Anda di halaman 1dari 13

Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

PENDAHULUAN

Media massa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sosial dan kehidupan
bernegara. McQuail (2002: 66) dalam bukunya “Mass Communication Theories” dalam
Subiakto (2012) mengatakan bahwa setidaknya ada enam perspektif dalam melihat peran
media. Pertama, media massa dipandang sebagai window on events and experience. Media
dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang sedang
terjadi di luar sana ataupun

pada diri mereka sendiri. Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in
society and the world, implying a faithful reflection. Yaitu, cermin berbagai peristiwa yang
ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Ketiga, memandang media
massa sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian
atau tidak. Keempat, media massa acap kali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan
atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai
ketidakpastian atau alternatif yang beragam.

Adapun kelima, melihat media massa sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai
informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan
umpan balik. Terakhir, keenam, media massa sebagai interlocutor, yang tidak hanya
sekadar tempat berlalu lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang
memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.

Istilah “media” berasal dari kata Latin (tunggal: medium-ii) yang bearti sesuatu “di antara”.
Selain itu juga bermakna sesuatu yang “muncul secara publik”, “milik publik”, atau
“mediasi” dan karenanya merujuk pada sebuah ruang publik sebuah locus publicus.
Demikian esensi dari media tidak bisa dipisahkan dari persoalan antara ranah publik dan
privat, yang kerap kali problematis. Media memediasi kedua ranah itu untuk mencari
kemungkinan (atau ketidak-mungkinan) terhadap hidup bersama. Dalam hal ini, apa yang
membentuk media terentang cukup luas mulai dari ruang fisik seperti lapangan, alun- alun,
teater, dan tempat-tempat pertemuan, hingga non- fisik seperti: surat kabar, radio, televisi,
internet, dan ruang untuk interaksi sosial. Wujud non-fisik inilah yang paling banyak
dirujuk. Dengan raison d’être ini, tujuan adanya media adalah untuk menyediakan sebuah
ruang di mana publik dapat berinteraksi dan terlibat secara leluasa terkait hal-hal yang
berkenaan dengan keprihatinan publik. Gagasan ini bisa dilacak dari pandangan Habermas
mengenai ranah publik (1987, 1984).

Habermas mendefenisikan ranah publik sebagai sebuah kumpulan dari individu- individu
privat mendiskusikan hal-hal terkait keprihatinan bersama dan dengan kekuatan media,
gagasan privat bisa dengan cepat menjadi opini publik. Gagasan ini penting tidak hanya
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

dalam memahami bagaimana rasionalitas publik bisa “dibentuk” dan bahwa seharusnya
ada lebih banyak kehati-hatian mengenai batasan antara ranah privat dan publik,
melainkan juga memberi petunjuk bahwa apa yang di maksud dengan “publik” selalu
sangat erat kaitannya dengan politik (Habermas, 1989).

Relevansi terhadap gagasan ini, jika berbicara mengenai kelompok yang terpinggirkan
adalah perlindungan terhadap hak mereka sebagai bagian dari publik. Sebagaimana ranah
publik adalah sebuah arena di mana setiap warga dapat berdiskusi, berdeliberasi, dan
membentuk opini publik; kelompok-kelompok rentan dan minoritas pun memiliki hak
untuk turut ambil bagian. Untuk memastikan ranah publik yang berfungsi baik, akses bagi
suara mereka yang terpinggirkan tentulah esensial (Ferree, Gamson et al ̧ 2002).

Media Massa sebagai Ruang Publik

Konsepsi ruang publik atau public sphere dapat dikatakan merupakan penciptaan ruang
sosial di antara negara (state) dan masyarakat (civil society), di dalamnya setiap warga
negara dapat terlibat dalam pertukaran pikiran dan berdiskusi bersama untuk
membicarakan urusan publik tanpa harus berada dalam kontrol dan intervensi negara
maupun kekuatan ekonomi. Kesan penciptaan uang inilah yang kemudian dapat
diperankan oleh media massa yang berfungsi sebagai institusi sekaligus medium sirkulasi
informasi bagi negara dan masyarakat untuk memperbincangkan masalah publik.
Perwujudan ruang publik lewat media massa lalu disadari sebagai bagian penting yang
dapat dijadikan basis dalam menegakkan demokrasi dan penguatan civil society. Oleh
karenanya pengendalian dan intervensi terhadap media massa oleh negara maupun pasar
secara sistematis, sama saja halnya dengan mengendalikan kepentingan publik. Dengan
demikian, media seharusnya diposisikan steril dan netral dari berbagai tekanan yang
mempengaruhinya agar dapat menjalankan fungsi ruang publiknya secara ideal. Namun
dalam tataran praktiknya hal itu tentu saja sangatlah sulit untuk diimplementasikan.
Bagaimanapun juga media massa pada level praktik adalah bagian dari institusi bisnis,
yang menjadikan profit sebagai orientasi utama mereka. Sehingga logika seberapa besar
margin antara pengeluaran modal dan keuntungan yang diperoleh menjadi kerangka kerja
mendasar yang sudah terinternalisasi dalam institusi pengelola media massa.

Sebagai sebuah terminologi dalam sebuah kajian sosial, ruang publik atau public sphere
diperkenalkan dan dipopulerkan oleh Habermas 1962. Ruang publik atau public sphere
dalam uraian Habermas adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada seluruh
realitas kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat untuk bertukar pikiran,
berdiskusi serta membangun opini publik secara bersama. Dalam pengertian tersebut,
ruang publik tidak hanya diasosiasikan pada keberadaan ruang sosial secara fisik, namun
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

juga menyangkut institusi sosial beserta saluran komunikasi yang memungkinkan publik
untuk dapat menyalurkan opini atau pendapatnya secara bebas tanpa tekanan dari negara.

Gagasan utama Habermas mengenai public sphere terdapat dalam buku “Strukturwandel
Del Offentlicteit; Untersuchungen Zu Einer Kategorie Der Burgerlichen Gesellschaff (1962),
dalam Bahasa Inggris (1989) “The Structural Transformation of The Public Sphere”.

Kondisi dan situasi seperti itu menjadikan media massa tak ubahnya semata komoditas
industri. Sebagai sebuah entitas komoditas, akan selalu ada kekuatan tertentu yang
mendominasi media massa, entah itu pengusaha kapitalis atau elit politik yang berada
dalam struktur penguasa. Media massa diyakini bukan sekadar medium pengantar
informasi antar elemen sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai
instrumen penundukan dan pemaksaan konsensus oleh sekelompok orang yang secara
ekonomis dan politik dominan. https//www.kompasiana/)Media Massa dan Terbentuknya
Ruang Publik Baru).

Perkembangan Media Penyiaran Indonesia

Lanskap industri media di Indonesia telah berubah drastis sejak jatuhnya pemerintahan
orde baru Soeharto pada Mei 1998. Sejak saat itu, industri media di Indonesia menjadi
sangat liberal. Hal ini mempengaruhi semua jenis media massa— termasuk koran, majalah,
tabloid, stasiun radio, dan televisi serta media Internet. Selain media lokal dan nasional,
jaringan media internasional juga cepat bermunculan di pasar Indonesia setelah sempat
dilarang beroperasi selama rezim Soeharto, yang menerjemahkan hingga 80% muatan
aslinya ke dalam bahasa Indonesia dan memberi ruang untuk menambah sejumlah konten
lokal. Sebagai perbandingan sebelum tahun 1998, ada sejumlah 279 media cetak dan hanya
5 stasiun televisi swasta. Kurang dari satu dekade kemudian, jumlah stasiun televisi swasta
berlipat ganda dan jumlah media cetak menjadi tiga kali lipat. Demikian juga dengan
stasiun radio, peningkatannya tak hanya dalam hal jumlah, tetapi media massa juga diberi
ruang lebih untuk membuat dan mengkreasikan konten, terutama berita, setelah selama
bertahun-tahun merupakan sebagai kewajiban meneruskan siaran stasiun radio
pemerintah (RRI) dan Televisi Republik Indoensia (TVRI). Seiring dengan terjadinya
revolusi teknologi penyiaran dan informasi, industri media terbentuk dan menjadi besar
dengan cara kepemilikan saham, penggabungan dalam joint-venture, pembentukan kerja
sama, atau pendirian kartel komunikasi raksasa yang memiliki puluhan bahkan ratusan
media. (Saverin dan Tankard, 2007). Sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia
pada masa orde baru yaitu TVRI mampu menjangkau wilayah nusantara hingga pelosok
dengan menggunakan satelit komunikasi ruang angkasa kemudian berperan sebagai
corong pemerintah kepada rakyat.Sebelum tahun 1990an,TVRI menjadi single source
information bagi masyarakat dan tidak dipungkiri bahwa kemudian timbul upaya media ini
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

dijadikan sebagai media propaganda kekuasaan. Seiring dengan kemajuan demokrasi dan
kebebasan untuk berekspresi, pada tahun 1989 pemerintah mulai membuka kran ijin
untuk didirikannya televisi swasta. Tepatnya tanggal 24 Agustus 1989 Rajawali Citra
Televisi atau RCTI mulai siaran untuk pertama kalinya. Siaran pada waktu itu hanya
mampu diterima dalam ruang lingkup yang terbatas yaitu wilayah Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) saja kemudian daerah lain memanfaatkan decoder
untuk merelay siarannya.

Setelah RCTI kemudian disusul berurutan oleh Surya Citra Televisi (SCTV) pada tahun
1990 dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada tahun 1991. Siaran nasional RCTI dan
SCTV baru dimulai tahun 1993 kemudian pada tahun 1994 berdiri ANTeve dan Indosiar.
Hingga saat ini tercatat ada 11 stasiun televisi yang mengudara secara nasional, selain
stasiun tersebut di atas ada Trans TV, Global TV, Metro Tv ,TV7. TV One.

Gambar 1.

Perkembangan Stasiun TV Nasional di Indonesia

Sumber : Wikipedia 2019.

Industri media telah tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa, tetapi tidak semuanya
dapat bertahan. Dalam industri media, kelangsungan hidup ditentukan oleh konteks
ekonomi politik. Meskipun sejumlah audiens Indonesia bisa menonton lm global dan
program televisi yang populer, tetap ada kekhawatiran mengenai konsentrasi kekuasaan.
Hal ini merefleksikan trend global, yakni hanya sejumlah kecil perusahaan media yang
benar-benar memiliki dan mengontrol perkembangan industri media (termasuk dalam hal
akses terhadap media) dan memiliki kekuasaan atas distribusi konten ke belahan dunia
lain (Gabel dan Bruner, 2003).

Lebih lanjut, Saverin dan Tankard mengatakan fenomena tersebut bukanlah semata-mata
fenomena bisnis melainkan fenomena ekonomi politik yang melibatkan kekuasaan.
Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan
juga dengan bagaimana lanskap sosial, citraan, berita, pesan, dan kata-kata kontrol dan di
sosialisasikan kepada layak ramai ataupun publik (masyarakat).
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

Contoh dalam korporasi media saat ini, khususnya televisi, di Indonesia seperti PT. MNC
Group, PT. Trans Corp, dan lain sebagainya. Selama orde baru, bisnis media terkonsentrasi
pada segelintir pelaku bisnis dan aktor politik yang mempunyai akses kuat ke lingkaran
kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk menghendaki upaya-upaya yang mengarah pada
konsolidasi dan konvergensi dalam bisnis media modern. Konsentrasi semacam ini
menimbulkan paradoks yang berkaitan dengan fungsi media sebagai ruang publik dengan
sejumlah fungsi-fungsi sosial yang melekat di dalamnya.

Ekonomi Politik Media

Menurut Doyle (2002) perkembangan media massa yang liberal dan global mencerminkan
dominannya dunia struktur politik dan ekonomi, dan pemilik modal. Dalam era globalisasi
maklumat yang melanda negara-negara di dunia termasuk Indonesia muncul
kecenderungan organisasi media komunikasi yang lebih mementingkan aspek komersial.
Ketidak adilan media massa sebagai medium suara rakyat mendapat kecaman daripada
berbagai kelompok masyarakat.

Pendekatan ekonomi politik pada dasarnya mengaitkan aspek ekonomi (seperti


kepemilikan dan pengendalian media), keterkaitan kepemimpinan dan faktor-faktor lain
yang menyatukan industri media dengan industri lainnya, serta dengan elit politik,
ekonomi dan sosial. Atau dalam bahasa El1iot, studi ekonomi politik media melihat bahwa
isi dan makud yang terkandung dalam dalam pesan-pesan media ditentukan oleh dasar
ekonomi dari organisasi media yang menghasilkannya. Organisasi media komersial harus
memahami kebutuhan para pengiklan dan harus menghasilkan produk yang sanggup
meraih pemirsa terbanyak. (Sudibyo, A, 2000)

Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa, dimana keduanya
dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori ini
mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang dilakukan para praktisi media
yang membatasi kemampuan mereka untuk menantang kekuasaaan yang sedang mapan.
Dimana penguasa membatasi produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga
konten media yang diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga
menghambat berbagai upaya untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif.
Upaya penghambatan para pemilik pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi
politik ini, yang justru aktif bekerja demi perubahan sosial.

Menurut Barant (2010:263), para teoritikus ekonomi politik menitikberatkan pada


bagaimana proses produksi konten dan distribusi dikendalikan. Kekuatan utama teori ini
terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan secara
empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar. Salah satu kelemahan aliran
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

ekonomi politik ialah unsur-unsur yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah
dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Walaupun aliran memusatkan
perhatian pada media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun
aliran ini kemudian melahirkan ragam aliran baru yang menarik, yakni ragam aliran yang
menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian media
mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik
media sampai pada batas-batas tertentu.

Ekonomi politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara
struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media.
(McQuail,2011:105). Melihat hal ini maka institusi media merupakan sebagai bagian dari
sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi pada khalayak

yang lebih luas, menghindari risiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas media
yang kurang menguntungkan. Pada sisi lainnya, media juga akan mengabaikan kepentingan
khalayak potensial yang kecil dan miskin, karena dinilai tidak menguntungkan. Kemudian
pemberitaan terhadap kelompok masyarakat minoritas, cenderung tidak seimbang. Barant
(2011:250) menyebutnya teori ekonomi politik media fokus pada penggunaan elite sosial
atas kekuatan ekonomi untuk mengeksploitasi institusi media. (Sucahya.M, 2013)

Chomsky seperti dikutip oleh David Cogswell (2006) menyatakan bahawa media massa
adalah sistem pasaran yang terpimpin, didorong oleh keinginan mencari keuntungan. Hal
ini menandakan bahawa media massa tidak lagi netral. Pada era demokratik dan liberal
seperti sekarang media massa penyiaran tidak lagi dipandang sebagai kekuatan civil
society yang harus dijamin kebebasannya, disebaliknya dilihat sebagai kekuatan kapitalis,
bahkan politik elit tertentu. Kekuatan media massa itu berupaya mengkooptasi,bahkan
menghegemoni negara sehingga masyarakat. Hal inilah yang perlu dicermati secara kritis
oleh para penggiat demokratik, termasuk para wartawan. Jangan sampai kekuatan
demokratik dibelenggu atas nama kebebasan media massa untuk kepentingan politik para
kapitalis penguasa media massa. Dalam masalah pendemokrasian sistem media massa,
keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kuasa. Penggunaan kuasa
dalam media massa pula bergantung pada faktor fasilitas ekonomi maupun politik. Dalam
era globalisasi maklumat yang melanda negara-negara dunia,muncul kecenderungan
bahwa organisasi media massa lebih mementingkan aspek komersial, kepentingan politik
dan pemilik modal (Giddens.A.1993.Peter Golding & Graham Murdock(2000).Keadaan
inidapat menjadi sebagai penghalang pendemokrasian sistem media

massa.
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

Dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership) mempunyai


arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media, dan efek yang ditimbulkan media
kepada masyarakat. Karena itu pertanyaan-pertanyaan mengenai “apakah perbedaan
pemilik media akan juga berarti adanya perbedaan pada konten media?” atau “apakah
perbedaan pemilik media dapat memberikan implikasi yang berbeda pula kepada
masyarakat selaku audience media?” menjadi sangat relevan.

Bagan 1. Faktor Penghalang Pendemokrasian Sistem Media Massa

Sumber : Golding dan Murdock (2000)

Menurut Giddens,sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan


pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock
melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah
hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan
peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan
(wealth), kekuasaan (power) dan privilege.

Kepemilikan media yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu
negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah sangat
sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam semangat kapitalisme.
Para peneliti, baik liberal maupun Marxis, sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan
media berhubungan erat pada kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah
term yang selalu dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media.

Dewasa ini kecenderungan industri media sebagai alat kapitalisme menjadi semakin nyata.
Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin
memonopoli dan bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin
terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja. Dalam menjelaskan fenomena tersebut
Peter Gollding dan Graham Murdoch mengatakan
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

“Media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and


media barons who are becoming fewer in number but through acquisition, controlled the
larger part of the world’s mass media and mass communication” (2000: 71).

Menurut Feintuck, regulasi penyiaraan mengatur tiga hal yakni struktur, tingkah laku, dan
isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar,
regulasi tingkah laku (behavioural regulation)dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana
penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor,dan regulasi isi(content
regulation) yang menjadi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Mengatur atau membatasi pemusatan kepimilikan media massa,khususnya penyiaran yang
menggunakan ranah publik (public domain) perlu dilakukan untuk menjamin adanya
keragaman kepemilikan (diversity of ownership), keragaman isi (diversity of ownership),
dan kebergaman pendapat di media (diversity of voice).Menurut Giddens,sebagaimana
dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat
“ditundukkan”dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat
antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan yang tidak langsung.

Perspektif ekonomi politik adalah proses produksi berita tidak ubahnya seperti relasi
ekonomi yang ditempatkan sebagai alat-alat atau komponen yang menghasilkan
keuntungan dan peningkatan modal bagi media massa. Asumsi sederhananya adalah
bahwa isi media lebih diatur oleh kekuatan-kekuatan ekonomi media.

Relasi Media dan kekuasaan dalam praktik ekonomi politik, masa Pemilukada
Banten tahun 2011 (Baraya TV dan Radar Banten)

Ekonomi politik sebagaimana sebagaimana dikemukakan oleh Robert W.McChesney


(1997) meliputi dua aspek, Pertama, sebagai alamat yang menghubungkan media dengan
sistem komunikasi pada suatu struktur masyarakat. Dengan kata lain, hal tersebut menguji
bagaimana media (dan sistem komunikasi) dan isi saling menguatkan, menantang, atau
mempengaruhi kelas (stratifikasi masyarakat) yang sudah ada dan hubungan sosial.

Kedua, ekonomi politik komunikasi memperlihatkan kekhususan pada bagaimana


kepemilikan, mendorong kinerja atau mekanisme (misalnya periklanan), dan kebijakan
pemerintah berpengaruh terhadap perilaku media dan isi (berita atau informasi dalam
media tersebut).

Sebagaimana sebuah masyarakat yang mulai tumbuh dan bergeliat secara “ekonomi”,
biasanya partisipasi masyarakat belum menyebar secara merata. Masyarakat secara
umum, lebih bersifat pasif. Dan kelompok lain yang lebih kecil dan sedikit justru bersifat
aktif. Dalam tatanan masyarakat yang relative baru berkembang, baik secara ekonomi
maupun politik, peran kelompok elit pada awalnya
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

menjadi stimuli bagi berkembangnya partisipasi masyarakat yang lain. Mereka (baca:
massa) mengharapkan kiprah kelompok elit tersebut untuk memberikan dorongan dan
peran yang berpengaruh dan mempengaruhi masyarakat kelompok non elit. Sehingga, suka
tidak suka, dalam kondisi tertentu, kelompok elit tersebut tidak menjadi ”masalah” serius
bagi masyarakat. Karena, seperti disebutkan oleh Gaetano Mosca (Wijaya, 1986), kelompok
elit diyakini merupakan kelompok masyarakat yang “kuat” dan dominan secara ekonomi
pada awalnya. Dan selanjutnya, mereka akan merambah pula pengaruhnya pada bidang
politik.

Dalam halnya dengan sistem komunikasi lokal, praktik ekonomi-politik media, tidak
banyak berpegaruh dalam praktik media, setidaknya yang di teropong melalui praktik
jurnalistik dan bisnis media di Baraya TV dan Radar Banten. Walaupun disadari bahwa,
“kedekatan” wartawan terhadap pimpinan partai politik tertentu berimbas pada spot iklan.

Kedekatan wartawan dengan tokoh politik, menurut GM Baraya TV (Maulana Wahid


Fauzi), hal yang senada dikemukakan Pemred radar Banten (Mashudi) saat diwawancara,
memang tidak bisa dihindarkan. Selama mereka (baca: wartawan Baraya TV) mampu
bersikap objektif dan profesional, dianggap tidak menjadi masalah. Namun akan lebih baik
jika wartawan tidak ”terlalu dekat” dengan partai atau tokoh politik tertentu, karena
dikhawatirkan akan berpengaruh pada pemberitaan. Dalam kondisi yang lebih jauh, jangan
sampai wartawan melakukan ”framing” tertentu terhadap tokoh politik atau partai politik
atau pejabat tertentu.

Sehingga media lokal secara intens kerap menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan
dialaminya secara subyektif. Subyektivitas tersebut muncul, terutama jika terdapat
tuntutan pragmatisme dari instiusi media yang harus dipenuhi oleh seorang jurnalis.
Wujudnya adalah motif kepentingan pada tingkat perorangan, diantaranya yang bersifat
politis (partisan).

Motif tersebut menjadikan proses dan kerja berita bukan lagi didasarkan pada landasan
etis dan profesional, namun pada landasan politik. Motif politik mampu menjadi ruh
sekaligus menentukan arahnya sebuah laporan.

Prosesnya berdasarkan kebijakan redaksional media yang menginginkan adanya sebuah


frame yang didasarkan atas kepentingan internal media. Individu atau seorang jurnalis
mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, sekaligus
memantapkan realitas itu berdasarkan kepentingan institusi medianya. Hal itu juga
diperkuat oleh adanya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, etnisitas, yang
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

kesemuanya turut mempengaruhi wartawan dalam menghasilkan sebuah liputan (media


content). Akibatnya, cepat atau lambat, media terjebak ke dalam trial by the press.

Pasca lahirnya UU No. 40/1999, semakin memperkuat wacana kebebasan pers. Pers lalu
mulai diarahkan pada peran tanggungjawab sosial mereka. Baik sebagai sistem maupun
fungsi keempat dalam pilar demokrasi. Munculnya otonomi daerah dan Pemilukada
dengan beragam persoalan didalamnya diharapkan diimbangi oleh keberadaan media
local, sebagai penyeimbang keberadaan dari pilar keempat demokrasi dalam wilayah
daerah. Media lokal diharapkan bisa membaca kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
dalam proses politik lokal yang didasarkan pada konteks masyarakat.

Tentu yang diharapkan adalah bukan mengangkat salah satu nama calon, tapi kondisi yang
terjadi. Masyarakat tidak akan tahu kredibilitas, kapabilitas maupun loyalitas calon dalam
musim kampanye. Karena kita tidak akan bisa melihat kemampuan dari calon tersebut.
Akan tetapi, kondisi yang nyaman dan demokratis adalah harapan masyarakat.

Sehingga, konstruksi realitas yang dibangun bukan pada wilayah keunggulan calon. Tapi
pada persoalan rasionalitas dan partisipasi penuh masyarakat terhadap proses politik ini.
Sehingga kontrol masyarakat terhadap pemerintah semakin ketat, dan media massa
sebagai forum dialog antar komunitas tersebut.

Keberadaan pers lokal pada dasarnya adalah membangun kearifan lokal dalam politik,
sebab pers nasional tidak akan mampu melakukannya karena harus melihat kondisi
masyarakat pembacanya. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah sejumlah calon
kepala daerah tidak terkecuali di Banten gencar melakukan sosialisasi tentang profil, visi
misi, dan programnya.Berbagai isu strategis yang dianggap mampu mendongkrak
popularitas ditonjolkan, mulai dari sentimen putra asli daerah, prestasi sebagai pejabat
dalam rezim yang sedang berkuasa, program pengentasan kemiskinan, hingga keunggulan
peringkat dalam jajak pendapat.

Dalam melakukan pendekatan terhadap publik, hampir semua calon memanfaatkan media
lokal, baik cetak maupun elektronik. Bisa dimengerti, media mampu menjangkau khalayak
sasaran yang lebih luas dibandingkan berbagai cara konvensional, seperti rapat umum,
pemasangan spanduk, baliho, atau penempelan stiker. Kita menyaksikan berbagai
sosialisasi calon kepala daerah dikemas tidak saja dalam bentuk iklan display, tetapi juga
berita advertorial dan dialog interaktif yang melibatkan sejumlah stasiun radio dan televisi
swasta. Bukan hal yang aneh, bila seorang calon kepala daerah bahkan menjadi sponsor
tunggal kontes adu bakat muda-mudi yang ditayangkan oleh televisi lokal.

Momen Pemilukada menciptakan relasi saling menguntungkan antara media lokal dan para
kandidat calon kepala daerah. Kebutuhan setiap calon akan sosialisasi diterjemahkan
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

media sebagai peluang emas untuk meraup pemasukan guna meneguhkan atau bahkan
mempertahankan eksistensi di tengah ketatnya persaingan bisnis media lokal.

Sepintas relasi demikian adalah sesuatu yang lumrah terjadi antara penyedia jasa dan
kliennya sebagaimana yang terjadi dalam transaksi jasa lainnya. Namun persoalannya
menjadi lain manakala diingat bahwa media sesungguhnya mengemban fungsi kodrati,
yakni kontrol sosial.

Dalam konteks Pemilukada, publik berharap agar media lokal mampu secara kritis
mengupas tuntas latar belakang setiap calon penguasa daerah berikut program yang
ditawarkannya sehingga publik memiliki pengetahuan yang cukup akurat guna
menjatuhkan pilihan dengan tepat di bilik suara nantinya. Asumsi yang mendasari
ekspektasi publik sederhana saja; media lokal adalah media yang dianggap tahu atau
semestinya paling paham seluk-beluk permasalahan lokal.

Sayangnya, alih-alih menjadi pengawal demokrasi pada tataran lokal, yang banyak terjadi
adalah media lokal justru bermain mata dengan calon pemegang kekuasaan. Keuntungan
yang didapatkan dan terus diharapkan dari para calon penguasa daerah baik selama masa
sosialisasi maupun jika kelak menjabat menjadikan media lokal kerap kali tidak saja
bersikap lunak, tetapi bahkan fasilitatif total terhadap kepentingan calon kepala daerah.
Bukannya menurunkan laporan yang sesuai dengan kredo bad news is good news demi
kepentingan umum, kita mengamati begitu banyak media lokal justru berlomba-lomba
menampilkan yang terbaik dan terindah tentang elite politik yang menjadi kliennya.
Serangkaian program yang digelar, mulai dari talk show hingga dialog interaktif
kesemuanya mempunyai ending yang sama: puja-puji untuk sang calon. Sepanjang seorang
calon mampu menjalin “hubungan baik” dengan media, calon tersebut bisa menentukan
apa yang ingin dimuat, bagaimana pemberitaan (coverage) tentang dirinya mesti dikemas
dan seterusnya.

Secara singkat media memiliki dua peran. Pertama, media dapat mempengaruhi
kebijakan institusi. Kedua, media dapat dijadikan sebagai katalis atau penetral manakala
terjadi konflik perubahan institusional. Hal ini menguatkan keyakinan bahwa media sangat
berperan penting bagi institusi politik.

Baik institusi politik, pemerintah, maupun kekuatan kekuasaan lain pasti akan selalu
memiliki kepentingan terhadap media massa. Hal ini tidak dapat dihindari, karena media
adalah alat yang paling efektif untuk melakukan hegemoni dan mempengaruhi
masyarakat.Padahal di sisi lain, media massa harus dijaga independensinya sebagai salah
satu pilar demokrasi.
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

Politik akan selalu mengejar otoritas untuk melebarkan kekuasaanya. Otoritas merupakan
bagian dari kekuasaan. Otoritas adalah kekuasaan yang terlindungi secara hukum untuk
menjalankan kekuasaan atas diri orang lain. Otoritas memiliki legitimasi, sehingga
kemudian dapat membuat masyarakat mau menerima kebijakan dan mengakui wewenang
negara sebagai pemilik kekuasaan.

Jack Snyder (2003, sebagaiamana dikutip Tim LSPP, 2005: 8) melihat peran positif yang
dapat dimainkan media lokal, seperti sebagai pendidik, pengidentifikasi masalah, penyedia
forum, dan penguat (revitalitator) sosiokultural bagi komunitasnya. Robert Dahl (seperti
dirujuk Oetama, 2001: 76) menyebut peran pers yang bebas sebagai “the availability of
alternative and independent sources of information”. Peran utama ini bersinergi dengan
prinsip-prinsip good local governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas di
tingkat lokal. Partisipasi berarti adanya peran aktif masyarakat dalam pengambilan
keputusan. Transparansi didasarkan pada adanya mekanisme penjaminan akses umum
bagi pengambilan keputusan. Sedangkan akuntabilitas menyatakan seberapa besar
efektivitas pengaruh dari pihak yang diperintah (objek) terhadap pihak pemerintah
(subjek). Sementara itu Keane (1991:116-117) menggarisbawahi pentingnya media
sebagai pelayan publik (public servant) yang memiliki andil besar dalam negara demokrasi.
Andil ini terutama menyangkut ketersediaan informasi yang berguna bagi kehidupan
publik.

Selain kontribusi dalam menjamin proses demokratisasi, di satu sisi, media lokal juga
membawa efek ambivalen karena kuatnya nilai primordialisme dan keterdekatan
sosiokultural-ekonomi pemodal media dengan stakeholder daerah yang menyebabkan
media lokal juga memiliki posisi dilematis, misalnya dalam peliputan Pemilukada
(Kandyawan, 2005). Synder (2003) dengan berbagai penelitiannya bahkan menyimpulkan
pers lokal bisa mengobarkan kepentingan jangka pendek, terutama karena pada masa awal
demokratisasi-bermedia terjadi, suasana berpendapat bebas terjadi, pers lebih mudah
didirikan, dan semuanya bisa menjadi alat bagi para maniak kekuasaan untuk menaikkan
posisinya (Haryanto, 2005; Tim LSPP, 2005: 8).

Dengan kata lain, pers daerah kadang- kadang gagal menjaga jarak dan ikut larut secara
emosional dengan dinamika kompetisi sosial politik dan konflik di wilayahnya, akibatnya
liputan menjadi kurang berimbang. Di sisi lain, tekanan pasar, baik yang berupa ketatnya
persaingan antar media maupun kehausan publik bawah terhadap tuntutan sensasionalitas
berita, sering memperkeruh proses dan wajah liputan pers daerah (Kandyawan, 2005) .
Jurnal SEMIOTIKA Jamhur Poti

Vol.13 (No. 2 ) : no. 200 - 206. Th. 2019

Budaya Sebagai Komoditas Ekonomi

Budaya merupakan bagian dari kehidupan manusia yang terjadi secara berulang-ulang dan
kemudian menjadi sutu kebiasaan. Budaya menjadi semacam identitas bagi masyarakat di
kawasan atau daerah tertentu. Adanya media massa membuat budaya berkembang
menjadi sesuatu yang dapat dikonsumsi oleh khalayak luas. Budaya yang mulanya bersifat
tradisional kemudian diangkat ke ranah massa dan bertransformasi menjadi sebuah
budaya massa.

Dalam teori kajian budaya para peneliti memusatkan perhatiannya pada elite sosial dalam
menjalankan media untuk mendapatkan keuntungan dan menyebarkan pengaruh pada
masyarakat (J.Baran dan Dennis, 2010). Media digunakan untuk menciptakan dan
memasarkan komoditas budaya sebagai upaya mempertahankan posisi media yang
dominan dalam tatanan sosial serta menghasilkan keuntungan bagi para elite media.

Media massa dipandang banyak membuat budaya rakyat mengalami kejatuhan.


Kepentingan ekonomi media mengangkat sebuah budaya tradisional Ngunduh Mantu
menjadi tayangan infotainmentyang dapat dikonsumsi masyarakat massa. Demi mendapat
rating tinggi, sebuah budaya lokal kemudian diubah menjadi budaya massa dengan
pengemasan yang telah disesuaikan dengan kepentingan gambar. Budaya yang ditampilkan
pun telah melalui transformasi yang diciptakan oleh media untuk menyesuaikan selera
khalayaknya.

Prosesi Ngunduh Mantu seperti yang dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita tersebut
merupakan tradisi Sunda yang menjadi simbol diterimanya pengantin wanita di keluarga
pengantin pria. Budaya Sunda khas tatar Parahyangan diusung karena menyesuaikan Raffi
Ahmad yang berasal dari Bandung.

Kemudian demi kepentingan media, acara tersebut juga dibumbui dengan budaya modern
yang dapat dilihat dari adanya band dan penyanyi papan atas sebagai hiburan.Dalam hal ini
budaya telah menjadi suatu komoditas media yang turut memberikan keuntungan melalui
rating yang diperolehnya. Perubahan budaya tradisional ke budaya massa dapat dijadikan
dasar adanya dugaan upaya untuk menjadikan budaya sebagai komoditas media.

Anda mungkin juga menyukai