Achmad Nashrudin P
FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang
Email: nashrudin.achmad@gmail.com
ABSTRAK
Media massa, baik cetak ataupun penyiaran (TV dan Radio, memegang peranan
yang sangat signifikan dalam menyebarluaskan pesan-pesan yang penting untuk publik
/ masyarakat. Karl Marx menyebutkan”bahwa media massa disebut sebagai kelas yang
mengatur, dalam sistem kapitalisme modern”. Sehingga, media pada era sekarang, menjadi
komoditas ekonomi dan politik, karena fungsinya dan karena kepemilikan yang massive oleh
perorangan (Pemilik modal). Yang memungkinkan, posisi media, bukan hanya menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi, tetapi karena kepemilikan perorangan tersebut,
sangat mungkin untuk menjadi alat bagi ”transaksi politik”, alih-alih sebagai fungsi social
control. Dalam praktik komunikasi politik, media menjadi medium yang tidak terelakan
dalam menyampaikan pesan-pesan Politik, khususnya saat kampanye, dalam pelaksanaan
pemilihan pemimpinan politik, baik pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden,
maupun pemilihan kepala daerah. Radar Banten dan Baraya TV adalah lembaga media yang
merupakan lembaga besar dan berpengaruh di Provinsi Banten, yang merupakan anggota
dari Jawa Pos (Jawa Post News Network) beperan besar dalam menyerbarluaskan pesan-
pesan para calon kepala daerah dalam aktifitas kampanye. Fenomena praktik ekonomi
politik, menjadi pertaruhan bagi fungsi dan positioning ke dua lembaga media tersebut.
Apakah mereka mampu menjalankan fungsi media (baca : pers) atau lebih cenderung
mengedepankan sisi bisnis, bahkan mungkin, posisi politik mereka.
Kata kunci: Media massa, Komunikasi politik, Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) Banten,
Ekonomi politik media.
ABSTRACT
The mass media, whether print or broadcast (TV and Radio,) play a significant role in
disseminating important messages to the public / society. Karl Marx said “that the media
is the class that controls, in the system of modern capitalism. Therefore the media in the
present era, into a commodity economy and politics, because of its function and because of
its ownership that owned by individuals (owners of capital). That allows, position the media
and not only to function as a disseminator of information, but because of the ownership of
such individuals, are very likely to be a tool for “political dealings”, rather than as a function
of social control. in the practice of political communication, media becomes a medium that
is not inevitable in conveying messages politics, especially during the campaign of political
elections, such as: political leadership, legislative elections, presidential elections, and the
governor and mayor elections. Radar Banten and Baraya TV are media agencies which are
recognized as a great and influential in Banten province, which members of the Jawa Pos (
Java Post News Network) that broadcast major messages of the prospective head region in
the activities of the campaign. The phenomenon of political economic practices, becomes a
bet for the function and positioning to the two media institutions. Are they having capability
of functioning media (read: news) or tend to promote the business side, perhaps, their
political position?
26 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
Keywords: media, political communication, the Regional Head Election (Election) Banten,
The political economy of the media.
Penampang 2.1
OPERASIONALISASI FUNGSI & TUJUAN MEDIA (DENNIS McQUAIL, 1987)
Liputan politik juga cenderung disnggung oleh Alex Sobur (2006) bahwa
lebih rumit ketimbang reportase bidang media massa sesungguhnya berada di
kehidupan lainnya. Pada satu pihak, liputan tengah realitas sosial yang sarat dengan
politik memiliki dimensi pembentukan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta
opini publik (public opinion), baik yang yang kompleks dan beragam.
diharapkan oleh para politisi maupun oleh
Peristiwa yang sering diberitakan media
para wartawan. Terutama oleh para aktor,
massa baik media elektronik maupun media
berita politik diharapkan mempengaruhi
cetak sesungguhnya seringkali berbeda
sikap khalayak mengenai masalah yang
dengan peristiwa sebenarnya. Mengapa
dibicarakan aktor. Para aktor politik
bisa terjadi demikian? sebab media tidak
menginginkan publik ikut terlibat dalam
semata-mata sebagai saluran pesan yang
pembicaraan dan tindakan politik melalui
pasif akan tetapi media pun aktif melakukan
pesan politik yang disampaikannya. Dalam
konstruksi terhadap peristiwa. Melalui
komunikasi politik, aspek pembentukan
berbagai instrumen yang dimilikinya
opini ini memang menjadi tujuan utama,
media berperan serta membentuk realitas
karena hal ini akan mempengaruhi
yang tersaji dalam pemberitaan. Kontruksi
pencapaian-pencapaian politik para aktor
terhadap realitas dapat dipahami sebagai
politik (Hamad, 2004).
upaya “menceritakan” (konseptualisasi)
Dalam kerangka pembentukan sebuah peristiwa, keadaan, benda atau
opini publik ini, media massa umumnya apapun.
melakukan tiga kegiatan sekaligus. Petama,
menggunakan simbol-simbol politik
(language of politic). Kedua, melaksanakan
strategi pengemasan pesan (framing
strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda
media (agenda setting function). Tatkala
melakukan tiga tindakan itu, boleh jadi
sebuah media dipengaruhi oleh berbagai
faktor internal berupa kebijakan redaksional
tertentu mengenai suatu kekuatan politik,
kepentingan politik para pengelola media,
relasi media dengan sebuah kekuatan politik
tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan
pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik
yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar
lainnya. Dengan demikian, boleh jadi satu
peristiwa politik bisa menimbulkan opini
publik yang berbeda-beda tergantung dari
cara masing-masing media melaksanakan
tiga tindakan tersebut.
Media massa sebagai sarana komunikasi
dan informasi memberi peran penting
dalam pembentukan opini publik. Namun
demikian, dalam kaca mata pengamat
media, banyak ditemukan berita-berita
yang bias dalam memandang sebuah kasus
atau isu tertentu. Sehingga terkesan adanya
pretensi yang bersifat konspiratif (hidden
agenda) baik yang bersifat politik maupun
interest (kepentingan). Sebagaimana
Peran Mediasi Citra Merek Dan Persepsi Risiko 31
Penampang 2.2
Kerangka Kerja Teori (Theoritical Framework)
Ekonomi Politik Media: Pemberitaan Pemilukada Banten 2011
Oleh Radar Banten dan Baraya TV
Kerangka kerja teori (penampang 2.2) dan ekonomi. Ada 3 (tiga) hal yang diukur,
dapat dijelaskan sebagai berikut. Wacana yaitu : Struktur, perilaku, dan kinerja atau
/ teks berita kampanye terjadi (6) terjadi biasa disebut S-C-P (Structure-Conduct-
berdasarkan realitas politik dalam peristiwa Performance) merupakan tiga pilar utama
Pemilukada (1) yang dilakukan oleh para yang dapat digunakan untuk melihat kondisi
pasangan calon, diliput oleh wartawan (2) struktur dan persaingan di dunia industri,
berdasarkan pertimbangan ke ”menarik” termasuk pasar media massa. Struktur pasar
an berita. Berita yang akan dimuat media media yang kepemilikannya terkonsentrasi
mengalami proses konstruksi realitas oleh sebagaimana indikasi adanya konglomerasi
media (wartawan – redaktur – pemimpin yang terjadi dalam peta persaingan pers
media ) (5). Konstruksi realitas tersebut daerah di Indonesia, dalam praktiknya
dipengaruhi oleh faktor internal berupa mempengaruhi perilaku perusahaan media
kebijakan bisnis media dan pemberdayaan yang secara bersama-sama menentukan
Sumber Daya yang dimiliki dan notabene kinerja sistem pasar media cetak di tanah air.
terbatas (3) di samping dipengaruhi pula
Dalam industri media, konglomerasi
oleh faktor eksternal berupa Fakta ekonomi
memiliki pengaruh yang cukup kuat, antara
(kebutuhan akan pemasukan/iklan) dan
lain ditunjukkan melalui pola-pola kerjasama
fakta politik (struktur kekuasaan di Banten)
yang dibangun dalam struktur jaringan,
(6) yang pada ujungnya akan memunculkan
sentralisasi sumber informasi dan distribusi,
berita atau opini (publik) dan konstruksi
serta homogenisasi sistem keagenan dalam
realitas dari pembuat teks berita (7).
jaringan distribusi dan sirkulasi. Pengaruh
konglomerasi tersebut pada akhirnya
Pendekatan Relasi Industri Media dan
membentuk karakteristik media yang khas,
Berita
menunjukkan output produk media dalam
Banyak cara untuk mengukur pola struktur pasar oligopoli.
hubungan antara media – struktur politik
32 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
Hoskins dkk (2004), Hiebert dkk (1991), b. Perilaku (Conduct). Menurut Fergu-
McQuaill (1992) dan Albarran (1996) son dan Ferguson (1994), istilah con-
mengemukakan 3 kerangka analisis yang duct mengacu pada perilaku perusa-
dapat menjelaskan berbagai sisi kerja haan terhadap pasar dalam menentukan
bisnis media. Ketiga kerangka tersebut harga (baik harga yang ditentukan se-
sekaligus merupakan indikator yang cara independen ataupun berdasar-
cukup relevan untuk menilai karakteristik kan kesepakatan), strategi produk dan
industri media karena menyajikan informasi iklan, serta riset dan inovasi (Wirth dan
pokok terkait dengan keunikan operasi Bloch, 1995). Penekanan hal ini ada-
bisnis media massa. Ketiga kerangka lah bagaimana perusahaan menentu-
analisis yang dimaksud meliputi struktur kan pilihan media iklan dan menyusun
ekonomi (structure), operasionalisasi anggaran belanja untuk riset/melaku-
perusahaan (conduct), dan kinerja kan penelitian terhadap produk dalam
perusahaan (performance). masyarakat. Scherer dan Ross (1990: 4)
mengidentifikasi dua variabel lain da-
Pendekatan SCP sendiri pertama
lam conduct: investasi dalam fasilitas
kali diperkenalkan oleh Mason (1939)
produksi (misalnya, bagaimana perusa-
yang kemudian diaplikasikan oleh Bain
haan menyusun anggaran) dan sesuai
(1951) melalui studi lintas disiplin (Wirth
dengan aturan hukum (yaitu penggu-
dan Bloch, 1995). Esensi pendekatan
naan sistem hukum untuk menentukan
SCP terhadap analisis organisasi industri
posisi perusahaan dalam pasar) (Wirth
adalah adanya hipotesis yang menyatakan
dan Bloch, 1995).
bahwa performance atau keberadaan pasar
(atau industri) dipengaruhi oleh perilaku c. Kinerja (Performance). Terdapat beber-
perusahaan dalam pasar, sedangkan apa kriteria yang dapat digunakan untuk
perusahaan dipengaruhi pula oleh menilai kinerja ekonomi industri media,
berbagai variabel yang membentuk struktur antara lain: keuntungan perusahaan;
pasar (Wirth dan Bloch, 1995). Berikut akan alokasi dan efisiensi produksi (dalam hal
dipaparkan masing-masing bagian: ini bagaimana caranya agar perusahaan
tidak mengeluarkan sumber daya den-
a. Struktur (Structure) mengacu pada gan percuma, dan bagaimana perusa-
struktur pasar yang biasanya ditentu- haan dapat menghasilkan produk yang
kan oleh rasio konsentrasi pasar. Rasio tepat baik dalam kuantitas, dan kualitas
konsentrasi pasar adalah perbandin- untuk memenuhi kepuasan konsumen);
gan yang mengukur distribusi pangsa dan distribusi pendapatan yang sesuai.
pasar dalam industri. Sebuah industri Lebih jauh, variabel performance yang
yang 70 % pangsa pasarnya dikuasai melengkapi pengambilan keputusan in-
oleh hanya 2 perusahaan dalam indus- dustri media mencakup bagaimana pe-
tri misalnya, dapat disebut memiliki rusahaan dalam pasar media member-
struktur pasar yang sangat terkonsen- ikan kontribusi terhadap kesempatan
trasi. Untuk menilai struktur pasar ini yang sama bagi para pegawainya. Un-
diperlukan sejumlah variabel, antara tuk keperluan analisis, variabel-variabel
lain jumlah penjual dan pembeli, ting- tersebut dapat disederhakan menjadi 3
kat diferensiasi produk, kemampuan indikator: (1) efisiensi, (2) penggunaan
perusahaan (khususnya bagaimana pe- teknologi, dan (3) kemampuan mening-
rusahaan menciptakan pilihan-pilihan katkan akses audiens (pembaca/penon-
produk bagi konsumen), kemampuan ton/pengakses).
perusahaan dalam menembus pasar
bebas, seperti memperoleh lisensi dari
pemerintah, franchise, hak monopoli, C. METODE PENELITIAN
hak paten, dan hambatan yang terkait Penelitian ini menggunakan pendekatan
dengan biaya. kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sebuah
Peran Mediasi Citra Merek Dan Persepsi Risiko 33
proses penelitian untuk memahami masalah Data yang telah dikumpulkan pada
sosial atau masalah manusia, berdasarkan penelitian dengan menggunakan
pada penciptaan gambaran holistik pendekatan penelitian kualitatif dengan
lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melakukan analisis terhadap teks berita
melaporkan pandangan informan secara kampanye Pemilukada. Menurut Patton
terperinci dan disusun dalam sebuah latar dalam Moleong (2006), analisa data
alamiah (Cresswell, 2002: 1). adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan data ke dalam suatu
Menurut Fraenkel & Wallen, (1990)
pola, kategori dan satuan uraian dasar.
penelitian kualitatif memusatkan perhatian
Dari pengertian ini, Patton membedakan
pada proses yang berlangsung. peneliti
antara analisis data dengan penafsiran,
terutama tertarik untuk memahami
yaitu memberikan arti yang signifikan
bagaimana suatu hal terjadi. semenatara itu
terhadap analisis, menjelaskan pola uraian,
menurut Lincoln & Guba, penelitian kualitatif
dan mencari hubungan di antara dimensi-
merupakan sebuah desain berkembang
dimensi uraian.
dalam hal hasilnya. pengertian dan
interpretasi dinegosiasikan dengan sumber
data manusia karena realitas subyeklah D. PEMBAHASAN
yang ingin dipahami peneliti (Cresswell,
2002:156). Relasi Media dan kekuasaan dalam praktik
ekonomi politik, masa Pemilukada Banten
Sedangkan paradigma penelitian yang tahun 2011 (Baraya TV dan Radar Banten)
digunakan adalah konstruktivis. Paradigma
konstruktivis merupakan penolakan Ekonomi politik sebagaimana
terhadap pandangan positivis/empiris yang sebagaimana dikemukakan oleh Robert
memisahkan objek dengan subjek. Faktor W.McChesney (1997) meliputi dua
sentral dari penelitian serta hubungan- aspek, Pertama, sebagai alamat yang
hubungan sosialnya. Subjek, menurut menghubungkan media dengan sistem
AS. Hikam (dalam Eriyanto, 2006, hal. 5), komunikasi pada suatu struktur masyarakat.
memiliki kemampuan melakukan kontrol Dengan kata lain, hal tersebut menguji
terhadap maksud-maksud tertetu dalam bagaimana media (dan sistem komunikasi)
setiap wacana. Bahasa dipahami sebagai dan isi saling menguatkan, menantang,
sesuatu yang diatur dan dihidupkan oleh atau mempengaruhi kelas (stratifikasi
peryataan-pernyataan yang bertujuan. masyarakat) yang sudah ada dan hubungan
Setiap pernyataan pada dasarnya adalah sosial.
tindakan penciptan makna, yakni tindakan Kedua, ekonomi politik komunikasi
pembentukan diri serta pengungkapan jati memperlihatkan kekhususan pada
diri dari sang pembicara. Wacana dalam bagaimana kepemilikan, mendorong kinerja
paradigma konstruktivis adalah suatu upaya atau mekanisme (misalnya periklanan),
pengungkapan maksud tersembunyi dari dan kebijakan pemerintah berpengaruh
sang subjek yang mengemukakan suatu terhadap perilaku media dan isi (berita atau
pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan informasi dalam media tersebut).
diantaranya dengan menempatkan diri pada
Sebagaimana sebuah masyarakat
posisi sang pembicara dengan penafsiran
yang mulai tumbuh dan bergeliat secara
mengikuti struktur makna dari pembicara.
“ekonomi”, biasanya partisipasi masyarakat
Metode pengumpulan data selain belum menyebar secara merata.
pengamatan atas teks dan berita / informasi Masyarakat secara umum, lebih bersifat
tentunya tidak cukup hanya dengan pasif. Dan kelompok lain yang lebih kecil
melakukan pengamatan, tetapi dalam dan sedikit justru bersifat aktif. Dalam
kelaziman dalam metode kualitatif adalah tatanan masyarakat yang relative baru
dengan melakukan wawancara secara berkembang, baik secara ekonomi maupun
mendalam (depth-interview). politik, peran kelompok elit pada awalnya
34 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
menjadi stimuli bagi berkembangnya Motif tersebut menjadikan proses dan kerja
partisipasi masyarakat yang lain. Mereka berita bukan lagi didasarkan pada landasan
(baca: massa) mengharapkan kiprah etis dan profesional, namun pada landasan
kelompok elit tersebut untuk memberikan politik. Motif politik mampu menjadi ruh
dorongan dan peran yang berpengaruh sekaligus menentukan arahnya sebuah
dan mempengaruhi masyarakat kelompok laporan.
non elit. Sehingga, suka tidak suka, dalam
Prosesnya berdasarkan kebijakan
kondisi tertentu, kelompok elit tersebut tidak
redaksional media yang menginginkan
menjadi ”masalah” serius bagi masyarakat.
adanya sebuah frame yang didasarkan atas
Karena, seperti disebutkan oleh Gaetano
kepentingan internal media. Individu atau
Mosca (Wijaya, 1986), kelompok elit diyakini
seorang jurnalis mengkonstruksi realitas
merupakan kelompok masyarakat yang
sosial, dan merekonstruksikannya dalam
“kuat” dan dominan secara ekonomi pada
dunia realitas, sekaligus memantapkan
awalnya. Dan selanjutnya, mereka akan
realitas itu berdasarkan kepentingan
merambah pula pengaruhnya pada bidang
institusi medianya. Hal itu juga diperkuat
politik.
oleh adanya latar belakang pendidikan,
Dalam halnya dengan sistem komunikasi agama, jenis kelamin, etnisitas, yang
lokal, praktik ekonomi-politik media, tidak kesemuanya turut mempengaruhi wartawan
banyak berpegaruh dalam praktik media, dalam menghasilkan sebuah liputan (media
setidaknya yang di teropong melalui praktik content). Akibatnya, cepat atau lambat,
jurnalistik dan bisnis media di Baraya TV dan media terjebak ke dalam trial by the press.
Radar Banten. Walaupun disadari bahwa,
Pasca lahirnya UU No. 40/1999,
“kedekatan” wartawan terhadap pimpinan
semakin memperkuat wacana kebebasan
partai politik tertentu berimbas pada spot
pers. Pers lalu mulai diarahkan pada peran
iklan.
tanggungjawab sosial mereka. Baik sebagai
Kedekatan wartawan dengan sistem maupun fungsi keempat dalam pilar
tokoh politik, menurut GM Baraya TV demokrasi. Munculnya otonomi daerah dan
(Maulana Wahid Fauzi), hal yang senada Pemilukada dengan beragam persoalan
dikemukakan Pemred radar Banten didalamnya diharapkan diimbangi
(Mashudi) saat diwawancara, memang tidak oleh keberadaan media local, sebagai
bisa dihindarkan. Selama mereka (baca: penyeimbang keberadaan dari pilar
wartawan Baraya TV) mampu bersikap keempat demokrasi dalam wilayah daerah.
objektif dan profesional, dianggap tidak Media lokal diharapkan bisa membaca
menjadi masalah. Namun akan lebih baik kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
jika wartawan tidak ”terlalu dekat” dengan dalam proses politik lokal yang didasarkan
partai atau tokoh politik tertentu, karena pada konteks masyarakat.
dikhawatirkan akan berpengaruh pada
Tentu yang diharapkan adalah bukan
pemberitaan. Dalam kondisi yang lebih
mengangkat salah satu nama calon, tapi
jauh, jangan sampai wartawan melakukan
kondisi yang terjadi. Masyarakat tidak
”framing” tertentu terhadap tokoh politik
akan tahu kredibilitas, kapabilitas maupun
atau partai politik atau pejabat tertentu.
loyalitas calon dalam musim kampanye.
Sehingga media lokal secara intens Karena kita tidak akan bisa melihat
kerap menciptakan suatu realitas yang kemampuan dari calon tersebut. Akan
dimiliki dan dialaminya secara subyektif. tetapi, kondisi yang nyaman dan demokratis
Subyektivitas tersebut muncul, terutama adalah harapan masyarakat.
jika terdapat tuntutan pragmatisme dari
Sehingga, konstruksi realitas yang
instiusi media yang harus dipenuhi oleh
dibangun bukan pada wilayah keunggulan
seorang jurnalis. Wujudnya adalah motif
calon. Tapi pada persoalan rasionalitas
kepentingan pada tingkat perorangan,
dan partisipasi penuh masyarakat terhadap
diantaranya yang bersifat politis (partisan).
Peran Mediasi Citra Merek Dan Persepsi Risiko 35
proses politik ini. Sehingga kontrol Sepintas relasi demikian adalah sesuatu
masyarakat terhadap pemerintah semakin yang lumrah terjadi antara penyedia jasa dan
ketat, dan media massa sebagai forum kliennya sebagaimana yang terjadi dalam
dialog antar komunitas tersebut. transaksi jasa lainnya. Namun persoalannya
menjadi lain manakala diingat bahwa media
Keberadaan pers lokal pada dasarnya
sesungguhnya mengemban fungsi kodrati,
adalah membangun kearifan lokal dalam
yakni kontrol sosial.
politik, sebab pers nasional tidak akan
mampu melakukannya karena harus melihat Dalam konteks Pemilukada, publik
kondisi masyarakat pembacanya. berharap agar media lokal mampu secara
kritis mengupas tuntas latar belakang setiap
Dalam pelaksanaan pemilihan kepala
calon penguasa daerah berikut program
daerah sejumlah calon kepala daerah tidak
yang ditawarkannya sehingga publik
terkecuali di Banten gencar melakukan memiliki pengetahuan yang cukup akurat
sosialisasi tentang profil, visi misi, dan guna menjatuhkan pilihan dengan tepat di
programnya. Berbagai isu strategis bilik suara nantinya. Asumsi yang mendasari
yang dianggap mampu mendongkrak ekspektasi publik sederhana saja; media
popularitas ditonjolkan, mulai dari sentimen lokal adalah media yang dianggap tahu
putra asli daerah, prestasi sebagai pejabat atau semestinya paling paham seluk-beluk
dalam rezim yang sedang berkuasa, permasalahan lokal.
program pengentasan kemiskinan,
Sayangnya, alih-alih menjadi pengawal
hingga keunggulan peringkat dalam jajak
demokrasi pada tataran lokal, yang banyak
pendapat.
terjadi adalah media lokal justru bermain
Dalam melakukan pendekatan mata dengan calon pemegang kekuasaan.
terhadap publik, hampir semua calon Keuntungan yang didapatkan dan terus
memanfaatkan media lokal, baik cetak diharapkan dari para calon penguasa
maupun elektronik. Bisa dimengerti, daerah baik selama masa sosialisasi maupun
media mampu menjangkau khalayak jika kelak menjabat menjadikan media lokal
sasaran yang lebih luas dibandingkan kerap kali tidak saja bersikap lunak, tetapi
berbagai cara konvensional, seperti rapat bahkan fasilitatif total terhadap kepentingan
umum, pemasangan spanduk, baliho, calon kepala daerah. Bukannya menurunkan
atau penempelan stiker. Kita menyaksikan laporan yang sesuai dengan kredo bad news
berbagai sosialisasi calon kepala daerah is good news demi kepentingan umum,
dikemas tidak saja dalam bentuk iklan kita mengamati begitu banyak media lokal
display, tetapi juga berita advertorial dan justru berlomba-lomba menampilkan
dialog interaktif yang melibatkan sejumlah yang terbaik dan terindah tentang elite
stasiun radio dan televisi swasta. Bukan hal politik yang menjadi kliennya. Serangkaian
yang aneh, bila seorang calon kepala daerah program yang digelar, mulai dari talk
bahkan menjadi sponsor tunggal kontes show hingga dialog interaktif kesemuanya
adu bakat muda-mudi yang ditayangkan mempunyai ending yang sama: puja-puji
untuk sang calon. Sepanjang seorang calon
oleh televisi lokal.
mampu menjalin “hubungan baik” dengan
Momen Pemilukada menciptakan relasi media, calon tersebut bisa menentukan apa
saling menguntungkan antara media lokal yang ingin dimuat, bagaimana pemberitaan
dan para kandidat calon kepala daerah. (coverage) tentang dirinya mesti dikemas
Kebutuhan setiap calon akan sosialisasi dan seterusnya.
diterjemahkan media sebagai peluang
Secara singkat media memiliki
emas untuk meraup pemasukan guna
dua peran. Pertama, media dapat
meneguhkan atau bahkan mempertahankan
mempengaruhi kebijakan institusi. Kedua,
eksistensi di tengah ketatnya persaingan media dapat dijadikan sebagai katalis atau
bisnis media lokal. penetral manakala terjadi konflik perubahan
36 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
Schieck (2003: 8) bahwa kehadiran media pada satu hal, minimnya profesionalisme.
yang independen dapat mengarah pada Profesionalisme pers dapat diindikasi dari
dua peran; Pertama, menjadi “anjing tiga tataran: mikro, meso, dan makro. Meski
penjaga” (watchdog) bagi pemerintah. kadang di antara tiga level ini tidak tegas
Kedua, mengedukasi publik atas berbagai pembedaanya karena saling tumpang tindih
isu yang berpengaruh terhadap kehidupan dan dipertautkan satu sama lain, namun
mereka sehari-hari. secara sederhana pengkategorian di atas
dapat mempermudah dalam pembahasan.
Interaksi ini terlihat di banyak sektor
kehidupan. Dalam konteks yang lebih Pertama, level mikro, yaitu produk akhir
politis, pemilu misalnya, menurut survei media berupa isi atau teks, yang secara
The Asia Foundation yang dikeluarkan pada sederhana terlihat dari berita yang disajikan.
2004, lebih dari 90 persen masyarakat Ketidakprofesionalan pers lokal terutama
menggunakan media sebagai sumber sangat terlihat dari berbagai pemberitaan
informasi pemilihan umum (Tim LSPP, tentang proses penyelengaraan pemilihan
2005: 2). Dari besarnya angka ini tentu kepala daerah yang ditampilkan kurang
sangat membuka penyalahgunaan berimbang. Terbukti dari penelitian
media sebagai sarana “main mata” antara yang dirilis LSPP tahun 2005 tentang isu
pemilik media dan elit politik daerah. transparansi (korupsi) dan pelayanan publik
Mulai dari kesepakatan transaksioal untuk terhadap 8 media cetak lokal di 4 wilayah
menyediakan space iklan politik, meliput (Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Barat,
pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi Nusa Tenggara Barat) memperlihatkan
yang mem-blow up aktivitas kampanye ketergantungan surat kabar lokal tersebut
pemilu. Kondisi ini lebih parah jika kebetulan yang masih tinggi dengan kekuasaan lokal.
pemilik media atau orang kuat di struktur Kondisi ini jelas mempersempit ruang
organisasi media adalah salah satu kandidat gerak media cetak sebagai pengontrol
peserta Pemilukada. Yang terjadi tidak lain kekuasaan (Tim LSPP, 2005: x). Pada
pers menjadi aparatus kepentingan sesaat penelitian tahun sebelumnya (2004), LSPP
guna menggalang konstituen di daerah melakukan monitoring terhadap 1.136
komunitasnya. Jelas dari bentuk-bentuk berita dari 10 surat kabar terkemuka
penyimpangan seperti ini, pers tidak lagi Indonesia pada periode 11-25 Maret 2004.
dapat berfungsi sebagaimana konsepsi Hasil yang diperoleh adalah kesimpulan
tradisional pers: majelis keempat demokrasi. bahwa media kurang memperhatikan asas
keberimbangan (cover both sides) dalam
Pilar keempat (the fourth estate),
menyajikan berita. Isu seputar KKN dan
tidak berarti pers harus memposisikan
uapaya reformasi militer misalnya, atau isu
diri “beroposisi” terhadap pemerintah
Dewan Perwakilan Daerah yang kandidatnya
atau “melawan” pemerintah. Kedudukan
mencapai ribuan orang, hanya memperoleh
pers dalam konsep majelis keempat sama
perhatian peliputan yang sangat minim
dengan parlemen, yang lebih ditekankan
dibanding peristiwa-peristiwa lain yang
pada sifat independensi atau kebebasan
diberitakan (Luwarso. ed, 2004).
menyebarkan informasi dan pendapat
tanpa rintangan dari pemerintah. Pers hanya Di sisi lain, secara teoritik, profesionalisme
bertanggung jawab secara yuridis kepada dalam berita mensyaratkan beberapa kondisi,
pengadilan, dan juga bertanggungjawab terutama objektivitas. Dalam konsepsi yang
etika kepada organisasi wartawan (Muis cenderung positivistik ini, definisi objektivitas
(2000: 56-57). dirumuskan dalam dua prinsip, yaitu
kesesuaian dengan kenyataan (factuality) dan
Tarik-menarik kepentingan antara pers
tidak memihak (impartiality).
dengan elite lokal dan penyalahgunaan
Prinsip factuality terdiri dari dua unsur,
fungsi pers lokal dalam proses pemilihan
yaitu benar (truth) dan relevan (relevance).
kepala daerah dapat dimungkinkan terjadi
Unsur benar (truth) ditentukan oleh
karena beberapa penyebab yang berpangkal
38 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan gaji tetap dari medianya (lihat misalnya Tim
fakta. Kebenaran akan kuat jika disertai LSPP, 2005: 102). Pada kasus lain, pendirian
akurasi pada seluruh unsur berita (5W+1H). pers merupakan agenda politik elite lokal
Keakuratan ini dalam praktiknya memerlukan yang membawa misi menjadikan media
kelengkapan (completeness) berbagai sebagai corong membela kepentingannya.
instrumen. Sementara itu, unsur-unsur Ini tampak dari nama-nama elite poltik lokal
yang digunakan untuk mengukur tingkat yang tercantum dalam masshead (struktur
relevance meliputi: (1) proximity psikografis, redaksional) suratkabar.
(2) proximity geografis, (3) timeliness,
Kurangnya profesionalisme pers lokal
(4) significance, (5) prominence dan
juga diperlihatkan dari kondisi wartawan
(6) magnitude. Item-item tersebut dikenal
yang tidak memiliki kompetensi dan
sebagai news values. Prinsip tidak
idealisme sehingga hanya menjadikan
memihak (impartiality) juga menentukan
institusi media lokal sebagai lahan mencari
tingkat objektivitas. Ada dua unsur yang
keuntungan. Kolaborasi mutualisme
mendukung ketidakberpihakan, yaitu
wartawan dengan pemerintah daerah
seimbang (balance) dan neutral. Seimbang
mengarah pada kesepakatan-kesepakatan
adalah memberi tempat yang adil pada
yang menyimpang dari idealisme dan
pandangan yang berbeda, sering disebut
etika jurnalistik dilegalkan dalam anggaran
dengan istilah cover both sides, sedangkan
pemerintah daerah (APBD), mulai dari biaya
netral berarti harus ada pemisahan antara
perwatan gedung PWI, pembinaan ini itu,
fakta dan opini pribadi wartawan (McQuail,
hingga mensponsori sejumlah kegiatan
2000: 196 – 222).
fiktif bagi para wartawan. Inilah yang
Mengungkap fakta dengan seharusnya dihapuskan dalam anggaran
objektivitas sesuai unsur-unsur yang pemerintah daerah sekaligus ditolak oleh
telah disebutkan di atas, maka dengan wartawan. Penghapusan pos tersebut
sendirinya media akan menjadi dapat mendudukkan pers pada posisi yang
anjing penjaga (watchdog) terhadap proporsional sebagai lembaga independen.
berbagai penyelewengan, baik
Ketiga, indikasi untuk melihat
di level negara (state) maupun
profesionalisme pers lokal adalah pada
masyarakat (public), termasuk perorangan.
tataran makro yang merujuk pada
Dalam kondisi ini masyarakat akan berpikir
dinamikan sosial budaya, ekonomi politik,
serta menentukan sendiri, mana yang
konteks sejarah, dan regulasi media. Isu
benar dan mana yang salah. Pers tidak
yang mencolok dari aspek makro adalah
perlu mendikte atau mengarahkan, cukup
ketidakjelasan aturan main bagi pers
mengungkap fakta apa adanya, dan
lokal dalam mengartikulasikan fungsinya.
masyarakatlah yang memberi penilaian.
Penegakan etika yang kurang tegas, siapa
Kedua, indikasi profesionalisme pers yang memberi sanksi dan sanksi apa
lokal dapat dilihat dari elemen meso. yang dilakukan jika terjadi pelanggaran
Aspek ini meliputi dinamika proses-proses tampaknya belum sepenuhnya diakomodasi
memproduksi dan mengonsumsi teks dengan baik oleh berbagai sistem hukum
media. Hal mencolok dalam pembahasan di negara kita, dalam pengertian lemah
ini adalah lemahnya manajemen pers lokal pada aspek penegakan, bukan pada bunyi
dengan SDM yang kurang kompeten serta pasal-pasal perundang-undangan. Di sisi
tidak profesional. Selain itu, lemahnya lain, dari segi historis, menjamurnya pers
manajemen media ini juga berujung lokal juga tidak sepenuhnya berangkat
pangkal pada rendahnya kesejahteraan dari basis pemikiran kontemplatif bagi
hidup jurnalis lokal, yang dalam banyak kemanfaatan publik, melainkan tak lebih
kasus diberi gaji di bawah standar UMR. sebagai tren, bahkan euforia kebebasan
Bahkan, ada sebagian wartawan daerah yang pada titik tertentu ternyata tidak
yang hanya memperoleh kartu pers tanpa dipahami maknanya oleh baik pengelola
Peran Mediasi Citra Merek Dan Persepsi Risiko 39
pers maupun publik media itu sendiri. (Tim LSPP, 2005). Dari besarnya angka ini
Inilah yang mendorong perlunya lembaga tentu sangat membuka penyalahgunaan
pengawas media (media watch) yang media sebagai sarana “main mata” antara
independen guna mengingatkan jika terjadi pemilik media dan elit politik daerah.
penyelewengan oleh pers. Selain itu bagi Mulai dari kesepakatan transaksional untuk
masyarakat diperlukan edukasi bermedia menyediakan space iklan politik, meliput
melalui pendidikan literasi media sehingga pelantikan pejabat daerah, hingga publikasi
mereka tidak hanya menjadi objek pasif yang mem-blow up aktivitas kampanye
media, melainkan memiliki kesadaran pemilu. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika
peran sebagai stakeholder aktif yang kebetulan pemilik media atau orang kuat
berhak terlibat dalam proses produksi dan di struktur organisasi media adalah salah
distribusi informasi. satu kandidat peserta Pemilukada. Yang
terjadi tidak lain pers lokal menjadi aparatus
Dalam sebuah tulisan di Majalah Time,
kepentingan sesaat guna menggalang
Henry Gunward pernah menulis jargon: no
konstituen di daerah pemilihan. Jelas dari
democracy without free press. Statement
bentuk-bentuk penyimpangan seperti ini,
ini senada dengan pidato Presiden Thomas
pers tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana
Jefferson yang sangat populer: “Jika saya
konsepsi tradisional pers: majelis keempat
disuruh memilih antara pemerintah tanpa
demokrasi yang artinya pers sebagai pilar
pers yang bebas dan pers bebas tanpa
pengawas kekuasaan.
pemerintah, maka saya akan memilih pers
bebas tanpa pemerintah”. Hal itu tidaklah aneh di tengah semangat
desentralisasi dan kebebasan informasi
Di tengah semangat desentralisasi dan
yang diusung pasca gerakan reformasi
kebebasan informasi, terlebih dengan telah
1998, bangkitnya industri media lokal telah
lahirnya UU No. 14 tahun 2008 tentang
memberi kontribusi dalam tradisi bermedia
Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Semakin
dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Tak
membangkitkan industri pers lokal untuk
terkecuali di Banten.
memberi kontribusi dan warna baru dalam
tradisi bermedia dan kehidupan demokrasi Berdasarkan sinyalemen tersebut,
di Indonesia. Namun demikian, lanskap ada 3 (tiga) hal yang menjadi perhatian
kehidupan bermedia, terutama di ranah sentral: Pertama, tinjauan teoritik mengenai
lokal masih menunjukkan karut marut relasi media, demokrasi, dan proses menuju
persoalan yang berkelindan dan pelik untuk demokratisasi di ranah lokal. Kedua,
diurai. Netralitas pers lokal dalam pemilihan sebagai respon dari penyelenggaraan
kepala daerah (Pemilukada) misalnya, atau otonomi daerah, media memegang peran
eksistensinya yang lebih mengutamakan vital sebagai mediator informasi antar
fungsi ekonomi daripada aspek informatif- pemimpin politik dengan konstituennya,
edukatif bagi publik daerah adalah dua maka diskusi tentang netralitas media
isu utama yang mengemuka, bahkan dalam pemilihan kepala daerah menjadi
berpotensi mereduksi peran pers; alih-alih penting untuk dikemukakan. Apalagi
menjadi pilar keempat (fourth estate) yang dinamika industri media lokal di tanah air
mengawal proses demokratisasi, justru pasca Orde Baru menunjukkan bagaimana
misfungsi menjadi kepanjangan tangan tarik menarik kepentingan antara media,
“raja-raja” daerah yang menyokong pemerintah lokal, dan pengiklan (termasuk
kepentingan kekuasaan jangka pendek, pemerintah yang juga kerap berposisi
nasionalisme kesukuan, dan primordialisme sebagai pengiklan) dalam proses konstruksi
lokal. berita politik yang disajikan media lokal.
Ketiga, pentingnya peran media lokal
Menurut survei The Asia Foundation
dalam proses demokratisasi di Indonesia,
yang dikeluarkan pada 2004, lebih dari 90
sekaligus memberikan tawaran alternatif
persen masyarakat menggunakan media
bagaimana seharusnya format media lokal
sebagai sumber informasi pemilihan umum
40 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
manajemen media yang pada gilirannya kekuatan yang signifikan dalam melakukan
mampu menyehatkan perusahaan dan produksi dan reproduksi citra politik
meningkatkan kesejahteraan para pekerja dan isi media sebagai realitas yang telah
media yang bersangkutan. Gempuran dikonstruksikan(constructed reality) ,hal
persaingan dengan media-media lain juga ini seperti pendapat Tuchman,1980. Maka
akan menguji sampai sejauh mana eksistensi dari itu munculah rumusan “Siapa yang
media daerah di masa-masa mendatang. menguasai media maka akan menguasai
Dalam menyikapinya maka peningkatan dunia”, jika kita hubungkan pada konteks
kapasitas manajerial harus dilakukan melalui Pemilukada maka calon yang dapat
profesionalisme. Terakhir, publik pembaca menguasai opini publik maka dia akan lebih
juga harus berupaya meningkatkan berpeluang untuk menang.
pemahaman tentang melek media (media
Independensi dan netralitas media,
literacy) sehingga dapat meningkatkan
dalam hal ini Radar Banten, ketimbang
apresiasi dan partisipasi bermedia
Baraya TV, patut dipertanyakan. Alih alih
secara sehat dan kritis guna mendorong
mengusung profesionalisme media, media
terciptanya good local government dalam
lokal tampak lebih cenderung memerankan
arti sesungguhnya, yaitu menjamin adanya
sebagai institusi ekonomi, dengan lebih
partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
mengedepankan praktik-praktik ekonomi
Kekuatan media begitu dahsyat melalui spot iklan (kampanye) yang
dalam menyebar arus informasi secara mendapat space lebih besar dan lebih
cepat dan meluas. Para calon jelas lebih ”longgar”.
memanfaatkan media massa sebagai
Melihat kondisi seperti ini, nampaknya
sarana untuk bersosialisasi agenda politik.
fenomena ekonomi media, menampakkan
Publik secara otomatis akan terbius
wajah yang sebenarnya. Dalam arti,
oleh manisnya informasi melaui media
media relatif kesulitan melakukan tugas
massa yang telah disetting. Hal ini sangat
jurnalistiknya dengan konsisten dengan
bersinggungan dengan teori jarum
penilaian ketidaknetralan oleh beberapa
hipodermiks (hypodemic nodle), yaitu teori
pihak dan di pihak lain, pemanfaatan
klasik mengenai proses terjadinya efek
kesempatan memperoleh ”ceruk” iklan,
media massa. Dalam teori ini, isi media
cukup dominan. Hal tersebut, dianggap
dipandang sebagai obat yang disuntikan ke
sebagai hal yang sering ditemui dalam
dalam pembuluh audien, yang kemudian
fenomena media lokal, terutama pada saat-
diasumsikan akan bereaksi seperti yang
saat pemilukada.
diharapkan. Media memang memliki
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2005. Analisis Framing (Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media). LKIS. Yogyakarta
Eriyanto, 2006. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. LKIS. Yogyakarta
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Kencana. Jakarta.
Cresswell, John W. 2002. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. KIK
Press. Jakarta
Denzin Norman K. dan Egon Guba. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. (Penyunting
Agus Salim). Jakarta
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa (suatu studi Critical
Discourse Analysis terhadap berita-berita Politik). Granit, Jakarta.
Juanedie, Kurniawan. 1980. Pers Indonesia. Gramedia, Jakarta.
42 Komuniti, Vol. IX, No. 1, Maret 2017 p-ISSN: 2087-085X, e-ISSN: 2549-5623
Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama. 2005. Jurnalistik : Teori dan Praktek. Rosda Karya.
Bandung
Moeleong, Lexy. 2006. Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda Karya, Bandung
Mulyana, Dedi. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Nurudin, 2003. Komunikasi Massa. Cespur. Malang
Severin J, Werner dan Tankard Jr. W. James. 2007. Teori Komunikasi : Sejarah, Metode, dan
Terapan di Dalam Media Massa : Terjemahan. Jakarta. Kencana
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengatar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. LKIS. Yogyakarta
Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. LKIS. Yogyakarta
Suwardi, Harsono. 1993. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia. Sinar Harapan, Jakarta.
Venus, Antar. 2004. Manajemen Kampanye. Simbiosa Rekatama Media.Bandung
Sumber lain :
Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, 1993. Komunikasi dan Politik
Jurnal Komunikasi ”Mediator”. 2002. Risalah penelitian karya Yenni Yuniati ”Pengaruh Media
Terhadap Persepsi Politik”. Unisba Press, Bandung.
Jurnal Komunikasi ”Thesis”. Januari-Juli. 2005
Mansyur, Johansyah. 2005. Thesis. ”Anlisis Kebebasan Pers Terhadap Pemberdayaan Politik
Masyarakat : Studi Framing pada Harian Pedoman Rakyat dan Harian Fajar, tentang
Suksesi Gubenrnur Sulsel. Usahid. Jakarta
Nashrudin, Achmad P. 2007. Thesis ” Framing Pemberitaan Kampapanye Pemilukada Banten
2006 pada koran Radar Banten dan Fajar Banten. Tidak dipublish.
Panuju, Redi. 2003. Framing Analysis. Makalah. Surabaya: Universitas dr. Sotomo
Sobur, Alex. 2000. Jurnal Sosial dan Pembangunan : Paradigma Komunikasi Politik dalam
Mewujudkan Masyarakat Madani. Unisba Press, Bandung
Peraturan Perundang-udangan :
UU No. 40 Tahun 1999, Pers
UU No. 32 Tahun 2002, Penyiaran
UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Daerah
Sumber Lain :
www.kompas.com
www.radarbanten.com
Luthvia.net
Manunggal K Wardaya, Unsoed Purwokerto, 2008.
Blog Iwan Kurniawan (dosen Prodi Komunikasi UII), 2008
Peran Mediasi Citra Merek Dan Persepsi Risiko 43
Baraya TV
Radar Banten, 5 – 18 Oktober 2011
Republika, 26 Mei 1999
Kompas, 20 Juni 2006
Kompas, 12 November 2011