Anda di halaman 1dari 15

GOOD AGRICULTURE PRACTICES (GAP)

BUDIDAYA TANAMAN CABAI


LAPORAN MKHP (GAP)

Kelompok 4
Disusun oleh:
Muhammad Rifa’i (522020040)
Albert Emillio Haiko Pranada Christy (512018064)
Danu Kristian (522020003)
Yoseph Pignatelly Tani Parera (522020009)
Excel Dionisiyus Yoktan (522020047)

FAKULTAS PERTANIAN DAN BISNIS


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
SALATIGA
2023
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Cabai merah (Capsicum annum L) merupakan produk hortikultura yang
dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan diatas permukaan laut. Di Indonesia,
cabai merah sangat penting, nomor dua setelah kacang-kacangan (Samsudin, 1980).
Teknik budidaya cabai secara intensif meliputi penggunaan benih unggul,
pemilihan lokasi, pengolahan tanah, penerapan teknologi mulsa, pemupukan
berimbang, pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan panen dan
pascapanen. Pasar Tanaman cabai dapat tumbuh di Indonesia dari dataran rendah
hingga dataran tinggi. Peluang pasarnya besar dan luas: konsumsi cabai rata-rata 5
kg/penduduk/tahun dan 90 persen cabai dikonsumsi segar (Harpenas, 2010).
Agar terhindar dari berbagai permasalahan selama budidaya cabai merah,
terutama menyangkut keamanan produk dan lingkungan, maka perlu dilakukan
budidaya cabai merah dengan baik. Dengan upaya-upaya yang dilakukan dengan
baik diharapkan budidaya cabai merah dapat dilakukan secara berkelanjutan dan
produknya aman untuk dikonsumsi. (Direktorat Budidaya Sayuran dan Biofarmaka,
2010). Prosedur operasi standar penerapan budidaya cabai merah meliputi
pengelolaan proses budidaya dari lahan hingga pengolahan pasca panen sesuai
dengan praktik pertanian yang baik. Di era perdagangan global saat ini, persyaratan
kualitas, keamanan pangan, kesehatan, dan fitosanitari adalah yang terpenting.
Untuk memenuhi persyaratan tersebut perlu diketahui pedoman budidaya cabai
merah yang baik yang dikenal dengan Good Agricultural Practices (GAP). Oleh
karena itu cabai harus ditanam sesuai dengan Good Agricultural Practices (GAP)
yang mengutamakan keamanan pangan dengan cara mengurangi penggunaan
pupuk dan pestisida kimia beralih ke pupuk kandang/kompos dan pestisida nabati
(organik) serta menekan biaya produksi (Deptan, 2005). Dengan begitu,
optimalisasi sarana dan prasarana secara produktif dapat mempengaruhi minat
petani dalam melaksanakan penerapan GAP cabai merah.
Good Agricultural Practices (GAP) adalah pedoman cara bercocok tanam
yang baik, benar, ramah lingkungan dan aman. Tujuan penerapan GAP adalah
untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar domestik dan
internasional, yang tercermin dari peningkatan pangsa ekspor dan/atau penurunan
impor, tentunya meningkatkan kualitas produk. Tahapan kegiatan pelaksanaan
penerapan GAP sebagai berikut: (1) sosialisasi GAP, (2) penyusunan dan
perbanyakan SOP budidaya, (3) penerapan GAP/SOP budidaya, (4) identifikasi
kebun/lahan usaha, (5) penilaian kebun/lahan usaha, (6) kebun/lahan usaha
tercatat/teregister, (7) penghargaan kebun lahan usaha GAP kategori Prima-3,
Prima-2 dan Prima-1, dan (8) labelisasi produk prima (Wulandari, 2012).
Good Agricultural Practice (GAP) adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk memperluas pengetahuan, keterampilan
dan pemahaman serta mengubah sikap dan memperkenalkan sistem budidaya
tanaman cabai yang baik dan benar, bahan baku cabai yang dibuat untuk
meningkatkan proses produksi, menjadi lebih ramah lingkungan, meningkatkan
kualitas produk sesuai standar. Menerapkan Good Agricultural Practices (GAP)
dari sudut pandang produsen merupakan konsep yang menjamin kesejahteraan
petani, keluarga dan pekerjanya, sekaligus mencapai produk berkualitas dan nilai
gizi yang aman dari sudut pandang konsumen. Oleh karena itu, petani harus
menerapkan CAP untuk menciptakan sistem produksi yang berkelanjutan, sehingga
produk yang dihasilkan berkualitas tinggi, diterima baik di pasar nasional maupun
internasional dan produknya berdaya saing (Agustina dkk., 2017).

1.2 Tujuan
1. Menganalisis penerapan GAP pada budidaya tanaman cabai berdasarkan
ruang lingkupnya.
2. Mengetahui manfaat penerapan GAP bagi petani.
3. Mengetahui kendala penerapan GAP pada budidaya tanaman cabai oleh
petani di Sidomukti Kopeng.
BAB 2. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Waktu dan Tempat


Wawancara mengenai Good Agricultural Practices (GAP) pada petani
tanaman cabai dilakukan pada hari Jumat, 10 Februari 2023. Lokasi wawancara
dilakukan di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten
Semarang.

2.2 Ruang lingkup penerapan GAP


1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang berada pada 3 lahan yang telah diteliti yang berada
di Dusun Sidomukti Kopeng, Kabupaten Semarang. Lingkungan di sekitar lahan
yang ditanami cabai tidak terdapat industri/pabrik. Tanah yang digunakan pada
lahan tidak diuji pada laboratorium. Iklim pada daerah tersebut sudah cocok untuk
menanam cabai sehingga dapat menghasilkan hasil panen yang maksimal. Lahan
yang telah digunakan untuk menanam suatu komoditas selalu dilakukan
rotasi/pergantian tanaman. Pada lahan yang ditanami cabai tidak diberi pagar
karena jarang terdapat hewan liar yang masuk ke perkebunan.
2. Faktor input/masukan
Bibit/ benih yang digunakan biasanya dibeli pada toko pertanian karena
bibit yang dijual pada toko pertanian sudah memiliki sertifikat resmi dan memiliki
kualitas yang terjamin. Sumber air yang digunakan untuk pengairan tanaman
budidaya diambil dari sumber air di dekat lahan berupa sumur. Air yang digunakan
tidak diuji terlebih dahulu. Petani biasanya menggunakan pupuk kandang untuk
tanaman budidaya karena lebih murah. Ketika tanaman budidaya terdapat hama
yang menyerang, petani akan menggunakan pestisida untuk menghilangkan hama.
Petani pada daerah kopeng hanya sekali dalam mengikuti pelatihan yang diberikan
oleh penyuluh pertanian.
3. Faktor penanaman dan pemeliharaan
Pada faktor penanaman, lahan yang akan digunakan untuk budidaya akan
diolah terlebih dahulu sebelum digunakan. Petani juga melakukan integrasi antara
pengendalian secara fisik/mekanis, kimia dan biologi dalam menangani
hama/penyakit. Pemupukan pada tanaman akan dilakukan pada awal penanaman
dan pertengahan tanam. proses pemupukan akan dilakukan sebanyak 2 kali pada
proses budidaya.
Proses pemberian pestisida dilakukan akan dilakukan terkadang dilakukan
sendiri oleh petani dan juga dengan petunjuk dari penyuluh pertanian. Proses
pemberian pestisida terhadap tanaman dilakukan pada saat tanaman mulai diserang
oleh hama belum menggunakan dosis yang sesuai dengan aturan yang tertulis pada
label. Penyimpanan pestisida diletakkan pada tempat yang aman, berventilasi yang
baik dan jauh dari pupuk. Pada saat pemberian pestisida, petani belum
menggunakan perlengkapan seperti masker, sarung tangan, kacamata pelindung,
mantel tahan air dan sepatu. Wadah pestisida yang sudah tidak dipakai tidak akan
digunakan lagi.
4. Faktor pemanenan dan transportasi
Proses pemanenan akan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan alat
pemanen yang sudah dibersihkan. Hasil panen akan dikumpulkan dengan kondisi
tangan/tubuh petani yang sudah bersih. Wadah yang digunakan untuk meletakkan
hasil panen terkadang dicuci terlebih dahulu agar hasil panen tidak terkontaminasi
dengan bahan lain, jika dirasa wadah masih bersih maka tidak dicuci terlebih
dahulu. Hasil panen akan diangkut menggunakan motor kepada pengepul secara
langsung karena petani tidak mempunyai ruang penyimpanan hasil panen secara
khusus.
5. Faktor fasilitas
Fasilitas yang dimiliki oleh petani berupa tempat penyimpanan hasil panen
yang selalu bersih dan terhindar dari kontaminasi. Petani juga memiliki tempat
untuk menyimpan pupuk, pestisida, peralatan secara khusus agar terhindar dari
kontaminasi. hasil komoditas tidak disimpan pada tempat khusus karena hasil panen
akan langsung dikirim kepada pengepul. Terdapat fasilitas lain yaitu berupa tempat
istirahat untuk petani yang digunakan untuk makan, minum dan lainnya.
6. Faktor pendukung
Pada pembudidayaan yang dilakukan terdapat peralatan seperti gunting
untuk memotong tanaman yang telah mati atau layu. Pembersihan terhadap
peralatan yang digunakan akan dibersihkan jika dibutuhkan dan tidak ada jadwal
khusus dari petani. Limbah yang dihasilkan akan dibuang jauh dari tempat
penyimpanan hasil panen agar tidak terjadi kontaminasi. Petani tidak pernah
mengikuti atau mendapat pelatihan untuk menangani hasil panen yang didapat.
Petani segera menjual cabai yang telah dipanen dalam kondisi yang masih segar.

2.3 Manfaat penerapan GAP


Poerwanto (2013) menjelaskan tentang GAP yang merupakan praktek
pertanian bertujuan untuk memperbaiki kualitas hasil berdasarkan pada standar
spesifik, menjamin penghasilan yang tinggi, menjamin teknik produksi yang sehat,
memaksimalkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, mendorong pertanian
berkelanjutan, dan meminimalkan risiko terhadap lingkungan.
Penerapan GAP sangat penting dalam pengembangan komoditas
hortikultura, yaitu sebagai dasar kegiatan budidaya tanaman sesuai dengan
kebutuhan pasar dan konsumen, sebagai sistem penjaminan mutu, sebagai alat
persaingan dan perlindungan pelaku komersial yang memasuki perdagangan dunia,
dan sebagai kerangka kerja rantai operasi rantai pasok. Implementasi GAP Buah
dan Sayur ditujukan terutama pada kebun dan kawasan komersial milik pelaku
agribisnis yang siap memasuki perdagangan dunia, pasar ekspor, pasar modern dan
industri, serta kegiatan yang disponsori pemerintah.
Petani akan mendapat manfaat dari penerapan GAP secara terintegrasi dan
berkelanjutan. Manfaat bagi petani antara lain peningkatan efisiensi usaha tani,
efisiensi penggunaan input, serta terjaganya kualitas dan kuantitas hasil panen.
Dengan demikian diharapkan berdampak pada perbaikan indeks perilaku pertanian,
peningkatan nilai tukar petani dan produktivitas perusahaan, serta penguatan posisi
tawar dengan normalisasi hasil panen.

2.4 Kendala yang dihadapi dalam penerapan GAP


Kendala yang dihadapi petani cabai yang kami wawancarai dalam
penerapan GAP ini salah satunya adalah kurangnya pengetahuan petani tentang
penerapan GAP. Petani yang kami wawancarai mendapatkan pelatihan mengenai
budidaya cabai dari penyuluh hanya sekali. Hal tersebut membuat petani belum
memahami dengan benar mengenai budidaya cabai yang benar. Salah satu
akibatnya adalah petani tidak selalu mengaplikasikan pestisida sesuai dengan
anjuran dari penyuluh. Petani dalam pengaplikasian pestisida juga belum sesuai
dengan aturan yang tercantum pada label. Selain itu kurangnya pengetahuan petani
dalam menangani hasil panen karena petani tidak pernah mengikuti pelatihan dalam
menangani hasil panen. Hidayat (2018) menjelaskan tentang kendala dalam
penerapan GAP salah satunya adalah pengetahuan dan keterampilan pelaku
khususnya di tingkat petani (mitra) yg masih lemah.
Selain itu kendala yang dihadapi petani cabai yang kami wawancarai dalam
penerapan GAP adalah dana atau modal yang dibutuhkan. Karena dalam penerapan
GAP pada budidaya tanaman cabai membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Sehingga petani yang kami wawancarai belum melakukan uji laboratorium
terhadap tanah dan air yang digunakan dalam budidaya cabai. Karena untuk
melakukan pengujian terhadap tanah dan air yang digunakan dalam budidaya
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Selain itu pembelian sarung tangan,
kacamata pelindung, mantel tahan air, dan sepatu untuk mengaplikasikan pestisida
juga membutuhkan dana dan lebih membuat petani lebih rumit dalam bekerja.
Sehingga membuat petani tidak menggunakan barang-barang tersebut dalam
mengaplikasikan pestisida pada tanaman cabai.
Petani juga tidak memiliki wadah khusus untuk penyimpanan hasil panen
cabai. Karena petani menggunakan wadah yang ada di rumah mereka untuk menjadi
wadah dari cabai yang dipanen seperti karung dan lainnya. Penggunaan wadah yang
ada seperti karung membuat petani tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk
membeli wadah khusus tempat hasil panen. Karena membeli wadah khusus untuk
hasil panen dan membuat tempat khusus untuk penyimpanan hasil panen tersebut
akan menambah dana yang mereka keluarkan dalam budidaya tanaman cabai.
BAB 3. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
1. Penerapan GAP pada budidaya tanaman cabai berdasarkan ruang
lingkupnya meliputi faktor lingkungan, faktor input/masukan, faktor
penanaman dan pemeliharaan, faktor pemanenan dan transportasi, faktor
fasilitas, dan faktor pendukung.
2. Bagi petani akan memperoleh manfaat jika menerapkan GAP secara terpadu
dan berkelanjutan. Manfaat yang diperoleh petani meliputi peningkatan
efektifitas pelaksanaan budidaya, efisiensi input yang digunakan, menjaga
mutu dan kuantitas hasil yang diperoleh.
3. Kendala yang dihadapi petani dalam penerapan GAP dalam budidaya
tanaman cabai adalah kurangnya pengetahuan petani tentang penerapan
GAP, dana atau modal yang dibutuhkan, dan membuat petani lebih rumit
dalam bekerja.

3.2 Saran
Sebaiknya pelatihan tentang budidaya cabai yang benar dan pengenalan
GAP pada budidaya tanaman cabai kepada petani di Dusun Sidomukti Desa
Kopeng harus dilakukan lebih sering dan secara kontinyu. Agar pengetahuan dan
keterampilan petani di Dusun Sidomukti Desa Kopeng mengenai penerapan GAP
pada budidaya tanaman cabai juga meningkat dan bertambah. Selain itu petani
harus diberikan pelatihan untuk menangani hasil panen sehingga petani dapat
menjual cabainya dalam bentuk yang sudah diolah dan dapat meminimalisir
terjadinya kontaminan.
DAFTAR PUSTAKA
Harpenas. 2010. Budidaya cabai unggul. Jakarta: Penebar Swadaya.
Agustina, S., Pudji & W., Hexa, A.H. (2014). Analisis Fenetik Kultivar Cabai Besar
Capsicum annum L dan Cabai Kecil Capsicum Frustescens L. Jurnal Biologi
1(1) : halaman 117-125.
Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2010. Standar
Operasional Prosedur Tanaman Cabai. Jakarta : Kementerian Pertanian.74
hal.
Departemen Pertanian Republik Indonesia [Deptan]. (2005). Budidaya Cabe Merah
Sesuai GAP. Jakarta: Departemen Pertanian.
Harpenas. 2010. Budidaya cabai unggul. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hidayat, I., & Supartoko, B. (2018). Agribisnis tanaman obat dan penerapan good
agricultural practice di PT. Sido Muncul. Prosiding SEMNASTAN. 22-29.
Poerwanto, R. 2013. Panduan Budidaya yang Baik (Good Agricultural Practice)
Pada Komoditas Hortikultura. Bahan Ajar. Institut Pertanian Bogor.
Wulandari, E., & Carsono, N. (2012). Peningkatan kapasitas manajerial kelompok
tani melalui pelatihan dan pendampingan pencatatan Good Agricultural
Practices (GAP) di Desa Tambakan dan Jalan Cagak Kecamatan Jalan Cagak
Kabupaten Subang. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat.
1(2): 100-108.
Dokumentasi

Bapak Sarman

Bapak Muhyidin Bapak Sardianto


Lampiran Kuisioner
No Keterangan Kuisioner
1. Petani 1
2. Petani 2
3. Petani 3

Anda mungkin juga menyukai