan secara
keseluruhan maka dapat mengarahkan praktik keperawatan di tatanan rumah sakit, komunitas
dan rumah.
5) Proses keperawatan dan standar asuhan serta kerja professional perawatan
kesehatan jiwa
Asumsi kelima dari model adaptasi adalah berbasis penggunaan proses keperawatan dan
standar asuhan serta kinerja professional perawat kesehatan jiwa. Asuhan keperawatan kesehatan
jiwa yang diberikan meliputi pengkajian, diagnosis, identifikasi hasil, perencanaan dan evalusi.
Tiap langkah proses merupakan hal yang penting dan perawat bertanggung jawab penuh untuk
semua tindakan keperawatan yang dimplementasikandan diberlakukan dalam peran keperawatan
profesional.
Model adaptasi stress Stuart (2014) dan asuhan keperawatan kesehatan jiwa memandang
perilaku manusia dari perspektif holistic yang mengintegrasikan aspek biologis, psikologis, dan
sosial budaya dalam asuhan keperawatan. Sifat holistik dari praktik keperawatan kesehatan jiwa
memeriksa semua aspek individu, keluarga, komunitas dan lingkungan.
2.7 Jenis Adaptasi Stress
2. Adaptasi fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah proses dimana respon tubuh terhadap stresor untuk mempertahankan
fungsi kehidupan, dirangsang oleh faktor eksternal dan internal, respons dapat dari sebagian
tubuh atau seluruh tubuh serta setiap tahap perkembangan punya stresor tertentu. Mekanisme
fisiologis adaptasi berfungsi melalui umpan balik negatif, yaitu suatu proses dimana mekanisme
kontrol merasakan suatu keadaan abnormal seperti penurunan suhu tubuh dan membuat suatu
respons adaptif seperti mulai mengigil untuk membangkitkan panas tubuh. Ketiga dari
mekanisme utama yang digunakan dalam menghadapi stressor dikontrol oleh medula oblongata,
formasi retikuler dan hipofisis. Riset klasik yang telah dilakukan oleh Hans Selye (1946,1976)
telah mengidentifikasi dua respons fisiologis terhadap stres, yaitu:
P a g e 11 | 20
1. LAS ( Lokal Adaptasion Syndrome) Tubuh menghasilkan banyak respons setempat
terhadap stres, responnya berjangka pendek Karakteristik dari LAS:
a. Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.
b. Respons bersifat adaptif, diperlukan stresor untuk menstimulasikannya.
c. Respons bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus.
d. Respons bersifat restorative.
2. GAS (General Adaptasion Syndrom) Merupakan respons fisiologis dari seluruh tubuh
terhadap stres. Respons yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem
endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan Sistem Neuroendokrin. GAS
diuraikan dalam tiga tahapan berikut:
1. Fase alarm Melibatkan pengerahan mekanisme pertahan dari tubuh dan pikiran untuk
menghadapi stresor seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume
darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Aktifitas hormonal yang luas ini
menyiapkan individu untuk melakukan respons melawan atau menghindar. Respons ini
bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stresor menetap maka individu akan masuk
kedalam fase resistensi.
2. Fase resistensi (melawan) Individu mencoba berbagai macam mekanisme
penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh
berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan
tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Bila teratasi, gejala stres
menurun atau normal. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir
dari GAS yaitu: Fase kehabisan tenaga.
3. Fase exhaustion (kelelehan) Merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat
tertanggulangi pada fase sebelumnya. Tahap ini cadangan energi telah menipis atau
habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres. Ketidakmampuan tubuh
untuk mempertahankan diri terhadap stresor inilah yang akan berdampak pada kematian
individu tersebut.
2. Adaptasi psikologis
Perilaku adaptasi psikologi membantu kemampuan seseorang untuk menghadapi stresor,
diarahkan pada penatalaksanaan stres dan didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman
sejalan dengan pengidentifikasian perilaku yang dapat diterima dan berhasil. Perilaku adaptasi
psikologi dapat konstruktif atau destruktif.
a. Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk menyelesaikan
konflik.
b. Perilaku destruktif mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan pemecahan masalah,
kepribadian dan situasi yang sangat berat, kemampuan untuk berfungsi.
Perilaku adaptasi psikologis juga disebut sebagai mekanisme koping. Mekanisme ini dapat
berorientasi pada tugas, yang mencakup penggunaan teknik pemecahan masalah secara langsung
untuk menghadapi ancaman atau dapat juga mekanisme pertahanan ego, yang tujuannya adalah
untuk mengatur distres emosional dan dengan demikian memberikan perlindungan individu
terhadap ansietas dan stres. Mekanisme pertahanan ego adalah metode koping terhadap stres
secara tidak langsung.
a) Task oriented behavior Perilaku berorientasi tugas mencakup penggunaan kemampuan
kognitif untuk mengurangi stres, memecahkan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi
kebutuhan (Stuart & Sundeen, 2005). Tiga tipe umum perilaku yang berorientasi tugas adalah:
1. Perilaku menyerang Adalah tindakan untuk menyingkirkan atau mengatasi suatu stresor.
2. Perilaku menarik diri Adalah menarik diri secara fisik atau emosional dari stresor.
3. Perilaku kompromi Adalah mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan
atau menghilangkan kepuasan terhadap kebutuhan untuk memenuhi lain atau untuk
menghindari stres.
P a g e 12 | 20
b) Ego Dependen Mekanism Perilaku tidak sadar yang memberikan perlindungan psikologis
terhadap peristiwa yang menegangkan (Sigmund Frued). Mekanisme ini sering kali diaktifkan
oleh stressor jangka pendek dan biasanya tidak mengakibatkan gangguan psikiatrik.Adabanyak
mekanisme pertahanan ego, yaitu:
a. Represi Menekan keinginan, impuls/dorongan, pikiran yang tidak menyenagkan ke
alam tidak sadar dengan cara tidak sadar.
b. Supresi Menekan secara sadar pikiran, impuls, perasaan yang tidak menyenangkan
ke alam tidak sdar.
c. Reaksi formasi Tingkah laku berlawanan dengan perasaan yang mendasari tingkah
laku tersebut.
d. Kompensasi Tingkah laku menggantikan kekurangan dengan kelebihan yang lain
i. Kompensasi langsung
ii. Kompensasi tidak langsung
e. Rasionalisasi Berusaha memperlihatkan tingkah laku yang tampak sebagai pemikiran
yang logis bukan karena keinginan yang tidak disadari.
f. Substitusi Mengganti obyek yang bernilai tinggi dengan obyek yang kurang bernilai
tetapi dapat diterima oleh masyarakat.
g. Restitusi Mengurangi rasa bersalah dengan tindakan pengganti.
h. Displacement Memindahkan perasaan emosional dari obyek sebenarnya kepada
obyek pengganti.
i. Proyeksi Memproyeksikan keinginan, perasaan, impuls, pikiran pada orang
lain/obyek lain/lingkungan untuk mengingkari.
j. Simbolisasi Menggunakan obyek untuk mewakili ide/emosi yang menyakitkan untuk
diekspresikan
k. Regresi Ego kembali pada tingkat perkembangan sebelumnya dalam pikiran,
perasaan dan tingkah lakunya.
l. Denial Mengingkari pikiran, keinginan, fakta dan kesedihan.
m. Sublimasi Memindahkan energi mental (dorongan) yang tidak dapat diterima kepada
tujuan yang dapat diterima masyarakat.
n. Konvesi Pemindahan konflik mental pada gejala fisik
o. Introyeksi Mengambil alih semua sifat dari orang yang berarti menjadi bagian dari
kepribadiannya sekarang.
3. Adaptasi perkembangan
Pada setiap tahap perkembangan, seseorang biasanya menghadapi tugas perkembangan dan
menunjukkan karakteristik perilaku dari tahap perkembangan tersebut. Stres yang
berkepanjangan dapat mengganggu atau menghambat kelancaran menyelesaikan tahap
perkembangan tersebut. Dalam bentuk ekstrem,stres yang terlalu berkepanjangan dapat
mengarah pada krisis pendewasaan.
Bayi atau anak kecil umumnya menghadapi stresor di rumah. Jika diasuh dalam lingkungan
yang responsive dan empati, mereka mampu mengembangkan harga diri yang sehat dan pada
akhirnya belajar respons koping adaptif yang sehat (Haber et al, 2002) Anak-anak usia sekolah
biasanya mengembangkan rasa kecukupan. Mereka mulai menyadari bahwa akumulasi
pengetahuan dan penguasaan keterampilan dapat membantu mereka mencapai tujuan, dan harga
diri berkembang melalui hubungan berteman dan saling berbagi diantara teman. Pada tahap ini,
stres ditunjukan oleh ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk mengembangkan hubungan
berteman. Remaja biasanya mengembangkan rasa identitas yang kuat tetapi pada waktu yang
bersamaan perlu diterima oleh teman sebaya.
P a g e 13 | 20
Remaja dengan sistem pendukung sosial yang kuat menunjukkan suatu peningkatan
kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap stresor, tetapi remaja tanpa sistem pendukung
sosial sering menunjukan peningkatan masalah psikososial (Dubos, 2002). Dewasa muda berada
dalam transisi dari pengalaman masa remaja ke tanggung jawab orang dewasa. Konflik dapat
berkembang antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga. Stresor mencakup konflik antara
harapan dan realitas.
Usia setengah baya biasanya terlibat dalam membangun keluarga, menciptakan karier yang
stabil dan kemungkinan merawat orang tua mereka. Mereka biasanya dapat mengontrol
keinginan dan pada beberapa kasus menggantikan kebutuhan pasangan, anak-anak, atau orang
tua dari kebutuhan mereka. Usia lansia biasanya menghadapi adaptasi terhadap perubahan dalam
keluarga dan kemungkinan terhadap kematian dari pasangan 20 atau teman hidup. Usia dewasa
tua juga harus menyesuaikan terhadap perubahan penampilan fisik dan fungsi fisiologis.
4. Adaptasi sosial budaya
Mengkaji stresor dan sumber koping dalam dimensi sosial mencakup penggalian tentang
besaranya, tipe dan kualitas dari interaksi sosial yang ada. Stresor pada keluarga dapat
menimbulkan efek disfungsi yang mempengaruhi klien atau keluarga secara keseluruhan (Reis &
Heppner, 2003).
5. Adaptasi spiritual
Orang menggunakan sumber spiritual untuk mengadaptasi stres dalam banyak cara, tetapi stres
dapat juga bermanifestasi dalam dimensi spiritual. Stres yang berat dapat mengakibatkan
kemarahan pada Tuhan, atau individu mungkin memandang stresor sebagai hukuman.
Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah,
mengatasi perubahan yang terjadi, dan situasi yang mengancam, baik secara kognitif maupun
perilaku. Koping adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang
diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu
keadaan yang penuh tekanan, koping dapat diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu
masalah dapat juga membantu mengubah persepsi atas ketidaksesuaian, menerima bahaya,
melepaskan diri atau mengindari situasi stres (Nasir dan Muhith, 2011).
Diantara beberapa pendapat mengenai koping dapat disimpulkan bahwa koping adalah cara
atau langkah yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi, beradaptasi
dengan perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam atau melebihi batas
kemampuan individu, baik secara kognitif maupun perilaku.
Model keperawatan jiwa supportive therapy (Wermon, Rockland) bahwa pada konsep ini
faktor biopsikososial dan respons maladaptif akan berakumulasi menjadi satu, aspek biologis
yang menjadi masalah seperti sering sakit mag, batuk, dan lain-lain, sedangkan aspek psikologis
yang didapat dari kejadian itu diantaranya mudah cemas, sulit berkonsentrasi, kurang percaya
diri, mudah melamun, dan pemarah, serta pada aspek sosialnya adalah susah bergaul, menarik
P a g e 14 | 20
diri, manja, tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapat pekerjaan. Prinsip terapinya
dengan menguatkan respons koping adaptif, individu diupayakan mengenal kekuatan-kekuatan
yang ada pada dirinya, kemudian kekuatan mana yang akan menjadi pemecahan masalah yang
dihadapi (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Kategorinya adalah perilaku cenderung merusak, melakukan aktifitas yang kurang sehat
seperti obat-obatan, jamu dan alkohol, tidak mampu berfikir apa-apa atau disorientasi dan tidak
mampu menyelesaikan masalah.
Gaya koping positif adalah gaya koping yang mampu mendukung integritas ego, gaya koping
positif mempengaruhi mekanisme koping adaptif sedangkan gaya koping negatif adalah gaya
koping yang akan menurunkan integritas ego, dimana gaya koping tersebut akan merusak dan
merugikan diri sendiri, gaya koping negatif mempengaruhi mekanisme koping maladaptif.
Beberapa kelompok dalam gaya koping positif diantaranya :
1. Problem solving (masalah dihadapi dan dipecahkan)
2. Utilizing social support (dukungan dari orang lain untuk menyelesaikan masalah)
3. Looking for silver lining (berfikir positif dan mengambil hikmah dari masalah).
Beberapa kelompok dalam gaya koping negatif diantaranya :
1) Avoidance (membebaskan diri atau lari dari masalah)
2) Self-blame (menyalahkan diri sendiri)
3) Wishfull thinking (penentuan standar diri yang terlalu tinggi)
Mekanisme berdasarkan strategi dibagi menjadi dua, Lazarus dan Folkman, (1984) dalam Nasir
dan Muhith (2010). Koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping). Problem
focused coping yaitu usaha untuk mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah
yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.
1) Problem focused coping ditujukan untuk mengurangi keinginan dari situasi yang penuh
dengan stres atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Seseorang menggunakan
metode problem focused coping apabila mereka percaya bahwa sumber atau keinginan
P a g e 15 | 20
dari situasinya dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping antara
lain sebagai berikut.
a) Confrontative Coping : usaha untuk mengubah keadaaan yang dianggap menekan
dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan
risiko.
b) Seeking Social Support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan
bantuan informasi dari orang lain
c) Planful problem solving : usaha untuik mengubah keadaan yang dianggap
menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
2) Emotion focused coping
Emotion focused coping yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon
emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditumbulkan oleh
suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping
ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat
mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Strategi yang
digunakan dalam emosional focus coping antara lain sebagai berikut.
a) Self control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang
menekan.
b) Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar
dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-
pandangan yang positif, seperti menganggapa masalah seperti lelucon.
c) Positive reappraisal : usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan
berfokus dalam pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang
bersifat religius.
d) Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggungjawab diri sendiri
dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk
membuat semuanya menjadi lebih baik.
e) Escape/avoigen : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi
tersebut dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau
menggunakan obat-obatan.
2.12 Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping individu
Menurut Siswanto (2007), stresor yang sama dapat menimbulkan respon yang berbeda pada
setiap individu sesuai dengan karakteristik yang memiliki seperti:
1. Usia
Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling
mengganggu. Usia dewasa biasanya lebih mampu mengontrol stres dibanding dengan usia
anak-anak dan usia lanjut.
2. Jenis kelamin
Wanita biasanya memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan
pria terutama wanita-wanita di usia produktif karena hormon-hormon masih bekerja secara
normal.
3. Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, toleransi dan pengontrolan terhadap stresor
biasanya lebih baik.
4. Tingkat kesehatan
Orang yang sakit lebih mudah menderita akibat stres dibandingkan orang yang sehat.
P a g e 16 | 20
5. Kepribadian
Seseorang dengan kepribadian tipe A (tertutup) lebih mudah terkena stres daripada orang
dengan kepribadian tipe B (terbuka).
6. Harga diri
Harga diri yang rendah cenderung membuat efek stres lebih besar dibandingkan dengan
orang yang memiliki harga diri yang tinggi.
P a g e 17 | 20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stres dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa kurang/tidak nyaman, tetapi dapat
pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai elemen yang memberikan rasa nyaman ia dapat
dimanfaatkan, dapat dinikmati, selain sebagai pemberi rasa tersebut, juga sebagai pendorong
untuk maju dalam kehidupan.
Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan banyak keluhan, dalam
keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk khronis, gangguan fisik maupun mental,
kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian. Penatalaksanaan stres tentunya sesual sifatnya.
Bila ia membebani manfaat dalam hidup ia selayaknya dinikmati. Bila ia menimbulkan distres,
dalam keadaan akut, tersedia berbagai alternatif untuk mengatasinya, baik terhadap stresnya
sendiri maupun dampak yang ditimbulkannya.
Dalam keadaan kronis, gangguan yang timbul tentunya harus dihadapi dengan
pengobatan. Di sini peran kerja sama dari berbagai bidang kedokteran perlu bila gangguan
bersifat onganik. Penting justru peran psiklatri dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut.
Dalam menghadapi gangguan psikiatrik mural terdapat pilihan cara menghadapi dan
farmakoterapi hingga kepada psikoterapi.
P a g e 18 | 20
Daftar Pustaka
P a g e 19 | 20