Anda di halaman 1dari 50

TUGAS GERIATRI

Semester I
“Sindroma Geriatri”

KELOMPOK 3

1. Almas Faizatul Ukhro (P27228020226)


2. Hanif Nafi’ah (P27228020238)
3. Muhamad Baskoro Aji S. (P27228020250)
4. Siwi Dwi Hastuti (P27228020262)

Prodi DIV Terapi Okupasi


Poltekkes Kemenkes Surakarta
2021
SINDROMA GERIATRI

Bab ini akan menyajikan pembahasan mengenai Sindroma Geriatri.

Apa sih yang dinamakan sindroma geriatri dan apa saja sindroma geriatri itu?
Serta bagaimana peran Terapi Okupasional pada sindroma geriatri?
Pembahasan lebih dalam akan dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab:
1. Sindroma geriatri
2. Macam - macam problem pada sindroma geriatri
3. Penatalaksanaan Terapi Okupasional pada sindroma
geriatri
Setelah mempelajari bab ini diharapkan Anda dapat:
1. Memahami dan menjelaskan apa itu sindroma geriatri
2. Memahami dan menjelaskan macam - macam problema pada sindroma
geriatri
3. Memahami dan menerapkan penatalaksanaan Terapi Okupasional yang benar
dan cara pencegahan pada sindroma geriatri.
Agar Anda dapat mencapai hasil belajar yang optimum, ikutilah semua
petunjuk dalam bab ini dengan cermat. Baca semua uraian materi ini secara
berulang, aplikasikan contoh yang ada ke dalam situasi nyata, kerjakan latihan
dengan sungguh-sungguh, dan baca rangkuman sebelum mengerjakan tes
formatif!
Jika Anda melakukan disiplin yang tinggi dalam belajar, Anda pasti berhasil
dan secara berangsur-angsur akan menjadi mahasiswa yang mampu mandiri
dalam belajar.

Selamat Belajar, sukses bagi Anda!


"Aku akan belajar untuk mempersiapkan diri dan suatu hari peluangku akan
datang." Semoga dengan kata - kata ini bisa membuat teman - teman semangat
buat belajar ya….
Selamat belajar, semangat belajar!!!!
Kegiatan Belajar 1
Sindroma Geriatri

Sebelumnya apakah ada yang tau apa itu sindroma geriatri? Sindroma geriatri
adalah sindroma atau permasalahan yang dialami oleh para lansia atau lanjut usia.
Untuk memahami lebih dalam apa itu sindroma geriatri mari kita bahas lebih
lengkapnya.
Istilah geriatri (geros = geriatri, iatreia = merawat/merumat), pertama kali
digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909.
Tetapi ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935
di Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex
Hospital yang dianggap sebagai pelopornya (Pranarka yang dikutip oleh Dini,
2013).
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, jatuh, dan lain-lain. Sindroma ini dapat menyebabkan
angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada lansia. Sindroma
ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindroma geriatri mungkin
memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, memerlukan
intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panita yang dikutip
oleh Dini, 2013) .
Sifat penyakit pada geriatri tidak sama dengan penyakit dan kesehatan
pada golongan populasi usia lainnya. Penyakit pada geriatri cenderung bersifat
multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai
proses patologik/penyakit. Penyakit biasanya berjalan kronis, menimbulkan
kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan kematian. Geriatri juga
sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat dengan kondisi
daya tahan yang menurun. Kesehatan geriatri juga sangat dipengaruhi oleh faktor
psikis, sosial dan ekonomi. Pada geriatri seringkali terjadi penyakit iatrogenik,
akibat banyak obat-obatan yang dikonsumsi (polifarmasi). Sehingga kumpulan
dari semua masalah ini menciptakan suatu kondisi yang disebut sindrom geriatri
(Pranarka, yang dikutip oleh Dini, 2013).
Menurut Kane yang dikutip oleh Dini (2013), sindrom geriatri memiliki
beberapa karakteristik, yaitu: usia > 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak
khas, polifarmasi, fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan
gangguan nutrisi.

RANGKUMAN

Sindrom geriatri adalah sindroma atau permasalahan yang dialami oleh


para lansia atau lanjut usia, meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, jatuh, dan lain-lain. Penyakit pada geriatri cenderung
bersifat multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan
berbagai proses patologi/penyakit. Penyakit biasanya berjalan kronis,
menimbulkan kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan kematian.
Geriatri juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat
dengan kondisi daya tahan yang menurun.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai


sindroma geriatri. Kerjakan soal latihan berikut!

Bagaimana karakteristik dari sindroma geriatri?

Petunjuk Jawaban Latihan


Baca dan kuasai bahasan teori sindroma geriatri
Kegiatan Belajar 2

Macam-Macam Problema pada Sindroma Geriatri

Selanjutnya materi yang akan kita bahas adalah “Macam-Macam Problema


pada Sindroma Geriatri”, apa saja problema yang akan dialami oleh para lansia?
Berikut akan kami jabarkan beberapa problema yang dapat dialami oleh para
lansia akibat sindroma geriatri.

A. Sindroma Serebral
Gangguan otak besar (Sindroma serebral) adalah kumpulan gejala yang
terjadi akibat perubahan dari aliran darah otak. Pada lansia, terjadi pengecilan
otak besar yang dalam batas tertentu masih dianggap normal. Aliran darah
otak orang dewasa kurang lebih 50 cc/100 gram/menit. Apabila aliran kurang
dari separuhnya, maka akan menimbulkan gejala-gejala sindroma serebral
(Suyanto, 2008).
Gangguan sirkulasi ini dapat disebabkan karena hipertensi/darah tinggi,
mengerasnya pembuluh darah, penyempitan akibat proses pengerasan
pembuluh yang dipercepat dengan tingginya kolesterol darah
(atheroskerosis), kencing manis, merokok dan darah tinggi. Pembuluh darah
otak pada orang lanjut usia banyak dijumpai plak ateroma pada sistem karotis
serta terjadi degenerasi diskus intervertebralis. Sirkulasi darah otak pada
lanjut usia sangat rentan terhadap perubahan, baik perubahan posisi tubuh
maupun faktor lain (tekanan).
Manifestasi sindroma serebral yang berkaitan dengan seluruh otak antara
lain apraxia dengan kaku otot, reflek primitif meningkat dan tendensi untuk
condong ke belakang, gangguan jalan (gait), demensia, dan inkontinensia.
Kemudian manifestasi sindroma serebral yang berkaitan dengan area
pembuluh karotis adalah serangan otak sepintas ( TIA = transient ischaemic
attack), penyakit pembuluh darah otak (stroke), dan arteritis yaitu peradangan
pada dinding pembuluh arteri, biasanya disebabkan oleh infeksi atau respon
autoimun. Selanjutnya, manifestasi sindroma serebral yang berkaitan dengan
area pembuluh vertebrobasiler adalah drop attack (serangan roboh) yaitu
pasien tiba-tiba jatuh tanpa peringatan, bukan karena tersandung, dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran, terjadi sebagai akibat TIA ke dasar otak. Lalu
terdapat gangguan pada reflek postur, pengaturan tensi dan suhu serta
muntah.

B. Konfusio/Delirium
Menurut Rahayu dan Darmojo (2002), konfusio akut adalah suatu
problem pada lansia yang ditandai dengan penurunan derajat kesadaran yang
terjadi secara tiba-tiba, sering merupakan tanda awal dari penyakit-penyakit
berat yang diderita lansia, mempunyai angka kesakitan dan kematian yang
tinggi dan sering mengakibatkan cacat atau imobilitas. Sedangkan menurut
Widyastuti dan Mahasena (2017), konfusio akut merupakan keadaan dimana
penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan
perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu
berfikir secara jernih.
Acute confusional state (konfusio akut) memiliki banyak nama, beberapa
literature menggunakan istilah seperti sindrom delirium, acute mental status
change, altered mental status, reversible dementia, toxic/metabolic
encephalopathy, organic brain sybdrome, dan dysergastic reaction.
Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun, dengan
sebagian besar memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda
(sign) lagi setelah tiga hari atau lebih perawatan. Delirium dapat mengganggu
status fungsional pada lansia termasuk kemampuan lansia untuk melakukan
aktivitas sehari-harinya (Weng, 2019)
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai
pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif
pasien. Penyebab utamanya adalah berasal dari penyakit susunan saraf pusat
(seperti epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal jantung), dan intoksikasi
atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak
terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Area yang
terutama terkena adalah formasio retikularis.
Faktor predisposisi terjadinya konfusio/delirium, adalah usia, kerusakan
otak, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan
panca indera, malnutrisi, alkohol, obat-obatan dan bahan beracun, efek toksik
dari pengobatan, infeksi akut disertai demam, meningitis, ensefalitis, sifilis
(penyakit infeksi yang menyerang otak), tumor otak (beberapa diantaranya
kadang menyebabkan linglung dan gangguan ingatan), fungsi jantung atau
paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar oksigen atau
tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah, stroke, dan lain-lain
(Widyastuti dan Mahasena, 2017).
C. Insomnia
Insomnia adalah gangguan tidur paling sering pada usia lanjut, yang
ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengawali tidur, mempertahankan
tidur, bangun terlalu dini atau tidur yang tidak menyegarkan (Astuti, 2013).
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya
gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius.
Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%.
Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa
gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter. Insomnia sendiri sebenarnya
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi lebih merupakan gejala yang tidak
khas yang berjalan sesuai dengan bertambahnya umur dan bukan suatu
gangguan yang spesifik (Marwa, 2016).
Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur. Hal ini
meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi pertambahan umur tidak
menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada usia lanjut (Astuti, 2013).
Penyebab insomnia lainnya mencakup, faktor psikologis, sakit fisik, faktor
lingkungan, gaya hidup, alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam
kerja yang tidak teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur
(Marwa, 2016).
Insomnia dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan etiologinya.
Dilihat dari durasinya insomnia dibagi menjadi tiga yaitu: transient insomnia,
short-term insomnia, dan insomnia kronis sedangkan berdasarkan etiologinya
insomnia dibagi menjadi insomnia primer dan insomnia sekunder (Astuti,
2013).
Salah satu penanganan insomnia adalah dengan terapi farmakologi. Tujuan
terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut. Terapi farmakologi yang
paling efektif untuk insomnia adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau
non Benzodiazepine. Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi
insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin, antipsikotik.

D. Inkontinensia
Inkontinensia urin adalah kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Inkontinensia urin bukan merupakan penyakit, tetapi
keluhan yang mempunyai dampak medik, psikososial dan ekonomi serta
dapat menurunkan kualitas hidup (Soetojo, dikutip oleh Pamungkas 2013).
Prevalensi inkontinensia urin pada wanita di dunia berkisar antara 10 -
58%, sedang di Eropa dan Amerika berkisar antara 29,4%. Menurut Asia
Pacific Continence Advisor Board (APCAB) tahun 1998 menetapkan
prevalensi inkontinensia urin di Asia 14,6% pada wanita dan 6,8% pada pria,
sedangkan di Indonesia 5,8%.
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih
menurun. Sisa urin dalam kandung kemih cenderung meningkat dan kontraksi
otot kandung kemih yang tidak teratur semakin sering terjadi (Nursalam,
dikutip oleh Pamungkas 2013).

E. Jatuh
Jatuh adalah kejadian yang tidak disadari dimana seseorang terjatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah yang bisa disebabkan
oleh hilangnya kesadaran, stroke, atau kekuatan yang berlebihan. Jatuh
merupakan salah satu masalah fisik yang sering terjadi dan mengakibatkan
morbiditas serta mortalitas pada usia lanjut. Terdapat berbagai faktor
penyebab risiko jatuh diantaranya adalah usia dan kemandirian dalam
aktivitas sehari-hari.
Prevalensi resiko jatuh yaitu penduduk diatas usia 55 tahun mencapai
49,4% dan pada umur diatas 65 tahun ke atas 67,1% (Kemenkes, RI, 2013).
Sedangkan di Amerika insidensi jatuh setiap tahunnya pada lanjut usia yang
tinggal di komunitas meningkat dari 25% pada umur 70 tahun menjadi 35%
setelah berusia >75 tahun. Kejadian jatuh terjadi sekitar 30% lanjut usia yang
berumur 65 tahun ke atas yang tinggal di komunitas, sebagian dari angka
tersebut yang mengalami jatuh berulang.

F. Patah Tulang
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Keadaan ini akan
mengganggu fungsi dari organ tulang sebagai penyangga tubuh dan dapat
menyebabkan terjadinya disabilitas.
Semua orang memiliki faktor risiko terjadi fraktur karena trauma dapat
terjadi pada siapapun. Salah satu kelompok usia yang memiliki risiko lebih
tinggi terjadinya fraktur ialah kelompok lanjut usia/ lansia/ geriatric dan
fraktur yang dialami disebut fraktur geriatri (geriatric fracture).
Fraktur geriatri dapat disebabkan oleh mekanisme high impact maupun
low impact. Fraktur high-impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor dan cedera saat berolahraga, namun fraktur low impact
yang paling sering terjadi pada kelompok lansia dan memiliki angka
mortalitas paling tinggi. Fraktur low impact paling sering terjadi disebabkan
oleh karena keadaan osteoporosis dengan mekanisme jatuh. Risiko terjadinya
fraktur oleh karena osteoporosis yaitu antara 40-50% pada perempuan dan
13-22% pada laki-laki. Fraktur oleh karena osteoporosis paling sering terjadi
pada tulang belakang/ vertebra dan panggul. Empat dari lima kasus fraktur ini
terjadi melalui mekanisme terjatuh.
Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa terjatuh merupakan mekanisme
yang sering menyebabkan fraktur pada kelompok lansia, paling sering terjadi
di dapur dan kamar mandi. Kejadian jatuh pada kelompok lansia tergantung
pada berbagai faktor antara lain adanya gangguan keseimbangan atau gait
yang tidak stabil. Insiden fraktur yang disebabkan oleh kejadian jatuh sebesar
40% pada lansia.
Fraktur trunkus inferior merupakan fraktur paling umum pada kelompok
lansia (34% pada tahun 2014) yaitu pinggul (hip/femur proksimal), panggul
(pelvis), vertebra bagian bawah, dan pergelangan kaki (ankle).
Fraktur hip/femur proksimal dapat memperburuk kualitas hidup seorang
lansia dengan segera akibat timbulnya kecacatan dan bahkan tidak jarang
kematian. Angka mortalitasnya pun terbilang tinggi yakni mencapai 16,55%,
dimana peningkatan laju mortalitas sebanding dengan peningkatan umur,
yakni meningkat kurang dari 10% pada lansia kurang dari 65 tahun dan lebih
dari 20% pada lansia diatas 85 tahun. Laju mortalitas pria lebih tinggi
dibanding wanita. Walaupun prevalensi fraktur femur proksimal saat ini
masih stabil, namun diperkirakan pada tahun 2050 jumlah kasus akan
meningkat dari 1,7 juta menjadi 6,3 juta kasus di seluruh dunia. Secara
umum, kasus fraktur femur proksimal di dunia mencapai 11,3 per 1.000 per
tahun, dimana sejak tahun 1999, secara global insiden fraktur femur
proksimal terhadap umur semakin meningkat. Peningkatan tersebut
disebabkan karena meningkatnya populasi lansia di suatu negara yang diikuti
dengan lonjakan jumlah geriatri.

G. Decubitus
Dekubitus adalah lesi di kulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis dan
kadangkadang jaringan subkutis dan tulang di bawahnya (Price, 2009). Ulkus
dekubitus juga disebut pressure sores atau bed sores yaitu lesi di kulit yang
terjadi akibat rusaknya epidermis, dermis dan kadang-kadang jaringan
subkutis dan tulang di bawahnya. Ulkus dekubitus biasanya dijumpai pada
orang-orang yang dirawat di tempat tidur atau mengalami penurunan
mobilitas termasuk salah satunya pasien stroke (Corwin, 2009).
Dekubitus dapat terjadi pada semua kelompok usia, tetapi akan menjadi
masalah yang khusus bila terjadi pada seorang lanjut usia (lansia).
Kekhususannya terletak pada insiden kejadiannya yang erat kaitannya dengan
imobilisasi (Martono, 2014). Insiden dan prevalensi dekubitus di Indonesia
mencapai 40% atau yang tertinggi diantara negara-negara besar ASEAN
lainnya. Menurut Bujang, Aini & Purwaningsih (2013), kejadian dekubitus
terdapat pada tatanan perawatan akut (acut care) sebesar 5-11%, pada tatanan
perawatan jangka panjang (long term care) sebesar 15-25%, dan tatanan
perawatan dirumah (home health care) sebesar 7-12%.
Derajat ulkus dekubitus menurut Tambayong (2009) dalam Damayanti
(2012) adalah sebagai berikut :
a) Derajat I Derajat ini ditandai dengan terbentuknya abrasi yang mengenai
epidermis, luka tampak merah, hangat dan mengeras.
b) Derajat II Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringan adiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh
dalam 10-15 hari. Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau
dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi,
melempuh atau membentuk lubang yang dangkal.
c) Derajat III Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot
sudah mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan
hilangnya struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau
hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan
infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu. Hilangnya lapisan
kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan
subkutan atau lebih dalam, akan tetapi tidak sampai pada fascia. Luka
terlihat seperti lubang yang dalam.
d) Derajat IV Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta
sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering diserti
anemia. Dapat sembuh dalam 3-6 bulan. Hilangnya lapisan kulit secara
lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada
otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus
juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.
Pencegahan merupakan faktor penting pada lansia imobilisasi guna
menghindarkan risiko dekubitus. Risiko terbesar terhadap dekubitus terjadi
akibat tekanan pada kulit yang menonjol dalam rentang waktu yang cukup
lama. Menurut Ginsbreng (2008), proses terjadinya dekubitus dimulai
dengan adanya tekanan pada permukaan tubuh yang menonjol yang secara
berangsur-angsur menyebabkan gangguan sirkulasi darah setempat; dan bila
berlangsung lebih lama maka area tersebut akan mengalami defisit nutrisi
sehingga perlahan terjadi kematian jaringan/nekrosis. Tindakan pencegahan
dapat dilakukan dengan merubah posisi tirah baring secara berkala dan
teratur serta menjaga kulit untuk tetap bersih.
Pencegahan dekubitus dapat dilakukan dengan berbagai upaya.
Heineman (2010) menjelaskan prosedur pencegahan dekubitus dengan
mengutip panduan praktik klinik America Health of Care Plan Resources
(AHCPR) bahwa intervensi yang dapat digunakan untuk mencegah dekubitus
terdiri dari tiga kategori.
● Intervensi pertama ialah perawatan kulit dan penanganan dini meliputi
mengkaji risiko klien terkena dekubitus, perbaikan keadaan umum
penderita, pemeliharaan, perawatan kulit yang baik, pencegahan
terjadinya luka dengan perubahan posisi tirah baring dan masase tubuh.
● Intervensi kedua yaitu meminimalisasi tekanan dengan matras atau alas
tempat tidur yang baik.
● Intervensi yang ketiga yaitu edukasi pada klien dan support system.
RANGKUMAN

Sindrom geriatri beraneka ragam, di antaranya adalah:


1. Gangguan otak besar (Sindroma serebral) adalah kumpulan gejala yang
terjadi akibat perubahan dari aliran darah otak.
2. Konfusio akut adalah suatu problem pada lansia yang ditandai dengan
penurunan derajat kesadaran yang terjadi secara tiba-tiba.
3. Insomnia adalah gangguan tidur paling sering pada usia lanjut, yang
ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengawali tidur,
mempertahankan tidur, bangun terlalu dini.
4. Inkontinensia urin adalah kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap.
5. Jatuh merupakan kejadian jatuhnya seseorang dari tempat ketinggian, jatuh
merupakan salah satu masalah fisik yang sering terjadi dan mengakibatkan
morbiditas serta mortalitas pada usia lanjut.
6. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial.

7. Dekubitus adalah lesi di kulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis dan
kadang kadang jaringan subkutis dan tulang di bawahnya.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai macam sindrom


geriatri. Kerjakanlah latihan berikut!

Apaya yang di maksud dengan fraktur high impact dan low


impact?

Petunjuk Jawaban Latihan


Baca dan kuasai bahasan teori macam-macam problema pada
sindroma geriatri
Kegiatan belajar 3

Pencegahan dan Penatalaksanaan Terapi


Okupasional pada Sindroma Geriatri

Selanjutnya materi yang akan kita bahas adalah Pencegahan dan


Penatalaksanaan Terapi Okupasional pada Sindroma Geriatri. Apa saja yang dapat
kita lakukan dalam menangani sindroma geriatri ini? dan bagaimana penerapan
intervensi terapi okupasional pada kasus-kasus sindroma geriatri? selengkapnya
mari kita bahas bersama.

A. Sindroma Serebral
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hye-Sun pada tahun 2018,
semakin tinggi fungsi kognitif lansia dengan stroke berdampak pada semakin
tingginya kualitas hidup lansia tersebut. Dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup lansia, terapis okupasi dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan
fungsi kognitif lansia (orientasi, persepsi, eksekusi, visual movement,
berpikir, memori, dan konsentrasi).
Selain itu, terapis okupasi juga dapat merekomendasikan penggunaan alat
bantu bagi pasien yang membutuhkannya. Adaptasi lingkungan agar lebih
aman dan aksesibel juga diperlukan. Tak kalah penting yaitu mengembalikan
kemampuan fungsional pasien untuk melakukan aktivitas sehari-harinya
dengan menggunakan konservasi energi, penyederhanaan aktivitas, maupun
pendekatan yang lainnya.

B. Konfusio/Delirium
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya konfusio/delirium adalah dengan
menggunakan Confusion Assessment Method (CAM). Uji status mental lain
yang sudah lazim dikenal antara lain Mini-mental Status Examination
(MMSE), Delirium Rating Scale, dan Delirium Symptom Interview.
Comprehensive geriatric assessment (pengkajian geriatric paripurna)
sangat bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebih jelas tentang
beberapa faktor resiko yang dimiliki pasien. Pemeriksaan tak hanya terhadap
faktor fisik, namun juga psikiatri, status fungsional, riwayat penggunaan obat,
dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan nutrisi dan
cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang
meningeal, tekanan darah, frekuensi nafas dan denyut jantung serta suhu
rectal) sangat penting.
Intervensi terapi okupasi pada kondisi konfusio/delirium dapat meliputi:
1. Reorientasi: memasang jam dinding kalender, memulihkan orientasi
dengan terapi reality orientation therapy (ROTE)
2. Memulihkan siklus tidur dengan mengedukasi untuk membangun suasana
yang kondusif untuk tidur. Mengedukasi klien/caregiver untuk
memadamkan lampu, lalu klien juga diminta minum susu hangat atau teh
herbal, memutar musik yang tenang, pemijatan (massage) punggung, dan
tidur tanpa obat
3. Adaptasi lingkungan agar lebih aksesibel dan aman bagi klien dengan
konfusio
4. Menyederhanakan tahapan aktivitas yang dilakukan oleh klien
Sedangkan pencegahan konfusio/delirium dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Perhatikan kondisi kesehatan seseorang, terutama orang lanjut usia
2. Hindari konsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
3. Rutin kontrol ke dokter jika memiliki riwayat penyakit kronis, seperti
diabetes, hipertensi, atau gagal ginjal
4. Konsumsi makanan dengan gizi seimbang serta cukupi kebutuhan cairan
tubuh
5. Mempunyai pola hidup sehat dengan rutin berolahraga serta istirahat yang
cukup.
6. Atasi infeksi dengan segera mencari pertolongan dokter (Handayani,
2021).

C. Insomnia
Intervensi atau penanganan insomnia yang dapat diberikan pada usia lanjut
terdiri dari terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Tujuan terapi adalah
menghilangkan gejala, meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien usia lanjut
(Woodward, dikutip oleh Astuti, 2013).
Terapi Nonfarmakologi
1. Stimulus control
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk menggunakan tempat tidur
hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain seperti membaca dan
menonton tv di tempat tidur.
2. Sleep restriction
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan
meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak tidur terlalu
lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat tidur.
3. Sleep hygiene
Sleep Hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan
lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.
4. Terapi relaksasi
Metode terapi relaksasi meliputi: melakukan relaksasi otot, guided
imagery, latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi
5. Cognitive behavioral therapy
Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaptive sleep belief menjadi
adaptive sleep belief

D. Inkontinensia
Salah satu cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin
pada lansia adalah dengan latihan kandung kemih (Bladder Training).
Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan untuk
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi
optimal, terdapat 3 macam metode bladder training, yaitu kegel exercise,
delay urination, dan scheduled bathroom trips.

E. Jatuh
Pemeriksaan risiko jatuh pada lansia dapat menggunakan blangko“get up
and go test”. Beberapa intervensi yang digunakan untuk meminimalisir resiko
jatuh pada lansia dan jatuh berulang pada lansia yaitu menggunakan alat
bantu pegangan, jalan tandem, exercise fisik, latihan keseimbangan, senam
keselamatan pasien, keset anti slip, pencahayaan, penyuluhan tentang body
mekanik dan latihan lingkup gerak sendi baik secara aktif/pasif.

F. Patah Tulang
Intervensi pada geriatri untuk mencegah patah tulang bisa dengan
meminimalisir resiko jatuh serta menguatkan tulang dengan cara memberikan
asupan nutrisi dan kalsium yang diperlukan. Selain itu, untuk mengintervensi
pasien lansia yang mengalami patah tulang, terapis okupasi bisa
menggunakan kerangka acuan biomekanik, atau kerangka acuan rehabilitatif
jika diperlukan.

G. Decubitus
Beberapa rekomendasi disarankan untuk meningkatkan pemberian layanan
dalam pencegahan dan pengobatan tekanan ulkus oleh terapis okupasi.
1. Penilaian risiko dini dan konsisten: Terapis okupasi harus terus
mendukung, dan berpartisipasi dalam, skrining klien untuk risiko tekanan
ulkus.
2. Latihan ROM pasif dilakukan untuk menghindarkan lansia dari kontraktur
dan atropi otot.
3. Merubah posisi tirah baring secara teratur dalam interval waktu 2 jam
sekali diyakini dapat menghindarkan terjadinya luka dekubitus.
4. Fokus pada bidang kekuatan: Tempat duduk, posisi dan tekanan
manajemen terus menjadi keterampilan yang diakui, dan digunakan oleh,
terapis okupasi.

RANGKUMAN

Pencegahan dan Penatalaksanaan Terapi Okupasional pada Sindroma


Geriatri bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Intervensi terapi
okupasional mencakup aspek kognitif, fisik, lingkungan, psikososial. Misalnya
pemberian terapi ROTE untuk penanganan lansia dengan delirium/konfusio,
terapi relaksasi untuk mengatasi insomnia pasa lanisa, exercise fisik untuk
mengurangi risiko jatuh pada lansia, latihan ROM pasif untuk menghindarkan
lansia dari kontraktur dan atropi otot, dan lain-lain.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai pencegahan


pada sindrom geriatri. Kerjakanlah latihan berikut!

Apa yang harus di lakukan untuk mengurangi


gangguan inkontinensia pada lansia?

Petunjuk Jawaban Latihan


Baca dan kuasai bahasan teori pencegahan dan penatalaksanaan terapi
okupasional pada sindroma geriatri
TES FORMATIF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1. Apa yang dimaksud dengan sindroma geriatri?


A. Sindroma geriatric adalah sindrom yang dialamai oleh para anak-
anak
B. Sindroma geriatric adalah penyakit yang dialami oleh semua
kelompok umur
C. Sindroma geriatric adalah sindrom yang dialami oleh para lanjut
usia atau para lansia
D. Sindroma Geriatric adalah sindrom yang diderita karena kelainan
kromosom sejak lahir.
E. Sindroma geriatric adalah sindrom yang diderita oleh wanita hamil.
2. Mana yang termasuk 5 jenis sindroma geriatri?
A. Sindroma serebral, konfusio/delirium, insomnia, depresi,
inkontinesia, patah tulang , decubitus dan jatuh.
B. Down sindrom, inkontinensia, depresi, carpal tunnel syndrome dan
jatuh.
C. Delirium, sindroma serebral, jatuh, depresi dan carpal tunnel
syndrome.
D. Jatuh, inkontinensia, delirium, konfusio dan down sindrom.
E. Down sindrom, carpal tunnel syndrome, jatuh, konfusio dan
inkontinensia.
3. Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi resiko patah tulang pada
lansia?
A. Tidak boleh melakukan aktifitas fisik.
B. Tidak banyak bergerak dan hanya berbaring.
C. Melayani segala kebutuhan lansia selama 24 jam dan 7 hari dalam
seminggu.
D. Meminimalisir resiko untuk jatuh (menggunakan alat bantu
pegangan, jalan tandem, latihan fisik, latihan keseimbangan, senam
keselamatan pasien serta mengatur lingkungan agar lebih
ergonimis) dan memberikan asupan nutrisi dan kalsium yang
diperlukan.
E. Melapisi segala permukaan lantai menggunakan matras yang
empuk.
4. Berikan contoh penanganan Inkontinensia dengan cara non farmakologis!
A. Membatasi konsumsi cairan yang masuk ke dalam tubuh.
B. Latihan kandung kemih seperti kegel exercise, delay urination dan
schedule bathroom trips.
C. Memberikan obat untuk mengatur urine yang keluar.
D. Latihan sepeda dan memberikan aktivitas jalan setiap hari.
E. Memberikan popok dewasa.
5. Apa yang dimaksud dengan konfusio?
A. Keadaan dimana penderita mengalami penurunan fungsi gerak dan
menurunnya kemandirian penderita.
B. Keadaan dimana penderita kehilangan fungsi mengatur buang air
kecil dan buang air besar.
C. Keadaan dimana penderita mengalami penurunan kemampuan
dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami
disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih.
D. Keadaan dimana penderita mengalami pengecilan otak besar
dikarenakan aliran darah yang kurang lancar mengalir ke otak.
E. Keadaan dimana penderita mengalami gangguan mengawali tidur,
mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.
6. Manakah yang menjadi penyebab decubitus pada lansia?
A. Adanya hipertensi dan mengerasnya pembuluh darah.
B. Karena adanya penyakit sistemik seperti gagal jantung.
C. Adanya pertambahan umur sehingga merubah pola tidur.
D. Karena jatuh dan patah tulang.
E. Tekanan dan gesekan pada kulit yang menghambat aliran darah ke
kulit.
7. Manakah yang termasuk dalam terapi farmakologi untuk lansia dengan
insomnia?
A. Antidepressant, Antihistamin dan Antipsikotik.
B. Paracetamol, Antidepressant dan Cognitive behavioral therapy.
C. Antihistamin, Sleep hygiene dan Antipsikotik.
D. Antidepressant, Antipsikotik dan Antigent.
E. Terapi relaksasi, Sleep hygiene dan stimulus control.
8. Manakah yang bukan merupakan pencegahan untuk konfusio?
A. Hindari konsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
B. Mengurangi aktifitas di atas Kasur agar lansia memiliki kualitas
tidur yang lebih baik.
C. Konsumsi makanan dengan gizi seimbang serta cukupi kebutuhan
cairan tubuh.
D. Rutin kontrol ke dokter jika memiliki riwayat penyakit kronis,
seperti diabetes, hipertensi, atau gagal ginjal.
E. Mempunyai pola hidup sehat dengan rutin berolahraga serta
istirahat yang cukup.
9. Pilih salah satu yang merupakan high-impact dari terjadinya patah tulang
pada lansia!
A. Osteoporosis.
B. Menurunnya kepadatan tulang.
C. Mekanisme jatuh yang salah.
D. Depresi.
E. Kecelakaan kendaraan bermotor.
10. Apakah yang disebut dengan decubitus?
A. Luka akibat diabetes.
B. Cedera yang diakibatkan karena mekanisme jatuh yang salah.
C. Cedera pada kulit dan jaringan di bawahnya akibat tekanan yang
berkepanjangan pada kulit.
D. Kondisi dimana seseorang tidak bisa berfikir dengan jernih dan
linglung.
E. Kumpulan gejala yang terjadi akibat perubahan aliran darah otak.

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan
rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi
Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda
harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum
dikuasai.
Kunci Jawaban Latihan

Latihan 1
Menurut Kane yang dikutip oleh Dini (2013), sindrom geriatri memiliki beberapa
karakteristik, yaitu: usia > 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas,
polifarmasi, fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan
nutrisi.
Latihan 2
Fraktur high-impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
dan cedera saat berolahraga. Fraktur low impact paling sering terjadi disebabkan
oleh karena keadaan osteoporosis dengan mekanisme jatuh.
Latihan 3
Cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin pada lansia adalah
dengan latihan kandung kemih (Bladder Training). Bladder training adalah latihan
kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter
kandung kemih agar berfungsi optimal.

Kunci Jawaban Tes Formatif

1. C
2. A
3. D
4. B
5. C
6. E
7. A
8. B
9. E
10. C
Daftar Pustaka

Astuti, N. M. H. (2013). Penatalaksanaan Insomnia Pada UsiaLanjut.


Bagian/SMF Psikiatri Fakutas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah
Sakit Pusat Sanglah Denpasar. retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/5119/3912
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNISULLA. (2014). Sindroma Geratrik.
retrieved from https://pspk.fkunissula.ac.id/sites/default/files/5.5%20Giant
%20Geriatri.pdf at 22 Februari 2021
Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. Alih Bahasa Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati, EGC, Jakarta, 2009.
Deniro, A.J.N et al. (2017). Hubungan antara usia dan aktifitas sehari-hari dengan
resiko jatuh pasien instalasi rawat jalan geriatri. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 4 (4), 199-203. retrieved from
http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/download/
156/133 at 12 Februari 2021
Dini, A.A. (2013). Sindrom Geriatri (Imobilitas, Instabilitas, Gangguan
Intelektual, Inkontinensia, Infeksi, Malnutrisi, Gangguan Pendengaran).
Jurnal kedokteran, (1/3), 118-121. retrieved from
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/121 at 12
Februari 2021
Handayani, V.V. (2021). Delirium. retieved from
https://www.halodoc.com/kesehatan/delirium at 22 Februari 2021
Hye-Sun, L. (2018). Relationships Between Cognitive Function and Quality of
Life of Elderly Stroke Patients. International Journal of Advanced Culture
Technology 6(3), 44-52. doi: 10.17703//IJACT2018.6.3.44
Kepel, Felicia, R & Lengkong, Andrisanto, C (2109) Fraktur Geriatrik. e-Clinic,
8(2), 203-210. retrieved from https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic.
Doi: https://doi.org/10.35790/ecl.8.2.2020.30179
Marwa, M. (2016). Hubungan Tingkat Depresi Dengan Kejadian Insomnia.
Journal An-nafs, (1/2), 243-266. retrieved from https://www.ejournal.iai-
tribakti.ac.id/index.php/psikologi/article/view/289/444 at 12 Februari 2021
Pamungkas, M.R, Nurhayati & Musiama. (2013). Pengaruh Latihan Kandung
Kemih (Bladder Training) Terhadap Interval Berkemih Wanita Lanjut Usia
(Lansia) Dengan Inkontinensia Urin. Jurnal Keperawatan, (9/2), 214-218.
retrieved from
http://www.ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JKEP/article/view/360 at
at 12 Februari 2021
Price, S. A. & Wilson, L. M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Alih Bahasa Anugerah P., EGC, Jakarta, 2009.
Rahayu, R.A., Darmodjo, R.B. (2002). Incidence and cause of acute confusion in
elderly patients. Med J Indonesia, 11 (1). retreived from
http://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/download/47/46 at 18
Februari 2021
Redaksi DokterSehat. (2018). Transient Ischemic Attack – Gejala dan Tanda.
retrieved from https://doktersehat.com/gejala-dan-tanda-transient-ischemic-
attack/ at 22 Februari 2020
Sulistyaningsih, N.K dan Aryana, I.G.N.W. (2016). Karakteristik fraktur femur
proksimal pada geriatri di rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar tahun
2013.E-jurnal Medika, 5 (11), 1-5.retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/24701/15941/ at 12
Februari 2021
Suyanto, G. (2008). (tanpa judul). retrieved from
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/4/jtptunimus-gdl-s1-2008-suyantog2a-
184-3-bab2.pdf at 22 Februari 2021
Tambayong, Jan. Patofisiologi Untuk Keperawatan. EGC, Jakarta, 2009
Weng, C.F. et al. (2019). Effects of depression, dementia and
delirium on activities of daily living in elderly patient after discharge. BMC
Geriatrics, 19(261). doi:10.1186/s12877-019-1294-9
Whelan, C. (2019). What Is A Drop Attack?. Retrieved from
https://www.healthline.com/health/what-is-a-drop-attack at 22 Februari
2021
Widyastuti, K., Mahasena. (2017). Delirium. retrieved from
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/84f792be708bd93a0
e18dde1c592ca79.pdf at 20 Februari 2021
ANALISIS JURNAL 1

1. Judul jurnal: Effects of depression, dementia and


delirium on activities of daily living in
elderly patients after discharge (Efek depresi, demensia, dan
delirium pada aktivitas sehari-hari pasien lansia setelah discharge)
2. Peneliti : Ching-Fu Weng, Kun-Pei Lin, Feng-Ping Lu,
Jen-Hau Chen, Chiung-Jung Wen, Jui-Hua Peng,
Ailun Heather Tseng dan Ding-Cheng Chan
3. Sumber jurnal:
https://www.researchgate.net/publication/336443498_Effects_of_depression_d
ementia_and_delirium_on_activities_of_daily_living_in_elderly_patients_after
_discharge
4. Isi jurnal:
Tiga kondisi pada lansia yaitu depresi, demensia, dan delirium (3D’s)
merupakan hal yang biasa terjadi pada pasien rawat inap lansia dan seringkali
menyebabkan kelemahan pada kemampuan melakukan aktivitas sehari-harinya
(AKS). Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh depresi,
demensia, dan delirium pada aktivitas sehari-hari selama dan setelah rawat
inap. Metode yang digunakan adalah studi prospektif kohort pada tahun 2012-
2013 di pusat kesehatan tersier di Taiwan. Sampel yang terlibat merupakan
pasien yang berusia lebih dari 65 tahun dan diakui berasal dari bangsal geriatri.
Geriatric Depression Scale Short Form, Mini-Mental State dan Confusion
Assessment Method digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan depresi,
demensia, dan delirium (konfusio) secara berturut-turut. Barthel Index (BI)
digunakan untuk mengevaluasi status fungsional pasien pada saat discharge, 30
hari, 90 hari dan 180 hari setelah discharge. Generalized Estimating Equation
(GEE) digunakan untuk menghitung hubungan antara 3D’s dan BI.
5. Hasil/pembahasan:
Seratus empat puluh sembilan pasien lansia diikutsertakan dalam penelitian
ini. Sebanyak 27 pasien (18.1%) memiliki kondisi depresi, 37 (24.8%)
memiliki kondisi demensia, 85 (57.0%) memiliki kondisi delirium. Penelitian
ini mengemukakan bahwa semua pasien geriatri dengan penurunan fungsional
(functional decline) menunjukkan peningkatan bertahap pada fungsi fisik
hingga 180 hari setelah discharge. Sedangkan, adanya kondisi depresi tidak
berpengaruh banyak pada perbaikan fungsional setelah discharge, sementara
demensia atau delirium dapat mengganggu status fungsional pada lansia.
Pemulihan peningkatan fungsional pada kondisi delirium atau demensia relatif
irreversible dibandingkan dengan kondisi depresi. Ketika delirium atau
demensia terdiagnosis, diperkirakan pemulihan fungsional akan menjadi lebih
buruk. Secara singkat, pekerjaan dan strategi intensif untuk menangani
delirium atau demensia harus dilakukan sedini mungkin.
6. Kelebihan dan kekurangan:
● Kelebihan: menggunakan studi kohort prospektif yang menjadikan studi ini
dapat memperlihatkan perubahan skor kemampuan AKS lansia dengan
kondisi 3D’s dari mulai discharge, hingga pada 30, 90, dan 180 hari setelah
discharge. Selain itu, studi ini dapat meneliti lebih dari satu variabel
● Kekurangan: ukuran sampel terlalu kecil sehingga tidak dapat
menggambarkan perbedaan efek pada setiap 3D’s pada outcome fungsional.
Kemudian, pasien juga tidak dievaluasi oleh pegawai yang sama setiap saat
selama dilakukan comprehensive geriatric assessment (CGA), sehingga
perbedaan dalam pelaporan serta ketidak konsistenan dapat terjadi. Selain
itu, definisi pada setiap 3D’s yang berbeda-beda dapat mengaburkan
prevalensi sebenarnya pada studi ini. Lalu, studi ini juga kehilangan follow
up populasi karena alasan tertentu seperti adanya pasien yang kembali
dirawat inap.
7. Saran:
Pengukuran yang lebih teliti sebaiknya dilakukan oleh pegawai-pegawai
yang sudah terlatih dengan baik agar dapat menyajikan data yang lebih akurat.
Selain itu, ukuran sampel diharapkan lebih besar, agar dapat menggambarkan
dengan jelas perbedaan efek pada setiap 3D’s pada outcome fungsional.
ANALISIS JURNAL 2

1. Judul jurnal: Relationships Between Cognitive Function


and Quality of Life of Elderly Stroke
Patients(Hubungan Antara Fungsi Kognitif
dan Kualitas Hidup Lansia dengan Kondisi
Stroke)
2. Peneliti: Lee Hye-Sun

3. Sumber jurnal:
https://www.koreascience.or.kr/article/JAKO201831349948559.page
4. Isi jurnal:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur efek dan
menemukan korelasi/hubungan antara LOTCA-G dan SS-QOL pada
fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien lansia dengan stroke. Waktu
penelitian adalah 1 Maret 2018 hingga 30 Maret 2018. Sampel yang
dilibatkan pada penelitian ini adalah 102 pasien stroke rawat jalan yang
berpartisipasi di pusat rehabilitasi di kota G dan mendapatkan treatment
LOTCA-G dan SS-QOL. Nilai mentah fungsi kognitif bervariasi
berdasarkan pada jenis kelamin, usia, pendidikan, dan status pernikahan
namun perbedaannya secara statistik tidak signifikan. Kemudian, nilai
mentah kualitas hidup lansia bervariasi berdasarkan pada jenis kelamin,
usia, pendidikan, dan status pernikahan, namun hanya bagian status
pernikahan yang menunjukkan signifikansi (p<0.01). Harapannya dengan
adanya hasil penelitian ini akan muncul intervensi yang bervariasi untuk
meningkatkan fungsi kognitif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
lansia dengan stroke.
5. Hasil/pembahasan:
Hasil pemeriksaan LOTCA-G dan SS-QOL secara umum
menunjukkan korelasi/hubungan yang signifikan antar sub-kategori, tetapi
energi (salah satu sub-kategori pada kualitas hidup) tidak menunjukkan
korelasi/hubungan yang signifikan dengan satu pun sub-kategori dari
fungsi kognitif. Penggabungan hasil studi ini dapat menunjukkan adanya
tingkat hubungan yang tinggi antara fungsi kognitif dan kualitas hidup
lansia dengan stroke (p<0.01) yang ditunjukkan melalui hasil LOTCA-G
dan SS-QOL. Semakin tinggi fungsi kognitif lansia dengan stroke
berdampak pada semakin tingginya kualitas hidup lansia tersebut.
6. Kelebihan dan kekurangan:

● Kelebihan: interview dilakukan oleh terapis okupasional yang


berpengalaman dan terlatih untuk menggunakan assessment tool
(LOTCA-G dan SS-QOL) sehingga data yang dihasilkan lebih akurat.
Selain itu, penelitian ini juga menggambarkan dengan jelas hubungan
antara fungsi kognitif dan kualitas hidup lansia dengan stroke.
● Kekurangan: Beberapa data yang dipaparkan berbeda dengan data yang
ada dalam tabel, contohnya pada pembahasan “5.3 Kualitas Hidup
berdasarkan karakteristik umum”, rata-rata SS-QOL pada sub jenis
kelamin “perempuan” pada pemaparan tertulis 7133 sedangkan pada
tabel tertulis 143. Selain itu, assessment tool yang digunakan untuk
memeriksa fungsi kognitif pada lansia di penelitian ini hanya satu dan
sulit untuk menggeneralisasikan hubungan fungsi kognitif terhadap
kualitas hidup karena jumlah subjek yang diteliti sedikit.
7. Saran:
Data yang dipaparkan pada pembahasan sebaiknya ditulis sama
dengan data yang ada pada tabel agar pembaca tidak bingung. Selain itu,
penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan assessment tool
untuk fungsi kognitif yang lebih bervariasi agar dapat menemukan lebih
banyak mengenai hubungan antara fungsi kognitif dan kualitas hidup
lansia dengan stroke.
ANALISIS JURNAL 3

1. Judul jurnal : HUBUNGAN TINGKAT DEPRESI DENGAN


KEJADIAN INSOMNIA
2. Peneliti : Mentari Marwa

3. Sumber jurnal : https://www.ejournal.iai


tribakti.ac.id/index.php/psikologi/article/view/289/444
4. Isi jurnal:
Depresi pada pasien geriatrik adalah masalah besar yang mempunyai
konsekuensi medis, sosial, dan ekonomi penting. Hal ini menyebabkan
penderitaan bagi pasien, prevalensi terbesar gangguan psikiatri pada geriatrik
adalah depresi. Ada beberapa tanda dan gejala depresi, diantaranya adalah
gangguan tidur. Berbagai macam faktor penentu, sebagian orang mengalami
depresi karna sulit tidur.
Sekitar 40% penderita lanjut usia yang depresi mengalami gangguan
tidur. Keluhan tidur dapat pula memprediksi akan terjadinya depresi pada
lansia. Setiap tahun diperkirakan sekitar 20-50% orang dewasa melaporkan
adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang
serius. Prevalensi gangguan tidur pada lanjut usia cukup tinggi yaitu sekitar
67%.
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti untuk variabel
tingkat depresi dan variabel insomnia adalah dengan menggunakan jenis data
primer yang dijawab langsung oleh responden melalui teknik pengumpulan
data menggunakan kuesioner (angket) selain itu untuk melengkapi data
primer kedua variabel, peneliti melakukan observasi langsung kepada
responden serta menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pegawai
panti sebagai sumber infomasi.
Teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan data tentang
jumlah lanjut usia yang tinggal di Panti Wredha Santo Yoseph yang dibantu
oleh pengurus panti dan didapatkan data bahwa saat ini di Panti Wredha
Santo Yosep Kediri dihuni 22 orang lansia.
Dari 22 orang lansia tersebut ditetapkan sebagai responden dalam
penelitian ini 22 orang lansia tersebut kemudian diberikan pertanyaan dengan
menggunakan kuesioner Geriatri Depresion Scale (GDS) untuk mengetahui
lansia yang mengalami depresi dan tingkatan depresi, dan kuesioner KSBPJ
Insomnia rating Scale dalam selang waktu sekitar 15 menit, untuk mengetahui
ada insomnia atau tidak ada insomnia, serta pengkategoriannya.
5. Hasil/pembahasan:
Hasil deskripsi karakteristik responden berdasarkan usia didapatkan 5
orang berusia kurang dari 70 tahun (22,7%), 8 orang berusia 71 – 80 tahun
(36,4%), dan 9 orang berusia lebih dari 80 tahun (40,9%). Hasil deskripsi
karakteristik responden berdasarkan pendidikan didapatkan 7 orang tidak
sekolah (31,8%), 9 orang tamat SD (40,9%), dan 6 orang tamat SMP (27,3%).
Hasil deskripsi variabel tingkat depresi didapatkan 5 orang mengalami
depresi ringan (22,7%), 11 orang mengalami depresi sedang (50,0%), dan 6
orang mengalami depresi berat (27,3%). Hasil deskripsi variabel kejadian
insomnia didapatkan 4 orang mengalami insomnia ringan (18,2%), 15 orang
mengalami insomnia sedang (68,2%), dan 3 orang mengalami insomnia berat
(13,6%).
Hasil tabulasi silang antara tingkat depresi dengan kejadian insomnia
didapatkan mayoritas mengalami depresi sedang dan mengalami insomnia
sedang sebanyak 10 orang dengan persentase sebesar 45,5 %. Untuk
mengetahui hubungan antar variabel, dilakukan analisi korelasi dan regresi
antar ke dua variabel. Berikut disajikan hasil korelasi antara tingkat depresi
dengan kejadian insomnia. Metode yang digunakan adalah dengan
menggunakan korelasi Spearman.
Berdasarkan analisi hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan yang positif signifikan dengan koefisien r sebesar 0.692, p=0.000
antara depresi dengan kejadian insomnia. Semakin tinggi depresi maka
semakin tinggi tingkat kejadian insomnia, begitu juga sebaliknya semakin
rendah depresimaka semakin rendah tingkat kejadian insomnia.

6. Kelebihan dan kekurangan:


Kelebihan dalam penelitian ini adalah peneliti menjabarkan data yang di
olah secara menyeluruh dan jelas dalam proses penelitian. Serta dalam
penelitian ini penulis juga memberikan gambaran keberhasilan yang di
lakukan oleh peneliti lainnya yang juga meneliti hal yang sama, dan dalam
penelitian ini penulis juga memberikan informasi mengapa lansia banyak
yang mengalami insomnia.
Kekurangan dalam penelitian ini adalah peneliti menggunakan analisis
univariat dan bivariat. Analisa univariat yaitu analisa yang dilakukan dengan
menganalisa setiap variabel dalam penelitian, lalu dengan analisa bivariat
yaitu analisa yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kedua
variabel. Dengan menggunakan analisis ini peneliti perlu menggunakan
banyak tahapan dalam proses menemukan hasil akhir apakah antara kedua
variabel saling berpengaruh.
7. Saran:
Stress yang berkepanjangan sering menjadi penyebab dari insomnia jenis
kronis, sedangkan berita-berita buruk, gagal rencana dapat menjadi penyebab
insomnia transient, selain itu depresi adalah hal yang paling sering
ditemukan. Adanya penanganan yang baik dapat mengurangi terjadinya
Insomnia pada lansia. Cara yang dapat dilakukan antara lain memberikan
lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur merupakan syarat mutlak
untuk gangguan tidur.
ANALISIS JURNAL 4

1. Judul jurnal : PENGARUH LATIHAN KANDUNG KEMIH


(BLADDER TRAINING) TERHADAP INTERVAL
BERKEMIH WANITA LANJUT USIA (LANSIA)
DENGAN INKONTINENSIA URIN
2. Peneliti : M.Reza Pamungkas, Nurhayati, Musiana

3. Sumber jurnal : http://www.ejurnal.poltekkes-


tjk.ac.id/index.php/JKEP/article/view/360
4. Isi jurnal: :
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih
menurun. Sisa urin dalam kandung kemih cenderung meningkat dan
kontraksi otot kandung kemih yang tidak teratur semakin sering terjadi.
Keadaan ini sering membuat lansia mengalami gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin yaitu Inkontinensia urin.
Salah satu cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin
pada lansia adalah dengan latihan kandung kemih (Bladder Training).
Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan untuk
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi
optimal.
Penelitian ini menggunakan rancangan desain pra eksperimen dengan
metode pengambilan data Pre and Post Test One Group, yaitu desain
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana interval berkemih
lansia penderita inkontinensia urin sebelum dan sesudah bladder training.
Populasi penelitian adalah lansia yang ada di UPTD PSLU Tresna
Werdha Bakti Yuswa Provinsi Lampung sebanyak 102. Sampel pada
penelitian ini adalah semua lansia wanita yang memenuhi kriteria
(inkontinensia urin, bersedia menjadi responden, usia lebih dari atau sama
dengan 60 tahun, dapat melihat dan membaca angka dan tidak mengalami
dimensia). Sampel diambil dengan teknik non random sampling yaitu
menggunakan accidental sampling diperoleh responden sebanyak 26 lansia.
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 8-16 Juli 2013 menggunakan
lembar observasi.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer, dan
dianalisis secara univariat untuk melihat interval berkemih lansia sebelum
dan sesudah bladder training, sedangkan untuk melihat pengaruh bladder
training terhadap interval berkemih lansia uji statistik yang digunakan
adalah uji T dependen atau berpasangan. Dalam penelitian ini digunakan
tingkat kemaknaan 0.05 dan CI 95 %, jika p value ≤ 0,05 maka Ha diterima,
artinya bladder training berpengaruh terhadap interval berkemih lansia
inkontinensia urin. Sebaliknya jika p value > 0,05 maka Ha ditolak, artinya
bladder training tidak berpengaruh terhadap interval berkemih lansia
inkontinensia urin.
5. Hasil/pembahasan:
Karakteristik responden berdasarkan usia didapatkan rata – rata responden
berusia 76 tahun dengan median 75 dan standar deviasi 11,775. Usia
minimum responden adalah 60 tahun dan maximum adalah 110 tahun.
Berdasarkan distribusi frekuensi dapat dilihat bahwa mayoritas responden
berada pada kelompok usia old yaitu sebanyak 17 responden (65,4%),
berikutnya eldery sebanyak 7 responden (26,9%), very old sebanyak 2
responden (7,7%).
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
rata-rata interval berkemih sebelum latihan kandung kemih (bladder
training) pada lansia dengan inkontinensia urin adalah 2,32 jam dan rata-rata
interval berkemih setelah latihan kandung kemih (bladder training) adalah
2,26 jam. Selanjutnya didapatkan rata-rata selisih interval berkemih pada
lansia dengan inkontinensia urin sebelum dan setelah bladder training
adalah 0,146 jam atau setara dengan 8,76 menit dengan pvalue = 0,000 yang
artinya ada perbedaan interval berkemih pada lansia sebelum dan sesudah
bladder training selama 7 hari. Artinya bladder training berpengaruh
terhadap interval berkemih lansia inkontinensia urin.
6. Kelebihan dan kekurangan:
Kelebihan dalam penelitian ini adalah menggunakan rancangan desain
pra eksperimen dengan metode pengambilan data Pre and Post Test One
Group, yaitu eksperimen dengan cara membandingkan antara dua kejadian.
Karna dalam kasus ini untuk mengetahui apakah aktivitas yang diberikan
dapat berhasil atau tidak, maka peneliti akan mendapat hasil yang lebih
relevan dengan membandingkan antara sebelum dan sesudah kegiatan yang
diberikan.
Kekurangan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik non
random sampling yaitu menggunakan accidental sampling. Teknik ini sendiri
adalah teknik yang dilakukan dengan cara mengambil sampel berdasarkan
kebetulan bertemu dan dapat dijadikan sebagai sampel, teknik ini dirasa tidak
cukup efektif dikarenakan dapat memakan waktu lama dalam mengumpulkan
sampel.

7. Saran:

Saran bagi UPTD PSLU Bhakti Yuswa Provinsi Lampung institusi


adalah agar dapat melanjutkan latihan bladder training ini sebagai salah satu
terapi komplementer pada lansia dengan inkontinensia urin.
ANALISIS JURNAL 5

1. Judul Jurnal : Hubungan antara Usia dan Aktivitas Sehari-Hari dengan Risiko
Jatuh Pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri
2. Peneliti : Agustin Junior Nanda Deniro, Nuniek Nugraheni Sulistiawati ,
Novira Widajanti
3. Sumber Jurnal :
http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/download/156/133
4. Isi Jurnal:
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Geriatri RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada bulan Agustus- Oktober 2017. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasien yang berkunjung ke Instalasi Rawat jalan
Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Agustus-Oktober 2017
dengan besar sampel ditentukan menggunakan rumus penentuan besar sampel
analisis korelatif oleh Dahlan sejumlah 55 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan aplikasi statistik SPSS
dan diperoleh hasil sebagai berikut: karakteristik subjek penelitian secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1, dengan rerata usia subjek penelitian
adalah 72,27 ± 7,360 tahun dan frekuensi terbanyak pada usia 76-80 tahun
yaitu sejumlah 15 pasien (27,3 %). Mayoritas subjek penelitian adalah
perempuan sejumlah 32 (58,2%).
Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan aktivitas sehari-hari
dapat dilihat pada Tabel 2, dimana sebagian besar subjek penelitian termasuk
kategori Dependen Ringan dan Independen / Mandiri menurut skor Indeks
Barthel sejumlah 20 orang (36,4%). Hasil distribusi frekuensi subjek
penelitian penelitian berdasarkan risiko jatuh dapat dilihat pada Tabel 2,
dimana sebagian besar subjek penelitian memiliki risiko jatuh tinggi menurut
uji timed up and go test sejumlah 41 orang (74,5%), sedangkan pasien yang
memiliki risiko jatuh rendah sejumlah 14 orang (25,5%). Berdasarkan hasil
uji korelasi spearman, didapatkan hubungan antara usia dengan risiko jatuh
subjek penelitian dengan angka koefisien korelasi (r) sebesar 0,334 (nilai p=
0,013) (Tabel 3). Sementara itu, hasil uji korelasi spearman menunjukkan
adanya hubungan antara aktivitas sehari-hari dengan risiko jatuh (r= -0,460; p
<0,001)
5. Hasil/Pembahasan:
Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis bivariat yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan risiko jatuh (r = 0,334,
p < 0,05) dan ada hubungan antara aktivitas sehari-hari dengan risiko jatuh (r
= - 0,460, p < 0,05) pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri RSUD Dr Soetomo
Surabaya periode Agustus – Oktober 2017.
6. Kelebihan dan Kekurangan:
Kelebihan dari jurnal yang disusun oleh peneliti adalah desain cross-
sectional yang sangat memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat
umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan, hingga
generalisasinya cukup memadai.
Desain ini relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh. Dapat
dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus dan juga jarang terancam
loss to follow-up (drop out).
Kekurangan dari jurnal yang disusun oleh peneliti yaitu bila karakteristik
pasien yang cepat sembuh atau meninggal itu berbeda dengan mereka yang
mempunyai masa sakit Panjang (kronis), terdapat salah interpretasi hasil
penelitian. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila
variabel yang dipelajari banyak. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit,
insidens, maupun prognosis. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat
jarang. Mungkin terjadi bias prevalens atau bias insidens karena efek faktor
suatu risiko selama selang waktu tertentu dapat disalah tafsirkan sebagai efek
suatu penyakit.
7. Saran:
Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut yang dilakukan pada
lingkungan yang berbeda, cara pengambilan sampel yang berbeda dan kurun
waktu yang lebih lama. Serta perlu diperhatikan tentang masalah fisik,
kapasitas mental, status mental (depresi atau kesedihan), penerimaan anggota
fisik yang semakin menurun fungsinya serta dukungan keluarga.
ANALISIS JURNAL 6

1. Judul Jurnal : Karakteristik Fraktur Femur Proksimal Pada Geriatri Di Rumah


Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013
2. Nama Peneliti : Ni Kadek Sulistyaningsih, I G N Wien Aryana

3. Sumber Jurnal :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/24701/15941/
4. Isi Jurnal:
Selama periode penelitian diperoleh 66 sampel dengan umur termuda 45
tahun dan tertua 110 tahun (rata-rata 67,71 tahun; SD+13,46 tahun). Dari total
sampel, terdapat 45 (68,2%) wanita dan 21 (31,8%) pria. Selain dibagi
berdasarkan jenis kelamin, sampel juga digolongkan berdasarkan kelompok umur
tertentu yakni, kelompok pralansia (45-59 tahun) sebanyak 23 (34,8%) orang,
kelompok lansia (>60 tahun) sebanyak 11 (16,7%) orang dan kelompok lansia
beresiko (>70 tahun) sebanyak 32 (48,5%) orang. Data mengenai jenis fraktur
diperoleh dari pembacaan rekam medis pasien, dimana diperoleh jenis fraktur
leher femur sebanyak 21 (31,8%) orang, jenis fraktur intertrokanter 32 (48,5%)
orang dan jenis fraktur subtrokanter sebanyak 13 (19,7%) orang. Dari data yang
diperoleh, sebanyak 31 (47,0%) orang disebabkan oleh low-energy trauma dan
sebanyak 35 (53,0%) orang disebabkan karena high-energy trauma
Pada penelitian ini didapatkan 66 sampel pasien geriatri yang mengalami
fraktur femur proksimal. Sebagian besar sampel adalah wanita (N=45, 68,2%) dan
sisanya pria (N=21, 31,8%). Hasil serupa ditunjukkan dalam dua penelitian di
Korea Selatan oleh Hye-Young Kang dkk dimana dari 9.817 kasus, 70,2% pasien
adalah wanita,2 dan oleh Jon-Won Kang dkk mendapatkan dari 247 kasus terdiri
dari 184 (74,4%) wanita dan 114 (25,6%) pria.15 Namun, hasil berbeda
ditunjukkan oleh Valizadeh dkk yang melakukan penelitian di Zanjan-Iran,
mendapatkan lebih banyak terjadi pada pria (53,6%).8 Penelitian tersebut
memaparkan baik wanita maupun pria di Iran memiliki bone mass density (BMD)
yang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, namun akibat faktor
lingkungan yang kondusif bagi para lansia, resiko jatuh pun menurun. Adapun
yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif di Iran adalah penggunaan
permadani sebagai ciri khas interior di Iran dan yang terpenting, kebanyakan
lansia tinggal dengan sanak keluarganya sehigga lansia tersebut memperoleh
pengawasan dan bantuan daripada dengan lansia yang hidup seorang diri.
5. Hasil:
Dari penelitian ini didapat hasil bahwa gambaran karakteristik fraktur
femur proksimal pada geriatri di RSUP Sanglah Tahun 2013 adalah lebih sering
terjadi pada wanita (68,2%), kelompok umur lansia beresiko (48,5%), berjenis
fraktur intertrokanter (48,5%) dan disebabkan oleh high-energy trauma (53%).
6. Kelebihan dan Kekurangan:
Kelebihan dari jurnal yang disusun oleh peneliti adalah penggunaan
metode diskriptif yang mampu membuat peneliti menemukan apa dan bagaimana
fenomena fraktur terjadi pada geriatri di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar tahun 2013.
Kekurangan dari jurnal yang disusunn oleh peneliti adalah penggunaan
metode diskriptif sangat rentan bias karena nuansa pendapat subjektif dari peneliti
itu sendiri. Serta kelemahannya ada pada sulitnya memverifikasi ulang karena
pengamatan dan sifat kontekstualnya.
7. Saran:
Penggunaan metode diskriptif memiliki potensi untuk menggabungkan
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Sehingga hasil dari penelitian lebih
komprehensif, valid dan objektif.
ANALISIS JURNAL 7

1. Judul jurnal :Pengaruh tindakan pencegahan terhadap kejadian dekubitus


pada
lansia imobilisasi
2. Peneliti :Sulidah, Susilowati

3. Sumber jurnal:
http://www.jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/medisains/article/download/
2081/2093
4. Isi jurnal:
- Latar Belakang: Dekubitus merupakan masalah yang sering ditemukan pada
lansia imobilisasi. Dekubitus berdampak pada penurunan kualitas hidup lansia.
Seringkali dekubitus menimbulkan komplikasi infeksi yang bila pengelolaanya
tidak adekuat bisa mengakibatkan bakteriemia hingga menyebabkan kematian.
Tindakan pencegahan penting dilakukan guna mempertahankan kualitas hidup
lansia.
-Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh tindakan
pencegahan terhadap kejadian dekubitus pada lansia imobilisasi.
-Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan
pendekatan one group pre test – post test design. Populasi penelitian ini adalah
lansia yang mengalami imobilisasi di wilayah kerja Puskesmas Karang Rejo
Kota Tarakan. Besar populasi tidak diketahui secara pasti sehingga
pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non random sampling dengan
metode consecutive sampling. Besar sampel 18 subjek yang diperoleh selama
tiga bulan. Subjek diberikan intervensi berupa tindakan pencegahan dekubitus
yang dilakukan oleh peneliti dan tim teknis. Instrumen penelitian berupa
lembar observasi untuk membandingkan kondisi kulit sebelum dan sesudah
intervensi. Teknik analisis yang digunakan adalah uji Wicoxon.
5. Hasil/pembahasan:
Imobilisasi merupakan faktor penting untuk terjadinya dekubitus.
Imobilisasi dapat terjadi pada siapa saja tanpa membendakan jenis kelamin.
Namun demikian pada penelitian ini terdapat kecenderungan perempuan lebih
besar risikonya mengalami imobilisasi; hal ini berkaitan dengan usia harapan
hidup perempuan lebih tingggi dibanding laki-laki. Semakin tinggi usia
semakin besar pula ketidakmampuannya untuk mobilisasi akibat kelemahan
dan penyakit yang dideritanya. Penyakit primer maupun sekunder yang
mungkin dialami lansia akan meningkatkan risiko kejadian dekubitus karena
kondisi sakit menambah ketidakmampuannya melakukan mobilisasi. Pada
penelitian ini seluruh responden dalam keadaan sakit. Jenis penyakit
terbanyak yang dialami oleh lansia adalah diabetes mellitus, stroke dan
hipertensi. Pada penelitian ini penyakit yang secara langsung menyebabkan
imobisasi adalah stroke yang diderita oleh empat responden. Sedangkan
penyakit lain meskipun tidak secara langsung menyebabkan imobilisasi tetapi
memperberat kondisi lansia; adapun penyebab utama imobilisasi adalah
kelemahan dan gangguan penglihatan yang terjadi sebagai akibat proses
penuaan.
Lama imobilisasi sangat berperan terhadap timbulnya dekubitus. Semakin
lama lansia mengalami imobilisasi semakin besar pula risiko dekubitus.
Risiko terjadinya dekubitus menurut Reuben (2015) dibedakan menjadi dua
faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Termasuk faktor intrinsik
adalah imobilisasi, meningkatnya usia, keadaan malnutrisi, kelembaban,
diabetes mellitus, penyakit stroke, penurunan tekanan darah, peningkatan
suhu tubuh, dan ras kulit putih. Termasuk faktor ekstrinsik adalah tekanan,
gesekan, dan geseran. Kelembaban yang berlebihan dapat menyebabkan kulit
mudah mengalami pergesekan (friction) dan perobekan (shear) yang
memungkinkan terjadinya luka dekubitus. Latihan ROM pasif dilakukan
untuk menghindarkan lansia dari kontraktur dan atropi otot. Perubahan posisi
tirah baring secara teratur dalam interval waktu 2 jam sekali diyakini dapat
menghindarkan terjadinya luka dekubitus. Tindakan ini merupakan
penekanan tindakan pencegahan dekubitus pada penelitian ini. Peneliti
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan menunjukkan sikap empati
untuk memastikan lansia mendapatkan tindakan pencegahan secara benar dan
akurat.
6. Kelebihan dan kekurangan:
a. Kelebihan
-Tidak ada kelompok kontrol, tetapi sudah dilakukan pretest yang
memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya
eksperimen.
b. Kekurangan
- Tidak ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel dependen
karena intervensi Secara umum, sulit untuk menarik kesimpulan karena
adanya masalah besar yang melekat dalam mempelajari masalah
multifaktorial dengan banyak perlakuan yang diterima.
7. Saran
Peneliti merekomendasikan agar tindakan pencegahan dibuat sebagai
sebuah prosedur tetap dalam perawatan penderita imobilisasi, khususnya pada
lansia. Pada tatanan komunitas, puskesmas melalui perawat komunitas
bertanggungjawab melakukan transfer pengetahuan tentang tindakan
pencegahan dekubitus pada pasien imobilisasi kepada keluarga penderita.
ANALISIS JURNAL 8

1. Judul : Decubitus Ulcers


2. Peneliti : Cheryl Bansal,BA, Ron Scott,MD, David Stewart,MD, and Clay
J.
Cockerell,MD
3. Sumber Jurnal:
https://sci.bban.top/pdf/10.2165/11318340-000000000-00000.pdf#view=FitH
4. Isi Jurnal:
Ulkus dekubitus adalah masalah perawatan kesehatan di seluruh dunia
yang mempengaruhi puluhan ribu pasien dan menelan biaya lebih dari satu
miliar dolar setahun. Kerentanan terhadap ulkus tekan berasal dari kombinasi
faktor eksternal (tekanan, gesekan, gaya geser, dan kelembaban), dan faktor
internal (misalnya demam, malnutrisi, anemia, dan disfungsi endotel).
Seringkali, kerusakan terjadi untuk ulkus dekubitus setelah hanya 2 jam
imobilitas, situasi yang mungkin sulit untuk dihindari jika pasien harus
menjalani operasi yang lama atau tetap terbaring di tempat tidur. Kerusakan
akibat tekanan juga dapat terjadi beberapa jam sebelum pasien menerima
tindakan medis, terutama jika pasien jatuh menjadi tidak dapat bergerak karena
kejadian vaskular. Beberapa klasifikasi untuk ulkus dekubitus telah dijelaskan,
berdasarkan tempat cedera pertama kali terjadi. Perkembangan histologis ulkus
dekubitus merupakan proses dinamis yang melibatkan beberapa tahapan,
masing-masing memiliki ciri histologis yang khas. Pendekatan yang berfokus
pada tim yang mengintegrasikan semua aspek perawatan, termasuk pereda
tekanan, pengendalian infeksi, nutrisi, dan pembedahan, dapat meningkatkan
tingkat penyembuhan. Dengan penilaian risiko yang akurat dan perawatan
preventif, diharapkan dapat meminimalkan komplikasi dan kematian akibat
ulkus dekubitus.
5. Hasil/ Pembahasan
Studi yang mendokumentasikan pengobatan ulkus dekubitus telah
menghasilkan berbagai kesimpulan, menurut Ferell dkk, mereka menemukan
tidak ada tekanan ulkus yang sembuh total atau berkurang di area permukaan
lebih dari 50% dalam waktu 30 hari dan hanya 14% dari tekanan ulkus yang
sembuh total dalam 79 hari. Ini menunjukkan bahwa terapi jangka panjang
mungkin diperlukan. Yao-Chin dkk menemukan 53% dari tekanan ulkus
sembuh dalam 42 hari. Perbedaan dalam penelitian ini mungkin dikaitkan
dengan karakteristik pasien (termasuk tahap ulkus yang dipelajari), pengaturan
rumah sakit, dan lamanya tindak lanjut. Secara umum, sulit untuk menarik
kesimpulan karena adanya masalah besar yang melekat dalam mempelajari
masalah multifaktorial dengan banyak perlakuan yang diterima. Analisis
multivariat menunjukkan konstelasi faktor yang bersatu untuk menciptakan
ulkus dekubitus. Tidak ada pengobatan yang bekerja sepenuhnya dengan
sendirinya; sebaliknya, sejumlah perawatan gratis yang menjangkau seluruh
spektrum perawatan pasien harus digunakan untuk hasil yang paling
menguntungkan. Perawatan harus dilanjutkan seumur hidup pasien karena
tingkat kekambuhan bisa mencapai 90%.
6. Kelebihan dan kekurangan
a. Kelebihan
Dapat mengidentifikasi kelompok-kelompok variabel yang anggotanya
memiliki kesamaan
b. Kekurangan
- Analisis di dalam jurnal menggunakan analisis multivariat sehingga
membutuhkan sampel yang banyak.

- Secara umum, sulit untuk menarik kesimpulan karena adanya masalah


besar yang melekat dalam mempelajari masalah multifaktorial dengan
banyak perlakuan yang diterima.

7. Saran:

Sulit untuk menarik kesimpulan karena adanya masalah besar yang


melekat dalam mempelajari masalah multifaktorial dengan banyak perlakuan yang
diterima, maka untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengspesifikkan
pengobatan pada tekanan ulkus / decubitus.

Anda mungkin juga menyukai