Anda di halaman 1dari 18

TEORI

EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA


(Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Komunikasi Massa)

DOSEN PENGAMPU :
Siti Nurbaya, M.Si

DISUSUN OLEH :
Chaeroni Fajrin (11180510000054)
Hafizah (11180510000076)
Hanna Ambar Ayu (11180510000064)
Mestika Mourena (11180510000212)
Ahmad Raihan (11180510000263)
Hayatun Nufus (11180510000194)
Meysy Anju Aprilia (11180510000070)
Afriza Irma Della (11180510000048)
Monica Laila (11180510000078)
Aufa Baskara (11180510000268)
Nisrina Nibras (11180510000219)
Afif Raga Johandi (11180510000166)

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan kasih sayangnya
kepada kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Berikut ini akan kami persembahkan sebuah makalah yang berjudul “TEORI EKONOMI
POLITIK MEDIA MASSA”

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan secara keseluruhan. Apabila
terdapat kesalahan dalam makalah ini kami mohon maaf dan kami menerima masukan berupa
kritik dari pembaca untuk menyempurnakan makalah selanjutnya.

Dengan demikian kami ucapkan terimakasih juga kepada pembaca yang telah
mempelajari materi dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua dan menambah pengetahuan seta wawasan baru mengenai Teori Ekonomi Politik Media
Massa.

Ciputat, 7 November 2019

Penyusun

2
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seperti yang sudah diketahui masyarakat luas, media menjadi salah satu pasar yang
sangat strategis dan dominan di suatu negara khususnya di Indonesia. Media telah mengalami
pasang surut dari masa ke masa,dari menjadi alat untuk revolusi kemerdekaan di masa awal
republik ini berdiri (1945-1955), menjadi pers partisan selama periode (1965-1980) dan
kemudian menjadi industri yang menjanjikan pada akhir 1980-an.
Dugaan yang berkembang kuat selama ini adalah reformasi telah mengubah performa dan
sikap pers secara umum. Lepasnya masa orde baru menyebabkan memudarnya kontrol
pemerintah, sehingga dekmokratisasi pers semakin terbuka lebar. Akibatnya, industri media
massa di tanah air tumbuh sangat pesat. Banyak pengamat media meyakini, semenjak
reformasi bergulir kebebasan media (baik cetak maupun elektronik) kembali memasuki masa
bulan madu. Akan tetapi kata bebas ini dapat bermakna lain sebab sulit mempercayai bahwa
media adalah entitas yang benar-benar mandiri tampilanya kebebasan media juga tak luput
dari bawah “kendali” negara.
Maka di era reformasi kita menyaksikan wajah institusi media ini sepenuhnya berada
dalam kendali pasar dengan para industrialis dan konglomerat media sebagai pemain, pemilik
sekaligus penguasa barunya. Seiring dengan terjadinya revolusi teknologi penyiaran
informasi, korporasi-korporasi media terbentuk dan menjadi besar dengan cara kepemilikan
saham, penggabungan dalam join-venture, pembentukan kerjasama, atau pendirian kartel
komunikasi raksasa yang memiliki puluhan bahkan ratusan media.
Sejak era reformasi tahun 1998 lanskap media di Indonesia berubah secara drastis.
Contohnya saja sebelum tahun 1998, hanya ada 279 perusahaan media cetak dan hanya lima
stasiun televisi swasta. Kurang dari satu dekade berikutnya, jumlah televisi swasta bertmbah
dua kali lipat dan media cetak meningkat tiga kali lipat. Fenomena ini bukanlah semata-mata
fenomena bisnis, melainkan fenomena ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan.
Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan

4
dengan bagaimana langkah sosial, citra, berita, pesan, dan kata-kata dikontrol dan
disosialisasikan kepada masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penjelasan mengenai Teori Ekonomi Politik Media?
2. Apa saja fungsi Teori Ekonomi Poltik Media?
3. Bagaimana penjelasan mengenai konseptualisasi konglomerasi

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui penjelasan Teori Ekonomi Politik Media
2. Untuk mengetahui fungsi dari Teori Ekonomi Politik Media
3. Untuk mengetahui penjelasan mengenai konseptualisasi konglomerasi

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori ekonomi politik media

Ekonomi politik media terkait dengan masalah kapital atau modal dari para
investor yang bergerak dalam industri media. Para pemilik modal menjadikan media
sebagai usaha untuk meraih untung, dimana keuntungan tersebut diinvestasikan
kembali untuk pengembangan medianya. Sehingga pengakumulasian keuntungan itu,
menyebabkan kepemilikan media semakin besar. Dalam menjalankan media, investor
mempekerjakan karyawan untuk menghasilkan produk media. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang bagaimana media memproduksi isi, mendistribusikan sehingga
bernilai ekonomis.

Teori ekonomi politik memiliki kekuatan pada tiga hal yaitu berfokus pada
bagaimana media dibangun dan dikendalikan, menawarkan penyelidikan empiris
mengenai keuangan media, dan mencari hubungan antara proses produksi konten
media dan keuangan media.1Teori ekonomi politik bersifat kritis, dimana teori ini
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuai dan menyediakan cara-cara
pengganti untuk menafsirkan peran sosial media.

Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa,
dimana keduanya dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat. Teori ini mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang
dilakukan para praktisi media yang membatasi kemampuan mereka untuk menantang
kekuasaaan yang sedang mapan. Dimana penguasa membatasi produksi konten yang
dilakukan pekerja media, sehingga konten media yang diproduksi tersebut kian
memperkuat status quo. Sehingga menghambat berbagai upaya untuk menghasilkan
perubahan sosial yang konstruktif. Upaya penghambatan para pemilik pemodal,
bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi politik ini, yang justru aktif bekerja
demi perubahan sosial.

1
Baran, Stanley J dan Davis Dennis, Teori Komunikasi Massa Dasar, pengelolaan, dan Masa Depan, Salemba
Humanika, Jakarta, 2010
6
Karena itu, menurut Barant (2010:263), para teoritikus ekonomi politik
menitikberatkan pada bagaimana proses produksi konten dan distribusi dikendalikan.
Kekuatan utama teori ini terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan
yang dapat dibuktikan secara empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar.
Salah satu kelemahan aliran ekonomi politik ialah unsur-unsur yang berada dalam
kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja
pasar bebas. Walaupun aliran memusatkan perhatian pada media sebagai proses
ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun aliran ini kemudian melahirkan
ragam aliran baru yang menarik, yakni ragam aliran yang menyebutkan bahwa media
sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian media mengarahkan perhatian
khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada
batas-batas tertentu.

Ekonomi politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan
antara struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media.2
Melihat hal ini maka institusi media merupakan sebagai bagian dari sistem ekonomi
dengan hubungan erat kepada sistem politik. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
sumber media yang independen, konsentrasi pada khalayak yang lebih luas,
menghindari risiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas media yang
kurang menguntungkan. Pada sisi lainnya, media juga akan mengabaikan
kepentingan khalayak potensial yang kecil dan miskin, karena dinilai tidak
menguntungkan. Kemudian pemberitaan terhadap kelompok masyarakat minoritas,
cenderung tidak seimbang. Barant (2011:250) menyebutnya teori ekonomi politik
media fokus pada penggunaan elite sosial atas kekuatan ekonomi untuk
mengeksploitasi institusi media.

Vincent Mosco menawarkan tiga konsep untuk mendekatinya yakni:


komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization) dan strukturasi
(structuration) (Mosco, 1996:139).

1. Komodifikasi (commodification)

2
McQuail, Dennis, Teori Komunikasi Massa McQuail, Salemba Humanika, Jakarta, 2012
7
Menurut Moscow, komodifikasi yaitu proses mengubah makna dari sistem
fakta atau data yang merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya
sebagai komoditi yang dapat dipasarkan.3
Menurut Vincet Moscow, terdapat tiga bentuk komodifikasi dalam media:
(Vincent Mosco, 1996:156)
a. Komodifikasi Isi, yakni proses mengubah pesan dan sekumpulan data ke
dalam system makna sedemikian rupa sehingga menjadi produk yang dapat
dipasarkan.
b. Komodifiasi Khalayak, yakni proses media menghasilkan khalayak untuk
kemudian menyerahkanya kepada pengiklan.
c. Komodifikasi Tenaga Kerja, yakni proses pemanfaatan pekerja sebagai
penggerak kegiatan produksi, sekaligus distribusi dalam rangka menghasilkan
komoditas barang dan jasa.
Moscow dalam kata-katanya “Commucification is the process of transforming
use value into exchange values”, komodifikasi adalah proses perubahan barang
dan jasa yang semula dinilai semata-mata karena nilai kegunaannya menjadi
komoditas yang dinilai karena ia laku di pasar sehingga menguntungkan. Dalam
ekonomi politik, komodifikasi didefinisikan secara sederhana oleh Vincent
Moscow, sebagai proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar. (Vincent
Mosco, 1996: 129)
Komodifikasi menjadi titik masuk untuk memahami praktik- praktik dan
institusi-institusi komunikasi yang khusus. Seperti adanya ekspansi komodifikasi
yang umum dan mengglobal pada era1980-an, sebagai tanggapan atas
kemerosotan pertumbuhan ekonomi global, yang berakibat pada peningkatan
komersialisasi program media, privatisasi institusi telekomunikasi dan media
publik, serta liberalisasi pasar komunikasi, termasuk tempat-tempat yang semula
dipandang sebagai wilayah dengan rezim tertutup, seperti di Timur Tengah dan
Cina, dimana komodifikasi dibatasi.4
Dengan beroperasinya praktik ideologi kapitalisme dalam berbagai ranah
kehidupan dan budaya sehari-hari, kita bisa melihat berbagai wajah komodifiasi
yang berlangsung, termasuk dalam bidang media dan komunikasi.

3
Vincent Moscow, The Political Economy Of Communication 1 ed, Sage Publications, London
4
Syaiful Halim, Postkomodifikasi Media, Jalasutra, Yogyakarta , 2013
8
Vincent Moscow memformulasikam komodifikasi yang terjadi di media
menjadi tiga bentuk komodifikasi, yakni: (Vincent Moscow, 1996 :168-170)
1. Content Commodification (Komodifikasi Isi)
Komodifikasi isi, yakni proses mengubah pesan dan sekumpulan data ke
dalam sistem makna menjadi produk-produk yang dapat dipasarkan.5 Sebagai
contoh, beberapa media massa sengaja menyajikan informasi-informsi
bertema sensasional, mistik maupun informasi yang mengandung sensualitas
untuk mendapatkan keuntungan sebanyak- banyaknya.
Komodifikasi isi menjadi pusat perhatian kajian ekonomi politik media dan
komunikasi. Ketika pesan atau isi komunikasi diperlakukan sebagai
komoditas, ekonomi politik cenderung memusatkan kajian pada konten
media. Tekanan pada struktur dan konten media ini bisa dipahami terutama
bila dilihat dari kepentingan perusahaan media global dan pertumbuhan dalam
nilai konten media.(Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, 2014:
20)
Menurut pandangan Marxisme klasik, isi media merupakan komoditas untuk
dijual di pasaran, dan informasi yang disebatkan diatur oleh apa yang akan
diambil oleh pasar.(Stephen W. Litteljohn dan Karen A. Foss, 2011: 433)

2. Audience Commodification (Komodifikasi Khalayak)


Selain pada isi, komodifikasi juga diterapkan pada khalayak. Ekonomi politik
menaruh beberapa perhatian pada khalayak, khususnya dalam upaya untuk
memahami praktik umum dengan cara pengiklan membayar untuk ukuran dan
kualitas (kecenderungan untuk konsumsi) khalayak yang dapat diraih surat
kabar, majalah, website, radio, atau program televisi.(Idi Subandy Ibrahim
dan Bachruddin Ali Akhmad, 2014: 20)
Media Massa merupakan konsep sebuah proses yang sebenarnya
memproduksi penonton dan mengantarkannya kepada pihak
pengiklan.(Vincent Moscow, 1996: 136-137)
Dengan memakai wacana yang di populerkan oleh Smythe (1977) dalam the
audience commodity, komodifikasi khalayak ini menjelaskan bagaimana
sebenarnya khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan
konsumen dari budaya yang didistribusikan melalui media. Khalayak pada

5
Gun-Gun Heryanto, Komunikasi Politik di Era Industri Citra, PT. Lasswell Visitama, Jakarta, 2010
9
dasarnya merupakan entitas komoditi itu sendiri yang bisa dijual.(Rulli
Nasrullah, 2012: 169)

3. Labour Commodification (Komodifikasi Pekerja)


Selanjutnya untuk mengkaji proses komodifikasi isi dan khalayak media,
penting untuk mempertimbangkan komodifikasi tenaga kerja media. Tenaga
kerja komunikasi yang juga dikomodifikasi sebagai buruh upahan telah
tumbuh secara signifikan dalam pasar tenanga kerja media.(Idi Subandy
Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, 2014: 21)
Tenaga kerja merupakan sebuah kekuatan untuk membayangkan,
menggambarkan, mendesain suatu pekerjaan, dan kemudian mewujudkannya
dalam kenyataan.(Vincent Moscow, 1996: 139)
Bahwa perusahaan media massa pada kenyataannya tak berbeda dengan
pabrik-pabrik. Para pekerja tidak hanya memproduksi konten dan
mendapatkan penghargaan terhadap upaya menyenangkan khalayak melalui
konten tersebut, melainkan juga menciptakan khalayak sebagai pekerja yang
terlibat dalam mendistribusikan konten sebagai suatu komoditas.(Rulli
Nasrullah, 2012: 170)

Bila digambarkan dalam sebuah bagan/tabel, maka model


komodifikasinya akan seperti di bawah ini:
Komodifikasi Media (Syaiful Halim, 2013: 48)

10
Proses transformasi menggunakan nilai- Pesan sebagai komoditas yang
nilai hidup yang digunakan manusia yang menyenangkan khalayak,
menjadi nilai yang bisa ditukarkan, seperti mengundang para pemasang
nilai tukar mata uang Dolar iklan, dan memeperpanjang
bisnis media yang ditandai
dengan penyajian informasi-
insformasi bertema sensasional
Komodifikasi Isi
meliputi kehidupan seputar
artis dan selebritas, mistik atau
takhayul, serba-serbi seks,
juga remeh-temeh yang
dilakukan politisi atau pejabat,
serta dikemas secara
spektakuler.

Khalayak sebagai komoditas yang


ditawarkan kepada pengiklan, dengan
menempatkannya dalam segmentasi,
Khalayak target, dan positioning sebuah kegiatan
pemasaran, sekaligus aset pasar yang
dapat menyerap produk-produk yang
diiklankan.

Pekerja sebagai pendukung kegiatan


produksi yang tidak diperhitungkan
Pekerja
kemampuan konseptual dan
kreativitasnya, karena peran itu diambil
alih oleh kelas manajerial

11
Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan teori ekonomi politik media
dari Vincent Moscow dengan memfokuskan salah satu entry concept nya yaitu
komodifikasi untuk meneliti komodifikasi yang terjadi pada Media Indonesia, baik itu
komodifikasi isi, khalayak, maupun pekerja. Selain itu, dalam konteks ini pula
komodifikasi ekonomi politik media dijadikan pisau analisis untuk melihat bagaimana
komodifikasi yang dilakukan oleh Media Indonesia dijadikan sebagai kekuatan
Ekonomi dan Politik dari pemiliknya yang merupakan politisi sekaligus pengusaha,
Hary Tanoesoedibjo.

2. Spasialisasi (spatialization)
Spasialisasi, yakni proses untuk mengatasi hambatan ruang dan waktu dalam
kehidupan sosial oleh perusahaan media dalam benyak perluasan usaha guna
meningkatkan keuntungan perusahaan atau industri media.(Udi Rusadi, 2015:18)
Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional
media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.
Dalam ekonomi politik media, spasialisasi sebagai suatu cara untuk memahami
hubungan power-geometris bagi proses menetapkan ruang, khususnya ruang yang
dilalui arus komunikasi.(Dedi Fahrudin, 2014: 97) Lebih lanjut, Moscow membahas
spasialisasi dengan integrasi secara vertikal dan horizontal.
Integrasi vertikal adalah konsentrasi perusahaan dalam satu jalur usaha atau garis
bisnis yang memperluas kendali sebuah perusahaan atas produksi. Pada prakteknya,
integrasi vertikal adalah cross-ownership (kepemilikan silang) beberapa jenis media
seperti surat kabar, stasiun radio, majalah, dan tabloid oleh suatu grup perusahaan
media massa.
Integrasi horizontal adalah ketika sebuah perusahaan yang berada di jalur media
yang sama membeli sebagain besar saham pada media lan, yang tidak ada
hubungannya langsung dengan bisnis aslinya atau ketika perusahaan mengambil alih
sebagain besar saham atau perusahaan yang sama sekali tidak bergerak dalam bidang
media.(Gun Gun Heryanto, 2010:282) Misalnya Media Group yang memiliki usaha di
bidang perhotelan dan katering.

12
3. Strukturasi (structuration)
Strukturasi, yakni proses penggabungan agensi manusia (human agency) dengan
proses perubahan sosial ke dalam jenis struktur-struktur. Dengan kata lain, strukturasi
merupakan keterkaitan antar struktur dan human agency sebagai dualitas yang bisa
menjamin keberlangsungan suatu sistem (media). Dengan memberikan posisi-posisi
jabatan struktur yang ada dalam kelompok tersebut, diharapkan dapat memainkan
peranan penting dalam setiap bidang yang telah diembannya.
Strukturasi ini menyeimbangkan kecenderungan dalam analisis ekonommi politik
untuk menggambarkan struktur seperti lembaga bisnis dan pemerintahan dengan
menunjukan dan menggambarkan ide-ide agensi, hubungan sosial dan proses serta
praktek sosial.( Dedi Fahrudin, 2014: 99)

B. Fungsi Teori Ekonomi Politik Media


Teori ekonomi politik media memiliki beberapa fungsi di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Teori ekonomi politik media membantu kita memahami perubahan sosial dan
transformasi historis.
2. Teori ekonomi politik media membantu kita memahami totalitas sosial.
3. Teori ekonomi politik media membanu kita memahami filsafat moral yakni nilai-
nilai sosial dan konsepsi praktek-praktek sosial yang sesuai.
4. Teori ekonomi politik media membantu kita memahami hasil aktivitas manusia
yang bebas dan kreatif yang mengubah dirinya sendiri maupun dunia sekitarnya.

C. Konseptualisasi Konglomerasi
Perkembangan bisnis media melalui bentuk kegiatan korporasi usaha di Indonesia
yang menimbulkan kontroverisal dibanding dengan aktivitas usaha konglomerasi.
Konglomerasi adalah sejumlah pelaku konglomerat yang menanamkan sahamnya pada
tumbuhnya kelompok (Grup) perusahaan dalam satu tangan, sedemikian rupa sehingga
praktis seluruh kebijakan manajemen yang pokok ditentukan oleh satu pusat.(Djafar

13
Assegaf, 1994:263) Bahwa pengertian konglomerat adalah sebagai kata benda yang
artinya pengusaha. Konglomerasi ini merupakan satu kesatuan yang sangat besar
kekuatannya, sehingga mudah mengalahkan pesaingnya, bisa mengatur harga transaksi
antar perusahaan (untuk menghindari pajak), bisa mengadakan subsidi silang sehingga
harganya selalu bisa bersaing, dan mempunyai “barganing power” yang sangat
kuat.(Priasmono dkk, 1994: 17)
Menurut Anggito Abimanyu, konglomerasi dalam istilah bisnis bisa diartikan
sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan usaha atau bisnis qdalam berbagai
macam bidang yang kurang terkait satu sama lain. Di Indonesia, khususnya pada
negara berkembang, bisnis konglomerat diasosiasikan dengan bisnis pemilikan
keluarga.(Anggito Abimayu, 1994:1) Konglomerat dapat diartikan sebagai seseorang
atau unit usaha yang bergerak dalam berbagai bidang usaha dengan sejumlah
perusahaan atau afiliasi bisnisnya.
Kegiatan usaha konglomerasi ini, dalam konteks kegiatan orientasi yang memiliki
kinerja ekonomi atau bisnis yang handal dan hal tersebut dapat disinyalir kurang
sepadan dengan fasilitas yang dimilikinya. Dalam hal kedudukan swasta semakin kuat,
dan konsentrasi berbagai kegiatan semakin tinggi, dan konglomerasi tumbuh hampir
tanpa pengaturan, maka kebijaksanaan-kebijaksanaan intervensi semakin tinggi
investasinya.

14
15
16
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pertumbuhan industri media di manapun berkaitan erat dengan sistem ekonomi politik,
Perubahan situasi ekonomi politik di Indonesia juga mempengaruhi dinamika industri media.
Tidak hanya sebagai salah satu saluran kepentingan politik, media saat ini juga telah menjadi alat
bisnis yang sangat kuat. Di media, ‘perkawinan’ antara politik dan bisnis sangat jelas terlihat.
Pendek kata, industri media telah menjadi bisnis yang berorientasi pada profit daripada sebuah
medium publik. Lebih jauh lagi, kekuasaan untuk mengendalikan media. Karena didalam
menentukan mana yang lebih didahulukan antara bisnis atau politik itu tergantung pada situasi.
Selain itu,adil tidak harus 50% 50%.
Media terus menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia, oleh karena
itu perkembangan industri media selalu penting bagi masyarakat. Jadi seharusnya media lebih
bijak menggunakan frekuensi hak publik untuk mengutamakan pelayanan pada kepentingan
masyarakat.
Seiring banyaknya informasi yang disuguhkan oleh media, semakin banyak pula kebutuhan
masyarakat untuk mengetahui situasi dan kondisi dunia di luar sana, karena media massa mampu
mempresentasikan dirinya sebagai salah satu kebutuhan masyarakat, dan saat ini media massa
telah menjadi sebuah industri yang sangat berkembang, korporasi-korporasi media telah
terbentuk. Di Indonesia, kepemilikan media juga diatur dalam UU penyiaran No. 32 tahun 2002,
bahwa dalam hal kepemilikan ini MNC banyak sekali manaungi beberapa perusahaan yang
bergerak dalam media massa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Baran, Stanley J & Davis Dennis, K. 2010. Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan,
dan Masa Depan, Jakarta: Salemba Humanika

McQuail, Dennis. 2012. Teori Komunikasi Massa McQuail, Jakarta: Salemba Humanika

Moscow, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication 1st ed. London: Sage
Publications.

Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi, edisi 9. Jakarta:
Salemba Humanika.

Heryanto, Gun Gun. 2010. Komunikasi Politik di era Industri Citra. Jakarta: PT. Lasswell
Visitama.

Halim, Syaiful. 2013. Postkomodifikasi Media. Yogyakarta: Jalasutra.

18

Anda mungkin juga menyukai