Anda di halaman 1dari 25

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove


Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa
digunakan untuk tumbuhan Rhizophora mangle di Suriname (Karsten 1890 in
Chapman 1972). Menurut Macnae (1968), kata mangrove merupakan perpaduan
antara kata mangal dari bahasa Portugis dan kata grove dari bahasa Inggris.
Dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan untuk individu jenis
tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-
individu jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove
dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohon atau rumput-rumput maupun
semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan yang
berasosiasi dengannya.
Menurut Aksornkoae (1993), mangrove adalah tumbuhan halophit yang
hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai
daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan
subtropis. Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas
12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda,
dan Canocarpus), yang termasuk dalam delapan family.
Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi, dengan jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89
jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun
demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan
mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis
tumbuhan penting/dominan yang termasuk ke dalam 4 famili : Rhizophoracea
(Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Soneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae
(Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen 2004).
Dennis (1992) mengambarkan habitat mangrove berupa sistem akar
tunjang atau akar napas yang berada dipinggir pantai, laguna, dan teluk yang
berasal dari mangrove. Karakteristik habitat mangrove yakni: (1) umumnya
tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau
9

berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun
yang hanya tergenang pada saat pasang purnama, frekuensi genangan menentukan
komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari
darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang yang kuat. air yang
bersalinitas payau (2/22 per mil) hingga asin (mencapai 38 per mil) (Bengen
2004).
Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang,
kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi
lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang
memungkinkan aktif mengeluakan garam dari jaringan, sementara yang lain
mengembangkan system akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi
sistem perakarannya (Bengen 2004).
Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat
berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap tumbuhan mangrove
mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap
kondisi lingkungan fisika dan kimia di lingkungannya. Empat faktor utama yang
mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu : (1) frekuensi arus pasang,
(1) salinitas tanah, (3) air tanah, dan (4) suhu air. Keempat faktor tersebut akan
menentukan dominasi jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.
Mangrove dapat berkembang dimana tidak terdapat gelombang. Kondisi
fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang
minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air
yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung
mengendap dan berkumpul didasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi
substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya
bermanfaat bagi penambahan luasan bagi suatu daerah (Supriharyono 2000).
Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung
dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda tergantung pada
kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa penyebaran jenis mangrove berkaitan dengan salinitas, tipe pasang dan
frekuensi penggenangan. Dalam hal ini, Watson (1928); Chapman (1994) dan De
10

Hann (1931) in Kusmana et al.(2005) membuat korelasi antara salinitas, frekuensi


genangan pasang (kelas genangan) dan jenis pohon mangrove yang tumbuh pada
daerah yang bersangkutan (Tabel 1) .

Tabel 1. Penyebaran jenis-jenis pohon mangrove berdasarkan kelas genangan


Tipe pasang/ Kelas penggenangan Frekuensi Jenis pohon dominan
kelas (salinitas dan penggenangan
penggenangan frekuensi) Chapman (1944)
Watson (1928)
1. Pasang tinggi A.Payau sampai 530-700 kali/thn Avicennia spp.
tertinggi asin, salinitas 10-30 Sonneraia spp.
ppt, selalu tergenang
A1. 1-2 kultur, min
20 hr/bln.
2. Pasang tinggi A2. 10-19 hr/bln 400-530 kali/thn Rhizophora spp.
rata-rata Bruguiera spp.
3. Pasang tinggi A3. 9 hari/bln Xylocapus spp.
normal Heritiera spp.
4. Pasang tinggi A4. Beberapa hr/bln 150-250 kali/thn Lumnitzera spp.
musim Bruguiera spp.
Scyphypora spp.
5. pasang tinggi B. Air tawar sampai 4-100 kali/thn Jenis-jenis halophyta
badai payau Nypa fruticans
B1. Jarang tergenang Oncosperma sp.
pasang Carbera sp.

Sumber: Kusmana et al.(2005)

Mangrove adalah salah satu sumberdaya yang dapat pulih (renewable).


Peran dan fungsi mangrove yang sangat penting, akan tetapi kondisi hutan
mangrove saat ini telah mengalami banyak kerusakan. Kerusakan mangrove
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Sekalipun
demikian faktor utama kerusakan mangrove adalah karena faktor manusia, seperti
aktifitas produksi, eksploitasi, konversi lahan untuk peruntukan lain atau aktifitas
non-poduksi seperti polusi dari limbah rumah tangga atau limbah industry (Fauzi
2004).
Lebih lanjut Kusmana (1991) menyatakan, bahwa kerusakan ekosistem
mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor
manusia. Dari faktor alam, kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh
proses sedimentasi maupun kenaikan permukaan air laut. Adapun dari faktor
11

manusia, kerusakan yang terjadi akibat prilaku manusia itu sendiri seperti
aforestasi, reforestasi dan eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali serta
pencemaran di perairan estuaria tempat lokasi tumbuhnya mangrove. Uraian
secara ringkas dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove dapat dilihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove


No Kegiatan Dampak potensial
1. Tebang habis a. berubahnya komposisi tumbuhan mangrove
b. tidak berfungsi sebagai daerah mencari
makanan dan pengasuhan

2. Penggalian alian air a. peningkatan salinitas pada lahan mangrove


tawar, misalnya pada b. menurun tingkat kesubuan hutan mangrove
pembangunan irigasi

3. Konversi menjai lahan a. mengancam regenerasi stok ikan dan udang


pertanian, perikanan, di perairan lepas pantai yang memerlukan
pemukiman, dll. mangrove
b. terjadi pencemaran laut oleh bahan
pencemar yang sebelumnya diikat oleh
substrat mangrove
c. pendangkalan perairan pantai
d. erosi garis pantai dan intrusi garam.

4. Pembuangan limbah cair a. Penurunan kandungan oksigen terlarut,


peningkatan gas H2S

5. Pembuangan limbah a. Kemungkinan tertutupnya pneumatofora


padat (sampah) yang mengakibatkan matinya pohon
mangrove
b. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam
sampah padat

6. Pencemaran oleh a. Kematian pohon mangrove


tumpahan minyak

7. Penebangan dan ekstraksi a. Kerusakan total ekosistem mangrove


mineral, baik di dalam sehingga menurunkan fungsi ekologis
hutan maupun di daratan mangrove (daerah mencari makanan dan
sekitar mangrove asuhan).
b. Pengendapan sedimen yang dapat
mematikan pohon mangrove.
Sumber: Bengen (2004)
12

2.2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Mangrove


Kusmana et al. (2005) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor
lingkungan yang mendukung ekosistem mangrove (struktur, fungsi, komposisi
dan distribusi spesies, dan pola pertumbuhan) yakni sebagai berikut:
1. Fisiografi pantai
Topografi pantai merupakan factor penting yang mempengaruhi karakteristik
struktur mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan
ukuran serta luas mangrove. Semakin datar pantai dan semakin besar pasang
surut maka semakin lebar mangrove yang tumbuh.
2. Iklim
a. Cahaya
Umumnya tanamaan mangrove membutuhkan intensitas cahaya matahari
yang tinggi dan penuh, sehingga zona pantai tropis merupakan habitat
ideal bagi mangrove. Kisaran intensitas cahaya optimal untuk
pertumbuhan mangrove adalah 3000 – 3800 kkal/m2/hari. Pada saat masih
kecil (semai) tanaman mangrove memerlukan naungan. Beberapa hasil
penelitian menunjukkan:
− Intensitas cahaya 50% dapat meningkatkan daya tumbuh bibit
Rhizopora mucronata dan Rhizophora apiculata.
− Intensitas cahaya 75% mempercepat pertumbuhan bibit Bruguiera
gymnorrhiza.
− Intensitas cahaya 75% meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit
Rhizopora mucronata, Rhizophora apiculata dan Bruguiera
gymnorrhiza.
b. Curah hujan
Curah hujan mempengaruhi factor lingkungan seperti suhu air dan udara,
salinitas air permukaan tanah yang berpengaruh pada daya tahan spesies
mangrove. Dalam hal ini mangrove tumbuh subur di daerah curah hujan
rata-rata 1500 – 3000 mm/thn.
c. Suhu udara
Suhu penting dalam proses fisiologi seperti fotosintesis dan respirasi.
Mangrove yang terdapat dibagian Timur Pulau Sumatera tumbuh pada
13

suhu rata-rata bulanan dengan kisaran dari 26.3 0C pada Bulan Desember
sampai dengan 28.7 0C.
Hutching dan Saenger (1987) in Kusmana et al. (2005) mendapatkan
kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan beberapa jenis tumbuhan
mangrove yaitu: Avicennia marinna tumbuh baik pada suhu 18–20 0C,
Rhizophora stylosa, Criops spp., Exceocaria agallocha dan Lumnitzera
racemosa pertumbuhan daun segar tertinggi dicapai pada suhu 26–28 0C,
suhu optimum Bruguiera spp. 27 0C, Xylocarpus spp. berkisar antara 21–
26 0C dan Xylocarpus granatum 28 0C. Pertumbuhan mangrove yang baik
memerlukan suhu rata-rata minimal lebih besar dari 20 0C dan perbedaan
suhu musiman tidak melebihi 5 0C kecuali di Afrika Timur dimana
perbedaan suhu musiman mencapai suhu 10 0C.
d. Angin
Angin berpengaruh terhadap gelombang dan arus pantai, yang dapat
menyebabkan abrasi dan mengubah struktur mangrove, meningkatkan
evapotranspirasi dan angin kuat dapat menghalangi pertumbuhan dan
menyebabkan karakteristik fisiologis abnormal, namun demikian
diperlukan untuk proses polinasi dan penyebaran benih tanaman.
3. Pasang surut
Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi
pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada areal
mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu
factor yang membatasi distribusi spesies mangrove terutama distribusi
horizontal. Pada area yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata
yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp., dan Xylocarpus spp. jarang
mendominasi daerah yang sering tergenang.
4. Gelombang dan arus
Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab
penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur,
gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar
atau kasar akan mengendap terakumulasi membentuk pantai pasir. Mangrove
akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang.
14

5. Salinitas
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dari
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove
tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. beberapa spesies
dapat tumbuh di daerah dengan salinitas yang tinggi. Di Australia dilaporkan
Aviecennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan
salinitas maksimun 63 ppt, Ceriops spp. pada 72 ppt, Sonneratia spp. pada 44
ppt, Rhizophora artikulata pada 65 ppt dan Rhizophora stylosa pada 74 ppt.
Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan salt-
dimanding, oleh karena mangrove dapat tumbuh secara baik di habitat air
tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan
oleh beberapa faktor sebagai berikut: (a) penyebaran biji/propagul mangrove
terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (b) anakan mangrove kalah bersaing
dengan tumbuhan darat, dan (c) mangrove dapat mentoleransi kadar garam.
Zonasi mangrove berdasarkan salinitas, menurut De Hann (1931) in Bengen
(2004) dibagi sebagai berikut:
a. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air
pasang berkisar antara 10-30 ppt:
− Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam
sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh.
− Area yang terendam 10-19 kali/bln, ditemukan Avicennia (Avicennia
alba, Avicennia marina), Sonneratia sp. dan didominasi oleh
Rhizophora sp.
− Area yang terendam kurang dari 9 kali/bulan, ditemukan Rhizophora
sp., Bruguiera sp.
− Area yang tergenang hanya beberapa kali dalam setahun (jarang),
Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apikulata masih
dapat hidup.
b. Zona air tawar hingga relatif air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-
10 ppt:
- Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut,
terdapat asosiasi Nipah (Nypa fruticans).
15

- Area yang terendam secara musiman, didominasi oleh Hibiscus.


6. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove
(terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan
dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan
mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen
terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan dan organisme akuatik.
Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan
terendah pada malam hari. Konsentrasi oksigen terlarut di mangrove berkisar
antara 1.7-3.4 mg/l, lebih rendah di banding diluar mangrove yang besarnya
4.4 mg/l.
7. Tanah
Tanah mangrove dibentuk oleh akumulasi sedimen yang berasal dari pantai
dan erosi hulu sungai. Mangrove terutama tumbuh pada tanah lumpur, namun
berbagai jenis mangrove dapat tumbuh di tanah berpasir, koral, tanah
berkerikil bahkan tanah gambut.
8. Nutrien
Nutrient mangrove dibagi atas nutrien in-organik dan detritus organic.
Nutrien in-organik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta
K, Mg dan Na (selalu cukup). Sumber nutrient in-organik adalah hujan, aliran
permukaan, sedimen, air laut dan bahan organic yang terdegradasi. Detritus
organic adalah nutrient organic yang berasal dari bahan-bahan biogenic
melalu beberapa tahap degradasi microbial. Detritus organic berasal dari
authochthonus (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa organisme dan
kotoran organisme) dan allochthonus (partikulat dari air, limpasan sungai,
partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati
di zona pantai dan laut).
9. Proteksi
Mangrove berkembang baik di daerah pesisir yang terlindungi dari
gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah
yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain.
Beberapa ahli ekologi mangrove berpendapat bahwa faktor-faktor lingkungan
16

yang paling berperan dalam pertumbuhan mangrove adalah tipe tanah,


salinitas, drainase dan arus yang semuanya diakibatkan oleh kombinasi
pengaruh fenomena pasang surut dan ketinggian tempat dari rata-rata muka
air laut.

2.3. Zonasi dan Struktur Vegetasi Ekosistem Mangrove


Dalam perencanaan konservasi, distribusi/sebaran jenis tumbuhan dan
binatang disepanjang area sangat diperlukan sebagai informasi dasar (Pearce &
Ferrier 2001). Lebih lanjut Van Horne (1983) menyatakan, bahwa informasi
demografis dan utilisasi sumber daya yang lengkap adalah hal penting untuk
pemahaman kelayakan habitat dan akan mutunya.
Menurut Noor et al. (1999), mangrove pada umumya tumbuh dalam 4
(empat) zona yaitu, pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki
sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang
memiliki air tawar. Lebih jelasnya masing-masing zona diuraikan sebagai berikut:
a) Mangrove terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.
Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada
substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi
daerah berpasir sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata
cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur.
b) Mangrove tengah, terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini
biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Jenis-jenis penting lainnya yang
ditemukan adalah Bruguiera gymnorhiza, Excoecaria agallocha, Rhizophora
mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
c) Mangrove payau, berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir
tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau sonneratia.
Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung
dengan vegetasi yang terdiri atas Cerbera sp., Gluta renghas, Stenochlaena
palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas
Sonneratia-Nypa lebih sering ditemukan.
d) Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis
yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum
17

ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, F. retusa, Intsia bijuga,
Nypa fruticans, Lumnitzera racemoza, Pandanus sp., dan Xylocarpus
moluccensis.

2.4. Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove


Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam tropika yang memiliki
banyak manfaat, baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Peranan
penting ekosistem mangove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya
makhluk hidup, baik yang hidup di parairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk
pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut.
Mangrove berfungsi untuk mensuplai berbagai material ke daerah pantai (Alongi
1989; Hatcher et al. 1989; Chong et al. 1990; Lee 1995). Material ini
menstimulasi produktivitas pantai, dimana daerah pantai yang bermangrove akan
memiliki hasil perikanan yang lebih besar dibandingkan daerah pantai tanpa
mangrove (Marshall 1994). Detritus mangrove setelah terbawa air laut merupakan
nutrisi yang berpengaruh nyata bagi kehidupan pesisir dan laut (Rodelli et al.
1984, Hatcher et al. 1989, Fleming et al. 1990, Marguillier et al. 1997). Sebagai
tambahan, mangrove juga menyediakan bahan makanan, tempat bernaung, dan
sebagai tempat perlindungan untuk berbagai organisme intertidal maupun subtidal
(Blaber 1986; Robertson & Duke 1987).
Para ahli berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki fungsi fisik, fungsi
biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Hamilton dan Sneadaker (1984), Arief
(1994) dan Bann (1998), fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa
aspek yaitu :
1. Fungsi biologi
Fungsi biologi dari hutan mangrove antara lain:
(a). Tempat pemijahan (spawning ground) dan pertumbuhan pasca larva
(nursery ground) komoditi perikanan bernilai ekonomis tinggi (ikan,
kepiting, udang dan kerang)
(b). Pelindung terhadap keanekaragaman hayati
(c). Penyerap karbon dan penghasil oksigen yang sangat berguna bagi
peningkatan kualitas lingkungan hidup
18

2. Fungsi fisik
Fungsi fisik dari hutan mangrove antara lain:
(a). Pembangunan lahan dan pengendapan lumpur sehingga dapat memperluas
daratan.
(b). Menjaga garis pantai agar tetap stabil, pelindung pantai dari abrasi akibat
gempuran ombak, arus, banjir akibat laut pasang dan terpaan angin
(c). Pencegah interusi air laut ke daratan
(d). Pengolah limbah organic dan perangkap zat-zat pencemar (pollutant trap).
3. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung dari hutan
mangrove antara lain:
(a). Bahan bakar (kayu bakar dan arang)
(b). Bahan bangunan (kayu bangunan, tiang dan pagar)
(c). Alat penangkap ikan ( tiang sero, bubu, pelampung dan bagan)
(d). Makanan, minuman dan obat-obatan
(e). Bahan baku pulp dan kertas
(f). Bahan baku untuk membuat alat-alat rumah tangga dan kerajinan
(g). Pariwisata

Fungsi fisik dan biologi dapat dikatakan sebagai fungsi ekologis yang
belum mengalami perubahan dari aktivitas pembangunan manusia. Fungsi
ekonomi merupakan unsur tambahan dalam system ekologi tersebut yang telah
melibatkan berbagai aktifitas untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Fungsi
ekologis secara ekonomis memberi manfaat tidak langsung terhadap manusia,
sedangkan fungsi ekonomi memberikan manfaat langsung kepada manusia.
Menurut Liyanage (2004), nilai keuntungan (manfaat) tidak langsung dari
eksosistem mangrove dirasakan lebih tinggi jika dibandingkan manfaat
langsungnya. Nilai penting ekosistem mangrove antara lain menurunkan tingkat
erosi di pantai dan sungai, mencegah banjir, mencegah intrusi air laut,
menurunkan tingkat polusi (pencemaran), poduksi bahan organik sebagai sumber
bahan makanan, sebagai wilayah (daerah) asuhan, pemijahan, dan mencari makan
untuk berbagai jenis biota laut. Mangrove juga akan menjadi sumberdaya penting
dalam ekowisata di banyak negara. Hong dan San (1993) menambahkan bahwa
19

pada kenyataannya ekosistem ini menjaga kestabilan garis pantai, menyediakan


penghalang alami dari badai, topan, pasang surut yang tidak menentu dan bencana
alam lainnya. Untuk beberapa kasus, ekosistem mangrove berkontribusi secara
signifikan terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat disekitarnya.
Melena et al. (2000) menambahkan bahwa terdapat 6 fungsi ekosistem
mangrove ditinjau dari ekologi dan ekonomi, yaitu:
1. Mangrove menydiakan daerah asuhan untuk ikan, udang dan kepiting, dan
mendukung produksi perikanan di wilaiayah pesisir.
2. Mangrove menghasilkan serasah daun dan bahan-bahan pengurai yang
berguna sebagai bahan makanan hewan-hewan estuari dan perairan pesisir.
3. Mangrove melindungi lingkungan sekitar dengan melindungi daerah
pesisir dan masyarakat didalamnya dari badai, ombak, pasang surut dan
topan.
4. Mangrove menghasilkan bahan organik (organic biomass) yaitu karbon
dan menurunkan polusi bahan organik di daerah tepi dengan menjebak dan
menyerap berbagai polutan yang masuk kedalam perairan.
5. Dari segi estetika, mangrove menyediakan daerah wisata untuk
pengamatan burung, dan pengamatan jenis-jenis satwa lainnya.
6. Mangrove menyediakan kayu api untuk bahan bakar, kayu untuk bahan
bangunan, daun nipah untuk atap dan kerajinan tangan, serta lahan tambak
untuk budidaya perikanan. Ikan, udang-udangan, kerang dan berbagai
benih ikan juga dapat di panen dari ekosistem mangrove. Akuakultur dan
perikanan komersial (perikanan tangkap) juga tergantung dari sumberdaya
mangrove, yaitu sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang biak
berbagai jenis komoditas perikanan. Selain itu mangrove juga sebagai
sumber tannin, alkohol, dan obat-obatan. Nilai keseluruhan ekosistem
mangrove berkisar $500 US – $1 550 USD /ha/thn, nilai minim terjadi
ketika ekosistem mangrove dikonversi menjadi diperuntukan yang lain.

2.5. Konsep dan Metode Valuasi Ekonomi


2.5.1. Konsep Valuasi Ekonomi
Konsep nilai (value) adalah harga yang diberikan oleh seseorang terhadap
sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh
20

waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk atau
menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian (valuation) adalah
kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk
menduga nilai barang dan jasa. Kajian-kajian valuasi ekonomi membahas masalah
nilai lingkungan (valuing the environment) atau harga lingkungan (pricing the
environment).
Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai
ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut
pandang masyarakat. Menurut Thampapillai (1993) dalam Sanim (1997) tujuan
utama dari valuasi ekonomi barang-barang dan jasa lingkungan (environmental
goods dan services) adalah untuk dapat menempatkan lingkungan sebagai
komponen integral dari setiap sistem ekonomi. Dengan demikian valuasi
lingkungan hidup harus merupakan suatu bagian integral dan prioritas sektoral
dalam mendeterminasi keseimbangan antara konservasi dan pembangunan.
Bermacam-macam teknik penilaian dapat digunakan untuk
mengkuantifikasi konsep dari nilai. Sanim (1997) menyatakan hal-hal yang harus
diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memilih suatu metode valuasi ekonomi
dampak lingkungan adalah sebagai berikut :
1. Banyaknya tujuan atau perkiraan yang ingin diukur. Apabila analisis yang
dilakukan memiliki tujuan ganda, maka akan lebih meyakinkan bagi
seorang analis apabila mampu menyarankan besaran-besaran dampak yang
disarankan.
2. Konsep dan aspek yang ingin dinilai. Metode valuasi yang saling berbeda
satu sama lain bersifat saling melengkapi bukan berkompetisi, karena
mengukur aspek atau konsep yang berbeda.
3. Kebutuhan atau kepentingan pemakai hasil valuasi. Pemakai hasil valuasi
memiliki preferensi tertentu dan tersendiri terhadap suatu metode valuasi
ekonomi tergantung biaya, waktu dan tujuan.
4. Kepentingan umum atau masyarakat secara keseluruhan. Preferensi
masyarakat umum harus mampu ditangkap secara maksimal dan setepat
mungkin. Oleh karena itu, perlu ditempuh cara jajak pendapat yang
intensif dan memadai.
21

5. Perbandingan atau bobot antara biaya dengan nilai ekonomi penggunaan


hasil valuasi ekonomi. Apakah keuntungan yang diperoleh dari hasil
penggunaan valuasi tersebut sebanding dengan biaya yang akan
dikeluarkan.

2.5.2. Metode Valuasi Ekonomi


Kegiatan valuasi ekonomi terdiri dari 3 tahap yaitu: (1) melakukan
identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya, (2) melakukan kuantifikasi seluruh
manfaat dan fungsi sumberdaya, dan (3) melakukan pilihan alternatif pengelolaan
sumberdaya (Dahuri et al. 2004).
a. Identifikasi manfaat dan fungsi ekosistem mangrove
Manfaat ekosistem hutan mangrove yang dikonsumsi oleh masyarakat
dapat dikategorikan ke dalam dua komponen utama yaitu manfaat langsung (use
value) dan manfaat tidak langsung (non use value). Komponen manfaat langsung
dikategorikan kembali ke dalam nilai kegunaan langsung (direct use value) dan
nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan langsung
merujuk pada kegunaan langsung dari pemanfaatan hutan mangrove baik secara
komersial maupun non komersial. Sedangkan nilai kegunaan tidak langsung
merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung terhadap barang dan jasa
yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Dahuri et al. 2004).
Komponen manfaat tidak langsung adalah nilai yang diberikan kepada
hutan mangrove atas keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung
dan lebih bersifat sulit diukur karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap
lingkungan ketimbang pemanfaatan langsung. Komponen manfaat tidak langsung
dibagi lagi ke dalam sub-class yaitu nilai keberadaan (existence value), nilai
pewarisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai keberadaan pada
dasarnya adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya.
Nilai pewarisan diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan
menyediakan atau mewariskan sumberdaya untuk generasi mendatang. Nilai
pilihan diartikan sebagai nilai pemeliharaan sumberdaya sehingga pilihan untuk
memanfaatkannya masih tersedia untuk masa yang akan datang (Dahuri et al.
2004).
22

b. Kuantifikasi manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove


Tipologi metode valuasi ekonomi dapat digolongkan dalam tiga bagian
besar, terantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu: (1) umum
diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan (3) didasarkan atas survey.
Secara garis besar metode valuasi ekonomi dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yaitu pendekatan manfaat (benefit based valuation) dan pendekatan biaya
(cost based valuation). Metode-metode tersebut pada dasarnya merupakan turunan
dari metode analisis biaya manfaat (Dixon and Hodgson 1988)
Metode valuasi dengan pendekatan manfaat dapat dikelompokkan ke
dalam 2 kategori umum yaitu: berdasarkan nilai pasar aktual (actual market based
methods) dan yang kedua berdasarkan nilai pasar pengganti (substitute or
surrogate market based methods). Metode-metode valuasi ekonomi yang
termasuk ke dalam pengukuran nilai pasar aktual adalah (1) perubahan nilai
produksi (change in productivity), (2) metode kehilangan penghasilan (loss of
earning methods). Untuk metode pasar pengganti terdiri dari: (1) biaya perjalanan
(travel cost methods), (2) pendekatan perbedaan upah (wage differential methods),
(3) pendekatan nilai pemilikan (property value), dan (4) pendekatan nilai barang
yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan (hedonic pricing).
Metode valuasi dengan pendekatan biaya terdiri dari: (1) pengeluaran
pencegahan (averted defensive expenditure methods), (2) proyek bayangan
(shadow project methods), (3) biaya penggantian (replacement cost methods), dan
(4) biaya perpindahan (relocation cost methods). Secara ringkas, hubungan antara
nilai ekonomi dan metode valuasinya dapat dilihat pada Gambar 2.
23

Gambar 2. Pengelompokan nilai ekonomi lingkungan dan hubungannya dengan


metode valuasi ekonomi lingkungan (Dixon and Hodgson 1988).

Hufschmidt et al. (1996) mengelompokkan metode valuasi ekonomi


berdasarkan pendekatan harga pasar (actual market based methods) dan
berdasarkan pendekatan survei atau penilaian hipotesis. Pendekatan berorientasi
pasar telah mencakup berbagai metode valuasi yang dikemukakan oleh Dixon dan
Hudgson (1988). Pendekatan berdasarkan survey (survey based methods), terdiri
dari metode pendekatan berdasarkan kondisi lapangan (contingen valuation
methods) dan metode kesesuaian manfaat (benefit transfer methods).
24

c. Pilihan alternatif pengelolaan ekosistem hutan mangrove


Dalam menetapkan kebijakan dengan mengutamakan prinsip
keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian fungsi sumberdaya hutan
mangrove, maka pemahaman terhadap nilai ekonomi total (total economic value)
hutan mangrove serta kombinasi alokasi pemanfaatan sumberdaya yang efisien
mutlak diperlukan. Menurut Barbier (1989), konsep nilai ekonomi total terdiri dari
5 komponen yaitu nilai manfaat langsung (direct use value), nilai manfaat tidak
langsung (indirect use value), nilai manfaat pilihan (option value), nilai
keberadaan (existence value), dan nilai waris (bequest value).
Menurut Sanim (1997), nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup dapat
dipecah-pecah kedalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam
konteks penentuan alternatif penggunaan lahan dari hutan mangrove. Bedasarkan
hukum biaya dan manfaat (benefit – cost rule), keputusan untuk mengembangkan
suatu hutan mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari
pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi
dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari hutan
mangrove tersebut yang juga dapat diinterprestasikan sebagai perubahan kualitas
lingkungan hidup.
Ruitenbeek (1994) mengemukakan dengan teknik analisis biaya dan
manfaat dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk perencanaan dan
pengelolaan lingkungan. Dalam hal ini analisis biaya dan manfaat digunakan
untuk mengukur semua manfaat (benefit) dan biaya (cost) sebuah proyek dari
awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi
ekonomi proyek tersebut dari pandangan masyarakat.
Lubis (1995) mengemukakan bahwa analisis biaya dan manfaat dapat
digunakan jika :
1. Sebagian manfaat dan biaya proyek dapat dihitung dengan nilai uang
2. Manfaat dan biaya termasuk manfaat dan biaya lingkungan yang mengenai
sekelompok masyarakat tidak secara langsung dihitung dalam proyek
(dampak eksternal)
3. Manfaat dan biaya proyek berlangsung selama beberapa tahun
25

Adapun faktor-faktor yang perlu dibedakan dalam kuantifikasi manfaat


dan biaya yaitu :
1. Kemungkinan logis untuk menilai semua manfaat dan biaya sebuah proyek
2. Kemungkinan empiris untuk mengevaluasi
3. Penilaian moral atas valuasi tersebut

Dampak lingkungan sedapat mungkin diintegrasikan kedalam proses


valuasi proyek, sehingga memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk
membandingkan dampak lingkungan dengan dampak ekonomi dalam suatu unit
yang sama. Tabel 3 menunjukkan beberapa dampak lingkungan yang dapat
dihitung dalam ukuran uang dan dimasukkan dalam analisa manfaat dan biaya.
Dalam tabel tersebut terlihat adanya dampak positif (manfaat) dan dampak negatif
(biaya) dari pembukaan hutan bakau untuk tambak.

Tabel 3. Contoh hipotesis penilaian dampak ekonomi pembukaan hutan mangrove


untuk lahan tambak
Manfaat/
No Dampak Pengukur
Biaya
1. Peningkatan produksi ikan Manfaat Harga ikan atau udang setelah
dan udang disesuaikan dengan
subsidi/pajak x produksi
Kehilangan jenis ikan dan
2. Biaya ???
biota lain
3. Peningkatan rekreasi atau Manfaat Jumlah uang yang dibelanjakan
wisata pantai oleh turis
4. Peningkatan kondisi Manfaat Peningkatan harga tanah
lingkungan karena
perkembangan daerah
5. Abrasi pantai Biaya Kehilangan lahan
6. Konstruksi irigasi dan Biaya Harga bahan bangunan, tenaga
pekerjaan pemeliharaan kerja, kapital dan alat
7. Relokasi penduduk Biaya ???
8. Operasi dan biaya pekerjaan Biaya Harga bahan bangunan, tenaga
pemeliharaan lainnya kerja, kapital dan alat
9. Pembersihan lahan Biaya Harga peralatan, tenaga kerja
10. Penurunan hasil ikan di Biaya Harga ikan x jumlah ikan yang
muara dan lepas pantai berkurang
Sumber : Lubis (1995)
26

2.6. Analisis Kelembagaan


Secara umum terdapat dua jenis pengertian institusi, pertama adalah
institusi sebagai organisasi dan kedua adalah institusi sebagi aturan main atau
“rules of the game”. Institusi sebagai suatu organisasi biasanya menunjukan pada
lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi, bank,
rumah sakit, dan sejenisnya. Institusi sebagai “rules of the game” merupakan
aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan lain sebagainya dalam
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi
(North 1990; Rodgers 1994). Bromley (1992) mengibaratkan organisasi sebagai
hardwere dan institusi adalah softwerenya.
Suatu institusi, terdiri dari tiga unsur utama yaitu batas jurisdiksi, property
rights, dan aturan representasi (rules of representations). Satu institusi berbeda
dengan institusi lainnya apabila satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut berbeda.
Untuk memahami institusi lebih mendalam dan dapat melihat dampak perubahan
alternatif institusi terhadap performa kita perlu terlebih dahulu mempelajari unsur-
unsur dari institusi itu sendiri (Schmid and Allan 1987).
Landasan kerangka analitik institusi adalah mempelajari dampak
perubahan alternatif institusi terhadap perubahan prilaku manusia yang akhirnya
akan menghasilkan performa yang berbeda. Perubahan institusi hanya akan
menghasilkan performa yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat
mengkontrol sumber interdependensi antar individu seperti inkompatibilitas,
ongkos eksklusi tinggi (high exclusion cost), ongkos transaksi, skala ekonomi,
joint impact good,dan seterusnya. Kemampuan suatu institusi mengkordinasikan,
mengendalikan, atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat
ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber
interdependensi. Oleh karena itu pengetahuan mengenai sumber interdependensi
dan alternatif institusi sangat penting karena kesalahan dalam pemahaman sumber
interdependensi akan menyebabkan perubahan institusi tidak efektif (Schmid and
Allan 1987). Kerangka analisis kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 3.
27

Sympton Solusi
SITUASI KEBIJAKAN
TRANSISI

PERILAKU PERFORMANCE AKAR


MASALAH

STRUKTUR KEBIJAKAN
MENDASAR

Gambar 3. Kerangka analisis kelembagaan (Schmid and Allan 1987)

2.7. Konsep Pengelolaan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kehidupannya (WCED 1987 in Dahuri et al. 2004).
Selanjutnya Bengen (2004) berpendapat bahwa pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) merupakan visi dunia internasional yang sudah saatnya
juga menjadi visi nasional. Visi pembangunan berkelanjutan tidak melarang
aktivitas pembangunan ekonomi, tetapi menganjurkannya dengan persyaratan
bahwa laju (tingkat) kegiatan pembangunan tidak melampaui daya dukung
(carrying capacity) lingkungan alam. Dengan demikian generasi mendatang
memiliki asset sumber daya alam dan jasa lingkungan (environmental service)
yang sama atau jika dapat lebih baik daripada generasi yang hidup sekarang.
Menurut Dahuri et al. (2004), pada dasarnya pembangunan berkelanjutan
merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas
(limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada
didalamnya. Ambang batas yang dimaksud tidaklah bersifat mutlak (absolute)
melainkan merupakan batasan yang luwes (fleksibel) yang tergantung pada
kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam
serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Secara garis
besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki 4 dimensi:
(1) Dimensi ekologis,
(2) Dimensi sosial budaya,
28

(3) Dimensi sosial politis,


(4) Dimensi hukum dan kelembagaan (Dahuri et al. 2004).

Konsep pengelolaan lain yang berbasis ekosistem yang juga telah


diperkenalkan oleh Meffe et al. (2002) in INRR (2005) yang menggambarkan
bahwa pada dasarnya pendekatan ini mengintegasikan antara pemahaman ekologi
dan nilai-nilai sosial ekonomi. Dalam hal ini tujuan pengelolaan berbasis
ekosistem adalah memelihara, menjaga kelestarian dan integritas ekosistem
sehingga pada saat yang sama mampu menjamin keberlanjutan suplai sumberdaya
untuk kepentingan sosial ekonomi manusia. Rejim kolaboratif untuk mecapai
tujuan tersebut adalah 3 pilar pengelolaan berbasis ekologi, social ekonomi dan
institusi (Gambar 4). Dari gambar tersebut terdapat 4 konteks kebijakan yang
masing-masing merupakan dua perspektif tersebut.

Konteks ekologi

C A
D
Konteks Sosial Konteks Hukum
Ekonomi
B

Gambar 4. Tiga pilar pengelolaan berbasis social ekosistem (Meffe et al. 2002 in
INRR 2005)

Gambar diatas dapat dijelaskan bahwa daerah A adalah zona otoritas


pengelolaan (zone of management authority), dimana institusi pengelola
mendapatkan mandat dari masyarakat untuk melakukan regulasi terhadap
pengambilan keputusan yang terkait dengan ekosistem. Daerah B disebut sebagai
daerah kewajiban masyarakat (zone of societal obligation), dimana kebijakan
yang diambil institusi menitikberatkan pada kepentingan masyarakat sementara
itu daerah C adalah daerah pengaruh (zone of influence), dimana dinamika
keterkaitan sistem alam dan sistem sosial ekonomi terjadi dalam konsteks proses
dan bukan pada regulasi atau otoritas. Dengan kata lain proses saling
memengaruhi antar keduanya menjadi fokus utama dari perspektif daerah C.
29

Terakhir adalah daerah D sering pula disebut daerah interaksi bersama (zone of
win-win partnership) dimana fokus utama pembangunan berbasis pada sistem
sosial ekologi berada. Dalam konteks ini pandangan ketiga pilar pengelolaan
berbasis sosial ekosistem menjadi sama penting dan diwujudkan dalam kebijakan
pembangunan yang komprehensif dan terpadu.

2.8. Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang Berkelanjutan


Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan suatu upaya untuk
memelihara, melindungi dan merehabilitasi sehinga pemanfaatan terhadap
ekosistem ini dapat berkelanjutan. Menurut Aksornkoae (1993) pengelolaan
mangrove yang baik sangat penting untuk saat ini dan tujuan dari pengelolaan ini
antara lain harus:
1. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan produksi seperti kayu-
kayuan, kayu api, arang, untuk memenuhi domestik maupun ekspor.
2. Mengelola hutan mangrove untuk kepentingan tidak langsung seperti
daerah pemijahan dan mencari makan bebeberapa organisme darat dan
laut, pelindung badai, pencegah banjir dan erosi tanah.
3. Mengelola hutan mangrove sebagai satu kesatuan yang terpadu dari
berbagai ekosistem pantai, bukan sebagai ekosistem yang terisolasi.

Namun demikian pada hakekatnya dalam kerangka pengelolaan dan


pelestarian mangrove terdapat tiga konsep yang dapat diterapkan. Ketiga konsep
tersebut adalah perlindungan hutan mangrove, pemanfaatan hutan mangrove dan
rehabilitasi hutan mangrove. Ketiga konsep ini memberikan legitimasi dan
pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan
agar dapat lestari dan pemanfaatannya dapat berkelanjutan.
1) Perlindungan hutan mangove
Pelindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya
pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan
dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi suatu
bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan
seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil. Upaya perlindungan
ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan
30

Menteri Kehutanan nomor : KB.550/ 264/ kpts/ 1984 dan nomor: 082/ Kpts-
II/ 1984 tanggal 30 April 1984 dimana diantaranya disebutkan bahwa lebar
sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama itu
dibuat selain dengan tujuan utama memberikan legitimasi terhadap
perlindungan hutan mangrove, juga buat untuk menyelaraskan peraturan
mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi terkait.
Surat keputusan bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Depatemen
Kehutanan dengan mengelakan Surat Edaran Nomor: 507/ IV-BPHH/ 1990
yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau paa hutan mangrove
yaitu sebsar 200 m disepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai.
Berkaitan dengan perlindungan ekosistem mangrove dengan penentuan
kawasan konservasi seperti diuraikan diatas, perlu dilakukan suatu zonasi
terhadap ekosistem mangrove dengan tujuan pengaturan berbagai bentuk
kepentingan terhadap ekosistem ini. Menurut Aksornkoae (1993) zonasi
mangrove meupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan
pengelolaan ekosistem mangrove secaa berkelanjutan. Menurut persetujuan
internasional terhadap zonasi mangrove tedapat 3 zona utama yaitu:
a. Zona pemeliharaan (preservation zone) merupakan zona yang kaya
akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang
menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak biota laut. Zona ini
juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah.
b. Zona perlindungan (conservation zone) merupakan zona dengan hutan
mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari
pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut untuk
regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat
pemancingan oleh masyarakat local.
c. Zona pengembangan (development zone) merupakan zona dengan
penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan
dibutuhkan penghutanan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan
lain.
31

2) Pemanfaatan hutan mangrove


Dari segi pemanfaatan, Inoue et al. (1999) menyatakan mangrove sebagai
suatu ekosistem pada umumnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan
tidak langsung antara lain yaitu arang, kayu bakar, bahan bangunan, chip,
tannin, nipah, obat-obatan, bahan makanan, perikanan (penangkapan ikan,
tambak), pertanian, perkebunan dan pariwisata.
3) Rehabilitasi hutan mangove
Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan
penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi lebih stabil.
Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem
atau memperbarui untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
rehabilitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam
mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya
penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanam pada
level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali
ekosisetm mangrove seringkali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari
mangrove (dua atau tiga jenis). Hal ini meneyebabkan perubahan terhadap
habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem magrove tersebut karena
sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan
banyak spesies) yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan
kekayaan genetic (Macintosh et al. 2002).

Pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk


dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif dari
segenap pihak yang berada disekitar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif
ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan terhadap masyarakat
yang sangat rentan terhadap sumber daya mangrove diberikan porsi yang lebih
besar. Menurut Sembiring dan Husbaini (1999), pemberian porsi yang besar
kepada masyarakat harus diiringi dengan upaya pembangunan kesadaran dan
persepsi pentingnya arti dan peran hutan mangrove itu sendiri. Pandangan
masyarakat yang selama ini hanya melihat kepentingan mangrove dari sudut
ekonomi, secara berangsur-angsur harus digiring ke arah kepentingan bioekologis.
32

Pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat


mempertahankan poduktivitas ekosistem mangrove dan kawasan sekitarnya, agar
diperoleh hasil yang lestari.

Anda mungkin juga menyukai