Anda di halaman 1dari 2

Industrialisasi Pikiran

Kepungan kapitalisme global membuat media terperangkap dalam


balutan ownership (pemilik modal) yang menjadi antitesis demokrasi itu sendiri. Juga
menyebabkan kondisi sempitnya perspektif politik yang ditampilkan. Misalnya ulasan
menarik dari Robert W. McChesney di dalam Rich Media, Poor Democracy:
Communication Politics in Dubious Times (1999) yang mengatakan bahwa “konsentrasi
kekuasaan di tengah oligopoli korporat yang terintegrasi secara vertikal telah
mengancam arus bebas informasi dan opini yang berbeda yang justru amat vital bagi
daya hidup masyarakat demokratis”. Kondisi ini yang membuat khalayak media hanya
dijadikan “penonton pasif” akan tindakan teror yang ditayangkan oleh media.

Proses kebebasan media menampilkan tindakan teror tanpa sensor berakibat fatal dan
hanya berkonsentrasi pada person bukan peristiwa dalam meliput berita. Kemudian
berita juga dapat dilihat sebagai ideologi (news as ideology). Konsekuensinya lahirlah
upaya penafsiran sepihak dalam tingkatan yang ekstrem juga pemiskinan makna
tentang “teror” dalam fakta atau realitas sosial.

Tanpa kita sadari, pikiran kita tentang aksi teror hanyalah sebuah proses
“industrialisasi pikiran” yang menguntungkan media. Bagaimana tidak, kontruksi berita
teror hanya menyudutkan dan meneguhkan bahwa aksi teror dilakukan oleh
“fundamental agama” yang semakin termarjinalkan secara politik.  

Dengan begitu makna “teror” yang ditimbulkan berupaya untuk mengkonsepsikan


realitas secara simplistis lewat kehadiran media. Maka, tidak jarang wajah aksi teror
yang kita saksikan sesungguhnya hanyalah surface bukan substance. Inilah kiranya
akar kelemahan ketika realitas sudah dimediakan, apalagi beban-beban ideologis yang
akan mendistorsi bahasa media.

Ketika industrialisasi pikiran benar-benar menemukan jargon ideologisnya yang


memukau, selektivitas pesan media mengalami kelambanan, yang pada akhirnya
menyeret media menjadi sekedar “perangkat manipulasi dan eksploitasi” (a tool of
manipulation or exploitation) benak dan pikiran khalayak.  

Dalam komunikasi politik kontemporer media massa mendapat tempat signifikan


dalam proses penyampaian pesan politik. Media massa diyakini mampu mengubah
perspektif seseorang tentang politik. Selain itu media massa juga mampu menggiring
opini masyarakat pada opini tertentu. Bahkan parahnya media massa mampu
“membentuk persetujuan” atau “membentuk kesadaran” untuk melanggengkan
kekuasaan dominan.

Kemudian, salah satu fungsi sentral media massa di ruang publik menurut Dennis
McQuail adalah fungsi korelasi sosial (social correlation). Melalui berita dan opini yang
dimuat secara reguler, media memandu publik menghubungkan berbagai realitas yang
sebelumnya terpisah oleh faktor geografi dan psikografi, menjadi suatu rangkaian yang
bisa diikuti secara mudah (Masduki, 2004). Singkatnya, media massa mampu
melakukan framing atas sebuah teks dan fakta untuk memandu publik
mengkorelasikannya ke dalam konteks ekonomi, sosial politik dan budaya pada kurun
waktu tertentu. Apalagi iklim politik Indonesia yang transisional, media kerap menjadi
rujukan instan bagi pensikapan publik atas fenomena sosial tertentu akibat krisis
komunikasi langsung mereka dengan pejabat publik.

Media juga dapat menjadi subyek yang memanipulasi pernyataan atau peristiwa politik
karena tekanan kepentingan ekonomi dan politik pemilik atau pengelolahnya. Dalam
iklim politik transisional, kita bisa melihat juga perilaku feodalistik media dalam bentuk
pemberian ruang ekspresi lebih pada tokoh publik (extra ordinary people), opinion
leader ketimbang kalangan biasa dalam masyarakat. Singkatnya, media sebagai pemain
utama dalam pembentukan opini publik dan mampu menggiring pada opini tertentu.

Referensi : https://ddmaulanadirga8.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai