Anda di halaman 1dari 22

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan Bahan Medis Habis

Pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014, meliputi perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan.
1. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya
dan kemampuan masyarakat.
Tujuan dari perencanaan adalah agar proses pengadaan obat atau perbekalan
farmasi yang ada di apotek menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan anggaran
yang tersedia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan
perencanaan adalah :
a. Pemilihan Pemasok, kegiatan pemasok (PBF), service (ketepatan waktu,
barang yang dikirim, ada tidaknya diskon bonus, layanan obat expire date
(ED) dan tenggang waktu penagihan), kualitas obat, dan perbekalan farmasi
lainnya, ketersediaan obat yang dibutuhkan dan harga.
b. Ketersediaan barang atau perbekalan farmasi (sisa stok, rata-rata pemakaian
obat dan satu periode pemesanan pemakaian dan waktu tunggu pemesanan,
dan pemilihan metode perencanaan.
Adapun beberapa metode perencanaan, diantaranya :
a. Metode Konsumsi, memperkirakan penggunaan obat berdasarkan pemakaian
sebelumnya sebagai perencanaan yang akan datang.
b. Metode Epidemiologi, berdasarkan penyebaran penyakit yang paling banyak
terdapat di lingkungan sekitar apotek.
c. Metode Kombinasi, mengombinasikan antara metode konsumsi dan metode
epidemiologi.
d. Metode Just In Time (JIT), membeli obat pada saat dibutuhkan.
2. Pengadaan
Suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedia sediaan farmasi dengan
jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Pengadaan yang
efektif merupakan suatu proses yang mengatur berbagai cara, teknik dan kebijakan
yang ada untuk membuat suatu keputusan tentang obat-obatan yang akan diadakan,
baik jumlah maupun sumbernya. Kriteria yang harus dipenuhi dalam pengadaan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah :
a. Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diadakan memiliki izin edar atau
nomor registrasi.
b. Mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat
dipertanggung jawabkan.
c. Pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan berasal dari jalur resmi.
d. Dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
Pengadaan di apotek dapat dilakukan dengan cara pembelian (membeli obat ke
PBF) atau dengan cara konsinyasi (dimana PBF menitipkan barang di apotek dan
dibayar setelah laku terjual). Proses pengadaan barang dengan cara pembelian
dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Persiapan
Persiapan ini dilakukan untuk mengetahui persediaan yang dibutuhkan
apotek untuk melayani pasien. Persediaan yang habis dapat dilihat di gudang
atau pada kartu stok. Jika barang memang habis, dapat dilakukan pemesanan.
Persiapan dilakukan dengan cara data barang-barang yang akan dipesan dari
buku defektan termasuk obat-obat yang ditawarkan supplier.
b. Pemesanan
Pemesanan dapat dilakukan jika persediaan barang habis, yang dapat dilihat
dari buku defektan. Pemesanan dapat dilakukan langsung kepada PBF melalui
telepon, E-mail maupun lewat salesmen yang datang ke apotek. Pemesanan
dilakukan dengan menggunakan surat pemesanan (SP), surat pemesanan
minimal dibuat 2 lembar (untuk supplier dan arsip apotek) dan di tanda tangani
oleh apoteker. Biasanya SP dibuat 3 lembar. Untuk SP pembelian obat-obat
narkotika dibuat menjadi 4 lembar (3 lembar diserahkan pada PBF yaitu warna
putih, merah, biru dan satu lembar berwarna kuning sebagai arsip si di apotek).
Untuk obat narkotika 1 surat permintaan hanya untuk satu jenis obat, sedangkan
untuk psikotropika 1 surat permintaan bisa untuk satu atau lebih jenis obat.
3. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan
sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi
atau sumbangan. Penerimaan adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak/pesanan. Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan,
dokumentasi dan penyerahan yang dilakukan dengan menggunakan "checklist" yang
sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk yang berisi antara lain :
a. Kebenaran jumlah kemasan dan mencocokkan fraktur dengan SP
b. Kebenaran kondisi kemasan seperti yang diisyaratkan
c. Kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
d. Kebenaran jenis produk yang diterima;
e. Tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
f. Kebenaran identitas produk;
g. Penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan brosur;
h. Tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi produk,
i. Jangka waktu daluarsa yang memadai.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menata dan memelihara dengan cara
menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada tempat yang
dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
Penyimpanan harus menjamin stabilitas dan keamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan dan alfabetis dengan menerapkan prinsip First ln First Out (FIFO) dan First
Expired First Out (FEFO) disertai sistem informasi manajemen. Untuk
meminimalisir kesalahan penyerahan obat direkomendasikan penyimpanan
berdasarkan kelas terapi yang dikombinasi dengan bentuk sediaan dan alfabetis.
Apoteker harus rnemperhatikan obat-obat yang harus disimpan secara khusus seperti
narkotika, psikotropika, obat yang memerlukan suhu tertentu, obat yang mudah
terbakar, sitostatik dan reagensia. Selain itu apoteker juga perlu melakukan
pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima dan
disimpan sehingga terjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan
alat kesehatan.
5. Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan atau menyerahkan sediaan farmasi
dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan pasien.
Sistem distribusi yang baik harus:
a. Menjamin kesinambungan penyaluran atau penyerahan.
b. Mempertahankan mutu.
c. Meminimalkan kehilangan, kerusakan dan kedaluarsa.
d. Menjaga ketelitian pencatatan.
e. Menggunakan metode distribusi yang efisien, dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
f. Menggunakan sistem informasi manajemen.
6. Pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai standar yang
ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan dan Pemusnahan sediaan farmasi harus
dilaksanakan dengan cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku. Prosedur pemusnahan obat hendaklah dibuat yang
mencakup pencegahan pencemaran di lingkungan dan mencegah jatuhnya obat
tersebut di kalangan orang yang tidak berwenang. Sediaan farmasi yang akan
dimusnahkan supaya disimpan terpisah dan dibuat daftar yang mencakup jumlah dan
identitas produk. Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang dilakukan sendiri
maupun oleh pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ketentuan pemusnahan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 :
a. Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kedaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan
psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian
lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan
dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan Formulir 1
sebagaimana terlampir.
b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep
menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
7. Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu pengelolaan perbekalan
(supply) sediaan farmasi dan alat kesehatan agar mempunyai persediaan dalam jenis
dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan menumpuknya
persediaan. Pengendalian persediaan yaitu upaya mempertahankan tingkat
persediaan pada suatu tingkat tertentu dengan mengendalikan arus barang yang
masuk melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan (scheduled inventory dan
perpetual inventory), penyimpanan dan pengeluaran untuk memastikan persediaan
efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurangan, kerusakan,
kedaluarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi.
Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara
manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama Obat, tanggal
kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
8. Penarikan Kembali Sediaan Farmasi
Penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas permintaan produsen atau
instruksi instansi pemerintah yang berwenang. Tindakan penarikan kembali
hendaklah dilakukan segera setelah diterima permintaan instruksi untuk penarikan
kembali. Untuk penarikan kembali sediaan farmasi yang mengandung risiko besar
terhadap kesehatan, hendaklah dilakukan penarikan sampai tingkat konsumen.
Apabila ditemukan sediaan farmasi tidak memenuhi persyaratan, hendaklah
disimpan terpisah dari sediaan farmasi lain dan diberi penandaan tidak untuk dijual
untuk menghindari kekeliruan. Pelaksanaan penarikan kembali agar didukung oleh
sistem dokumentasi yang memadai.
9. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struck penjualan) dan
pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal
merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek,
meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi
pelaporan narkotika (menggunakan Formulir 3 sebagaimana terlampir), psikotropika
(menggunakan Formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya.
10. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan untuk mengamati dan menilai
keberhasilan atau kesesuaian pelaksanaan Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik
disuatu pelayanan kefarmasian. Untuk evaluasi mutu proses pengelolaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan, dapat diukur dengan indikator kepuasan dan keselamatan
pasien/ pelanggan/ pemangku kepentingan (stakeholders), dimensi waktu (time
delivery), Standar Prosedur Operasional serta keberhasilan pengendalian perbekalan
kesehatan dan sediaan farmasi.
2.7.2 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2016 Tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014, Pelayanan farmasi klinik
meliputi :
1. Pengkajian Resep
Kajian administratif meliputi:
a. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
b. Nama dokter, nomor surat izin praktik (sip), alamat, nomor telepon dan
paraf; dan
c. Tanggal penulisan resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
a. Bentuk dan kekuatan sediaan;
b. Stabilitas; dan
c. Kompatibilitas (ketercampuran obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi dan dosis Obat;
b. Aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
c. Duplikasi dan/atau poli farmasi;
d. Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi
klinis lain);
e. Kontra indikasi; dan
f. Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidak sesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
2. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
a. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
 Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
 Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik
Obat.
b. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
 Warna putih untuk Obat dalam/oral;
 Warna biru untuk Obat luar dan suntik;
 Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau
emulsi.
d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat
yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan
yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
a. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan
Resep);
b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
d. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
e. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait
dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus
dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-
lain;
f. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak
stabil;
g. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
h. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan di paraf oleh
Apoteker (apabila diperlukan);
i. Menyimpan Resep pada tempatnya;
j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan
Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan
swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan
Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas
terbatas yang sesuai.
3. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker
dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan
kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat
Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode
pemberian, farmakokinetika, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
b. Membuat dan menyebarkan buletin/ brosur/ leaflet, pemberdayaan
masyarakat (penyuluhan);
c. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi
yang sedang praktik profesi;
e. Melakukan penelitian penggunaan obat;
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
g. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran
kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan Formulir 6
sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :
a. Topik Pertanyaan;
b. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
c. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti
riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
e. Uraian pertanyaan;
f. Jawaban pertanyaan;
g. Referensi;
h. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker
yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga
terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah
yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions.
Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode
Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatrik, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi).
c. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
corticosteroid dengan tapering down/off).
d. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoxin,
fenitoin, teofilin).
e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan
satu jenis Obat.
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three
Prime Questions, yaitu:
 Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda ?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat
Anda ?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah Anda menerima terapi Obat tersebut ?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada
pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah
penggunaan Obat
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien
sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling
dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan
Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan
pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,
meliputi :
a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan
b. Identifikasi kepatuhan pasien
c. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
d. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien
f. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan
menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi
Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan
efek samping.
Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multi diagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan.
Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang
terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan riwayat alergi;
melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga
kesehatan lain
c. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat antara
lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian Obat tanpa
indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu
rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya
interaksi Obat
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana
pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
f. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah dibuat
oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait
untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat dengan
menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan
atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
a. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami efek samping Obat. Mengisi formulir Monitoring Efek
Samping Obat (MESO)
b. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan
menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
2.7.3 Pengelolaan Resep
Resep yang telah dilayani harus disimpan selama tiga tahun. Resep yang
disimpan diberi penandaan mengenai tanggal, bulan dan tahun pelayanan. Kemudian
resep disusun rapih agar mampu ditelusuri bila sewaktu-waktu diperlukan. Tanggal
terdekat dengan bulan layanan ditempatkan yang lebih mudah dijangkau agar mampu
ditelusuri dengan cepat. Untuk pengelolaan resep narkotik dan psikotropika. Pada saat
pelayanan resep narkotika diberi tanda garis warna merah. Resep narkotika dan
psikotropika harus terarsip dengan baik dan dicatat dalam buku penggunaan obat
narkotika dan psikotropika. Resep narkotika diarsipkan dan disimpan selama tiga tahun
berdasarkan tanggal dan nomor urut resep.
2.7.4 Pengelolaan Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika (PERMENKES, 2015).
1. Pemesanan Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan
memberikan izin kepada apotek untuk membeli, meracik, menyediakan, memiliki
atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan,
mengirimkan, membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan
(Presiden Republik Indonesia, 2009). Pengadaan narkotika di apotek dilakukan
dengan pesanan tertulis melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar
Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma. Surat Pesanan Narkotika harus ditandatangani oleh
APA dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA dan stempel apotek. Satu
surat pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat untuk memesan satu jenis
obat narkotika (Umar M., 2011).
2. Penyimpanan Narkotika
Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika dan harus
dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
b. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
c. Dibagi menjadi dua bagian masing-masing bagian dengan kunci yang
berlainan. Bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin
dan garam-garamnya serta persediaan narkotika sedangkan bagian kedua
dipergunakan untuk menyimpan narkotika yang dipakai sehari-hari.
d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari
40×80×100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat melekat pada tembok atau
lantai.
e. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain
narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
f. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang dikuasakan
g. Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat
oleh umum.
3. Pelayanan Resep Mengandung Narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter sesuai
dengan ketentuan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
No. 336/E/SE/77 antara lain dinyatakan :
a. Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) UU No. 9 tahun 1976 tentang
Narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung
narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum
dilayani sama sekali.
b. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama
sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut
hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep aslinya.
c. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani
sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada
resep-resep yang mengandung narkotika.
4. Pelaporan Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa industri
farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan
berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dibawah
penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika dan laporan
pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di tanda tangani oleh apoteker
pengelola apotek dengan mencantumkan SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek,
kemudian dikirimkan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan dengan tembusan
kepada :
a. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
b. Kepala Balai POM setempat.
c. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. (khusus
Apotek Kimia Farma).
d. Arsip.
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
a. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika
b. Laporan penggunaan bahan baku narkotika
c. Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin
d. Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya
Selain laporan dalam bentuk printout, laporan penggunaan obat narkotika di
lakukan melalui online SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika).
Asisten apoteker setiap bulannya menginput data penggunaan narkotika dan
psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data telah terinput data tersebut di import
(paling lama sebelum tanggal 10 pada bulan berikutnya). Laporan meliputi laporan
pemakaian narkotika untuk bulan bersangkutan (meliputi nomor urut, nama
bahan/sediaan, satuan, persediaan awal bulan), pasword dan username didapatkan
setelah melakukan registrasi pada dinkes setempat (sipnap.binfar.depkes.go.id).

5. Pemusnahan Narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015,
pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau dokter yang memusnahkan
narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga.
Berita acara pemusnahan memuat :
a. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
b. Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau dokter pemilik
narkotika.
c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari perusahaan
atau badan tersebut.
d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
e. Cara pemusnahan.
f. Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin khusus, dokter
pemilik narkotika, dan saksi-saksi.
Kemudia berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan
Kesehatan dengan tembusan:
a. Balai POM setempat
b. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
c. Arsip
2.7.5 Pengelolaan Psikotropika
Ruang lingkup pengaturan Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015) :
1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan
ilmu pengetahuan.
2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
3. Memberantas peredaran gelap psikotropika
Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi (Presiden Republik
Indonesia, 1997):
1. Pemesanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat Pesanan
Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK.
Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua dan setiap surat dapat digunakan untuk
memesan beberapa jenis psikotropika.
2. Penyimpanan Psikotropika
Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan. Namun karena
kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka disarankan untuk obat golongan
psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus dan membuat
kartu stok psikotropika.
3. Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat dilakukan
kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter kepada
pengguna/pasien berdasarkan resep dokter
4. Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap bulan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai
Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.
Laporan penggunaan psikotropika dilakukan setiap bulannya melalui SIPNAP
(Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika). Asisten apoteker setiap bulannya
menginput data penggunaan psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data telah
terinput data tersebut di import. Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika
untuk bulan bersangkutan (meliputi nomor urut, nama bahan/sediaan, satuan,
persediaan awal bulan). pasword dan username didapatkan setelah melakukan
registrasi pada dinkes setempat (sipnap.binfar.depkes.go.id).
5. Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana,
diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak
dapat digunakan dalam proses produksi, kedaluarsa atau tidak memenuhi syarat
untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan. Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan pembuatan berita acara
yang sekurang-kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang
izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara
pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan
saksi-saksi pemusnahan.
2.8 Pengelolaan Sumber Daya
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pengelolaan sumber daya terdiri dari :
1. Sumber Daya Manusia
Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh
seorang Apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa
harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik,
mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menetapkan diri
sebagai pemimpin dalam situasi multidisiplin, kemampuan mengelola SDM secara
efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan
memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
2. Keuangan
Laporan keuangan yang biasa dibuat di apotek adalah (Umar, M., 2011):
a. Laporan Laba-Rugi yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran
pendapatan dan biaya operasional yang dikeluarkan selama periode waktu
tertentu.
b. Laporan Neraca yaitu laporan yang menggambarkan tentang potret kondisi
kekayaan apotek pada tanggal tertentu.
c. Laporan Aliran Kas yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran kas yang
masuk dan keluar pada periode tertentu.
3. Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan
administrasi yang meliputi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004):
a. Administrasi umum
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Administrasi pelayanan
Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil
monitoring penggunaan obat.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 1993) :
1. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan
farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
2. Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan
atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau
dengan cara lain yang ditetapkan.
2.9 Peranan Tenaga Teknis Kefarmasian di Apotek
Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Tknis
Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Mnengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung
dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk menigkatkan mutu kehidupan pasien.
Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis
Kefarmasian (menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002 adalah
sebagai berikut:
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesinya.
2. Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
3. Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data kesehatan
pasien.
4. Melakukan pengelolaan apotek.
5. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.
2.10 Penggolongan Obat Menurut Undang – Undang
Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah
menggolongkan obat menjadi beberapa bagian, yaitu:
2.10.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau
dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas
2.10.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas


Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa
empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2
(dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) :

Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas


2.10.3 Obat Keras dan Obat Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan
garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat. Obat psikotropika adalah obat
keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Contoh : Diazepam, Phenobarbital (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras
Menurut UU No.5 Tahun 1997 psikotopika digolongkan menjadi (Presiden
Republik Indonesia, 1997):
1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, dan metilendioksi metilamfetamin
(MDMA).
2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, dan fensiklidin.
3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: amobarbital, pentabarbital, dan siklobarbital.
4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh: diazepam, estazolam, etilamfetamin, alprazolam.
2.10. 4 Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
menimbulkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006). Obat narkotika ditandai dengan simbol palang medali atau
palang swastika.

Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika


Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Peraturan Menteri KEsehatan
Republik Indonesia, 2014):
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: kokain, opium, heroin, dan ganja.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: fentanil, metadon,
morfin, dan petidin.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: etilmorfina kodein, dan norkodeina.
2.10.5 Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, menerangkan bahwa obat
wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh
apoteker kepada pasien di apotek. Peraturan mengenai obat wajib apotek dibuat untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi
masalah kesehatan dan peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1990).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993):
1. Tidak di kontra indikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun,
dan orang tua diatas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko akan
kelanjutan penyakit.
3. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek
diwajibkan untuk (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993b) :
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan
dalam OWA yang bersangkutan.
2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
3. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontra indikasi,
efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
2.10.6 Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi Internasional Non Proprietary
Name (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya
untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2010).

Gambar 2.6 Penandaan Obat Generik

Anda mungkin juga menyukai