Anda di halaman 1dari 8

ESSAY UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH STUDIO DESAIN ARSITEKTUR

Dosen Pengajar: Pak Dennis Indramawan


Oleh: Anita Hidayat 01022200001

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS DESAIN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TAHUN 2020
I. LATAR BELAKANG
Jogja National Museum (JNM) merupakan museum sekaligus galeri seni
yang telah melalui serangkaian pemugaran dan pelestarian yang sebelumnya
merupakan area kompleks Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) dan
Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta. Penghidupan kembali kompleks yang telah terbengkalai ini
diupayakan oleh KPH. Wironegoro selaku Ketua Yayasan Yogyakarta Seni
Nusantara (YYSN) pada tahun 2006. Upaya pelestarian ini tidak berhenti,
salah satu contohnya adalah dukungan Arcadia Architects yang
melakukanintervensi pada kompleks JNM di tahun 2021 (Gambar 01).

Ketika mengunjungi kompleks JNM, terdapat 2 fenomena yang menarik


bagi penulis. Pertama, terkait fakta bahwa pengunjung yang datang
cenderung memusat dan memilih untuk duduk di area dekat intervensi JNM
Bloc. Dan yang kedua, terlihat ada 2 tipe morfologi bangunan yang dapat
dibedakan secara kasat mata. Bangunan pertama berciri-ciri: masif, banyak
jendela, tinggi, dan seperti terpengaruh tipe arsitektur Belanda (Gambar 02).
Lalu, bangunan kedua yang bercirikan: atap yang mendominasi, tidak
memiliki tembok, dan seperti bangunan tradisional di pulau Jawa (Gambar
03).
Setelah diusut, iklim merupakan elemen yang mempengaruhi morfologi
selubung bangunan. Iklim yang dibahas berfokus pada lokasi dimana penelitian
diadakan yaitu di area regional beriklim tropis, tepatnya di kawasan Asia
Tenggara. Morfologi yang merespon iklim tropis cenderung memiliki atap yang
tinggi, tumpang tindih, menggantung, dan memiliki bukaan; temboknya yang
memiliki banyak bukaan, penutup tirai, dan naungan. Selubung bangunan ini
merespon iklim hujan dan panas. (Yang, 1987)
Pada Studio Riset Arsitektur 3 (semester lalu) penulis mengulik beberapa
kemungkinan yang bisa dihasilkan dari hasil percampuran elemen-elemen
bangunan di kawasan tropis yang tertulis pada buku Tropical Urban
Regionalism: Building in a South-East Asian City.

Gambar 04 (Kualitas elemen bangunan iklim tropis)


Gambar 05 (Perpaduan elemen bangunan iklim tropis)

II. RUMUSAN MASALAH DESAIN


Pada Studio Riset Arsitektur 3, penulis memutuskan untuk memilih salah satu
desain dari iterasi yang telah dilakukan. Setelah diamati, ada satu masalah dan
pertimbangan dalam sisi desainnya, yaitu massing (Gambar 06) yang terlalu besar
dan dominan membuat kondisi existing menjadi ‘kalah’.

Gambar 06 (Massive massing dibandingkan


dengan manusia dan existing pendopo)
III. STRATEGI DESAIN
Berangkat dari masalah yang dilihat dari desain yang dihasilkan pada SRA 3,
penulis melanjutkan proses desain dengan menyelesaikannnya dengan cara
memainkan elevasi dari landscape dan juga memecah atap sehingga tidak lagi
melingkupi seluruh massing. Tujuan awal melingkupi seluruh massing adalah untuk
membuat kesan ‘mengikat’ atau datum dari area yang telah diintervensi seperti apa
yang telah Arcadia Architects lakukan dan memperkuat elemen pada iklim tropis
yang paling dominan yaitu atap. Sebagai gantinya, penulis tetap menggunakan
aksen yang sama di tiap-tiap atap sehingga kesan ‘mengikat’ tetap bisa terlihat dan
tetap membuat overhang yang lebih panjang dari yang telah ada di existing.
Penulis juga mulai mempertimbangkan dimana akses-akses pintu masuk ke tiap
program yang telah dibuat dan mengolah ruang diantara massing yang
direncanakan. Beberapa gambar di halaman selanjutnya merupakan iterasi dan
kemungkinan desain yang akan dikembangkan. Pemilihan desain dilakukan dengan
mempertimbangkan kelebihan yang paling banyak dan kekurangan yang paling
sedikit. Selain itu, pertimbangan pemilihan desain juga melihat existing yang
digunakan untuk merespon apa yang telah ada di dalam site (entah itu ingin
melanjutkan sejalan atau melawan yang telah ada).
IV. KONSEP DESAIN
Konsep desain yang penulis terapkan adalah dengan memilih pendekatan dari
Arcadia Architects yang membuat elevasi menjadi turun dan membuat massing
menjadi terpecah-pecah (island). Namun, berdasarkan review dan diskusi bersama
para dosen, ada beberapa pertimbangan terkait pemilihan pendekatan tersebut.
Antara lain:
• Elevasi lantai underground terlalu dalam
• Atap yang masih terlalu seragam dan tidak memiliki
kesan/pengalaman ruang yang menarik
• Ruang kosong diantara massing, perlu dikembangkan
• Penghubung/pengkait/datum dari bangunan bisa diulik lebih lagi
Untuk merespon hal-hal tersebut akhirnya, penulis mencoba mengembangkan
desainnya dengan:
• Menurunkan setengah lantai dan menaikan setengah lantai, lalu
menggabungkan landscape menjadi satu, tidak terpisah (Gambar 07)
Gambar 07

• Memberi variasi pada atap dengan menggunakan elemen garis dan


juga opening di beberapa selubung bangunan dengan
mempertimbangkan intensi awal desain pada saat Studio Riset
Arsitektur 3 sehingga pengalaman ruang lebih bervariassi (Gambar
08)

Gambar 08

• Menggunakan ruang kosong di antara massing sebagai landscape


taman (Gambar 09)

Gambar 09
• Menghubungkan keseluruhan massing dengan pola (massing-
landscape-massing-landscape-dst) dan verandah yang memiliki
elemen senada pada atap bangunan. (Gambar 10)

Gambar 10

Anda mungkin juga menyukai