Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS ADAT SUKU BANJAR DALAM BIDANG PERKAWINAN DAN

KEWARISAN

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh


gelar Sarjana Hukum

Dosen pengampu:
Febri Noor Hediati S.H., M.H.

Disusun oleh:
Rikiansyah 2108016179

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2023
A. Sejarah Perkembangan Suku Banjar
Penduduk Kalimantan pada umumnya terbagi menjadi penduduk asli, yaitu orang dayak
yang memiliki kepercayaan animisme. Kemudian penduduk lainnya yaitu orang Melayu
yang memeluk agama Islam, dan hal ini sangat erat kaitannya dengan suku Banjar. Meskipun
demikian, diperkirakan sekitar 90% dari orang Melayu merupakan orang Dayak yang
menganut agama Islam.
Di Kalimantan Selatan, sebelumnya belum mengenal istilah orang Melayu hingga Islam
masuk ke Kalimantan. Istilah ini kemudian semakin dikenal, dan selalu dikaitkan dengan
orang Muslim. Selain istilah tersebut, dikenal juga istilah orang sungai yang digunakan untuk
mencerminkan gaya hidup serta proses migrasi pendatang tersebut.
Kurang lebih pada tahun 3.000 hingga 1.500 SM terjadi gelombang pertama kedatangan
orang Melayu ke Kalimantan, yang dikenal dengan kelompok Negrid dan Weddid. Hingga
sekarang kelompok ini sudah tidak pernah ditemukan lagi. Kemudian gelombang kedua
kedatangan orang Melayu terjadi sekitar 3.000 tahun SM dan 500 tahun SM secara
bergelombang. Migrasi tersebut dilakukan oleh kelompok Proto Melayu dan Deutero
Melayu, yang merupakan kelompok terakhir dan nantinya akan menjadi awal-muawal
terbentuknya nenek moyang suku Banjar. Hal ini dibuktikan dari bahasa yang dikembangkan
yaitu bahasa Banjar, yang merupakan dialek bahasa Melayu.1
Diawali dengan adanya perebutan kekuasaan kerajaan Majapahit pada abad ke-13,
penduduk yang berada di Jawa Timur (Kediri Utara) mengungsi ke Kalimantan Selatan.
Kemudian orang-orang ini mengembangkan kota-kota dari masa Kerajaan Tanjung-Pura
yang sudah ada. Selain itu, penduduk imigran ini juga dapat dengan cepat menyesuaikan diri
dengan budaya yang ada di daerah tersebut, contohnya penggunaan bahasa yang sudah
bercampur antara bahasa Dayak dan bahasa Melayu, atau yang dikenal dengan bahasa Banjar
Kuno.
Pada awal abad ke-15 terjadi penyerangan oleh Majapahit pada Negara-Dipa ini, di mana
Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan tersebut. Setelah itu, dengan dipimpin oleh
Maharaja Sari Kaburangan, muncul kerajaan baru di Kalimantan Selatan, yaitu kerajaan

1
Ira Mentyani dan Dila Nadya Andini, Tipologi dan Morfologi Arsitektur Suku Banjar di Kal-Sel, Info-Teknik 8,
no. 2 (2007): 114–122.

Page | 1
Negara-Daha. Pada masa ini diketahui bahwa budaya Jawa mulai menyebar dan berpengaruh
di daerah tersebut yang ditandai dengan adanya candi, penerapan sistem pemerintahan, sosial
dan keagamaan.
Perselisihan kerap terjadi pada abad ke-16 di kerajaan Daha antara Pangeran Samudera
sebagai pewaris sah dengan Pangeran Temenggung yang merupakan pamannya sendiri.
Pangeran Temenggung dalam hal ini berniat menguasai kerajaan yang kemudian mendapat
perlawanan dari kelompok Raden Samudera. Dalam perlawanan tersebut, Pangeran
Samudera dibantu oleh para patih dari daerah muara Sungai Kuin, di mana patih Masih
memberikan saran kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada kerajaan
Demak. Akhirnya kerajaan Demak sepakat untuk membantu Pangeran Samudera dalam
perlawanannya dengan pamannya sendiri. Alasan Demak bersedia untuk memberikan
bantuan pada saat itu adalah untuk menyebarkan agama Islam di Kalimantan Selatan, yaitu
masuknya Raden Samudera beserta pengikutnya ke dalam ajaran Islam. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menyambung kebesaran Majapahit.
Pada tahun 1526 M, perseteruan tersebut berakhir dengan dimenangkannya perlawanan
oleh Pangeran Samudera dengan bantuan Demak. Kemudian Pangeran Samudera berganti
nama menjadi Sultan Suriansyah setelah memeluk agama Islam. Peristiwa kemenangan
Pangeran Samudera ini kemudian menjadi tonggak sejarah kembalinya kekuasaan
Majapahit; Masuknya Islam beserta penyebarannya di daerah Kalimantan; serta terbentuknya
kerajaan Banjar, yang merupakan kerajaan keempat setelah kerajaan Negara-Daha.
Setelah kemenangan itu juga, penduduk bekas kerajaan Negara-Daha dan pusat
kekuasaannya dipindahkan ke daerah pesisir oleh Pangeran Samudera. Sementara di daerah
tersebut merupakan daerah yang sebagian besar dihuni oleh orang Melayu yaitu Banjar
Masih atau yang dikenal dengan kampung orang Melayu yang saat ini berlokasi di
Banjarmasin, tepatnya di daerah Kuin.

B. Adat Perkawinan Suku Banjar


Perkawinan merupakan hal yang sakral dan fundamental dalam kehidupan masyarakat.
Perkawinan penting dalam hal menjaga kelestarian hidup manusia. Tanpa adanya hubungan
perkawinan antara laki-laki dan perempuan, tidak akan ada peradaban manusia. Dengan

Page | 2
adanya kesadaran akan hal tersebut, maka dibuatlah aturan-aturan yang mengatur hubungan
perkawinan antarmanusia.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan definisi
perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang tersebut juga mengatur
mengenai syarat sah perkawinan, larangan dalam perkawinan, akibat perkawinan, dan lain
sebagainya.2
Dalam adat masyarakat dikenal adanya sistem kekerabatan patrilineal, yang ditandai
dengan adanya pemberian jujuran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kemudian
pihak perempuan akan lepas dari kekerabatan keluarganya dan masuk pada kerabat suami.
Lalu anak-anak dari hubungan perkawinan mereka akan mengikuti kerabat ayahnya.
Adapun sistem kekerabatan matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari pihak ibu. Dalam sistem ini, kedudukan anak perempuan lebih tinggi sehingga
pihak perempuan memiliki keistimewaan atau keutamaan misalnya dalam hal pembagian
waris. Berkebalikan sistem kekerabatan patrilineal, anak-anak yang lahir melalui hubungan
perkawinan dalam sistem kekerabatan matrilineal akan mengikuti kekerabatan sang ibu.
Selain dua sistem kekerabatan di atas, terdapat sistem kekerabatan parental. Sistem ini
biasanya dianut oleh orang-orang yang beragama Islam. Karena dalam Islam, seseorang
boleh menikahi siapa saja selama tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist. Sistem
kekerabatan ini menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Kemudian dalam hal
kedudukan, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan.
Perkawinan di setiap daerah memiliki adat dan tradisi yang berbeda-beda. Hal ini dapat
terjadi salah satunya karena perbedaan latar belakang ataupun sejarah yang dialami bangsa
tersebut. Seperti halnya pada suku Banjar yang memiliki adatnya sendiri dalam hal
perkawinan. Proses perkawinan adat Banjar menurut Alfani Daud terdiri dari basasuluh,

2
Teuku Muttaqin Mansur, Hukum Adat: Perkembangan dan Pembaruannya (Banda Aceh: Syiah Kuala
University Press, 2018).

Page | 3
resmi melamar, mengantar lamaran, kegiatan sebelum pesta, lalu saat perkawinan serta
sesudahnya.3
1. Basasuluh
Secara bahasa, suluh berarti obor yang terbuat dari sekumpulan daun kelapa kering
yang diikat menjadi satu untuk digunakan pada perang saat malam hari. Sementara
Basasuluh memiliki arti menerangi atau menyuluhi jalan yang gelap dengan obor. Secara
istilah, Basasuluh berarti sebuah adat di mana pihak pria mempertanyakan bagaimana
status si gadis. Kegiatan ini menjadi tahapan awal dalam proses perkawinan dalam adat
Banjar. Hal-hal yang dipertanyakan pihak pria ialah tentang pernah atau tidaknya si gadis
dilamar sebelumnya; kesehariannya; keterampilan si gadis saat di dapur; dan lain
sebagainya. Di samping itu juga, pihak pria akan melakukan pertemuan dengan kerabat
dekat si gadis untuk membicarakan jumlah Jujuran secara tidak resmi. Dalam kegiatan
basasuluh ini, umumnya yang diminta bantuan adalah kerabat dekat yang sekiranya
sudah dikenal dengan baik dan amanah dengan kerabat gadis. Selain itu juga, kedua
orang tua pria maupun kedua orang wanita tidak termasuk ke dalam rombongan.
Segalanya diserahkan kepada pihak yang sudah dipercaya.

2. Badatang
Kegiatan ini berupa kunjungan secara resmi oleh kerabat pria untuk menyatakan
lamaran kepada pihak wanita. Setelah lamaran diterima, maka akan dilanjutkan dengan
proses penentuan besaran harta yang akan diberikan oleh pihak pria kepada pihak wanita
(Jujuran). Jika sudah mencapai kesepakan mengenai jumlah Jujuran, biasanya akan
melakukan pembicaraan mengenai penetapan acara yang dilakukan oleh wanita dengan
caranya sendiri (cara babinian) dan pihak pria dengan caranya sendiri (cara lalakian).
Setelah itu baru menetapkan tanggal dan waktu acara.
Dalam prosesi badatang, terdapat juga kegiatan pangiring atau patalian, yaitu
pemberian barang-barang sederhana oleh pihak pria berupa pakaian lengkap dari kepala
sampai kaki, termasuk juga alat-alat kosmetik. Kemudian ada juga barang-barang

3
Eka Suriansyah, Perkawinan Adat Banjar dalam Perspektif Struktural Mitos Levi-Strauss, El-Mashlahah 9,
no. 1 (2019): 87–100.

Page | 4
mewah berupa peralatan rumah tangga yang setidak-tidaknya cukup untuk memenuhi
seisi kamar. Pada dasarnya tidak ada penentuan atau perundingan mengenai objek
pangiring ini, hanya saja pihak pria harus dapat mempertimbangkan barang apa saja
yang akan diberikan agar setidaknya tidak membuat malu saat dipamerkan. Kemudian
apabila dalam acara tersebut si wanita menikah lebih dulu dari kakak-kakaknya, maka si
pria harus juga memberikan pangiring kepada mereka, namun dengan jumlah yang lebih
sedikit.
Jika kegiatan di atas sudah selesai dilakukan, selanjutnya rombongan utusan akan
dilepas, dan pihak orang tua dari pria nantinya mengadakan selamatan berupa
pembacaan doa selamat dan penyajian hidangan. Secara khusus biasanya akan
dihidangkan kue kakoleh, sebagai simbol harapan memperoleh hasil (bapakoleh).
Biasanya juga sebagai perumpamaan sebuah ikatan cinta yang abadi, lancar dan indah
masyarakat akan menyajikan ketan dan inti.

3. Maanjur Jujuran
Maanjur Jujuran dilakukan dengan menetapkan waktu kegiatan penyerahan jujuran
yang telah disepakati. Beberapa daerah biasanya menggunakan istilah bapaparaan atau
parasmian untuk menyebut kegiatan ini. Maanjur jujuran dalam pelaksanaannya selalu
digabungkan dengan acar lain, seperti penyerahan patalian atau akad nikah, ataupun
yasinan.
Dalam rombongan ini akan membawa barang berupa talam uang jujuran yang
diletakkan dalam mangkok berbentuk ayam jantan (hahayaman) dan mangkok biasa
berisi bunga ramai, kunyit, dan beras. Lalu ada talam kedua berisi bedak, beras, dan alat
kosmetik. Talam yang ketiga berisi rempah-rempah dapur serba sedikit berupa gula
merah, minyak, beras, kelapa, dan tunas pisang. Dalam talam ketiga ini, tidak boleh
dimasukkan kancur (kencur) dan sarai (serai) sebab dianggap memiliki kesamaan
dengan kata hancur dan cerai. Tunas pisang dalam talam tersebut memiliki arti bagaikan
sebuah harapan untuk kedua mempelai dapat membuahkan hasil atau sukses dalam hal
tertentu sebelum akhirnya menyerahkan amanat kepada generasi selanjutnya, seperti
halnya pohon pisang yang sebelum berbuah ataupun bertunas tidak akan mati.

Page | 5
4. Bakakawinan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum bakakawinan merupakan kegiatan
persiapan untuk kegiatan ini. Dalam proses perkawinan, kegiatan bakakawinan atau
mengawinkan ini yang dianggap paling penting. Sementara itu, dalam hal persiapan
ataupun pemberitahuan secara resmi kepada kerabat baik yang dekat maupun yang jauh
dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Adapun dalam adat Banjar dikenal istilah aruh
(pesta) merupakan puncak kegiatan pesta perkawinan. Kegiatan bakakawinan ini sendiri
terdiri dari tiga tahap, yaitu kegiatan sebelum, saat, dan sesudah perkawinan.
a. Kegiatan sebelum perkawinan
Sebelum pesta perkawinan akan dilakukan kegiatan persiapan (bamula) dengan
mengadakan selamatan berupa hidangan bubur habang bubur putih, yaitu bubur
merah dan bubur putih yang ditempatkan ke dalam satu piring. Tujuan dari kegiatan
ini adalah agar pesta perkawinan dapat berjalan dengan lancar dan tidak diganggu
oleh sang kala dengan pembacaan doa selamat tolak bala. Kemudian akan diletakkan
piduduk berupa kelapa, gula merah, beras ketan dan telur oleh istri tuan rumah. Selain
itu, ada juga proses mencampurkan banyu pangawahan ke dalam air yang akan
digunakan dalam memasak makanan untuk hidangan pesta agar harakat, yaitu
mencukupi, dan tidak mengganggu proses memasak. Banyu pangawahan termasuk
banyu tawar ini merupakan air yang sudah dibacakan oleh orang tertentu.
Adapun proses mempersiapkan pengantin sebelum pesta dilakukan dengan
battimung, yaitu mandi uap, dimandikan secara khusus, kemudian dirias. Sehari
sebelum pelaksanaan pesta, pengantin wanita akan diberi hidangan sayur dari batang
pisang (manggangan gadang) untuk membuatnya sabar dan tentram.

b. Kegiatan saat perkawinan


Kegiatan ini disebut puncak dari pesta perkawinan adat Banjar yang terdiri dari
manurunkan dan maarak pengantin dan batatai bapalimbaian.
1. Manurunkan dan maarak pengantin
Prosesi ini merupakan kegiatan mempersiapkan pengantin pria untuk dibawa
ke rumah pengantin wanita. Manurunkan (memberangkatkan) pengantin pria

Page | 6
pertama-tama dilakukan dengan membaca doa dan selamatan kecil, setelah itu
diiringi Shalawat Nabi sembari mengucap doa keselamatan, pengantin pria
keluar dari rumah. Setelah keluar rumah, pengantin pria akan didampingi
rombongan menuju rumah pengantin wanita. Kegiatan pendampingan inilah
yang disebut dengan maarak pengantin. Sepanjang perjalanan itu, pengantin pria
akan disambut dengan kesenian-kesenian berupa Sinoman Hadrah, Kuda
Gepang, dan musik Bamban.

2. Batatai Bapalimbaian
Batatai (duduk bersanding) merupakan puncak dalam setiap perkawinan
Banjar yang dilakukan pada saat mempelai pria datang ke rumah mempelai
wanita. Namun di setiap daerah memiliki versinya masing-masing dalam
kegiatan ini. Dalam budaya Banjar daerah hulu misalnya, mempelai pria yang
masuk ke rumah mempelai wanita akan disambut dengan taburan beras kuning
serta diiringi Shalawat Nabi. Kemudian bersama-sama dengan wanita yang sudah
menunggu di ambang pintu, keduanya akan dibawa di atas Geta Kencana (sejenis
tempat tidur) untuk duduk bersanding. Masih di daerah hulu Banjar, di daerah
tertentu pada saat mempelai pria bersama-sama dengan mempelai wanita,
keduanya akan dibawa ke Balai Laki berjalan kaki ataupun Usung Ginggong.
Kedua mempelai selama bersanding akan menyaksikan kesenian sembari
menerima godaan atau olok-olokan dari hadirin undangan. Setelah itu, kedua
mempelai akan dibawa kembali ke rumah mempelai wanita dengan disuguhkan
kesenian tradisional.
Adapun prosesi yang harus dilakukan kedua mempelai selama duduk
bersanding di antaranya:
1) Bahurup Palimbaian, yaitu bertukan bunga tangan saat masih dalam posisi
berdiri. Kegiatan ini menyiratkan agar kedua mempelai terus dalam keceriaan
dalam menjalankan hari-hari yang akan datang.

Page | 7
2) Bahurup Sasuap, yaitu saling bersuap sekapur sirih dengan makna untuk
menguatkan tekad bahwa kedua mempelai akan siap menghadapi pahit,
manis, kerasnya kehidupan bersama.
3) Bakakumur, yaitu berkumur dengan air putih setelah mengunyah sekapur
sirih, kemudian membuangnya ke dalam sebuah wadah. Prosesi ini
mengandung makna bahwa segala sesuatu yang buruk harus dibuang agar
keduanya berada dalam kondisi bersih dan ikhlas.
4) Battimbai Lakatan, yaitu saling melemparkan segenggam nasi ketan ke
pangkuan masing-masing mempelai dimulai dari wanita yang melempar ke
pangkuan pria, lalu sebaliknya. Prosesi ini memberikan arti eratnya
perkawinan yang mereka bina, sehingga melahirkan keturunan yang baik.
Kemudian nasi ketan tersebut dilemparkan kepada hadirin remaja untuk
diperebutkan, dengan kepercayaan bahwa barang siapa yang
mendapatkannya maka akan menemui pasangannya dengan cepat.
5) Batapung atau Batutungkali, yaitu memercikkan ramuan pada ubun-ubun,
bahu kiri dan kanan, serta pangkuan mempelai yang dilakukan oleh masing-
masing tetua dari kedua keluarga. Prosesi ini memiliki maksud agar dalam
perjalanan perkawinan keduanya senantiasa mendapat dukungan serta ridho
dari keluarga.

c. Kegiatan sesudah perkawinan


Setelah pesta perkawinan selesai, kedua mempelai tidak boleh meninggalkan
rumah selama tiga hari tiga malam. Seiring berjalannya waktu, kegiatan untuk tinggal
di rumah selama tiga hari tiga malam ini sudah tidak berlaku. Namun yang masih
berlaku adalah kewajiban menerima kunjungan dari kerabat dan tetangga dekat pihak
gadis. Selain itu juga ada kebiasaan bajajagaan dan basasarangan, di mana kerabat
dekat kedua mempelai berkunjung hingga larut malam dan biasanya tertidur begitu
saja di rumah mempelai. Kebiasaan inilah yang kemudian memunculkan cerita-cerita
yang jarang sekali didapatkan dalam keseharian kita.

Page | 8
Setelah selesai acara kunjungan tamu-tamu tersebut, kedua mempelai akan
mengunjungi kerabat dan tetangga dekat istri dengan ditemani salah seorang kerabat
dekat istri. Acara ini disebut pengantin sujud di mana setiap kali pulang akan diberi
hadiah baik berupa uang ataupun barang (pasujudan).
Acara selanjutnya setelah pengantin sujud yaitu pengantin bamalam (pengantin
menginap). Acara ini dilakukan dengan membawa kedua mempelai ke kediaman
orang tua pria. Setelah itu pengantin akan menginap di rumah orang tua pria. Acara
ini bergeser dari yang dulunya kedua mempelai akan pulang di hari tersebut, sekarang
kedua mempelai akan langsung menginap. Dalam acara ini, kedua mempelai akan
melakukan kunjungan-kunjungan ke kerabat dan tetangga dekat, sama halnya dengan
pangantin sujud. Namun dalam hal ini yang mendampingi, yang dikunjungi, dan yang
memberikan hadiah adalah pihak suami.

C. Hukum Waris Adat Suku Banjar


Pada dasarnya hukum waris adat merupakan hukum yang mengatur mengenai harta
peninggalan seseorang dan keturunan atau ahli waris dari orang yang meninggal tersebut.
Hal ini menjadi penting karena menyangkut harta kekayaan baik dalam bentuk materiil
maupun immateriil. Ter Harr mendefinisikan hukum waris adat sebagai hukum yang
mengatur tentang peralihan atau penerusan harta kekayaan yang berwujud ataupun tidak
berwujud dari generasi ke generasi. Adapun asas-asas dalam hukum waris adat terbagi
menjadi lima yang memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Pancasila, sebagai berikut:4
1. Asas Ketuhanan, yaitu asas yang menitikberatkan pada pengendalian diri dari nafsu agar
tidak serakah, karena segala harta kekayaan tersebut hanyalah titipan Allah Swt.
2. Asas Kemanusiaan, berbicara mengenai persamaan hak dan kewajiban. Dalam hal ini,
antarahli waris harus saling memahami kebutuhan masing-masing agar tercipta keadilan.
3. Asas Persatuan, yaitu asas yang menekankan pada kerukunan dalam hal pembagian
warisan. Sering kali dalam praktik pembagian warisan, terjadi perselisihan antarahli
waris. Maka dari itu diperlukan peran masing-masing pihak untuk menjaga persatuan.

4
Hilman Syahrial Haq, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Klaten: Penerbit Lakeisha, 2020).

Page | 9
4. Asas Musyawarah/Mufakat, berarti perlu adanya kesepakatan dalam pembagian warisan
untuk mengatasi perbedaan pendapat masing-masing pihak.
5. Asas Keadilan, yaitu pembagian harta waris bukan diartikan sebagai persamaan dalam
nominalnya, akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan antarahli waris.
Persoalan yang seringkali terjadi dalam hal pewarisan bagi masyarakat Banjar adalah
adanya dualisme hukum yang dianut. Di satu sisi mayoritas suku Banjar menganut agama
Islam, tetapi di sisi lain masyarakat Banjar masih memegang erat adat-adat ataupun tradisi
yang masih berlaku hingga saat ini. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam
kedua hukum tersebut berbeda satu sama lain.
Hukum waris adat pada dasarnya merupakan hukum yang berisi peralihan atau
penerusan harta kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kemudian Supomo
menjelaskan hukum waris adat adalah hukum yang memuat aturan-aturan tentang proses
pengoperan barang-barang harta benda baik berwujud ataupun tidak berwujud dari satu
angkatan kepada angkatan selanjutnya. Sedangkan dalam hukum Islam, adat yang dapat
diterima yaitu adat yang mengandung nilai kebaikan, dan mengesampingkan adat yang
mengandung keburukan.
Pada suku Banjar, pembagian warisan dilakukan dengan melibatkan tokoh “tuan guru”
atau “tetuha kampung” yang dianggap dan dipercaya memahami persoalan agama, termasuk
pewarisan. Sehingga apabila terjadi perselisihan antarahli waris dalam suatu keluarga, maka
pihak-pihak tersebut akan mengunjungi tuan guru tersebut untuk meminta nasihat, saran, atau
pendapatnya. Pihak yang mengunjungi tuan guru umumnya ialah laki-laki atau saudara
tertua, sedangkan kemungkinan untuk seorang perempuan mengunjungi tuan guru tersebut
sangatlah rendah. Setelah itu, tuan guru akan memberikan pandangannya mengenai pihak-
pihak yang menerima warisan dan besaran jumlah warisan tersebut untuk masing-masing
pihak.
Merujuk pada ajaran Islam, di mana terdapat dalam Surah An-Nisa Ayat (11) yang
menyebutkan bahwa “laki-laki memperoleh bagian dua kali dari bagian perempuan”,
ternyata didapatkan hasil survei bahwa dalam pembagian waris suku Banjar pihak
perempuan tidak selalu menerima harta warisan yang lebih sedikit daripada laki-laki. Ini
membuktikan bahwa terdapat perbedaan ketentuan dalam hukum waris adat dan hukum

Page | 10
waris Islam. Bahkan dalam hukum waris adat Banjar dikatakan bahwa pembagian harta
warisan tidak harus dilakukan pada saat pewarisnya meninggal dunia, tetapi melihat situasi
dan kondisi apakah memang perlu untuk dilakukan pembagian warisan saat itu juga.
Kemudian dalam hal masih hidupnya pasangan pewaris atau ibu dari ahli waris, maka
tidak ada pembagian harta warisan yang ditinggalkan kepada ahli waris. Hal ini dilakukan
untuk menghormati orang tuanya, dan bagi mereka yang menggugat untuk membagikan harta
warisan akan dicap sebagai anak yang durhaka. Jadi, dapat dikatakan bahwa pembagian harta
warisan di saat salah satu orang tuanya masih hidup merupakan suatu hal yang tabu.
Harta warisan yang ditinggalkan tersebut biasanya dikuasai oleh orang tua laki-laki atau
orang tua perempuan jikalau salah satunya meninggal, atau dikuasai oleh saudara tertua
apabila keduanya meninggal. Berikut beberapa alasan mengapa harta warisan tersebut tidak
dibagi, di antaranya:5
1. Adanya wasiat dari pewaris yang meninggal, bahwa untuk menghindari perselisihan
maka harta tersebut digunakan secara bersama-sama. Dengan demikian, setiap ahli waris
mendapat hak yang sama terhadap harta warisan.
2. Adanya kesepakatan antarahli waris untuk menggunakan harta tersebut misalnya sebagai
biaya untuk melakukan upacara keagamaan ataupun acara peringatan atas meninggalnya
pewaris.
3. Harta warisan dimaksudkan untuk membiayai salah seorang ahli waris yang belum
cakap atau belum dewasa dalam menggunakan harta warisan tersebut.
4. Untuk menghormati salah satu orang tuanya yang masih hidup, sehingga ahli waris
sepakat untuk tidak membaginya walaupun sudah cakap atau dewasa.

5
Gusti Muzainah dan Syaikhu Syaikhu, Pembagian Warisan Keluarga Ulama Palangka Raya dalam Tinjauan
Hukum Waris Adat Masyarakat Banjar, Jurnal Hadratul Madaniyah 7, no. 1 (2020): 20–25.

Page | 11
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Haq, Hilman Syahrial. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Klaten: Penerbit Lakeisha, 2020.

Mansur, Teuku Muttaqin. Hukum Adat: Perkembangan dan Pembaruannya. Banda Aceh:
Syiah Kuala University Press, 2018.

B. Jurnal

Mentyani, Ira, dan Dila Nadya Andini. Tipologi dan Morfologi Arsitektur Suku Banjar di
Kal-Sel. Info-Teknik 8, no. 2 (2007): 114–122.

Muzainah, Gusti, dan Syaikhu Syaikhu. Pembagian Warisan Keluarga Ulama Palangka
Raya dalam Tinjauan Hukum Waris Adat Masyarakat Banjar. Jurnal Hadratul
Madaniyah 7, no. 1 (2020): 20–25.

Suriansyah, Eka. Perkawinan Adat Banjar dalam Perspektif Struktural Mitos Levi-Strauss.
El-Mashlahah 9, no. 1 (2019): 87–100.

Page | 12

Anda mungkin juga menyukai