Proses kebebasan media menampilkan tindakan teror tanpa sensor berakibat fatal dan
hanya berkonsentrasi pada person bukan peristiwa dalam meliput berita. Kemudian
berita juga dapat dilihat sebagai ideologi (news as ideology). Konsekuensinya lahirlah
upaya penafsiran sepihak dalam tingkatan yang ekstrem juga pemiskinan makna
tentang “teror” dalam fakta atau realitas sosial.
Tanpa kita sadari, pikiran kita tentang aksi teror hanyalah sebuah proses
“industrialisasi pikiran” yang menguntungkan media. Bagaimana tidak, kontruksi berita
teror hanya menyudutkan dan meneguhkan bahwa aksi teror dilakukan oleh
“fundamental agama” yang semakin termarjinalkan secara politik.
Kemudian, salah satu fungsi sentral media massa di ruang publik menurut Dennis
McQuail adalah fungsi korelasi sosial (social correlation). Melalui berita dan opini yang
dimuat secara reguler, media memandu publik menghubungkan berbagai realitas yang
sebelumnya terpisah oleh faktor geografi dan psikografi, menjadi suatu rangkaian yang
bisa diikuti secara mudah (Masduki, 2004). Singkatnya, media massa mampu
melakukan framing atas sebuah teks dan fakta untuk memandu publik
mengkorelasikannya ke dalam konteks ekonomi, sosial politik dan budaya pada kurun
waktu tertentu. Apalagi iklim politik Indonesia yang transisional, media kerap menjadi
rujukan instan bagi pensikapan publik atas fenomena sosial tertentu akibat krisis
komunikasi langsung mereka dengan pejabat publik.
Media juga dapat menjadi subyek yang memanipulasi pernyataan atau peristiwa politik
karena tekanan kepentingan ekonomi dan politik pemilik atau pengelolahnya. Dalam
iklim politik transisional, kita bisa melihat juga perilaku feodalistik media dalam bentuk
pemberian ruang ekspresi lebih pada tokoh publik (extra ordinary people), opinion
leader ketimbang kalangan biasa dalam masyarakat. Singkatnya, media sebagai pemain
utama dalam pembentukan opini publik dan mampu menggiring pada opini tertentu.
Referensi : https://ddmaulanadirga8.wordpress.com/