2. Koding (Coding)
Koding adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka
atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen data. Kegiatan dan
tindakan serta diagnosis yang ada didalam rekam medis harus diberi kode dan
selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk
menunjang fungsi perencanaan, manajemen, dan riset bidang kesehatan.
Kode klasifikasi penyakit oleh WHO (World Health Organization) bertujuan untuk
menyeragamkan nama dan golongan penyakit, cedera, gejala, dan faktor yang
mempengaruhi kesehatan. Ketepatan dan kecepatan koding dari suatu diagnosis
sangat tergantung kepada pelaksana yang menangani rekam medis tersebut yaitu :
a) Tenaga medis dalam menetapkan diagnosis
b) Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode
c) Tenaga kesehatan lainnya
Penetapan diagnosis seorang pasien merupakan kewajiban, hak, dan tanggung
jawab dokter (tenaga medis) yang terkait tidak boleh diubah oleh karenanya harus
diagnosis yang ada dalam rekam medis diisi dengan lengkap dan jelas sesuai dengan
arahan yang ada pada buku ICD 10. Kelancaran dan kelengkapan pengisian rekam
medis di unit rawat jalan dan rawat inap atas kerjasama tenaga medis dan tenaga
kesehatan lain yang ada dimasing- masing unit kerja tersebut. Hal ini seperti
dijelaskan Pasal 3 dan 4 Permenkes RI No. 794a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam
medis. Untuk meningkatkan informasi dalam rekam medis, petugas rekam medis
harus membuat koding sesuai dengan klasifikasi yang tepat. Disamping kode penyakit
berbagai tindakan lain juga harus dikoding sesuai dengan klasifikasi masing- masing.
a) Koding penyakit (ICD 10)
b) Pembedahan/ Tindakan (ICDPIM)
c) Koding Obat- obatan
d) Laboratorium
e) Radiologi
f) Dokter (pemberi pelayanan)
g) Alat- alat
h) Dan lain- lain
3. Indeksing
Indeksing adalah membuat tabulasi sesuai dengan kode yang sudah dibuat ke dalam
indeks- indeks. Didalam kartu indeks tidak boleh mencantumkan nama pasien. Jenis
indeks yang dibuat:
a) Indeks pasien
b) Indeks penyakit (diagnosis dan operasi)
c) Indeks obat-obatan
d) Indeks dokter
e) Indeks kematian
Untuk indeks operasi ditambah : Dokter bedah, dokter anestesi, hari pre op
dan post op, pasien meninggal/ keluar (sembuh atau cacat). Untuk indeks
penyakit ditambah diagnosa lain, dokter lain, hari perawatan, meninggal/
keluar sembuh.
Analisa
Analisa kualitatif dan kuantitatif
Agar diperoleh kualitas rekam medis yang optimal perlu dilakukan audit dan
analisis rekam medis dengan cara meneliti rekam medis yang dihasilkan oleh staf
medis dan para medis serta hasil- hasil pemeriksaan dari unit- unit penunjang
sehingga kebenaran penempatan diagnosa dan kelengkapan rekam medis dapat
dipertanggung jawabkan. Selain rumah sakit staf medis dapat terhindar dari gugatan
malpraktek. Proses analisa rekam medis ditujukan kepada dua hal :
a. Analisa kualitatif adalah analisa yang ditujukan kepada jumlah lembaran-
lembaran rekam medis sesuai dengan lamanya perawatan meliputi
kelengkapan lembaran medis, paramedis, dan penunjang medis. Petugas akan
menganalisa setiap berkas rekam medis yang diterima apakah lembaran rekam
medis yang seharusnya ada pada berkas seorang pasien sudah ada atau belum.
b. Analisa kuantitatif adalah analisa yang ditujukan kepada mutu dan setiap
berkas rekam medis. Petugas akan menganalisa kualitas rekam medis pasien
sesuai dengan standar mutu yang ditetapkan. Analisa kuantitatif meliputi
penelitian terhadap pengisian lembaran rekam medis baik oleh staf medis, para
medis, dan penunjang medis lainnya. Ketidaklengkapan dalam pengisian
rekam medis akan sangat mempengaruhi mutu rekam medis, mutu rekam
medis mencerminkan baik tidaknya mutu pelayanan di suatu rumah sakit.
Pembuatan resume bagi setiap pasien yang dirawat merupakan cerminan mutu
rekam medis serta layanan yang diberikan oleh rumah sakit tertentu.
Kebaikannya:
a) Mengurangi terjadinya duplikasi dalam pemeliharaan dan penyimpanan rekam
medis.
b) Mengurangi jumlah biaya yang dipergunakan untuk peralatan dan ruangan.
c) Tata kerja dan peraturan mengenai kegiatan pencatatan medis mudah
distandarisasikan.
d) Memungkinkan peningkatan efisiensi kerja petugas penyimpanan.
e) Mudah menerapkan sistem unit record.
Kekurangannya:
a) Petugas menjadi lebih sibuk, karena harus menangani unit rawat jalan dan unit
rawat inap.
b) Tempat penerimaan pasien harus bertugas 24 jam.
2. Desentralisasi
Dengan cara didesentralisasikan terjadi pemisahan antara rekam medis poliklinik
dengan rekam medis penderita dirawat. Rekam medis disimpan di satu tempat
penyimpanan, sedangkan rekam medis pasien dirawat disimpan di bagian pencatatan
medis.
Kebaikannya:
a. Efisiensi waktu, sehingga pasien mendapat pelayanan lebih cepat.
b. Beban kerja yang dilaksanakan petugas lebih ringan.
Kekurangannya:
a. Terjadi duplikasi dalam pembuatan rekam medis.
b. Biaya yang diperlukan untuk peralatan dan ruangan lebih banyak.
3. Sistem penyimpanan
Penyimpanan menurut nomor yang sering dipraktekkan yaitu :
1) Sistem nomor langsung (Straight Numerical)
2) Sistem angka akhir (Terminal Digit)
3) Sistem angka tengah (Middle Digit)
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1) Penyimpanan dengan nomor langsung adalah penyimpanan rekam medis
dalam rak penyimpanan secara berurut sesuai dengan urutan nomor. Misalnya
465023, 465024, 465025 dst.
2) Penyimpanan dengan sistem angka akhir lazim disebut terminal digit fillling
system. Disini digunakan nomor- nomor dengan 6 angka yang dikelompokkan
menjadi 3 kelompok masing- masing terdiri dari 2 angka. Angka pertama
adalah kelompok 2 angka yang terletak paling kanan, angka kedua adalah
kelompok angka yang terletak ditengah dan angka ketiga adalah kelompok 2
angka yang terletak paling kiri.
3) Istilah yang dipakai adalah penyimpanan dengan sistem angka tengah (middle
digit filling system). Disini penyimpanan rekam medis disusun dengan
pasangan angka- angka sama halnya dengan sistem angka akhir, namun angka
pertama, kedua, dan ketiga berbeda letaknya dengan sistem angka akhir.
Dalam hal ini angka. Kekurangannya :
a) Terjadi duplikasi dalam pembuatan rekam medis.
b) Biaya yang diperlukan untuk peralatan dan ruangan lebih banyak.
BAB 3
LAYANAN KESEHATAN
3. Consumer Ignorance
Konsumen layanan kesehatan sangat tergantung kepada penyedia layanan
kesehatan (provider) tentang jenis dan jumlah layanan kesehatan yang harus
dibeli serta tempat memperoleh layanan kesehatan tersebut. Pada umumnya
konsumen tidak mengetahui tentang pemeriksaan atau pengobatan yangs
seharusnya diperlukan berdasar kebutuhan medisnya. Keputusan ada di tangan
provider, apa pun yang diberikan oleh provider akan dibayar oleh konsumen.
Keadaan ini dapat menimbulkan moral hazard provider di mana provider
melakukan praktik “supply induce demand” layanan kesehatan, padahal
sebenarnya tidak diperlukan oleh konsumen. Tingginya biaya layanan
kesehatan di Indonesia antara lain disebabkan oleh moral hazard provider
terutama untuk alat- alat canggih yang sebenarnya tidak diperlukan oleh
konsumen berdasar alasan medis. Kendali biaya sulit dilaksanakan karena
sistem pembiayaan terhadap layanan kesehatan masih menggunakan
pendekatan fee for service. Di masa mendatang, apabila UU SJSN telah
diterapkan secara menyeluruh, akan mengurangi terjadinya moral hazard
provider karena dengan sistem asuransi sosial yang diterapkan dalam UU
SJSN mengharuskan dilaksanakan kendali mutu dan kendali biaya.
4. Eksternalitas
Konsumsi layanan kesehatan tidak saja bermanfaat bagi pembeli itu sendiri,
namun juga bermanfaat bagi orang lain yang tidak membeli. Dampak yang
dialami oleh orang lain sebagai akibat perbuatan seseorang, disebut efek
eksternalitas. Misalnya ada seorang warga yang membeli dan menggunakan
abate untuk memberantas sarang nyamuk di rumahnya, akan menimbulkan
dampak positif atau menimbulkan manfaat bagi warga tersebut dan juga
tetangganya untuk mencegah penyakit demam berdarah. Demikian juga untuk
pengobatan penyakit menular, misalnya pengobatan penyakit tuberkulosis
akan memberikan dampak atau manfaat kesembuhan bagi penderita tersebut
dan juga memberikan dampak memutus rantai penularan bagi warga di
sekitarnya. Dengan demikian, pada umumnya layanan kesehatan yang
mempunyai sifat eksternalitas dikelompokkan dalam public good sehingga
menjadi tanggung jawab pemerintah.
6. Mix Output
Satu program kesehatan dapat menghasilkan berbagai macam layanan
kesehatan. Begitu juga satu jenis penyakit dapat saja memerlukan berbagai
macam layanan kesehatan yang terdiri dari sejumlah pemeriksaan diagnosis,
perawatan, pengobatan sampai konseling. Kebutuhan layanan kesehatan setiap
orang bervariasi tergantung dari jenis penyakitnya dan siapa providernya.
8. Restriksi Kompetisi
Layanan kesehatan mempunyai kode etik yang harus dipenuhi dan mempunyai
keterbatasan untuk berkompetisi. Namun demikian, promosi tetap
diperbolehkan selama tidak melanggar kode etik. Keterbatasan- keterbatasan
tersebut menyebabkan mekanisme pasar layanan kesehatan tidak dapat
diserahkan mengikuti mekanisme pasar secara umum. Diperlukan regulasi
yang kuat, sehingga layanan kesehatan dapat dimanfaatkan oleh semua lapisan
masyarakat yang membutuhkan.
Gambar 3.1. The Force Field and Well Being Paradigms of Health.
Sumber : Blum, 1981 (Planning For Health)
Halaman 59
dan jenis layanan apa yang dipilih maka terlihat bahwa suatu perilaku tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan,
kehendak, motivasi, dan niat. Sementara itu, faktor- faktor tersebut merupakan hasil
interaksi beberapa faktor yaitu pengalaman, keyakinan, sosial budaya serta
ketersediaan fasilitas kesehatan itu sendiri.
Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus atau
objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem layanan kesehatan, makanan
dan minuman, serta lingkungan.
Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berikut :
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance), yaitu perilaku atau
usaha- usaha seseorang memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak terkena
penyakit dan usaha untuk melakukan penyembuhan jika sakit;
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas layanan kesehatan
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (Health seeking behavior),
yaitu perilaku yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan; tindakan atau perilaku ini dimulai
dari pengobatan sendiri sampai dengan pencarian pengobatan ke luar negeri;
3. Perilaku kesehatan lingkungan, yaitu bagaimana seseorang merespons
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya dan sebagainya
sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatannya.
TEORI-TEORI
Teori WHO
Tim kerja WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku
tertentu adalah karena adanya empat alasan pokok:
1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan,
persepsim, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penelitian-penelitian seseorang
terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).
Teori Matthews
Matthews mengemukakan suatu hipotesis bahwa untuk terjadinya suatu perubahan
perilaku, ada tiga unsur yang berpengaruh.
Hal tersebut dapat dilukiskan dengan rumus .
P = ip (1 - e)
P = kemungkinan bahwa seseorang atau sekelompok individu akan berbuat sesuatu
I = pentingnya tujuan tersebut menurut yang bersangkutan dibandingkan dengan
tujuan-tujuan lainnya yang ingin juga tercapai
e = bagian dari seluruh sarana yang ada, maupun usaha menurut yang bersangkutan
diperlukan untuk melaksanakan kegiatan, mencakup bisaya, materi, waktu, dan lain-
lain.
Teori Kelman
Manusia berperilaku atau beraktivitas karena adanya kebutuhan untuk mencapai suatu
tujuan. Dengan adanya kebutuhan dalam diri seseorang maka akan muncul motivasi atau
penggerak/pendorong sehingga individu beraktivitas, berperilaku, baru tujuan tercapai dan
individu mengalami kepuasan.
Menurut Kelman, ada tiga cara terjadinya perubahan perilaku yaitu:
1. Karena Terpaksa (Compliance)
Pada cara ini, individu mengubah perilakunya karena mengharapkan akan:
● Memperoleh imbalan, baik materi maupun non-materi.
● Memperoleh pengakuan dari kelompoknya.
● Terhindar dari hukuman.
● Tetap terpelihara hubungan baik.
2. Karena ingin meniru atau ingin dipersamakan (identification).
Pada cara ini, individu mengubah perilakunya karena ingin disamakan dengan orang
yang dikaguminya.
3. Karena menyadari manfaatnya (internalization)
Pada cara ini perubahan benar-0benar mendasar, artinya benar-benar menjadi bagian
hidupnya.
BAB 7
MENGUKUR LAYANAN KESEHATAN
Untuk menilai kinerja sistem penyediaan layanan kesehatan yang diselenggarakan
oleh pemerintah, harus dilihat dari tiga aspek, yaitu efisiensi, efektivitas, dan ekuitas (equity).
Ketiga hal tersebut saling berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri. Upaya ke arah ekuitas dapat
dilakukan dengan pendekatan teori akses, dari akses potensial indikator proses (karakteristik,
predisposisi, pemungkin, dan kebutuhan populasi berisiko) dan akses potensial indikator
struktural (karakteristik, ketersediaan, dan organisasi sistem layanan kesehatan) menjadi
akses nyata melalui alokasi sumber daya yang mengacu pada tiga kriteria yaitu kebutuhan
(need), geografi dan sosioekonomi (Nadjib, 1999).
BAB 8
EKUITAS AKSES LAYANAN KESEHATAN PENYAKIT
MENULAR
Dalam buku ini akan dibahas salah satu contoh penyakit menular dimana pemerintah
menyediakan layanan kesehatan berupa pemeriksaan dan pengobatan secara gratis, yatu
penyakit tuberkulosis (TB). penulis telah melakukan penelitian untuk mengukur ekuitas akses
layanan kesehatan suspek penderita TB pada tujuh provinsi di Indonesia menggunakan
pendekatan analisis multilevel.
Analisis multilevel adalah suatu cara untuk melakukan analisis sekumpulan data yang
dilakukan secara simultan untuk mengetahui pengaruh faktor individu dan pengaruh faktor
kontekstual yang ada: dapat lingkungan fisik, maupun lingkungan nonfisik, seperti
lingkungan sosial, budaya, ekonomi, terhadap keluaran individu (Mauny et al., 2004).
Penelitian kesehatan masyarakat pada umumnya menggunakan sampel dengan unit
analisis yang bertingkat, mulai dari individu yang berada dalam rumah tangga, rumah tangga
yang berkumpul dalam suatu desa, kabupaten, bahkan negara. Hal ini disebabkan oleh, antara
lain variabell penelitiannya tersebr di semua tingka tersebut, seperti kenyataan yang kita
hadapi sehari-hari bahwa manusia selalu berada pada tatanan (wilayah) tertentu. Dengan
demikian, tatanan kan mempengaruhi kejadian-kejadian yang dialami masyarakatnya,
misalnya:
1. kondisi atau kinerja puskesmas akan mempengaruhi tingkat kesembuhan pasien;
2. kondisi geografis suatu wilayah yang sulit transportasi akan mempengaruhi perilaku
masyarakat dalam pencarian pertolongan kesehatan;
3. sistem pembiayaan kesehatan yang diterapkan di suatu negara akan berpengaruh
terhadap pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan yang ada.
Hal diatas menunjukkan bahwa respons terhadap individu tidak independen. Individu
yang tinggal dalam satu wilayah mempunyai faktor risiko yang sama. Misalnya, individu
yang tinggal dalam wilayah endemis malaria, mereka mempunyai risiko yang sama untuk
tertyular malaria. Inividu yang tinggal di daerah terpencil, yang minim fasilitas kesehatan,
mereka mempunyai risiko yang sama dalam kesulitan menjangkau fasilitas kesehatan yang
memadai. (Mauny et al., 2004).
Penelitiannya, penulis mencoba menggabungkan beberapa teori yaitu Teori Akses,
Teori Ekonomi, Teori Perilaku, da Teori Blum ke dalam konsep teoritis tentan akses layanan
kesehatan suspek penderita TB seperti terlihat pada Gambar 7.1.
(gambar 7.1)
a. Pengantar
Root Cause Analysis (RCA) ini adalah salah satu bagian terpenting dari
manajemen risiko, tidak terkecuali untuk instansi pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya instansi pelayanan kesehatan dalam
menjamin pelaksanaan asuhan pasien yang lebih aman. Sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Keselamatan Pasien yang menyebutkan bahwa sistem pelayanan kesehatan harus
menjamin pelaksanaan asuhan pasien menjadi lebih aman.
Kenyamanan dan keselamatan pasien adalah hal utama yang harus diwujudkan
dalam pelayanan kesehatan (Cooper, 2012). Untuk mewujudkan hal tersebut maka
setiap instansi kesehatan harus menjalankan program yang mendukung tercapainya
peningkatan mutu dan juga keselamatan pasien, salah satunya terkait insiden
keselamatan pasien. Berdasarkan peraturan yang ditetapkan The Joint Commission’s
Sentinel Event, organisasi kesehatan terakreditasi diharuskan untuk melakukan
analisis sistematis yang komprehensif dari suatu peristiwa sentinel. Analisis sistematis
komprehensif ini melihat bagaimana kesenjangan antara peraturan dan sistem
keselamatan yang mungkin berkontribusi terhadap kejadian tidak diinginkan. Selain
itu, analisis ini juga mengidentifikasi perubahan peraturan dan prosedur yang
mungkin dapat mencegah kejadian serupa terjadi di masa yang akan datang (JCI,
2015).
Beberapa prosedur pelaporan kesalahan mempunyai banyak hambatan yang
menjadikan ketidaktepatan penyelesaian masalah untuk mencegah terulangnya
kesalahan yang serupa. Membuat sistem pelaporan yang mengarah pada transparansi
dan mengarah pada terungkapnya akar masalah dapat berdampak positif pada
terjaminnya mutu dalam sistem perawatan kesehatan. Memperkenalkan perawat dan
tenaga kesehatan lain tentang bagaimana mencari akar penyebab masalah dan
menguasai pelaporan kesalahan di awal pendidikan atau pekerjaan mereka dapat
mengurangi hambatan dalam pelaporan kesalahan dan mendorong mereka untuk
melaporkan kesalahan dalam setiap kejadian (Cooper, 2012). Bentuk analisis
sistematis dan komprehensif yang paling sering digunakan oleh organisasi
terakreditasi Joint Commission adalah Root Cause Analysis (RCA) suatu proses untuk
mengidentifikasi akar penyebab masalah atau faktor penyebab yang mempengaruhi
kinerja, termasuk kejadian sentinel-dan semua hal yang terkait. Root Cause Analysis
dapat digunakan untuk mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi insiden
keselamatan pasien dan menggerakkan organisasi untuk memberikan asuhan yang
aman (JCI, 2015). Di Indonesia Kementerian Kesehatan telah membentuk Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) yang telah membuat pedoman pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang salah satunya adalah tentang pelaporan RCA.
hal ini merupakan salah satu alternatif yang efektif dan efisien untuk mencari akar
penyebab terjadinya suatu kesalahan, mengidentifikasi solusi yang tepat untuk
mencegah kesalahan yang sama, dan membuat pelaporan.
b. Definisi
Root Cause Analysis (RCA) atau Analisis Akar Masalah (AAM) merupakan
suatu metode analisis terstruktur yang mengidentifikasi akar masalah dari suatu
insiden, dan proses ini cukup bermanfaat untuk mencegah terulangnya insiden yang
sama. Berdasarkan pedoman pelaporan insiden keselamatan pasien dijelaskan bahwa
RCA adalah suatu proses berulang yang sistematik di mana faktor-faktor yang
berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi kronologis
kejadian menggunakan pertanyaan ‘mengapa’ yang diulang hingga menemukan akar
penyebabnya dan penjelasannya. Pertanyaan ‘mengapa’ harus ditanyakan hingga tim
investigator mendapatkan fakta, bukan hasil spekulasi (KKPRS, 2015). Selanjutnya,
Barsalou (2015) menjelaskan bahwa RCA adalah metode pencarian penyebab
masalah, yang melibatkan metode empiris dan pemilihan alat (tools) yang sesuai
untuk masalah yang sedang diselidiki (Barsalou, 2015). Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa Root Cause Analysis (RCA) merupakan suatu metode yang
bertujuan untuk melakukan analisis dan menemukan akar masalah suatu insiden, serta
tindak lanjut kedepannya demi mencegah kejadian yang sama terulang kembali di
masa yang akan datang.
RCA mulai dilakukan bila tim sudah menentukan grading terhadap insiden
yang terjadi. Bila hasil grading menunjukkan warna kuning dan merah, maka
selanjutnya dilakukan analisis akar masalah/RCA. Sedangkan untuk grading yang
berwarna hijau dan biru dilakukan analisis sederhana dengan cepat, tetapi tetap
memenuhi kaidah-kaidah RCA.
Evidence Based Practice Terkait RCA
Beberapa penelitian terkait RCA antara lain:
Penelitian dalam Journal of Clinical Neuroscience yang berjudul Root cause
analysis of diagnostic and surgical failures in the treatment of suspected Cushing’s
Disease (CD), setelah dilakukan root cause analysis ditemukan sebanyak enam
kategori kegagalan yang biasa terjadi dalam menangani kasus Cushing’s Disease
(CD) ini. Berdasarkan hasil analisis akar masalah yang dilakukan maka keberhasilan
intervensi bedah dapat ditingkatkan melalui manajemen bedah dengan mengantisipasi
dan mencegah kegagalan yang biasa ditemukan tersebut (Zaidi et. al, 2018).
Penelitian yang berjudul Nursing Student Medication errors: A Case Study
Using Root Cause Analysis menyoroti suatu kesalahan mahasiswa keperawatan,
contohnya kesalahan pemberian obat, dengan penerapan RCA,. RCA
mengidentifikasi faktor-faktor pemicu timbulnya suatu insiden. Faktor yang
diidentifikasi adalah lingkungan, sifat mahasiswa, komunikasi, budaya, dan
pendidikan. Proses menggunakan RCA memberikan kesempatan untuk
mengidentifikasi strategi perbaikan untuk mencegah kesalahan di masa yang akan
datang. Sharing dar dokumentasi pelaporan RCA ini dapat mendukung pemberian
layanan pasien yang lebih aman oleh mahasiswa keperawatan sehingga perawatan
yang aman dan berkualitas dapat dicapai (Dolansky, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Venir (2015) menjelaskan bahwa root cause
analysis dapat mendukung tim pengendali infeksi (PPI) dalam upaya melakukan
manajemen risiko. Penelitian ini juga menjelaskan bagaimana tim pengendali infeksi
(PPI) dapat menggunakan RCA untuk meningkatkan kinerja mereka sehari-hari.
Berbagai pengalaman yang telah terpublikasi dan pengalaman pribadi menggunakan
RCA dengan benar dapat mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan yang
lebih efektif, meningkatkan praktik dan kerja kolaboratif, meningkatkan kerja tim,
dan mengurangi risiko Healthcare Associated Infections (HAIs).
Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian yang dipaparkan di atas terlihat
c.
bahwa Root Cause Analysis (RCA) atau analisis akar masalah …..
C
d. C
Tentukan
Tetapkan Akar Solusi dan Uji Coba Upaya
Masalah Upaya Penanggulangan
Utama Penanggulang Risiko
an Risiko
Evaluasi