Anda di halaman 1dari 32

14.1.

PENGERTIAN REKAM MEDIS

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia catatan medis (rekam medis)


adalah :
“Keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam tentang identitas,
anamnesa, penentuan fisik, laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan
medis yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat
jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat” (Dirjen Yandmed,1997)
Menurut APKIES RIS Pada http://www.apkies.com/Iris.html (2020) Rekam
medis adalah suatu profesi yang sangat penting dalam masa- masa pembangunan
kesehatan yang mengandalkan profesionalisme, terutama ketika Undang- Undang
Perlindungan Konsumen telah berjalan efektif. Kehadiran profesi ini telah diperlukan
karena tuntutan hukum telah semakin sering dilakukan terhadap dokter dan fasilitas
pelayanan kesehatan.
Rekam Medis yang bermutu menurut Sanjoyo,R pada
http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id adalah:
a. Akurat, menggambarkan proses dan hasil akhir pelayanan yang diukur
b. Terpercaya, dapat digunakan dalam berbagai kepentingan.
c. Valid atau sah sesuai dengan gambaran proses atau produk hasil akhir yang
diukur.
d. Tepat waktu, dikaitkan dengan episode pelayanan yang terjadi.
e. Dapat digunakan untuk kajian, analisis, dan pengambilan keputusan.
f. Seragam, batasan sebutan tentang elemen data yang dibakukan dan konsisten
penggunaannya di dalam maupun luar organisasi.
g. Dapat dibandingkan dengan standar yang disepakati dan diterapkan.
h. Terjamin kerahasiaannya
i. Mudah diperoleh melalui sistem komunikasi antar yang berwenang.

14.2. TUJUAN REKAM MEDIS


Menurut Depkes RI (1997) adalah untuk menunjang tercapainya tertib administrasi
rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Tanpa didukung suatu
sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan benar, mustahil tertib administrasi
rumah sakit akan berhasil sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan tertib
administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam upaya pelayanan
kesehatan yang bermutu di rumah sakit.

14.3. KEGUNAAN REKAM MEDIS


Kegunaan rekam medis dapat dilihat berbagai aspek. Secara umum kegunaan rekam
medis menurut Depker RI, 1997 yaitu:
a. Sebagai alat komunikasi antar dokter dengan tenaga ahli lainnya yang ikut
ambil bagian dalam memberikan pelayanan pengobatan, serta perawatan
terhadap pasien.
b. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan yang harus
diberikan kepada seorang pasien.
c. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan penyakit
dan pengobatan selama pasien berkunjung atau dirawat dirumah sakit
d. Sebagai bahan yang berguna untuk analisa, penelitian, dan evaluasi terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.

14.4. PROSES PENYELENGGARAAN REKAM MEDIS


Sistem penyelenggaraan rekam medis menurut buku Petunjuk Teknis Rekam Medis,
Depkes RI 1997 adalah:

Sistem Rekam Medis


1. Sistem Penamaan
Sistem penamaan pada dasarnya untuk memberikan identitas kepada seorang
pasien serta untuk membedakan antara pasien satu dengan pasien lainnya.
Sehingga mempermudah /memperlancar didalam memberikan pelayanan
rekam medis kepada pasien yang datang berobat ke rumah sakit.
Dalam sistem penamaan rekam medis diharapkan:
a. Nama ditulis dengan huruf cetak dan mengikuti ejaan yang
disempurnakan.
b. Sebagai pelengkap bagi pasien perempuan diakhir nama lengkap
ditambah Ny atau Nn sesuai dengan statusnya.
c. Pencantuman titel selalu diletakkan sesudah nama lengkap pasien.
d. Perkataan tuan, saudara, bapak tidak dicantumkan dalam penulisan
nama pasien.

2. Sistem cara pemberian nomor (Numering System)


Ada tiga macam sistem pemberian nomor pasien masuk (admission
numbering system) yang umum dipakai yaitu:
a. Pemberian nomor cara seri (Serial Numbering System)
b. Pemberian nomor cara unit (Unit Numbering System)
c. Pemberian nomor cara seri unit (Serial Seri Unit Numbering System)
1) Pemberian nomor cara seri
Dengan sistem ini penderita mendapat nomor baru setiap
kunjungan ke rumah sakit, jika ia berkunjung lima kali maka ia
akan mendapat lima nomor yang berbeda.
2) Pemberian nomor cara unit
Sistem ini memberikan satu nomor rekam medis baik kepada
pasien- pasien berobat jalan maupun pasien rawat inap. Pada
saat seorang penderita berkunjung pertama kali ke rumah sakit
apakah sebagai pasien rawat jalan atau rawat inap kepadanya
diberikan satu nomor.
3) Pemberian nomor seri unit
Sistem nomor ini merupakan sistesis antara sistem seri dan
sistem unit. Setiap pasien berkunjung ke rumah sakit
kepadanya diberikan satu nomor baru, tetapi rekam medisnya
yang terdahulu digabungkan dan disimpan dibawah nomor
yang paling baru. Satu rumah sakit biasanya membuat satu
bank nomor, nomor- nomor disusun dalam satu buku induk
atau buku register yang mana diberikan kepada stay orang yang
khusus menangani distribusi nomor.
3. Cara Pembuatan Kartu Indeks Utama Pasien (KIUP)
Kartu indeks utama pasien adalah salah satu cara untuk menunjang kelancaran
pelayanan terhadap pasien. Karena apabila seorang pasien lupa membawa
kartu berobat maka KIUP akan membantu untuk mencarikan data pasien yang
diperlukan. Karen KIUP merupakan sumber data yang selamanya harus
disimpan, maka harus dibuat selengkapnya dan jelas. Dalam KIUP memuat
data identitas pasien harus dibuat terperinci dan lengkap antara lain:
a) Nama Lengkap
b) Nomor rekam medis
c) Alamat
d) Nama ibu
e) Nama Ayah
f) Agama
g) Jenis Kelamin
h) Umur
i) Status Perkawinan
j) Tempat/ tanggal lahir
k) Pekerjaan
l) Orang yang dihubungi bila terjadi sesuatu
m) Tanggal kunjungan poliklinik yang pertama
Ukuran kartu indeks pasien yang dianjurkan adalah 12,5 x 7,5 cm, sedangkan
untuk rumah sakit yang sangat banyak pasien rawat jalannya dianjurkan
menggunakan ukuran 4,25 x 7,5 cm. Kegunaan Kartu Indeks Utama Pasien
(KIUP) adalah kunci untuk menemukan berkas rekam medis seorang pasien.

Prosedur Rekam Medis


Tata cara penerimaan pasien yang akan berobat ke poliklinik ataupun yang akan
dirawat adalah sebagian dari sistem prosedur pelayanan rumah sakit. Dapat dikatakan
bahwa disinilah pelayanan pertama kali yang diterima oleh seorang pasien saat tiba di
rumah sakit. Maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa di dalam tata cara
penerimaaan inilah seorang pasien mendapatkan kesan baik ataupun tidak baik dari
pelayanan rumah sakit. Pasien rumah sakit dapat dikategorikan sebagai pasien rawat
jalan dan rawat inap. Dilihat dari segi pelayanan rumah sakit pasien datang ke rumah
sakit dapat dibedakan menjadi :
1. Pasien yang dapat menunggu
a) Pasien berobat jalan yang datang dengan perjanjian
b) Pasien yang datang tidak dalam keadaan gawat
2. Pasien yang harus segera ditolong (pasien gawat darurat)
Sedangkan menurut jenis kedatangan pasien dapat dibedakan menjadi :
a. Pasien baru adalah pasien yang pertama kali datang ke rumah sakit untuk
keperluan berobat.
b. Pasien lama adalah pasien yang pernah datang sebelumnya untuk keperluan
berobat.
Proses Pengolahan Rekam Medis
1. Perakitan (Assembling) Rekam Medis
a)Perakitan rekam medis pasien rawat jalan
1) Pembatas Poliklinik
2) Lembar dokumen pengantar
3) Lembaran poliklinik
4) Hasil pemeriksaan penunjang
5) Salinan resep

b) Perakitan rekam medis pasien rawat inap


1) Ringkasan (diisi oleh petugas RM)
2) Pembatas masuk
3) Ringkasan masuk dan keluar
4) Surat dokumen pengantar
5) Instruksi dokter
6) Lembar konsultasi
7) Catatan perawat
8) Catatan perkembangan
9) Grafik suhu, nadi, dan pernafasan
10) Hasil pemeriksaan laboratorium
11) Hasil pemeriksaan radiodiagnostik
12) Salinan resep
13) Resume/ Laporan kematian

c) Perakitan rekam medis rawat inap untuk pasien bedah


1) Ringkasan
2) Pembatas masuk
3) Surat dokumen pengantar
4) Instruksi Pra/ Pasca bedah
5) Laporan pembedahan
6) Instruksi dokter
7) Catatan perkembangan
8) Lembar konsultasi
9) Catatan perawat
10) Grafik suhu, nadi, dan pernafasan
11) Hasil pemeriksaan laboratorium
12) Hasil pemeriksaan radiodiagnostik
13) Salinan resep
14) Resume/ Laporan kematian

d) Perakitan rekam medis pasien rawat inap kasus kebidanan


1) Pembatas masuk
2) Ringkasan masuk dan keluar
3) Surat dokumen pengantar
4) Lembar obstetrik
5) Catatan persalinan
6) Lembaran bayi baru lahir
7) Instruksi dokter
8) Catatan Perkembangan
9) Lembar konsultasi
10) Catatan perawat
11) Grafik nifas (grafik ibu)
12) Pengawasan khusus
13) Hasil pemeriksaan laboratorium
14) Hasil pemeriksaan radiodiagnostik
15) Salinan resep
16) Resume/ Laporan kematian

e) Perakitan rekam medis pasien rawat inap kasus bayi lahir


1) Pembatas masuk
2) Ringkasan masuk dan keluar
3) Riwayat kelahiran
4) Instruksi dokter
5) Catatan Perkembangan
6) Lembar konsultasi
7) Catatan perawat
8) Grafik bayi
9) Pengawasan khusus
10) Hasil pemeriksaan laboratorium
11) Hasil pemeriksaan radiodiagnostik
12) Salinan resep
13) Resume/ Laporan kematian

2. Koding (Coding)
Koding adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka
atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan
tindakan serta diagnosis yang ada didalam rekam medis harus diberi kode dan
selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk
menunjang fungsi perencanaan, manajemen, dan riset bidang kesehatan.
Kode klasifikasi penyakit oleh WHO (World Health Organization) bertujuan untuk
menyeragamkan nama dan golongan penyakit, cedera, gejala, dan faktor yang
mempengaruhi kesehatan. Ketepatan dan kecepatan koding dari suatu diagnosis
sangat tergantung kepada pelaksana yang menangani rekam medis tersebut yaitu :
a) Tenaga medis dalam menetapkan diagnosis
b) Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode
c) Tenaga kesehatan lainnya
Penetapan diagnosis seorang pasien merupakan kewajiban, hak, dan tanggung
jawab dokter (tenaga medis) yang terkait tidak boleh diubah oleh karenanya harus
diagnosis yang ada dalam rekam medis diisi dengan lengkap dan jelas sesuai dengan
arahan yang ada pada buku ICD 10. Kelancaran dan kelengkapan pengisian rekam
medis di unit rawat jalan dan rawat inap atas kerjasama tenaga medis dan tenaga
kesehatan lain yang ada dimasing- masing unit kerja tersebut. Hal ini seperti
dijelaskan Pasal 3 dan 4 Permenkes RI No. 794a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam
medis. Untuk meningkatkan informasi dalam rekam medis, petugas rekam medis
harus membuat koding sesuai dengan klasifikasi yang tepat. Disamping kode penyakit
berbagai tindakan lain juga harus dikoding sesuai dengan klasifikasi masing- masing.
a) Koding penyakit (ICD 10)
b) Pembedahan/ Tindakan (ICDPIM)
c) Koding Obat- obatan
d) Laboratorium
e) Radiologi
f) Dokter (pemberi pelayanan)
g) Alat- alat
h) Dan lain- lain

3. Indeksing
Indeksing adalah membuat tabulasi sesuai dengan kode yang sudah dibuat ke dalam
indeks- indeks. Didalam kartu indeks tidak boleh mencantumkan nama pasien. Jenis
indeks yang dibuat:
a) Indeks pasien
b) Indeks penyakit (diagnosis dan operasi)
c) Indeks obat-obatan
d) Indeks dokter
e) Indeks kematian

1). Indeks pasien


Pengertian indeks pasien adalah satu kartu katalog yang berisi nama semua
pasien yang pernah berobat di rumah sakit. Informasi yang ada didalam kartu
ini adalah :
Halaman depan
a. Nama lengkap
b. Kelamin
c. Umur
d. Alamat
e. Tempat dan Tanggal Lahir
f. Pekerjaan
Halaman belakang
a. Tanggal masuk
b. Tanggal keluar
c. Dokter
d. Nomor rekam medis

Kegunaan kartu indeks penderita adalah kunci untuk menemukan berkas


rekam medis seorang pasien.

2). Indeks penyakit (diagnosis) dna operasi


Pengertian indeks penyakit dan operasi adalah salah satu katalog yang berisi
kode penyakit dan kode operasi yang berobat di rumah sakit. Informasi yang
ada didalam kartu ini adalah :
a. Nomor kode
a. Judul, Bulan, Tahun
b. Nomor penderita
c. Jenis kelamin
d. Umur

Untuk indeks operasi ditambah : Dokter bedah, dokter anestesi, hari pre op
dan post op, pasien meninggal/ keluar (sembuh atau cacat). Untuk indeks
penyakit ditambah diagnosa lain, dokter lain, hari perawatan, meninggal/
keluar sembuh.

3). Indeks Dokter


Pengertian indeks dokter adalah satu kartu katalog yang berisi nama dokter
yang memberikan pelayanan medik kepada pasien. Kegunaan untuk menilai
pekerjaan dokter dan bukti pengadilan.

4). Indeks Kematian


Informasi yang ada dalam indeks kematian.
a. Nama penderita
b. Nomor rekam medis
c. Jenis kelamin
d. Umur
e. Kematian kurang dari sejam post operasi
f. Dokter yang merawat
g. Hari perawatan
h. Wilayah

Kegunaan indeks kematian : Statistik menilai mutu pelayanan dasar


menambah dan meningkatkan peralatan / tenaga.

4. Pelaporan Rumah Sakit


Pelaporan rumah sakit merupakan suatu alat organisasi yang bertujuan untuk dapat
menghasilkan laporan secara cepat, tepat dan akurat yang secara garis besar jenis
pelaporan rumah sakit dapat dibedakan menjadi 2 kelompok :
a. Laporan internal rumah sakit disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit:
1) Pasien masuk rumah sakit
2) Pasien meninggal di rumah sakit diklasifikasikan menjadi pasien
meninggal kurang 48 jam, pasien meninggal lebih 48 jam, pasien
DOA.
3) Pembuatan LOS (length of stay)
4) Jumlah hari perawatan pasien rawat inap
5) Persentase pemakaian tempat tidur (BOR)
6) Kegiatan persalinan
7) Kegiatan pembedahan dan tindakan medik lain yang diklasifikasikan
berdasarkan operasi besar, sedang, dan kecil.
8) Kegiatan rawat jalan meliputi jumlah kunjungan pasien.

Sensus harian menjadi dasar dalam pelaksanaan pembuatan pelaporan


rumah sakit yang kegiatannya dihitung mulai jam 00.00 s/d 24.00
setiap harinya.

b. Pelaporan eksternal rumah sakit


Laporan eksternal rumah sakit ditujukan kepada Departemen Kesehatan RI,
Kanwil Depkes, Dinkes dati I. Pelaporan eksternal rumah sakit dibuat sesuai
dengan kebutuhan Departemen Kesehatan RI yang meliputi :
1) Data kegiatan rumah sakit (RL1)
2) Data keadaan morbiditas rumah sakit (RL2a)
3) Data keadaan morbiditas penyakit khusus pasien rawat inap (RL2a1)
4) Data keadaan morbiditas pasien rawat jalan (RL2b)
5) Data keadaan morbiditas pasien penyakit khusus rawat jalan (RL2b1)
6) Data individual morbiditas pasien rawat inap terdiri dari :
a) Pasien umum (RL2.1)
b) Pasien obstetrik (RL2.2)
c) Pasien baru lahir/ lahir mati (RL2.3)
7) Data inventaris rumah sakit (RL3)
8) Data keadaan keterangan rumah sakit (RL4)
9) Data individual keterangan rumah sakit (RL4a)
10) Data peralatan rumah sakit (RL5)

Analisa
Analisa kualitatif dan kuantitatif
Agar diperoleh kualitas rekam medis yang optimal perlu dilakukan audit dan
analisis rekam medis dengan cara meneliti rekam medis yang dihasilkan oleh staf
medis dan para medis serta hasil- hasil pemeriksaan dari unit- unit penunjang
sehingga kebenaran penempatan diagnosa dan kelengkapan rekam medis dapat
dipertanggung jawabkan. Selain rumah sakit staf medis dapat terhindar dari gugatan
malpraktek. Proses analisa rekam medis ditujukan kepada dua hal :
a. Analisa kualitatif adalah analisa yang ditujukan kepada jumlah lembaran-
lembaran rekam medis sesuai dengan lamanya perawatan meliputi
kelengkapan lembaran medis, paramedis, dan penunjang medis. Petugas akan
menganalisa setiap berkas rekam medis yang diterima apakah lembaran rekam
medis yang seharusnya ada pada berkas seorang pasien sudah ada atau belum.
b. Analisa kuantitatif adalah analisa yang ditujukan kepada mutu dan setiap
berkas rekam medis. Petugas akan menganalisa kualitas rekam medis pasien
sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Analisa kuantitatif meliputi
penelitian terhadap pengisian lembaran rekam medis baik oleh staf medis, para
medis, dan penunjang medis lainnya. Ketidaklengkapan dalam pengisian
rekam medis akan sangat mempengaruhi mutu rekam medis, mutu rekam
medis mencerminkan baik tidaknya mutu pelayanan di suatu rumah sakit.
Pembuatan resume bagi setiap pasien yang dirawat merupakan cerminan mutu
rekam medis serta layanan yang diberikan oleh rumah sakit tertentu.

Sistem Kearsipan Rekam Medis


Sebelum menentukan suatu sistem yang akan dipakai perlu terlebih dahulu
mengetahui bentuk pengurusan penyimpanan yang dalam pengelolaan rekam medis.
Ada dua cara pengurusan penyimpanan dalam penyelenggaraan rekam medis yaitu :
1. Sentralisasi
Sentralisasi ini diartikan menyimpan rekam medis seorang pasien dalam satu kesatuan
baik catatan- catatan kunjungan poliklinik maupun catatan- catatan selama pasien
seorang pasien dirawat. Sistem ini disamping banyak kebaikannya juga ada
kekurangannya.

Kebaikannya:
a) Mengurangi terjadinya duplikasi dalam pemeliharaan dan penyimpanan rekam
medis.
b) Mengurangi jumlah biaya yang dipergunakan untuk peralatan dan ruangan.
c) Tata kerja dan peraturan mengenai kegiatan pencatatan medis mudah
distandarisasikan.
d) Memungkinkan peningkatan efisiensi kerja petugas penyimpanan.
e) Mudah menerapkan sistem unit record.

Kekurangannya:
a) Petugas menjadi lebih sibuk, karena harus menangani unit rawat jalan dan unit
rawat inap.
b) Tempat penerimaan pasien harus bertugas 24 jam.

2. Desentralisasi
Dengan cara didesentralisasikan terjadi pemisahan antara rekam medis poliklinik
dengan rekam medis penderita dirawat. Rekam medis disimpan di satu tempat
penyimpanan, sedangkan rekam medis pasien dirawat disimpan di bagian pencatatan
medis.

Kebaikannya:
a. Efisiensi waktu, sehingga pasien mendapat pelayanan lebih cepat.
b. Beban kerja yang dilaksanakan petugas lebih ringan.

Kekurangannya:
a. Terjadi duplikasi dalam pembuatan rekam medis.
b. Biaya yang diperlukan untuk peralatan dan ruangan lebih banyak.

3. Sistem penyimpanan
Penyimpanan menurut nomor yang sering dipraktekkan yaitu :
1) Sistem nomor langsung (Straight Numerical)
2) Sistem angka akhir (Terminal Digit)
3) Sistem angka tengah (Middle Digit)
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1) Penyimpanan dengan nomor langsung adalah penyimpanan rekam medis
dalam rak penyimpanan secara berurut sesuai dengan urutan nomor. Misalnya
465023, 465024, 465025 dst.
2) Penyimpanan dengan sistem angka akhir lazim disebut terminal digit fillling
system. Disini digunakan nomor- nomor dengan 6 angka yang dikelompokkan
menjadi 3 kelompok masing- masing terdiri dari 2 angka. Angka pertama
adalah kelompok 2 angka yang terletak paling kanan, angka kedua adalah
kelompok angka yang terletak ditengah dan angka ketiga adalah kelompok 2
angka yang terletak paling kiri.
3) Istilah yang dipakai adalah penyimpanan dengan sistem angka tengah (middle
digit filling system). Disini penyimpanan rekam medis disusun dengan
pasangan angka- angka sama halnya dengan sistem angka akhir, namun angka
pertama, kedua, dan ketiga berbeda letaknya dengan sistem angka akhir.
Dalam hal ini angka. Kekurangannya :
a) Terjadi duplikasi dalam pembuatan rekam medis.
b) Biaya yang diperlukan untuk peralatan dan ruangan lebih banyak.

Penyimpanan menurut nomor yang sering dipraktekkan yaitu :


1) Sistem nomor langsung (Straight Numerical)
2) Sistem angka akhir (Terminal Digit)
3) Sistem angka tengah (Middle Digit)

Penjelasannya adalah sebagai berikut :


1) Penyimpanan dengan nomor langsung adalah penyimpanan rekam medis
dalam rak penyimpanan secara berurut sesuai dengan urutan nomor. Misalnya
465023, 465024, 465025 dst.
2) Penyimpanan dengan sistem angka akhir lazim disebut terminal digit
fillling system. Disini digunakan nomor- nomor dengan 6 angka yang
dikelompokkan menjadi 3 kelompok masing- masing terdiri dari 2 angka.
Angka pertama adalah kelompok 2 angka yang terletak paling kanan, angka
kedua adalah kelompok angka yang terletak ditengah dan angka ketiga adalah
kelompok 2 angka yang terletak paling kiri.
3) Istilah yang dipakai adalah penyimpanan dengan sistem angka tengah
(Middle Digit System). Disini penyimpanan rekam medis disusun dengan
pasangan angka- angka sama halnya dengan sistem angka akhir. Dalam hal ini
angka pertama terletak ditengah- tengah menjadi angka pertama, angka yang
terletak paling kiri menjadi kedua dan angka paling kanan menjadi angka
ketiga.

Penyusutan dan Penghapusan Rekam Medis


1. Penyusutan rekam medis
Penyusutan rekam medis adalah suatu kegiatan pengurangan arsip dari rak
penyimpanan dengan cara :
a. Memindahkan arsip rekam medis in aktif dari rak aktif ke rak in aktif dengan
cara memilah pada rak penyimpanan sesuai dengan tahun kunjungan.
b. Memikrofilmkan berkas rekam medis in aktif sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
c. Memusnahkan berkas rekam medis yang telah dimikrofilm dengan cara
tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tujuan penyusutan arsip :


a. Mengurangi jumlah arsip rekam medis yang semakin bertambah
b. Menyiapkan fasilitas yang cukup untuk tersedianya tempat penyimpanan
berkas rekam medis yang baru
c. Tetap menjaga kualitas pelayanan dengan mempercepat penyiapan rekam
medis jika sewaktu- waktu diperlukan
d. Menyelamatkan arsip yang bernilai guna tinggi serta mengurangi yang tidak
bernilai guna/ nilai guna rendah atau nilai gunanya telah menurun.

2. Jadwal retensi arsip


Salah satu elemen yang diperlukan dalam penyusutan arsip adalah jadwal retensi arsip
(JRA). Jadwal retensi arsip merupakan daftar yang berisikan sekurang- kurangnya
jenis arsip dan jangka waktu penyimpanannya sesuai dengan kegunaannya yang wajib
dimiliki oleh setiap badan pemerintah sebagai pedoman dalam penyusutan arsip.
Untuk menjaga objektivitas dalam menentukan nilai kegunaan tersebut, sebaiknya
JRA disusun oleh suatu kepanitiaan yang terdiri dari unsur komite rekam medis dan
unit rekam medis yang benar- benar memahami kearsipan, fungsi, dan nilai arsip
rekam medis.

3. Pemusnahan arsip rekam medis


Adalah suatu proses kegiatan penghancuran secara fisik arsip rekam medis.
Penghancuran harus dilakukan secara total dengan cara membakar habis, mencacah
atau daur ulang sehingga tidak dapat lagi dibaca.
Ketentuan pemusnahan rekam medis :
a. Dibentuk tim pemusnah arsip dengan surat keputusan direktur yang
beranggotakan sekurang- kurangnya ketatausahaan, unit penyelenggaraan
rekam medis, unit pelayanan, dan komite medik.
b. Rekam medis mempunyai nilai guna tertentu tidak dimusnahkan tetapi
disimpan dalam jangka waktu tertentu.
c. Daftar arsip rekam medis yang akan dimusnahkan oleh tim pemusnah
dilaporkan kepada direktur rumah sakit dan Direktorat Jendral Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI.
d. Berita acara pemusnahan dikirim kepada pemilik rumah sakit dan kepada
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.

BAB 3
LAYANAN KESEHATAN

A. Karakteristik Layanan Kesehatan


Layanan kesehatan merupakan suatu produk berupa jasa atau barang yang
dihasilkan oleh satu produsen, dalam hal ini bisa provider ataupun institusi kesehatan.
Sekilas, tampaknya layanan kesehatan sama dengan barang ekonomi lainnya yang ada
di pasar. Namun, perlu diwaspadai bahwa layanan kesehatan mempunyai karakteristik
unik yang tidak dimiliki oleh barang ekonomi lainnya, sehingga memerlukan
perhatian khusus.
Dari beberapa literatur, dapat disimpulkan bahwa layanan kesehatan antara
lain mempunyai sifat :
1. Hak Asasi Manusia
Layanan kesehatan dilaksanakan atas dasar kebutuhan bukan atas dasar
kemampuan membayar, karena pada dasarnya kesehatan merupakan hak asasi
manusia. Hal tersebut menjadi acuan penyelenggaraan layanan kesehatan,
terlebih setelah dilaksanakan amandemen Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) pada tahun 2002, yang
menekankan pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia. Selaras dengan
hal tersebut, dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) disebutkan bahwa iuran program jaminan
sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah,
yang pelaksanaannya secara bertahap dimulai dari program jaminan kesehatan
bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, masyarakat miskin terpenuhi hak
asasinya untuk memperoleh layanan kesehatan di saat mereka memerlukan
sesuai dengan kebutuhan medis. Sedangkan bagi masyarakat yang secara
sosial ekonominya mampu, dipersilahkan memilih layanan kesehatan yang
dibutuhkan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonominya melalui dana
sendiri ataupun jaminan kesehatan di tempat kerjanya.
2. Uncertainty
Kejadian sakit tidak dapat diprediksi, sehingga setiap orang tidak dapat
memastikan kapan dia memerlukan layanan kesehatan tertentu. Hal tersebut
mengakibatkan semua orang kesulitan untuk menganggarkan biaya layanan
kesehatan yang sesuai dengan kemampuan ekonominya, karena sifatnya yang
tidak pasti. Berbeda dengan barang ekonomi lainnya, di mana setiap orang
dapat merencanakan membeli sesuatu barang ekonomi kapan saja, di mana
saja sesuai dengan kemampuan ekonominya. Misalnya seorang ibu
membutuhkan baju, maka ibu tersebut dapat merencanakan membeli baju apa
dan di toko apa, sesuai dengan kemampuan ekonomi ibu tersebut. Adanya
sifat ketidakpastian kapan seseorang membutuhkan layanan kesehatan, jenis
layanan kesehatan apa serta di mana dia harus memperoleh layanan kesehatan
tersebut, menyebabkan setiap orang memiliki risiko akan mengalami sakit
kapan saja, penyakit apa saja dan di mana saja yang berdampak pada implikasi
pembiayaannya. Keadaan tersebut antara lain melatarbelakangi lahirnya
Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang bertujuan agar seluruh masyarakat Indonesia mempunyai
jaminan kesehatan yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh layanan
kesehatan dasar, kapan saja dan di mana saja.

3. Consumer Ignorance
Konsumen layanan kesehatan sangat tergantung kepada penyedia layanan
kesehatan (provider) tentang jenis dan jumlah layanan kesehatan yang harus
dibeli serta tempat memperoleh layanan kesehatan tersebut. Pada umumnya
konsumen tidak mengetahui tentang pemeriksaan atau pengobatan yangs
seharusnya diperlukan berdasar kebutuhan medisnya. Keputusan ada di tangan
provider, apa pun yang diberikan oleh provider akan dibayar oleh konsumen.
Keadaan ini dapat menimbulkan moral hazard provider di mana provider
melakukan praktik “supply induce demand” layanan kesehatan, padahal
sebenarnya tidak diperlukan oleh konsumen. Tingginya biaya layanan
kesehatan di Indonesia antara lain disebabkan oleh moral hazard provider
terutama untuk alat- alat canggih yang sebenarnya tidak diperlukan oleh
konsumen berdasar alasan medis. Kendali biaya sulit dilaksanakan karena
sistem pembiayaan terhadap layanan kesehatan masih menggunakan
pendekatan fee for service. Di masa mendatang, apabila UU SJSN telah
diterapkan secara menyeluruh, akan mengurangi terjadinya moral hazard
provider karena dengan sistem asuransi sosial yang diterapkan dalam UU
SJSN mengharuskan dilaksanakan kendali mutu dan kendali biaya.

4. Eksternalitas
Konsumsi layanan kesehatan tidak saja bermanfaat bagi pembeli itu sendiri,
namun juga bermanfaat bagi orang lain yang tidak membeli. Dampak yang
dialami oleh orang lain sebagai akibat perbuatan seseorang, disebut efek
eksternalitas. Misalnya ada seorang warga yang membeli dan menggunakan
abate untuk memberantas sarang nyamuk di rumahnya, akan menimbulkan
dampak positif atau menimbulkan manfaat bagi warga tersebut dan juga
tetangganya untuk mencegah penyakit demam berdarah. Demikian juga untuk
pengobatan penyakit menular, misalnya pengobatan penyakit tuberkulosis
akan memberikan dampak atau manfaat kesembuhan bagi penderita tersebut
dan juga memberikan dampak memutus rantai penularan bagi warga di
sekitarnya. Dengan demikian, pada umumnya layanan kesehatan yang
mempunyai sifat eksternalitas dikelompokkan dalam public good sehingga
menjadi tanggung jawab pemerintah.

5. Padat Karya dan Padat Modal


Layanan kesehatan tidak dapat bebas dari input manusia, sehingga dalam
penyelenggaraannya bersifat padat karya. Semakin berkembangnya layanan
kesehatan spesialis dan subspesialis menyebabkan layanan kesehatan bukan
hanya padat karya, tetapi sekaligus juga padat modal. Keadaan ini
memberikan kontribusi terhadap tingginya biaya layanan kesehatan.

6. Mix Output
Satu program kesehatan dapat menghasilkan berbagai macam layanan
kesehatan. Begitu juga satu jenis penyakit dapat saja memerlukan berbagai
macam layanan kesehatan yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan diagnosis,
perawatan, pengobatan sampai konseling. Kebutuhan layanan kesehatan setiap
orang bervariasi tergantung dari jenis penyakitnya dan siapa providernya.

7. Sebagai Barang Konsumsi atau Investasi


Slogan tentang kesehatan adalah investasi telah sering kita dengar diucapkan
orang atau bahkan para pejabat di acara- acara seremonial. Namun
kenyataannya, saat ini masih ada yang melihat layanan kesehatan hanya
sebagai barang konsumsi. Di era otonomi daerah, keadaan tersebut menjadi
semakin parah dengan adanya kebijakan ebberapa daerh emnempatkan
fasilitas kesehatan sebagai salah satu sumber Penghasilan Asli Daerah (PAD).
United Nations Development Programme (UNDP) terus mensosialisasikan
peringkat indeks pembangunan manusia (Human Development Index) yang
indikatornya terdiri dari : 1) kesehatan, 2) pendidikan , dan 3) ekonomi.
Dengan masuknya indikator kesehatan dalam perhitungan HDI memperjelas
bahwa kesehatan merupakan investasi bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Dengan demikian, layanan kesehatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mengobati penyakit menuju derajat kesehatan
yang lebih baik harus dipandang sebagai barang investasi.

8. Restriksi Kompetisi
Layanan kesehatan mempunyai kode etik yang harus dipenuhi dan mempunyai
keterbatasan untuk berkompetisi. Namun demikian, promosi tetap
diperbolehkan selama tidak melanggar kode etik. Keterbatasan- keterbatasan
tersebut menyebabkan mekanisme pasar layanan kesehatan tidak dapat
diserahkan mengikuti mekanisme pasar secara umum. Diperlukan regulasi
yang kuat, sehingga layanan kesehatan dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan
masyarakat yang membutuhkan.

Gambar 3.1. The Force Field and Well Being Paradigms of Health.
Sumber : Blum, 1981 (Planning For Health)

Pada Gambar 3.1. Dapat dilihat bahwa faktor yang mempunyai


pengaruh paling besar adalah lingkungan. Lingkungan dapat berupa
lingkungan fisik, yang secara alami terwujud dalam alam semesta, maupun
lingkungan buatan manusia. Selain lingkungan fisik, yang termasuk faktor
lingkungan adalah lingkungan sosial ekonomi, antara lain berupa status
ekonomi, pendidikan, dan pekerjaan.
Faktor yang mempunyai pengaruh terbesar kedua adalah faktor gaya
hidup, yaitu sikap dan perilaku terhadap kesehatan. Faktor yang mempunyai
pengaruh besar ketiga adalah keturunan, dan terakhir faktor layanan kesehatan
dalam arti sempit. Layanan kesehatan dalam arti luas yang mencakup layanan
kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap derajat …….(halaman 39)

Dipengaruhi oleh lokasi dan kondisi geografis, jenis pelayanan yang


tersedia, kualitas pelayanan, transportasi, dan akses terhadap informasi.
Gambaran perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan pada kelompok
kasus penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada ibu hamil yang tidak
pernah memeriksakan kehamilan, masih banyak ibu hamil yang memeriksakan
kehamilan, tetapi kurang dari 4 kali serta masih banyak ibu hamil yang
memilih penolong persalinan bukan oleh tenaga kesehatan.
Green (1991) mengatakan bahwa perilaku terbentuk karena kombinasi
dari tiga faktor utama:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu faktor pendahulu,
yang terwujud di antaranya dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai, dan lain- lain;
2. Faktor pendukung (enabling factors), di antaranya terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas pelayanan
kesehatan termasuk kemampuan membayar jasa layanan kesehatan;
3. Faktor pendorong (reinforcing factors), hal ini terwujud dalam sikap
dan perilaku petugas layanan kesehatan, atau petugas yang lain yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Dengan teori tersebut dapat dianalisis mengapa masih banyak ibu


hamil yang tidak memanfaatkan layanan kesehatan yang ada? Hal tersebut
dapat disebabkan oleh masyarakat belum mengetahui tentang pemeliharaan
kehamilan dan bahaya persalinan yang tidak aman (predisposing factor).
Namun, kemungkinan juga karena tempat tinggalnya jauh dan fasilitas
pelayanan kesehatan (enabling factor), Kemungkinan sebab lain ialah karena
para tokoh masyarakat belum peduli terhadap keselamatan ibu hamil dan
bersalin atau petugas kesehatan belum maksimal memberikan layanan kepada
masyarakat (reinforcing factor). Dengan demikian, akses informasi dan akses
pelayanan kesehatan menjadi penting untuk menurunkan kematian ibu.
Kombinasi keadaan sosial budaya ekonomi masyarakat memengaruhi
pola asuhan antenatal dan asuhan persalinan. Kemampuan membayar
pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah bila
dibandingkan dengan negara lain. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap
penolong persalinan di Indonesia.
Walaupun kondisi determinan yang lain dalam kondisi baik, tetapi
apabila perilaku ANC buruk dan persalinan ditolong oleh tenaga non-
kesehatan maka dapat memengaruhi terjadinya kematian ibu.

Gambar 3.3. Empat pilar Safe Motherhood (Saifudin, 2005)

Untuk menyempurnakan program Safe Motherhood, maka pada


tanggal 12 Oktober 2000 telah dilakukan pencanangan Making Pregnancy
Safer (MPS) sebagai bagian program Safe Motherhood, sebagai strategi
pembangunan kesehatan masyarakat menuju Indonesia Sehat 2020. Tujuan
Upaya Safe Motherhood dan MPS sama, yaitu untuk melindungi hak
reproduksi dan hak asasi manusia serta pemberdayaan perempuan.

Gambar 3.4. Pengembangan Safe Motherhood Terintegrasi MPS (Modifikasi dari


Bagan Safe Motherhood Saifudin, 2005)

Halaman 59

dan jenis layanan apa yang dipilih maka terlihat bahwa suatu perilaku tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan,
kehendak, motivasi, dan niat. Sementara itu, faktor- faktor tersebut merupakan hasil
interaksi beberapa faktor yaitu pengalaman, keyakinan, sosial budaya serta
ketersediaan fasilitas kesehatan itu sendiri.
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem layanan kesehatan, makanan
dan minuman, serta lingkungan.
Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berikut :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance), yaitu perilaku atau
usaha- usaha seseorang memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak terkena
penyakit dan usaha untuk melakukan penyembuhan jika sakit;
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas layanan kesehatan
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Health seeking behavior),
yaitu perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan; tindakan atau perilaku ini dimulai
dari pengobatan sendiri sampai dengan pencarian pengobatan ke luar negeri;
3. Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu bagaimana seseorang merespons
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya
sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya.

Aspek perubahan perilaku merupakan hal yang sangat penting kaitannya


dengan perilaku kesehatan di mana semua program kesehatan berupaya untuk
mewujudkan perubahan perilaku kesehatan dari yang negatif menjadi positif.
Begitu juga terhadap layanan kesehatan, perilaku mempunyai peran penting
untuk menentukan seseorang yang telah mempunyai need layanan kesehatan
sampai menjadi demand layanan kesehatan

B. Pengaruh Layanan Kesehatan Terhadap Derajat Kesehatan


Teori Blum sangat terkenal sejak beberapa puluh tahun yang lalu dan tetap
dipakai sebagai acuan perencanaan program pembangunan kesehatan sampai saat ini.
Menurut Blum (1981) kesehatan sebagai kesehatan individu maupun sebagai
kesehatan masyarakat, merupakan interaksi harmonis antara beberapa faktor; yaitu
lingkungan, gaya hidup/ perilaku, keturunan, dan pelayanan kesehatan.

TEORI-TEORI
Teori WHO
Tim kerja WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku
tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok:
1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan,
persepsim, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penelitian-penelitian seseorang
terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).

2. Orang penting sebagai referensi


Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil, lebih banyak dipengaruhi oleh orang-
orang yang dianggap penting. Apabila seseorang itu penting untuknya, maka apa yang
ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah
misalnya, maka guruah yang menjadi panutan perilaku mereka. Orang-orang yang
dianggap penting ini sering disebut sebagai kelompok referensi (reference group),
antara lain guru, alim ulama, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya.

3. Sumber-sumber daya (resources)


Sumber daya disini mencakup fasilitas-fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya.
Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat.
Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dat bersifat positif atau negatif.
Misalnya pelayanan puskesmas, tetapi juga dapat berpengaruh sebaliknya.
4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di dalam
suatu masyarakat aan penghasilan suatu pola hidup (way of life) yang ada pada
umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan selalu berubah dalam waktu yang lama
sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah,
baik lambat maupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau
pola hidup masyarakat disini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan
di atas. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan, dan
selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengelompokkan perubahan perilaku kesehatan
menjadi tiga, yaitu:
1. Perubahan alamiah (natural change)
Perilaku manusia selalu berubah di mana sebagian perubahan tersebut disebabkan
karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi perubahan
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka perilaku anggota
masyarakatnya akan mengalami perubahan. Misalnya daerah pedesaan yang awalnya
merupakan daerah pertanian, kemudian berubah menjadi daerah industri, maka
perilaku masyarakatnya juga akan berubah mengarah ke modernisasi. Dalam hal ini
modernisasi tidak hanya mengandung arti yang positif, tetapi bisa juga dampak
negatifnya.
2. Perubahan terencana (planned change)
Perubahan perilaku ini berdasar suatu perencanaan yang dibuat sendiri. Misalnya
seorang ibu hamil yang biasanya melahirkan menggunakan fasilitas tradisional ke
dukun, karena mengalami peningkatan pengetahuan dan kesadaran maka pada
kelahiran berikutnya merencanakan melahirkan di fasilitas layanan kesehatan
terdekat.
3. Kesediaan untuk berubah (readiness to change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program pembangunan di masyarakat, maka
respons yang terjadi adalah sebagai orang sangat cepat menerima inovasi dan
sebagian lagi sangat lambat. Hal ini disebabkan karena setiap orang mempunyai
kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.

Teori Lawrence Green


Lawrence Green mengatakan bahwa perilaku terbentuk karena kombinasi dari tiga
faktor utama, yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Yaitu faktor pendahulu, yang terwujud di antaranya dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan lain-lain.
2. Faktor pendukung (enabling factors)
Diantaranya terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas
kesehatan termasuk kemampuan membayar jasa pelayanan kesehatan.
3. Faktor pendorong (reinforcing factors)
Hal ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas pelayanan kesehatan, atau petugas
yang lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
(Dep.Kes.1999)
Model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
B = f (PF, EF, RF)
Keterangan:
B = Behavior
PF = Predisposing factors
EF = Enabling factors
RF = Reinforcing factor
f = fungsi
Dengan teori tersebut dapat dianalisis beberapa masalah kesehatan misalnya mengapa
penderita TB paru tidak memanfaatkan layanan kesehatan yang ada? Hal tersebut dapat
disebabkan oleh masyarakat belum mengetahui bahaya penyakit TB paru (predisposing
factor). Namun, kemungkinan juga karena tempat tinggalnya jauh dari puskesmas (enabling
factor). Kemungkinan sebab lain ialah karena para tokoh masyarakat belum peduli terhadap
penyakit TB atau petugas kesehatan belum maksimal memberikan layanan kepada
masyarakat (reinforcing factor).

Teori Matthews
Matthews mengemukakan suatu hipotesis bahwa untuk terjadinya suatu perubahan
perilaku, ada tiga unsur yang berpengaruh.
Hal tersebut dapat dilukiskan dengan rumus .
P = ip (1 - e)
P = kemungkinan bahwa seseorang atau sekelompok individu akan berbuat sesuatu
I = pentingnya tujuan tersebut menurut yang bersangkutan dibandingkan dengan
tujuan-tujuan lainnya yang ingin juga tercapai
e = bagian dari seluruh sarana yang ada, maupun usaha menurut yang bersangkutan
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan, mencakup bisaya, materi, waktu, dan lain-
lain.

Misalnya ada seseorang yang sebenarnya mempunyai need untuk memanfaatkan


layanan kesehatan sehubungan dengan kondisi medis yang dialami, tetapi karena untuk
menjangkau fasilitas layanan kesehatan tersebut memerlukan biaya transportasi yang besar
serta biaya berobat yang mahal, lebih besar dibandingkan biaya jika dia menggunakan
pengobatan alternatif, maka dapat saja orang tersebut lebih memilih berobat ke pengobatan
alternatif.

Teori Health Belief Model


Menurut Becker, terdapat empat komponen yang terlihat dalam tindakan seseorang
untuk berperilaku yang berhubungan dengan kesehatan yang biasa disebut dengan Health
Belief Model, yaitu:
1. Kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility)
Suatu tindakan pencegahan atau pengobatan terhadap suatu penyakit akan timbul bila
seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit
tersebut.
2. Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)
Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong
oleh keseriusan penyakit tersebut yang dirasakan oleh individu.
3. Manfaat dan hambatan yang dirasakan (perceived benefits and barriers)
Apabila individu merasa dirinya rentan terhadap penyakit yang dianggapo gawat
(serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung
manfaat yang dirasakan dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan
tersebut. Pada umumnya manfaat tindakaan lebih menentukan daripada trintangan
yang meungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.
4. Isyarat atau tanda-tanda (cues)
Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan
dan manfaat tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor
eksternal misalnya pesan-pesan media massa.
(gambar Health Belief Model)
Variabel demografis (umur, jenis kelamin, dll.)
Variabel sosial psikologi (peer, reference group,
kepribadian, pengalaman sebelumnya)
Variabel struktur (kelas sosial, akses ke
pelayanan kesehatan, dll.)
Kecenderungan Manfaat yang
yang dilihat dilihat dari
(preceived) Ancaman pengambilan
mengenai gejala yang dilihat tindakan
penyakit. mengenai dikurangi biaya
Syaratnya yang gejala (rintangan) yang
dilihat mengenai penyakit. dilihat dari
gejala dan pengambilan
penyakit. tindakan.
Pendorong (cues) Kemungkinan
untuk bertindak mengambil
(kampanye media tindakan tempat
massa, peringatan dari untuk perilaku
dokter, tulisan, dll.) sehat/sakit.

Teori Kelman
Manusia berperilaku atau beraktivitas karena adanya kebutuhan untuk mencapai suatu
tujuan. Dengan adanya kebutuhan dalam diri seseorang maka akan muncul motivasi atau
penggerak/pendorong sehingga individu beraktivitas, berperilaku, baru tujuan tercapai dan
individu mengalami kepuasan.
Menurut Kelman, ada tiga cara terjadinya perubahan perilaku yaitu:
1. Karena Terpaksa (Compliance)
Pada cara ini, individu mengubah perilakunya karena mengharapkan akan:
● Memperoleh imbalan, baik materi maupun non-materi.
● Memperoleh pengakuan dari kelompoknya.
● Terhindar dari hukuman.
● Tetap terpelihara hubungan baik.
2. Karena ingin meniru atau ingin dipersamakan (identification).
Pada cara ini, individu mengubah perilakunya karena ingin disamakan dengan orang
yang dikaguminya.
3. Karena menyadari manfaatnya (internalization)
Pada cara ini perubahan benar-0benar mendasar, artinya benar-benar menjadi bagian
hidupnya.

Teori Snehandu Bandura Kar


Teori Snehandu B.Kar yang dikemukakan oleh Kar mencoba menganalisis perilaku
kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:
1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior intention).
2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).
3. Adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accessibility of information).
4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan
(personal autonomy).
5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).
Bila digambar sebagai berikut:
B = f (BI, SS, AI, PA, AS)
Keterangan:
B = Behavior
f = fungsi
BI = Behavior Intention
SS = Social Support
AI = Accessibility of Information
PA = Personal Autonomy
AS = Action Situation

Model Sistem Kesehatan


Model sistem kesehatan (health system model) yang berupa model kepercayaan
kesehatan dengan tiga kategori utama, ketiganya berhubungan dengan perilaku yang
berkaitan dengan kesehatan.
1. Faktor predisposisi, yaitu faktor yang mendahului terjadinya perilaku yang
memberikan alasan dan motivasi untuk berperilaku. Faktor tersebut adalah faktor
demografi (seperti umur dan jenis kelamin), faktor sosial (pendidikan, pekerjaan, atau
suku/ras), manfaat kesehatan (kepercayaan atau keyakinan terhadap layanan
kesehatan), dan pengetahuan.
2. Faktor pemungkin, yaitu faktor yang mendahului perilaku yang menunjang motivasi
atau aspirasi dapat terwujud. Faktor tersebut adalah tersedia atau tidaknya fasilitas-
fasilitas atau sarana-sarana layanan kesehatan yang merupakan sumber daya untuk
menunjang perilaku kesehatan, termasuk biaya pengobatan (sumber daya keluarga).
3. Faktor kebutuhan, yaitu faktor yang mendorong perilaku kesehatan karena adanya
kebutuhan yang disebabkan oleh, antara lain, adanya …..

BAB 7
MENGUKUR LAYANAN KESEHATAN
Untuk menilai kinerja sistem penyediaan layanan kesehatan yang diselenggarakan
oleh pemerintah, harus dilihat dari tiga aspek, yaitu efisiensi, efektivitas, dan ekuitas (equity).
Ketiga hal tersebut saling berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri. Upaya ke arah ekuitas dapat
dilakukan dengan pendekatan teori akses, dari akses potensial indikator proses (karakteristik,
predisposisi, pemungkin, dan kebutuhan populasi berisiko) dan akses potensial indikator
struktural (karakteristik, ketersediaan, dan organisasi sistem layanan kesehatan) menjadi
akses nyata melalui alokasi sumber daya yang mengacu pada tiga kriteria yaitu kebutuhan
(need), geografi dan sosioekonomi (Nadjib, 1999).

A. Konsep Ekuitas dalam Layanan Kesehatan


Inekuitas (inequity) kesehatan antarkelompok masyarakat masih tetap
berlangsung sampai pada saat ini di seluruh dunia. Hal ini, antara lain, disebutkan
oleh masyarakat mempunyai kesempatan yang tidak sama (unequal) akses sumber
daya termasuk pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Dengan demikian,
program peningkatan ekuitas kesehatan harus mengarah kepada peningkatan ekuitas
dalam hal alokasi sumber daya layanan kesehatan yang ada (Low, Ithindi, dan Low,
2003).
Definisi ekuitas kesehatan di literatur sangat beragam seperti yang dikatakan
oleh Low, Ithindi, dan Low, 2003 bahwa ekuitas kesehatan adalah:
1. Equality pengeluaran per kapita;
2. Equality akses pelayanan kesehatan;
3. Distribusi need;
4. Equality status kesehatan.
Ekuitas kesehatan jika dilihat dari kontinum tujuan, dapat digambarkan dalam
lima tingkatan sebagai berikut:
1. Tidak mempunyai tujuan ekitas: alokasi sumber daya melalui akses swasta;
2. Equal provision setiap orang: alokasi sumber daya desentralisasi penuh;
3. Equal akses menuju equal meet need: alokasi sumber daya dengan
desentralisasi penuh;
4. Equal utilitas untuk equal need: alokasi sumber daya dengan kegiatan promosi
kesehatan;
5. Equity status kesehatan: alokasi keuangan UK NHS berdasar inequality status
kesehatan (Low, Ithindi, dan Low, 2003).
Keseimbangan antara tujuan efektivitas efisiensi, dan ekuitas di kelompok
masyarakat mana pun merupakan bahasan yang menarik. Ada empat pandangan yang
mewarnai keseimbangan.
B. .
C. Pengalaman Beberapa Negara dalam Pengukuran Ekuitas Layanan
Kesehatan
Penelitian telah dilakukan di Namibia (Low, et al., 2003) dengan
menggunakan desain deskriptif kualitatif serta memanfaatkan data sekunder hasil
sensus tahun 1995 untuk mengetahui dampak intervensi program terhadap ekuitas
kesehatan. Hasilnya sebagai berikut:
Intervensi pada tahap awal hanya dilihat dari sisi suplai, yaitu berupa
peningkatan jumlah Layanan Kesehatan Dasar (PHC) yang dilengkapi dengan
realokasi tenaga kesehatan serta penerapan desentralisasi yang menunjukkan bahwa
hasil dari situasi inekuitas menuju ekuitas pengeluaran per kapita. Pada tahap ini,
intervensi dapat meningkatkan pencapaian tujuan ekuitas pada kontinum kedua.
Setelah dilakukan realokasi tenaga kesehatan dari data sekunder yang ada, hasilnya
menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang bermakna antara rare kunjungan PHC
dan proporsi rumah tangga kelompok berpendapatan rendah. Hal ini diasumsikan
bahwa kelompok berpendapatan rendah memang mempunyai kebutuhan yang tinggi
sehingga memerlukan akses layanan kesehatan yang tinggi juga. Pada tahap in
intervensi dapat mencapai tujuan ekuitas pada kontinum ketiga, yaitu equal akses
layanan kesehatan, equal met need.
Intervensi tahap selanjutnya adalah sisi permintaan berupa program
Community Health Worker (CHW) dengan melakukan pelatihan terhadap anggota
masyarakat untuk menjadi kader kesehatan. Dampak dari program ini adalah
memperluas cakupan PHC, meningkatkan kesehatan lingkungan, memudahkan
transportasi untuk akses layanan kesehatan, serta meningkatkan pengetahuan dan
praktik masyarakat tentang kebersihan diri dan kebersihan lingkungan. CHW
potensial untuk mencapai ekuitas kesehatan pada tingkat biaya marginal yang rendah.
Untuk target 25% populasi, CHW hanya memerlukan dana 4 % dari total biaya
intervensi PHC. dalam penelitian ini terbukti bahwa biaya marginal mempunyai efek
bermakna terhadap kunjungan layanan kesehatan dan ekuitas terhadap akses layanan
kesehatan. Tahap ini telah mencapai tujuan ekuitas kesehatan pada kontinum
keempat, equal utilisasi untuk equal need.
Dengan melihat perbedaan akses nata atas layanan kesehatan dengan estimasi
berdasarkan kebutuhan yang secara sistematik berhubungan dengan pendapatan
adalah salah satu cara untuk mengukur Index Horizontal Inequality/IHI (Ourti, 2004).
Menurut Doorslaer et al., (2004), kesamaan akses layanan kesehatan belum dapat
mengukur tingkat ekuitas. Inekuitas akses layanan kesehatan berdasar pendapatan
(Cm) belum dapat digunakan sebagai ukuran untuk mengukur inekuitas. Memang
sebagian ketidaksamaan diartikan sebagai inekuitas. Sebenarnya, terdapat dua cara
untuk melihat horizontal equity (HI); metode langsung (HIwp), yang diartikan
langsung dari Cm; hal ini dapat digunakan jika tiap individu di semua kelompok
pendapatan mempunyai karakteristik kebutuhan yang sama dalam suatu populasi.
Metode tidak langsung (HIwv), yang mengukur perbedaan ketidaksamaan
akses dengan kebutuhan. (HI wv = Cm = Cn).
Dengan demikian, penelitian untuk melihat ekuitas akses nyata layanan
kesehatan masyarakat yang terduga TB/suspek TB dapat menggunakan metode
langsung karena mereka telah mempunyai kebutuhan yang sama.
Penelitian pada 13 negara di Eropa menunjukkan bahwa pendapatan tidak
terbukti berhubungan dengan HI akses ke dokter umum yang HI-nya sangat kecil,
yaitu antara (-0,01)-(-0,02). Namun, terlihat adanya pro rich inequality akses spesialis
di setiap negara. Faktor yang berpengaruh terhadap pro poor inequality akses dokter
umum adalah pendidikan dan pekerjaan sedangkan pendapatan tidak berpengaruh
secara bermakna (Dooslaer et al., 2004).
Hal di atas bertentangan dengan penelitian di Vietnam Utara yang mencoba
melihat ketidakmerataan (inequality) batuk lama sebagai indikasi TB atau suspek TB.
hasilnya menunjukkan bahwa terjadi ketidakmerataan suspek TB berdasarkan
pendapatan, pengeluaran keluarga, tingkat kemiskinan, dan jenis kelamin. Prevalen
suspek TB terkonsentrasi pada kelompok pendapatan rendah (ICI = -16,7),
pengeluaran rumah tangga rendah (ICI = -3,8), dan kelompok miskin/ICI = -8,5 (Khe
et al., 2004).
Penelitian cross sectional pada 13 negara di Eropa menunjukkan bahwa di
negara-negara yang berpendapatan rendah terlihat adanya elastisitas pendapatan
terhadap kesehatan juga rendah. Di seluruh negara tersebut terlihat adanya equality
Health Utilities Index (HUI), baik di negara pendapatan tinggi maupun pendapatan
rendah. Begitu juga, Concentration Index (CI) log pendapatan seluruh negara
menggambarkan terjadinya ketidakmerataan. Yang paling tinggi tingkat
ketidakmerataannya terjadi di Portugal. Pada penelitian ini juga terbukti bahwa ada
hubungan positif yang bermakna antara pendapatan dengan ……

BAB 8
EKUITAS AKSES LAYANAN KESEHATAN PENYAKIT
MENULAR

Dalam buku ini akan dibahas salah satu contoh penyakit menular dimana pemerintah
menyediakan layanan kesehatan berupa pemeriksaan dan pengobatan secara gratis, yatu
penyakit tuberkulosis (TB). penulis telah melakukan penelitian untuk mengukur ekuitas akses
layanan kesehatan suspek penderita TB pada tujuh provinsi di Indonesia menggunakan
pendekatan analisis multilevel.
Analisis multilevel adalah suatu cara untuk melakukan analisis sekumpulan data yang
dilakukan secara simultan untuk mengetahui pengaruh faktor individu dan pengaruh faktor
kontekstual yang ada: dapat lingkungan fisik, maupun lingkungan nonfisik, seperti
lingkungan sosial, budaya, ekonomi, terhadap keluaran individu (Mauny et al., 2004).
Penelitian kesehatan masyarakat pada umumnya menggunakan sampel dengan unit
analisis yang bertingkat, mulai dari individu yang berada dalam rumah tangga, rumah tangga
yang berkumpul dalam suatu desa, kabupaten, bahkan negara. Hal ini disebabkan oleh, antara
lain variabell penelitiannya tersebr di semua tingka tersebut, seperti kenyataan yang kita
hadapi sehari-hari bahwa manusia selalu berada pada tatanan (wilayah) tertentu. Dengan
demikian, tatanan kan mempengaruhi kejadian-kejadian yang dialami masyarakatnya,
misalnya:
1. kondisi atau kinerja puskesmas akan mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien;
2. kondisi geografis suatu wilayah yang sulit transportasi akan mempengaruhi perilaku
masyarakat dalam pencarian pertolongan kesehatan;
3. sistem pembiayaan kesehatan yang diterapkan di suatu negara akan berpengaruh
terhadap pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Hal diatas menunjukkan bahwa respons terhadap individu tidak independen. Individu
yang tinggal dalam satu wilayah mempunyai faktor risiko yang sama. Misalnya, individu
yang tinggal dalam wilayah endemis malaria, mereka mempunyai risiko yang sama untuk
tertyular malaria. Inividu yang tinggal di daerah terpencil, yang minim fasilitas kesehatan,
mereka mempunyai risiko yang sama dalam kesulitan menjangkau fasilitas kesehatan yang
memadai. (Mauny et al., 2004).
Penelitiannya, penulis mencoba menggabungkan beberapa teori yaitu Teori Akses,
Teori Ekonomi, Teori Perilaku, da Teori Blum ke dalam konsep teoritis tentan akses layanan
kesehatan suspek penderita TB seperti terlihat pada Gambar 7.1.
(gambar 7.1)

Dalam penelitian tersebut, penulis memperoleh model empiris tentang determinan


akses suspek TB pada tujuh provinsi di Indonesia seperti yang tertuang dalam Gambar 7.2.
(gambar 7.2)
Out put program penanggulangan TB secara internasional telah ditetapkan, yaitu
peningkatan layanan laboratorium, peningkatan pengobatan penderita TB, peningkatan
pengetahuan, sikap, praktik tentang penyakit TB dan penurunan stigma di masyarakat.
Dengan out put tersebut diharapkan dapat tercapai outcome peningkatan CDR dan kasus TB
yang diobati yang selanjutnya akan memberikan dampak penurunan prevalensi infeksi TB
dan penyakit TB, serta penurunan angka kesakitan dan kematian TB (WHO, 2004)
Pencapaian tujuan tersebut, antara lain, dipengaruhi oleh komitmen politik, sosial
ekonomi (demografi, gender, urban/rural, dan kemiskinan), serta sistem layanan kesehatan
yang …..

a. Pengantar
Root Cause Analysis (RCA) ini adalah salah satu bagian terpenting dari
manajemen risiko, tidak terkecuali untuk instansi pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya instansi pelayanan kesehatan dalam
menjamin pelaksanaan asuhan pasien yang lebih aman. Sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Keselamatan Pasien yang menyebutkan bahwa sistem pelayanan kesehatan harus
menjamin pelaksanaan asuhan pasien menjadi lebih aman.
Kenyamanan dan keselamatan pasien adalah hal utama yang harus diwujudkan
dalam pelayanan kesehatan (Cooper, 2012). Untuk mewujudkan hal tersebut maka
setiap instansi kesehatan harus menjalankan program yang mendukung tercapainya
peningkatan mutu dan juga keselamatan pasien, salah satunya terkait insiden
keselamatan pasien. Berdasarkan peraturan yang ditetapkan The Joint Commission’s
Sentinel Event, organisasi kesehatan terakreditasi diharuskan untuk melakukan
analisis sistematis yang komprehensif dari suatu peristiwa sentinel. Analisis sistematis
komprehensif ini melihat bagaimana kesenjangan antara peraturan dan sistem
keselamatan yang mungkin berkontribusi terhadap kejadian tidak diinginkan. Selain
itu, analisis ini juga mengidentifikasi perubahan peraturan dan prosedur yang
mungkin dapat mencegah kejadian serupa terjadi di masa yang akan datang (JCI,
2015).
Beberapa prosedur pelaporan kesalahan mempunyai banyak hambatan yang
menjadikan ketidaktepatan penyelesaian masalah untuk mencegah terulangnya
kesalahan yang serupa. Membuat sistem pelaporan yang mengarah pada transparansi
dan mengarah pada terungkapnya akar masalah dapat berdampak positif pada
terjaminnya mutu dalam sistem perawatan kesehatan. Memperkenalkan perawat dan
tenaga kesehatan lain tentang bagaimana mencari akar penyebab masalah dan
menguasai pelaporan kesalahan di awal pendidikan atau pekerjaan mereka dapat
mengurangi hambatan dalam pelaporan kesalahan dan mendorong mereka untuk
melaporkan kesalahan dalam setiap kejadian (Cooper, 2012). Bentuk analisis
sistematis dan komprehensif yang paling sering digunakan oleh organisasi
terakreditasi Joint Commission adalah Root Cause Analysis (RCA) suatu proses untuk
mengidentifikasi akar penyebab masalah atau faktor penyebab yang mempengaruhi
kinerja, termasuk kejadian sentinel-dan semua hal yang terkait. Root Cause Analysis
dapat digunakan untuk mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi insiden
keselamatan pasien dan menggerakkan organisasi untuk memberikan asuhan yang
aman (JCI, 2015). Di Indonesia Kementerian Kesehatan telah membentuk Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) yang telah membuat pedoman pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang salah satunya adalah tentang pelaporan RCA.
hal ini merupakan salah satu alternatif yang efektif dan efisien untuk mencari akar
penyebab terjadinya suatu kesalahan, mengidentifikasi solusi yang tepat untuk
mencegah kesalahan yang sama, dan membuat pelaporan.

b. Definisi
Root Cause Analysis (RCA) atau Analisis Akar Masalah (AAM) merupakan
suatu metode analisis terstruktur yang mengidentifikasi akar masalah dari suatu
insiden, dan proses ini cukup bermanfaat untuk mencegah terulangnya insiden yang
sama. Berdasarkan pedoman pelaporan insiden keselamatan pasien dijelaskan bahwa
RCA adalah suatu proses berulang yang sistematik di mana faktor-faktor yang
berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi kronologis
kejadian menggunakan pertanyaan ‘mengapa’ yang diulang hingga menemukan akar
penyebabnya dan penjelasannya. Pertanyaan ‘mengapa’ harus ditanyakan hingga tim
investigator mendapatkan fakta, bukan hasil spekulasi (KKPRS, 2015). Selanjutnya,
Barsalou (2015) menjelaskan bahwa RCA adalah metode pencarian penyebab
masalah, yang melibatkan metode empiris dan pemilihan alat (tools) yang sesuai
untuk masalah yang sedang diselidiki (Barsalou, 2015). Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa Root Cause Analysis (RCA) merupakan suatu metode yang
bertujuan untuk melakukan analisis dan menemukan akar masalah suatu insiden, serta
tindak lanjut kedepannya demi mencegah kejadian yang sama terulang kembali di
masa yang akan datang.
RCA mulai dilakukan bila tim sudah menentukan grading terhadap insiden
yang terjadi. Bila hasil grading menunjukkan warna kuning dan merah, maka
selanjutnya dilakukan analisis akar masalah/RCA. Sedangkan untuk grading yang
berwarna hijau dan biru dilakukan analisis sederhana dengan cepat, tetapi tetap
memenuhi kaidah-kaidah RCA.
Evidence Based Practice Terkait RCA
Beberapa penelitian terkait RCA antara lain:
Penelitian dalam Journal of Clinical Neuroscience yang berjudul Root cause
analysis of diagnostic and surgical failures in the treatment of suspected Cushing’s
Disease (CD), setelah dilakukan root cause analysis ditemukan sebanyak enam
kategori kegagalan yang biasa terjadi dalam menangani kasus Cushing’s Disease
(CD) ini. Berdasarkan hasil analisis akar masalah yang dilakukan maka keberhasilan
intervensi bedah dapat ditingkatkan melalui manajemen bedah dengan mengantisipasi
dan mencegah kegagalan yang biasa ditemukan tersebut (Zaidi et. al, 2018).
Penelitian yang berjudul Nursing Student Medication errors: A Case Study
Using Root Cause Analysis menyoroti suatu kesalahan mahasiswa keperawatan,
contohnya kesalahan pemberian obat, dengan penerapan RCA,. RCA
mengidentifikasi faktor-faktor pemicu timbulnya suatu insiden. Faktor yang
diidentifikasi adalah lingkungan, sifat mahasiswa, komunikasi, budaya, dan
pendidikan. Proses menggunakan RCA memberikan kesempatan untuk
mengidentifikasi strategi perbaikan untuk mencegah kesalahan di masa yang akan
datang. Sharing dar dokumentasi pelaporan RCA ini dapat mendukung pemberian
layanan pasien yang lebih aman oleh mahasiswa keperawatan sehingga perawatan
yang aman dan berkualitas dapat dicapai (Dolansky, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Venir (2015) menjelaskan bahwa root cause
analysis dapat mendukung tim pengendali infeksi (PPI) dalam upaya melakukan
manajemen risiko. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana tim pengendali infeksi
(PPI) dapat menggunakan RCA untuk meningkatkan kinerja mereka sehari-hari.
Berbagai pengalaman yang telah terpublikasi dan pengalaman pribadi menggunakan
RCA dengan benar dapat mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan yang
lebih efektif, meningkatkan praktik dan kerja kolaboratif, meningkatkan kerja tim,
dan mengurangi risiko Healthcare Associated Infections (HAIs).
Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian yang dipaparkan di atas terlihat
c.
bahwa Root Cause Analysis (RCA) atau analisis akar masalah …..
C
d. C

e. Kebijakan Manajemen Risiko


Menurut PMK No. 66 Tahun 2016 Manajemen Risiko Keamanan, Kesehatan,
dan Keselamatan Rumah Sakit (K3RS) bertujuan untuk meminimalkan risiko
keselamatan dan kesehatan di rumah sakit sehingga tidak menimbulkan efek butuh
terhadap keselamatan dan kesehatan SDM rumah sakit, pasien, pendamping pasien,
dan pengunjung. Selain itu, kebijakan dan strategi manajemen risiko adalah suatu
dokumen yang menjelaskan filosofi dan pandangan rumah sakit mengenai risiko yang
diambil oleh rumah sakit. Dokumen ini akan digunakan sebagai rujukan =utama
internal dalam pengelolaan risiko di rumah sakit. Pada kebijakanrumah sakit harus
dikemukakan secara singkat alasan, tujuan, pengertian manajemen risiko, peran dan
tanggung jawab, pelaksanaan sistem manajemen risiko ,sistem pelaporan, pendidikan
dan pelatihan, indikator untuk keberhasilan, rencana kegiatan, monitoring, audit, dan
review (Yahya, 2011).
Selain itu, manajemen risiko sebagai bagian Peningkatan Mutu dan
Keselamatan Pasien (PMKP) dalam Akreditasi RS. manajemen Risiko merupakan
salah satu perangkat dalam PMKP. Standar PMKP 12 dalam Standar SNARS 2017
menyampaikan bahwa program manajemen risiko berkelanjutan digunakan untuk
melakukan identifikasi dna mengurangi cedera serta mengurangi risiko lain terhadap
keselamatan pasien dan staf.
Maksud dan Tujuan PMKP 12 sesuai SNARS 2017 adalah rumah sakit
mempunyai komponen-komponen penting program manajemen risiko formal
meliputi:
● Identifikasi risiko,
● Prioritas risiko,
● Pelaporan risiko,
● Manajemen risiko,
● Investigasi kejadian yang tidak diharapkan (KTD),
● Manajemen terkait tuntutan (klaim).
Dalam menerapkan manajemen risiko, rumah sakit perlu memperhatikan
proses-roses berisiko yang dapat terjadi pada pasien, antara lain meliputi:
● Manajemen pengobatan;
● Risiko jatuh;
● Pengendalian infeksi;
● Gizi;
● Risiko peralatan;
● Risiko sebagai akibat kondisi yang sudah lama berlangsung.
Ruang lingkup manajemen risiko rumah sakit yang meliputi namun tidak
terbatas pada: a) pasien; b) staf medis; c) tenaga kesehatan dan tenaga lainnya yang
bekerja di rumah sakit; d) fasilitas rumah sakit; e) lingkungan rumah sakit; dan f)
bisnis rumah sakit.
Standar PMKP 12 menyampaikan bahwa rumah sakit dalam konteks
akreditasi RS akan dinilai sesuai elemen penilaian yang meliputi:
● rumah sakit mempunyai program manajemen risiko rumah sakit,
● rumah sakit mempunyai daftar risiko di tingkat rumah sakit yang sekurang-
kurangnya meliputi risiko yang ada,
● rumah sakit telah membuat strategi untuk mengurangi risiko yang ada,
● ada bukti rumah sakit telah melakukan failure mode effect analysis (analisis
efek modus kegagalan) setahun sekali pada proses berisiko tinggi yang
diprioritaskan,
● rumah sakit elah melaksanakan tindak lanjut hasil analisis modus dampak
kegagalan (FMEA).

ALUR TAHAPAN RCA


- Identifikasi penyebab (mencakup: memastikan apa yang sebenarnya terjadi,
identifikasi proses yang berkontribusi, identifikasi faktor lain yang terkait).
- Identifikasi akar-akar penyebab berdasarkan bukti-bukti yang ada (kumpulkan
dan kaji data akar penyebab pokok yang paling mendasar, identifikasi sistem-
sistem yang terkait dengan akar masalah).
- Tetapkan akar masalah utama (mencakup: buatlah daftar akar-akar penyebab
yang ditemukan, pastikan dn tetapkan akr penyebab utama).
- Tentukan solusi dan upaya penanggulangan risiko (mencakup: cari strategi
untuk mengurangi risiko, rancang suatu strategi perbaikan, evaluasi kembali
strategi perbaikan yang ditetapkan).
- Uji coba upaya penanggulangan risiko (meliputi: rancangan strategi perbaikan
yang ditetapkan, membuat POA, implementasikan).
- Evaluasi (mencakup: kaji tingkat efektivitas dan keberhasilan strategi, evaluasi
penerapan upaya perbaikan, tindakan tambahan jika diperlukan, dan laporkan
hasil RCA).
(gambar 7.1 Alur Tahapan RCA)
Identifikasi
Akar-akar
Inisiasi dan
Identifikasi Penyebab
Identifikasi
Penyebab Berdasarkan
Kesalahan
Bukti-bukti yang
Ada

Tentukan
Tetapkan Akar Solusi dan Uji Coba Upaya
Masalah Upaya Penanggulangan
Utama Penanggulang Risiko
an Risiko

Evaluasi

Tentukan Solusi dan Upaya Penanggulangan Risiko


Setelah akar masalah utama ditetapkan, maka langkah selanjutnya, yatu
menentukan solusi serta rencana tindak lanjut yang akan dilakukan dalam upaya
penanggulangan risiko. Tahap ini ditujukan untuk merancang suatu solusi yang bisa
diterapkan untuk menghilangkan dan memastikan bahwa kejadian yang sama tidak
terulang kembali. Hal yang dilakukan di tahap ini adalah mengidentifikasi satu atau
lebih solusi dengan menggunakan berbagai teknik kreatif dengan cara yang
terstruktur, tentukan dan jelaskan solusi, dan pastikan kesimpulan dari langkah ini
didokumentasikan dengan bk. Dalam konteks ini, solusi dapat berupa hal-hal, seperti:
rutinitas atau proses yang baru, kompetensi dan keterampilan baru, quality system,
peralatan yang lebih mudah dioperasikan, meningkatnya akuntabilitas staf dan lain-
lain.
Contoh solusi upaya penanggulangan risiko di rumah sakit x banyak terjadi
kesalahan pemberian obat. Peristiwa-peristiwa ini diselidiki, dan beberapa solusi yang
diusulkan seperti:
● membuat kebijakan untuk mencocokkan ID pasien pada setiap tindakan,
melatih setiap karyawan terkait kebijakan identifikasi pasien
● mengidentifikasi menggunakan Kode ID dan Bar Code saat transfer pasien
● kepatuhan melakukan prinsip 6B sebelum pemberian obat
● konsisten melakukan double check

Anda mungkin juga menyukai