Semester I
“Sindroma Geriatri”
KELOMPOK 3
Apa sih yang dinamakan sindroma geriatri dan apa saja sindroma geriatri itu?
Serta bagaimana peran Terapi Okupasional pada sindroma geriatri?
Pembahasan lebih dalam akan dibagi menjadi 3 (tiga) sub bab:
1. Sindroma geriatri
2. Macam - macam problem pada sindroma geriatri
3. Penatalaksanaan Terapi Okupasional pada sindroma
geriatri
Setelah mempelajari bab ini diharapkan Anda dapat:
1. Memahami dan menjelaskan apa itu sindroma geriatri
2. Memahami dan menjelaskan macam - macam problema pada sindroma
geriatri
3. Memahami dan menerapkan penatalaksanaan Terapi Okupasional yang benar
dan cara pencegahan pada sindroma geriatri.
Agar Anda dapat mencapai hasil belajar yang optimum, ikutilah semua
petunjuk dalam bab ini dengan cermat. Baca semua uraian materi ini secara
berulang, aplikasikan contoh yang ada ke dalam situasi nyata, kerjakan latihan
dengan sungguh-sungguh, dan baca rangkuman sebelum mengerjakan tes
formatif!
Jika Anda melakukan disiplin yang tinggi dalam belajar, Anda pasti berhasil
dan secara berangsur-angsur akan menjadi mahasiswa yang mampu mandiri
dalam belajar.
Sebelumnya apakah ada yang tau apa itu sindroma geriatri? Sindroma geriatri
adalah sindroma atau permasalahan yang dialami oleh para lansia atau lanjut usia.
Untuk memahami lebih dalam apa itu sindroma geriatri mari kita bahas lebih
lengkapnya.
Istilah geriatri (geros = geriatri, iatreia = merawat/merumat), pertama kali
digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909.
Tetapi ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935
di Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex
Hospital yang dianggap sebagai pelopornya (Pranarka yang dikutip oleh Dini,
2013).
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, jatuh, dan lain-lain. Sindroma ini dapat menyebabkan
angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada lansia. Sindroma
ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindroma geriatri mungkin
memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, memerlukan
intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panita yang dikutip
oleh Dini, 2013) .
Sifat penyakit pada geriatri tidak sama dengan penyakit dan kesehatan
pada golongan populasi usia lainnya. Penyakit pada geriatri cenderung bersifat
multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai
proses patologik/penyakit. Penyakit biasanya berjalan kronis, menimbulkan
kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan kematian. Geriatri juga
sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat dengan kondisi
daya tahan yang menurun. Kesehatan geriatri juga sangat dipengaruhi oleh faktor
psikis, sosial dan ekonomi. Pada geriatri seringkali terjadi penyakit iatrogenik,
akibat banyak obat-obatan yang dikonsumsi (polifarmasi). Sehingga kumpulan
dari semua masalah ini menciptakan suatu kondisi yang disebut sindrom geriatri
(Pranarka, yang dikutip oleh Dini, 2013).
Menurut Kane yang dikutip oleh Dini (2013), sindrom geriatri memiliki
beberapa karakteristik, yaitu: usia > 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak
khas, polifarmasi, fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan
gangguan nutrisi.
RANGKUMAN
LATIHAN
A. Sindroma Serebral
Gangguan otak besar (Sindroma serebral) adalah kumpulan gejala yang
terjadi akibat perubahan dari aliran darah otak. Pada lansia, terjadi pengecilan
otak besar yang dalam batas tertentu masih dianggap normal. Aliran darah
otak orang dewasa kurang lebih 50 cc/100 gram/menit. Apabila aliran kurang
dari separuhnya, maka akan menimbulkan gejala-gejala sindroma serebral
(Suyanto, 2008).
Gangguan sirkulasi ini dapat disebabkan karena hipertensi/darah tinggi,
mengerasnya pembuluh darah, penyempitan akibat proses pengerasan
pembuluh yang dipercepat dengan tingginya kolesterol darah
(atheroskerosis), kencing manis, merokok dan darah tinggi. Pembuluh darah
otak pada orang lanjut usia banyak dijumpai plak ateroma pada sistem karotis
serta terjadi degenerasi diskus intervertebralis. Sirkulasi darah otak pada
lanjut usia sangat rentan terhadap perubahan, baik perubahan posisi tubuh
maupun faktor lain (tekanan).
Manifestasi sindroma serebral yang berkaitan dengan seluruh otak antara
lain apraxia dengan kaku otot, reflek primitif meningkat dan tendensi untuk
condong ke belakang, gangguan jalan (gait), demensia, dan inkontinensia.
Kemudian manifestasi sindroma serebral yang berkaitan dengan area
pembuluh karotis adalah serangan otak sepintas ( TIA = transient ischaemic
attack), penyakit pembuluh darah otak (stroke), dan arteritis yaitu peradangan
pada dinding pembuluh arteri, biasanya disebabkan oleh infeksi atau respon
autoimun. Selanjutnya, manifestasi sindroma serebral yang berkaitan dengan
area pembuluh vertebrobasiler adalah drop attack (serangan roboh) yaitu
pasien tiba-tiba jatuh tanpa peringatan, bukan karena tersandung, dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran, terjadi sebagai akibat TIA ke dasar otak. Lalu
terdapat gangguan pada reflek postur, pengaturan tensi dan suhu serta
muntah.
B. Konfusio/Delirium
Menurut Rahayu dan Darmojo (2002), konfusio akut adalah suatu
problem pada lansia yang ditandai dengan penurunan derajat kesadaran yang
terjadi secara tiba-tiba, sering merupakan tanda awal dari penyakit-penyakit
berat yang diderita lansia, mempunyai angka kesakitan dan kematian yang
tinggi dan sering mengakibatkan cacat atau imobilitas. Sedangkan menurut
Widyastuti dan Mahasena (2017), konfusio akut merupakan keadaan dimana
penderita mengalami penurunan kemampuan dalam memusatkan
perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami disorientasi dan tidak mampu
berfikir secara jernih.
Acute confusional state (konfusio akut) memiliki banyak nama, beberapa
literature menggunakan istilah seperti sindrom delirium, acute mental status
change, altered mental status, reversible dementia, toxic/metabolic
encephalopathy, organic brain sybdrome, dan dysergastic reaction.
Rata-rata pasien mengalami delirium pada umur 75 tahun, dengan
sebagian besar memerlukan perawatan rumah sakit dan timbul banyak tanda
(sign) lagi setelah tiga hari atau lebih perawatan. Delirium dapat mengganggu
status fungsional pada lansia termasuk kemampuan lansia untuk melakukan
aktivitas sehari-harinya (Weng, 2019)
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai
pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif
pasien. Penyebab utamanya adalah berasal dari penyakit susunan saraf pusat
(seperti epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal jantung), dan intoksikasi
atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium terbanyak
terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Area yang
terutama terkena adalah formasio retikularis.
Faktor predisposisi terjadinya konfusio/delirium, adalah usia, kerusakan
otak, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan
panca indera, malnutrisi, alkohol, obat-obatan dan bahan beracun, efek toksik
dari pengobatan, infeksi akut disertai demam, meningitis, ensefalitis, sifilis
(penyakit infeksi yang menyerang otak), tumor otak (beberapa diantaranya
kadang menyebabkan linglung dan gangguan ingatan), fungsi jantung atau
paru-paru yang buruk dan menyebabkan rendahnya kadar oksigen atau
tingginya kadar karbon dioksida di dalam darah, stroke, dan lain-lain
(Widyastuti dan Mahasena, 2017).
C. Insomnia
Insomnia adalah gangguan tidur paling sering pada usia lanjut, yang
ditandai dengan ketidakmampuan untuk mengawali tidur, mempertahankan
tidur, bangun terlalu dini atau tidur yang tidak menyegarkan (Astuti, 2013).
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya
gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius.
Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%.
Walaupun demikian, hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa
gangguan tidurnya telah didiagnosis oleh dokter. Insomnia sendiri sebenarnya
bukan merupakan suatu penyakit, tetapi lebih merupakan gejala yang tidak
khas yang berjalan sesuai dengan bertambahnya umur dan bukan suatu
gangguan yang spesifik (Marwa, 2016).
Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan pola tidur. Hal ini
meningkatkan resiko terjadinya insomnia akan tetapi pertambahan umur tidak
menjadi faktor mutlak timbulnya insomnia pada usia lanjut (Astuti, 2013).
Penyebab insomnia lainnya mencakup, faktor psikologis, sakit fisik, faktor
lingkungan, gaya hidup, alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam
kerja yang tidak teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur
(Marwa, 2016).
Insomnia dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan etiologinya.
Dilihat dari durasinya insomnia dibagi menjadi tiga yaitu: transient insomnia,
short-term insomnia, dan insomnia kronis sedangkan berdasarkan etiologinya
insomnia dibagi menjadi insomnia primer dan insomnia sekunder (Astuti,
2013).
Salah satu penanganan insomnia adalah dengan terapi farmakologi. Tujuan
terapi farmakologi adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup pada usia lanjut. Terapi farmakologi yang
paling efektif untuk insomnia adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau
non Benzodiazepine. Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi
insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin, antipsikotik.
D. Inkontinensia
Inkontinensia urin adalah kehilangan kontrol berkemih yang bersifat
sementara atau menetap. Inkontinensia urin bukan merupakan penyakit, tetapi
keluhan yang mempunyai dampak medik, psikososial dan ekonomi serta
dapat menurunkan kualitas hidup (Soetojo, dikutip oleh Pamungkas 2013).
Prevalensi inkontinensia urin pada wanita di dunia berkisar antara 10 -
58%, sedang di Eropa dan Amerika berkisar antara 29,4%. Menurut Asia
Pacific Continence Advisor Board (APCAB) tahun 1998 menetapkan
prevalensi inkontinensia urin di Asia 14,6% pada wanita dan 6,8% pada pria,
sedangkan di Indonesia 5,8%.
Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih
menurun. Sisa urin dalam kandung kemih cenderung meningkat dan kontraksi
otot kandung kemih yang tidak teratur semakin sering terjadi (Nursalam,
dikutip oleh Pamungkas 2013).
E. Jatuh
Jatuh adalah kejadian yang tidak disadari dimana seseorang terjatuh dari
tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah yang bisa disebabkan
oleh hilangnya kesadaran, stroke, atau kekuatan yang berlebihan. Jatuh
merupakan salah satu masalah fisik yang sering terjadi dan mengakibatkan
morbiditas serta mortalitas pada usia lanjut. Terdapat berbagai faktor
penyebab risiko jatuh diantaranya adalah usia dan kemandirian dalam
aktivitas sehari-hari.
Prevalensi resiko jatuh yaitu penduduk diatas usia 55 tahun mencapai
49,4% dan pada umur diatas 65 tahun ke atas 67,1% (Kemenkes, RI, 2013).
Sedangkan di Amerika insidensi jatuh setiap tahunnya pada lanjut usia yang
tinggal di komunitas meningkat dari 25% pada umur 70 tahun menjadi 35%
setelah berusia >75 tahun. Kejadian jatuh terjadi sekitar 30% lanjut usia yang
berumur 65 tahun ke atas yang tinggal di komunitas, sebagian dari angka
tersebut yang mengalami jatuh berulang.
F. Patah Tulang
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Keadaan ini akan
mengganggu fungsi dari organ tulang sebagai penyangga tubuh dan dapat
menyebabkan terjadinya disabilitas.
Semua orang memiliki faktor risiko terjadi fraktur karena trauma dapat
terjadi pada siapapun. Salah satu kelompok usia yang memiliki risiko lebih
tinggi terjadinya fraktur ialah kelompok lanjut usia/ lansia/ geriatric dan
fraktur yang dialami disebut fraktur geriatri (geriatric fracture).
Fraktur geriatri dapat disebabkan oleh mekanisme high impact maupun
low impact. Fraktur high-impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor dan cedera saat berolahraga, namun fraktur low impact
yang paling sering terjadi pada kelompok lansia dan memiliki angka
mortalitas paling tinggi. Fraktur low impact paling sering terjadi disebabkan
oleh karena keadaan osteoporosis dengan mekanisme jatuh. Risiko terjadinya
fraktur oleh karena osteoporosis yaitu antara 40-50% pada perempuan dan
13-22% pada laki-laki. Fraktur oleh karena osteoporosis paling sering terjadi
pada tulang belakang/ vertebra dan panggul. Empat dari lima kasus fraktur ini
terjadi melalui mekanisme terjatuh.
Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa terjatuh merupakan mekanisme
yang sering menyebabkan fraktur pada kelompok lansia, paling sering terjadi
di dapur dan kamar mandi. Kejadian jatuh pada kelompok lansia tergantung
pada berbagai faktor antara lain adanya gangguan keseimbangan atau gait
yang tidak stabil. Insiden fraktur yang disebabkan oleh kejadian jatuh sebesar
40% pada lansia.
Fraktur trunkus inferior merupakan fraktur paling umum pada kelompok
lansia (34% pada tahun 2014) yaitu pinggul (hip/femur proksimal), panggul
(pelvis), vertebra bagian bawah, dan pergelangan kaki (ankle).
Fraktur hip/femur proksimal dapat memperburuk kualitas hidup seorang
lansia dengan segera akibat timbulnya kecacatan dan bahkan tidak jarang
kematian. Angka mortalitasnya pun terbilang tinggi yakni mencapai 16,55%,
dimana peningkatan laju mortalitas sebanding dengan peningkatan umur,
yakni meningkat kurang dari 10% pada lansia kurang dari 65 tahun dan lebih
dari 20% pada lansia diatas 85 tahun. Laju mortalitas pria lebih tinggi
dibanding wanita. Walaupun prevalensi fraktur femur proksimal saat ini
masih stabil, namun diperkirakan pada tahun 2050 jumlah kasus akan
meningkat dari 1,7 juta menjadi 6,3 juta kasus di seluruh dunia. Secara
umum, kasus fraktur femur proksimal di dunia mencapai 11,3 per 1.000 per
tahun, dimana sejak tahun 1999, secara global insiden fraktur femur
proksimal terhadap umur semakin meningkat. Peningkatan tersebut
disebabkan karena meningkatnya populasi lansia di suatu negara yang diikuti
dengan lonjakan jumlah geriatri.
G. Decubitus
Dekubitus adalah lesi di kulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis dan
kadangkadang jaringan subkutis dan tulang di bawahnya (Price, 2009). Ulkus
dekubitus juga disebut pressure sores atau bed sores yaitu lesi di kulit yang
terjadi akibat rusaknya epidermis, dermis dan kadang-kadang jaringan
subkutis dan tulang di bawahnya. Ulkus dekubitus biasanya dijumpai pada
orang-orang yang dirawat di tempat tidur atau mengalami penurunan
mobilitas termasuk salah satunya pasien stroke (Corwin, 2009).
Dekubitus dapat terjadi pada semua kelompok usia, tetapi akan menjadi
masalah yang khusus bila terjadi pada seorang lanjut usia (lansia).
Kekhususannya terletak pada insiden kejadiannya yang erat kaitannya dengan
imobilisasi (Martono, 2014). Insiden dan prevalensi dekubitus di Indonesia
mencapai 40% atau yang tertinggi diantara negara-negara besar ASEAN
lainnya. Menurut Bujang, Aini & Purwaningsih (2013), kejadian dekubitus
terdapat pada tatanan perawatan akut (acut care) sebesar 5-11%, pada tatanan
perawatan jangka panjang (long term care) sebesar 15-25%, dan tatanan
perawatan dirumah (home health care) sebesar 7-12%.
Derajat ulkus dekubitus menurut Tambayong (2009) dalam Damayanti
(2012) adalah sebagai berikut :
a) Derajat I Derajat ini ditandai dengan terbentuknya abrasi yang mengenai
epidermis, luka tampak merah, hangat dan mengeras.
b) Derajat II Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringan adiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh
dalam 10-15 hari. Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis atau
dermis, atau keduanya. Cirinya adalah lukanya superficial, abrasi,
melempuh atau membentuk lubang yang dangkal.
c) Derajat III Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot
sudah mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan
hilangnya struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau
hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan
infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu. Hilangnya lapisan
kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis dari jaringan
subkutan atau lebih dalam, akan tetapi tidak sampai pada fascia. Luka
terlihat seperti lubang yang dalam.
d) Derajat IV Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta
sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering diserti
anemia. Dapat sembuh dalam 3-6 bulan. Hilangnya lapisan kulit secara
lengkap dengan kerusakan yang luas, nekrosis jaringan, kerusakan pada
otot, tulang atau tendon. Adanya lubang yang dalam serta saluran sinus
juga termasuk dalam stadium IV dari luka tekan.
Pencegahan merupakan faktor penting pada lansia imobilisasi guna
menghindarkan risiko dekubitus. Risiko terbesar terhadap dekubitus terjadi
akibat tekanan pada kulit yang menonjol dalam rentang waktu yang cukup
lama. Menurut Ginsbreng (2008), proses terjadinya dekubitus dimulai
dengan adanya tekanan pada permukaan tubuh yang menonjol yang secara
berangsur-angsur menyebabkan gangguan sirkulasi darah setempat; dan bila
berlangsung lebih lama maka area tersebut akan mengalami defisit nutrisi
sehingga perlahan terjadi kematian jaringan/nekrosis. Tindakan pencegahan
dapat dilakukan dengan merubah posisi tirah baring secara berkala dan
teratur serta menjaga kulit untuk tetap bersih.
Pencegahan dekubitus dapat dilakukan dengan berbagai upaya.
Heineman (2010) menjelaskan prosedur pencegahan dekubitus dengan
mengutip panduan praktik klinik America Health of Care Plan Resources
(AHCPR) bahwa intervensi yang dapat digunakan untuk mencegah dekubitus
terdiri dari tiga kategori.
● Intervensi pertama ialah perawatan kulit dan penanganan dini meliputi
mengkaji risiko klien terkena dekubitus, perbaikan keadaan umum
penderita, pemeliharaan, perawatan kulit yang baik, pencegahan
terjadinya luka dengan perubahan posisi tirah baring dan masase tubuh.
● Intervensi kedua yaitu meminimalisasi tekanan dengan matras atau alas
tempat tidur yang baik.
● Intervensi yang ketiga yaitu edukasi pada klien dan support system.
RANGKUMAN
7. Dekubitus adalah lesi di kulit yang terjadi akibat rusaknya epidermis dan
kadang kadang jaringan subkutis dan tulang di bawahnya.
LATIHAN
A. Sindroma Serebral
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hye-Sun pada tahun 2018,
semakin tinggi fungsi kognitif lansia dengan stroke berdampak pada semakin
tingginya kualitas hidup lansia tersebut. Dalam rangka meningkatkan kualitas
hidup lansia, terapis okupasi dapat melakukan intervensi untuk meningkatkan
fungsi kognitif lansia (orientasi, persepsi, eksekusi, visual movement,
berpikir, memori, dan konsentrasi).
Selain itu, terapis okupasi juga dapat merekomendasikan penggunaan alat
bantu bagi pasien yang membutuhkannya. Adaptasi lingkungan agar lebih
aman dan aksesibel juga diperlukan. Tak kalah penting yaitu mengembalikan
kemampuan fungsional pasien untuk melakukan aktivitas sehari-harinya
dengan menggunakan konservasi energi, penyederhanaan aktivitas, maupun
pendekatan yang lainnya.
B. Konfusio/Delirium
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya konfusio/delirium adalah dengan
menggunakan Confusion Assessment Method (CAM). Uji status mental lain
yang sudah lazim dikenal antara lain Mini-mental Status Examination
(MMSE), Delirium Rating Scale, dan Delirium Symptom Interview.
Comprehensive geriatric assessment (pengkajian geriatric paripurna)
sangat bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebih jelas tentang
beberapa faktor resiko yang dimiliki pasien. Pemeriksaan tak hanya terhadap
faktor fisik, namun juga psikiatri, status fungsional, riwayat penggunaan obat,
dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan nutrisi dan
cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang
meningeal, tekanan darah, frekuensi nafas dan denyut jantung serta suhu
rectal) sangat penting.
Intervensi terapi okupasi pada kondisi konfusio/delirium dapat meliputi:
1. Reorientasi: memasang jam dinding kalender, memulihkan orientasi
dengan terapi reality orientation therapy (ROTE)
2. Memulihkan siklus tidur dengan mengedukasi untuk membangun suasana
yang kondusif untuk tidur. Mengedukasi klien/caregiver untuk
memadamkan lampu, lalu klien juga diminta minum susu hangat atau teh
herbal, memutar musik yang tenang, pemijatan (massage) punggung, dan
tidur tanpa obat
3. Adaptasi lingkungan agar lebih aksesibel dan aman bagi klien dengan
konfusio
4. Menyederhanakan tahapan aktivitas yang dilakukan oleh klien
Sedangkan pencegahan konfusio/delirium dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1. Perhatikan kondisi kesehatan seseorang, terutama orang lanjut usia
2. Hindari konsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan terlarang.
3. Rutin kontrol ke dokter jika memiliki riwayat penyakit kronis, seperti
diabetes, hipertensi, atau gagal ginjal
4. Konsumsi makanan dengan gizi seimbang serta cukupi kebutuhan cairan
tubuh
5. Mempunyai pola hidup sehat dengan rutin berolahraga serta istirahat yang
cukup.
6. Atasi infeksi dengan segera mencari pertolongan dokter (Handayani,
2021).
C. Insomnia
Intervensi atau penanganan insomnia yang dapat diberikan pada usia lanjut
terdiri dari terapi nonfarmakologi dan farmakologi. Tujuan terapi adalah
menghilangkan gejala, meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien usia lanjut
(Woodward, dikutip oleh Astuti, 2013).
Terapi Nonfarmakologi
1. Stimulus control
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk menggunakan tempat tidur
hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain seperti membaca dan
menonton tv di tempat tidur.
2. Sleep restriction
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan
meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak tidur terlalu
lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat tidur.
3. Sleep hygiene
Sleep Hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan
lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.
4. Terapi relaksasi
Metode terapi relaksasi meliputi: melakukan relaksasi otot, guided
imagery, latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi
5. Cognitive behavioral therapy
Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaptive sleep belief menjadi
adaptive sleep belief
D. Inkontinensia
Salah satu cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin
pada lansia adalah dengan latihan kandung kemih (Bladder Training).
Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan untuk
mengembangkan tonus otot dan spingter kandung kemih agar berfungsi
optimal, terdapat 3 macam metode bladder training, yaitu kegel exercise,
delay urination, dan scheduled bathroom trips.
E. Jatuh
Pemeriksaan risiko jatuh pada lansia dapat menggunakan blangko“get up
and go test”. Beberapa intervensi yang digunakan untuk meminimalisir resiko
jatuh pada lansia dan jatuh berulang pada lansia yaitu menggunakan alat
bantu pegangan, jalan tandem, exercise fisik, latihan keseimbangan, senam
keselamatan pasien, keset anti slip, pencahayaan, penyuluhan tentang body
mekanik dan latihan lingkup gerak sendi baik secara aktif/pasif.
F. Patah Tulang
Intervensi pada geriatri untuk mencegah patah tulang bisa dengan
meminimalisir resiko jatuh serta menguatkan tulang dengan cara memberikan
asupan nutrisi dan kalsium yang diperlukan. Selain itu, untuk mengintervensi
pasien lansia yang mengalami patah tulang, terapis okupasi bisa
menggunakan kerangka acuan biomekanik, atau kerangka acuan rehabilitatif
jika diperlukan.
G. Decubitus
Beberapa rekomendasi disarankan untuk meningkatkan pemberian layanan
dalam pencegahan dan pengobatan tekanan ulkus oleh terapis okupasi.
1. Penilaian risiko dini dan konsisten: Terapis okupasi harus terus
mendukung, dan berpartisipasi dalam, skrining klien untuk risiko tekanan
ulkus.
2. Latihan ROM pasif dilakukan untuk menghindarkan lansia dari kontraktur
dan atropi otot.
3. Merubah posisi tirah baring secara teratur dalam interval waktu 2 jam
sekali diyakini dapat menghindarkan terjadinya luka dekubitus.
4. Fokus pada bidang kekuatan: Tempat duduk, posisi dan tekanan
manajemen terus menjadi keterampilan yang diakui, dan digunakan oleh,
terapis okupasi.
RANGKUMAN
LATIHAN
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat
di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan
rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi
Kegiatan Belajar 1.
Latihan 1
Menurut Kane yang dikutip oleh Dini (2013), sindrom geriatri memiliki beberapa
karakteristik, yaitu: usia > 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas,
polifarmasi, fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan
nutrisi.
Latihan 2
Fraktur high-impact biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
dan cedera saat berolahraga. Fraktur low impact paling sering terjadi disebabkan
oleh karena keadaan osteoporosis dengan mekanisme jatuh.
Latihan 3
Cara non farmakologis untuk menangani inkontinensia urin pada lansia adalah
dengan latihan kandung kemih (Bladder Training). Bladder training adalah latihan
kandung kemih yang bertujuan untuk mengembangkan tonus otot dan spingter
kandung kemih agar berfungsi optimal.
1. C
2. A
3. D
4. B
5. C
6. E
7. A
8. B
9. E
10. C
Daftar Pustaka
3. Sumber jurnal:
https://www.koreascience.or.kr/article/JAKO201831349948559.page
4. Isi jurnal:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur efek dan
menemukan korelasi/hubungan antara LOTCA-G dan SS-QOL pada
fungsi kognitif dan kualitas hidup pasien lansia dengan stroke. Waktu
penelitian adalah 1 Maret 2018 hingga 30 Maret 2018. Sampel yang
dilibatkan pada penelitian ini adalah 102 pasien stroke rawat jalan yang
berpartisipasi di pusat rehabilitasi di kota G dan mendapatkan treatment
LOTCA-G dan SS-QOL. Nilai mentah fungsi kognitif bervariasi
berdasarkan pada jenis kelamin, usia, pendidikan, dan status pernikahan
namun perbedaannya secara statistik tidak signifikan. Kemudian, nilai
mentah kualitas hidup lansia bervariasi berdasarkan pada jenis kelamin,
usia, pendidikan, dan status pernikahan, namun hanya bagian status
pernikahan yang menunjukkan signifikansi (p<0.01). Harapannya dengan
adanya hasil penelitian ini akan muncul intervensi yang bervariasi untuk
meningkatkan fungsi kognitif dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
lansia dengan stroke.
5. Hasil/pembahasan:
Hasil pemeriksaan LOTCA-G dan SS-QOL secara umum
menunjukkan korelasi/hubungan yang signifikan antar sub-kategori, tetapi
energi (salah satu sub-kategori pada kualitas hidup) tidak menunjukkan
korelasi/hubungan yang signifikan dengan satu pun sub-kategori dari
fungsi kognitif. Penggabungan hasil studi ini dapat menunjukkan adanya
tingkat hubungan yang tinggi antara fungsi kognitif dan kualitas hidup
lansia dengan stroke (p<0.01) yang ditunjukkan melalui hasil LOTCA-G
dan SS-QOL. Semakin tinggi fungsi kognitif lansia dengan stroke
berdampak pada semakin tingginya kualitas hidup lansia tersebut.
6. Kelebihan dan kekurangan:
7. Saran:
1. Judul Jurnal : Hubungan antara Usia dan Aktivitas Sehari-Hari dengan Risiko
Jatuh Pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri
2. Peneliti : Agustin Junior Nanda Deniro, Nuniek Nugraheni Sulistiawati ,
Novira Widajanti
3. Sumber Jurnal :
http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/download/156/133
4. Isi Jurnal:
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Geriatri RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada bulan Agustus- Oktober 2017. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua pasien yang berkunjung ke Instalasi Rawat jalan
Geriatri RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada bulan Agustus-Oktober 2017
dengan besar sampel ditentukan menggunakan rumus penentuan besar sampel
analisis korelatif oleh Dahlan sejumlah 55 pasien yang memenuhi kriteria
inklusi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan aplikasi statistik SPSS
dan diperoleh hasil sebagai berikut: karakteristik subjek penelitian secara
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1, dengan rerata usia subjek penelitian
adalah 72,27 ± 7,360 tahun dan frekuensi terbanyak pada usia 76-80 tahun
yaitu sejumlah 15 pasien (27,3 %). Mayoritas subjek penelitian adalah
perempuan sejumlah 32 (58,2%).
Distribusi frekuensi subjek penelitian berdasarkan aktivitas sehari-hari
dapat dilihat pada Tabel 2, dimana sebagian besar subjek penelitian termasuk
kategori Dependen Ringan dan Independen / Mandiri menurut skor Indeks
Barthel sejumlah 20 orang (36,4%). Hasil distribusi frekuensi subjek
penelitian penelitian berdasarkan risiko jatuh dapat dilihat pada Tabel 2,
dimana sebagian besar subjek penelitian memiliki risiko jatuh tinggi menurut
uji timed up and go test sejumlah 41 orang (74,5%), sedangkan pasien yang
memiliki risiko jatuh rendah sejumlah 14 orang (25,5%). Berdasarkan hasil
uji korelasi spearman, didapatkan hubungan antara usia dengan risiko jatuh
subjek penelitian dengan angka koefisien korelasi (r) sebesar 0,334 (nilai p=
0,013) (Tabel 3). Sementara itu, hasil uji korelasi spearman menunjukkan
adanya hubungan antara aktivitas sehari-hari dengan risiko jatuh (r= -0,460; p
<0,001)
5. Hasil/Pembahasan:
Kesimpulan dari penelitian ini adalah hasil analisis bivariat yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan risiko jatuh (r = 0,334,
p < 0,05) dan ada hubungan antara aktivitas sehari-hari dengan risiko jatuh (r
= - 0,460, p < 0,05) pasien Instalasi Rawat Jalan Geriatri RSUD Dr Soetomo
Surabaya periode Agustus – Oktober 2017.
6. Kelebihan dan Kekurangan:
Kelebihan dari jurnal yang disusun oleh peneliti adalah desain cross-
sectional yang sangat memungkinkan penggunaan populasi dari masyarakat
umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan, hingga
generalisasinya cukup memadai.
Desain ini relatif mudah, murah, dan hasilnya cepat dapat diperoleh. Dapat
dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus dan juga jarang terancam
loss to follow-up (drop out).
Kekurangan dari jurnal yang disusun oleh peneliti yaitu bila karakteristik
pasien yang cepat sembuh atau meninggal itu berbeda dengan mereka yang
mempunyai masa sakit Panjang (kronis), terdapat salah interpretasi hasil
penelitian. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila
variabel yang dipelajari banyak. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit,
insidens, maupun prognosis. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang sangat
jarang. Mungkin terjadi bias prevalens atau bias insidens karena efek faktor
suatu risiko selama selang waktu tertentu dapat disalah tafsirkan sebagai efek
suatu penyakit.
7. Saran:
Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut yang dilakukan pada
lingkungan yang berbeda, cara pengambilan sampel yang berbeda dan kurun
waktu yang lebih lama. Serta perlu diperhatikan tentang masalah fisik,
kapasitas mental, status mental (depresi atau kesedihan), penerimaan anggota
fisik yang semakin menurun fungsinya serta dukungan keluarga.
ANALISIS JURNAL 6
3. Sumber Jurnal :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/24701/15941/
4. Isi Jurnal:
Selama periode penelitian diperoleh 66 sampel dengan umur termuda 45
tahun dan tertua 110 tahun (rata-rata 67,71 tahun; SD+13,46 tahun). Dari total
sampel, terdapat 45 (68,2%) wanita dan 21 (31,8%) pria. Selain dibagi
berdasarkan jenis kelamin, sampel juga digolongkan berdasarkan kelompok umur
tertentu yakni, kelompok pralansia (45-59 tahun) sebanyak 23 (34,8%) orang,
kelompok lansia (>60 tahun) sebanyak 11 (16,7%) orang dan kelompok lansia
beresiko (>70 tahun) sebanyak 32 (48,5%) orang. Data mengenai jenis fraktur
diperoleh dari pembacaan rekam medis pasien, dimana diperoleh jenis fraktur
leher femur sebanyak 21 (31,8%) orang, jenis fraktur intertrokanter 32 (48,5%)
orang dan jenis fraktur subtrokanter sebanyak 13 (19,7%) orang. Dari data yang
diperoleh, sebanyak 31 (47,0%) orang disebabkan oleh low-energy trauma dan
sebanyak 35 (53,0%) orang disebabkan karena high-energy trauma
Pada penelitian ini didapatkan 66 sampel pasien geriatri yang mengalami
fraktur femur proksimal. Sebagian besar sampel adalah wanita (N=45, 68,2%) dan
sisanya pria (N=21, 31,8%). Hasil serupa ditunjukkan dalam dua penelitian di
Korea Selatan oleh Hye-Young Kang dkk dimana dari 9.817 kasus, 70,2% pasien
adalah wanita,2 dan oleh Jon-Won Kang dkk mendapatkan dari 247 kasus terdiri
dari 184 (74,4%) wanita dan 114 (25,6%) pria.15 Namun, hasil berbeda
ditunjukkan oleh Valizadeh dkk yang melakukan penelitian di Zanjan-Iran,
mendapatkan lebih banyak terjadi pada pria (53,6%).8 Penelitian tersebut
memaparkan baik wanita maupun pria di Iran memiliki bone mass density (BMD)
yang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara Barat, namun akibat faktor
lingkungan yang kondusif bagi para lansia, resiko jatuh pun menurun. Adapun
yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif di Iran adalah penggunaan
permadani sebagai ciri khas interior di Iran dan yang terpenting, kebanyakan
lansia tinggal dengan sanak keluarganya sehigga lansia tersebut memperoleh
pengawasan dan bantuan daripada dengan lansia yang hidup seorang diri.
5. Hasil:
Dari penelitian ini didapat hasil bahwa gambaran karakteristik fraktur
femur proksimal pada geriatri di RSUP Sanglah Tahun 2013 adalah lebih sering
terjadi pada wanita (68,2%), kelompok umur lansia beresiko (48,5%), berjenis
fraktur intertrokanter (48,5%) dan disebabkan oleh high-energy trauma (53%).
6. Kelebihan dan Kekurangan:
Kelebihan dari jurnal yang disusun oleh peneliti adalah penggunaan
metode diskriptif yang mampu membuat peneliti menemukan apa dan bagaimana
fenomena fraktur terjadi pada geriatri di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar tahun 2013.
Kekurangan dari jurnal yang disusunn oleh peneliti adalah penggunaan
metode diskriptif sangat rentan bias karena nuansa pendapat subjektif dari peneliti
itu sendiri. Serta kelemahannya ada pada sulitnya memverifikasi ulang karena
pengamatan dan sifat kontekstualnya.
7. Saran:
Penggunaan metode diskriptif memiliki potensi untuk menggabungkan
penelitian kualitatif dan kuantitatif. Sehingga hasil dari penelitian lebih
komprehensif, valid dan objektif.
ANALISIS JURNAL 7
3. Sumber jurnal:
http://www.jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/medisains/article/download/
2081/2093
4. Isi jurnal:
- Latar Belakang: Dekubitus merupakan masalah yang sering ditemukan pada
lansia imobilisasi. Dekubitus berdampak pada penurunan kualitas hidup lansia.
Seringkali dekubitus menimbulkan komplikasi infeksi yang bila pengelolaanya
tidak adekuat bisa mengakibatkan bakteriemia hingga menyebabkan kematian.
Tindakan pencegahan penting dilakukan guna mempertahankan kualitas hidup
lansia.
-Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh tindakan
pencegahan terhadap kejadian dekubitus pada lansia imobilisasi.
-Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen dengan
pendekatan one group pre test – post test design. Populasi penelitian ini adalah
lansia yang mengalami imobilisasi di wilayah kerja Puskesmas Karang Rejo
Kota Tarakan. Besar populasi tidak diketahui secara pasti sehingga
pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non random sampling dengan
metode consecutive sampling. Besar sampel 18 subjek yang diperoleh selama
tiga bulan. Subjek diberikan intervensi berupa tindakan pencegahan dekubitus
yang dilakukan oleh peneliti dan tim teknis. Instrumen penelitian berupa
lembar observasi untuk membandingkan kondisi kulit sebelum dan sesudah
intervensi. Teknik analisis yang digunakan adalah uji Wicoxon.
5. Hasil/pembahasan:
Imobilisasi merupakan faktor penting untuk terjadinya dekubitus.
Imobilisasi dapat terjadi pada siapa saja tanpa membendakan jenis kelamin.
Namun demikian pada penelitian ini terdapat kecenderungan perempuan lebih
besar risikonya mengalami imobilisasi; hal ini berkaitan dengan usia harapan
hidup perempuan lebih tingggi dibanding laki-laki. Semakin tinggi usia
semakin besar pula ketidakmampuannya untuk mobilisasi akibat kelemahan
dan penyakit yang dideritanya. Penyakit primer maupun sekunder yang
mungkin dialami lansia akan meningkatkan risiko kejadian dekubitus karena
kondisi sakit menambah ketidakmampuannya melakukan mobilisasi. Pada
penelitian ini seluruh responden dalam keadaan sakit. Jenis penyakit
terbanyak yang dialami oleh lansia adalah diabetes mellitus, stroke dan
hipertensi. Pada penelitian ini penyakit yang secara langsung menyebabkan
imobisasi adalah stroke yang diderita oleh empat responden. Sedangkan
penyakit lain meskipun tidak secara langsung menyebabkan imobilisasi tetapi
memperberat kondisi lansia; adapun penyebab utama imobilisasi adalah
kelemahan dan gangguan penglihatan yang terjadi sebagai akibat proses
penuaan.
Lama imobilisasi sangat berperan terhadap timbulnya dekubitus. Semakin
lama lansia mengalami imobilisasi semakin besar pula risiko dekubitus.
Risiko terjadinya dekubitus menurut Reuben (2015) dibedakan menjadi dua
faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Termasuk faktor intrinsik
adalah imobilisasi, meningkatnya usia, keadaan malnutrisi, kelembaban,
diabetes mellitus, penyakit stroke, penurunan tekanan darah, peningkatan
suhu tubuh, dan ras kulit putih. Termasuk faktor ekstrinsik adalah tekanan,
gesekan, dan geseran. Kelembaban yang berlebihan dapat menyebabkan kulit
mudah mengalami pergesekan (friction) dan perobekan (shear) yang
memungkinkan terjadinya luka dekubitus. Latihan ROM pasif dilakukan
untuk menghindarkan lansia dari kontraktur dan atropi otot. Perubahan posisi
tirah baring secara teratur dalam interval waktu 2 jam sekali diyakini dapat
menghindarkan terjadinya luka dekubitus. Tindakan ini merupakan
penekanan tindakan pencegahan dekubitus pada penelitian ini. Peneliti
melakukan setiap tindakan secara hati-hati dan menunjukkan sikap empati
untuk memastikan lansia mendapatkan tindakan pencegahan secara benar dan
akurat.
6. Kelebihan dan kekurangan:
a. Kelebihan
-Tidak ada kelompok kontrol, tetapi sudah dilakukan pretest yang
memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya
eksperimen.
b. Kekurangan
- Tidak ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel dependen
karena intervensi Secara umum, sulit untuk menarik kesimpulan karena
adanya masalah besar yang melekat dalam mempelajari masalah
multifaktorial dengan banyak perlakuan yang diterima.
7. Saran
Peneliti merekomendasikan agar tindakan pencegahan dibuat sebagai
sebuah prosedur tetap dalam perawatan penderita imobilisasi, khususnya pada
lansia. Pada tatanan komunitas, puskesmas melalui perawat komunitas
bertanggungjawab melakukan transfer pengetahuan tentang tindakan
pencegahan dekubitus pada pasien imobilisasi kepada keluarga penderita.
ANALISIS JURNAL 8
7. Saran: