ANALISIS TANSPORTABILITY
RANTIS KOMODO PADA PESAWAT
HERCULES C-130
Disusun oleh:
Heri Indriana Wibowo
(13111070)
Pembimbing Lapangan,
Reza Adiprana
Disahkan Oleh:
Manajer Enjiniring
Toto Wardoyo
Pada laporan ini, akan dianalisa kekuatan sistem pengikatan rantis tersebut pada pesawat
angkut turboprop andalan TNI yaitu pesawat Hercules C-130. Hal ini dikarenakan pada masa
operasi militer baik perang maupun non-perang, pemindahan suatu aset militer akan sangat
menentukan keberhasilan misi itu sendiri. Semakin optimal dan aman pengangkutan yang
dilakukan, semakin besar peluang kesuksesannya. Untuk melakukan analisis, penulis mengacu
pada standar yang telah ditetapkan seperti misalnya “ATTLA: Tiedown and Restraint 102”. Dari
analisis akan ditunjukkan tegangan yang terjadi sambungan-sambungan pengikat tersebut. Selain
itu akan diberikan saran-saran agar pengangkutan dapat memberikan jaminan keamanan bagi
aset militer yang diangkut.
Sesungguhnya segala puji hanya untuk Allah Yang Maha Tinggi, yang telah memberikan
karunia dan rahmat-Nya kepada penulis selama dan setelah penulisan laporan kerja praktek yang
berjudul “Analisis Transportability Rantis Komodo Pada Pesawat Hercules C-130”. Tidak lupa
shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Agung Muhammad shalallah’alaihi
wassalam, keluarganya, shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti petunjuk beliau hingga
hari akhir kelak.
Laporan ini merupakan salah satu syarat kelulusan Mata Kuliah Kerja Praktek di Prodi
Teknik Mesin. Penulis memiliki minat yang besar dalam mengikuti perkembangan alutsista
buatan dalam negeri demi kemajuan bangsa. Penyusunan laporan ini sendiri tidak terlepas dari
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak, Ibu, dan adik penulis atas semua perhatian, motivasi, dan doa yang telah
mengiringi selama pelaksanaan kerja praktik.
2. Prof. DR. Ir. Zainal Abidin, selaku Kepala Prodi Teknik Mesin yang telah memberikan
pengarahan dalam pelaksanaan Kerja Praktek ini.
3. Pak Hardi, selaku pembimbing lapangan yang telah bersedia berbagi ilmu dengan penuh
kesabaran dan meluangkan waktunya untuk kami.
4. Pak Heru, selaku Kadept blablabla…
5. Pak Ilham, selaku Kasubdep Sesdik yang menandatangani izin kami untuk melakukan
Kerja Praktek di PT. Pindad (Persero)
6. Arif Nugroho dan M. Fachri, teman seperjuangan selama kerja praktek di Divisi
Kendaraan Khusus yang telah banyak membantu dengan diskusi dan saran-sarannya yang
mendukung.
7. Moch. Yusuf Bachtiar dan Ahmad Romadun, kawan yang telah banyak membantu
penulisan laporan ini dengan ide-idenya.
Akhirnya, penulis berharap laporan ini memberikan manfaat kepada pembaca. Dan
penulis menyadari bahwa dalam penulisan serta mungkin isinya ada kesalahan-kesalahan. Oleh
karenanya penulis memohon maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membagun.
Penulis
BAB II 4
STUDI KASUS ...................................................................................................................... 4
2.1 Identifkasi Masalah .................................................................................................. 4
BAB III 7
PENGUMPULAN DATA ..................................................................................................... 7
3.1 Data .......................................................................................................................... 7
Kendaraan taktis merupakan salah satu alat utama sistem persenjataan (alutsista) strategis
bagi suatu negara. Hal ini dikarenakan kendaraan taktis (rantis) mempunyai kemampuan khas
bagi setiap misi, khususnya untuk pasukan khusus. Kemudian, permasalahan selanjutnya
mengenai alutsista ini setelah memilikinya—selain bidang pemeliharaan—adalah bagaimana
cara memindahkannya secara cepat dari suatu tempat ke tempat lain. Salah satu pengangkutan
yang diperlukan adalah melalui udara.
Transportasi barang(kargo) tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Apalagi jika kargo sangat sensitif, serta membutuhkan keamanan yang tinggi ketika dikirim.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam transportasi pengiriman kargo antara lain:
1. Kecepatan dan percepatan alat transportasi agar kargo tetap dalam kondisi baik.
3. Beberapa alternatif untuk muatan yang sensitif dan membutuhkan penanganan tersendiri.
Selain itu, diketahui bahwa setiap pengangkutan akan mengalami shock (lihat definisinya
pada “Teori Dasar”). Sehingga untuk menjamin keamanan kargo diperlukan pengetahuan tentang
besar, arah, dan karakteristik shock itu sendiri. Pada laporan ini akan ditinjau mengenai
pengiriman kargo berupa Rantis Komodo melalui jalan udara, khususnya dengan pesawat angkut
Hercules C-130. Akan dilakukan analisis mengenai kekuatan sistem pengikatan kendaraan
tersebut pada beberapa kondisi sesuai dengan kemungkinan yang ada menurut literatur.
Pada Laporan Kerja Praktek ini, penulisan laporan dibatasi pada analisis secara statik
gaya-gaya yang bekerja pada kargo, dalam hal ini Rantis Komodo, dengan asumsi-asumsi yang
diberikan. Dari analisis gaya tersebut didapatkan gaya tegangan pada spanset untuk selanjutnya
digunakan untuk menghitung tegangan yang terjadi pada dudukan spanset.
1.4 Metodologi
Selama pembuatan laporan Kerja Praktek ini, metode yang telah digunakan penulis dalam
pengumpulan data-data untuk penyusunan laporan adalah dengan:
Metode observasi
Metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan cara mengadakan
pengamatan secara langsung ke lapangan yaitu area kerja Divisi Kendaraan Khusus PT
Pindad (Persero).
Diskusi
Melalui metode ini, penulis melakukan diskusi dengan pembimbing mengenai aliran gaya,
diagram benda bebas, asumsi-asumsi, dan data-data yang diperlukan. Selain itu, kami
melakukan diskusi mandiri untuk mematangkan konsep yang didapat.
Studi Literatur
Penulis mempelajari beberapa literatur berupa paper maupun jurnal dari lembaga-lembaga
yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai desain pengangkutan kendaraan militer.
Standar-standar yang dipakai biasanya mengacu pada US Army. Selain itu penulis
Kendaraan taktis sebagai salah satu alutsista strategis telah menjadi pengetahuan umum
bagi setiap pemerhati militer. Sehingga aspek keselamatan aset tersebut ketika dipindahkan dari
suatu tempat ke tempat lain merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikaji. Sebenarnya
telah ada studi dan standar yang dapat dijadikan acuan dalam mendesain serta menganalisis
masalah pengangkutan.
Kelebihan:
1. Lebih Cepat
Transportasi melalui udara adalah mode transportasi paling cepat dan oleh karenanya
sangat cocok untuk pengangkutan barang untuk jarak jauh serta membutuhkan waktu yang
singkat. Tidak ada pengganti untuk pengangkutan melalui udara ketika urgensi menjadi
pertimbangan utamanya seperti misalnya dalam kondisi darurat perang sehingga pergeseran
alutsista harus dilaksanakan sesingkat mungkin.
Kekurangan:
1. Resiko Tinggi
Resiko pengangkutan melalui udara memiliki resiko yang tinggi dikarenakan insiden
kecil saja akan menempatkan awak, barang, dan penumpang dalam keadaan yang benar-benar
berbahaya. Bahkan resiko untuk mengalami kehilangan total sangat tinggi. Dan peluang
terjadinya insiden relatif lebih besar dibandingkan dengan mode transportasi lain.
2. Mahal
Pengangkutan melalui udara merupakan mode pengangkutan dengan biaya tertinggi
mengingat harga pesawat dan system pendukungnya (awak dan maintenance) juga mahal. Belum
lagi jika mengingat resiko yang mungkin terjadi.
4. Ketidakpastian
Meskipun tidak memiliki penghalang secara fisik seperti gunung dan hutan,
pengangkutan melalui udara memiliki “musuh” alami dari alam juga seperti kabut, salju, dan
hujan badai. Sehingga penundaan penerbangan akibat cuaca buruk merupakan hal yang umum
terjadi.
Akhirnya, ketika telah diketahui gelombang kejut yang terjadi pada pesawat angkut maka
dapat dihitung kemungkinan gaya-gaya yang bekerja pada kargo. Gaya-gaya inilah yang
nantinya akan menghasilkan tegangan pada daerah yang dianalisis kekuatannya.
3.1 Data
603
400
1668 1963
RR W RF
Diketahui
Massa = 8775 kg
Berat = 86000 N
Rr = 0.54 W
Rf = 0.46 W
Keterangan:
Sudut α = 20°
Dengan:
α = 200
β = 450
Sehingga:
Tv = T sin α (Tegangan arah sumbu y)
Tl = T cos α cos β (Tegangan arah sumbu x)
Tt = T cos α sin β (Tegangan arah z)
Dari gaya-gaya tersebut, maka dapat digambarkan diagram benda bebasnya sebagai berikut,
Fl
Torsi.f1 W Torsi.f2
f f
Rf Rfr Tr
a. Persamaan 1:
∑𝐹𝑥 = 0
𝑇𝑟𝑙 = 𝐹𝑙 − 𝑓1 + 𝑓2
𝑇𝑟 𝑐𝑜𝑠 𝛼 𝑐𝑜𝑠 𝛽 = 𝐹𝑙 − µ𝑘(𝑅𝑓 + 𝑅𝑟)
𝐹𝑙 − µ𝑘(𝑅𝑓 + 𝑅𝑟)
𝑇𝑟 =
𝑐𝑜𝑠 𝛼 𝑐𝑜𝑠 𝛽
Dengan:
Trl = tegangan tali belakang arah longitudinal
Fl = gaya akibat shock 3 g arah longitudinal (3x86000 N)
Laporan Kerja Praktek PT. PINDAD (Persero) 15
f1 = gaya gesek pada roda depan
f2 = gaya gesek pada roda belakang
Rf = reaksi di roda depan (0.46 W)
Rr =reaksi di roda belakang (0.54 W)
W = gaya berat kendaraan (86000 N)
µk = koefisien gesek kinetis ban dengan lantai ( 0.4)
Sehingga dengan tiap titik diberi tali rangkap maka tegangan tali bagian belakang per talinya
menjadi:
Dari hasil di atas diketahui bahwa spanset tiap titiknya harus dirangkap dan digunakan
spanset dengan kekuatan 10,000 kg.
1963 1668
Tm
Tf Tr
f1 f2
Ft
a. Persamaan 1:
∑𝐹𝑧 = 0
𝑇𝑓𝑡 + 𝑇𝑟𝑡 + 𝑇𝑚𝑡 = 𝐹𝑡 − (𝑓1 + 𝑓2)
𝑇𝑓𝑡 + 𝑇𝑟𝑡 + 𝑇𝑚𝑡 = 𝐹𝑡 − µ𝑘(𝑅𝑓 + 𝑅𝑟)
b. Persamaan 2:
∑𝑀𝑐𝑔 = 0
1963 𝑇𝑓𝑡 = 1668𝑇𝑟𝑡
𝑇𝑓𝑡 = 0.85 𝑇𝑟𝑡
Dikarenakan beda Tft dan Trt tidak terlalu besar maka diasumsikan bahwa gaya shock akan
terbagi merata kepada setiap tali sehingga persamaan menjadi:
𝑇𝑚𝑡 = 𝑇𝑚 𝛼 = 15,766.7 𝑁
𝑇𝑚 = 16,778.5 𝑁
Sedangkan
𝑇𝑟𝑡 = 𝑇𝑟 𝛼 𝛽 = 15,766.7 𝑁
𝑇𝑟 = 23,728.5 𝑁
𝑇𝑓 = 𝑇𝑟 = 23,728.5 𝑁
3 𝑇𝑡 + 0.4( ) = 𝐹𝑡
3(𝑇 𝛼 𝛽) + 0.4 ( ) = 𝐹𝑡
𝐹𝑡 = 398678.8 + 34400
433078.8
𝑡(𝑚 𝑘𝑠 𝑚 𝑚) =
86000
𝑡(𝑚 𝑘𝑠 𝑚 𝑚) = 5.04 𝑔
Fv
Tf Tm
Tr
Rf Rr
a. Persamaan 1:
∑𝐹𝑦 = 0
𝑇𝑓𝑣 + 𝑇𝑟𝑣 + 𝑇𝑚𝑣 = 𝐹𝑣
Dengan:
Tfv = tegangan vertical tali pada axle roda depan
Trv = tegangan vertical tali pada axle roda belakang
Tmv = tegangan vertical tali pada tengah frame
Fv = gaya akibat shock 4.5 g (4.5x86000 N)
b. Persamaan 2:
∑𝑀𝑐𝑔 = 0
1963 𝑇𝑓𝑣 − 1963 𝑅𝑓 = 1668 𝑇𝑟𝑣 − 1668 𝑅𝑟
6 𝑇𝑣 = 𝐹𝑣
387,000
𝑇=
6 𝛼
𝑇 = 188,585.4 𝑁
Untuk mengeceknya dapat dilakukan perhitungan dengan arah terbalik. Dengan setiap
titik mempunyai kekuatan 2 rangkap tali = 200 kN maka
𝑇𝑣 = 200,000 𝛼
𝑇𝑣 = 68,404 𝑁
Dengan asumsi yang sama (gaya shock terbagi rata)maka didapat shock maksimum adalah:
𝐹𝑣 = 6 𝑇𝑣
𝐹𝑣 = 410,424 𝑁
410424
𝑣(𝑚 𝑘𝑠 𝑚 𝑚) =
86000
𝑣(𝑚 𝑘𝑠 𝑚 𝑚) = 4.77 𝑔
Sehingga dengan margin 0.22 g asumsi gaya terbagi rata masih mencukupi.
Pada sambungan digunakan produk dari RUD, tepatnya adalah VLBS 10 dengan material
baja ST-42 dengan yield strength 420 MPa.
Kemudian pada analisis diberikan pembebanan maksimum yaitu kekuatan maksimum tali
spanset yang dirangkap, 200 kN. Ketika dianalisis memakai software AutoDesk Inventor
Professional 2013, didapatkan data tegangan sebagai berikut:
Gaya yang terjadi pada spanset akibat shock pada arah longitudinal adalah sebesar 84.128
N. Dari sini diketahui bahwa keputusan untuk merangkap tali dibutuhkan. Karena jika tidak
dirangkap maka yang terjadi pada tali sebesar dua kali gaya tersebut sehingga tali spanset tidak
akan kuat.
Sedangkan pada arah transversal terjadi gaya tegangan tali sebesar 23.728,5 N. Gaya
pada arah ini merupakan yang paling kecil dan sebenarnya spanset mampu menahan shock
hingga 5 g sehingga untuk shock 1,5 g akan dijamin aman.
Kemudian, akibat shock pada arah vertical didapatkan gaya tegangan tali sebesar 64.404
N. Meskipun mengalami shock paling besar yaitu 4,5 g namun gaya yang terjadi masih lebih
kecil daripada akibat shock arah longitudinal. Hal ini dikarenakan pada arah vertical ada 12 tali
yang menahannya.
Perhitungan gaya yang terjadi dilakukan secara terpisah karena diambil kasus terburuk
yang mungkin terjadi. Sedangkan jika shock yang terjadi dalam bentuk kombinasi, maka tidak
akan dalam jumlah maksimal pada setiap arahnya. Sehingga asumsi tersebut dapat diambil.
Kemudian, saat meninjau tegangan yang terjadi pada lashing dan base didapatkan data
sebagaimana pada subbab 3.2.4 di atas. Terlihat bagian lashing yang paling kritis menerima
tegangan sebesar 184.4 MPa. Sedangkan yield strength material adalah 420 MPa sehingga
didapatkan Safety Factor sebesar:
𝑌 𝑒𝑙𝑑 𝑆𝑡𝑟𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ
𝑆𝐹 =
𝐵𝑒𝑏 𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗
420 𝑀𝑃
𝑆𝐹 =
184.4 𝑀𝑃
𝑆𝐹 = 2.27
Kemudian, diketahui pula bagian base yang paling kritis menerima tegangan sebesar
293.8 MPa. Sedangkan yield strength material adalah 420 MPa sehingga didapatkan Safety
Factor sebesar:
𝑌 𝑒𝑙𝑑 𝑆𝑡𝑟𝑒𝑛𝑔𝑡ℎ
𝑆𝐹 =
𝐵𝑒𝑏 𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗
420 𝑀𝑃
𝑆𝐹 =
293.8 𝑀𝑃
𝑆𝐹 = 1.43
Dengan Safety Factor lebih dari 1.43 dan produk itu sendiri memiliki Safety Factor 4 bawaan
dari pabriknya, maka dapat dinyatakan sambungan aman.
1.1 Kesimpulan
1. Transportation shock yang terjadi pada kargo akan menyebabkan hadirnya gaya-gaya
eksternal yang bekerja pada kargo. Untuk menetralisir gaya tersebut agar tidak
membahayakan kargo, maka perlu dilakukan pengikatan dengan desain tertentu.
2. Akibat shock pada arah longitudinal akan dihasilkan gaya tegangan tali sebesar 84.128 N.
3. Akibat shock pada arah transversal akan dihasilkan gaya tegangan tali sebesar 23.728,5
N.
4. Akibat shock pada arah vertical akan dihasilkan gaya tegangan tali sebesar 68.404 N
5. Safety factor terkecil adalah 1.43, namun produk tersebut memiliki safety factor bawaan
sebesar 4 maka dapat dinyatakan aman.
6. Dengan konfigurasi pengikatan yang berjumlah titik pengikatan enam buah, maka
diperlukan spanset rangkap dengan kekuatan 100 kN demi keamanan.
7. Rantis Komodo dapat diangkut dengan pesawat Hercules C-130, dengan konfigurasi,
catatan, dan syarat sebagaimana tersebut sebelumnya.
1.2 Saran
1. Mengubah dimensi base dan lashing. Kelebihannya, proses ini akan membawakan
bentuk yang lebih akurat dan sesuai kebutuhan tanpa harus mengubah konfigurasi
pengikatan. Kekurangannya, untuk produksi base dan lashing dengan unit yang
sedikit akan menjadi relative lebih mahal.
Hibbeler, R.C. (2000). Mechanis of Materials, 8th Edition. United States: McGraw Hill
Companies.
Air Transportability Test Loading. “Tiedown and Restarint 102”. Air Transportability Test
Loading, http://www.tea.army.mil/pubs/nr/deploy/fgpamphlets/ATTLAtiedown_Mar10.pdf
(Diakses 25 Juni 2014)
Depatrment of Defense. October 1989, “MIL-STD-1367A: Packaging, Handling, Storage, And
Transportability Program Requirements (For System & Equiptment)”. Deparment of Defense.
Kennedy, Robert. October 1964, “TEA Report 64-11.” Department Of Army Transportability
Criteria Shock & Vibration.
Weingarten, Joseph L. et al, April 1973, ”Air Cargo Restarint Criteria”. Aeronautical System
Division, Wright-Patterson Air Force Base, Ohio.
http://www.publishyourarticles.net/knowledge-hub/business-studies/what-are-the-advantages-
and-disadvantages-of-air-transport.html (Diakses 14 Juni 2014)
file:///C:/Users/heri/Downloads/komodo/Friction%20and%20Coefficients%20of%20Friction.ht
m (Diakses 23 Juni 2014)
1. Data Perusahaan
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Pada tahun 1808, William Herman Daendels, Gubernur Jenderal Belanda yang tengah
berkuasa saat itu mendirikan bengkel untuk pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan alat-alat
perkakas senjata Belanda bernama Contructie Winkel (CW) di Surabaya dan inilah awal
mulanya PT. Pindad (Persero) sebagai satu-satunya industri manufaktur pertahanan di Indonesia.
Selain ‘bengkel senjata,’ Daendels kala itu juga mendirikan bengkel munisi berkaliber besar
bernama Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia di Semarang. Kemudian, pemerintah
kolonial Belanda pun mendirikan bengkel pembuatan dan perbaikan munisi dan bahan peledak
untuk angkatan laut mereka yang bernama Pyrotechnische Werkplaats (PW) pada tahun 1850 di
Surabaya.
Gambar 1. Pejabat Hindia Belanda Berpose Bersama Karyawan ACW di Lokasi PT. Pindad
Saat Ini
Laporan Kerja Praktek PT. PINDAD (Persero) 37
Pada tanggal 1 Januari 1851, CW diubah namanya menjadi Artilerie Constructie Winkel
(ACW). Kemudian pada tahun 1961, dua bengkel persenjataan yang berada di Surabaya, ACW
dan PW disatukan di bawah bendera ACW. Kebijakan penggabungan ini, menjadikan ACW
mempunyai tiga instalasi produksi yaitu; unit produksi senjata dan alat-alat perkakasnya (Wapen
Kamer), munisi dan barang-barang lain yang berhubungan dengan bahan peledak
(Pyrotechnische Werkplaats), serta laboratorium penelitian bahan-bahan maupun barang-barang
hasil produksi.
Perang Dunia I pada pertengahan 1914, melibatkan banyak Negara Eropa, termasuk
Belanda. Demi kepentingan strategis, pemerintah kolonial Belanda pun mulai
mempertimbangkan relokasi sejumlah instalasi penting yang dinilai lebih aman. Bandung dinilai
tepat sebagai tempat relokasi yang baik karena selain kontur daerahnya berupa perbukitan dan
pegunungan yang bisa dijadikan bentang pertahanan alami terhadap serangan musuh, posisi
Bandung juga sangat strategis karena sudah memiliki sarana transportasi darat yang memadai—
dilalui oleh Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dan dilalui jalur kereta api Staats Spoorwegen—
kota Bandung juga berada tidak jauh dengan pusat pemerintahan Hindia Belanda, Batavia.
ACW dipindahkan pertama kali ke Bandung, pada rentang waktu 1918-1920. Pada tahun
1932, PW dipindahkan ke Bandung, bergabung bersama ACW dan dua instalasi persenjataan
lain yaitu Proyektiel Fabriek (PF) dan laboratorium Kimia dari Semarang, serta Institut
Pendidikan Pemeliharaan dan Perbaikan Senjata dari Jatinegara yang direlokasi ke Bandung
dengan nama baru, Geweemarkerschool. Keempat instalasi tersebut dilebur di bawah benderta
Artilerie Inrichtingen (AI).
Pendudukan pemuda tidak berlangsung lama, karena sekutu kembali ke Indonesia dan
mengambil alih kekuasaan. Pabrik Senjata Kiaracondong dibagi menjadi dua pabrik. Pabrik
pertama yang terdiri dari ACW, PF, dan PW digabungkan menjadi Leger Produktie Bedrijven
(LPB), serta satu pabrik lain yang bernama Central Reparatie Werkplaats, yang sebelumnya
bernama Geweemarkerschool.
Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda menyatakan bahwa
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal
27 Desember 1949. Seiring dengan hal itu, Belanda harus menyerahkan asset-asetnya secara
bertahap pada pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno termasuk LPB.
LPB kemudian diganti namanya menjadi Pabrik Senjata dan Mesiu (PSM) yang
pengelolaannya diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Sejak
saat itu PSM mulai melakukan serangkaian percobaan untuk membuat laras senjata dan berhasil
memproduksi laras senjata berkaliber 9mm dan pada bulan November 1950, PSM berhasil
membuat laras dengan kaliber 7,7 mm.
PSM mengalami krisis tenaga ahli karena para pekerja asing harus kembali ke negara
asalnya berdasarkan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu terjadi sentralisasi organisasi dengan
merampingkan lini produksi dari 13 menjadi 6 lini dengan lini baru Munisi Kaliber Kecil (MKK)
yang baru dibentuk. PSM juga melakukan modernisasi pabrik dengan membeli mesin-mesin baru
untuk pembuatan senjata dan munisi, suku cadang, material, dan alat perlengkapan militer
lainnya.
Delapan tahun berjalan, PSM pun diubah namanya menjadi Pabrik Alat Peralatan
Angkatan Darat (Pabal AD) pada tanggal 1 Desember 1958. Pabal AD bukan sekedar
memperoduksi senjata dan munisi saja namun juga peralatan milter yang lain, untuk mengurangi
ketergantungan peralatan militer Indonesia pada negara lain. Banyak pemuda potensial yang
dikirim ke luar negeri untuk mempelajari persenjataan dan balistik.
Sekitar tahun 1962, nama Pabal AD diubah menjadi Perindustrian TNI Angkatan Darat
(Pindad). Tahapan pengembangan di era Pindad lebih berfokus pada tujuan pembinaan yang
disesuaikan dengan prinsip-prinsip pengelolaan terpadu dan kemajuan teknologi mutakhir.
Proses produksi Pindad pun dilakukan untuk mendukung kebutuhan TNI AD. Serangkaian
percobaan dan evaluasi pembuatan senjata baru pun dilakukan dan menghasilkan berbagai Surat
Keputusan dari Angkatan Bersenjata untuk memakai senjata Pindad sebagai senjata standar
mereka. Setelah itu, senjata pun diproduksi secara massal.
Pada awal tahun 1972, pemerintah Indonesia melakukan penataan departemen, termasuk
Departeman Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Karena itu Pindad pun berubah nama menjadi
Kopindad (Komando Perindustrian TNI Angkatan Darat) pada tanggal 31 Januari 1972.
Perubahan terjadi hanya pada komando utama pembinaan yaitu unsur penyelenggara
kepemimpinan dan pengelolaan kebijakan teknik. Reorganisasi ini berdampak positif terhadap
kinerja yang semula dianggap lamban menjadi lincah, bergairah dan dinamis. Dan Pusat Karya
yang dirubah menjadi PT Purna Shadana (Pursad) memiliki keleluasaan untuk meningkatkan
produksi kekaryaan untuk mendukung swasembada dan mengurangi ketergantungan terhadap
luar negeri.
Pada saat Operasi Seroja TNI-AD untuk pembebasan Timor Timur dari penjajahan
Portugal persenjataan Pindad banyak mengalami kendala di lapangan sehingga pada tahun 1975
Kopindad menarik kembali sebanyak 69.000 pucuk senjata yang telah diserahkan kepada TNI-
AD. Selanjutnya Kopindad melalukan transformasi dan modifikasi terhadap beberapa senjata
antara lain SMR Madsen Setter MK III Kaliber 30mm long menjadi SPM.1 kaliber 7,62mm yang
diproduksi sebanyak 4.550 pucuk dan membuat desain senjata senapan SS77 Kaliber 223.
Pada Tahun 1980-an pemerintah Indonesia semakin gencar menggalakan program alih
teknologi, saat inilah muncul gagasan untuk mengubah status pindad menjadi perusahaan
berbentuk perseroan terbatas. Berdasarkan keputusan Presiden RI No.47 Tahun 1981, Badan
Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) yang sudah berdiri sejak tahun 1978, harus lebih
memperhatikan proses transformasi teknologi yang ditetapkan pemerintah Indonesia itu,
termasuk pengadaan mesin-mesin untuk kebutuhan Industri.
Perubahan status Pindad dilatarbelakangi oleh keterbatasan ruang gerak Pindad sebagai
sebuah industri karena terikat peraturan-peraturan dan ketergantungan ekonomi pada anggaran
Dephankam sehingga tidak dapat mengembangkan kegiatan produksinya. Selain itu, Pindad pun
dinilai membebani Dephankam karena biaya penelitian dan pengembangan serta investasi yang
cukup besar. Karena itu Dephankam menyarankan pemisahan antara war making activities dan
war support activities. Kegiatan Pindad memproduksi prasarana dan perlengkapan militer adalah
bagian war support activities sehingga harus dipisahkan dari Dephankam dan menjadi perseroan
terbatas yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
Ketua BPPT saat itu Prof. DR. Ing. B.J. Habibie kemudian membentuk Tim Corporate
Plan (Perencana Perusahaan) Pindad melalui Surat Keputusan BPPT No.
SL/084/KA/BPPT/VI/1981. Tim Corporate Plan diketuai langsung oleh Habibie dan terdiri dari
unsur BPPT dan Departemen Hankam.
Sebagai sebuah perusahaan Pindad diharapkan dapat memproduksi peralatan militer yang
dibutuhkan secara efisien dan menghasilkan produk-produk komersial berorientasi bisnis. Dan
memiliki biaya serta anggaran sendiri untuk pengembangan, penelitian dan investasi serta
mengembangkan profesionalisme industrinya.
Berdasarkan hasil kajian dari Tim Corporate Plan diputuskan komposisi produksi Pindad
adalah 20% produk militer dan 80% komersial atau non militer. Tugas pokok Pindad adalah
menyediakan dan memproduksi produk-produk kebutuhan Dephankam seperti munisi ringan,
munisi berat, dan peralatan militer lain untuk menghilangkan ketergantungan terhadap pihak
lain. Tugas pokok kedua adalah memproduksi produk-produk komersial seperti mesin perkakas,
produk tempa, air brake system, perkakas dan peralatan khusus pesanan.
Laporan Kerja Praktek PT. PINDAD (Persero) 43
Dan pada awal 1983 Pindad menjadi badan usaha milik Negara (BUMN) sesuai dengan
keputusan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI No.4 Tahun 1983
tertanggal 11 Februari 1983.
1.2.1 Visi
Menjadi produsen peralatan pertahanan dan keamanan terkemuka di Asia pada tahun
2023, melalui upaya inovasi produk dan kemitraan strategik.
1.2.2 Misi
1.2.3 Tujuan
Mampu menyediakan kebutuhan Alat Utama Sistem Persenjataan secara mandiri, untuk
mendukung penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara Republik Indonesia.
1.2.4 Sasaran
PT Pindad (Persero) merupakan perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang
bergerak dalam bidang Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan) dan produk komersial,
sebagai berikut :
1. Produksi/Manufaktur
Melakukan produksi baik produk alutsista maupun nonalutsista, mengolah bahan mentah
tertentu menjadi bahan pokok maupun produk jadi serta melakukan proses assembling
(perakitan) pada produk berikut :
2. Jasa
3. Perdagangan
Melaksanakan pemasaran, penjualan dan distribusi produk dan jasa perusahaan termasuk
produksi pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri seperti :
1. Ammonium Nitrate
Laporan Kerja Praktek PT. PINDAD (Persero) 46
2. Panfo
3. Detonator Listrik
4. Detonator Non Listrik
5. Detonating COD
6. Booster
7. Geodetoseis
8. Geopentoseis
4. Produk dan jasa lainnya dalam rangka memanfaatkan sisa kapasitas yang telah dimiliki
perusahaan.
5. Pelanggan :
TNI, Polri, Kementerian Kehakiman, Kementerian Kehutanan, Dirjen Bea Cukai, dan Pasar
Ekspor
Aset, liabilitas dan ekuitas cenderung meningkat selama 5 tahun terakhir, kecuali rugi
restrukturisasi, dan cadangan umum yang cenderung menurun dari tahun sebelumnya.
Laba perusahaan tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Laba tertinggi setelah pajak dicapai pada tahun buku yang berakhir 31
Desember 2013 yaitu sebesar Rp 76,91 miliar.
Sementara anggaran Kementerian Perhubungan pada APBN tahun 2014 senilai Rp 39,2
triliun, difokuskan pada pembangunan infrastruktur yang berkualitas, membangun konektivitas
melalui pembangunan jalan, terutama untuk mengurangi hambatan di bidang infrastruktur guna
memperlancar arus distribusi barang dan jasa.
Tambahan modal disetor senilai Rp. 300 miliar akan dapat meningkatkan kemampuan
operasional perusahaan, sehingga secara optimal dapat mendukung pemenuhan kebutuhan MEF
TNI dan Polri serta membuka kesempatan perusahaan dapat tumbuh cepat dan sehat.
Laporan Kerja Praktek PT. PINDAD (Persero) 48
Sumber pendanaan modal kerja masih didominasi oleh pinjaman bank yang memiliki
Cost of Money cukup tinggi, mengingat pemulihan ekonomi global membutuhkan dana yang
besar dan berimplikasi perusahaan kesulitan mendapatkan dana murah.
Realisasi hasil usaha PT Pindad (Persero) tahun 2013, penjualan konsolidasi senilai Rp
1.877,57 miliar, laba sebelum pajak senilai Rp 127,09 miliar, dengan tingkat kesehatan
kualifikasi Sehat ”AA” skor 82,95.
1.5.1 Senjata
PT Pindad (Persero) sejak berdiri tahun 1983 telah memproduksi berbagai jenis senjata
mulai dari senjata laras panjang, senjata genggam, pistol, dan lainnya. Setiap produksi
diutamakan untuk mensuplai kebutuhan peralatan pertahanan dan keamanan nasional serta untuk
memenuhi pemesanan dari pihak lain.
Gambar 6. SS-2
Senjata Pindad memiliki akurasi yang baik dan ketahanan di medan peperangan sesuai
dengan kebutuhan pertahanan dan keamanan. Beberapa senjata telah berhasil meraih prestasi
lomba tembak antar angkatan darat se-Asia Tenggara (AARM) dan lomba tembak Angkatan
Darat se-Asia Pasifik (ASAM), serta Lomba Tembak tahunan yang diselenggarakan oleh Tentara
di Raja Brunei (BISAM).
1.5.2 Munisi
Keunggulan dari munisi Pindad adalah banyaknya varian yang dapat disesuaikan dengan
hasil yang diinginkan terhadap senjata yang ditembakkan.
Dimulai dengan proyek Mobil Nasional pada tahun 1993, PT. Pindad mulai berfokus
pada pengembangan teknologi kendaraan bermotor. PT. Pindad (Persero) sejak tahun 1993, telah
bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri dalam upaya untuk
mengembangkan teknologi fungsi kendaraan khusus, termasuk kendaraan anti-peluru untuk
memenuhi permintaan pasar militer dan instansi.
Penelitian dan pengembangan terus menerus dilakukan untuk mencapai tujuan masa
depan untuk meningkatkan kapasitas bisnis dan teknologi. Produk yang dihasilkan, seperti:
Kendaraan Taktis Komodo, Panser untuk TNI dan Polri, konstruksi khusus dan komponen
kendaraan khusus. Hingga saat ini Panser ANOA 6 X 6 yang telah di produksi mencapai kurang
lebih 260 kendaraan dengan berbagai varian yang dibuat sesuai dengan permintaan dan
kebutuhan pelanggan.
Divisi Kendaraan Khusus PT. Pindad Persero memproduksi kendaraan yang sesuai
dengan kebutuhan penggunaanya dan menjadikan setiap Kendaraan Khusus Pindad benar-benar
sesuai kebutuhan pengguna.
PT. PINDAD (Persero) sebagai salah satu dari 140 Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sektor Industri Pengolahan, yang memproduksi alutsista TNI dan peralatan industri. Divisi
Tempa dan Cor merupakan bagian dari bisnis PT. Pindad (Persero) yang bertujuan selain
mendukung produksi unit usaha internal PT. Pindad (Persero) juga untuk memenuhi permintaan
dan mendukung pasar lokal maupun ekspor dalam bidang jasa pengecoran logam dan jasa tempa,
serta mendukung pembangunan infrastruktur perkeretaapian Indonesia melalui produk-produk
prasarana kereta api.
Produk-produk yang dihasilkan dari jasa pengecoran logam, jasa tempa dan produk
prasarana kereta api diproduksi dengan mengedepankan kualitas berdasarkan standar
internasional maupun nasional dan disertai jaminan mutu produk.
PT Pindad (Persero) mengawali bisnis dalam bidang Sarana dan Prasarana Kereta Api
pada tahun 1983 dan mulai berproduksi pada tahun 1984 dengan memproduksi alat penambat rel
type DE-Clips (DE-Clips Rail Fastener) yang merupakan lisensi dari Hollandia Kloos dan Ewem
AG.
Pada tanggal 23 September 1997 Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Antara PT.
Pindad dan PT. KA yang diwakili oleh Dirut Pindad Bp. Budi Santoso dan Dirut Perumka Bp.
Soemino Eko Saputro yang menghasilkan litbang untuk produk alat penambat rel type KA-Clip
dan hak kepemilikan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) – PT. Pindad (Persero) patent no ID 0
007 930 pada 19 April 2000 dikeluarkanlah ijin penggunaan KA-Clip dari Dirjen Perkeretaapian
Alat Penambat Rel (Rail fastener) produksi PT Pindad (Persero) sangat kompetitif serta
dengan jaminan kualitas pekerjaan yang tinggi dimana dalam proses produksi menggunakan
Standar Iinternational maupun National seperti AREMA/AREA Standard, SNI Standar, serta
didukung oleh sumber daya manusia yang telah berpengalaman dengan kemampuan dan
keahlian yang sudah teruji.
Divisi Mesin Industri dan Jasa PT Pindad (Persero) adalah divisi yang menghasilkan produk-
produk komersial antara lain :
1. mesin listrik
2. sistem pengereman kereta api
3. peralatan kapal laut
4. jasa pemesinan
Produk mesin listrik yang dihasilkan PT. Pindad meliputi generator dengan kapasitas sampai 9
MW, motor traksi yang digunakan di kereta api listrik, motor magnet permanen, serta jasa
perbaikan motor listrik.
PT. Pindad (Persero) memproduksi Air Brake System dengan lisensi dari KNORR
Bremse AG, Jerman sejak tahun 1983 dan telah disertifikasi oleh UIC (International Union of
Railways). Air Brake System yang diproduksi adalah tipe KE-G-12” untuk gerbong barang dan
KE-P-12” untuk kereta penumpang. Air Brake System ini dikembangkan untuk kebutuhan sistem
pengereman KRL dan KRD. Dengan dukungan alat pengujian yang telah disertifikasi oleh
KNORR, PT Pindad (Persero) mampu memproduksi Air Brake System lebih dari 600 set per
tahun. Disamping itu, PT Pindad (Persero) dapat melakukan maintenance untuk komponen Air
Brake System ini.
Produk Peralatan Kapal Laut bermula dari kerjasama yang didirikan bersama Hatlapa.
Pindad telah mengembangkan berbagai produk peralatan kapal laut sejak tahun 1991 hingga saat
Jasa pemesinan didukung fasilitas mesin bubut horizontal dengan kapasitas hingga 6
meter, bubut vertikal hingga diameter 3 meter, double column milling machine dengan kapasitas
hingga diatas 2 x 4 meter yang dioperasikan secara komputerisasi (CNC).
Salah satu lini dari PT Pindad (Persero) adalah Divisi Bahan Peledak Komersial atau lebih
dikenal dengan Handakkom. Keahlian dan pengalaman SDM PT Pindad (Persero) di bidang
persenjataan dan bahan peledak membuat PT Pindad (Persero) untuk mengembangkan produk
dan layanannya. Oleh karena itu, sejak tahun 1991 PT. Pindad telah memulai memproduksi
bahan peledak komerisial seperti :
1. Booster ( RenEx T)
2. Booster ( RenEx P)
3. Seismic Explosive (geoPENTOSEIS)
4. Seismic Detonator (geoDETOSEIS)
5. Detonator Listrik (SUPERdet)
Dengan kemampuan PT. Pindad memproduksi bahan peledak komersial, maka PT. Pindad
siap memberikan pelayanan berupa produk dan jasa produksi pertambangan dengan metoda
peledakan sesuai kebutuhan pelanggan.
Salah satu penyebab dari kerusakan kargo saat berada dalam alat transportasi adalah
shock dan getaran. Shock didefinisikan sebagai sebuah fenomena transien, di mana vibrasi
dianggap sebagai fenomena tunaknya. Sehingga, shock pada transportasi dapat dijabarkan
sebagai gangguan yang diterima suatu alat transportasi dengan karakteristik memiliki amplitudo
yang besar dan panjang gelombang yang pendek. Namun, sebenarnya cukup sulit untuk
membedakan antara shock dengan vibration karena biasanya tidak ada parameter pasti mengenai
batasan di antara keduanya. Contohnya, sebuah gelombang kejut akibat lubang di jalanan dapat
dianggap sebagai gelombang kejut (shock pulse) pada satu kasus dan input getaran pada kasus
yang lain.
Pada kasus shock di alat transortasi, data dapat direkam baik pada kondisi lantai yang
menjadi tempat kargo maupun pada kargo itu sendiri. Ketika data diambil pada kargo, maka data
tersebut umumnya dilaorkan dalam bentuk “percepatan puncak” (peak acceleration). Sedangkan
jika data direkam pada lantai tempat kargo tersebut, biasanya akan dilaporkan dalam bentuk peak
acceleration, shock spectrum, atau spectral analysis.
Pada laporan ini, akan dipakai bentuk data dalam pernyataan peak acceleration karena
memiliki keuntungan dapat dihubungkan dengan kerapuhan atau “g” rating-nya. “g” rating
merupakan sebuah factor yang sering dipakai para insinyur pengepakan (packaging engineer)
untuk memastikan keamanan pengangkutan suatu kargo. Pendekatan ini menyatakan “g” terbesar
yang mampu dibebankan terhadap suatu kargo.
Menurut “Air Transportability Test Loading Activity: Tiedown and Restraint 102”, pada
pesawat akan terjadi beberapa macam shock akibat:
1. Turbulensi
ii. Mechanical Turbulence : terjadi saat ada angin yang menghalangi aliran normal.
Mechanical turbulence biasanya terjadi pada pegunungan karena gangguan (obstruction) dari
gunung sangat besar.
iii. Wind Shear : timbul dari frontal zone, sea breeze fronts, thunderstorms dan
downburst cells.
iv. Clear Air Turbulence : bisa terjadi pada ketinggian berapa pun karena arus konvektif,
halangan pada aliran angin, wind shear, atau gabungan dari beberapa penyebab tersebut.
2. Gust
Gust adalah angin kencang yang datang menuju arah pesawat.
3. Flatter
Flatter terjadi ketika frekuensi eksitasi sama dengan frekuensi pribadi pesawat.
4. Impact
Touchdown adalah kondisi ketika landing gear pesawat tepat menyentuh tanah ketika
mendarat. Hal ini akan menyebabkan shock yang cukup besar pada struktur pesawat tersebut.
1. Tie-down lashing
Peralatan pengamanan (tali/rantai) disusun pada kargo lalu dikaitkan pada bagian yang tetap
pada kendaraan, kemudian ditarik dengan tangan supaya lebih kencang.
Tarikan dengan tangan berlaku sebagai pre-tension , akan menekan kargo ke bawah sehingga
memperbesar gaya normal pada kargo dan tentunya memperbesar gaya gesek pada kargo.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengamanan kargo jenis tie-down lashing adalah :
a. Koefisien gesekan antara kargo dengan permukaan harus diketahui
b. Harus ada gaya gesek yang besar antara kargo dengan permukaan lantai
c. Kargo harus mampu menahan tegangan mula (pre-tension) yang tinggi
d. Lashing point pada kendaraan transport harus didesain untuk menahan gaya yang akan
timbul
2. Direct Lashing
Pengamanan jenis ini lebih menghemat pemakaian tali karena tali yang diperlukan lebih pendek.
Selain itu, pengamanan jenis ini tidak membutuhkan tenaga manusia yang besar karena tidak
terlalu memerlukan tegangan mula. Dalam beberapa standar telah disepakati bahwa sudut yang
dibentuk antara tali dengan permukaan tanah sebesar 200-450 .
Beban dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu: beban dari alam/lingkungan, beban
operasional, dan beban sustain (berat mesin dan peralatannya). Jenis beban pada suatu
mesin/peralatan dapat dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan karakter beban yang bekerja
dan adanya gerakan atau perpindahan. Jika konfigurasi umum dari mesin telah didefinisikan dan
gerakan kinematikanya telah dihitung, maka tugas berikutnya adalah menganalisis besar dan arah
semua gaya, momen, dan beban lainnya. Beban-beban ini dapat saja konstan atau bervariasi
terhadap waktu. Komponen mesin dimana gaya tersebut bekerja juga bisa dalam keadaaan diam
(statik) atau bergerak.
Berdasarkan lokasi dan metoda aplikasi beban serta arah pembebanan, beban dapat
diklasifikasikan menjadi : beban normal, beban geser, beban lentur, beban torsi, dan beban
kombinasi. Ilustrasi masing-masing beban ini ditunjukkan pada gambar 2.2.
Untuk mendapatkan identifikasi semua gaya, beban dan momen pada suatu
sistem/peralatan, maka kita perlu menggambar diagram benda beban (DBB) setiap elemen dari
sistem tersebut. DBB haruslah menunjukkan bentuk umum komponen serta semua gaya dan
momen yang bekerja pada elemen tersebut. Perlu diingat juga bahwa akan ada gaya dan momen
luar yang bekerja, dan juga gaya atau momen yang timbul pada sambungan satu elemen dengan
yang lain.
Hukum Newton dan persamaan Euler adalah dasar yang dapat digunakan untuk
melakukan analisis beban, baik untuk 3 dimensi maupun 2 dimensi :
Hukum Newton I : “a body at rest tends to remain at rest and abody in motion at constant
velocity will tend to maintain that velocity unless acted upon by an external force”
Hukum Newton II : “The time rate of change of momentum of a body is equal to the magnitude
of the applied force and acts in the direction of the force”
Untuk sebuah benda kaku yang tidak mengalami percepatan (statik), hukum Newton I &
II dapat dinyatakan dalam persamaan :
Persamaan diatas dikenal sebagai persamaan kesetimbangan statik (2.1) dan persamaan
kesetimbangan dinamik (2.2). Untuk menganalisis gaya-gaya dan momen pada sambungan yang
merupakan interaksi antara body satu dengan yang lainnya dapat digunakan prinsip dari hukum
Newton yang berbunyi :
Hukum Newton III : “When two particles interact, apair of equal and opposite reaction forces
will exist at their contact point. This force pair will have the same magnitude and act along the
same direction line, but have opposite sense”
=
(2.3)
Tegangan Geser
= (2.4)
Dari definisi tegangan dan regangan maka hubungan tegangan regangan elemen yang
mengalami beban uniaksial dapat diformulasikan menjadi Hukum Hooke satu dimensi.
= = (2.5)
Perpindahan yang terjadi pada elemen yang mengalami beban uniaksial diilustrasikan
pada gambar 2.5. Formulasi untuk menghitung perpindahan dapat dilakukan dari definisi
deformasi δ = uB − uA dan dengan menggunakan hukum Hooke, maka dapat diturunkan bahwa :
= − = (2.6)
= (2.7)
J adalah momen inersia polar, besarnya tergantung pada dimensi dan bentuk penampang.
Elemen yang diberi beban torsi akan mengalami tegangan geser sebesar τ yang akan
mengakibatkan terjadinya regangan geser sebesar γ, hubungannya seperti pada formulasi Hukum
Hooke untuk tegangan geser berikut :
= (2.9)
c adalah jarak titik yang ditinjau dari sumbu netral, I adalah momen inersia, sedangkan A
adalah luas penampang melintang beam.
= (2.10)
V adalah gaya geser, =𝑦 , A’ adalah luas area diatas atau dibawah yang diukur dari
yang diinginkan dan y’ adalah jarak titik netral terhadap titik pusat dari A’, t adalah lebar
bidang.